Anda di halaman 1dari 3

Halaman Judul

Paralisis Diafragma

Abstrak

Pendahuluan: Paralisis bilateral diafragma dapat berupa kondisi klinis idiopatik atau terkait
dengan beberapa penyakit seperti trauma, pembedahan, infeksi virus, gangguan neurologis.
Diafragma adalah otot pernapasan utama. Ini adalah struktur otot-tendon cupoliform, dipersarafi
secara bilateral oleh saraf frenikus, yang berasal dari akar saraf C3-C5. Paralisis diafragma
adalah kelainan klinis yang menghasilkan hipoventilasi dan atelektasis paru basal, merupakan
predisposisi terjadinya gagal napas hiperkapital. Manifestasi klinis serupa dengan patologi
kardio-respirasi, oleh karena itu sering terjadi kesalahan diagnosis.
Presentasi kasus: Pria berusia 55 tahun dengan fraktur traumatis C6-7 sebelumnya, dibawa ke
ruang gawat darurat karena dispnea nokturnal akut, diobati dengan terapi antibiotik, terapi
diuretik dan terapi oksigen jangka panjang, tanpa efek menguntungkan. Dirujuk ke klinik paru
untuk evaluasi ortopnoea persisten dan memburuk karena penyebab yang tidak diketahui selama
sekitar 2 tahun. Pemeriksaan klinis, tes fungsional pernapasan dan USG diafragma menimbulkan
kecurigaan yang kuat akan defisit diafragma, dikonfirmasi oleh elektromiografi.
Kesimpulan: Pasien sering dibawa ke ruang gawat darurat dan selalu diindikasikan gangguan
kardio-respirasi. Dari awal gejala hingga dilakukan tes fungsi pernafasan pasien, sekitar 2,5
tahun telah berlalu Munculnya gejala ortopnoea, mengarah untuk pemeriksaan pada diafragma
yang lebih spesifik yang dinilai dengan pemeriksaan USG.

Latar Belakang

Paralisis diafragma adalah penyebab langka kegagalan pernapasan yang sulit untuk
dijelaskan. Meskipun keadaan ini merupakan komplikasi yang biasanya tejadi pada operasi
kardiotoraks, tetapi sulit dikenali dan diagnosis sering tertunda. Harus dipertimbangkan kondisi
pasien dengan volume paru-paru rendah, hiperkapnia progresif, dan dispnea pada posisi
telentang.1
Hasil tes fungsi paru buruk; tekanan inspirasi maksimum (MIP) berkurang. Sangat sulit
untuk mendiagnosis secara pasti. Tes fluoroskopik sniff yang mana 90% sensitif untuk
mendiagnosis kelumpuhan diafragma unilateral, dapat memberikan hasil yang tidak akurat pada
kelumpuhan diafragma bilateral. Pengukuran tekanan transdiaphragmatik pada lambung dan
esofagus merupakan satu-satunya metode yang dipercaya untuk mendiagnosis penyakit ini secara
akurat.2 Telah dilaporkan kasus hiperkapnia berulang, supine dyspnea, dan gagal napas selama 2
bulan sebelum diagnosis dan pengobatan paralisis diafragma bilateral.

Presentasi Kasus

Seorang pria berusia 55 tahun yang tidak memiliki riwayat merokok sebelumnya, memiliki
berbagai macam riwayat medis, yaitu hipertensi, dislipidemia, vasculopathy karotid, diabetes
mellitus tipe II, polineuropati diabetik aksonal simetris. Dilaporkan mengalami fraktur C6-7
sebelumnya karena pasien jatuh dari tangga saat dia sedang bekerja, dirawat dengan arthrodesis
anterior dan diposisikan kembali dengan alat intersomatik (Juni-Agustus 2015); episode stroke
cerebri (Agustus 2015), dirawat inap karena gagal jantung dengan edema kaki bilateral dan
simetris (Februari 2017). Dibawa ke unit gawat darurat karena dispnea nokturnal akut, diobati
dengan terapi antibiotik, terapi diuretik, dan terapi oksigen jangka panjang. Dirujuk ke klinik
paru dikarenakan evaluasi ortopnoea yang memburuk, asfiksia dan rasa mengantuk di siang hari
dengan penyebab yang tidak diketahui sejak 2016. Indeks Massa Tubuh 38 kg/cm2. Tes fungsi
pernapasan (RFT) dalam posisi ortostatik menunjukkan: kapasitas paru total 44,2%; volume
residu 127%; kapasitas vital 37,6%; kapasitas vital paksa 38,6%; volume ekspirasi paksa selama
39,3% detik pertama, indeks Tiffeneau 81,1%, CO 88% paru-paru difus; CO / Va80% paru paru;
tekanan inspirasi maksimal 36 cmH2O; tekanan ekspirasi maksimal 70 cm H2O; tekanan
inspirasi ketika menghirup udara 21.RFT menunjukkan penurunan 20% dalam kapasitas vital.
Analisia gas darah menunjukkan: pH = 7,42 pO2 = 63 pCO2 = 54 HCO3- = 40,9 SaO2 = 88,2%
Lac = 0,8: gagal nafas tipe II. Ekokardiogram dalam ambang batas dengan EF = 60%. X-ray
dada posteroanterior (PA) menunjukkan gambaran radioopac pada sinus cost-phrenic (Gambar
1). Selain itu, pemantauan kardiorespirasi menunjukkan indeks apnea-hipopnea 23,9.
Ultrasonografi diafragma dilakukan dengan posisi convex probe semi-sitting, menunjukkan
ekskursi diafragma 1 cm dengan linear probe, menunjukkan penebalan fraksi 27% (Gambar 2).
Hasil tes fungsional paru dan ultrasonografi menimbulkan kecurigaan kuat terhadap disfungsi
pada diafragma, kemudian dipastikan oleh pemeriksaan elektromiografi saraf frenikus dengan
tidak adanya potensi aksi unit motorik (MUAPs). Akan diberikan ventilasi non-invasif jangka
panjang , dengan peningkatan kondisi klinis.

Diskusi

Paralisis diafragma bilateral memiliki presentasi unik berupa dispnea, ortopnea, dan
penurunan MIP, tetapi tetap sulit untuk didiagnosis. Pasien biasanya mengalami gejala dispnea
berat saat berbaring. Tes fungsi paru menunjukkan pola restriktif, dengan kapasitas vital yang
berkurang sekitar 55% dari yang diperkirakan dan volume residu sebesar 45% dari yang
diperkirakan.3 Secara karakteristik, pasien mengalami penurunan kapasitas vital hingga 40%,
yang disebabkan oleh perpindahan isi perut karena gravitasi menggeser diafragma.4
Elektromiografi diafragma dan pengujian kecepatan-saraf-konduksi juga merupakan
pemeriksaan penunjang untuk paralisis diafragma. Studi elektromiografi dan konduksi saraf
lebih dipercaya dalam membedakan etiologi paralisis diafragma.5
Kelumpuhan diafragma dapat dengan mudah salah didiagnosis dengan kondisi klinis kardio-
respirasi, terutama dyspnea sebagai gejala yang muncul. Pasien mengalami lesi traumatis
bilateral pada saraf frenikus saat bekerja. Manifestasi klinis yang muncul ortopnoea berat, gagal
ventilasi ketika tidur, terkait dengan gagal jantung, edema kaki simetris dan juga episode ictus
cerebri. Tes fungsional menunjukkan pola restriktif sedang. Kemudian dinilai kembali pada
posisi terlentang, menunjukkan pengurangan kapasitas vital yang signifikan antara kedua posisi
(ΔVC 20%). Reduksi pada ekskursi diafragma, ditemukan dengan ultrasonografi, menimbulkan
kecurigaan disfungsi pada diafragma. Semua tanda-tanda ini menjelaskan defisit fungsional
inspirasi, diperburuk ketika diposisikan terlentang dengan kegagalan pernapasan hiperkapnis dan
episode desaturasi intermiten nokturnal. Kemudian diagnosis pasti dilakukan dengan
elektromiografi. Ventilasi non-invasif intermiten jangka panjang efektif dalam mentatalaksana
gagal ventilasi, meningkatkan fungsi otot pernapasan dan pertukaran gas.
Kesimpulan

Pasien dibawa ke ruang gawat darurat beberapa kali dan selalu diindikasikan gangguan
kardio-respirasi. Dari awal gejala hingga dilakukan tes fungsi pernafasan pasien, sekitar 2,5
tahun telah berlalu. Munculnya gejala ortopnoea, mengarah untuk pemeriksaan pada diafragma
yang lebih spesifik. Studi pernapasan fungsional di dua posisi dan penilaian yang akurat dari
fungsi dinamis diafragma melalui USG serta alat pemeriksaan penunjang lainnya, sangat
menentukan untuk tindakan medis kedepannya.

Acknowledgement

Penulis mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada DR. drh. Hj. Titiek Djannatun
selaku koordinator penyusun Blok Elektif, dr. Hj. RW. Susilowati, M.Kes selaku koordinator
pelaksana Blok Elektif, dr. Kamal Anas, Sp.B  selaku dosen pengampu bidang kepeminatan
kegawatdaruratan/Emergency. Serta kepada  dr. Yurika Sandra sebagai pembimbing kelompok
yang telah memberikan bimbingannya, serta teman-teman kelompok sepeminatan dan teman-
teman Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi yang telah membantu dalam pengerjaan laporan
kasus ini.

Daftar Pustaka

1. Schram DJ, Vosik W, Cantral D. Diaphragmatic paralysis following cervical chiropractic


manipulation: case report and review. Chest 2001;119(2):638-640.

2. Benditt JO. Esophageal and gastric pressure measurements. Respir Care 2005;50(1):68-75

3. Aldrich TK, Tso R. The lungs and neuromuscular diseases. In: Murray JF, Nadel JA, editors.
Murray and Nadel’s textbook of respiratory medicine, 4th edition. Philadelphia: Saunders;
2005:2285-2290

4. Celli BR. Respiratory management of diaphragm paralysis. Semin Respir Crit Care Med
2002;23(3):275-281.

5. Lin MC, Liaw MY, Huang CC, Chuang ML, Tsai YH. Bilateral diaphragmatic paralysis: a
rare cause of acute respiratory failure managed with nasal mask bilevel positive airway pressure
(BiPAP) ventilation. Eur Respir J 1997;10(8):1922-1924.

Anda mungkin juga menyukai