Anda di halaman 1dari 23

TUGAS ILMIAH KEPANITERAAN KLINIK FK UMS

REFERAT

BRONKIEKTASIS

PENYUSUN

Ridho Zarkasi, S.Ked ; J510195038


Yunika Prajna Suyoso, S.Ked ; J510195047

PEMBIMBING

dr. Hesti Nila Mayasari, Sp.P

PRODI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
FEBRUARI 2020
HALAMAN PENGESAHAN
Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik FK UMS
REFERAT
Prodi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Judul : Bronkiektasis

Penyusun : Ridho Zarkasi; J510195038, Yunika Prajna Suyoso; J510195047,


Pembimbing : dr. Hesti Nila Mayasari, Sp.P

Ponorogo, 11 Februari 2020

Penyusun

Kelompok I

Menyetujui,
Pembimbing

dr. Hesti Nila Mayasari, Sp.P

Mengetahui,
Kepala Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran UMS

dr. Iin Novita N.M., M.Sc., Sp.PD

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 2
A. Anatomi ........................................................................................................ 2
B. Definisi ......................................................................................................... 3
C. Epidemiologi ................................................................................................ 4
D. Etiologi ......................................................................................................... 4
E. Klasifikasi .................................................................................................... 5
F. Patogenesis ................................................................................................... 6
G. Patofisiologi ................................................................................................ 6
H. Faktor Risiko ............................................................................................... 7
I. Tanda dan Gejala.......................................................................................... 7
J. Penegakan Diagnosis ................................................................................... 7
K. Gambaran Histopatologi dan Penjelasan ................................................... 13
L. Tatalaksana................................................................................................. 14
M. Komplikasi ................................................................................................ 16
N. Prognosis .................................................................................................... 17
BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Bronkiektasis merupakan pelebaran dan distorsi bronkus ukuran sedang


(diameter jalan nafas >2 mm) yang bersifat permanen dan irreversibel. Dilatasi
bronkus sering berhubungan dengan pneumonia akut dan dengan beberapa tipe
atelektasis, tetapi pada pneumonia atau atelektasis, dilatasi akan sembuh sendiri
(90% dalam 3 bulan). Bronkiektasis bukan merupakan penyakit tunggal, dapat
terjadi melalui berbagai cara dan merupakan akibat dari beberapa keadaan yang
mengenai dinding bronkial, baik secara langsung maupun tidak, yang
mengganggu sistem pertahanannya. Keadaan ini mungkin menyebar luas, atau
mungkin muncul di satu atau dua tempat. Secara khusus, bronkiektasis
menyebabkan pembesaran pada bronkus yang berukuran sedang, tetapi bronkus
berukuran kecil yang berada dibawahnya sering membentuk jaringan parut dan
menyempit. Kadang-kadang bronkiektasis terjadi pada bronkus yang lebih besar,
seperti yang terjadi pada aspergilosis bronkopulmoner alergika (suatu keadaan
yang disebabkan oleh adanya respon imunologis terhadap jamur Aspergillus).1
Di negara barat angka kematian dan kesakitan terus meningkat, kondisi ini tetap
menjadi salah satu alasan untuk menjadi perhatian mengenai angka kesakitan di
negara berkembang. Berbagai macam faktor telah diidentifikasi sebagai
predisposisi terjadinya bronkiektasis fibrosis non kistik (non-CF). Infeksi
berulang, defisiensi imun, kemasukan benda asing, asma, tuberculosis dan
diskinesia primer bulu getar adalah beberapa hal yang menjadi faktor resiko.
Bronkiektasis post infeksi pada penderita normal akan sering menyertai dan di
negara berkembang beberapa pasien dengan kelainan tersebut memiliki penyakit
sistemik yang mendasari5.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
Bronkus merupakan saluran nafas yang terbentuk dari belahan dua
trakea pada ketinggian kira-kira vertebrata torakalis kelima, mempunyai
struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama.
Bronkus berjalan ke arah bawah dan samping menuju paru dan bercabang
menjadi dua, yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri. Bronkus kanan
mempunyai diameter lumen lebih lebar, ukuran lebih pendekdan posisi
lebih vertikal. Letak sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis serta
mengeluarkan sebuah cabang utama yang melintas di bawah arteri, yang
disebut bronkus kanan lobus bawah.Sedangkan bronkus kiri memiliki
ukuran lebih panjang, diameter lumennya lebih sempit dibandingkan
bronkus kanan dan melintas di bawah arteri pulmonalis sebelum di belah
menjadi beberapa cabang yang berjalan kelobus atas dan bawah.Cabang
utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus lobaris,
kernudian menjadi lobus segmentalis. Bronkus lobaris ini bercabang terus
menjadi bronkus yang lebih kecil, dengan ujung cabangnya yang disebut
bronkiolus. Setiap bronkiolus memasuki lobulus paru, dan bercabang-
cabang menjadi 5-7 bronkiolus terminalis.2
Bronkiolus terminalis adalah saluran udara terkecil yang tidak
mengandung alveoli (kantong udara). Bronkiolus terminalis memiliki garis
tengah kurang lebih 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang
rawan. Tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat
berubah. Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkiolus
terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya
adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru.

2
Gambar 1. Anatomi bronkhus

Bronkus juga memiliki pembagian segmentasi yang nantinya juga


merupakan segmentasi bagi pulmo juga. Yang dimaksud dengan segmenta
bronchopulmonalia adalah unit paru secara anatomis, fungsi dan
pembedahannya. Dimana dalam masing-masing segmenta bronkus ini juga
berperan sebagai segmenta pada pulmo yang memiliki ujung saluran,
cabang arteria pulmonalis, aliran vena, aliran limfe dan persarafan otonom
yg berbeda-beda pada masing-masing segmenta lainnya. Hal ini berfungsi
pada pasien pneumonektomi (suatu prosedur pembedahan untuk
pengangkatan paru).
B. Definisi
Bronkiektasis merupakan pelebaran menetap dari bronkus dan
bronkiolus akibat kerusakan otot dan jaringan elastik penunjang,
disebabkan atau berkaitan dengan infeksi nekrotikans kronis.8
Bronkiektasis bukan merupakan penyakit primer, tetapi lebih
merupakan akibat obstruksi atau infeksi persisten yang ditimbulkan oleh
berbagai penyebab. Jika sudah terbentuk, bronkiektasis akan menimbulkan
kompleks gejala yang didominasi oleh batuk dan pengeluaran sputum
purulent dalam jumlah yang besar.8
Bronkiektasis adalah pelebaran bronkus yang disebabkan oleh
kelemahan dinding bronkus yang sifatnya permanen. Diagnosis
bronkiektasis dibantu dengan pemeriksaan bronkografi, tapi akhir-akhir ini

3
bronkografi jarang dilakukan dan digantikan dengan pemeriksaan High
Resoluted Computed Tomography ( HRCT ). Bronkiektasis sering
dikategorikan penyakit infeksi saluran pernapasan dengan diagnosis
bronkiektasis terinfeksi.3
C. Epidemiologi
Bronkiektasis adalah penyebab kematian yang sangat penting pada
Negara-negara berkembang. Di Negara maju seperti AS, bronkiektasis
mengalami penurunan sesuai dengan kemajuan pengobatan. Prevalensi
bronkiektasis lebih tinggi pada penduduk dengan golongan sosial ekonomi
yang rendah4
Di Amerika Serikat, bronkiektasis bukan merupakan penyakit yang
umum. Tetapi jumlah penyakit bronkiektasis di Amerika Serikat biasanya
berkaitan dengan infeksi mycobacteria atau faktor lingkungan yang lain
yang dilaporkan meningkat4.
D. Etiologi
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan bronkiektasis, antara lain4:
1. Infeksi Primer
Bronkiektasis dapat disebabkan oleh bermacam-macam infeksi nekrosis
yang tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat. Infeksi primer
merupakan penyebab umum dari bronkiektasis di negara berkembang,
dan biasanya penggunaan antibiotik juga tidak konsisten. Ada beberapa
bakteri yang dapat menyebabkan bronkiektasis, antara lain Klebsiella
species, Staphylococcus aureus, Mycobacterum tuberculosis,
Mycoplasma pneumonia, Mycobacterium nontuberculosis, measles
virus, pertussis virus, influenza virus, dan herpes simplex virus.
2. Obstruksi Bronkial
Focal postobstructive bronchiectasis dapat terjadi dalam beberapa
keadaam klinis, misal right-middle lobe syndrome, yang merupakan
tipe spesifik dari obstruksi bronkial yang dapat menyebabkan
bronkiektasis.

4
3. Aspirasi
Pada orang dewasa, aspirasi benda asing biasanya berasal dari lambung,
seperti makanan, asam peptida dan mikroorganisme. Setelah aspirasi,
pneumonia postobstruksi dapat terjadi dengan perkembangan menjadi
bronkiektasis. Bronkiektasis juga dapat terjadi pada keadaan aspirasi
kronik.
4. Fibrosis Kistik
Fibrosis kistik adalah kelainan multisistem yang mempengaruhi sistem
transport klorida pada jaringan eksokrine. Hal ini terjadi karena
defisiensi protein Cystic Fibrosis Transmembrane Regulator ( CFTR ).
Bronkiektasis adalah hal yang umum ditemukan pada fibrosis kistik.
5. Defek anatomi kongenital
Defek anatomi kongenital yang dapat menyebabkan bronkiektasis
antara lain Williams-Campbell syndrome, Mounier-Kuhn syndrome,
Swyer-James syndrome dan Yellow-nail syndrome.
6. Defisiensi Alpha1-antitripsin
Patogenesis bronkiektasis masih belum jelas, tapi diyakini bahwa
defisiensi hormone ini dapat menyebabkan pasien lebih rentan terhadap
infeksi saluran napas dan menyebabkan rusaknya bronkus.
7. Paparan Gas Beracun
Paparan terhadap gas beracun dapat menyebabkan kerusakan bronkus
yang ireversibel dan bronkiektasis kistik. Agen yang terlibat antara lain
gas klorin dan ammonia.
E. Klasifikasi
Berdasarkan kelainan anatomis bronkiektasis, dibagi 3 variasi:
1. Bronkiektasis tabung (tubular, silindris, fusiformis), merupakan
bronkiektasis yang paling ringan dan sering ditemukan pada
bronkiektasis yang menyertai bronchitis kronik.
2. Bronkiektasis Kantong (saccular) merupakan bentuk bronkiektasis yang
klasik, ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang
bersifat irregular. Bentuk ini kadang – kadang berbentuk kisata (cystic
bronkiektasis).

5
3. Bronkiektasis varicose merupakan bentuk diantara bentuk tabung dan
kantung. Istilah ini digunakan karena perubahan bentuk bronkus
menyerupai varises pembuluh vena.
F. Patogenesis
Kelemahan dinding bronkus pada bronkiektasis dapat kongenital ataupun
didapat ( acquired ) yang disebabkan karena adanya kerusakan jaringan.
Bronkiektasis kongenital sering berkaitan dengan adanya dekstrokardia
dan sinusitis, jika ketika keadaan ini (bronkiektasis, dekstrokardia dan
sinusitis ) hadir bersamaan, keadaan ini disebut sebagai sindrom
Kartagener. Jika disertai pula dengan dilatasi trakea dan bronkus utama
maka kelainan ini disebut trakeobronkomegali3
Bronkiektasis yang didapat sering berkaitan dengan obstruksi bronkus.
Dilatasi bronkus mungkin disebabkan karena kerusakan dinding bronkus
akibat peradangan seperti pada penyakit endobronkial tuberkulosis.
Bronkiektasis non-tuberkulosis cenderung terjadi pada bagian paru yang
bergantung (dependent part) yang menyebabkan aliran drainase discharge
terhambat. Gaya berat menyebabkan akumulasi sputum sehingga infeksi
dan supurasi lebih mudah terjadi3.
G. Patofisiologi

6
Gambar 2. Patofisiologi Bronkiektasis
Sumber ( Barker, 2005 ).
H. Faktor Risiko
Faktor risiko dari bronkiektasis antara lain masalah kongenital atau
penyakit yang didapat, yang mempengaruhi paru atau saluran napas,
misalnya infeksi yang disebabkan oleh bakteri11.
I. Tanda dan Gejala
Hampir semua pasien dengan bronkiektasis memiliki batuk dan
produksi sputum kronis. Dahak bersifat lendir, mukopurulen, tebal, ulet,
atau kental. hemoptisis berlebihan juga dapat diakibatkan oleh kerusakan
saluran napas erosif yang disebabkan infeksi akut. 75 % pasien mengalami
dyspnea dan mengi. Nyeri dada pleuritik terjadi pada 50 % pasien yang
mempelihatkan adanya saluran udara perifer buncit atau pneumonitis distal
berdekatan dengan permukaan pleura visceral. Selain itu bunyi nafas
adventif pada pemeriksaan fisik dada, demam >38,0°c, malaise, kelelahan,
lethargy. 15
J. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
a. Batuk kronik yang produktif merupakan gejala yang menonjol.
Sputum yang dihasilkan dapat berbagai macam, tergantung berat
ringannya penyakit dan ada tidaknya infeksi sekunder. Sputum
dapat berupa mukoid, mukopurulen, kental dan purulen. Jika terjadi
infeksi berulang sputum menjadi purulent dengan bau yang tidak
sedap. Dahulu, jumlah total sputum harian digunakan untuk
membagi karakteristik berat ringannya bronkiektasis. Sputum yang
kurang dari 10 ml digolongkan sebagai bronkiektasis ringan,
sputum dengan jumlah 10-150 ml perhari digolongkan sebagai
bronkiektasis moderat, dan sputum lebih dari 150 ml digolongkan
sebagai bronkiektasis berat. Namun sekarang, berat ringannya
bronkiektasis diklasifikasikan berdasarkan temuan radiologis. Pada
pasien fibrokistik, volume sputum pada umumnya lebih banyak
disbanding penyakit penyebab bronkiektasis lainnya4.
b. Hemoptisis terjadi pada 56%-92% pasien dengan bronkiektasis.
Hemoptisis mungkin terjadi massif dan berbahaya bila terjadi

7
perdarahan pada arteri bronkial. Hemoptisis biasanya terjadi pada
bronkiektasis kering, walaupun angka kejadian dari bronkiektasis
tipe ini jarang ditemukan.
c. Dyspnea terjadi pada kurang lebih 72% pasien bronkiektasis
tapi bukan merupakan temuan yang universal. Biasanya terjadi
pada pasien dengan bronkiektasis luas yang terlihat pada
gambaran radiologisnya.
d. Wheezing sering dilaporkan dan mungkin akibat obstruksi jalannafa
s yang diikuti oleh destruksi dari cabang bronkus. Seperti dyspnea,
ini juga mungkin merupakan kondisi yang mengiringi, seperti
asma.
e. Nyeri dada pleuritik kadang-kadang ditemukan, terjadi pada
46% pasien pada sekali observasi. Paling sering merupakan akibat
sekunder pada batuk kronik, tetapi juga terjadi pada eksaserbasi
akut.
f. Penurunan berat badan sering terjadi pada pasien dengan
bronkiektasis yang berat. Hal ini terjadi akibat peningkatan
kebutuhan kalori berkaitan dengan peningkatan kerja pada batuk
dan pembersihan sekret pada jalan nafas. Namun, pada umumnya
semua penyakit kronik disertai dengan penurunan berat badan.
g. Demam biasanya terjadi akibat infeksi yang berulang3.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan mikorbiologi
Pemeriksaan mikrobiologi sputum adalah pemeriksaan yang sangat
penting dalam penanganan bronkiektasis. Penelitian yang
dilakukan di 4 pusat kesehatan dengan spesialisasi bronkiektasis (di
Hongkong; Tyler, Texas; Barcelona, Spanyol; dan Cambridge,
Inggris) mendapatkan data bahwa H influenzae adalah patogen
yang paling sering terisolasi (yaitu 29% sampai dengan 42%
kasus). Patogen lain yang sering teridentifikasi antara lain
Staphylococcus aureus, Moraxella catarrhalis,dan Pseudomonas
aeruginosa. Patogen-patogen tersebut mempunyai kemampuan

8
menghambat bersihan mukosilier, merusak epitel respirasi, dan
membentuk biofilm yang dapat mempermudah infeksi persisten
melalui mekanisme inhibisi imunitas innate serta meningkatkan
resistensi antibiotik.13
b. Pemeriksaan fungsi faal paru
Pemeriksaan spirometri dapat memperlihatkan gambaran
keterbatasan aliran napas dengan penurunan FEV1 dan penurunan
rasio FEV1/FVC, namun pada beberapa pasien dapat ditemukan
gambaran spirometri normal. FVC dapat normal atau sedikit
menurun mengindikasikan suatu impaksi mukus. Hipereaktivitas
bronkus juga dilaporkan didapatkan pada penderita bronkiektasis.
FEV1 memiliki korelasi terhadap keparahan abnormalitas pada
HRCT. Penurunan volume paru mengindikasikan penyakit paru
interstitial sebagai penyakit dasarnya, sedangkan peningkatan
volume paru mengindikasikan suatu air trapping atau impaksi
mukus pada saluran napas kecil.11Pemeriksaan 6 minute walking
test dilakukan untuk melihat kapasitas fungsional paru dan dapat
diterapkan pada bronkiektasis. Penurunan kapasitas latihan
berkorelasi dengan tingkat keparahan pada HRCT.9
c. Foto thorax
Dengan pemeriksaan foto thoraks, maka pada bronkiektasis
dapat ditemukan gambaran seperti dibawah ini:
(1) Ring shadow
Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran
(dapat mencapai diameter 1 cm) dengan jumlah satu atau lebih
bayangan cincin sehingga membentuk gambaran ‘honeycomb
appearance’ atau ‘bounches of grapes’. Bayangan cincin
tersebut menunjukkan kelainan yang terjadi pada bronkus
(Kusuma, 2006).

9
Gambar 3. Tampakan foto thorax penderita bronkiektasis
(2) Tramline shadow
Gambaran ini dapat terlihat pada bagian perifer paru-paru.
Bayangan ini terlihat terdiri atas dua garis paralel yang putih
dan tebal yang dipisahkan oleh daerah berwarna hitam.
Gambaran seperti ini sebenarnya normal ditemukan pada
daerah parahilus yang sebenenarnya terlihat lebih tebal dan
bukan pada daerah parahilus7.

Gambar 4. Gambaran Tramline shadow


Sumber ( Barker, 2005 ).

10
(3) Tubular shadow
Ini merupakan bayangan yang putih dan tebal. Lebarnya
mencapai 8 mm. Gambaran ini sebenarnya menunjukkan
bronkus yang penuh dengan sekret. Gambaran ini jarang
ditemukan, namun gambaran ini khas untuk bronkiektasis19.
(4) Glove finger shadow
Gambaran ini menunjukkan bayangan sekelompok tubulus
yang terlihat seperti jari-jari pada sarung tangan19.

Gambar 5. Gambaran foto thorax glove finger shadow


d. Bronkografi
Bronkografi merupakan pemeriksaan foto dengan pengisian
media kontras ke dalam sistem saluran bronkus pada berbagai
posisi ( AP, Lateral, Oblik ). Pemeriksaan ini selain dapat
menentukan adanya bronkiektasis, juga dapat meentukan bentuk-
bentuk bronkiektasis yang dibedakan dalam bentuk silindris
(tubulus, fusiformis), sakuler (kistik), dan varikosis7.
Pemeriksaan bronkografi juga dilakukan pada penderita
bronkiektasis yang akan dilakukan pembedahan pengangkatan
yang menentukan luasnya paru yang mengalami bronkiektasis
yang akan diangkat7.

11
Gambar 6. Gambaran bronkografi pada bronkiektasis

Pemeriksaan bronkografi saat ini mulai jarang dilakukan


oleh karena prosedurnya yang kurang menyenangkan terutama bagi
pasien dengan gangguan ventilasi, alergi dan reaksi tubuh terhadap
kontras media6.
e. CT-Scan thorax
CT-Scan dengan resolusi tinggi menjadi pemeriksaan
penunjang terbaik untuk mendiagnosis bronkiektasis,
mengklarifikasi temuan dari foto thorax dan melihat letak kelainan
jalan nafas yang tidaj dapat terlihat pada foto polos thorax. CT-
Scan resolusi yinggi mempunyai sensitivitas sebesar 97% dan
spesifitas sebesar 93%20.
CT-Scan resolusi tinggi akan memperlihatkan dilatasi
bronkus dan penebalan dinding bronkus. Modalitas ini juga
mampu mengetahui lobus mana yang terkena, terutama penting
untuk menentukan apakah perlu dilakukan operasi.

12
Gambar 7. CT scan thorax
K. Gambaran Histopatologi dan Penjelasan

Gambar 8. Gambaran Histopatologi bronkiektasis


Terdapat beberapa perubahan morfologi yang dapat terjadi pada
bronkiektasis, antara lain2:
a. Dinding bronkus
Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami perubahan
berupa proses inflamasi yang sifatnya destruktif dan
ireversibel. Pada pemeriksaan patologi anatomi sering
ditemukan berbagai tingkatan keaktifan proses inflamasi serta
terdapat proses fibrosis. Jaringan bronkus yang mengalami
kerusakan selain otot-otot polos bronkus juga elemen-elemen
elastis.

13
b. Mukosa bronkus
Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal, silia
pada sel epitel menghilang, terjadi perubahan metaplasia
skuamosa, dan terjadi sebukan hebat sel-sel inflamasi. Apabila
terjadi eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan terjadi
pengelupasan, ulserasi, dan pernanahan.

Gambar 9. Perubahan mukosa pada bronkiektasis


c. Jaringan paru peribronkial
Pada parenkim paru peribronkial dapat ditemukan kelainan
antara 17 lain berupa pneumonia, fibrosis paru atau pleuritis
apabila prosesnya dekat pleura. Pada keadaan yang berat,
jaringan paru distal bronkiektasis akan diganti jaringan fibrotik
dengan kista-kista berisi nanah.
L. Tatalaksana
Penatalaksanaan bronkiektasis meliputi: identifikasi keadaan eksaserbasi
akut dan penggunaan antibiotik, mengendalikan pertumbuhan mikroba,
terapi terhadap kondisi yang mendasarinya, mengurangi respons inflamasi
yang berlebihan, peningkatan higienitas bronkial, mengontrol perdarahan
bronkial, terapi bedah untuk menghilangkan segmen paru atau lobus paru
yang mengalami kerusakan hebat yang dapat menjadi sumber infeksi atau
perdarahan.
a. Antibiotik
Antibiotik memiliki peranan krusial dalam penatalaksanaan
bronkiektasis, antibiotik dapat menghambat proses lingkaran setan
infeksi, inflamasi, dan kerusakan epitel saluran napas. Penggunaan

14
antibiotik diperlukan sebagai terapi saat eksaserbasi maupun sebagai
terapi jangka panjang. Penggunaan antibiotik lebih awal pada
eksaserbasi dapat membatasi ‘vicious circle’.3,14,15 Antibiotik dilaporkan
dapat menurunkan kadar CRP, sel inflamasi pada sputum, volume
sputum, purulensi sputum dan densitas bakteri. Penderita dengan
sputum purulen setelah pemberian antibiotik lebih pendek waktu
eksaserbasi berikutnya dibandingkan dengan penderita dengan sputum
mukoid. Data klinis menunjukkan pemberian antibiotik dosis tinggi dan
jangka waktu yang lebih lama memberikan hasil yang lebih baik, hal
tersebut disebabkan sulitnya mencapai konsentrasi antibiotik yang
cukup ke dalam lumen yang bronkiektasis, bakteri yang sering resisten,
serta adanya biofilm yang ‘melindungi’ bakteri.

Penderita dengan eksaserbasi berat memerlukan antibiotik intravena,


terapi empiris dapat diberikan cefuroxime atau cetriaxone, kecuali
kecurigaan adanya infeksi P. aeruginosa. Terapi empiris pasien dengan
P. Aeruginosa adalah dengan β-Laktam, misalnya Ceftazidime.
Monoterapi dapat diberikan pada P. aeruginosa yang masih sensitif,

15
sedangkan untuk organisme yang resisten atau infeksi kronis dimana
terdapat kemungkinan pasien akan mengalami terapi ulang di masa
yang akan datang, direkomendasikan untuk melakukan terapi
kombinasi dengan aminoglikosida.
b. Higienitas bronkopulmoner
Penatalaksanaan bronkiektasis juga melibatkan usaha-usaha untuk
menghilangkan sekret saluran napas. Usaha yang dapat dilakukan
antara lain latihan batuk efektif, postural drainase, fisioterapi dada,
mengencerkan sekret saluran napas, serta pemberian bronkodilator dan
kortikosteroid inhalasi pada saat eksaserbasi akut. Penderita dengan
sekret kental dan mucous pluging dapat dibantu dengan nebulisasi salin
dan tetap mempertahankan hidrasi sistemik yang mencukupi.9
c. Pembedahan
Reseksi bedah pada bronkiektasis hanya dilakukan dengan
pertimbangan khusus, diantaranya pada pasien dengan kelainan
terlokalisasi yang gagal dengan terapi medis dan menderita gejala klinis
yang memperburuk kualitas hidup pasien.4,16 Konsep dasar tindakan
bedah pada bronkiektasis adalah menghilangkan area parenkim paru
yang rusak yang menyebabkan penetrasi antibiotik tidak dapat berjalan
dengan baik. Jaringan paru yang rusak menjadi area reservoir bakteri
yang menyebabkan infeksi berulang. Beberapa hal yang memengaruhi
suksesnya tindakan bedah antara lain: reseksi komplit area yang
terlibat, intervensi awal untuk mencegah terjadinya perkembangan
mikroba resisten dan penyebaran ke segmen paru yang berdekatan,
terapi antibiotik preoperasi sesuai dengan kultur dan sensitivitas, terapi
antibiotik tetap dilanjutkan setelah operasi, perbaikan suplementasi
nutrisi preoperasi sesuai indikasi, antisipasi terhadap komplikasi yang
mungkin terjadi.16
M. Komplikasi
Beberapa penyakit yang bisa enjadi komplikasi dari bronkiektasis
antara lain18:
a. Pneumonia

16
b. Empiema
c. Septicemia
d. Meningitis
e. Metastasis abses misalnya di otak
f. Pembentukan amiloid
Infeksi yang berulang dan radang menyebabkan berlanjutkan nekrosis
saluran nafas dan destruksi jaringan paru. Tergantung pada perluasan
pertumbuhan penyakit, dapat terjadi kor-pulmonale. Amiloidosis sekunder
dapat terjadi sistemik.
N. Prognosis
Prognosisnya tergantung dari berat ringannya serta luasnya penyakit
waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat
(konservati ataupun pembedahan) dapat memperbaiki prognosis
penyakit10.
Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek,
survivalnya tidak akan lebih dari 5-15 tahun. Kematian karena penyakit
tersebut biasanya karena pneumonia, payah jantung kanan, empiema,
hemoptisis dan lain-lain. Pada kasus-kasus tanpa komplikasi bronchitis
kronik berat dan difus biasnya disabilitasnya yang ringan10.

17
BAB III

KESIMPULAN

Bronkiektasis adalah dilatasi atau ectasia dari saluran napas atau bronkus
secara permanen. Bronkiektasis dapat terjadi terkait dengan kondisi dasar
konstitusional genetik penderita atau episode insidental yang tidak berhubungan
dengan kondisi dasar intrinsik pertahanan tubuh penderita. Patogenesis yang
terjadi berkaitan dengan kombinasi inflamasi berulang dinding bronkhus dan
fibrosis parenkim, menghasilkan dinding bronkhus yang lemah dan berlanjut
menjadi dilatasi yang irreversibel. Pemeriksaan spesifik dilakukan untuk
mendiagnosis kelainan spesifik tertentu sesuai dengan gambaran klinis yang
mendukung diagnosis bronkiektasis. Strategi yang digunakan pada
penatalaksanaan bronkiektasis adalah identifikasi keadaan eksaserbasi akut dan
penggunaan antibiotik, mengendalikan pertumbuhan mikroba, terapi terhadap
kondisi yang mendasarinya, mengurangi respons inflamasi yang berlebihan,
peningkatan higienitas bronkial dan pertimbangan terapi bedah pada kasus
tertentu

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Barker, AF. 2005. Bronchiectasis. N Engl J Med, Vol. 346, No. 18.
Available at: http://www.nejm.org ( Diakses pada: Maret 2013 )

2. Damjanov, Ivan. 2010. Buku Teks dan Atlas Berwarna Histopatologi.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

3. Djojodibroto D. 2009. Respirologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran


EGC.

4. Emmons EE. 2007. Bronchiectasis. Available at:


http://www.emedicine.com (Diakses pada : Maret 2013 )

5. Emmons EE. 2013. Bronchiectasis. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/296961-overview ( Diakses pada:
Maret 2013 ).

6. Hassan I. 2006. Bronchiectasis. Available at: http://www.emedicine.com


(Diakses pada: Maret 2013 ).

7. Kusuma WK. 2006. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI.

8. Maitra A, Kumar V. 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. Dalam: Kumar
V, Cotran RS, Robbins SL (eds). Buku Ajar Patologi Robbins.
Diterjemahkan oleh: Pendit BU. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

9. Patel PR. 2009. Lecture Notes Radiologi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

10. Rahmatullah P. 2009. Bronkiektasis. Dalam: Suyono AW, Setiyohadi B,


Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

11. Sachdev P. 2013. Risk Factors of Bronchiectasis. Available at:


http://www.onlymyhealth.com/risk-factors-bronchiectasis-1313478369
(Diakses pada: Maret 2013).

12. Sutton D. 2011. Textbook of Radiology and Imaging Volume 1.


Tottenham: Churchillliving stone.

13. Underwood, JCE. 2010. Patologi Umum dan Sistematika . Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

19
14. Allsagaf, Hood, Abdul Mukti. 2012. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya : Airrlangga University Press

15. http://www.nhlbi.nih.gov/health/dci/Diseases/brn/brn_treatments.html

16. Rahmatullah, Pasiyan. 2008. Bronkiektasis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FK UI

17. Meschan I. Obstrictive Pulmonary Disease. Synopsis of Analysis of


Roentgen Signs in General Radiology. Philadelphia. 2010. hal 55-56

18. Kusumawidjaja K. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Editor Iwan


Ekayuda. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2006. hal 108-115.

19. Sutton D. Textbook of Radiology and Imaging volume 1. Churchill


livingstone. Tottenham. 2009. hal 45, 163, 164 & 168.

20. Patel PR. Lecture Notes Radiologi Edisi Kedua. Erlangga. Jakarta. 2005.
hal 40-41

21. Eng P, Cheah FK. Interpreting Chest X-rays. Cambridge Univesrsity


Press. New York. 2009. hal 67-68.

22. Greif J. Medical Imaging in Patients with Cystic Fibrosis.


www.eradimaging.com. Last update Februari 2008.

20

Anda mungkin juga menyukai