Anda di halaman 1dari 24

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan


Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
REFERAT
EMBOLI PARU

Oleh:
Dinda Asari Zulkarnain
(70700121008)

Supervisor:
dr. Sulaemang, Sp. An,. KIC

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul


Emboli Paru
Telah memenuhi persyaratan dan telah disetujui
Pada Tanggal .........................
Oleh:

Supervisor

dr. Sulaemang, Sp.An., KIC

ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan referat dengan
topik “Emboli Paru”. Salam dan Shalawat semoga senantiasa tercurahkan kepada
baginda Rasulullah SAW. yang telah menjadi rahmatan lil ‘alamiin. Referat ini
penulis susun sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik pada Departemen
Anestesiologi Program Profesi Dokter UIN Alauddin Makassar.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih, rasa hormat dan penghargaan atas
bimbingan dan arahan selama penyusunan referat ini kepada dr. Sulaemang, Sp.An.,
KIC selaku supervisor selaku pembimbing, serta kepada semua pihak yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun agar
referat ini kelak bisa bermanfaat bagi semua pihak, khususnya dalam bidang
Anestesiologi. Semoga Allah SWT. senantiasa melindungi kita semua. Aamiin Yaa
Rabbal ‘Alamiin.

Makassar, 25 Juli 2023

Dinda Asari Zulkarnain

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................iii
DAFTAR ISI.................................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................2
A. Definisi.........................................................................................2
B. Epidemiologi................................................................................2
C. Etiologi.........................................................................................3
D. Patofisiologi.................................................................................3
E. Manifestasi klinis.........................................................................5
F. Diagnosis.....................................................................................7
G. Penatalaksanaan.........................................................................11
H. Prognosis....................................................................................15
BAB 3 PENUTUP........................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................13

iv
BAB 1
PENDAHULUAN
Emboli paru merupakan salah satu kegawatdaruratan pada bidang
kardiovaskular yang cukup sering terjadi. Emboli paru merupakan peristiwa infark
jaringan paru akibat tersumbatnya pembuluh darah arteri pulmonalis akibat peristiwa
emboli. Oklusi pada arteri pulmonal dapat menimbulkan tanda gejala yang beragam,
dari keadaan yang asimptomatik hingga keadaan yang mengancam nyawa, seperti
hipotensi, shok kardiogenik, hingga henti jantung tiba- tiba1.
Berdasarkan penelitian, insidensi terjadinya emboli paru pada populasi adalah
23 per 100,000 penduduk dengan angka kematian 15% yang menunjukkan bahwa
penyakit ini masih merupakan sebuah penyebab emergensi kardiovaskular. Beberapa
penyebab utama dari sebuah kejadian emboli paru merupakan tromboemboli vena,
tetapi penyebab lain seperti emboli udara, emboli lemak, cairan amnion, fragmen
tumor, dan sepsis masih mungkin terjadi. Bergantung dari gejala klinisnya, terapi
awal bertujuan utama untuk mengembalikan aliran darah pada daerah yang
mengalami oklusi atau untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih buruk.
Pencegahan sekunder memiliki peran sama pentingnya dengan terapi awal, sehingga
angka rekurensi emboli paru dapat menurun2.
Emboli paru memperlihatkan spektrum klinis yang luas, mulai dari risiko
rendah (tekanan darah, biomarker normal dan tanpa disfungsi ventrikel kanan) hingga
mengancam nyawa (takikardi, takipnea, hipotensi, dan penurunan saturasi oksigen).
Modalitaspemeriksaansederhanasepertifoto toraks, elektrokardiogram (EKG), analisis
gas darah tidak cukup spesifik dan sensitif untuk menegakkan diagnosis emboli paru.
Namun demikian, foto toraks dapat memperlihatkan kelainan berupa oligemia fokal
(tanda Westermark) yang mengindikasikan oklusi emboli sentral, kepadatan
berbentuk baji di atas diafragma (Hampton Hump) yang mengindikasikan infark
pulmonal, pembesaran arteri pulmonal desenden kanan, naiknya diafragma, serta
menyingkirkan kondisi yang menyerupai emboli paru seperti edema paru, efusi
pleura, pneumonia dan pneumotoraks2–4.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Emboli paru dapat terjadi karena substansi yang tidak larut masuk ke
dalam vena sistemik, terbawa aliran darah dan menyumbat di pembuluh darah
pulmoner.  Secara terminologi, emboli paru atau lebih tepatnya tromboemboli
paru merupakan suatu trombus atau multipel trombus dari sirkulasi sistemik,
masuk ke sirkulasi paru sehingga menyumbat satu atau lebih arteri pulmonalis
di bronkus5.

B. Epidemiologi
Tromboemboli vena adalah beban penyakit utama di seluruh dunia
dengan 10 juta kasus per tahun dan morbiditas dan mortalitas substansial
terkait. Insiden sebenarnya dari emboli paru tidak diketahui, tetapi di Amerika
Serikat, diperkirakan bahwa hampir sepertiga dari pasien rawat inap berisiko
mengembangkan tromboemboli vena dan hingga 600.000 kasus tromboemboli
vena didiagnosis per tahun dengan 100.000 kematian terkait dengan penyakit
ini. Berdasarkan tinjauan data rawat inap nasional, a. Meskipun insiden emboli
paru meningkat, terjadi penurunan insiden emboli paru masif dan kematian di
rumah sakit selama periode waktu yang sama. Komorbiditas yang terkait
dengan emboli paru juga meningkat (penuaan populasi dan komorbiditas
medis), namun peningkatan insiden dalam menghadapi penurunan angka
kematian kemungkinan mencerminkan peningkatan penggunaan CT angiografi
yang lebih sensitif untuk diagnosis daripada perubahan prevalensi yang
sebenarnya. Antara 5 dan 10% kematian di rumah sakit adalah akibat langsung
dari emboli paru. Di Amerika Serikat, emboli paru bertanggung jawab atas
100.000 kematian per tahun, meskipun kematian akibat emboli paru yang
didiagnosis telah menurun6.

2
C. Etiologi
Penyebab emboli paru belum diketahui pasti, tetapi hasil penelitian dari
autopsi paru pasien yang meninggal karena penyakit ini menunjukkan jelas
bahwa penyebab penyakit ini adalah trombus pada pembuluh darah. Umumnya
tromboemboli berasal dari lepasnya trombus di pembuluhdarah vena di tungkai
bawah atau dari jantung kanan. Sumber emboli paru yang lain misalnya tumor
yang telah menginvasi sirkulasi vena, amnion, udara, lemak, sumsum tulang,
fokus septik, dan lain-lain. Kemudian material emboli beredar dalam peredaran
darah sampai sirkulasi pulmonal dan tersangkut pada cabang-cabang arteri
pulmonal, memberikan akibat timbulnya gejala klinis7.

D. Patofisiologi
Pada tahun 1856, Rudolf Virchow membuat sebuah postulat yang
menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
keadaan koagulasi intravaskuler, yaitu6:
 Trauma lokal pada dinding pembuluh darah, sehingga terjadi kerusakan
endotel vaskular. Biasanya disebabkan oleh thromboflebitis
sebelumnya, pada trauma, ataupun tindakan pembedahan.
 Keadaan hiperkoagulobilitas darah yang disebabkan oleh berbagai
pengobatan, seperti: kontrasepsi oral, terapi hormon, terapi steroid,
keganasan, sindrom nefrotik, thrombositopenia akibat penggunaan obat
heparin, defisiensi protein C, protein S, antithrombin III, dan keadaan
DIC.
 Keadaan stasis vena, biasanya disebabkan karena immobilisasi atau
tirah baring yang berkepanjangan, katup vena yang tidak kompeten
akibat proses thromboemboli sebelumnya, efek samping anestesi, gagal
jantung kongestif, dan cor pulmonale.

3
Emboli akan meningkatkan resistensi dan tekanan pada arteri
pulmonalis yang kemudian akan melepaskan senyawa-senyawa
vasokonstriktor, agregasi platelet, dan sel mast. Keadaan vasokonstriksi arteri
pulmonal dan hipoksemia kemudian akan menimbulkan hipertensi arteri
pulmonal, sehingga tekanan ventrikel kanan meningkat. Selanjutnya, dilatasi
dan disfungsi ventrikel kanan akan menyebabkan penekanan septum
intraventrikuler ke sisi kiri dan regurgitasi katup trikuspidalis. Hal ini dapat
mengganggu proses pengisian ventrikel. Dengan berkurangnya pengisian
ventrikel kiri, maka curah jantung sistemik akan menurun dan mengurangi
perfusi koroner. Infard miokard terjadi sebagai akibat dari penurunan aliran
koroner yang dapat menyebabkan shok kardiogenik. Apabila tidak ditangani
dengan cepat, maka dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi dan kematian.
Pada pasien yang berhasil melewati episode emboli akut, terjadi aktivasi pada
sistem simpatetik. Stimulasi inotropik dan kronotropik meningkatkan tekanan
arteri pulmonal yang dapat membantu untuk mengembalikan aliran darah
pulmonal dan memperbaiki pengisian ventrikel kiri, sehingga tekanan darah
sistemik menjadi stabil kembali. Tetapi kompensasi inotropik dan kronotropik
ini tidak mampu untuk mempertahankan fungsi ventrikel kanan untuk jangka
waktu panjang. Sehingga akan terjadi peningkatan kebutuhan oksigen pada otot
miokardial ventrikel kanan disertai dengan penurunan gradien perfusi koroner
ventrikel kanan. Akibatnya, iskemia dan kegagalan fungsi ventrikel kanan
terjadi1,8,9.
Jika tidak ada penyakit kardioemboli sebelumnya, obstruksi kurang dari
20% hanya akan menyebabkan gangguan hemodinamik minimal dengan gejala
klinis tidak spesifik. Ketika obstruksi mencapai 30-40%, maka akan terjadi
kenaikan tekanan ventrikel kanan, tetapi curah jantung sistemik masih dapat
dipertahankan dengan adanya kompensasi inotropik dan kronotropik yang
meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas miokard. Ketika obstruksi

4
melebihi 50-60% dari arteri pulmonalis, maka kompensasi akan mulai
mengalami kegagalan. Curah jantung berkurang dan tekanan atrium kanan akan
meningkat sehingga menimbulkan kegagalan hemodinamik yang nyata.
Sedangkan insufisiensi pernapasan pada emboli paru disebabkan akibat
rendahnya curah jantung sehingga terjadi desaturasi darah vena yang memasuki
peredaran darah pulmonal. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi akan
menimbulkan gejala sesak napas dan hipoksemia. Pada emboli paru yang
letaknya lebih ke distal, gangguan hemodinamik mungkin tidak ditemukan.
Tetapi gejala hemoptisis, pleuritis, dan efusi pleura ringan dapat ditemukan
akibat pecahnya pembuluh darah di sekitar alveolar1,8,9.

E. Manifestasi Klinis
Gejala yang sering dijumpai adalah sulit bernafas, nyeri dada yang
memburuk saat bernafas, batuk dan hemoptisis, dan palpitasi. Tanda klinis yang
ditemukan berupa hipoksia, stenosis, pleural friction rub, takipnea, dan
takikardia. Dispnoe merupakan gejala yang paling sering muncul, dan takipnue
adalah tanda emboli paru yang paling khas. Pada umumnya dispneu berat,
sinkop, atau sianosis merupakan tanda utama emboli paru yang mengancam
nyawa. Nyeri pleuritik menunjukkan bahwa emboli paru kecil dan terletak di
arteri pulmonalis distal, berdekatan dengan garis pleura10.
EP yang tidak diobati dapat menimbulkan kolaps, kegagalan
kerdiovaskuler, dan mati mendadak. Emboli paru perlu dicurigai pada penderita
hipotensi jika11:
 Adanya bukti thrombosis vena atau faktor predisposisi emboli paru
 Adanya bukti klinis akut kor pulmonale (gagal ventrikel kanan akut)
seperti distensi vena leher, gallop, pulsasi jantung kanan di dinding
dada, takikardia, atau takipneu

5
 Adanya temuan ekokardiografis berupa gagal jantung kanan dengan
hipokinesis atau bukti EKG yang menunjukkan manifestasi akut kor
pulmonal., iskemia ventrikel kanan

Berikut adalah 6 sindroma klinis emboli paru akut dengan gambarannya


menurut Goldhaber12:
 Emboli paru massif
Presentasi klinis: sesak nafas, sinkop dan sianosis dengan hipotensi
arteri sistemik persisten; khas >50 % obstruksi pada vaskular paru.
Dapat dijumpai disfungsi ventrikel kanan.
 Emboli paru sedang sampai besar (submasif)
Presentasi Klinis: Tekanan darah sistemik masih normal, gambaran khas
>30 persen defek pada perfungsi scan paru dengan tanda-tanda difsungsi
ventrikel kanan
 Emboli Paru Kecil sampai sedang
Presentasi Klinis: Tekanan darah arteri sistemik yang normal tanpa
disertasi tanda-tanda disfungsi ventrikel kanan
 Infark Paru (Pulmonary Infarction)
Presentasi Klinis: nyeri pleuritik, hemoptisis, pleural friction rub, atau
bukti adanya konsolidasi paru, khasnya berupa emboli perifer yang
kecil, jarang disertai disfungsi ventrikel kanan
 Emboli Paru Paradoksikal (Paradoxical Embolism)
Presentasi Klinis: kejadian emboli sistemik yang tiba-tiba seperti stroke,
jarang disertai disfungsi ventrikel kanan.
 Emboli Nontrombus (Nonthrombotic Embolism)
Penyebab yang tersering berupa udara, lemak, fragmen tumor, atau
cairan amnion. Disfungsi ventrikel kanan jarang menyertai keadaan ini.

6
F. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis emboli paru, perlu ditunjang dengan
anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan imaging.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dapat menegakkan diagnosis emboli paru,
tetapi dapat dipergunakan untuk menilai kemajuan terapi dan menilai
kemungkinan diagnosis lainnya. Pada emboli paru dapat ditemukan leukositosis
lebih dari 20.000/mm3, hipoksemia akibat shunting dan penurunan ventilasi,
dan penurunan tekanan parsial CO2 kurang dari 35 mmHg akibat mekanisme
hiperventilasi. Selain itu dapat ditemukan peningkatan kadar plasma D-dimer
akibat proses fibrolisis endogen yang dilepas di sirkulasi saat ditemukan adanya
bekuan. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas yang tinggi mencapai 94% tetapi
spesifitias yang rendah (45%) karena D-dimer juga dilepaskan pada keadaan
lain seperti kanker, inflamasi, infeksi, nekrosis, dan diseksi aorta. Apabila kadar
D-dimer normal, maka diagnosis emboli paru dapat disingkirkan1,13,14.
Pada pemeriksaan foto thoraks seringkali ditemukan adanya gambaran
efusi pleura ataupun atelektasis yang dapat muncul bersamaan dengan insidensi
penyakit ini. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain pada paru. Pada pemeriksaan elektokardiogram
(EKG) kurang spesifik apabila dilakukan pada penderita emboli paru ringan
hingga sedang, karena dapat memberikan gambaran normal. Tetapi pada
penderita emboli paru berat, dapat ditemukan gambaran15:
 Gelombang Q yang sempit diikuti dengan inversi gelombang T pada
lead III disertai dengan gelombang S pada lead I yang menandakan
perubahan posisi jantung akibat dilatasi atrium dan ventrikel kanan.
Dapat ditemukan juga deviasi axis ke kanan
 P pulmonal
 Right bundle branch block yang baru

7
 Right ventricular strain dengan inversi gelombang T pada lead V1
hingga V4
 Aritmia supraventrikuler atau sinus takikardia

Gambar 1. Contoh gambaran elektrokardiografi kasus emboli paru1

Pembesaran arteri pulmonal yang semakin bertambah pada serial foto


toraks adalah tanda spesifik emboli paru. Pada foto thoraks pasien dengan
emboli paru dapat ditemukan gambaran normal sebanyak 14 %, dan dengan
kelainan laian yaitu atelektasis 68%, efusi pleura 48%, gambaran opak basal
paru (Hampton’s Hump sign) 35%, elevasi diafragma 24%, pelebaran arteri
pulmonal 15%, westermark’s sign 7%, cardiomegaly 7% dan edema paru 5 %.
Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menyingkirkan keadaan lainya
khususnya pneumothorax16.

8
Gambar 2. Hampton’s Hump sign

Pemeriksaan ventilation-perfusion scintigraphy (V/Q scan) juga dapat


dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis emboli paru. Pemeriksaan ini
terbukti aman dan cepat walaupun dapat menimbulkan reaksi alergi. Prinsip
dasar pemeriksaan ini adalah dengan menginjeksikan technetium (Tc)-99 m
yang diberikan label dengan partikel albumin makroagregasi, sehingga apabila
terdapat oklusipada cabang arteri pulmonal, maka pembuluh darah kapiler tidak
akan mendapatkan partikel albumin tersebut dan terlihat pada scanning.
Ventilasi diharapkan normal pada daerah/segmen paru yang tidak mengalami
oklusi akibat emboli17.
Pemeriksaan angiogram paru merupakan standar baku emas untuk
memastikan emboli paru. Pemeriksaan ini bersifatinvasif dan memiliki resiko
tinggi, seperti reaksi alergi terhadap kontras, perforasi arteri pulmonal, artimia,
bronkospasme, perforasi ventrikel kanan, dan gagal jantung kongestif. Sehingga
peran pemeriksaan ini sudah digantikan oleh spiral CT scan yang memiliki

9
akurasi serupa. Temuan yang biasanya dapat dijumpai pada emboli paru adalah
filling defect dan abrupt cutoff dari pembuluh darah3.
Pemeriksaan computed tomography memiliki sensitivitas sebesar 70%
dan spesifitas sebesar 90% dalam mendiagnosis emboli paru. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan memberikan injeksi kontras medium melalui vena perifer
yang dapat mencapai arteri pulmonalis yang selanjutnya memberikan
visualisasi arteri pulmonal hingga ke cabang segmentalnya6.
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal merupakan suatu alat
diagnostik non-invasif yang digunakan untuk menilai pressure overload dari
ventrikel kanan yang diakibatkan oleh emboli paru masif. Pada emboli paru
akut dapat ditemukan tanda McConnell yang menunjukkan disfungsi ventrikel
kanan dengan akinesia pada dinding tengah tetapi pergerakan normal pada
bagian apex6.
Pemeriksaan biomarker jantung dapat digunakan untuk memperkirakan
prognosis pada pasien dengan emboli paru. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Konstantinides, peningkatan kadar biomarker troponin T dan I
menunjukkan prognosis lebih buruk dibandingkan pada pasien yang tidak
mengalami peningkatan kadar troponin T dan I. Peningkatan biomarker tersebut
meningkatkan resiko mortalitas hingga 3,5 kali lipat.15 Penelitian terbaru
menyatakan bahwa marker heart-type fatty acid binding protein (H-FABP)
merupakan marker paling baik untuk mendeteksi emboli paru jika dibandingkan
dengan biomarker troponin6.

10
G. Penatalaksanaan
Terapi oksigen harus diberikan dan ditargetkan untuk SpO2 92-97 %.
Meskipun oksigen adalah vasodilator paru dan karena itu secara teoritis dapat
mengurangi afterload ventrikel kanan, vasokonstriksi paru bukanlah bagian
dari patofisiologi emboli paru akut18. Trombolisis direkomendasikan pada
pasien dengan emboli paru yang terbukti atau diduga kuat memiliki emboli
paru yang menunjukkan hipotensi atau syok yang persisten. Pilihan agen lini
pertama yang direkomendasikan adalah aktivator plasminogen jaringan
rekombinan yang diberikan sebanyak 0,6 mg/kg −1 selama 15 menit (dosis
maksimum 50 mg) atau 100 mg selama 2 jam. Sebuah studi registri besar
baru-baru ini dari AS menunjukkan bahwa terapi trombolitik mengurangi
angka kematian tetapi kurang dimanfaatkan pada pasien syok. Pada pasien
dengan kontraindikasi relatif terhadap trombolisis, infus trombolitik dosis
rendah yang berkepanjangan telah berhasil digunakan tanpa komplikasi18–20.

11
Gambar 3. Penatalaksanaan gagal ventrikel kanan akut2

 Resusitasi2
Pada fase akut, gangguan hemodinamik harus dipahami akibat gagal
ventrikel kanan akut yang mengakibatkan keluaran sistemik yang rendah.
Terapi suportif yang dapat diberikan berupa kombinasi cairan, vasopresor,
inotropik sebelum memulai terapi definitif. Tidak ada protokol yang tegas
berkaitan dengan bagaimana cara memperbaiki hemodinamik pada emboli
paru fase akut. Cairan dalam jumlah sedang (500 mL) dapat membantu
meningkatkan indeks jantung dengan catatan pada kasus emboli paru
dengan indeks jantung yang rendah dan tekanan darah normal.

12
Vasopresor seperti norepinefrin dapat memperbaiki fungsi ventrikel
kanan melalui efek inotropik positif, sambil memperbaiki perfusi koroner
ventrikel kanan melalui stimulasi reseptor alfa di vaskular serta
peningkatan tekanan darah sistemik. Namun penggunaannya hanya
dibatasi pada keadaan hipotensi. Dobutamin atau dopamin dapat
dipertimbangkan pada pasien emboli paru dengan indeks jantung rendah
dan tekanan darah normal. Meningkatkan indeks jantung di atas nilai
fisiologis dapat memperburuk ketidaksesuaian (mismatch) ventilasi-
perfusi dengan meredistribusi aliran menjauhi vaskular obstruksi ke
vaskular yang tidak obstruksi. Epinefrin memiliki efek kombinasi
norepinefrin dan dobutamin tanpa efek vasodilatasi dari dobutamin.
Sehingga sangat bermanfaat pada pasien emboli paru disertai syok.
Penggunaan vasodilator sistemik terbatas pada efek spesifiknya pada
pembuluh darah pulmonal. Preparat seperti levosimendan pada suatu studi
awal dapat mengembalikan interaksi ventrikel kanan dan arteri pulmonal
akibat vasodilatasi pulmonal dan peningkatan kontraktilitas ventrikel
kanan. Inhalasi nitrik oksida dapat memperbaiki status hemodinamik dan
pertukaran gas.
Pada keadaan hipoksemia dan hiperkapni, diperlukan terapi oksigen
dengan ventilasi mekanik dengan konsekuensi hemodinamik yang cukup
tinggi. Tekanan positif ventilator dapat menurunkan aliran balik vena
(venous return) sehingga memperburuk gagal ventrikel kanan pada pasien
emboli paru masif. Strategi yang dapat dilakukan diantaranya pemberian
PEEP dengan perhatian khusus, volume tidal rendah (hingga 6 mL/kgBB
ideal), tekanan plateau akhir inspirasi <30 cmH2O. Langkah terakhir

apabila tidak tertangani, adalah terapi suportif seperti ekstrakorporeal


kardiopulmonal.

13
 Reperfusi Primer2
Beberapa jam pertama kegawatan emboli paru dapat dianggap sebagai
waktu kritis untuk melakukan reperfusi primer untuk mencegah
perburukan kondisi. Pilihan dapat berupa agen farmakologi seperti
unfractionated heparin (UFH), low-molecular-weight heparin (LMWH),
vitamin K antagonists (VKA) dan nonfarmakologi seperti embolektomi
melalui pembedahan dan perkutan.
Pada kondisi emboli paru disertai syok, antikoagulan inisial yang
disarankan adalah UFH intravena (LMWH atau fondaparinux belum
pernah diuji). Terapi antikoagulan bertujuan mencegah proses
pembentukan bekuan dan emboli rekuren. Pada pasien emboli paru risiko
tinggi, pilihan reperfusi primer adalah trombolisis sistemik. Apabila tidak
berhasil atau terdapat kontraindikasi, pilihan alternatifnya adalah dengan
bedah embolektomijikatersediaahlidan sumber daya. Alternatif lainnya
adalah dengan terapi langsung kateter perkutan. Keputusan terapi ini
diambil interdisiplin yang melibatkan bedah toraks atau kardiologis
intervensi.
Pada kondisi emboli paru stabil, pasien perlu distratifikasi
menggunakan skor PESI. Tujuan stratifikasi ini adalah menentukan
pilihan terapi. Pada kelompok risiko menengah tinggi (emboli paru,
disfungsi ventrikel kanan, troponin positif) diberikan trombolisis sistemik
dengan tujuan mencegah dekompensasi hemodinamik dengan risiko
perdarahan intrakranial. Pada kelompok risiko menengah rendah hanya
direkomendasikan pemberian antikoagulan. Antikoagulan harus diberikan
pada pasien dengan probabilitas tinggi atau menengah sembari menunggu
hasil pemeriksaan. Pada emboli paru akut, tujuan pemberian antikoagulan
adalah mencegah kematian dan terjadinya VTE yang simtomatik dan fatal,
dengan durasi pemberian sedikitnya 3 bulan.

14
Tabel 1. Pulmonary embolism severity index orisinal dan yang disederhanakan

Pada pengobatan fase akut, meliputi pemberian UFH, LMWH selama


5–10 hari pertama. Pemberian heparin parenteral bersamaan dengan
inisiasi VKA, sebagai alternatif dapat pula diberikan salah satu
antikoagulan golongan baru seperti dabigatran atau edoxaban. Jika
rivaroxaban atau apixaban juga diberikan, terapi oral salah satu agen ini
diberikan langsung atau setelah 1–2 hari pemberian UFH, LMWH atau
fondaparinux. Pada kasus ini, terapi fase akut meliputi peningkatan dosis
antikoagulan oral selama tiga minggu pertama (untuk rivaroxaban), atau
selama tujuh hari pertama (untuk apixaban). Pada beberapa kasus,
pemberian antikoagulan lebih dari tiga bulan mungkin diperlukan pada

15
kasus-kasus untuk pencegahan sekunder setelah menimbang risiko rekuren
pasien dan risiko perdarahan.

H. Prognosis
Prognosis emboli paru bervariasi. Perkiraan akurat telah dibatasi oleh
data yang sebagian besar berasal dari studi yang lebih tua, pendaftar, dan
catatan keluar dari rumah sakit yang dikumpulkan dari populasi pasien yang
heterogen. Sebagai contoh, seorang pasien dengan emboli paru tunggal, tanpa
gejala, subsegmental (SSPE) kemungkinan besar memiliki prognosis yang
berbeda dari pasien dengan emboli paru masif dan syok. Namun, secara
umum, jika tidak diobati, emboli paru dikaitkan dengan kematian keseluruhan
hingga 30 persen dibandingkan dengan 2 sampai 11 persen pada mereka yang
diobati dengan antikoagulan. Kematian terkait emboli paru mungkin menurun
dengan tingkat yang dilaporkan turun dari 3,3 persen (2001 hingga 2005)
menjadi 1,8 persen (2010 hingga 2013) dalam satu studi dan dari 17 menjadi
10 persen dalam studi lain. Studi lain yang memperoleh data dari database
kematian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan penurunan
kematian yang serupa dari 12,8 per 100.000 menjadi 6,6 per 100.000 antara
tahun 2000 dan 201521.

16
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Emboli paru merupakan salah satu kegawatdaruratan pada bidang
kardiovaskular yang cukup sering terjadi. Emboli paru merupakan peristiwa infark
jaringan paru akibat tersumbatnya pembuluh darah arteri pulmonalis akibat peristiwa
emboli. Oklusi pada arteri pulmonal dapat menimbulkan tanda gejala yang beragam,
dari keadaan yang asimptomatik hingga keadaan yang mengancam nyawa, seperti
hipotensi, shok kardiogenik, hingga henti jantung tiba- tiba.
Penyebab emboli paru belum diketahui pasti, tetapi hasil penelitian dari
autopsi paru pasien yang meninggal karena penyakit ini menunjukkan jelas bahwa
penyebab penyakit ini adalah trombus pada pembuluh darah. Umumnya
tromboemboli berasal dari lepasnya trombus di pembuluhdarah vena di tungkai
bawah atau dari jantung kanan.
Gejala yang sering dijumpai adalah sulit bernafas, nyeri dada yang memburuk
saat bernafas, batuk dan hemoptisis, dan palpitasi. Tanda klinis yang ditemukan
berupa hipoksia, stenosis, pleural friction rub, takipnea, dan takikardia.
Untuk menegakkan diagnosis emboli paru, perlu ditunjang dengan anamnesa,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan imaging. Pemeriksaan
laboratorium rutin tidak dapat menegakkan diagnosis emboli paru, tetapi dapat
dipergunakan untuk menilai kemajuan terapi dan menilai kemungkinan diagnosis
lainnya.

17
DAFTAR PUSTAKA
1. Octaviani F, Kurniawan A. Emboli Paru. Medicinus. 2018;4(9):313–22.
https://doi.org/10.19166/med.v4i9.1191
2. Putu N, Laksana W, Maskoen TT. Emboli Paru : Strategi Diagnostik dan Tata
Laksana dalam Perspektif Perawatan Kritis Pulmonary Embolism : Diagnostic
Strategy and Therapy in Critical Care Perspective. Anesth Crit Care [Internet].
2017;Vol 35 No.:191–200. Available from: https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEw
j2lZr3x6_2AhVlILcAHWLYBTQQFnoECAgQAQ&url=http%3A%2F
%2Fjournal.perdatin.org%2Findex.php%2Fmacc%2Farticle%2Fview
%2F100&usg=AOvVaw1zIRElscvoWBGfdIW679bH
3. Den Exter PL, Van Der Hulle T, Klok FA, Huisman M V. Advances in the
diagnosis and management of acute pulmonary embolism. Thromb Res
[Internet]. 2014;133(SUPPL. 2):S10–6. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/S0049-3848(14)50002-3 doi: 10.1016/S0049-
3848(14)50002-3
4. Konstantinides S V., Torbicki A, Agnelli G, Danchin N, Fitzmaurice D, Galiè
N, et al. 2014 ESC Guidelines on the diagnosis and management of acute
pulmonary embolism. Eur Heart J. 2014;35(43):3033–80.
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehu283
5. López-Candales A, Edelman K, Candales MD. Right ventricular apical
contractility in acute pulmonary embolism: The mcconnell sign revisited.
Echocardiography. 2010;27(6):614–20. https://doi.org/10.1111/j.1540-
8175.2009.01103.x
6. Turetz M, Sideris AT, Horowitz JM, Friedman OA, Triphathi N.
Epidemiology, Pathophysiology, and Natural History of Pulmonary Embolism.
2018;1(212):92–8.
7. Delcroix M, Kerr K, Fedullo P. Chronic thromboembolic pulmonary
hypertension: Epidemiology and risk factors. Ann Am Thorac Soc.

18
2016;13:S201–6. https://doi.org/10.1513/AnnalsATS.201509-621AS
8. Jaff MR, McMurtry MS, Archer SL, Cushman M, Goldenberg N, Goldhaber
SZ, et al. Management of massive and submassive pulmonary embolism,
iliofemoral deep vein thrombosis, and chronic thromboembolic pulmonary
hypertension: A scientific statement from the american heart association.
Circulation. 2011;123(16):1788–830.
https://doi.org/10.1161/CIR.0b013e318214914f
9. Tsang JYC, Lamm WJE. Estimation of endothelin-mediated vasoconstriction
in acute pulmonary thromboembolism. Pulm Circ. 2012;2(1):67–74.
https://doi.org/10.4103/2045-8932.94836
10. Lefevre-Scelles A, Jeanmaire P, Freund Y, Joly LM, Phillipon AL, Roussel M.
Investigation of pulmonary embolism in patients with chest pain in the
emergency department: a retrospective multicenter study. Eur J Emerg Med.
2020;27(5):357–61. https://doi.org/10.1097/MEJ.0000000000000680
11. Virani SS, Alonso A, Benjamin EJ, Bittencourt MS, Callaway CW, Carson
AP, et al. Heart disease and stroke statistics—2020 update a report from the
American Heart Association. Vol. 141, Circulation. 2020. 139–596 p.
https://doi.org/10.1161/CIR.0000000000000757
12. Platz E, Hassanein AH, Shah A, Goldhaber SZ, Solomon SD. Regional right
ventricular strain pattern in patients with acute pulmonary embolism.
Echocardiography. 2012;29(4):464–70. https://doi.org/10.1111/j.1540-
8175.2011.01617.x
13. Freund Y, Cohen-Aubart F, Bloom B. Acute Pulmonary Embolism: A Review.
Jama. 2022;328(13):1336–45. https://doi.org/10.1001/jama.2022.16815
14. Pernod G, Caterino J, Maignan M, Tissier C, Kassis J, Lazarchick J. D-dimer
use and pulmonary embolism diagnosis in emergency units: Why is there such
a difference in pulmonary embolism prevalence between the United States of
America and countries outside USA? PLoS One. 2017;12(1):1–11.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0169268

19
15. Zhang J, Liu G, Wang S, Du W, Lv P, Guo H, et al. The electrocardiographic
characteristics of an acute embolism in the pulmonary trunk and the main
pulmonary arteries. Am J Emerg Med [Internet]. 2016;34(2):212–7. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ajem.2015.10.028 doi:
10.1016/j.ajem.2015.10.028
16. Klok FA, Huisman M V. Management of incidental pulmonary embolism. Eur
Respir J [Internet]. 2017;49(6). Available from:
http://dx.doi.org/10.1183/13993003.00275-2017 doi:
10.1183/13993003.00275-2017
17. Ufuk F, Kaya F, Sagtas E, Kupeli A. Non-thrombotic pulmonary embolism in
emergency CT. Emerg Radiol. 2020;27(3):343–50.
https://doi.org/10.1007/s10140-020-01755-8
18. Somasundaram K, Ball J. Medical emergencies: Pulmonary embolism and
acute severe asthma. Anaesthesia. 2013;68(SUPPL. 1):102–16.
https://doi.org/10.1111/anae.12051
19. Stein PD, Matta F. Thrombolytic therapy in unstable patients with acute
pulmonary embolism: Saves lives but underused. Am J Med [Internet].
2012;125(5):465–70. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.amjmed.2011.10.015 doi:
10.1016/j.amjmed.2011.10.015
20. Riera-Mestre A, Jiménez D, Muriel A, Lobo JL, Moores L, Yusen RD, et al.
Thrombolytic therapy and outcome of patients with an acute symptomatic
pulmonary embolism. J Thromb Haemost. 2012;10(5):751–9.
https://doi.org/10.1111/j.1538-7836.2012.04698.x
21. Righini M, Robert-Ebadi H, Le Gal G. Diagnosis of acute pulmonary
embolism. J Thromb Haemost. 2017;15(7):1251–61.
https://doi.org/10.1111/jth.13694

20

Anda mungkin juga menyukai