Anda di halaman 1dari 31

ASUHAN KEPERAWATAN EMBOLISME PARU

Untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah Keperawatan Kritis

Dosen: Ns. Meida Laely R,M.SN

Di susun oleh:

Kelompok 7

1. Sofis Nurahmah 1711020065


2. Ulfia Khoirinnissa 1711020068
3. Kurnia Bayu P 1711020073
4. Nimas Asriati 1711020092
5. Devi wahyuningsih 1711020101

PRODI KEPERAWATAN S1

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO


TAHUN 2020

2
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrohmanirroiim
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang telah mengajarkan
manusia tentang apa yang tidak diketahuinya. salawat serta salam kepada junjungan
Rasulullah Muhammad SAW sebagai teladan dalam kehidupan sekaligus sebagai
rahmatan lil’alamin. Kehadiran sebuah makalah sebagai pegangan bagi mahasiswa
sangatlah berarti dalam proses belajar mengajar, karena itu melalui makalah tentang
“Asuhan Keperawatann Embolisme Paru” diharapkan dapat mengantar dan membantu
mahasiswa dalam pencapaian pembelajaran yang diinginkan. Dalam penyusunan isi
makalah ini dirasakan masih jauh dari sempurna, karena itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca.
Akhir kata kami sangat berharap makalah ini kiranya dapat menjadi bahan untuk saling
mengisi bagi para mahasiswa.

Jumat, 06 Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................... 2
C. Tujuan...................................................................................................... 2
D. Manfaat.................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi..................................................................................................... 4
B. Etiologi..................................................................................................... 4
C. Menifestasi Klinis..................................................................................... 7
D. Komplikasi................................................................................................ 7
E. Patofisiologi............................................................................................. 10
F. Pathways.................................................................................................. 10
G. Pengkajian................................................................................................ 11
H. Pemeriksaan Penunjang............................................................................ 13
I. Intervensi Dan Monitoring....................................................................... 14
J. Penatalaksanaan Medis............................................................................. 15
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
A. Ilustrasi Kasus........................................................................................... 17
B. Pengkajian................................................................................................. 17
C. Diagnosa Keperawatan ............................................................................ 19
D. Intervensi ................................................................................................. 19
E. Implementasi ........................................................................................... 22
F. Evaluasi ................................................................................................... 23
BAB IV PEMBAHASAN
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................. 26
B. Saran....................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 27

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Selain untuk pernafasan, paru juga berperan sebagai saringan atau filter bagi
gumpalan darah (embolus). Gumpalan darah yang berukuran kecil jika tersangkut
pada pembuluh di paru dapat diatasi oleh mekanisme fibrinolitik. Akan tetapi, jika
gumpalan darahnya cukup besar, mekanisme fibrinolitik tidak berlangsung dengan
baik. Jika mekanisme fibrinolitik tidak berlangsung dengan baik ketika terdapat
gumpalan darah yang besar akan timbul emboli paru yang menyebabkan aliran darah
terhambat. Embolus biasanya dari vena dalam (deepvein) pada kaki dan pelvis, yaitu
vena femoris, vena poplitea atau vena iliaka. Pada penderita penyakit tromboflebitis
yang melakukan perjalanan jarak jauh dengan menggunakan kendaraan s ehingga
kaki dalam keadan posisi menekuk untuk waktu yang lama, thrombus akan mudah
terlepas dan terjadi penggumpalan darah. Polisitemia vena dan penyakit
penggumpalan darah merupakan predisposisi untuk terjadinya emboli paru. Obat
kontrasepsi oral menyebabkan emboli paru mudah terjadi. Sebenarnya, banyak
kejadian emboli paru yang tidak memberikan gejala dan dapat diatasi sendiri oleh
paru melalui mekanisme fibrinolitik (Brunner & Suddarth, 2017).
Emboli paru merupakan suatu keadaan emergensi yang sering tidak terdiagnosa
dan menyebabkan kematian sebagai akibat migrasi satu atau beberapa gumpalan
darah dari vena sistemik menuju paru. Embolisme pulmonal mengacu pada obstruksi
salah satu arteri pulmonal atau lebih oleh thrombus (trombi) yang berasal dari suatu
tempat dalam system venosa atau jantung sebelah kiri, yang terlepas, dan terbawa ke
paru. Kondisi ini merupakan kelainan umum yang berkaitan dengan trauma, bedah
(ortopedik, pelvis, ginekologik), kehamilan, penggunaan kontrasepsi oral, gagal
jantung kongestif, usia lanjut (lebih dari 60 tahun), dan imobilitas yang
berkepanjangan. Sebagian besar trombus berasal dari vena tungkai (Price & Wilson,
2016).
Di Indonesia berdasarkan penelitian di Hongkong, penyakit ini mencapai 16,64
kasus untuk setiap 100.000 penduduk. Angka tersebut kecil dibandingkan dengan 124

1
hingga 293 per 100.000 penduduk di Amerika Serikat. Namun demikian, bila melihat
besarnya penduduk Indonesia, maka angka tersebut menjadi tinggi (Sudoyo, 2016).
Diagnosis dan pengobatan yang cepat dapat menurunkan angka kematian. Namun
penyakit ini sering terdiagnosis karena gejalanya tidak spesifik, kadang-kadang hanya
berupa kelemahan (Lesmana, 2018).
B. Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apa pengertian emboli paru?
2. Apa penyebab emboli paru?
3. Bagaimana tanda dan gejala emboli paru?
4. Bagaimana patofisiologi emboli paru?
5. Apa komplikasi klinis emboli paru?
6. Bagaimana pengkajian kegawatdaruratan emboli paru?
7. Apa pemeriksaan penunjang untuk emboli paru?
8. Bagaimana intervensi kegawatdaruratan dan monitoring emboli paru?
9. Bagaimana penatalaksanaan medis kegawatdaruratan emboli paru?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu menyusun asuhan keperawatan gawat darurat pada klien dengan emboli
paru.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian emboli paru.
b. Mahasiswa dapat mengetahui etiologi emboli paru.
c. Mahasiswa dapat mengetahui tanda dan gejala emboli paru.
d. Mahasiswa dapat mengetahui patofisiologi emboli paru.
e. Mahasiswa dapat mengetahui komplikasi klinis emboli paru.
f. Mahasiswa dapat mengetahui pengkajian kegawatdaruratan emboli paru.
g. Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan penunjang emboli paru.
h. Mahasiswa dapat mengetahui intervensi kegawatdaruratan dan monitoring
emboli paru.

2
i. Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan medis pada kegawatdaruratan
emboli paru
j. Mahasiswa dapat mengetahui waktu pemulangan klien dengan emboli paru.
D. Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penyusunan makalah ini yaitu:
1. Dapat menambah ilmu pengetahuan tentang penyakit emboli paru
2. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang bahaya penyakit emboli
paru dan mengetahui cara pencegahan penyakit ini.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Emboli paru-paru merupakan oklusi atau penyumbatan bagian pembuluh darah
paru-paru oleh embolus. Embolus ialah suatu benda asing yang tersangkut pada suatu
tempat dalam sirkulasi darah. Benda tersebut ikut terbawa oleh aliran darah yang
berasal dari suatu tempat lain dalam sirkulasi darah. Proses timbulnya embolus
disebut embolisme. Hampir 99% emboli berasal dari trombus. Bahan lainnya a dalah
tumor, gas, lemak, sumsum tulang, cairan amnion, dan trombus septik (Somantri,
2017).
Emboli paru-paru dikenal sebagai obstruksi sebagian atau seluruh dari satu atau
kedua cabang pulmonal atau anak-anak cabangnya. Elemen onstruktif dapat berupa
bekuan darah, udara a tau globulus lemak (Engram, 2018).
Pulmonary embolism (PE) atau emboli paru adalah emboli peristiwa infark
jaringan paru akibat tersumbatnya pembuluh darah arteri pulmonalis oleh peristiwa
emboli. Kondisi ini merupakan bagian dari spektrum penyakit yang disebut Venous
thromboembolism (VTE) yang terdiri dari deep vein thrombosis (DVT) dan emboli
paru (1-3).
B. Etiologi
Penyebab emboli paru belum diketahui pasti, tetapi hasil penelitian dari autopsi
paru pasien yang meninggal karena penyakit ini menunjukkan jelas bahwa penyebab
penyakit ini adalah trombus pada pembuluh darah. Umumnya tromboemboli berasal
dari lepasnya trombus di pembuluh darah vena ditungkai bawah atau dari jantung
kanan. Sumber emboli paru yang lain misalnya tumor yang telah menginvasi sirkulasi
vena, amnion, udara, lemak, sumsum tulang, fokus septik, dan lain-lain. Kemudian
material emboli beredar dalam peredaran darah sampai sirkulasi pulmonal dan
tersangkut pada cabangcabang arteri pulmonal, memberikan akibat timbulnya gejala
klinis. Emboli paru dapat terjadi sebagai komplikasi dari beberapa kondisi medik
yang
membuat predisposisi terjadinya trombosis vena.

4
Faktor Predisposisi:
1. Imobilisasi
Imobilisasi sering terjadi terutama pada pasien dengan fraktur tulang ekstremitas
inferior, berbaring lama pasca bedah, paralisis kaki, dan pada penyakit-penyakit
kardiopulmoner. Imobilisasi yang lama menyebabkan hilangnya peristaltik
pembuluh darah vena sehingga menjadi stasis. Umumnya stasis terjadi setelah
berbaring selama tujuh hari. Stasis dapat terjadi pada pasca bedah setelah 48 jam
sampai sepuluh hari kemudian.
2. Umur
Kebanyakan emboli paru-paru terjadi pada usia 50-65 tahun karena elasitisitas
dinding pembuluh darah sudah berkurang.
3. Penyakit jantung
Jika pada jantung hanya terjadi fibrilasi atrium atau disertai dengan payah
jantung, keadaaan tersebut sering menimbulkan emboli paru-paru. Pada infark
jantung akut, emboli paru-paru sering terjadi pada hari ketiga dan sebagian besar
75% terjadi pada minggu pertama.
4. Trauma
Sebanyak 15% penderita trauma mengalami emboli paru-paru, terutama pada
penderita luka bakar dengan area terbakar yang luas, sehingga kerusakannya
sampai ke endotel pembuluh darah.
5. Obesitas
Penderita dengan berat badan 20% lebih dari berat badan ideal dapat dikatakan
beresiko untuk menderita emboli paru-paru, meskipun mekanismenya belum
diketahui dengan pasti.
6. Kehamilan dan nifas
Kejadian emboli paru-paru pada ibu hamil biasa terjadi pada trimester ketiga dan
prevalensinya meningkat saat nifas. Pada kasus ibu hamil dan nifas disebabkan
karena terjadi peningkatan faktor koagulasi dan trombosit.
7. Neoplasma
Emboli paru-paru banyak terjadi pada beberapa neoplasma organ paru-paru,
pankreas, usus, dan traktus urogenital. Terdapat teori yang menyatakan bahwa

5
neoplasma memproduksi zat-zat seperti histon, katepsin dan protease yang
mengaktifkan koagulasi darah.
8. Obat-obatan
Emboli paru-paru sering dialami oleh pasien yang mengkonsumsi obat-obat
kontrasepsi oral. Pada kasus ini obat-obat tersebut dapat mengakibatkan
peningkatan faktor pembekuan dan trombosit serta peningkatan lipoprotein,
plasma trigliserida, dan kolesterol.
9. Penyakit hematologi
Penyakit hematologi sering ditemukan pada keadaan polisitemia dimana
hematokrit darah menigkat yang mengakibatkan aliran darah menjadi lambat.
Dilaporkan juga banyak terjadi pada penyakit anemia bulan sabit. Pada penyakit
anemia tersebut, terbentuk trombus dalam aliran darah mikrosirkulasi yang dapat
menyebabkan infark pada organ paru-paru, ginjal, limpa dan tulang.
10. Penyakit metabolisme
Penyakit metabolisme dilaporkan terjadi pada penyakit sistinuria di mana terdapat
kelainan trombosit yang menyebabkan trombosis. Di samping itu juga terjadi
kerusakan lapisan endotel pembuluh darah yang mempercepat terjadinya
trombosis (Somantri, 2017).
C. Tanda Dan Gejala
1. Tanda-tanda yang muncul pada pasien dengan emboli paru adalah:
a. Dispnea
b. Nyeri dada pleuritik
c. Batuk
d. Hemoptisis
e. Kecemasan
2. Gejala yang muncul pada pasien dengan emboli paru adalah “
a. Takipnea
b. Crackles
c. Takikardia
d. Bunyi jantung S3. Bunyi S3 adalah suara keti ga saat jantung berkontraksi.
Pada orang dewasa merupakan sesuatu yang abnormal dan sering kali

6
mengindikasikan adanya kelainan jantung. Terdengar pada apeks jantung, dan
sering disebut ventricular gallop.
e. Jika tidak ada bunyi S3 bisa jadi ada bunyi S4
f. Keringat berlebih
g. Demam (Somantri, 2017).
D. Menifestasi Klinis
Gejala-gejala embolisme paru tergantung pada ukuran thrombus dan area dari
arteri pulmonal yang tersumbat oleh thrombus. Gejala-gejala mungkin saja tidak
spesifik. Nyeri dada adalah gejala yang paling umum dan biasanya mempunyai
awitan mendadak dan bersifat pleuritik. Kadang dapat subternal dan dapat
menyerupai angina pectoris atau infark miokardium. Dyspnea adalah gejala yang
paling umum kedua yang di ikuti dengan takipnea, takikardi, gugup, batuk, diaforesis,
hemoptisis, dan sinkop. (brunner dan suddarth,2016)
Embolisme massif yang menyumbat bifurkasi arteri pulmonal dapat menyebabkan
dyspnea nyata, nyeri substernal mendadak, nadi cepat dan lemah, syok, sinkop dan
kematian mendadak. (brunner dan suddarth, 20016)
Emboli kecil multiple dapat tersangkut pada arteri pulmonal terminal,
mengakibatkan infark kecil multiple pada paru-paru. Gambaran klinis dapat
menyerupai bronkopneumoni atau gagal jantung. (brunner dan suddarth,2016)
E. Komplikasi
Komplikasi akibat emboli paru adalah:
1. Gagal napas,
2. Gagal jantung kanan akut, dan
3. Hipertensi
F. Patofisiologi
Bekuan darah merupakan kumpulan platelet untuk memperbaiki kerusakan
pembuluh darah, yang membentuk jarin gan dengan sel darah merah dan fibrin. Pada
keadaan normal bekuan terbentuk untuk menghentikan perdarahan akibat luka,
namun kadang-kadang bekuan timbul tanpa ada luka. Bekuan darah yang terbentuk
dalam vena disebut trombus, sedangkan bekuan darah yang lepas dan berpindah ke
bagian tubuh yang lain menimbulkan emboli. Kadang-kadang material lain seperti

7
tumor, lemak, udara dapat masuk ke dalam aliran darah yang menimbulkan emboli
yang menyumbat arteri. Kebanyakan bekuan darah berasal dari lutut hingga tungkai
ke atas, dan pelvis. Bekuan dari vena dalam dapat bermigrasi melalui aliran darah
menuju jantung kanan, kemudian masuk ke dalam arteri paru (Lesmana, 2015).
Menurut Virchow, terdapat tiga factor penting yang memegang peranan timbulnya
trombus (Trias Virchow) yaitu statis vena, kerusakan pembuluh darah, dan
hiperkoaguabilitas.
Kebanyakan emboli paru terjadi akibat lepasnya trombus yang berasal dari
pembuluh vena di ekstremitas inferior. Trombus terbentuk dari beberapa elemen sel
dan fibrin-fibrin yang kadang-kadang berisi protein plasma seperti plasminogen.
Trombus dapat berasal dari pembuluh arteri dan pembuluh vena. Trombus arteri
terjadi karena rusaknya dinding pembuluh arteri (lapisan bagian dalam), sedangkan
trombus vena terjadi karena perlambatan aliran darah dalam vena tanpa adanya
kerusakan dinding pembuluh darah (Muttaqin, 2016).
Trombus vena dapat berasal dari pecahan trombus besar yang kemudian terbawa
oleh aliran vena. Biasanya thrombus vena ini berisi partikel-partikel millimeter saja
sampai sebesar lumen vena. Biasanya trombus semakin bertambah oleh tumpukan
trombus lain yang kecil-kecil. Adanya perlambatan (statis) aliran darah vena semakin
mempercepat terbentuknya thrombus yang lebih besar, sedangkan adanya kerusakan
dinding pembuluh vena (misalnya pada operasi rekonstruksi vena femoralis) jarang
menimbulkan trombus vena (Muttaqin, 2016).
Hiperkoagubilitas juga amat berpengaruh dalam pembentukan thrombus. Disini
juga terjadi aktivasi terhadap faktor koagulan oleh kolagen, endotoksin, dan
prokoagulan dari jaringan malignasi sehingga tromboplastin dilepaskan kedalam
sirkulasi darah dan thrombus mudah terbentuk. Keadaan ini seringditemukan pada
persalinan, operasi, dan trauma pada organ-organ tubuh. Factor lain yang juga
mempercepat terjadinya thrombus adalah hiperagregasi trombosit (Muttaqin, 2008).
Pada embolisme paru terdapat dua keadaan sebagai akibat obstruksi pembuluh
darah, yakni terjadinya vasokonstriksi dan bronkhokonstriksi, sehingga system
perfusi dan ventilasi jaringan paru terganggu. Bronkhokonstriksi setempat yang
terjadi bukan saja akibat berkurangnya aliran darah tetapi juga karena berkurangnya

8
bagian aktif permukaan jaringan paru dan terjadi pula pengeluaran histamine dan 5-
hidroksi isoptamin yang dapat membuat vasokonstriksi dan bronkhokonstriksi
berambah berat. Alveoli diventilasi tetapi tidak mengalami perfusi, sehingga
menghasilkan area ventilasi tak efektif, yang meningkatkan ruang mati pernafasan
Akibatnya terjadi kenaikan dead space dan reaksi kardiovaskuler berupa penurunan
aliran darah ke paru dan meningkatnya tekanan arteri pulmonalis, dilatasi atrium, dan
ventrikel kanan, serta menurunnya curah jantung dan kemudian dapat terjadi infark
paru (Muttaqin, 2008).
Konsekuensi hemodinamik adalah peningkatan tahanan vaskular paru akibat
penurunan ukuran jaring-jaring vaskular pulmonal, mengakibatkan peningkatan
tekanan arteri pulmonal, dan pada akhirnya meningkatkan kerja ventrikel kanan untuk
mempertahankan aliran darah pulmonal. Jika kebutuhan kerja ventrikel kanan
melebihi kapasitasnya akan terjadi gagal ventrikel kanan yang mengarah pada
penurunan tekanan darah sistemik dan terjadinya syok (Muttaqin, 2016).
Kejadian hipoksemia menstimulasi saraf-saraf simpatik yang mengakibatkan
vasokonstriksi di pembuluh-pembuluh darah sistemik, meningkatkan vena balik dan
strok volume. Pada emboli yang masih masif, kardiak output biasanya berkurang
akan tetapi terus-menerus meningkat tekanan pada atrium kanannya. Peningkatan
resistensi pembuluh darah pulmonal menghalangi aliran darah ventrikel kanan
sehingga mengurangi beban dari ventrikel kiri. Sekitar 25% hingga 30% oklusi dari
vaskular oleh emboli berhubungan dengan peningkatan tekanan di arteri pulmonalis.
Dengan keadaan lebih lanjut seperti obstruksi pembuluh darah, hipoksemia yang
memburuk, stimulasi vasokonstriksi dan peningkatan tekanan arteri pulmonalis.
Lebih dari 50% obstruksi yang terdapat pada arteri pulmonalis biasanya muncul
sebelum terdapat peningkatan yang besar dari tekanan arteri pulmonalis. Ketika
obstruksi yang terdapat pada sirkulasi arteri pulmonalis makin membesar, ventrikel
kanan harus menghasilkan tekanan sistolik lebih dari 50 mmHg dan rata-rata tekanan
arteri pulmonalis lebih dari 40 mmHg untuk mempertahankan perfusi pulmonal.
Pasien dengan penyakit kardiopulmonal sering terjadi kerusakan substansial pada
kardiak outputnya dibandingkan dengan orang dengan kondisi tubuh yang normal.

9
G. Pathway

Statis vena, Kerusakan pembuluh darah,


Hiperkoaguabilitas

Pembentukan trombus

Terlepasnya thrombus (sebagian atau


seluruh)

Sumbatan dari bagian dari sirkulasi


pulmonal

Hipoksik vasokonstriksi, penurunan surfaktan, pelepasan


substansi neurohumoral, edema pulmonal, ateleksia

Takipnea, dyspnea, nyeri dada, peningkatan ruang rugi,


ketidakseimbangan V/Q, penurunan PaCO
H. Komplikasi Klinis
Menurut Contran Kuman Rabbins (2016), komplikasi yang terjadi adalah:
1. Asma Bronkhial

10
Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronchial dengan ciri bronkospasme
periodik (kontraksi spasme pada saluran napas). Asma merupakan penyakit
kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor biokimia, endokrin, infeksi,
otonomik, dan psikologi.
2. Efusi Pleura
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya penumpukkan cairan
dalam rongga pleura.
3. Anemia
Anemia adalah penurunan kuantitas atau kualitas sel – sel darah merah dalam
sirkulasi. Anemia dapat disebabkan oleh gangguan pembentukan sel darah merah,
peningkatan kehilangan sel darah merah melalui perdarahan kronik atau
mendadak, atau lisis (destruksi) sel darah merah yang berlebihan.
4. Emfisema
Emfisema adalah keadaan paru yang abnormal, yaitu adanya pelebaran rongga
udara pada asinus yang sifatnya permanen. Pelebaran ini disebabkan karena
adanya kerusakan dinding asinus. Asinus adalah bagian paru yang terletak di
bronkiolus terminalis distal. Ketika membicarakan emfisema, penyakit ini selalu
dikaitkan dengan kebiasaan merokok. Oleh karena itu, beberapa ahli menyamakan
antara emfisema dan bronchitis kronik.
5. Hipertensi Pulmoner
Hipertensi pulmoner primer (HPP) adalah kelainan paru yang jarang, dimana
didapatkan peningkatan tekanan arteri polmonalis jauh diatas normal tanpa
didapatkan penyebab yang jelas. Tekanan arteri polmonal normal pada waktu
istirahat adalah lebih kurang 14 mmhg. Pada HPP tekanan arteri polmonal akan
lebih dari 25 mmhg saat istirahat, dan 30 mmhg saat aktifitas HPP akan
meningkatkan tekanan darah pada cabang – cabang arteri yang lebih kecil di paru,
sehingga meningkatkan tahanan (resistensi) vaskuler dari aliran darah di paru.
Peningkatan tahanan arteri pulmonal ini akan menimbulkan beban pada ventrikel
kanan sehingga harus bekerja lebih kuat untuk memompa darah ke paru.
I. Pengkajian Emboli Paru
1. Airway

11
a. Kaji dan pertahankan jalan napas
b. Lakukan head tilt, chin lift jika perlu
c. Gunakan alat bantu untuk jaln napas jika perlu
d. Pertimbangkan untuk merujuk ke ahli anestesi untuk dilakukan intubasi jika
tidak dapat mempertahankan jalan napas.
2. Breathing
a. Kaji saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oximeter, untuk
mempertahankan saturasi >92%
b. Berikan oksigen dengan aliran tinggi melalui non re-breath mask
c. Pertimbangkan unuk mendapatkan pernapasan dengan menggunakan bag
valve mask ventilation
d. Lakukan pemeriksaan gas darah arteri untuk mengkaji PaO2 dan PaCO2
e. Kaji jumlah pernapasan
f. Lakukan pemeriksan system pernapasan
g. Dengarkan adanya bunyi pleura
h. Lakukan pemeriksaan foto thorak mungkin normal, tetapi lihat untuk
mendapatkan: Bukti adanya wedge shaped shadow (infarct), Atelektaksis
linier, Effuse pleura, Hemidiaphragm meningkat. Jika tanda klinis
menunjukan adanya PE, lakukan ventilation perfusion scan (VQ) atau CT
Pulmonary Angiogram (CTPA) sesuai kebijakan setempat.
3. Circulation
a. Kaji heart rate dan ritme, kemungkinan terdengar suara gallop
b. Kaji peningkatan JVP
c. Catat tekanan darah
d. Pemeriksaan EKG mungkin menunjukan: Sinus tachikardi, Adanya SI, Q3,
T3, Right bundle branch block (RBBB), Right axis deviation (RAD), P
pulmonale
e. Lakukan IV akses
f. Lakukan pemeriksaan darah lengkap
g. Jika ada kemungkina PE berikan heparin

12
h. Jika pasien mengalami thrombolisis, alteplase direkomendasikan sebagai obat
pilihan. Berikan 50 mg IV dengan bolus. Jika pasien tidak berespon terhadap
trombolisis, segera dirujuk ke speialis untuk dilakukan thromboembolectomy.
4. Disability
a. Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU
b. Penurunan kesadaran menunjukan tanda awal pasien masuk kondisi ekstrim
dan membutuhkan pertolongan medis segera dan membutuhkan perawatan di
ICU.
5. Exposure
a. Selalu mengkaji dengan menggunakan test kemungkinan PE
b. Jika pasien stabil lakukan pemeriksaan riwa yat kesehatan dan pemeriksaan
fisik lainnya.
c. Jangan lupa pemeriksaan untuk tanda DVT
J. Pemeriksaan Penunjang
Penilaian kemungkinan adanya emboli paru, berdasarkan klinis, analisis gas
darah, dan foto toraks tetap penting dalam menegakkan diagnosa emboli paru, dan
memberi petunjuk untuk terapi awal. Terapi lanjut berpedoman pada tes yang lebih
spesifik, seperti scan ventilasi-perfusi, walaupun pemeriksaan ini seringkali hanya
memberikan kemungkinan diagnosis bukan menegakkan diagnosis pasti.
1. Radiologi
Hasil rontgen thoraks biasanya normal tetapi dapat menunjukkan adanya
peumokonstriksi, infiltrat, atelektasis, elevasi diafragma pada sisi yang sakit, atau
dilatasi besar arteri pulmoner, dan efusi pleura.
2. Analisa gas darah
EP yang signifikan secara hemodinamis menyebabkan ketidakseimbangan
ventilasi perfusi dan hipoksia. Biasanya pada klien dengan embolisme paru
didapatkan tekanan PO yang rendah, tetapi tidak jarang pula tekanan PO tersebut
lebih dari 80 mmHg. Tekanan PCO tidak begitu penting, tetapi umumnya masih
berada di bawah 40 mmHg. Menurunnya tekanan PO disebabkan gagalnya fungsi
perfusi dan ventilasi, sedangkan menurunnya tekanan PCO adalah karena
kompensasi hiperventilasi sekunder.

13
3. EKG
Sering ditemukan kelainan, namun biasanya nonspesifik dan tidak memiliki nilai
diagnostik, seperti takikardia sinus, kelainan segmen ST dan gelombang T kecil
(terutama pada V1-V3). Pada EP besar atau masif, bisa ditemukan gambaran
EKG klasik akibat peradangan ventrikel kanan akut yang lebih klasik (S1, Q3,
T3) atau AF.
4. Ekokardiografi
Seringkali berhasil mendeteksi trombi besar dalam arteri pulmonalis, atau atrium
atau ventrikel kanan. Biasanya ekokardiografi memperlihatkan dilatasi dan
peradangan jantung kanan (yaitu karena fungsi kontraktil sistolik yang buruk)
5. Scan ventilasi-perfusi
6. Angiografi paru
Merupakan pemeriksaan invasif, mahal, sehingga jarang digunakan. Hanya
bermanfaat bila dibutuhkan penegakkan diagnosis cepat, misalnya ada penyakit
kritis.
7. CT dan MRI
CT dan MRI memungkinkan pencitraan arteri pulmonalis untuk mendeteksi
trombi dengan sensitivitas dan spesifisitas tinggi. Hasil pemindaian perfusi paru
memperlihatkan adanya penurunan atau tidak adanya aliran darah. Hasil
pemindaian ventilasi juga menunjukkan adanya abnormalitas perfusi. Jika
terdapat ketidakcocokan ventilasi-perfusi (V/Q), probabilitas embolisme paru
adalah tinggi (Davey, 2005).
K. Intervensi Dan Monitoring
Embolisme paru masif dapat benar-benar mengancam jiwa klien. Mayoritas klien
yang meninggal akibat embolisme paru masif mengalami penurunan kondisi dalam
dua jam pertama setelah kejadian embolik.
Penatalaksanaan kedaruratan terdiri atas:
1. Oksigen nasal diberikan dengan segera untuk menghilangkan hipoksemia, distress
pernafasan, dan sianosis.
2. Infus intravena dimulai dengan membuat rute untuk obat atau cairan yang akan
diperlukan.

14
3. Dilakukan angiografi paru, tindakan-tindakan hemodinamik, penentuan gas darah
arteri, dan pemindaian perfusi paru. Peningkatan tahanan paru mendadak
meningkatkan kerja ventrikel kanan sehingga dapat menyebabkan gagal jantung
akut sebelah kanan akibat syok kardiogenik.
4. Jika klien menderita akibat embolisme massif dan hipotensif, perlu dipasang
kateter indwelling untuk memantau output urine.
5. Hipotensi diatasi dengan infus lambat dobutamin (mempunyai efek mendilatasi
pembuluh pulmonal dan bronkhi) atau dopamin.
6. Hasil EKG dipantau secara kontinu untuk mengetahui gagal ventrikel kanan yang
dapat terjadi secara mendadak.
7. Glikosida digitalis, diuretic intravena, dan agen antidirtimia diberikan bila
dibutuhkan.
8. Darah diambil untuk pemeriksaan elektrolit serum, nitrogen urea darah (BUN),
hitung darah lengkap, dan hematokrit.
9. Morfin intravena dosis kecil diberikan untuk menghilangkan kecemasan klien,
menyingkirkan ketidaknyama di dada, untuk memperbaiki toleransi selang
endotrakhea, dan memudahkan adaptasi terhadap ventilator mekanik. (Asih,
2003).
L. Penatalaksanaan Medis
1. Tirah baring
2. Terapi oksigen
Terapi oksigen sangat penting untung pasien dengan emboli paru. Pada keadaan
hipoksemia berat mungkin dilakukan pemberian ventilator mekanis dengan
pemeriksaan analisis gas darah secara ketat. Pada beberapa kasus lain, oksigen
dapat diberikan melalui nasal kanula, kateter, atau masker. Pulse oximetry
mungkin berguna dalam memonitor saturasi oksigen arteri, yang mana dapat
menunjukkan tingkat dari hipoksemia.
3. Analgesik
4. Farmakoterapi:
a. Agen trombolitik seperti steptokinase (Kabikinase, Streptase), alteplase
(Activase t-PA), atau urokinase (Abbokinase)

15
b. Antikoagulan seperti heparin, dikumoral atau warfarin natrium.
5. Pembedahan
Embolektomi paru mungkin didindikasikan dalam kondisi jika klien mengalami
hipotensi persisten, syok, dan gawat napas, jika tekanan arteri pulmonal sangat
tinggi, dan jika angiogram menunjukkan obstruksi bagian besar pembuluh darah
paru. Embolektomi pulmonal membutuhkan torakotomi dengan teknik bypass
jantung paru (Muttaqin, 2017).

16
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN EMBOLI PARU
A. Ilustrasi Kasus
Pasien pria 38 tahun suku jawa, agama islam, datang ke UGD RS Mandaya
Karawang, 31 Agustus 2017, jam 17.45 dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas
dikeluhkan timbul mendadak sejak satu hari sebelum MRS, dan tidak membaik
dengan perubahan posisi. Pasien juga mengeluh batuk sejak 4 hari sebelum MRS
dengan dahak berwarna keputihan, pasien juga mengeluhkan nyeri menelan sejak 1
minggu yang menyebabkan kehilangan nafsu makan. Pasien juga merasa lemah sejak
satu minggu sebelum MRS, keluhan ini menyebabkan pasien hanya tiduran dan tidak
dapat melakukan aktivitas apapun.
Pasien dengan riwayat MRS di RS Mandaya Karawang pada bulan Juni 2017
dengan diagnosis SLE dengan terapi terakhir methylprednisolon 2x16 mg,
Azatioprine 2x50 mg , Bisoprolol 1x2,5 mg, dan Cal-95 2x1 tab, Riwayat hipertensi,
DM, sakit jantung disangkal. Pada riwayat penyakit SLE pada keluarga tidak
didapatkan. Pekerjaan pasien sebagai seorang wiraswasta.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kesan sakit berat, kesadaran kompos mentis,
tekanan darah 100/70 mmHg, pernafasan 40x/menit, temperatur 36,4°C, frekuensi
nadi 136 x/m kuat. Status gizi kurang (berat badan 50 kg, tinggi badan 160 cm) Pada
pemeriksaan fisik mata didapatkan mata tidak anemis, tidak didapatkan pembesaran
kelenjar pada leher dengan JVP PR± 3 cm H2O. Pada pemeriksaan fisik toraks,
jantung tidak ditemukan kelainan, pada paru ditemukan suara nafas vesikuler, rhonki
pada ICS IV- V dextra, tidak didapatkan whezing. Pada pemeriksaan fisik abdomen
tidak ditemukan distensi, massa, nyeri tekan. Hepar dan lien tidak ada pembesaran,
dengan bising usus normal. Ekstremitas atas dan bawah dalam batas normal dan
ekstremitas masih hangat.

17
B. Pengkajian
1. Riwayat adanya faktor risiko seperti kondisi-kondisi yang mengarah kepada:
a. Hiperkoagulabilitas darah, contoh, polisitemia, dehidrasi, kanker, penggunaan
kontrasepsi oral dan anemia sel sabit.
b. Cedera pada endotelium veba, contoh, fraktur tulang panjang, penyalahgunaan
obat IV, bedah ortopedik, pungsi vena kaki, pemasangan CVP atau kateter
intraatrial (kateter inu merupakan sumber primer terjadinya emboli udara) dan
operasi yang baru dilaksanakan.
c. Aliran vena statis, contoh, imobilisasi, luka bakar luas, varises vena,
tromboplebitis vena dalam gagal jantung, fibrilasi atrium, dan kegemukan.
2. Pemeriksaan fisik berfokus pada pengkajian sistem pernafasan (Apendiks)
a. Sistem kardiovaskuler (Apendiks G) dapat menujukkan:
1) Nyeri dada yang berat pada saat inspirasi, kulit yang lembab hangat atau
lembab dingin tergantung derajat dari hipoksemia.
2) Terjadi sesak nafas yang tiba-tiba disertai dengan takipnea.
3) Takikardi (frekuensi nadi lebih dari 100 kali / menit).
4) Demam ringan
5) Tekanan darah turun lebih dari normal
6) Rales, ronki pada kasus emboli paru yang luas
7) Batuk produktif disertai bercak darah, atau sputum kemerahan atau batuk
tidak produktif
8) Sianosis (jika terjadi penyumbatan total pada arteri pulmonal)
9) Distensi vena jugularis pada saat posisi duduk
10) Petekie di dada, aksila atau di konjungtuva (akibat emboli lemak)
11) Selain itu pasien sering tampak pucat, diaforesis, ketakutan, gelisah, peka,
atau kekacauan mental
b. Pemeriksaan diagnostic
1) JDL menunjukkan lekositosis
2) Gas darah arteri (GDA) menunjukkan hipoksemia (PaO 2 kurang dari 80
mmHg) dan alkalosis respiratori (PaO2 kurang dari 35 mmHg dan pH

18
lebih tinggi dari 7,45). Alkalosis respiratori dapat disebabkan oleh
hiperventilasi.
3) Waktu protrombin (PT) dan waktu tromboplastin parsial (PTT), mungkin
rendah jika terjadi pembekuan darah dan mungkin normal jika disebabkan
oleh emboli udara atau emboli lemak.
4) Enzim-enzim jantung (CPK, LDH, AST) harus dilaksanakan untuk
mencegah terjadinya infark miokard.
5) Skaning paru-paru (skaning ventilasi dan perfusi) untuk mengetahui area
yang mengalami hipoperfusi.
6) Angiogram paru-paru memberikan gambaran yang paling tajam dari
kejadian emboli paru. Walaupun dilakukannya tidak rutin, angiogram
pulmonal dapat dilaksanakan jika pemeriksaan radiologi lainnya tidak
dapat membuktikan suatu kesimpukan dan bila direncanakan suatu
tindakan di vena kava. Tindakan ini dilaksanakan sama seperti
melaksanakan kateter jantung kanan.
c. Kaji respons emosional terhadap kondisi tersebut.
C. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi trakeo bronchial oleh
bekuan darah, sekret banyak, perdarahan aktif.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah ke
alveoli atau sebagian besar paru-paru
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penghentian aliran darah
arteri atau vena
D. Intervensi

No Diagnose NOC Intervensi Rasional


. Keperawatan
1. Pola nafas Setelah 1. Kaji frekuensi, 1. Kecepatan biasanya
tidak efektif dilakukan kedalaman meningkat. Dipsneu
b.d obstruksi tindakan pernafasan dan yang terjadi
trakeo keperawatan ekspansi dada. peningkatan kerja
bronchial selama...x24 2. Auskultasi nafas (pada awal atau

19
oleh bekuan jam, pola nafas suara nafas dan hanya tanda EP
darah, secret tidak efektif catat adanya subakut). Kedalaman
banyak, dapat teratasi bunyi nafas pernafasan bervariasi
perdarahan dengan kriteria adventisius tergantung derajat
aktif. hasil : seperti, krekels, gagal nafas. Ekspansi
a. mengi, gesekan dada terbatas yang
Mendemonstra pleural. berhubungan dengan
sika batuk 3. Posisikan atelektasis dan atau
efektif dan pasien untuk nyeri dada pleuritik.
suara nafas memaksimalkan 2. Bunyi nafas
yang bersih, ventilasi menurun atau tidak
tidak ada ada bila jalan nafas
sianosis dan obstruksi sekunder
dipsneu terhadap perdarahan,
b. bekuan atau kolaps
Menunjukkan jalan nafas kecil
jalan nafas (atelektRonki dan
yang paten mengi menyertai
(frekuensi obstruksi jalan nafas
pernafasan atau kegagalan
dalam batass pernafasan.
normal dan 3. Duduk tinggi
tidak ada suara memungkinkan
nafas abnormal ekspansi paru dan
c. TTV dalam memudahkan
batas normal pernafasan.
Pengubahan
posisi dan ambulasi
meningkatkan
pengisian
udara segmen paru

20
berbeda sehingga
memperbaiki difusi
gas.asis).

2. Kerusakan Setelah 1. Catat frekuensi 1. Takipneu dan


pertukaran dilakukan dan kedalaman dispneu menyertai
gas tindakan pernapasan, obsruksi paru.
berhubungan keperawatan penggunaan 2. Area yang tidak
dengan selama...x24 obat bantu, terventilasai dapat
perubahan jam, kerusakan nafas bibir. diidentifikasi
aliran darah pertukaran gas 2. Auskultasi dengan tidak
ke alveoli dapat teratasi suara nafas, adnaya bunyi
atau dengan kriteria catat adanya nafas. Krekels
sebagian hasil : penurunan terjadi pada
besar paru- a. Menunjukk atau tidakm jaringan yang terisi
paru an adanya bunyi cairan atau dapat
peningkata nafas, dan menunjukkan
n ventilasi adanya bunyi dekompensasi
dan tambahan jantung
oksigenasi 3. Observasi 3. enunjukkan
yang sianosis hipoksemia
adekuat khususnya sistemik.
b. AGD pada 4. Jalan nafas yang
dalam membaran kolap menurunkan
batas mukosa jumlah alveoli
normal 4. Lakukan yang berfungsi,
c. Tanda- tindakan untuk sehingga akan
tanda vital memperbaiki mempengaruhi
dalam atau pertukaran gas.
rentang mempertahank
normal. an jalan nafas,

21
misalnya
dengan batuk
efektif atau
sucsion
3. Gangguan Setelah 1. Auskultasi 1. Takikardi sebagai
perfusi dilakukan suara jantung akibat hipoksemia
jaringan b.d tindakan dan paru. dan kompensasi
penghentian keperawatan 2. Observasi upaya peningkatan
aliran darah selama...x24 warna dan aliran darah dan
arteri atau jam, suhu kulit atau perfusi jaringan.
vena ketidakefektifa suhu kulit atau 2. Kulit pucat atau
n perfusi membran sianosis, kuku,
jaringan kardio mukosa. membran bibir
pulmonal 3. Evaluasi atau lidah, atau
teratasi dengan ekstremitas dingin, kulit burik
kriteria hasil: untuk menunjukka
a. Nadi adanya/tidak vasokonstriksi
perifer ada atau perifer (syok) dan
kuat dan kulitas nadi. atau gangguan
simetris Catat nyeri aliran darah
b. Denyut tekan betis sistemik.
jantung, atau 3. EP sering
AGDdala pembengkakan dicetuskan oleh
m batas . trombus yang naik
normal dari vena profunda
c. Nyeri (pelvis atas kaki).
dada tidak
ada

E. Implementasi
1. Dx 1

22
 Mengkaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada
 Mengauskultasikan suara nafas dan catat adanya bunyi nafas adventisius
seperti, krekels, mengi, gesekan pleural.
 Memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2. Dx 2
 Mencatat frekuensi dan kedalaman pernapasan, penggunaan obat bantu,
nafas bibir
 Mengauskultasikan suara nafas, catat adanya penurunan atau tidak adanya
bunyi nafas, dan adanya bunyi tambahan
 Mengobservasi sianosis khususnya pada membaran mukosa
 Melakukan tindakan untuk memperbaiki atau mempertahankan jalan nafas,
misalnya dengan batuk efektif atau sucsion.
3. Dx 3
 Mengauskultasikan suara jantung dan paru.
 Mengobservasikan warna dan suhu kulit atau suhu kulit atau membran
mukosa.
 Mengevaluasikan ekstremitas untuk adanya/tidak ada atau kulitas nadi.
Catat nyeri tekan betis atau pembengkakan.

F. Evaluasi
1. Pasien menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman
dalam rentang normal dan paru bersih.
2. Pasien menunjukkan ventilasi yang adekuat atau oksigenasi dengan GDA
dalam rentang normal.
3. Pasien menunjukkan peningkatan perfusi yang sesuai secara individual, irama
jantung dan nadi perifer dalam batas normal, tidak adanya sianosis, kulit
hangat atau kering, haluaran urin dan berat jenis dalam batas normal

23
BAB IV

PEMBAHASAN

Emboli paru diklasifikasikan sebagai akut atau kronik. Pasien dengan emboli paru
akut biasanya mendapatkan gejala dan tanda segera setelah terjadinya obstruksi pada
pembuluh darah paru. Sebaliknya pasien dengan emboli paru kronik cenderung akan
mengalami sesak nafas secara perlahan- lahan dan semakin memberat seiring dengan
bertambahnya waktu oleh karena hipertensi pulmonal.

Pada kebanyakan kasus, emboli paru akut diduga jika didapatkan gejala
mendadak seperti sesak nafas, nyeri dada, sinkop atau presinkop, dan/atau hemoptisis.
Hipotensi arterial atau shock tidak jarang terjadi, bila ada merupakan gejala klinis
penting penanda emboli paru sentral dan adanya hemodinamik yang tidak stabil. Emboli
paru juga bisa sama sekali tanpa gejala, dan hanya dibuktikan pada saat autopsi. Sakit
dada merupakan gejala emboli paru yang sering disebabkan oleh iritasi pleura oleh
emboli di distal yang menyebabkan infark paru.

Sedangkan emboli pada lokasi sentral, gejala sakit dada menyerupai angina yang
menggambarkan iskemik dari ventrikel kanan. Kondisi ini harus dibedakan dengan
sindrom koroner akut dan diseksi aorta. Pada pasien dengan penyakit jantung dan paru
kronik sebelumnya mungkin hanya didapatkan gejala sesak nafas yang bertambah berat.

Pada pasien ini didapatkan sesak nafas yang dikeluhkan timbul mendadak sejak
satu hari sebelum MRS, dan tidak membaik dengan perubahan posisi dan batuk sejak 4
hari sebelum MRS.

Ditinjau dari segi patogenesis, setelah lepas dari asalnya, emboli mengalir melalui
sistem vena sistemik menuju atrium dan ventrikel kanan jantung menuju arteri
pulmonalis. Efek fisiologis klinis dari emboli paru sangat bervariasi, dari asimtomatik
hingga menimbulkan kematian mendadak. Faktor utama yang menentukan luaran dari
penyakit ini adalah ukuran dan lokasi emboli, adanya komorbid penyakit

24
kardiopulmoner, pelepasan mediator sekunder akibat respon hipoksik vaskular, dan
kecepatan resolusi emboli. Emboli paru akut yang masif akan menyebabkan gangguan
sirkulasi dan pertukaran gas.

Pemanjangan kontraksi ventrikrel kanan akan menyebabkan septum interventrikel


menyembul ke arah kiri yang akan menyebabkan desinkronisasi antara kedua ventrikel,
sehingga menyebabkan penurunan aliran ke jantung kiri dan akhirnya penurunan curah
jantung sehingga terjadi hipotensi sistemik dan gangguan hemodinamik. Gagal ventrikel
kanan oleh karena tekanan jantung yang berlebihan (pressure overload) ditenggarai
sebagai penyebab kematian utama pada emboli paru.

Pada pasien emboli paru akut dengan hemodinamik tidak stabil pemeriksaan
echokardiography adalah yang terbaik untuk menilai penyebab hipotensi, dengan
memberikan informasi yang cepat mengenai ukuran dan fingsi ventrikel kanan, dan
menyingkirkan diagnosis lainnya selain itu echokardiografi dapat dilakukan bedside,
tidak memerlukan persiapan apapun. Pada kasus emboli paru dapat ditemukan
pergerakan dinding segmental yang abnormal yang sering disebut sebagai tanda
McConnel, yaitu hipokinesis pada dinding ventrikel disertai dengan pergerakan apeks
ventrikel kanan yang normal. Dilatasi dari ventrikel kanan merupakan tanda tidak
langsung dari beban ventrikel kanan yang berlebihan. Hasil echokardiografi cepat
tersedia sehingga tindakan terapi reperfusi dapat segera diberikan.

Pada kondisi emboli paru akut tatalaksana untuk menyokong hemodinamik dan
pernafasan adalah yang utama. Vasopressor seringkali dibutuhkan seiringan dengan atau
menunggu terapi reperfusi, baik secara farmakologik, surgikal atau interventional.
Dalam hal ini contohnya adalah norepineprine akan memperbaiki fungsi dari RV dengan
efek inotropiknya dan memperbaiki perfusPada pasien dengan PE akut dengan
hemodinamik yang stabil, terapi reperfusi belum ada tempatnya. Menurut guideline ESC
2014, telah dikembangkan stratifikasi resiko-kematian dini (30 hari pertama) pada
pasien dengan PE akut, menggunakan kombinasi parameter yang adai koroner RV.

Pada pasien PE dengan kontraindikasi terapi trombolitik, terdapat beberapa opsi


tindakan intervensi dengan penggunaan kateter perkutaneus yaitu thrombus
fragmentation with pigtail atau balloon catheter, rheolytic thrombectomy, suction

25
thrombectomy, rotational thrombectomy, yang bisa dikerjakan ditempat yang telah
tersedia fasilitas dan tenaga ahlinya

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Emboli paru merupakan suatu keadaan emergensi yang sering tidak terdiagnosa
dan menyebabkan kematian sebagai akibat migrasi satu atau beberapa gumpalan darah
dari vena sistemik menuju paru. Di Indonesia berdasarkan penelitian di Hongkong,
penyakit ini mencapai 16,64 kasus untuk setiap 100.000 penduduk. Sekitar 10% penderita
emboli paru mengalami kematian jaringan paru-paru, yang disebut infark paru. Jika tubuh
bisa memecah gumpalan tersebut, kerusakan dapat diminimalkan tapi gumpalan yang
besar membutuhkan waktu lebih lama untuk hancur sehingga lebih besar kerusakan yang
ditimbulkan dan gumpalan yang besar bisa menyebabkan kematian mendadak.
B. Saran
1. Agar terhindar dari penyakit emboli paru maka kita harus menjaga pola hidup sehat
seperti olahraga teratur,memngonsumsi makanan yang sehat.
2. Jangan merokok,agar paru tetap sehat.

26
DAFTAR PUSTAKA

Asih, Niluh Gede Yasmin dan Christantie Effendy. 2016. Keperawatan Medikal

Bedah: Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: EGC.

Brunner & Suddarth. 2017. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Chandramin. 2016. Tromboemboli Paru. Jurnal Kardiologi Indonesia Vol XXI No 2 April

Juni.

Davey, Patrick. 2019. Medicine at a Glance. Jakarta: Erlangga.

Doengoes, Marylinn, dkk. 2017. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

Engram, Barbara. 2018. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Hudak, Caroly. 2019. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik Volume 1. Jakarta: EGC.

27

Anda mungkin juga menyukai