Anda di halaman 1dari 15

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Diabetes Mellitus


Diabetes adalah penyakit kronis serius yang terjadi karena pankreas tidak
menghasilkan cukup insulin (hormon yang mengatur gula darah atau glukosa), atau
ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya.
Diabetes adalah masalah kesehatan masyarakat yang penting, menjadi salah satu dari
empat penyakit tidak menular prioritas yang menjadi target tindak lanjut oleh para
pemimpin dunia. Jumlah kasus dan prevalensi diabetes terus meningkat selama beberapa
dekade terakhir (PERKENI, 2015).

B. Klasifikasi Diabetes Mellitus


Klasifikasi DM berdasarkan etiologi menurut Perkeni (2015) adalah sebagai berikut :
a. Diabetes melitus (DM) tipe 1 DM yang terjadi karena kerusakan atau destruksi sel
beta di pankreas. kerusakan ini berakibat pada keadaan defisiensi insulin yang
terjadi secara absolut. Penyebab dari kerusakan sel beta antara lain autoimun dan
idiopatik.
b. Diabetes melitus (DM) tipe 2 Penyebab DM tipe 2 seperti yang diketahui adalah
resistensi insulin. Insulin dalam jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja
secara optimal sehingga menyebabkan kadar gula darah tinggi di dalam tubuh.
Defisiensi insulin juga dapat terjadi secara relatif pada penderita DM tipe 2 dan
sangat mungkin untuk menjadi defisiensi insulin absolut.
c. Diabetes melitus (DM ) tipe lain Penyebab DM tipe lain sangat bervariasi. DM
tipe ini dapat disebabkan oleh defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja
insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati pankreas, obat, zat kimia,
infeksi, kelainan imunologi dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.
d. Diabetes melitus Gestasional
C. Faktor Resiko Diabetes Mellitus
Yang termasuk faktor risiko DM menurut Perkeni (2015) yaitu:
a. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi (unmodifiable risk factor) adalah
Faktor risiko yang sudah ada dan melekat pada seseorang sepanjang
kehidupannya. Sehingga faktor risiko tersebut tidak dapat dikendalikan oleh
dirinya. Faktor risiko DM yang tidak dapat di modifikasi antara lain:
1) Ras dan etnik
Ras atau etnik yang dimaksud contohnya seperti suku atau kebudayaan
setempat dimana suku atau budaya dapat menjadi 8 salah satu factor risiko
DM yang berasal dari lingkungan sekitar.
2) Riwayat keluarga dengan DM
Seorang anak yang merupakan keturunan pertama dari orang tua dengan
DM (Ayah, ibu, laki-laki, saudara perempuan) beresiko menderita DM.
Bila salah satu dari kedua orang tuanya menderita DM maka risiko
seorang anak mendapat DM tipe 2 adalah 15% dan bila kedua orang
tuanya menderita DM maka kemungkinan anak terkena DM tipe 2 adalah
75%. Pada umunya apabila seseorang menderita DM maka saudara
kandungnya mempunyai resiko DM sebanyak 10%. Ibu yang terkena DM
mempunyai resiko lebih besar 10-30% dari pada ayah dengan DM. Hal ini
dikarenakan penurunan gen sewaktu dalam kandungan lebih besar dari
seorang ibu.
3) Usia
Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Pada usia lebih dari 45 tahun sebaiknya harus
dilakukan pemeriksaan DM. Diabetes seringkali ditemukan pada
masyarakat dengan usia yang sudah tua karena pada usia tersebut, fungsi
tubuh secara fisiologis makin menurun dan terjadi penurunan sekresi atau
resistensi insulin sehingga kemampuan 9 fungsi tubuh untuk
mengendalikan gluskosa darah yang tinggi kurang optimal.
4) Riwayat kelahiran
Melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi yaitu lebih dari 4000 gram
atau riwayat pernah menderita diabetes mellitus gestasional (DMG)
berpotensi untuk menderita DM tipe 2 maupun gestasional. Wanita yang
pernah melahirkan anak dengan berat lebih dari 4 kg biasanya dianggap
sebagai praDiabetes.
5) Riwayat kelahiran
Melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah yaitu kurang dari 2,5 kg.
Bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai risiko yang lebih
tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan berat badan normal. Seseorang
yang lahir dengan BBLR dimungkinkan memiliki kerusakan pankreas
sehingga kemampuan pankreas untuk memproduksi insulin akan
terganggu. Hal tersebut menjadi dasar mengapa riwayat BBLR seseorang
dapat berisiko terhadap kejadian BBLR.
b. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :
1) Berat badan berlebih (IMT > 23 kg/m2).
Obesitas adalah ketidakseimbangan antara konsumsi kalori dengan
kebutuhan energi yang disimpan dalam bentuk lemak (jaringan 10
subkutan tirai usus, organ vital jantung, paru-paru, dan hati). Obesitas juga
didefinisikan sebagai kelebihan berat badan. Indeks masa tubuh orang
dewasa normalnya ialah antara 18,5-25 kg/m2. Jika lebih dari 25 kg/m2
maka dapat dikatakan seseorang tersebut mengalami obesitas.
2) Obesitas abdominal
Kelebihan lemak di sekitar otot perut berkaitan dengan gangguan
metabolik, sehingga mengukur lingkar perut merupakan salah satu cara
untuk mengukur lemak perut. Seorang yang mengalami obesitas
abdominal (Lingkar perut pria >90 cm sedangkan pada wanita >80 cm)
maka berisiko 5,19 kali menderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa obesitas sentral khususnya di perut yang digambarkan
oleh lingkar pinggang dapat memprediksi gangguan akibat resistensi
insulin pada DM tipe 2. Pada orang yang menderita obesitas, dalam
tubuhnya terjadi peningkatan pelepasan asam lemak bebas (Free Fatty
Acid/FFA) dari lemak visceral yaitu lemak pada rongga perut yang lebih
resisten terhadap efek metabolik insulin dan juga lebih sensitif terhadap
hormon lipolitik. Peningkatan FFA menyebabkan hambatan kerja insulin
sehingga terjadi kegagalan uptake glukosa ke dalam sel yang memicu
peningkatan produksi glukosa hepatik melalui proses glukoneosis.
Peningkatan jumlah lemak abdominal mempunyai korelasi positif dengan
hiperinsulin dan berkorelasi negatif dengan sensitivitas insulin. Itulah
sebabnya mengapa obesitas pada abdominal menjadi berisiko terhadap
kejadian Diabetes Mellitus tipe 2.
3) Kurangnya aktivitas fisik
Kurang aktivitas fisik dan berat badan berlebih merupakan faktor yang
paling utama dalam peningkatan kejadian Diebets Mellitus tipe 2 di
seluruh dunia. Menurut WHO yang dimaksud dengan aktifitas fisik adalah
kegiatan paling sedikit 10 menit tanpa berhenti dengan melakukan
kegiatan fisik ringan, sedang maupun berat. Kegiatan fisik dan olahraga
teratur sangatlah penting selain untuk menghidari obesitas, juga untuk
mencegah terjadinya diabetes Mellitus tipe 2. Pada waktu melakukan
aktivitas dan bergerak, otot-otot memakai lebih banyak glukosa daripada
pada waktu tidak bergerak. Dengan demikian kosentrasi glukosa darah
akan menurun. Melalui olahraga/kegiatan jasmani, insulin akan bekerja
lebih baik, sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel-sel otot untuk
digunakan.
4) Hipertensi (> 140/90 mmHg)
Disfungsi endotel merupakan salah satu patofisiologi umum yang
menjelaskan hubungan yang kuat antara tekanan darah dan kejadian
Diabetes Mellitus tipe 2. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
penanda disfungsi endotel berhubungan dengan durasi lamanya menderita
Diabetes dan disfungsi endotel berkaitan erat dengan hipertensi. Beberapa
literatur mengaitkan hipertensi dengan resistensi insulin. Pengaruh
hipertensi terhadap kejadian Diabetes mellitus disebabkan oleh penebalan
pembuluh darah arteri yang menyebabkan diameter pembuluh darah
menjadi menyempit. Hal ini yang akan menyebabkan proses
pengangkutan glukosa dari dalam darah ke sel menjadi terganggu. Seorang
yang hipertensi berisiko 2,3 kali untuk terkena Diabetes Mellitus tipe 2.
5) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)
Dislipidemia merupakan salah satu faktor risiko utama dari aterosklerosis
dan penyakit jantung koroner. Arteosklerosis dapat menyebabkan aliran
darah terganggu. Dislipidemia adalah salah satu komponen dalam trias
sindrom metabolik selain Diabetes dan hipertensi.
6) Merokok
Terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan
kejadian diabetes melitus tipe 2. Kebiasaan merokok merupakan faktor
risiko diabetes melitus tipe 2 karena memungkinkan untuk terjadinya
resistensi insulin. Kebiasaan merokok juga telah terbukti dapat
menurunkan metabolisme glukosa yang kemudian menimbulkan diabetes
melitus tipe 2.
7) Diet tak sehat (unhealthy diet)
Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko
menderita prediabetes dan akhirnya menderita diabetes mellitus tipe 2.
c. Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :
1) Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau penderita mempunyai
keadaan klinis lain yang mungkin masih terkait dengan resistensi insulin.
2) Penderita sindrom metabolik yang memiliki riwayat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
sebelumnya.
3) Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti penyakit stroke, PJK,
atau PAD (Peripheral Arterial Diseases).

D. Patofisiologis dan Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus


Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel beta di pankreas. Insulin
memegang peranan yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa dari darah
ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan untuk menghasilkan ATP sebagai bahan
bakar. Insulin dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya
glukosa ke dalam sel. Dengan bantuan GLUT 4 yang terletak pada membran sel maka
insulin dapat menjadi pembawa glukosa masuk ke dalam sel kemudian di dalam sel
tersebut glukosa di metabolisme menjadi ATP atau tenaga. Jika insulin tidak ada atau
jumlahnya sedikit, maka glukosa tidak akan bisa masuk ke dalam sel dan akan terus
berada di aliran darah yang akan mengakibatkan glukosa di dalam darah meningkat atau
hiperglikemia. Pada orang yang menderita DM, jumlah insulin yang dihasilkan sel beta
berkurang atau kualitas insulinnya kurang baik (resistensi insulin), sehingga tubuh tidak
dapat mempertahankan kadar glukosa dalam batas normal di dalam darah setelah
memakan karbohidrat. Jika terjadi hiperglikemia yang berat dan melebihi ambang batas
ginjal untuk glukosa, maka akan timbul glikosuria atau terdapat glukosa pada glomerulus
ginjal (Price & Wilson, 2006).
Glikosuria yang timbul akan berdampak diuresis osmotik yang menarik air
sehingga meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan akhirnya timbul rasa haus
(polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urin yang keluar, maka penderita akan
mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang
semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori dan
akibat glukosa yang tidak berhasil masuk ke dalam sel untuk diubah menjadi ATP.
Penderita mengeluh lelah dan mengantuk berat, penderita tersebut mungkin menderita
polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya penderita DM tipe 2 tidak mengalami
ketoasidosis karena pada DM tipe 2 penderita ini tidak mengalam defisiensi insulin
secara absolut namun hanya relatif. Artinya, sejumlah insulin tetap disekresikan dan
masih cukup untuk menghambat ketoasidosis (Price & Wilson, 2006).

E. Diagnosis Diabetes Mellitus


Diagnosis dini penyakit DM sangat menentukan perkembangan penyakit DM
pada penderita. Seseorang yang menderita DM tetapi tidak terdiagnosis dengan cepat
mempunyai resiko yang lebih besar menderita komplikasi dan kesehatan yang memburuk
(WHO, 2016). Diagnosis DM dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksan glukosa darah
yang dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam pemeriksaan laboratorium
seperti pemeriksaan glukosa darah. Metode yang paling dianjurkan untuk mengetahui
kadar glukosa darah adalah metode enzimatik dengan bahan plasma atau serum darah
vena (Perkeni, 2015).
Alat diagnostik glukometer (rapid) dapat digunakan untuk melakukan pemantauan
hasil pengobatan dan tidak dianjurkan untuk diagnosis. DM tidak dapat didiagnosis
berdasarkan glukosa dalam urin (glukosuria). Keluhan dan gejala DM yang muncul pada
seseorang dapat membantu dalam mendiagnosis DM. Seseorang dengan keluhan klasik
DM (poliuria, polidipsia, poliphagia) dan keluhan lain seperti lemas, kesemutan, gatal,
pandangan kabur dan disfungsi ereksi dapat dicurigai menderita DM (Perkeni, 2015).
Kriteria diagnosis DM menurut Perkeni (2015) adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.
b. Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 mg.
c. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan keluhan klasik.
d. Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5 % dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP). Catatan untuk
diagnosis berdasarkan HbA1c, tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi
standar NGSP, sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi.
Kadar glukosa darah yang tidak memenuhi kriteria normal dan tidak juga
memenuhi kriteria diagnosis DM dikategorikan sebagai kategori prediabetes. Kriteria
prediabetes menurut Perkeni (2015) adalah glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT),
toleransi Glukosa Terganggu (TGT) dan hasil pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan
angka 5,7 – 6,4 % berdasarkan standar NGSP Perbedaan antara prediabetes dan diabetes
adalah bagaimana tinggi kadar gula darah. Pradiabetes adalah ketika kadar gula darah
(glukosa) lebih tinggi dari normal tetapi tidak cukup tinggi untuk didiagnosis sebagai
diabetes tipe 2. Prediabetes tidak harus menghasilkan diabetes jika perubahan gaya hidup
yang dijalani adalah gaya hidup sehat (Nordisk, 2016).
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada seseorang yang mungkin menderita
DM tetapi tidak menunjukkan gejala dan keluhan. Pemeriksaan penyaring dilakukan
untuk mendiagnosis DM tipe 2 dan prediabetes. Pemeriksaan penyaring ini dilakukan
pada kelompok dengan resiko menderita DM yang tinggi yaitu kelompok dengan Indeks
Massa Tubuh (IMT) yang besar, kelompok dengan faktor risiko DM tinggi dan kelompok
usia >45 tahun (Perkeni, 2015).

F. Komplikasi Diabetes Mellitus


Komplikasi dari diabetes sendiri ada bermacam macam. Komplikasi dari DM sendiri
dapat di golongkan menjadi komplikasi akut dan komlikasi kronik (Setiati et al., 2014).
a. Beberapa contoh dari komplikasi akut adalah :
1) Ketoasidosis diabetik
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif
dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan
hormon pertumbuhan).
2) Koma Hiperosmolar Non Ketotik
Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari 600 mg
% tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350 mosm. Keadaan
ini jarang mengenai anakanak, usia muda atau diabetes tipe non insulin dependen
karena pada keadaan ini pasien akan jatuh kedalam kondisi KAD, sedang pada
DM tipe 2 dimana kadar insulin darah nya masih cukup untuk mencegah lipolisis
tetapi tidak dapat mencegah keadaan hiperglikemia sehingga tidak timbul
hiperketonemia.
3) Hipoglikemia
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala klinis
atau GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium parasimpatik:
lapar, mual, tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan : lemah lesu, sulit
bicara gangguan kognitif sementara. Stadium simpatik, gejala adrenergik yaitu
keringat dingin pada muka, bibir dan gemetar dada berdebar-debar. Stadium
gangguan otak berat, gejala neuroglikopenik : pusing, gelisah, penurunan
kesadaran dengan atau tanpa kejang.
b. Beberapa contoh dari komplikasi kronis (komplikasi mikrovaskuler dan
makrovaskuler) adalah :
1. Komplikasi mikrovaskuler terdiri dari:
1) Retinopati diabetik
Pada retinopati diabetik prolferatif terjadi iskemia retina yang progresif yang
merangsang neovaskularisasi yang menyebabkan kebocoran protein-protein
serum dalam jumlah besar. Neovaskularisasi yang rapuh ini berproliferasi ke
bagian dalam korpus vitreum yang bila tekanan meninggi saat berkontraksi
maka bisa terjadi perdarahan masif yang berakibat penurunan penglihatan
mendadak. Hal tersebut pada penderita DM bisa menyebabkan kebutaan.
2) Neuropati diabetik
Neuropati diabetik perifer merupakan penyakit neuropati yang paling sering
terjadi. Gejala dapat berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk
terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa
terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit di malam hari.
3) Nefropati diabetik
Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200 ig/menit
pada minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi
proteinuria akibat hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat
glomerulus. Akibat glikasi nonenzimatik dan AGE, advanced glication
product yang ireversible dan menyebabkan hipertrofi sel dan kemoatraktan
mononuklear serta inhibisi sintesis nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi
peningkatan tekanan intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus dan
inflamasi kronik, nefritis yang reversible akan berubah menjadi nefropati
dimana terjadi keruakan menetap dan berkembang menjadi chronic kidney
disease.
2. Komplikasi makrovaskuler terdiri dari :
1) Penyakit pembuluh darah jantung atau otak
2) Penyakit pembuluh darah tepi Penyakit arteri perifer sering terjadi pada
penyandang diabetes, biasanya terjadi dengan gejala tipikal intermiten atau
klaudikasio, meskipun sering anpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki
merupakan kelainan yang pertama muncul
G. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
1. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian
dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan
DM secara holistik (PERKENI, 2015).
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2 secara
komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan
kebutuhan setiap penyandang DM. Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM
hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal
makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan
obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri. Standar yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi : (PERKENI, 2015)
a. Karbohidrat : 45 – 65 %
b. Protein : 15 – 20 %
c. Lemak : 20 – 25 %
3. Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2 apabila
tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani
dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45
menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari
berturut-turut. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum
latihan jasmani. Apabila kadar glukosa darah 250 mg/dL dianjurkan untuk menunda
latihan jasmani. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas seharihari bukan termasuk dalam
latihan jasmani meskipun dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari. Latihan jasmani
selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.
Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan
intensitas sedang (50- 70% denyut jantung maksimal) seperti: jalan cepat, bersepeda
santai, jogging, dan berenang (PERKENI, 2015).
Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara mengurangi angka 220 dengan
usia pasien. Pada penderita DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoartritis, hipertensi
yang tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan resistance
training (latihan beban) 2-3 kali/perminggu sesuai dengan petunjuk dokter. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Intensitas
latihan jasmani pada penyandang DM yang relatif sehat bisa ditingkatkan, sedangkan
pada penyandang DM yang disertai komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi dan
disesuaikan dengan masing-masing individu (PERKENI, 2015).
4. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan (PERKENI, 2015).
a. Obat Antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia
b. Obat Antihiperglikemia suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi insulin
dan agonis GLP-1.

H. Prognosis
Prognosis ini umumnya adalah dubia karena penyakit ini adalah penyakit kronis, quo ad
vitam umumnya adalah dubia ad bonam namun, quo ad fungsionam dan sanationamnya
adalah dubia ad malam (Setiati et al., 2014)

I. Konseling dan Edukasi


Edukasi meliputi pemahaman tentang : (Price & Wilson, 2006)
1. Penyakit DM tipe 2 tidak dapat sembuh tetapi dapat dikontrol
2. Gaya hidup sehat harus diterapkan pada penderita misalnya olahraga, menghindari
rokok dan menjaga pola makan
3. Pemberian obat jangka Panjang dengan control teratur setiap 2 minggu
BAB IV
KESIMPULAN

Diabetes melitus penyakit gangguan metabolisme yang bersifat kronis dengan


karakteristik hiperglikemia dengan berbagai komplikasi akut dan kronis dapat timbul akibat
kadar gula darah yang tidak terkontrol. Penatalaksanaan diabetes mellitus yaitu edukasi, terapi
nutrisi medis, latihan jasmani dan terapi farmakologis (oral atau suntik) serta mengharuskan
penderitanya untuk selalu memonitor diri akan kondisi kadar gula darah sesering mungkin.
DAFTAR PUSTAKA

Perkeni, 2015. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Konsensus .
Price, S.A. & Wilson, L.M., 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6.
Jakarta: EGC.
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A., Simadribata K, M., Setiyahadi, B., & Syam, A. F. (2014). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Interna Publishing.

Anda mungkin juga menyukai