Disusun oleh :
Fajri Tri Baskoro 22010116210168
Andi Wicaksono 22010116210129
Prabha Vignesvari S 22010116210056
Rasyidia Laksmita Putri 22010116210108
Ratih Budinastiti 22010116210162
Pembimbing :
dr. C.H Nawangsih, Sp.Rad (K) Onk.Rad
Residen Pembimbing :
dr. Puspita
ii
DAFTAR ISI
Judul.................................................................................................................... i
Halaman Pengesahan ......................................................................................... ii
Daftar isi ............................................................................................................. iii
I. Pendahuluan ........................................................................................... 2
II. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 4
2.1 Anatomi Kepala ............................................................................... 4
2.2 Gambaran Utama Stroke & Faktor Risiko ........................................ 13
2.3 Jenis Stroke ...................................................................................... 17
2.4 Klasifikasi Stroke .............................................................................. 24
2.5 Radiologi SNH .................................................................................. 25
2.6 Edema Cerebri ................................................................................... 28
III. Laporan kasus.......................................................................................... 35
IV. Pembahasan ............................................................................................. 46
V. Kesimpulan ............................................................................................. 49
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 50
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit kanker merupakan salah satu penyebab utama kematian di seluruh
dunia. Pada tahun 2012, sekitar 8,2 juta kematian disebabkan oleh kanker. Kanker
paru, hati, perut, kolorektal, dan kanker payudara adalah penyebab terbesar kematian
akibat kanker setiap tahunnya.1 Kanker paru merupakan jenis kanker penyebab
kematian di seluruh dunia yang paling banyak ditemukan, yakni sebanyak 1,69 juta
kematian, dan sebagian besar banyak ditemukan di negara-negara berkembang (63%
pada pria, 57% pada wanita).2,3
Merokok merupakan faktor risiko utama kanker yang menyebabkan terjadinya
lebih dari 20% kematian akibat kanker di dunia dan sekitar 70% kematian akibat
kanker paru di seluruh dunia. Lebih dari 60% kasus baru dan sekitar 70% kematian
akibat kanker di dunia setiap tahunnya terjadi di Afrika, Asia, Amerika Tengah dan
Selatan. Diperkirakan kasus kanker tahunan akan meningkat dari 14 juta pada 2012
menjadi 22 juta dalam dua dekade berikutnya. Secara nasional, prevalensi penyakit
kanker pada penduduk semua umur di Indonesia tahun 2013 sebesar 1,4 per 100.000
populasi (347.792 orang). Provinsi D.I Yogyakarta memiliki prevalensi tertinggi
untuk penyakit kanker, yaitu sebesar 4,1 per 100.000 populasi. Berdasarkan estimasi
jumlah penderita kanker provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan provinsi
dengan estimasi penderita kanker terbanyak, yaitu sekitar 68.638 dan 61.230 orang.1
Diagnosis kanker yang tepat sangat penting untuk pengobatan yang memadai dan
efektif karena setiap jenis kanker memerlukan regimen pengobatan spesifik yang
mencakup satu atau lebih modalitas seperti pembedahan, kemoterapi, dan
radioterapi. Tujuan utama pengobatan adalah untuk menghilangkan kanker atau
memperpanjang usia. Namun meningkatkan kualitas hidup pasien sangatlah penting
dan hal ini dapat dicapai dengan perawatan suportif atau paliatif dan dukungan
psikososial. 3
Sekitar 30%-50% kanker dapat dicegah. Hal ini dapat dicapai dengan
menghindari faktor risiko dan menerapkan strategi pencegahan berbasis bukti yang
ada. Beban kanker dapat dikurangi dengan deteksi dini dan manajemen yang tepat
pasien yang menderita kanker. Hampir semua kasus kanker paru disebabkan oleh
merokok dan oleh karenanya, mengurangi prevalensi merokok harus menjadi
prioritas utama dalam mencegah penyakit ini.2,3 Pada laporan kasus ini akan dibahas
mengenai pemberian radioterapi pada seorang pria usia 41 tahun dengan
adenocarcinoma paru kiri stage IV.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
yakni fissura horizontalis dan fissura obliqua, sementara di antara lobus superior dan
lobus inferior paru kiri terdapat fissura obliqua.5
Paru memiliki kemampuan recoil, yakni kemampuan untuk mengembang dan
mengempis dengan sendirinya. Elastisitas paru untuk mengembang dan mengempis
ini di sebabkan karena adanya surfaktan yang dihasilkan oleh sel alveolar tipe 2.
Namun selain itu mengembang dan mengempisnya paru juga sangat dibantu oleh
otot – otot dinding thoraks dan otot pernafasan lainnya, serta tekanan negatif yang
teradapat di dalam cavum pleura.4
4
Gambar 2. Anatomi segmen paru6
5
kanker trakea, bronkus dan paru merupakan keganasan terbanyak kedua pada pria
(13,4%) setelah kanker nasofaring (13,63%) dan merupakan penyebab kematian
akibat kanker terbanyak pada pria (28,94%).
Insidens kanker paru rendah pada usia di bawah 40 tahun,namun meningkat
sampai dengan usia 70 tahun. Faktor risiko utama kanker paru adalah merokok.
Secara umum, rokok merupakan 80% penyebab kanker paru pada laki-laki, dan 50%
pada perempuan. Faktor lain adalah kerentanan genetik (genetic susceptibility),
polusi udara, pajanan radon dan pajanan industri (asbestos, silika, dan lain-lain).1
6
menghirup asap rokok dari orang lain. Hal ini dapat meningkatkan risiko kanker paru
sekitar 30%.9 Anak-anak yang terpapar asap rokok selama 25 tahun pada usia
dewasa akan terkena risiko kanker paru dua kali lipat dibandingkan dengan yang
tidak terpapar. Wanita yang hidup dengan pasangan perokok juga terkena risiko
kanker paru 2-3 kali lipat.2
Menurut penelitian adanya riwayat orang tua menderita kanker paru, makan
anaknya memiliki resiko menderita kanker paru lebih dari lima kali. Pada orang
bukan perokok namun memiliki memiliki riwayat keluarga menderita kanker paru,
maka resiko menderita kanker paru lebih besar, apabila dibandingkan dengan orang
perokok tetapi tidak memiliki riwayat dalam keluarga kanker paru.10
7
2.1.5 Tanda dan Gejala
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala
klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Gejala-
gejala dapat bersifat:12
A. Lokal (tumor tumbuh setempat):
1. Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis
2. Hemoptisis
3. Mengi (wheezing, stridor) karena ada obstruksi saluran nafas
4. Kadang terdapat kavitas seperti abses paru
5. Ateletaksis
B. Invasi lokal :
1. Nyeri dada
2. Dispnea karena efusi pleura
3. Invasi ke perikardium → terjadi tamponade atau aritmia
4. Sindrom vena cava superior
5. Sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis )
6. Suara serak, karena penekanan pada nervous laryngeal recurrent
7. Sindrom Pancoast, karena invasi pada pleksus brakialis dan saraf
simpatis servikalis
C. Gejala Penyakit Metastasis :
1. Pada otak, tulang, hati, adrenal
2. Limfadenopati servikal dan supraklavikula (sering menyertai
metastasis)
2.1.6 Diagnosis
2.1.6.1 Anamnesis
Gambaran klinik penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit
paru lainnya, terdiri dari keluhan subyektif dan gejala obyektif. Dari anamnesis akan
didapat keluhan utama dan perjalanan penyakit, serta faktor –faktor lain yang sering
sangat membantu tegaknya diagnosis.13
8
Keluhan utama dapat berupa:
1. Batuk-batuk dengan atau tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen)
2. Batuk darah
3. Sesak napas
4. Suara serak
5. Sakit dada
6. Sulit atau sakit menelan
7. Benjolan di pangkal leher
8. Sembab muka dan leher dapat terjadi dan kadang -kadang disertai sembab
lengan dengan rasa nyeri yang hebat.
Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat
metastasis di luar paru, seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di otak,
pembesaran hepar atau patah tulang kaki. Gejala dan keluhan yang tidak khas
seperti,13
1. Berat badan berkurang
2. Nafsu makan hilang
3. Demam hilang timbul
4. Sindrom paraneoplastik, seperti "Hypertrophic Pulmonary
Osteoartheopathy", trombosis vena perifer dan neuropatia.
9
foto tumor juga dapat ditemukan telah invasi ke dinding dada, efusi pleura,
efusi perikardia dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan keterlibatan KGB
untuk menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks saja.
Kewaspadaan dokter terhadap kemungkinan kanker paru pada seorang
penderita penyakit paru dengan gambaran yang tidak khas untuk keganasan
penting diingatkan. Seorang penderita yang tergolong dalam golongan resiko
tinggi (GRT) dengan diagnosis penyakit paru, harus disertai rujukan yang
seterusnya yang teliti.14
10
Gambar X. Kanker Paru-paru Sel Kecil
Foto rontgen dada menunjukkan peningkatan opasitas di daerah hilus dan
paratrakeal kanan, dengan penebalan garis paratrakeal kanan. Adanya volume
yang berkurang juga terlihat pada lobus kanan bawah. Kanker paru-paru sel kecil
sering terlihat sebagai massa hilus atau mediastinum.14
11
Pemberian OAT yang tidak menunjukan perbaikan atau bahkan
memburuk setelah 1 bulan harus menyingkirkan kemungkinan kanker paru,
tetapi lain masalahnya pengobatan pneumonia yang tidak berhasil setelah
pemberian antibiotik selama 1 minggu juga harus menimbulkan dugaan
kemungkinan tumor dibalik pneumonia tersebut bila foto toraks menunjukkan
gambaran efusi pleura yang luas harus diikuti dengan pengosongan isi pleura
dengan punksi berulang atau pemasangan WSD dan ulangan foto toraks agar
bila ada tumor pr imer dapat diperlihatkan. Keganasan harus difikirkan bila
cairan bersifat produktif, dan atau cairan serohemoragik.14
B. Tomografi Komputer Toraks
Metode pencitraan ini dapat menentukan kelainan di paru secara lebih
baik daripada foto toraks. Tomografi computer dapat mendeteksi tumor
dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih tepat. Demikian juga tanda -
tanda proses keganasan juga tergambar secara lebih baik, bahkan bila terdapat
penekanan terhadap bronkus, tumor intra bronkial, atelektasis, efusi pleura
yang tidak masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada
meski tanpa gejala. Lebih jauh lagi dengan tomografi komputer, keterlibatan
KGB yang sangat berperan untuk menentukan stadium juga lebih baik karena
pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi dan mendeteksi kemungkinan
metastasis intrapulmoner.15
12
Gambar X. Tomografi komputer toraks aksial pada potongan hilus
Terlihat tumor hilus besar di sisi kanan, dengan efusi pleura terlokulasi.
Penebalan nodular pleura menunjukkan metastasis pleura. Massa tumor sulit
untuk dibedakan dari atelektasis paru yang berdekatan.15
13
mendeteksi metastasis di tulang kepala atau jaringan otak, skintigrafi tulang
dan atau bone survey dapat mendeteksi metastasis di seluruh jaringan
tulang.14
14
terletak di sentral dapat dilakukan TTB dengan tuntunan tomografi
komputer.13
F. Biopsi lain
Bila terdapat pembesaran KGB atau teraba massa yang dapat terlihat
superfisial biopsi jarum halus dapat dilakukan. Biopsi KGB harus dilakukan
bila teraba pembesaran KGB supraklavikula, leher atau aksila, apalagi bila
diagnosis sitologi atau histologi tumor primer di paru belum diketahui. Bila
pembesaran KGB suparaklavikula dan cara lain tidak menghasilkan informasi
tentang jenis sel kanker tidak jelas terlihat maka biopsi Daniels dianjurkan.
Punksi dan biopsy pleura harus dilakukan jika ada efusi pleura.13
G. Torakoskopi medik
Dengan tindakan ini massa tumor di bagian perifer paru, pleura viseralis,
pleura parietal dan mediastinum dapat dilihat dan dibiopsi.13
H. Sitologi sputum
Sitologi sputum adalah tindakan diagnostik yang paling mudah dan
murah. Kekurangan pemeriksaan ini terjadi bila tumor ada di perifer,
penderita batuk kering dan metode pengumpulan dan pengambilan sputum
yang tidak memenuhi syarat. Dengan bantuan inhalasi NaCl 3% untuk
merangsang pengeluaran sputum dapat ditingkatkan. Semua bahan yang
diambil dengan pemeriksaan tersebut di atas harus dikirim ke laboratorium
Patologi Anatomi untuk pemeriksaan sitologi atau histologi. Bahan berupa
cairan harus dikirim segera tanpa fiksasi, atau dibuat sediaan apus, lalu
difiksasi dengan alkohol absolut atau alkohol minimal 90%. Semua bahan
jaringan harus di fiksasi dalam formalin 4%.13
I. Petanda Tumor
Petanda tumor yang telah, seperti CEA, Cyfra21-1, NSE dan lainya tidak
dapat digunakan untuk mendiagnosis tetapi masih digunakan evaluasi hasil
pengobatan.13
J. Pemeriksaan biologi molekuler
15
Pemeriksaan biologi molekuler telah semakin berkembang, cara paling
sederhana dapat menilai ekspresi beberapa gen atau produk gen yang terkait
dengan kanker paru, seperti protein p53, bcl2, dan lainya. Manfaat utama dari
pemeriksaan biologi molekuler adala h menentukan prognosis penyakit.13
Terkadang tindakan invasif seperti torakoskopi dan tindakan bedah
mediastinoskopi, torakoskopi, torakotomi eksplorasi dan biopsi paru terbuka
dibutuhkan agar diagnosis dapat ditegakkan pada kasus kasus yang rumit.
Tindakan ini merupakan pilihan terakhir bila dari semua cara pemeriksaan
yang telah dilakukan, diagnosis histologis atau patologis tidak dapat
ditegakkan.13
Semua tindakan diagnosis untuk kanker paru diarahkan agar dapat
ditentukan:13
1. Jenis histologis
2. Derajat (staging)
3. Tampilan (tingkat tampil, "performance status").
Sehingga jenis pengobatan dapat dipilih sesuai dengan kondisi penderita.
2.1.7 Staging
Pembagian stadium klinis kanker paru berdasarkan sistem TNM International
menurut The American Joint Comittee on Cancer (AJCC) edisi ke-tujuh adalah
sebagai berikut:16
STAGE T N M
0 Tis N0 M0
T1a N0 M0
IA
T1b N0 M0
IB T2a N0 M0
T2b N0 M0
T1a N1 M0
IIA
T1b N1 M0
T2a N1 M0
T2b N1 M0
IIB
T3 N0 M0
16
T1a N2 M0
T1b N2 M0
T2a N2 M0
T2b N2 M0
IIIA
T3 N1 M0
T3 N2 M0
T4 N0 M0
T4 N1 M0
T1a N3 M0
T1b N3 M0
T2a N3 M0
IIIB T2b N3 M0
T3 N3 M0
T4 N2 M0
T4 N3 M0
Any T Any N M1a
IV
Any T Any N M1b
A. Primary Tumor (T)
a. Tis : Karsinoma in situ
b. T1 : Tumor berukuran < 3 cm, dikelilingi pleura viseralis tanpa
disertai dengan tanda-tanda invasi yang lebih proksimal dari
bronkus lobaris
c. T1a : Tumor berukuran < 2 cm
d. T1b : Tumor berukuran antara 2 – 3 cm
e. T2 : Tumor berukuran antara 3 – 7 cm, terdapat pada bronkus
utama, terletak ≥ 2 cm dari karina, berhubungan dengan
atelektasis ataupun pneumonia obstruktif yang berada disekitar
hilusdan tidak menyebar keseluruh paru
f. T2a : Tumor berukuran 3 – 5 cm
g. T2b : Tumor berukuran 5 – 7 cm
h. T3 : Tumor berukuran > 7 cm atau sudah menginvasi pleura
parietalis, dinding dada, diafragma, nervus frenikus, pleura
mediastinalis, pericardium parietalis
i. T4 : Tumor dengan ukuran berapapun yang telah menginvasi
mediastinum, jantung, pembuluh darah utama, trakea,
17
n. Laringus rekuren, esofagus, corpus vertebra, karina
2.1.8 Pentalaksanaan
Tujuan pengobatan kanker dapat berupa:13
1. Kuratif, memperpanjang masa bebas penyakit dan meningkatkan angka
harapan hidup klien.
2. Paliatif, mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup.
3. Rawat rumah (Hospice care) pada kasus terminal, mengurangi dampak
fisis maupun psikologis kanker baikpada pasien maupun keluarga.
18
4. Suportif, menunjang pengobatan kuratif, paliatif dan terminal seperti
pemberian nutrisi, tranfusi darah dan komponen darah, obat anti nyeri dan
anti infeksi
Manajemen terapi dibagi atas:17
1. Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK = non-small cell
carcinoma)
2. Kanker paru jenis karsinoma sel kecil (KPKSK = small cell carcinoma)
2.1.8.1 Kanker Paru jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK)
Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil terdiri dari berbagai jenis, yaitu
1. Karsinoma sel skuamosa (KSS)
2. Adenokarsinoma
3. Karsinoma sel esar (KSB)
4. Jenis lain yang jarang ditemukan
Pilihan pengobatan sangat tergantung pada stadium penyakit, tampilan umum
penderita, komorbiditas, tujuan pengobatan dan cost-effectiveness. Modalitas
penanganan yang tersedia adalah bedah, radiasi, kemoterapi, dan terapi target.
Pendekatan penanganan dilakukan secara integrasi multidisiplin. 17
A. Pembedahan
Modalitas ini adalah terapi utama utama untuk sebagian besar KPKBSK,
terutama stadium I-II dan stadium IIIA yang masih dapat direseksi setelah
kemoterapi neoadjuvan. Jenis pembedahan yang dapat dilakukan adalah
lobektomi, segmentektomi dan reseksi sublobaris. Pilihan utama adalah
lobektomi yang menghasilkan angka kehidupan yang paling tinggi. Namun,
pada pasien dengan komorbiditas kardiovaskular atau kapasitas paru yang
lebih rendah, pembedahan segmentektomi dan reseksi sublobaris paru
dilakukan. Kini, reseksi sublobaris sering dilakukan bersamaan dengan
VATS.
Intervensi menggunakan bronkoskopi berkembang dalam tahun-tahun
terakhir, terutama untuk obstruksi saluran pernapasan sentral (trakea dan
bronkus) akibat keganasan, dengan saluran bronkial sehat dan parenkim
yang berfungsi dengan baik distal dari stenosis. Penilaian sebab dan luas
19
stenosis, dan permeabilitas saluran bronchial distal dari stenosis dapat
dilakukan menggunakan bronkoskopi fleksibel. Fungsi permeabilitas dapat
dinilai menggunakan pemeriksaan CT scan. Metode bronkoskopi intervensi
yang paling sering digunakan adalah dengan bronkoskopi kaku (rigid
bronchoscopy) dan pengeluaran massa secara mekanik, terutama untuk
massa proximal, intralumen. Komplikasi paling sering intervensi ini adalah
perdarahan. Selain itu, bronkoskopi kaku juga dapat digunakan dengan
terapi laser. Pada prosedur ini, berbagai tipe gas seperti CO2 dan KTP
digunakan untuk menimbulkan koagulasi dan merusak tumor intralumen.
Komplikasi yang sering terjadi adalah perforasi, perdarahan dan fistula
bronkovaskular. Bronkoskopi kaku juga dapat digunakan dengan krioterapi
untuk merusak jaringan maligna. Ini dilakukan dengan memberikan suhu
yang sangat rendah menggunakan expansi dari cairan gar kriogenik yang
menyebabkan dehidrasi, kristalisasi sel, apoptosis, dan iskemia jaringan.
Metode yang terakhir ini dianjurkan sebagai penanganan paliatif stenosis
proksimal non-obstruktif tanpa gangguan pernapasan akut. Kadang, aspirasi
bronkial harus dilakukan setelah 1-2 hari untuk mengeluarkan sisa jaringan
tumor. Teknik anestesi yang dapat digunakan adalah anestesi umum, dan
dapat dikombinasikan dengan anestesi regional (epidural, blok
paravertebral).17
B. Radioterapi
Radioterapi merupakan salah satu modalitas penting dalam tatalaksana
kanker paru. Radioterapi dalam tatalaksana Kanker Paru Bukan Sel Kecil
(KPKBSK) dapat berperan di semua stadium KPKBSK sebagai terapi kuratif
definitif, kuratif neoajuvan atau ajuvan maupun paliatif.
Radioterapi kuratif definitif pada sebagai modalitas terapi dapat
diberikan pada KPKBSK stadium awal (Stadium I) yang secara medis
inoperabel atau yang menolak dilakukan operasi setelah evaluasi bedah
thoraks dan pada stadium lokal lanjut (Stadium II dan III) konkuren dengan
kemoterapi. Pada pasien yang tidak bisa mentoleransi kemoradiasi konkuren,
dapat juga diberikan kemoterapi sekuensial dan radiasi atau radiasi saja. Pada
20
pasien Stadium IIIA resektabel, kemoterapi pre operasi dan radiasi pasca
operasi merupakan pilihan. Pada pasien Stadium IV, radioterapi diberikan
sebagai paliatif atau pencegahan gejala (nyeri, perdarahan, obstruksi).
(NCCN Kategori 2A).
Computed Tomography (CT) based planning menggunakan teknik Three
Dimensional Conformal Radiation (3D-CRT) merupakan standar minimal
radioterapi kuratif pada kanker paru, bila fasilitas tersedia. Teknologi lebih
canggih seperti IMRT/VMAT dan IGRT dapat digunakan, dan baik untuk
memberikan radioterapi kuratif dengan aman.
Proses simulator dengan CT-Scan, pasien diposisikan dengan
menggunakan alat imobilisasi, kontras intravena dengan atau tanpa kontras
oral, dalam posisi supine, kedua tangan di atas kepala untuk memaksimalisasi
jumlah beam yang dapat diberikan. Jika memungkinkan, simulasi 4 Dimensi
(4D) sebaiknya dilakukan untuk mendeteksi pergerakan internal struktur intra
torakal. Jika tidak memiliki alat simulasi 4D dapat menggunakan:
1. Simulasi dengan slow CT
2. Pengambilan CT saat inspirasi maksimal dan minimal
Pengambilan gambar pre kontras perlu dilakukan untuk membantu
delineasi. PET/CT scan membantu meningkatkan akurasi penentuan target
volume, terutama pada pasien dengan atelektasis signifikan dan jika kontras
intravena dikontraindikasikan. PET/CT sebaiknya dilakukan dalam jangka
waktu kurang dari 4 minggu sebelum perencanaan radiasi, dan apabila
memungkinkan dilakukan dalam posisi yang sama dengan posisi saat
simulasi radioterapi.
Energi foton yang direkomendasikan adalah 4 MV-10 MV, dianggap
cukup untuk menembus jaringan paru berdensitas rendah sebelum masuk ke
tumor. Pendefinisian target radiasi harus berdasarkan terminologi
International Commission on Radiation Units and Measurements – 50,62,83
(ICRU-50,62,83); yaitu gross tumor volume (GTV), clinical target volume
(CTV) dan planning target volume (PTV). PTV mencakup ITV (memasukan
21
margin untuk pergerakan target) ditambah setup margun untuk
mempertimbangkan variablitias posisioning dan mekanik.
Hasil pemeriksaan fisik, CT scan dengan kontras, PET/CT Scan,
mediastinoskopi atau ultrasonografi endobronkial (EBUS) haruslah
dipertimbangkan agar delineasi dapat dilakukan dengan akurat
Standar margin dari GTV ke CTV adalah 0,6-0,8 cm. Margin dari CTV
(atau ITV) ke PTV adalah 1-1,5 cm jika tidak ada fasilitas IGRT, seperti cone
beam CT (CBCT) atau EPID harian (kv imaging); 0,5-1 cm untuk 4D CT
planning atau CBCT; 0,5 cm jika 4DCT planning dan EPID harian; 0,3 cm
4DCT planning dan CBCT harian. Untuk fraksi konvensional, EPID harian
dan CBCT mingguan sering digunakan untuk margin CTV ke PTV 0,5 cm.
Belum ada konsensus khusus untuk delineasi target KPKBSK pasca
operasi. Beberapa senter radioterapi ada yang memasukkan KGB yang
terlibat, hilus ipsilateral, dan 1 stasiun KGB di atas dan di bawah KGB yang
terlibat. 17
Tabel X. Dosis radioterapi pada teknik Stereotaktic Body Radiation Therapy
(SBRT)
Dosis Total Jumlah Fraksi Contoh Indikasi
Lesi perifer kecil (< 2 cm) terutama jika >
25-34 Gy 1
1 cm dari dinding dada.
Tumor perifer, jarak > 1 cm dari dinding
45-60 Gy 3
dada
Tumor sentral/perifer < 4-5 cm terutama
48-50 Gy 4
jika jarak > 1 cm dari dinding dada
Tumor sentral/perifer terutama jika jarak >
50-55 Gy 5
1 cm dari dinding dada
60-70 Gy 8-10 Tumor Sentral
22
Radiasi Post Op
Batas Negatif 50 – 54 Gy 1,8 – 2 Gy 5 – 6 minggu
Ekstensi
ekstrakapsular atau
54 – 60 Gy 1,8 – 2 Gy 6 minggu
positif margin
mikroskopis
Gross Tumor 60 – 70 Gy 2 Gy 6 – 7 minggu
Radiasi Paliatif
SVKS 30 – 45 Gy 3 Gy 2 – 3 minggu
Metastasis tulang
dengan massa 20 - 30 Gy 3 – 4 Gy 1 – 2 minggu
jaringan lunak
Metastasis tulang
tanpa massa 8 – 30 Gy 3 – 8 Gy 1 hari – 2 minggu
jaringan lunak
(sesuai (sesuai
(sesuai guideline
Metastasis otak guideline guideline tumor
tumor otak)
tumor otak) otak)
23
1. Hb > 10 g%
2. Trombosit > 100.000/mm3
3. Leukosit > 3000/dl
Radiasi paliatif diberikan pada group yang kurang baik yaitu,
1. PS < 70
2. Penurunan BB > 5% dalam 2 bulan
3. Fungsi paru buruk.
C. Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberikan sebagai modalitas neoadjuvant pada stadium
dini, atau sebagai adjuvant pasca pembedahan. Terapi adjuvant dapat
diberikan pada KPKBSK stadium IIA, IIB dan IIIA. Pada KPKBSK stadium
lanjut, kemoterapi dapat diberikan dengan tujuan pengobatan jika tampilan
umum pasien baik (Karnofsky >60%; WHO 0-2). Namun, guna kemoterapi
terbesar adalah sebagai terapi paliatif pada pasien dengan stadium lanjut.
Ada beberapa jenis kemoterapi yang dapat diberikan. Lini pertama
diberikan kepada pasien yang tidak pernah menerima pengobatan kemoterapi
sebelumnya (chemo naïve). Kelompok ini terdiri dari kemoterapi berbasis-
platinum dan yang tidak mengandung platinum (obat generasi baru). Pilihan
utama obat berbasis-platinum adalah sisplatin, pilihan lain dengan
karboplatin.
Efek samping sisplatin yang paling sering ditemukan adalah toksisitas
gastrointestinal. Pada pasien yang mengalami efek samping dengan sisplatin,
dapat diberikan karboplatin. Kemoterapi ini dapat ditoleransi dengan lebih
baik oleh pasien usia lanjut atau dengan komorbiditas berat. Efek samping
karboplatin yang paling sering berupa hematotoksisitas. Obat kemoterapi lini
pertama tidak berbasis-platinum yang dapat diberikan adalah etoposid,
gemsitabin, paklitaksel, dan vinoralbin. Kombinasi sisplatin dengan
gemsitabin memberikan angka kehidupan paling tinggi, namun respon paling
baik adalah terhadap regimen sisplatin dengan paklitaksel. Komplikasi yang
paling sering ditemukan adalah febris neutropenia atau perdarahan akibat
24
supresi sum-sum tulang, hiponatremia atau hipomagnesemia, toksisitas ginjal,
dan neuropati perifer. 17
Kemoterapi lini kedua diberikan kepada pasien yang pernah mendapat
kemoterapi lini pertama, namun tidak memberikan respons setelah 2 siklus,
atau KPKBSK menjadi lebih progresif setelah kemoterapi selesai. Obat-obat
kemoterapi lini kedua adalah doksetaksel dan pemetreksat. Selain itu, dapat
diberikan juga kombinasi dari dua obat tidak-berbasis platinum. Kemoterapi
lini ketiga dan seterusnya sangat tergantung pada riwayat pengobatan
sebelumnya.Kemoterapi dapat diberikan jika memenuhi syarat antara lain
keadaan umum baik skala Karnofsky diatas > 70, fungsi hati, ginjal dan
homeostatik (darah) baik dan masalah finansial dapat diatasi. Syarat
homeostatik yang memenuhi syarat yaitu HB >10 gr%, leukosit > 4000/dl,
trombosit >100000/dl.13
Tabel X. Tampilan umum berdasarkan skala Karnofsky dan WHO (PDPI 2005)
Skala Pengertian
Skala Skala
Pengertian
Karnofsky WHO
90-100 0 Dapat beraktivitas normal, tanpa keluhan yang menetap.
70-90 1 Dapat beraktivitas normal, namun terdapat keluhan yang
berhubungan dengan sakitnya.
50-70 2 Membutuhkan bantuan pada orang lain untuk aktivitas
spesifik.
30-50 3 Sangat tergantung pada bantuan orang lain untuk aktivitas
rutin.
10-30 4 Tidak dapat bangkit dari tempat tidur.
D. Terapi Target
Terapi target diberikan pada penderita dengan stadium IV KPKBSK
EGFR mutasi positif yang sensitif terhadap EGFR-TKI. Terapi EGFR-TKI
yang tersedia yaitu Gefitinib, Erlotinib atau Afatinib. 17
E. Terapi Kombinasi
25
Terapi radiasi dan kemoterapi dapat diberikan pada kasus-kasus tertentu,
terutama yang tidak memenuhi syarat untuk menjalani pembedahan. Selain
itu, terapi kombinasi dapat diberikan dengan tujuan pengobatan pada pasien
dengan tampilan umum baik (Karnofsky >70%) dan penurunan berat badan
minimal, dan pasien usia lanjut yang mempunyai komorbiditas berat atau
kontraindikasi operasi. Regimen kemoterapi dan terapi radiasi dapat
diberikan secara bersamaan (concurrent therapy), selang-seling (alternating
therapy), atau secara sekuensial. Hasil paling baik didapat dari regimen
concurrent therapy. 17
26
Pada stadium ini, dapat dilakukan pembedahan (bila tumor masih
dapat dioperasi dan tidak terdapat bulky limfadenopati), terapi radiasi,
kemoterapi, atau kombinasi dari ketiga modalitas tersebut. Reseksi bedah
dapat dilakukan setelah kemoterapi neoadjuvant dan/atau dengan
kemoterapi adjuvant, terutama pada pasien dengan lesi T3-4, N1. Pada
pasien yang tidak dapat menjalani pembedahan, dapat dilakukan terapi
radiasi sendiri dengan tujuan pengobatan. Kombinasi terapi radiasi
dengan kemoterapi dapat memberikan hasil yang lebih baik. Jika ada
keterlibatan kelenjar getah bening atau respons buruk terhadap operasi,
maka pemberian kemoterapi sendiri dapat dipertimbangkan. Regimen ini
terdiri dari 4-6 siklus pemberian obat kemoterapi. Pada pasien dengan
adenokarsinoma dan hasil uji mutasi gen EGFR positif, dapat diberikan
obat golongan EGFR-TKI.
5. Stadium IIIB
Modalitas pengobatan yang menjadi pilihan utama bergantung pada
kondisi klinis dan tampilan umum pasien. Terapi radiasi sendiri pada lesi
primer dan lesi metastasis ipsilateral dan KGB supraklavikula.
Kemoterapi sendiri dapat diberikan dengan regimen 4-6 siklus.
Kombinasi terapi radiasi dan kemoterapi dapat memberikan hasil yang
lebih baik. Obat golongan EGFR-TKI diberikan pada adenokarsinoma
dengan hasil uji mutasi gen EGFR positif yang sensitif EGFR-TKI.
6. Stadium IV
Tujuan utama terapi pada stadium ini bersifat paliatif.
Pendekatan tata laksana KPKBSK stadium IV bersifat multimodalitas
dengan pilihan terapi sistemik (kemoterapi, terapi target), dan modalitas
lain (radioterapi , dan lain-lain)
Regimen kemoterapi lini pertama adalah kemoterapi berbasis platinum
(sisplatin atau karboplatin) dengan salah satu obat generasi baru.
Sisplatin/Karboplatin + etoposid
Sisplatin/Karboplatin + gemsitabin
Sisplatin/Karboplatin + paklitaksel
27
Sisplatin/Karboplatin + doksetaksel
Sisplatin/Karboplatin + vinorelbine
Sisplatin/Karboplatin + pemetreksed
Regimen kemoterapi lini kedua adalah monoterapi doksetaksel,
monoterapi pemetreksed, atau kombinasi dari dua obat baru (regimen non-
platinum). Pada kondisi tertentu, untuk lini pertama dapat diberikan
kemoterapi berbasis platinum (doublet platinum lini pertama seperti di atas)
ditambahkan anti-VEGF (bevacizumab). Pada rekurensi, pilihan terapi sesuai
metastasis. Modalitas yang dapat digunakan termasuk radiasi paliatif,
kemoterapi paliatif, atau bedah paliatif.
28
adjuvant atau kombinasi kemoterapi dan radiasi terapi adjuvant pada TNM
stadium dini, dengan/tanpa pembesaran kelenjar getah bening. 17
B. Stadium lanjut
Pilihan utama modalitas terapi stadium ini adalah kemoterapi kombinasi.
Regimen kemoterapi yang dapat digunakan pada stadium ini adalah:
sisplatin/karboplatin dengan etoposid (pilihan utama), sisplatin/karboplatin
dengan irinotecan. Pilihan lain adalah radiasi paliatif pada lesi primer dan lesi
metastasis. 17
29
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. R
Umur : 41 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Imam Bonjol BG10, RT 2 RW 02, Tegal
Agama : Islam
No. CM : C639034
Tanggal Masuk di Poli Radioterapi : 08 November 2017
3.2 ANAMESIS
30
Saat ini pasien datang hendak untuk control rutin. Selama menjalankan
kemoterapi pasien mengeluhkan mual, muntah dan badan sering merasa lemas.
31
Pulmo :
Inspeksi : Simetris saat statis - dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan > kiri
Perkusi : redup pada lapangan paru kiri setinggi SIC II ke bawah
Auskultasi: Suara dasar vesikuler menghilang pada paru kiri setinggi SIC
II ke bawah, Suara tambahan : hantaran -/-, ronki -/-, wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi: Iktus cordis tak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di spatium interkosta V, 2 cm lateral linea
midklavikula sinistra
Perkusi : Konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, bising (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi: datar, gambaran gerak usus (-), venektasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak alih (-), pekak sisi (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba
Genitalia Eksterna : laki-laki, dalam batas normal
Ekstremitas : Dalam batas normal
Pemeriksaan Rektal Toucher : Tidak dilakukan
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hematologi (02/12/2017) di RSUP Dr. Kariadi
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 11.8 g/Dl 13.00-16.00 L
Hematokrit 35 % 40-54 L
Eritrosit 4.15 10^6/uL 4.4-5.9 L
MCH 28.4 Pg 27.00-32.00
32
MCV 84.3 fL 76-96
MCHC 33.7 g/dL 29.00-36.00
Leukosit 5.7 10^3/uL 3.8-10.6
Trombosit 179 10^3/uL 150-400
RDW 14.5 % 11.6-14.8
MPV 9.2 fL 4.00-11.00
Hitung Jenis
Eosinofil 0 % 1-3
Basofil 0 % 0-2
Batang 7 % 2-5
Segmen 78 % 47-80
Limfosit 6 % 20-40
Monosit 8 % 2-10
Lain lain Mielolsit 1%
Table 1 Pemeriksaan Hematologi (02/12/2017)
33
SGOT 22 U/L 15-34
SGPT 15 U/L 15-60
Albumin 3.0 g/dL 3.4-5.0 L
Ureum 13 mg/dL 15-39 L
Kreatinin 0.6 mg/dL 0.60-1.30
Elektrolit
Natrium 125 mmol/L 136 – 145 L
Kalium 4.0 mmol/L 3,50 - 5,10
Klorida 88 mmol/L 98-107 L
Table 2 Pemeriksaan Hematologi (09/12/2017)
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto thoraks AP Semierect – Lateral (2 Juni 2017)
34
Pulmo : Corakan vaskular tampak meningkat
parenkim paru
Kesan:
paruDD/Diseksi aorta
Massa
35
Gambar x. CT-Scan Thorax
Paru kanan : Corakan brokovaskuler normal. Tak tampak nodul, infiltrat, massa
maupun atelektasis
Paru kiri : Corakan bronkovaskuler meningkat. Masih tampak lesi hipodens
(CT number -60(-40) HU) bentuk lobulated, batas sebagian tegas,
tepi sebagian irreguler dengan bagian padat besepta dan
airbronchogram didalamnya pada segmen 5,7 (ukuran + LL 11,8 cm
x CC 9,88 cm), disertai nekrotik didalamnya serta sebelumnya.
Pasca injeksi kontras tak tampak enhancement.
Tampak lesi hippodens (CT number 12-37 HU) deisertai split pleural
sign pada apicolaterobasal hemithoraks kiri
Tampak multipel limfonodi ukuran subsentimeter pada subaortic,
upper paratrakeal kanan kiri (ukuran terbesar di uppeer paratrakhea
kiri + 0,73 cm).
Trakea tampak terdesak ke kanan
Bronkus utama kanan tidak menyempit, kiri menyempit
Oesophagus tak melebar, dinding tak tampak menebal, tak tampak massa
Cor tak tampak membesar
Aorta tak tampak melebar, tak tampak klasifikasi trombus tampak klasifikasi arcus
aorta
Tampak pendesakan mediastinum ke arah kanan
Tak tampak lesi litik maupun destruksi tulang
Kesan:
36
- Massa dengan densitas lemak dengan bagian padat bersepta dan
airbronchogram didalamnya pada segmen 5, 7 paru kiri (ukuran + LL 11,8
cm x AP 5,91 cm x CC 9,88 cm), relatif berkurang dibandingkan sebelumnya
yang mendesak mediastinum ke kanan.
- Lesi hipodens disertai split pleural sign pada apicolaterobasal hemithoraks
kiri, cenderung gambaran empyema cenderung massa paru kiri (TNM
staging T3, N0, M1a)
- Ascites
Tampak terpasang chest tube dari arah lateral hemithoraks kiri dengan ujung
distal setinggi os costa 7 kiri superior.
Cor : Batas kanan jantung baik, batas kiri jantung tertutup perselebungan
homogen
Pulmo: Corakan vaskuler paru yang tervisualisasi tampak meningkat
Tampak bercak pada lapangan bawah paru kanan
37
Hemidiafragma kanan setinggi costa 8-9 posterior
Sinus kostofrenikus kanan lancip, kiri tertutup perselubungan homogen
Tak tampak lesi litik, sklerotik maupun destruksi pada os costae, scapulae dan
claviculae kanan kiri yang tervisualisasi.
Kesan:
- Chest tube terpasang dari arah lateral hemithoraks kiri dengan ujung
distal setinggi os costa 7 kiri posterior
- Cor sulit dinilai
- Infiltrat pada lapangan bawah paru kanan
- Efusi pleura kiri berkurang
38
Masih tampak terpasang chest tube dari arah lateral hemothoraks kiri dengan
Cor : Batas kanan jantung baik, batas kiri jantung tertutup perselubungan
homogen
Tak tampak lesi litik, sklerotik maupun destruksi pada os costae, scapulae dan
Kesan:
39
Gambar X. Foto Thorax AP/Lateral Semierect
Cor : Batas kanan jantung baik, batas kiri sebagian tertutup perselubungan
homogen
Tak tampak lusensi avaskuler disertai pleural visceral line pada laterobasal
40
Tak tampak lesi litik, sklerotik maupun destruksi pada os costae, scapulae dan
Kesan:
Mikroskopis :
Hapusan terdiri atas massa amorf, makrofag, bersebukan sel radang limfosit,
Kesimpulan:
3.5 DIAGNOSIS
3.6 TERAPI
- Radiasi
41
Pasien mendapatkan program eksternal radiasi
Lapangan radiasi
o Dosis terapi
Total dosis : 40Gy
Fraksinasi: 3 x 3 Gy ditambah 2 x 3Gy dilanjutkan 12 x 2 Gy
42
BAB IV
PEMBAHASAN
43
Eksternal radiasi dilakukan dengan memfokuskan radiasi dari luar tubuh ke
dalam sel kanker. Terapi ini merupakan terapi yang sering digunakan pada kanker
paru bukan sel kecil atau pada kasus penyebaran ke organ lain. Sebelum terapi
dilakukan, akan dilakukan pengukuran untuk menentukan sudut yang tepat sekaligus
dosis yang tepat untuk radiasi. Penentuan dosis dan area penyinaran dibantu dengan
CT scan. Prosedur ini tidak menimbulkan nyeri. Setiap terapi dilaksanakan dalam
beberapa menit. Seringkali terapi radiasi dilaksanakan dalam 5 hari selama 5-7
minggu, namun jumlah ini bervariasi tergantung tipe radiasi dan alasan
pemberiannya.
Pada pasien ini dilakukan metode fraksinasi. Fraksinasi pada pasien ini
dilakukan 3 x 3 Gy ditambah 2x3Gy kemudian setelah evaluasi dilanjutkan radiasi
dengan fraksinasi 12x2Gy. Pada terapi kanker fraksinasi mengacu pada prinsip 4R,
yaitu repair, repopulasi, redistribusi dan reoksigenasi. Repair mengacu pada sifat sel
tumor yang mengalami lebih banyak gangguan repair dibanding sel normal, sehingga
dengan fraksinasi maka akan lebih banyak sel tumor yang rusak dan mati.
Repopulasi mengacu pada prinsip bahwa penggantian sel mati dengan menarik sel
yang berada dalam fase G0 lebih cepat terjadi pada sel yang normal. Redistribusi
berpedoman pada sifat sel yang sensitif terhadap radiasi pada fase akhir G2 dan M.
Selain itu dengan dilakukan fraksinasi maka tumor bulky dapat mengecil akibat
reoksigenasi sentral yang menyebabkan sel-sel tumor menjadi lebih sensitif terhadap
radiasi. Pada akhirnya metode fraksinasi dilakukan dengan tujuan untuk
meningkatkan rasio terapeutik sehingga terapi radiasi yang diberikan lebih
memberikan hasil yang optimal.
44
BAB V
KESIMPULAN
45
DAFTAR PUSTAKA
46
11. Herbst R, JV H, SM L. Lung Cancer. N Engl J Med [Internet].
2010;359(13):1367–80. Available from:
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra0802714
12. Amin, Z., Sudoyo, A.W., Setryohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M.K. dan
Setiati, S., 2006. Kanker Paru Dalam: Ilmu Penyakit Dalam: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
Edisi ke 4. Jakarta: 1015 -21.
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK): Pedoman Diagnosis & Pena talaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. ha1aman -6.
14. Irshad, A. 2013. ; Chief Editor: Barry H Gross Imaging in Small Cell Lung
Cancer. Available at :
http://emedicine.medscape.medscape.com/article/358274 -overview.
15. Ravenel, G. 2013. Medscape Reference (Drug Diseases and Procedures) :
Imaging in Small Cell Lung Cancer. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/358274 -overview
16. American Cancer Society on support to American Joint Commission on
Cancer. 2009. Lung Cancer Stagging. Available at :
https://cancerstaging.org/references-
tools/quickreferences/Documents/LungMedium.pdf
17. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran : Kanker Paru. halaman 25-49.
47