Anda di halaman 1dari 9

X.

Antibiotik apa yang direkomendasikan untuk terapi empiric pada pasien yang disuspek
dengan Ventilatory Acquired Pneumonia (VAP)? (Rekomendasi (lihat tabel 3 untuk
rekomendasi antibiotik yang spesifik)

1. Pada pasien yang disuspek dengan VAP, kita merekomendasikan (termasuk mencakup bakteri
S.aureus, P. aeruginosa, dan bakteri basil gram negatif) seluruh resimen empiric (Rekomendasi
kuat, quality evidence rendah)

i. Kita menyarankan termasuk agen aktif untuk melawan MRSA untuk terapi empiric pada
pasien suspek VAP hanya pada pasien yang memiliki faktor resiko terhadap resistensi
antimikroba.(Tabel 2), pasien diterapi dalam unit dimana >10-20% S.Aureus yang terisolasi
adalah resistensi methicillin, dan pasien (unit) dimana prevalensi MRSA tidak diketahui
(rekomendasi lemah, quality evidence sangat lemah)

ii. Kita menyarankan termasuk agen aktif untuk melawan MSSA (dan bukan MRSA) untuk
terapi empiric pada pasien suspek VAP pada pasien tanpa faktor resiko terhadap resistensi
antimikroba, dimana pasien yang diobati di dalam ICU (<10-20% S.Aureus yang terisolasi
adalah resistensi methicillin ( rekomendasi lemah, quality evidence sangat lemah)

2. Jika cakupan bakteri untuk MRSA diindikasikan, maka kami merekomendasikan obat
vancomycin atau linezolid (rekomendasi kuat, quality evidence sedang)

3. Jika cakupan bakteri untuk MSSA diindikasikan (dan bukan MRSA), maka kami
menyarankan resimen yang digunakan antara lain piperacillin-tazobactam, cefepime,
levofloxacin, imipenem atau meropenem (rekomendasi lemah, quality evidence sangat rendah).
Oxacillin, nafcillin atau cefazolin dapat dijadikan agen untuk melawan MSSA, tetapi tidak
diperlukan untuk terapi empiric pada VAP jika salah satu obat tersebut sudah digunakan.

4. Sebaiknya dilakukan peresepan dua antibiotik yang memiliki efek antipseudomonas dari kelas
yang berbeda untuk terapi empiric pada pasien yang disuspek dengan VAP hanya pada pasien :
yaitu pasien yang memiliki faktor resiko terhadap resistensi antimikroba (Tabel 2), pasien (units)
dimana >10% gram negatif yang terisolasi adalah resisten terhadap agen monoterapi dan pasien
yang berada di ICU yang tidak memiliki tingkat susceptibilitas terhadap antimikroba local

5. Sebaiknya diresepkan 1 antibiotik aktif untuk melawan P.aeruginosa untuk terapi empiric
untuk pasien suspek VAP tanpa adanya faktor resiko terhadap resistensi antimikroba yang
diobati di ICU dimana <10% gram negatif yang diisolasi adalah resisten terhadap agen yang
biasa digunakan monoterapi (rekomendasi lemah, quality evidence rendah)

6. Pasien yang disuspek VAP, dianjurkan untuk menghindari penggunaan aminoglikosida jika
terdapat agen alternatif yang digunakan untuk melawan aktivitas gram negatif yang adekuat.
7. Pasien yang disuspek VAP, sebaiknya menghindari colistin jika terdapat agen alternatif yang
digunakan untuk melawan aktivitas gram negatif yang adekuat.(rekomendasi lemah, quality
evidence sangat rendah)

Nilai dan preferensi : Rekomendasi ini merupakan hasil kesepakatan antara tujuan yang ingin
dicapai untuk mendapatkan terapi awal yang tepat dan menghindari pengobatan berlebihan yang
dapat menyebabkan efek samping yang merugikan bagi kita seperti infeksi C.difficile, resitensi
antibiotik dan biaya pengobatan yang tinggi.

Keterangan : Faktor risiko terhadap resistensi antimikroba diterangkan pada tabel 2. 10%-20%
ambang batas untuk menentukan apakah resep yang diberikan satu agen antipseudomonas atau
dua agen yang dipilih oleh panel dengan mencapai tujuan untuk meyakinkan bahwa >95% pasien
menerima terapi empiris yang aktif untuk melawan bakteri patogen pada tubuh pasien. Pada saat
kita menerapkan rekomendasi ini, masing masing ICU dapat menentukan ambang batas ini. Jika
pasien yang menderia kelainan paru-paru akibat perubahan struktur paru akan meningkatkan
risiko infeksi gram negatif (bronkiektasis atau cystic fibrosis), 2 agen antipresudomonas
direkomendasikan.

Ringkasan Penelitian

Studi surveilans menyarankan bahwa organisme yang paling sering dikaitkan dengan kejadian
VAP di Amerika Serikat adalah S. aureus (sekitar 20-30% terisolasi), P. aeruginosa (sekitar 10-
20% terisolasi), bakteri basil gram negatif (enteric) (sekitar 20-40% terisolasi), dan
Acinetobacter baumannii (sekitar 5-10% terisolasi) [138]. Organisme tersebut juga merupakan
bakteri yang paling sering terisolasi dan teridentifikasi pada seluruh program surveilans
internasional , meskipun fraksi tertinggi pada kasus terkait adalah P. aeruginosa dan A. bauman-
nii [139].

Berbagai macam organisme, baik di Amerika Serikat dan di belahan dunia, resisten terhadap
antibiotik yang biasa digunakan. Studi surveilans yang sama dillaporkan bahwa sekitar 50% S.
aureus yang diisolasi merupakan resisten terhadap methicillin (MRSA), 28-35% P. aeruginosa
yang terisolasi resisten terhadap cefepime, 19-29% P. aeruginosa resisten terhadap antibiotik
piperacillin-tazobactam, dan 56-61% A. baumannii yang terisolasi resisten terhadap
carbapenems. [138,139]
Banyak studi observasional mengemukakan bahwa inadekuat dan terapi yang lambat berkaitan
terhadap tingginya tingkat mortalitas pada pasien dengan VAP [118,140-143]. Pada metaanalisis
yang dilakukan pada 9 studi observasional (813 pasien) antibiotik yang inadekuat pada pasien
VAP berkaitan erat dengan tingginya risiko kematian (OR,2,34;95% CI, 1,51-3,62) [141]

Review sistematis kita tidak dapat mengidentifikasi penelitian RCT untuk membandingkan
resimen obat dengan dan tanpa agen aktif yang dapat melawan satu atau lebih potensial patogen
yang resisten yang umumnya berkaitan dengan VAP. Meskipun demikian, luasnya studi
mengasosiasikan terapi yang tidak adekuat dan terapi yang lambat dengan hasil buruk
menunjukkan bahwa resimen pengobatan empiris untuk VAP harus menyertakan agen yang
cenderung aktif melawannya patogen.

Cakupan gram positif

Terdapat keterbatasan data dalam pemberian pilihan terapi untuk mengobati MRSA.
Vancomysin dan linezolid memiliki hasil yang baik dalam terapi MRSA. Perbandingan meta
analisis pada RCT antara vancomysin dan linezolid mengemukakan bahwa vancomysin dan
linezolid memiliki hasil outcome klinis yang sama [144-147] (See section XV). Terdapat teori
lain dalam pemilihan terapi MRSA antara lain teicoplanin, telavancin, ceftaroline dan tedizolid.
[148-150]. Dua penelitian RCT mengevaluasi obat teicoplanin vs vancomysin atau linezolid
dalam pemberian terapi untuk infeksi gram positif [151,152]. Namun, infeksi pada berbagai
organ tubuh dimasukkan kedalam studi tersebut dan terdapat sedikit pasien dengan pneumonia
ikut di evaluasi dan terdapar sedikit pasien yang terdiagnosis dengan MRSA pneumonia
dilakukan evaluasi juga. Kemudian, dibutuhkan lebih banyak bukti medis untuk membuktikan
efek klinis pemberian teicoplanin pada pasien dengan HAP/VAP. Dua studi RCT
membandingkan telavancin dan vancomisin memliki outcome yang sama. Tetapi, <10% pasien
yang diikutsertakan dalam penelitian memiliki MRSA VAP dan terdapat pasien dengan gagal
ginjal derajat sedang sampai berat (dengan nilai creatinine clearance <50mL/min), dilakukan
randomisasi dan pemberian telavancin memiliki tingkat mortalitas yang tinggi. [148,153,154].
Tidak ada publikasi penelitian RCT yang mengevaluasi pemberian ceftaroline atau tedizolid
untuk pengobatan MRSA-VAP. Daptomisin tidak dapat berefek klinis akibat dari surfaktan
(pada paru) dan tidak digunakan untuk terapi pneumonia. Studi RCT membandingkan
pengobatan dengan menggunakan kombinasi tigecyclin-imipenem dan ceftobiprole-ceftazidime
terbukti menurunkan tingkat kesembuhan klinis secara signifikan terhadap pasien dengan VAP.
Pasien VAP secara acak diobati dengan tigecycline dan ceftobiprole, masing-masing.[155,156]

Cakupan Gram Negatif

Opsi pilihan untuk memberikan terapi pada bakteri gram negatif sangat bervariasi. Kita
mengidentifikasi 29 studi RCT yang membandingkan perbedaan resimen untuk gram negatif
sebagai terapi empiric untuk VAP [155-183]. Resimen tersebut dilakukan tes secara menyeluruh
mencakup antar resimen yaitu carbapenems, cephalosporin, anripseudomonas penicilin,
aminoglikosida, quinolone, aztreonam, dan tigecycline baik digunakan sebagai monoterapi
ataupun kombinasi. Secara individiu, tidak ada studi trial yang melaporkan hasil yang signifikan
dari perbedaan pada respon klinis atau tingkat mortalitas antar pembanding dengan pengecualian
pada tigecycline dan doripenem, dimana keduanya memiliki outcome yang buruk [156,158]. Kita
tidak mengidentifikasi studi RCT terhadap penggunaan colistin sebagai terapi empiric pada
VAP. Tetapi pada review sistematik dan metaregresi pada studi observasional yang
membandingkan colistin dengan antibiotik lain ditemukan tidak terdapat perbedaan pada respon
klinis, kematian atau nefrotoksik [184]. US-FDA (United states-food drug administration) baru-
baru ini menyetujui dua obat kombinasi baru cephalosporin-beta-laktam, ceftolozane-tazobactam
dan ceftazidime-avibactam, untuk terapi pada komplikasi traktus urinarius dan infeksi intra-
abdomen. Agen kombinasi tersebut dapat digunakan untuk melawan bakteri pseudomonas dan
bakteri gram negatif lain tetapi efektifitasnya dalam terapi pada pasien VAP masih dipertanyakan
[185].

Kita melakukan meta analisis secara berkala untuk membandingkan setiap kelas antibiotik
melawan seluruh kelas antibiotik lain untuk dievaluasi apakah antar kelas antibiotik tersebut
terdapat yang lebih superior dari yang lain. Untuk setiap kelas, kita mengidentifikasi seluruh
studi RCT yang mencakup satu kelas dalam satu studi vs agen lainnya dibandingkan dengan
penelitian lain. Uji coba ini dikombinasikan dengan model acak. Ringkasannya bahwa rasio
risiko untuk mortalitas, respons klinis, resistensi yang didapat, dan efek samping diantisipasi
dengan suplemen [21].
Tidak ada perbedaan signifikan dalam tingkat mortalitas, respons klinis, resistensi yang didapat,
atau efek samping bagi pasien rawat jalan dimana didominasi oleh resimen sefalosporin vs
noncephalosporin atau antipseudomonal penicillin vs resimen non-antipseudomonal penisilin.

Meta analisis kami terhadap 9 percobaan termasuk 2174 pasien. Regimen carbapenem
menunjukkan penurunan relatif 22% dalam mortalitas dibandingkan dengan resimen tanpa
karbapenem (RR, 0,78; 95% CI, 0.65 -0,95; I2 = 0%; P = 0.01) [155, 159, 161, 163, 167, 168,
173, 182, 183].

Tingkat mortalitas gabungan pada kelompok carbapenem adalah 13,9% vs 17,8 persen pada
kelompok tanpa carbapenem, untuk terapi reduksi absolut sekitar 3,9% (95% CI,0.8-7,0).
Namun, tidak terdapat perbedaan antara carbapenems dan non carbapenems pada respon klinis
ataupun efek lain. Untuk tambahan, studi yang dipublikasikan tidak konsisten dalam melaporkan
banyaknya infeksi C.difficile yang terjadi dan resistensi pada pemakaian carbapenem.

Pasien secara acak diterapi dengan aminoglikosida yang mengandung resimen memiliki
kesamaan tingkat mortalitas tetapi memiliki tingkat respon klinis yang rendah dibandingkan
dengan pasien yang hanya dilakukan pemberian aminoglikosida saja (56% vs 68%;RR,0,82
;95% CI, .71-.95). Pasien secara acak diterapi dengan quinolone yang mengandung resimen
memiliki tingkat mortalitas dan tingkat respon klinis yang sama tetapi sedikit lebih rendah
kejadian efek samping dibandingkan secara acak terhadap yang diterapi quinolone saja (24% vs
27%; RR, 0,88; 95% CI, .78-.99).

Kombinasi Versus Monoterapi untuk Empiris Gram-Negatif Pada Pasien VAP

Kami mengevaluasi apakah ada perbedaan hasil pada pasien yang diterapi dengan satu agen
antipseudomonal vs dua agen antipseudomonal. Kita mengidentifikasi 7 eksperimen yang
memenuhi syarat [160-162, 170, 171, 176, 181]. Tidak ada perbedaan dalam angka kematian,
respon klinis, efek samping, atau resistensi yang didapat antara monoterapi dan

kombinasi terapi. Namun, banyak dari studi ini memiliki pengecualian pasien yang memiliki
penyakit komorbid dan pasien yang diketahui dengan mengalami resistensi. Sejumlah penelitian
juga memungkinkan cakupan empiris adjunctive untuk pseudomonas sampai patogen patogen
yang sebenarnya diidentifikasi. Faktor-faktor ini membatasi
penerapan studi ini untuk pemilihan pasien empiris pada pasien yang tidak dipilih dengan dugaan
VAP.

Pengecatan Gram

Peran pengecatan dalam terapi empiric untuk pasien VAP tidak jelas. Beberapa studi
mengemukakan bahwa keberadaan organisme gram positif pada pengecatan gram dan pewarnaan
gram membuat kecil kemungkinan S. aureus akan dikultur. [186,187]. Meta analisis terbaru
tentang studi observasional menemukan Sebuah meta-analisis baru-baru ini dari penelitian
observasional, menemukan hasil yang relatif buruk antara keduanya yaitu pewarnaan gram dan
kultur akhir [188]. Nilai kappa 0,40 (95% CI, .34 -46) untuk organisme gram positif dan 0,30
(95% CI, .25-.36) untuk organisme gram negatif [188]. Kita tidak mengidentifikasi studi RCT
yang mengevaluasi penggunaan pewarnaan Gram sebagai pertimbangan untuk melakukan terapi
empiris

Skrining surveilans S. aureus

Banyak rumah sakit melakukan screening surveilans untuk MRSA di beberapa atau semua
pasien rawat inap. Sensitifitas skrining bervariasi pada bentuk anatomis dan dengan metode
isolasi (nares vs oropharynx, kultur konvensional vs polymerase reaksi berantai) [189]. Data
observasional menunjukkan MRSA positif ini kemungkinan mengindikasikan bahwa infeksi
klinis disebabkan oleh MRSA [45, 190]. Keterkaitan hal tersebut sangat erat akan tetapi hanya
untuk infeksi kulit dan jaringan lunak. Hanya sekitar 30% infeksi pernafasan disebabkan oleh
MRSA pada pasien dengan penelitian surveilans MRSA yang positif [44, 46]. Demikian juga,
Studi surveilans MRSA yang negatif perlu ditafsirkan di dalam konteks prevalensi lokal MRSA.
Adapun penelitian dengan rendahnya prevalensi infeksi pernafasan akibat MRSA yang bersifat
negatif. Skrining nasal lebih lanjut mengindikasikan bahwa pneumonia tidak mungkin terjadi
karena MRSA dan cakupan anti-MRSA dapat ditahan [190]. Dengan tingkat prevalensi MRSA
yang lebih tinggi, hasil skrining yang negatif mengurangi kemungkinan infeksi disebabkan oleh
MRSA tapi tidak mengesampingkan kemungkinan lain yang dapat terjadi [44, 46]. Dengan terapi
yang dilakukan, beberapa penelitian telah menemukan bahwa sampai 75% orang sakit kritis dan
pasien dengan MRSA menurunkan infeksi saluran pernafasan dan untuk MRSA [46]. Kita tidak
mengidentifikasi studi RCT yang mengevaluasi penggunaan skrining MRSA sebagai
pertimbangan untuk melakukan pengobatan terapi empiris pada pasien VAP

Dasar Pemikiran Rasional untuk Rekomendasi

Pemilihan terapi empiris yang selektif untuk pasien yang disuspek dengan VAP adalah hal yang
sulit menyamakan antara terapi yang adekuat dan cakupan yang terbatas. Menunda perawatan
dan gagal untuk melakukan terapi pada pasien memiliki keterkaitan terhadap tingkat kematian
yang lebih tinggi. Sebaliknya, antibiotik spektrum luas dan perawatan yang lama di rumah sakit
meningkatkan efek samping obat yang lebih tinggi terutama pada infeksi C. difficile, dan
resistensi antimikroba [191,192]. Penelitian yang direkomendasikan adalah melakukan terapi
awal dan perawatan intensif dengan bertindak sedini mungkin dan cepat (lihat bagian XXIII) [68,
84, 120, 193-197]. Data surveilans nasional dan internasional menunjukkan bahwa sebagian
besar VAP yang disebabkan oleh MRSA dan resistensi pada bakteri gram-negatif kecuali data
lokal atau regional menunjukkan patogen dan / atau pola resistensi antimikroba berbeda secara
signifikan dari tingkat taraf yang tercantum di atas tersedia,

Cakupan terapi empiris harus mencakup agen yang aktif melawan MRSA dan paling sedikit 2
agen aktif melawan organisme gram negatif, yaitu P. aeruginosa. Agen gram negatif dalam
resimen empiris adalah meningkatkan kemungkinan setidaknya satu agen aktif terhadap bakteri
patogen tersebut. Di sisi lain, jika data lokal atau regional mengemukakan prevalensi MRSA
yang rendah dan resistensi antibiotik rendah terhadap bakteri gram-negatif, maka satu agen aktif
dapat berperan aktif melawan baik P. aeruginosa maupun MSSA atau satu agen aktif melawan.
MSSA dikombinasikan dengan satu agen aktif melawan Pseudomonas dan gram-negatif
lainnya.[162].

Terapi empiris harus dilakukan pada pasien yang memiliki risiko tinggi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi antara lain kuat tidaknya antimikroba melawan patogen dan distribusi dari bakteri
patogen serta resistensi antibiotik dalam lingkungan [131, 133]. Tidak semua pasien
membutuhkan terapi empiris. (lihat Tabel 3 untuk rekomendasi antibiotik yang spesifik).

Faktor pasien yang perlu dipertimbangkan mencakup kultur kuman sebelumnya, hasil dan pola
resistensi antimikroba, antibiotik yang dikonsumsi pasien baru baru ini, seringnya pasien
mengonsumsi antibiotik (terpapar antibiotik), lamanya di rawat di rumah sakit, dan tingkat
keparahan penyakit.

Faktor risiko berupa resistensi antibiotik terhadap beberapa bakteri patogen dan terhadap
penyakit tercantum di Tabel 2. Nilai prediktif yang positif dari faktor risiko individu terhadap
resistansi obat bervariatif dan tidak valid ; Oleh karena itu, dokter juga harus mempertimbangkan
prevalensi infeksi lokal dari patogen yang resistan terhadap obat. Saat memilih terapi empiris
yang memiliki spektrum luas dan melawan bakteri basil gram negatif mungkin masih dapat
digunakan antibiotik pada pasien yang tidak memiliki faktor resiko terjadinya resistensi pada
pasien. Kemungkinan terdapat peningkatan prevalensi infeksi lokal akibat bakteri patogen yang
sangat tinggi akibat pemakaian terapi empiris tersebut. Sebaliknya, antibiotik spektrum sempit
mungkin tepat untuk pasien yang tidak memiliki faktor risiko spesifik terhadap resistensi
antibiotik.

Prevalensi seseorang yang mengalami resistensi antibiotik

Tidak ada data yang dapat menduga terapi obat dengan spektrum luas apa yang dapat melawan
bakteri secara spesifik maupun melawan tingkat resistensi antibiotik. Beberapa peneliti
menyarankan pada pasien dengan resistensi tinggi pada methicillin S. aureus yang dirawat di
ICU> 10% -20% dianjurkan untuk memilih antibiotik yang bekerja pada gram positif yang aktif.
Pada pasien yang memiliki penyakit MRSA, dan tingkat resistensi gram negatif yang tinggi serta
pasien yang dirawat di ICU > 10% dianjurkan untuk mempertimbangkan penggunaan 2
antibiotik kombinasi sebagai terapi empiris untuk mengobati pasien dengan diagnosis VAP.
Alasan untuk memfokuskan antibiotik untuk gram negatif dibandingkan dengan penggunaan
antibiotik untuk gram positif adalah karena gram-negatif lebih sering terlibat dalam VAP;
karenanya ada peningkatan risiko terjadinya komplikasi infeksi gram negatif apabila tidak
digunakan antibiotik yang spesifik terhadap gram negatif. Beberapa peneliti mengakui bahwa
menghitung total VAP, tingkat resistensi gram negatif terhadap antibiotik yang selektif melawan
gram negatif tidak dapat dilakukan karena membutuhkan pengetahuan baik local maupun
prevalensi organisme yang terkait dengan VAP dan resistensi ke semua pilihan antibiotik. Untuk
rumah sakit yang tidak dapat menghitung resistansi VAP terhadap gram negatifnya. Maka,
terjadinya peningkatan resistensi terhadap bakteri Pseudomonas adalah wajar. Pseudomonas
adalah organisme gram negatif yang paling umum dikaitkan dengan VAP.

Anda mungkin juga menyukai