Anda di halaman 1dari 19

Journal Reading

BRONKIEKTASIS NON KISTIK

Oleh:

Aldi Andika Nugratama 1010312014

Afida Razuna Ave 1310311014

Preseptor :

dr. Yessy Susanty Sabri, SpP (K)

BAGIAN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI

RSUP DR.M DJAMIL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2017
Abstrak: Peningkatan perhatian terhadap masalahnon-kistik fibrosis
diakibatkan mempunyai morbiditas yang signifikan pada orang dewasa dan saat
ini dapat didiagnosis dengan HRCT. Tidak hanya karena TB, non-CF
bronkiektasis juga disebabkan oleh adanya perbedaan proses dan varian
mekanisme yang nantinya menghasilkan tampilan klins berupa batuk kronis,
produksi sputum purulent dan dilatasi jalan nafas. Perlu dipahami bahwa mukus
yang statis dapat membuat kolonisasi sehingga diperlukan peningkana klirens
saluran nafas dan antibiotik inhalasi terutama dengan klinis yang berat.
Makrolide kronik dosis rendah terbukti mengurangi eksaserbasi dan inflamasi
saluran nafas. Pertamakalinya, bebrapa terapi non-CF bronkiektasis masih
dipelajari untuk suatu populasi. Review pendek ini dengan fokus pada etiologi
terbanyak, alat diagnosa, mikrobiologi, dan manajemennya.

PENDAHULUAN

Diawali oleh Laenec pada tahun 1819 Laënnec, bronkiektasis


merupakan penyakit supuratif paru dengan tampilan fenotip yang
heterogen. Bronkiektasis didaignosa dengan high resolution computed
tomography(HRCT)scan. Kriteria spesifik berupa: (1) Diameter internal
bronkus lebih dari pembuluh sekitar; atau (2) bronkus yang gagal
mengerucut di daerah perifer. Walaupun penebalan jalan nafas sering
terjadi, penemuan radiologi ini bukanlah suatu poin diagnosa dari
bronkiektasis seperti penyakit saluran nafas lain seperti asma maupun
PPOK. Pembahasan singkat ini kami membahas mengenai penyebab
terbanyak bronkiektasis. Evaluasi menyeluruh dapat mengarahkan ke
diagnosis spesifik pada kebanyakan kasus yang nantinya dapat
mempengaruhi tatalaksana. Kami mengulang kembali microbiologi dan
tatalaksana strategis untuk meningkatkan klirens mukus;pengunaan terapi
antimikroba inhalasi yang absorbs dan toksisitasnya terbatas dan terdapat
data mengenai keuntungan dari terapi makrolide jangka lama.
British Thoracic Society(BTS) telah mempublikasikan mengenai
guideline non-CF bronkiektasis dengan rekomendasi berdasarkan kasus
dan pendapat ahli. Bukti berdasarkan algorithma telah penuntun nasional
multicenter dan percobaan terapi klinis padanon-CF bronkiektasis.

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi kejadian bronkiektasi meningkat di Amerika


Serikat.Seitz dkk telah menganalisis 5% sampel Medicare Part B data
rawa inap terdiagnosa bronkiektasis dengan ICD-9. Prevalensi nya
meningkat dari tahun ke tahun dari tahun 2000 ke 2007 dengan
perubahan persentase pertahun 8.74%.Prevalensi peningkatan puncak pada
usia 80–84 tahun. Prevalensi Bronkiektasis lebih banyak terjadi pada
perempuan walaupun sudah dilakukan dengan CT scans (odds ratio
[OR], 1.36; 95% [CI],1.32–1.40).Bronkiektasis banyak terjadi pada
populasi ras Asia. Data ini tidak menjelaskan mengenai kesimpulan
apakah ini peningkatan kejadian atau hanya karena penggunaan HRCT
yang semakin meningkat.
Non-CFbronkiektasis menimbulkan beban pasien karena
membutuhkan rawat inap yang lebih lama, kunjungan rawat jalan yang
meningkat dan terapi yang semakin kompleks, dengan biaya
diperkirakan sekitar $630 juta pertahun di Amerika Serikat. Angka
mortalitas dalam rentang 10 ke16% dengan perkiraan observasi
4tahun. Penyebab kematian yang banyak berupa brokniektasis ataupun ada
kegagalan napas lain yang terkait. Nilai FEV1rendah dan skor dipnu yang
tinggiberhubungan dengan peningkatan mortalitas. Faktor risiko
mortalitas lain berupa sputumPseudomonas positif, BMI rendah, laki-
laki,usia tua dan adanya PPOK. Onen dkk menjelaskan vaksinasi
regular dan kunjungan yang teratur dapat meningkatkan survival.
Hubungan etiologi spesisfik bronkiektasis dengan angka mortalitas
belum diketahui.yang dilaporkan oleh 2 studi lainnya, namun saat ini
sudah banyak analisis retrospektif pada539 pasien oleh Goeminne dkk
yang melaporkan bronkiektasis idiopatik memiliki angak kamatian
terendah (3.4% at 3.3 yr) dibandingkan dengan bronkiektasis dengan
penyebab.
PATOGENESIS

Berdasarkan artikel Reid 1950 yang melaporkan 45 operasi


lobektomi terdapat bronkiektasis. Reid kemudian mengajukan fenotip
patologis berupa (cylindrical, varicose, dan saccular) dan menemukan
terdapat pengurungan subdivisi bronkiektasis dibandingkan pada subjek
normal control. Cole’s vicious cyclekemudian diterimas sebagai
penjelasan mengenai evolusi bronkiektasis
Pada model ini, terdapat predisposisi respon inflamasi berat ke injury
paru. Inflamasi bertanggung jawab parsial pada keruasakan struktural
jalur nafas. Abnormalitas struktural tersebut mengakibatkan stasis
mukus abnormal yang dapat berujung pada infeksi kronis dan vicious
cycle. Klirens tracheobronkial pada bronkiektasis ditemukan lebih
lambat dibandingkan subjek kontrol apabila ada infeksi. Mukus yang
tertinggal akan menyumbat dan mengakibatkan obstruksi, obliterasi dan
kerusakan saluran nafas yang lebih berat. Respon inflamasi berupa,
neutrophils, limfosityang semakin merusak saluran nafas.. Keterangan
mengenai bagaimana siklus ini dimulai oleh tiap etiologinya berbeda,
namun pada umumnya disebabkan oleh circular feedback loop results.
Terapi difokuskan pada memutus mata rantai dari
stasismucus,infeksi,inflamasi, dan perusakan saluran nafas.

ETIOLOGI

Berbagai penyebab non-CF bronkiektasis (Tabel 1) yang


bergantung pada tiap studi populasi. Tahun2000,daerah Inggris
berdasarkan investigasi Pasteur dkk menemukan terdapat 150 pasien
yang didominansi kulit putih yang mengalami bronkiektasis dengan
53%nya idiopatik. Investigasi lanjutan pada etiologinya, menunjukkan
hanya 26% kasus masih idiopatik setelah evaluasi. Pada kedua studi
ini, penyebab terbanyak yang teridentifikasi berupa riwayat
postinfeksi yang terdapat pada sepertiga kasus. InvestigasiAU.Spada
sebab bronkiektasis ditemukan lebih dari 90% pada 106 pasien setelah
dilakukan evaluasi sistemik. Penemuan umunya berupa disregulasi
sistem imun, baik hiperimunitas (autoimmunedisease) atau hipoimunitas
(defek immunoglobulin atau keganasan hematologi),merupakan penyebab
utama bronkhiektasis. Studi ini dilakukan pada satu senter kesehatan
dengan populasi yang besar dan mungkin diperlukan kontribusi untuk
mengindentikasi sebab utama bronkiektasis dan etiologi yang
berperan.
Penemuan terbaru menunjukkan terdapat perkembangan menjadi
bronkiektasis terkait transplantasi stem cell pada 15 pasien
(14.2%),11diantaranya denangraft-versus-host disease (GVHD).
Kontribusi utama pada infeksi rekuren berupa imonuosupresi versus
GVHD-terkait airway wall injury .
Telah diajukan bahwa nontuberkulus mycobacterial
(NTM)menyebabkanbronkiektasis.Walaupun infkesi NTMlebih berat dari
bronkiektasis yang telah ada sebeliumnya, bukti mengenai peneyebabnya
belum sepenuhnya diketahui. Terdapat banyak bukti mengenai NTM-
Bronkoektasis mempunyai fenotip imunologis yang berbeda sehingga
menghasilkan imbalan sitokin sehingga host tidak dapat melawan
mikobakterial. Walapun penyebab dilihat secara mekanis namun secara
genetik, diperkirakan terdapat peran NTM
Berbagai studi menunjukkan ditemukannya bronkiektasis pada kasus
asma dan PPOK. Walaupun setiap orang berbeda. Asma dan PPOK secara
klinis dapat ditemukanbronkiektasis, hal ini menunjukkan terdapat
hubungan long-standing asthma atauCOPD dalam bronkiektasis.
Diberbagai multisenter studi ditemukan 99 pasien sedang berat berdasarkan
kriteria GOLD (Global Initiativonic Obstructive Lung Disease),
bronkiektasis ditemukan di HRCT sebanyak 52.7% pasien. Bakteri pathogen
seperti Pseudomonasaeruginosa and Haemophilus influenza ditemukan
sebanyak 42.3% pada sputum subjek dan mungkin memiliki peranan dalam
perkembangan bronkiektasis seperti yang dikemukakan pada teori
lingkaran setan.
DIAGNOSIS

Bronkiektasis harus dicurigai pada pasien batuk kronis dengan


produksi sputum atau dengan infkesi respirasi yang sering. Faktor diagnosis
yang mendukung berupa : produksi sputum tiap hari, rhinosinusitis, fatik,
hemaptoe, sulit tatalaksana denagan asma dan PPOK, dan pasien dengan P.
aeruginosa atau NTM pada sputum. Walaupun sputum kronis merupakan
tanda klasik yang harus diperiksa dengan baik seperti di sederhana.
Keluhan dipnu, wheezing, nyeri pleuritis.Shoemark dkk melaporkan
identifikasi etiologi pada 37% pasien dengan bronkiektasisnya.
Langkah awal dengan mengeklusikan CFdengan cara penghitungan
klorida keringat dan tes genetik. Dua penghitungan lebih dari 60 mmol/L
are merupakan diagnostic CF. Angka yan tidak melebihi 59 mmol/L
memerlukan pemeriksaan labeih lanjut.
CF transmembrane conductance regulator (CFTR) heterogenitas
gen dapat mempunyai konsekuensi pathogen pada pasien bronkiektasisi
difus walaupun dnegan penghitungan klorida normal.Bienvenu dkk
menghitung potential difference mukosa nasal pada 85 pasiens
idiopatik bronkiektasias atau ada mutasi CFTR. Penulis menjelaskan
dan peningkatan keabnormalisan mukosa hidung. Beberapa ahli
menunjukkan bahwa disfungsi continuum CFTR dapat menjelaskan
finansional
Guideline BTS non-CF bronkiektasis menunjukkan evaluasi
berikut: Riwayat gejala neonatus, infertitilas, pneumonia sebelumnya,
penyakit virus pada anak, aspirasi grastik, asma, dan jaringan ikat.
Riwayat keluarga perlu diketahui untuk mengidentifikasi gen seperti
primary ciliarydyskinesia(PCD). Batuk wet saat usia sekolah neonatus.
Tes nitrat oksida dapat menjadi evaluasi awal PCD. Level nasalnitricoxide
menjamin adanya evaluasifollow-uptermasuk tes genetik testing. Pasien
dengan fenotip sugestif PCD harus dikonsulkan ke spesialis
Tidak adanya keberadaan PCD dan CF, pasien lain sudah tidak ada
PCD dan CF
Tabel 2 menunjukkan diagnostic minimum tes laboratorium.
Sputum harus dikultur dengan pemisahan yang berbeda pula dengan
BTA. Pada pasien sulit mengekuarkan sputum dapat diinduksi dengan
inhalasi salin hipertonis, teknik aman untuk bilas bronkolveolar untuk
isolasi patologik CD. Bronkoskopi untuk bilas bronkoalveolar dapat
dilakukan pada pasien (1) yang tidak dapat mengelurkan sputum (2)
melakukannya tidak tepat (3) CT scan sugestif NTM namun klutur
sputum negative. Pencitraan follow-up (e.g., pasien mengobat pasien
NTM yang belum menerima terapi antimikroba. Berbagi serial
pencitraan dengan pertimbangan radiasiyang tinggi Magnetic
resonance imaging (MRI) merupakan pencitraan yang jarang dilakukan
(35) namun berdasarkan studi bahwa CF maupun non-CF yang daoat
ditemukan distorsi sampah yang banyak and non-CF. Spesialis paru
maupun radiolog special baru familiar terhadap teknik ini, MRI thorakal
dapat dilakukan dan manajemennya,

MIKROBIOLOGI
Mukus pada jalan nafas pasien bronkiektasis ditemukan berbagai
organisme. Pada studi 89 dewasa, dengan idiopatik bronkiektasis,
diaporkan oleh King dkk bahwa hasil sputumnya dibagi atas tiga grup
sesuai tampilan klinisnya berupa :(1)P.aeruginosa, (2)H.influenzae, dan
(3)flora normal atau tidak ada organisme. Tampilan klinis, fungsi paru oleh
infeksi P. aeruginosa, lebih berat dan sedikit lebih ringan pada infeksi H.
influenzae, yang diarahkan terdapat progresi penyakit yang berhubungan
dengan evolusi dari flora normal ke H.influenzae ke P.aeruginosa.

Bakteri Gram-negatif adalah yang paling banyak ditemukan pada


sputum pasien bronkiektasis. King dkk menemukan H. influenzae
sebanyak 47%, diikuti oelh P.aeruginosa (12%) dan Moraxella catarrhalis
(8%). Studi lainnya menunjukkan P. aeruginosa lebih banyak yaitu 25–
58%.

Tampilan klinis, fungsi paru, eksaserbasi dan penurunan kualitas hidup


lebih sering oleh infeksi P. aeruginosa. Gram-positif sedikit ditemukan
seperti Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus. Studi King
dkk melaporkan ,S.pneumoniae pada 7%, sedangkan S.aureus ditemuakn
terisolasi pada 3 dari 89 subjek. Methicillin-resistantS. aureus (MRSA)
dapat ditemukan bersamaan denganP.aeruginosa,atau menginfeksi
tunggal.
Infeksi NTM banyak pada pasienbronkiektasis, dan terdapat
bukti peningkatan kejadian(42).Organisme cukup sulit dieradikasi
karena banyak ditemukan di lingkungan. Penjelasan lebih lengkap
mengenai diagnosis dan manajemen organisme terdapat pada American
ThoracicSociety/Infectious Diseases Society of Americaguideline.
Hampir semua bakteri pada bronkiektasis termasuk mikobakterial
membentuk biofilms. Biofilmsmengakibatkan antibiotik menjadi lebih
sulit akibat adanya hydratedmatrix dari polisakarida ekstrasel dan
proteinnya sehingga dapat dilindungi dari lingkungan host
Biofilms membantu keberlangsungan hidup bakteria dengan
berbagai cara. Dalam biofilm tersebut zona anoxia, keasaman dan
deplesi nutrisi yang dapat menstimulasi fase dorman sehingga
mengakibatkan resistensi pada antibiotik. Biofilms menurunkan
penetrasi antibiotik, dan membuat bakteru beradaptasi dengan
lingkukan sekitar yang dikenal dengan istilah quorum sensing.
Antibiotik dapat diidentifikasi dan diinkatifkan.Polimers dalam
biofilm didilusikan dalam biofilm oleh debris sel dan adanya pompa
efluks antibiotic-specific.
Biofilmsjuga melindungi bakteri dari fagosit dan antibodi. Dalam waktu
dekat, mungkin sudah tersedia pengobatan target dan penetrasi
biofilm.

MANAGEMEN

Pentalaksanaan komprehensif bronkiektasissangatlah penting baik


difus maupun terlokalisir. (Figure 4) Hal ini penting untuk menntukan
penyebab dapat dimodifikasi seperti defek imonuglobulin seperti
defeka1-antitrypsin. Langkah selanjutnya berupa klirens jalan nafas
dan mendapatkan sputum untuk dianalisis bakterialisnya dan
BTA.Hasil kultur sputum harus diberikan antibiotik yang tepat. Pasien yang
sering mengalami eksaserbasi dapat dipertimbangkan untuk diberikan
macrolide. Ahli berpendapat latihan, rehalibitasi paru dapat dilakukan.
Secara keseluruhan target terapi berupa:(1)mengurangi gejala (2)
meningkatkan kualitas hidup(3) mencegah eksaserbasi yang terkait
dengan outcomes yang semakin buruk.

Airway Clearance
Tujuan dari airway clearance adalah untuk memobilisasi sekresi
bronkopulmonal dan lingkaran setan dari inflamasi dan infeksi. Airway clearance
menggunakan agen inhalasi (contohnya salin hipertonis 7% ) bersama dengan
fisioterapi dada, seperti alat positive expiratory pressure (PEP), high-frequency
chest wall oscillation (HFCWO, seperti sistem The Vest; Hill-Rom, St. Paul, MN),
autogenic drainage, active cycle breathing with huff coughs, atau perkusi dada
manual. Dalam ujicoba crossover acak pada 20 pasien dengan bronkiektasi non-
CF, Murray dan kawan-kawan mengevaluasi efek dari fisioterapi dada
menggunakan alat osilasi PEP (Acapella Choice; Smiths Medical, St. Paul, MN)
versus tanpa fisioterapi dada. Perbaikan yang signifikan dalam skor kualitas hidup
dan kapasitas latihan didapatkan oleh pasien yang menggunakan alat PEP 2 kali
sehari selama 3 bulan. Sebuah penelitian membandingkan HCWO dengan alat
PEP menunjukkan bahwa HCWO menghasilkan perbaikan yang signifikan seara
statistik pada Breathlessness,Cough and Sputum Scale dan tes penilaian PPOK,
perbaikan FEV1 dan FVC, serta menurunkan protein C-reaktif dan netrofil sputum
dibandingkan dengan yang menggunakan alat PEP. Keterbatasa pada penelitian
ini dan lainnya dalam mengevaluasi cara dari airway clearance adalah ukuran
sampel yang kecil dan masa penelitian yang sebentar, membuat sulit untuk
menyatakan superioritas dari salah satu cara airway clearance. Menambahkan
drainase postural dalam fisioterapi dada menunjukkan adanya penambahan jumlah
sputum yang dihasilkan selama airway clearance. Modalitas airway clearance
yang manapun dapat disesuaikan dengan keinginan pasien tetapi dalam semua
kasus, edukasi pasien mengenai berbagai teknik yang diberitahukan oleh praktisi
merupakan faktor penting dalam kesuksesan terapi.
Salin hipertonis yang dinebulisasi dan inhalasi mannitol dalam bentuk
bubuk kering meningkatkan klirens oleh mukus dengan mengurangi osmolalitas,
sehingga klirens menjadi lebih mudah. Sebuah percobaan fase 3 jangka panjang
internasional, multicenter, dari inhalasi mannitol pada pasien-pasien dengan
bronkiektasis non-CF telah selesai pendaftaran.

Nicolson dan kawan-kawan melakukan penelitian dengan satu pusat,


disamarkan, prospektif, selama 12 bulan untuk membandingkan airway clearance
dengan salin hipertonis 6% versus salin isotonis pada pasien-pasien bronkiektasis
dan menemukan perbaikan bakteriologi sputum dan nilai kualitas hidup pada
kedua kelompok; perbedaan dari kedua kelompok tidaklah signifikan. Penelitian
tambahan dibutuhkan untuk mengklarifikasi apakah manfaat yang didapatkan
pasien merupakan hasil dari agen yang digunakan dalam klirens atau usaha dari
klirens itu sendiri. Suatu hal yang penting untuk diperhatikan adalah setelah
penelitian selesai, lebih banyak pasien terpilih yang melanjutkan terapi salin
hipertonik dibandingkan dengan terapi salin isotonik. Selain memperbanyak
klirens mukus, salin hipertonik mungkin memiliki efek modulasi terhadap imun.
Reeves dan kawan-kawan menunjukkan terdapat penurunan konsentrasi IL-8
dalam sputum dan cairan bilas bronkoalveolar pada pasien dengan fibrosis kistik
setelah pemberian inhalasi salin hipertonik.

Agen mukolitik dimaksudkan untuk mengurangi viskositas sputum.


Dornase alfa (Dnase manusia rekombinan) adalah agen mukolitik yang tersedia
secara komersial yang sudah diteliti pada bronkiektasis. Dornase alfa
menunjukkan adanya perbaikan fungsi paru dan engurangi frekuensi eksaserbasi
pada populasi fibrosis kistik, tetapi tidak bekerja dengan baik pada bronkiektasis
non-CF ketika diinvestigasi pada awalnya dan ditemukan potensial
membahayakan pada penelitian selanjutnya oleh O’Donnell dan kawan-kawan,
yang mempelajari obat pada populasi besar secara acak yang menerima baik
dornase alfa ataupun plasebo selama 6 bulan. Subjek diterapi dengan dornase alfa
lebih banyak mengalami eksaserbasi, masuk rumah sakit, serta pemberian
antibiotik dan kortikosteroid dibandingkan dengan subjek yang seara acak
menerima plasebo. Oleh karena itu, dornase alfa tidak direkomendasikan untuk
populasi seperti ini. Ini merupakan contoh saat ramalan dari penelitian terkait
bronkiektasis mungkin tidak selalu cocok dan menambah kuat alasan untuk
adanya penelitian yang ketat pada bronkiektasis non-CF.

Bronkodilator

Beberapa pasien dengan bronkiektasis memperlihatkan peningkatan seara


signifikan pada FEV1 setelah pemberian bronkodilator. Secara keseluruhan, tetapi,
terdapat kekurangan data untuk merekoendasikan penggunaan bronkodilator kerja
cepat pada bronkiektasis.

Olahraga

Rehabiliitasi pulmonal mungkin bermanfaat pada pasien dengan sesak


napas akibat beraktivitas. Pendukung dari adanya olahraga mempertimbangkan
olahraga sebagai salah satu bentuk airway clearance, tetapi manfaatnya lebih dari
sekedar dari mobilisasi sekresi. Sebuah penelitian retrospekstif terhadap 111
pasien dengan bronkiektasis no-CF dan sesak napas akibat aktivitas yang
aktivitasnya sehari-harinya terbatas, yang berpartisipasi dalam 6-8 minggu
sebanyak 2 kali seminggu melakukan olahraga berjalan, bersepeda dan penguatan
otot dengan pengawasan, menunjukkan perbaikan yang signifikan dalam jarak
berjalan selama 6 menit (rata-rata perubahan, 50,4 m; 95% CI, 40,9-60,0) dan
skor kualitas hidup sebesar 70. Pada penelitian retrospektif lainnya mengenai efek
dari program olahraga yang serupa, pasien menunjukkan perbaikan yang
signifikan tidak hanya dalam kapasitas olahraga, tetapi juga membutuhkan lebih
sedikit kunjungan IGD dan rawat jalan juga pengurangan kebutuhan bronkodilator
jangka pendek.

Terapi Antiinflamasi

Infiltrasi pekat dari limfosit dibawah dasar membran dalam saluran napas
pasien dengan bronkiektasis dan jumlah yang signifikan dari netrofil dalam lumen
saluran napas menunjukkan peran penting terapi antiinflamasi pada penyakit ini.
Dua golongan antiinflamasi yang sering digunakan adalah kortikosteroid dan
makrolide.

Kortikosteroid. Kortikosteroid sistemik tidak merubah laju penurunan


FEV1 pada bronkiektasis non-CF. Kortikosteroid sistemik paling sering
menyebabkan efek samping yang melebihi manfaat secara teoritis. Oleh karena
itu, kecuali pasien dengan bronkopulmoner alergi aspergillosis, kortikosteroid
sistemik tidak digunakan untuk pasien dengan bronkiektasis non-CF.

Kortikosteroid inhalasi, yang memiliki peran penting pada asma dan


PPOK, juga telah diteliti di populasi bronkiektasis non-CF. Kortikosteroid
inhalasi dosis tinggi (misalnya, flutikason 1.000 µg/hari) dapat mengurangi
volume dahak atau mengurangi tanda inflamasi dalam dahak, tapi belum tampak
untuk memperbaiki fungsi paru-paru atau mengurangi frekuensi eksaserbasi
dalam bronkiektasis dan lebih cenderung menyebabkan efek samping seperti
katarak dan osteoporosis. Dosis sedang budesonide (640 µg) plus formoterol
dibandingkan dengan budesonida dosis tinggi (1.600 µg) pada pasien dengan
bronkiektasis non-CF dalam percobaan acak 12 bulan, double-blind, kelompok-
paralel oleh Martínez-García dan rekan-rekannya. Pasien yang menerima
budesonide dosis sedang ditambah formoterol memiliki lebih sedikit sesak napas,
membutuhkan lebih sedikit inhalasi β-agonis reliever, mengalami peningkatan
pada hari-hari bebas batuk, dan peningkatan kualitas hidup yang berkaitan dengan
kesehatan dibandingkan dengan kelompok budesonida dosis tinggi. Fungsi paru-
paru, eksaserbasi, dan kolonisasi bakteri kronis tidak berbeda antara kedua
kelompok penelitian. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memperjelas
apakah manfaat yang dirasakan itu disebabkan oleh kombinasi ICS dan long-
acting bronchodilator (LABA) atau karena LABA saja. Saat ini, tidak ada data
pasti untuk mendukung penggunaan rutin kombinasi ICS-LABA kecuali pasien
telah hidup berdampingan asma.
Makrolide. Makrolide mengerahkan efek imunomodulator pada
menghadapi respons inflamasi tanpa menekan sistem kekebalan tubuh. Ada
banyak efek imunomodulator dari makrolida dan termasuk memodifikasi produksi
lendir, penghambatan produksi biofilm, menekan mediator inflamasi, dan
memoderasi perekrutan dan fungsi leukosit. Manfaat klinis azithromycin telah
diamati pada pasien dengan CF dan pasien dengan bronkiektasis non-
CF. Mengurangi frekuensi eksaserbasi pernafasan, penurunan volume dahak 24
jam, dan peningkatan keehatan termasuk di antara hasil yang terlihat dalam
penelitian yang menggunakan azitromisin dosis rendah, yaitu 250 mg tiga kali
seminggu, atau 500 mg dua kali seminggu pada pasien dengan bronkiektasis non-
CF.
Baru-baru ini, tiga percobaan besar telah dipublikasikan mengenai efek
makrolides dalam mengurangi eksaserbasi pada bronkiektasis non-CF. Dalam
studi terbesar, the Effectiveness of Marolides in patients with Bronchiectasis using
Azitrumycin to Control Exacerbations (EMBRACE), Wong dan rekannya
mengacak 141 pasien untuk menerima azitromisin pada 500 mg atau plasebo tiga
kali seminggu selama 6 bulan. Titik akhir adalah tingkat eksaserbasi yang diobati
dengan antibiotik, FEV1, dan skor St George Respiratory Questionnaire
(SGRQ). Pada akhir periode perawatan 6 bulan, kelompok azithromycin memiliki
penurunan relatif 62% dalam tingkat eksaserbasi dibandingkan dengan plasebo
(tingkat eksaserbasi dalam kelompok pengobatan dan plasebo, 0,59 dan 1,57 per
pasien; rasio tingkat, 0,38; 95% CI, 0,26-0,54; P<0,0001). Manfaat ini bertahan
hingga periode pengamatan pasca-perawatan, sesuai untuk pengurangan relatif
tahunan di tingkat eksaserbasi 42% untuk kelompok azitromisin. Penurunan gejala
yang menjadi komponen dari SGRQ dihargai pada kelompok pengobatan
dibandingkan dengan plasebo pada 6 tapi tidak 12 bulan. Tidak ada perbedaan
yang signifikan terlihat di FEV1 antara kedua kelompok. Perbedaan lainnya yang
signifikan dicatat antara kedua kelompok adalah penanda inflamasi, seperti
protein C-reaktif; hitung sel darah putih perifer; dan neutrofil perifer, semua
mendukung peradangan lebih rendah pada kelompok pengobatan. Pada percobaan
bronkiektasis dan pengobatan azitromisin jangka panjang (BAT), Altenburg dan
rekan secara acak 83 pasien dengan bronkiektasis non-CF untuk menerima baik
azitromisin 250 mgnsetiap hari atau plasebo selama 12 bulan. Selama pengobatan,
pasien yang menerim azitromisin memiliki nilai median eksaserbasi 0 (kisaran
interkuartil [IQR], 0-1) dibandingkan dengan 2 (IQR, 1-3) pada kelompok plasebo
( P<0,001), dan waktu yang memanjang sebelum terjadinya eksaserbasi pertama
(hazard ratio [HR], 0,29; 95% CI, 0,16-0,51). Perbedaan yang paling
mengesankan pada 90 hari (2 eksaserbasi di kelompok azitromisin vs 22 pada
kelompok plasebo). Skor kualitas hidup (diukur dengan SGRQ) juga meningkat di
kelompok azithromycin pada akhir masa pengobatan. Sebuah nilai statistik
signifikan, meskipun mungkin subklinis, peningkatan FEV1 terlihat pada pasien
yang diobati. Serisier dan rekan mengacak 117 pasien untuk diberikan eritromisin
etilsuksinat 400 mg (250 mg dasarnya eritromisin) dua kali sehari, atau plasebo
selama 48 minggu di percobaan Bronchiectasis and Low-dose Erythromycin Study
(BLESS) (87). Eksaserbasi yang sesuai dengan protokol yang ditetapkan terjadi
sebanyak 76 banding 114 mendukung kelompok perlakuan; berarti eksaserbasi
per pasien per tahun pada eritromisin dengan plasebo adalah 1,29 (95% CI, 0,93-
1,65), dan 1,97 (95% CI, 1.45-2,48), masing-masing menghasilkan rasio tingkat
kejadian 0,57 (95%CI, 0,42-0,77; P = 0,003). Pengurangan volume sputum dan
redaman dari penurunan FEV1 dianggap signifikan secara statistik, meskipun
secara klinis dipertanyakan, jangkauannya juga dicatat dalam kelompok
perlakuan.
Sebuah bagian yang masih kontroversi adalah seputar penggunaan terapi
macrolide yaitu adanya potensi perkembangan dari strain bakteri
resisten. Memang, dalam percobaan BAT, secara statistik terdapat persentase
patogen yang resisten terhadap makrolide yang lebih besar ditemukan dalam
kelompok azitromisin pada akhir masa pengobatan. Juga, eritromisin secara
signifikan meningkatkan proporsi streptococci orofaringeal yang resisten tehadap
makrolide dalam penelitian BLESS. Meskipun resistensi makrolida tidak diuji
secara rutin di percobaan EMBRACE, macrolide tahan S.
pneumoniae berkembang di 4% dari pasien pada kelompok pengobatan.
Penggunaan kronis dari makrolid juga memiliki potensi untuk membina
pertumbuhan strain resisten makrolida dari NTM. Karena peningkatan yang
signifikan dalam resistensi makrolida terkait dengan monoterapi, para ahli
merekomendasikan kewaspadaan dalam mengesampingkan infeksi kronis dengan
NTM sebelum memulai terapi macrolide kronis pada pasien dengan bronkiektasis.
U.S. Food and Drug Administration merilis peringatan azitromisin dapat
menyebabkan aritmia berakibat fatal karena berpengaruh pada interval QT. Ketika
terindikasi klinis, EKG harus dilakukan untuk mengevaluasi interval QT dan
potensi interaksi obat harus ditinjau. Namun, percobaan BAT, EMBRACE, dan
BLESS tidak menunjukkan risiko yang lebih tinggi peristiwa kardiovaskular.

Antibiotik
Antibiotik digunakan dalam skenario berikut: ( 1 ) dalam upaya untuk
membasmi Pseudomonas dan / atau MRSA, ( 2 ) untuk menekan beban kolonisasi
bakteri kronis, atau ( 3 ) untuk mengobati eksaserbasi. Penggunaan “rotasi”
antibiotik untuk meminimalkan perkembangan resistensi pada bakteri yang
membentuk kolonisasi, seperti yang telah dipelajari dalam pengaturan unit
perawatan intensif, belum dinilai secara adekuat dalam jangka panjang pada
pengaturan rawat jalan dan karena itu tidak direkomendasikan untuk populasi
pasien ini.
Antibiotik untuk pemberantasan bakteri. Pedoman BTS mengusulkan upaya
untuk memberantas Pseudomonas dan MRSA pada Identifikasi pertama dengan
antibiotik diarahkan dengan harapan akan mengganggu lingkaran setan infeksi,
peradangan, dan kerusakan saluran napas. White dan kawan-kawan menerbitkan
tinjauan retrospektif dari awal, terapi eradikasi agresif dalam non-CF
pasien bronkiektasis dengan infeksi Pseudomonas. Pasien menerima baik 3 bulan
ciprofloxacin oral 500 mg dua kali sehari atau 2 minggu dari rejimen intravena
(biasanya terapi kombinasi dengan ceftazidime dan aminoglikosida). Kedua
kelompok kemudian menerima 3 bulan nebulasi colistin setelah terapi
sistemik. Pseudomonas awalnya diberantas di 80% Pasien. Pada follow-up terbaru
(median, 14,3 mo), 50% bebas dari Pseudomonas. Frekuensi eksaserbasi
berkurang juga terlihat, bahkan dalam kelompok yang tetap terdapat kolonisasi
oleh Pseudomonas.
Pemberantasan bakteri patogen lain seperti H. influenzae , M. catarrhalis ,
atau S. pneumoniae pada pasien yang stabil telah terbukti berkorelasi dengan
berkurangnya napas dan sirkulasi penanda peradangan.
Antibiotik supresif. Tujuan dari terapi antibiotik supresif adalah untuk
mengurangi beban bakteri untuk pasien yang pemberantasan organisme tidak
berhasil, untuk meningkatkan perbaikan gejala dan mengurangi frekuensi
eksaserbasi. Ada hubungan langsung antara beban bakteri dan tingkat saluran
napas dan inflamasi sistemik. Sebuah studi oleh Chalmers dan rekan dari 385
pasien dengan stabil non-CF bronkiektasis menunjukkan bahwa sputum yang
mengandung bakteri memiliki hubungan langsung dengan meningkatnya
peradangan saluran napas (myeloperoxidase, neutrofil elastase, IL-8, IL-1b, dan
tumor faktor-a nekrosis) serta tingkat sistemik peradangan (adhesi antar molekul-
1, larut E-selectin, dan adhesi sel vaskular molekul-1) (93). Di keduanya pasien
stabil dan mereka dengan eksaserbasi, intervensi antibiotik menurunkan beban
bakteri dan mengurangi sebagian besar penanda inflamasi. Penelitian ini
mendukung upaya bersama untuk mengurangi sputum yang memiliki bakteri pada
pasien dengan non-CF bronkiektasis.

Antibiotik inhalasi aman dan efektif dalam mengurangi sputumyang


mengandung bakteri dalam jangka panjang karena mereka memberikan obat
konstrasi tinggi ke saluran napas dengan penyerapan sistemik berkurang, sehingga
mengurangi risiko efek samping sistemik. Tobramycin, gentamicin, dan colistin
adalah antibiotik yang umum diperparah atau dibentuk kembali untuk pengabutan
di bronkiektasis. Penggunaan antibiotik inhalasi adalah “off-label” untuk non-CF
bronkiektasis modulasi karena mayoritas data pendukung berasal dari populasi
CF. Beberapa studi yang dilakukan di populasi non-CF telah menunjukkan bahwa
antibiotik yang dihirup, seperti TOBI (tobramycin inhalasi), mengurangi
kepadatan Pseudomonas dan dalam beberapa kasus mengakibatkan eksaserbasi
lebih sedikit atau rawat inap. Dalam sebuah penelitian dari 65 pasien dengan non-
CF bronkiektasis acak menerima baik gentamisin nebulasi (80 mg dua kali sehari)
atau saline 0,9% untuk 12 bulan, Murray dan koleganya menunjukkan bahwa
nebulasi gentamicin diberikan pengurangan kepadatan bakteri (2,96 [1,0-5,9]
log10 cfu/ml dibandingkan dengan 7,67 [7,34-8,17] log10 cfu/ml; P <0,0001 di
kelompok plasebo), dan lebih sedikit eksaserbasi (0 [IQR, 0-1] vs 1,5[IQR, 1-2]
pada kelompok perlakuan dan plasebo kelompok, masing-masing)(99). Sebuah uji
coba terkontrol multicenter, fase 3, double-blind, acak, terapi berulang aztreonam
inhalasi di pasien dengan non-CF bronkiektasis telah menyelesaikan
perekrutan. Sebuah penelitian ciprofloxacin bubuk inhalasi kering fase 3, acak,
double-blind, plasebo-terkontrol, multicenter (32,5 mg dua kali sehari) di non-CF
bronkiektasis saat merekrut pasien. Dual-release liposomal ciprofloxacin, yang
dapat diberikan sekali sehari karena enkapsulasi liposomal, terbukti signifikan
dalam mengurangi kepadatan Pseudomonas , menurunkan eksaserbasi, dan
ditoleransi dengan baik di bronkiektasis non-CF dalam penelitian fase 2
multicenter di Australia dan Selandia Baru.
Pengobatan Eksaserbasi. Membedakan eksaserbasi gejala awal dapat sulit
karena pasien dengan bronkiektasis sering melaporkan pendek napas, kelelahan,
dan sputum mukopurulen pada awal. Meskipun tidak ada definisi otoritatif dari
non-CF bronkiektasis eksaserbasi, gejala berikut konsisten dengan temuan ini:
meningkat sputum (volume, viskositas, atau purulen), peningkatan batuk, mengi,
sesak napas, hemoptisis, dan penurunan fungsi paru-paru. Setelah
kehadiraneksaserbasi didirikan, sampel dahak harus diperoleh dan dikirim untuk
analisis bakteri, termasuk bakteri tahan asam. Sedangkan hasil kultur sputum yang
tertunda, antibiotik ditargetkan arah organisme dalam sebelum hasil kultur sputum
pasien harus dimulai. Jika Data budaya sebelumnya tidak tersedia,
fluoroquinolone dengan aktivitas terhadap Pseudomonas , seperti ciprofloxacin,
adalah pilihan yang efektif. tindakan fluoroquinolones oleh tergantung konsentrasi
pembunuhan, dan ekstrapolasi dari CF dewasa data, dosis yang lebih tinggi dari
ciprofloxacin (yaitu, 750 mg dua kali sehari) mungkin diperlukan untuk mencapai
rasio yang memadai konsentrasi puncak ke konsentrasi hambat
minimum. penggunaan fluorokuinolon adalah faktor risiko untuk Clostridium
difficile kolitis dan berhubungan dengan tendinopathy, terutama pada pasien usia
lanjut secara bersamaan menggunakan glucocorticoids. Untuk organisme dengan
kepekaan terhadap fluoroquinolones, penambahan tobramycin dihirup ke tinggi
dosis oral ciprofloxacin (750 mg dua kali sehari) ditunjukkan dalam acak
controlled trial untuk memberantas Pseudomonas lebih sering daripada
ciprofloxacin ditambah plasebo, tetapi perbedaannya secara statistik tidak
signifikan dan subyek yang menerima tobramycin telah peningkatan frekuensi
mengi. Banyak pasien dengan bronkiektasis mengembangkan strain bakteri
resisten terhadap berbagai antibiotik. Data untuk membimbing antibiotik
Pendekatan pada pasien ini, terutama mereka dengan strain yang resisten
dari Pseudomonas , berasal dari studi pasien dengan CF. Di studi ini, monoterapi
(yaitu, ceftazidime) telah ditunjukkan setidaknya sebagai klinis efektif sebagai
terapi kombinasi (misalnya, penisilin extended-spectrum ditambah
aminoglikosida). Pedoman BTS, bagaimanapun, merekomendasikan kombinasi
antibiotik untuk infeksi karena strain resisten dari Pseudomonas. Sampai data
tersedia di dewasa non-CF bronkiektasis populasi, ini mungkin terus menjadi
daerah kontroversi. Di praktik kami, antibiotik disesuaikan untuk setiap pasien
untuk luasnya penyakit, tingkat keparahan infeksi, resistensi lokal pola, dan hasil
kultur sebelumnya. Pedoman BTS memberikan rincian tentang dosis
aminoglikosida untuk mencapai puncak konsentrasi 7-10 mg / L dan konsentrasi
terendah kurang dari 2 mg / L(3). Fungsi ginjal harus dipantau ketat.
bukti yang jelas tidak tersedia untuk mendikte panjang Terapi antibiotic
untuk eksaserbasi, tapi kursus 2 minggu adalah direkomendasikan. Murray dan
rekan prospektif mempelajari efek terapi antibiotik intravena pada klinis dan end
laboratorium poin pada pasien dengan non-CF bronkiektasis eksaserbasi. Sebuah
kursus 14 hari terapi secara signifikan terbukti 24 jam volume sputum, clearance
mikroba, C-reactive protein, kapasitas latihan, dan skor kualitas hidup. Dalam
prakteknya, pendekatan ini mungkin memerlukan penyisipan sebuah kateter
sentral intravena untuk administrasi antibiotik rawat jalan.

OPERASI
Meskipun jangka panjang, manajemen yang komprehensif, beberapa
pasien gagal memadai meningkatkan, atau menunjukkan ketidakmampuan untuk
toleransi terapi. Pada pasien ini, jika bronkiektasis terlokalisir, rujukan ke pusat
khusus untuk evaluasi bedah untuk lobectomy atau Segmentectomy dapat
dibenarkan. Intervensi bedah melalui pendekatan thoracoscopic menantang di
bronkiektasis karena perlengketan pleura pembuluh darah dan arteri bronkial
hipertrofi yang melekat pada penyakit. Meski demikian, Pendekatan
thoracoscopic di bronkiektasis dikaitkan dengan rendah morbiditas
perioperatif. Mitchell dan koleganya melaporkan pengalaman mereka dengan 212
lobectomies thoracoscopic atau segmentectomies 171 didominasi putih, pasien
wanita selama periode 6 tahun. mortalitas operasi adalah nol. Itu yang paling
umum komplikasi operasi itu berkepanjangan kebocoran udara di 5,6% dari
pasien dengan tingkat komplikasi operasi keseluruhan 8,9%. Komplikasi yang
sementara dan termasuk fibrilla- atrium tion, bronkial cedera, pneumonia, infeksi
luka, atelektasis, dan efusi pleura. Dalam semua kasus, intervensi bedah adalah
bagian dari pendekatan multidisiplin yang melibatkan paru dan konsultan
penyakit infeksius.

KESIMPULAN
Prevalensi non-CF bronkiektasis meningkat dan dihubungkan dengan
morbiditas yang signifikan. Manajemen pasien membutuhkan pendekatan terapi
multimodal yang komprehensif. Pendekatan ini meliputi pembersihan jalan napas,
mengurangi infeksi kronis dan peradangan, dan pengobatan
eksaserbasi. Antibiotics, terutama dalam bentuk inhalasi, mengurangi eksaserbasi
dan peradangan dengan mengurangi kepadatan bakteri. makrolida mengurangi
frekuensi eksaserbasi dan merupakan andalan antiinflamasi terapi di
bronkiektasis. Bersama-sama, berbagai perawatan bekerja di konser untuk
meningkatkan status keseluruhan pasien dengan bronkiektasis. Banyak informasi
yang tersedia non-CF bronkiektasis berasal dari percobaan yang relatif
kecil. kolaborasi multicenter akan memberikan bukti untuk memandu keputusan
manajemen dan mengembangkan pengobatan baru.

Anda mungkin juga menyukai