Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN PENSITOPENIA RUANG 25


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

OLEH:
Rofi Syahrizal, S. Kep
NIM 182311101048

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Pensitopenia Di


Ruang 25 Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Saiful Anwar Malang telah disetujui dan
disahkan pada :

telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:


Hari / Tanggal : November 2018
Tempat : Ruang 25 RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Malang, November 2018

1
Mahasiswa

Rofi Syahrizal, S.Kep.


NIM 182311101048

TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik Fakultas Keperawatan


Ruang 25
Universitas Jember RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Ns. Jon Hafan S., M.Kep., Sp.Kep.MB Acik Wijayanti, S.Kep. Ns


NIP. 19840102 201504 1 002 NIP. 198803302014032001

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...........................................................................................


1 LEMBAR PENGESAHAN........................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................................
LAPORAN PENDAHULUAN......................................................................................

A. Definisi Pensitopenia .....................................................................................

B. Epidemiologi ..................................................................................................

C. Etiologi ...........................................................................................................

D. Tanda Gejala .................................................................................................

E. Klasifikasi ......................................................................................................

2
F. Patofisiologi dan Pathway ............................................................................

G. Prognosa .........................................................................................................

H. Penetalaksanaan

Medis ................................................................................ I. Pemeriksaan

Penunjang ...............................................................................

J. Diagnosa Yang Sering Muncul ....................................................................

K. Penetalaksanaan Keperawatan ....................................................................

L. Rencana

Keperawatan ..................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN PENSITOPENIA

A. Definisi Pensitopenia
Pansitopenia adalah keadaan dimana terjadi penurunan jumlah eritrosit, leukosit,
dan trombosit. Pansitopenia ini merupakan suatu kelainan di dalam darah tepi. Biasanya
kadar hb juga ikut rendah akibat rendahnya eritrosit (American Cancer Society, 2005).
Pansitopenia ini merupakan suatu gejala, bukan penyakit. Ada dua kelompok
penyakit yang bisa menyebabkan kondisi ini; produksi sel darah di sumsum tulang yang
menurun, atau akibat penghancuran sel di darah tepi meningkat walaupun produksi sel
darah di sumsum tulang berlangsung baik. Terdapat dua contoh penyakit yang
menggambarkan gejala pansitopenia yang sangat jelas adalah Anemia Aplastik dan
Leukemia (American Cancer Society, 2005).

3
Anemia aplastik merupakan hasil dari kegagalan produksi sel darah pada sumsum
tulang belakang. Anemia aplastik juga merupakan anemia yang disertai oleh
pansitopenia pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang
dalam bentuk aplasia atau hipoplasia. Karena sumsum tulang pada sebagian besar kasus
bersifat hipoplastik, bukan aplastik total, maka anemia ini disebut juga sebagai anemia
hipoplastik. Kelainan ini ditandai oleh sumsum hiposelular dan berbagai variasi tingkat
anemia, granulositopenia, dan trombositopenia (Bakhsi, 2004 dan Dan L, 2008).
Leukemia adalah suatu keadaan di mana terjadi pertumbuhan yang bersifat
irreversibel dari sel induk dari darah. Pertumbuhan dimulai dari mana sel itu berasal.
Sel-sel tesebut, pada berbagai stadium akan membanjiri aliran darah. Pada kasus
Leukemia (kanker darah), sel darah putih tidak merespon kepada tanda/signal yang
diberikan. Akhirnya produksi yang berlebihan tidak terkontrol (abnormal) akan keluar
dari sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi. Jumlah
sel darah putih yang abnormal ini bila berlebihan dapat mengganggu fungsi normal sel
lainnya, Seseorang dengan kondisi seperti ini (Leukemia) akan menunjukkan beberapa
gejala seperti; mudah terkena penyakit infeksi, anemia dan perdarahan (American
Cancer Society, 2005).

B. Epidemiologi
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar
antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. Analisis retrospektif di Amerika
Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus
persejuta penduduk pertahun. The Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis
Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun. Frekuensi
tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua
terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di negara
Timur, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus per satu
juta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan
kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat belum jelas.
Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti
peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik.

4
Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang
tinggal di Amerika (Hillman, 2005)
Leukimia akut pada anak-anak merupakan 20-40% dari keganasan insiden
ratarata 4- 4.5 kasus / 100.000 anak di bawah 15 tahun. Di negara berkembang 83%
ALL, 12% AML, lebih tinggi pada anak kulit putih di bandingkan kulit hitam. Di Asia
kejadian Leukimia pada anak lebih tinggi. Di Jepang Mencapai 4/100.000 anak dan di
perkirakan tiap tahun terjadi 1000 kasus baru.

C. Etiologi 1. Anemia Aplastik


Masih belum terdapat bukti yang sangat jelas mengapa seseorang dapat diduga
secara potensial menderita keracunan sumsum tulang berat dan sering terdapat kasus
cedera sumsum tulang yang tidak dapat disembuhkan. Oleh karena itu, penyebab
pasti seseorang menderita anemia aplastik juga belum dapat ditegakkan dengan
pasti. Namun terdapat beberapa sumber yang berpotensi sebagai faktor yang
menimbulkan anemia aplastik. Anemia aplastik dapat diggolongkan menjadi tiga
berdasarkan penyebabnya yaitu : anemia aplastik didapat (acquired aplastic
anemia); familial (inherited); idiopathik (tidak diketahui). Sumber lainnya membagi
penyebabnya menjadi primer (kongenital, idiopatik) dan sekunder (radiasi, obat,
penyebab lain). Berikut ini merupakan penjelasan mengenai ketiga penyebab
tersebut:

Anemia Aplastik Didapat (Acquired Aplastic Anemia)

a. Bahan Kimia.
Berdasarkan pengamatan pada pekerja pabrik sekitar abad ke-20an, keracunan
pada sumsum tulang, benzene juga sering digunakan sebagai bahan pelarut. Benzene
merupakan bahan kimia yang paling berhubungan dengan anemia aplastik.
Meskipun diketahui sebagai penyebab dan sering digunakan dalam bahan kimia
pabrik, sebagai obat, pewarna pakaian, dan bahan yang mudah meledak. Selain
penyebab keracunan sumsum tulang, benzene juga menyebabkan abnormalitas
hematologi yang meliputi anemia hemolitik, hiperplasia sumsum, metaplasia
mieloid, dan akut mielogenous leukemia. Benzene dapat meracuni tubuh dengan

5
cara dihirup dan dengan cepat diserap oleh tubuh, namun terkadang benzene juga
dapat meresap melalui membran mukosa dan kulit dengan intensitas yang kecil.
Terdapat juga hubungan antara pengguanaan insektisida menggunakan benzene
dengan anemia aplastik. Chlorinated hydrocarbons dan organophospat menambah
banyaknya kasus anemia aplastik seperti yang dilaporkan 280 kasus dalam literatur.
Selain itu DDT(chlorophenothane), lindane, dan chlordane juga sering digunakan
dalam insektisida.1 Trinitrotolune (TNT), bahan peledak yang digunakan pada
perang dunia pertama dan kedua juga terbukti sebagai salah satu faktor penyebab
anemia aplastik fatal. Zat ini meracuni dengan cara dihirup dan diserap melalui
kulit. Kasus serupa juga diamati pada pekerja pabrik mesia di Great Britain dari
tahun 1940 sampai 1946.

b. Obat
Beberapa jenis obat mempunyai asosiasi dengan anemia aplastik, baik itu
mempunyai pengaruh yang kecil hingga pengaruh berat pada penyakit anemia
aplastik. Hubungan yang jelas antara penggunaan obat tertentu dengan masalah
kegagalan sumsum tulang masih dijumpai dalam kasus yang jarang. Hal ini
disebabkan oleh dari beberapa interpretasi laporan kasus dirancukan dengan
kombinasi dalam pemakaian obat. Kiranya, banyak agen dapat mempengaruhi
fungsi sumsum tulang apabila menggunakan obat dalam dosis tinggi serta tingkat
keracunan tidak mempengaruhi organ lain. Beberapa obat yang dikaitkan sebagai
penyebab anemia aplastik yaitu obat dose dependent (sitostatika, preparat emas),
dan obat dose independent (kloramfenikol, fenilbutason, antikonvulsan, sulfonamid)
c. Radiasi
Penyinaran yang bersifat kronis untuk radiasi dosis rendah atau radiasi lokal
dikaitkan dengan meningkat namun lambat dalam perkembangan anemia aplastik
dan akut leukemia. Pasien yang diberikan thorium dioxide melalui kontras intravena
akan menderita sejumlah komplikasi seperti tumor hati, leukemia akut, dan anemia
aplastik kronik. Penyinaran dengan radiasi dosis besar berasosiasi dengan
perkembangan aplasia sumsum tulang dan sindrom pencernaan.1 Makromolekul

6
besar, khususnya DNA, dapat dirusak oleh: (a) secara langsung oleh jumlah besar
energi sinar yang dapat memutuskan ikatan kovalen; atau (b) secara tidak langsung
melalui interaksi dengan serangan tingkat tinggi dan molekul kecil reaktif yang
dihasilkan dari ionisasi atau radikal bebas yang terjadi pada larutan. Secara mitosis
jaringan hematopoesis aktif sangat sensitif dengan hampir segala bentuk radiasi. Sel
pada sumsum tulang kemungkinan sangat dipengaruhi oleh energi tingkat tinggi
sinar , yang dimana dapat menembus rongga perut. Kedua, dengan menyerap
partikel dan (tingkat energi yang rendah membakar tetapi tidak menembus kulit).
Pemaparan secara berulang mungkin dapat merusak sumsum tulang yang dapat
menimbulkan anemia aplastik.
d. Virus
Beberapa spesies virus dari famili yang berbeda dapat menginfeksi sumsum
tulang manusia dan menyebabkan kerusakan. Beberapa virus seperti parvovirus,
herpesvirus, flavivirus, retrovirus dikaitkan dengan potensi sebagai penyebab
anemia aplastik

e. Familial (Inherited) Anemia Aplastik


Beberapa faktor familial atau keturunan dapat menyebabkan anemia aplastik
antara lain pansitopenia konstitusional Fanconi, defisiensi pancreas pada anak, dan
gangguan herediter pemasukan asam folat ke dalam sel

2. Leukemia
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari Leukemia tidak diketahui. Meskipun
demikian ada beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya
menjadi faktor prediposisi Leukemia pada populasi tertentu. Benzene, suatu
senyawa kimia yang banyak digunakan pada insidens penyamakan kulit di negara
berkembang, diketahui merupakan zat leukomogenik untuk Leukemia. Selain itu
radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan Leukemia. Ini diketahui dari
penelitian tentang tingginya insidensi kasus leukemia, termasuk Leukemia, pada
orang-orang yang selamat bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada 1945. Efek
leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun
sesudah pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah pengeboman.

7
Faktor lain yang diketahui sebagai predisposisi untuk Leukemia adalah trisomi
kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter sindrom down. Pasien
Sindrom Down dengan trisommi kromosom 21 mempunyai resiko 10 hingga 18
kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya Leukemia tipe M7. Selain itu
pada beberapa pasien sindrom genetik seperti sindrom bloom dan anemia Fanconi
juga diketahui mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi
normal untuk menderita Leukemia. Faktor lain yang dapat memicu terjadinya
Leukemia adalah pengobatan dengan kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor
padat. Leukemia akibat terapi adalah komplikasi jangka panjang yang serius dari
pengobatan limfoma, mieloma multipel, kanker payudara, kanker ovarium, dan
kanker testis. Jenis terapi yang paling sering memicu timbulnya Leukemia adalah
golongan alkylating agent dan topoisomerase II inhibitor.

D. Tanda Gejala 1. Anemia Aplastik


Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang
timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan
menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah,
dyspnoe d’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan
elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia yang akan menyebabkan
penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan
gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu
dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di
organorgan. Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering
dikeluhkan adalah anemia atau pendarahan, walaupun demam atau infeksi
kadangkadang juga dikeluhkan.
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin.
Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi. Pada tabel dibawah ini terlihat
bahwa pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering
dikemukakan.
Keluhan Pasien Anemia Aplastik:
Jenis keluhan %

8
Pendarahan 83
Lemah badan 80
Pusing 69
Jantung berdebar 36
Demam 33
Nafsu makan berkurang 29
Pucat 26
Sesak nafas 23
Penglihatan kabur 19
Telinga berdengung 13

Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada tabel
dibawah ini terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti
sedangkan pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien.
Hepatomegali, yang sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil
pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya
splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis. Pemeriksaan fisik pada
Pasien Anemia Aplastik

Jenis pemeriksaan fisik %


Pucat 100
Pendarahan 63
Kulit 34
Gusi 26
Retina 20
Hidung 7
Saluran cerna 6
Vagina 3
Demam 16
Hepatomegali 7
Splenomegali 0

2. Leukemia
Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien Leukemia tidak
selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus Leukemia,
sedang 15% pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35%
mengalami netropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang

9
signifikan di darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus Leukemia. Oleh karena itu
sangat penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di darah tepi sebagai
pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis pada orang yang diduga
menderita LMA.
Tanda dan gejala utama Leukemia adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan
infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana telah
disebutkan di atas. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia
yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi
dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang
disertai dengan DIC. Kasus DIC ini pling sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3.
Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah peri rektal,
sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien Leukemia
dengan demam.
Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100
ribu/mm3), sering terjadi leukositosis, yaitu gumpalan leukosit yang menyumbat
aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukositosis sangat bervariasi,
tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan
kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus.
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi
tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan menyebabkan
leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit,
sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan nodul di bawah
kulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan meninbulkan nyeri
tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan. Pembengkakkan gusi sering
dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi. Meskipun jarang,
pada Leukemia juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah menings dan
untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro
spinal yang diambil melalui prosedur pungsi lumbal.

10
E. Klasifikasi
Pansitopenia merupakan ciri-ciri yang sering muncul dari kebanyakan
penyakit. Walaupun anamnesis, pemeriksaan fisik, dan studi laboratorium dasar
sering dapat mengeksklusi anemia aplastik dari diagnosis, perbedaan merupakan hal
yang lebih susah dalam penyakit hematologi tertentu, dan tes lanjutan sangat
diperlukan.
Penyebab dari pansitopenia perlu dipertimbangkan dalam diagnosis banding
yang meliputi Fanconi’s anemia, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PHN),
myelodysplastic syndrome (MDS), myelofibrosis, aleukemic leukemia,
agranulocytosis, dan pure red cell aplasia. Berikut ini merupakan penjelasan lebih
lanjut mengenai penyakit-penyakit tersebut.

Fanconi’s anemia.
Ini merupakan bentuk kongenital dari anemia aplastik dimana merupakan kondisi
autosomal resesif yang diturunkan sekitar 10% dari pasien dan terlihat pada masa
anak-anak. Tanda-tandanya yaitu tubuh pendek, hiperpigmentasi pada kulit,
mikrosefali, hipoplasia pada ibu jari atau jari lainnya, abnormalitas pada saluran
urogenital, dan cacat mental. Fanconi’s anemia dipertegas dengan cara analisis
sitogenetik pada limfosit darah tepi, yang dimana menunjukkan patahnya kromosom
setelah dibiakkan menggunakan zat kimia yang meningkatkan penekanan
kromosom (seperti diepoxybutane atau mitomycin C).
Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria.
PNH adalah sebuah kerusakan yang didapat yang dikarakteristikan dengan anemia
yang disebabkan oleh hemolisis intravaskular dan dimanifestasikan dengan
hemoglobinuria yang bersifat sementara dan life-threatening venous thromboses.
Suatu kekurangan CD59, antigen pada permukaan eritrosis yang menghambat lisis
reaktif, sangat bertanggung jawab terhadap hemolisis. Kira-kira 10% sampai 30%
pada pasien anemia aplastik mengalami PNH pada rangkaian klinis nantinya. Ini
menunjukkan bahwa sangat mungkin bahwa mayoritas pasien dengan PHN dapat
mengalami proses aplastik. Diagnosis PNH biasanya dibuat dengan menunjukkan
pengurangan ekpresi dari sel antigen CD59 permukaan dengan cara aliran sitometri,

11
mengantikan tes skrining yang sebelumnya dipergunakan seperti tes hemolisis
sukrosa dan pemeriksaan urin untuk hemosiderin.
Myelodiysplastic Sindrome.
MDSs adalah sebuah kumpulan dari kerusakan sel batang hematopoetik klonal yang
ditandai oleh diferensiasi dan maturasi abnormal sumsum tulang, dimana dapat
menyebabkan kegagalan sumsum tulang dengan peripheral sitopenias, disfungsional
elemen darah, dan memungkinkan perubahan leukemi. Sumsum tulang pada MDS
memiliki tipe hiperselular atau normoselular, walaupun hiposelular biasanya juga
ditemukan. Sangat penting membedakan hiposelular MDS dengan anemia aplastik
karena diagnosis yang ditegakkan untuk penanganan dan prognosis.
Idiopathic Myelofibrosis.
Dua keistimewaan idiopathic myelofibrosis adalah hematopoesis ekstramedulari
menyebabkan hepatosplenomegali pada kebanyakan pasien. Biopsi spesimen
sumsum tulang menunjukkan berbagai tingkat retikulin atau fibrosis kolagen,
dengan megakariosit yang mencolok.

Aleukemic Leukemia.
Aleukemic leukemia merupakan suatu kondisi yang jarang yang ditandai oleh tidak
adanya sel blast pada darah tepi pasien leukemia, terjadi kurang dari 10% dari
seluruh pasien leukemi dan penyakit ini biasanya terjadi pada remaja atau pada
orang tua. Aspirasi sumsum tulang dan biopsy menunjukkan sel blast.
Pure red cell aplasia.
Kerusakan ini jarang terjadi dan hanya melibatkan produksi eritrosit yang ditandai
oleh anemia berat, jumlah retikulosit kurang dari 1%, dan normoselular sumsum
tulang kurang dari 0.5% eritroblast yang telah matang.
Agranulocytosis.
Agranulocytosis adalah kerusakan imun yang mempengaruhi produksi granulosit
darah tetapi tidak pada platelet atau eritrosit

12
F. Patofisiologi dan Pathway
Darah manusia adalah cairan jaringan tubuh. Fungsi utamanya adalah
mengangkut oksigen yang diperlukan oleh sel-sel di seluruh tubuh. Darah juga
menyuplai jaringan tubuh dengan nutrisi, mengangkut zat-zat sisa metabolisme, dan
mengandung berbagai bahan penyusun sistem imun yang bertujuan
mempertahankan tubuh dari berbagai penyakit. Hormon-hormon dari sistem
endokrin juga diedarkan melalui darah.Darah manusia berwarna merah, antara
merah terang apabila kaya oksigen sampai merah tua apabila kekurangan oksigen.
Warna merah pada darah disebabkan oleh hemoglobin, protein pernapasan
(respiratoryprotein) yang mengandung besi dalam bentuk heme, yang merupakan
tempat terikatnya molekulmolekul oksigen. Manusia memiliki sistem peredaran
darah tertutup yang berarti darah mengalir dalam pembuluh darah dan disirkulasikan
oleh jantung. Darah dipompa oleh jantung menuju paru-paru untuk melepaskan sisa
metabolisme berupa karbondioksida dan menyerap oksigen melalui pembuluh arteri
pulmonalis, lalu dibawa kembali ke jantung melalui vena pulmonalis. Setelah itu
darah dikirimkan ke seluruh tubuh oleh saluran pembuluh darah aorta. Darah
mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh melalui saluran halus darah yang disebut
pembuluh kapiler. Darah kemudian kembali ke jantung melalui pembuluh darah
vena cava superior dan vena cava inferior. Darah juga mengangkut bahan bahan sisa
metabolisme, obat-obatan dan bahan kimia asing ke hati untuk diuraikan dan ke
ginjal untuk dibuang sebagai air seni.

Komposisi Darah Manusia Terdiri dari dua komponen:


1. Korpuskuler adalah unsur padat darah yaitu sel-sel darah 4 Eritrosit, Lekosit,
Trombosit.
a. Eritrosit (Sel Darah Merah)
Merupakan bagian utama dari sel darah. Jumlah pada pria dewasa sekitar
5juta sel/cc darah dan pada wanita sekitar 4 juta sel/cc darah. Berbentuk
Bikonkaf, warna merah disebabkan oleh Hemoglobin (Hb) fungsinya adalah
untuk mengikat Oksigen. Kadar Hb inilah yang dijadikan patokan dalain
menentukan penyakit Anemia.Eritrosit berusia sekitar 120 hari. Sel yang telah

13
tua dihancurkan di Limpa. Hemoglobin dirombak kemudian dijadikan pigmen
Bilirubin (pigmen empedu).
b. Lekosit(Sel Darah Putih)
Leukosit memiliki nukleus namun tak memiliki hemoglobin. Rentang hidup
lekosit adalah beberapa jam hingga beberapa hari. Leukosit bersifat amuboid
atau tidak memiliki bentuk yang tetap. Orang yang kelebihan leukosit
menderita penyakit leukimia, sedangkan orang yang kekurangan leukosit
menderita penyakit leukopenia. Jumlah lekosit adalah 4.000-11.000. Leukosit
digolongkan menjadi 2 yaitu granulosit dan agranulosit. Ciri dari granulosit
atau lekosit granuler adalah memiliki granula pada sitoplasma. Ada 3 macam
granulosit, yaitu netrofil atau polimorf (10-12 m), eosinofil (10-12 m) dan

basofil (8-10 m). Ciri dari agranulosit adalah tidak memiliki granula pada

sitoplasma. Ada 2 macam agranulosit yaitu limfosit (7-15 m) dan monosit

(14-19 m).
Leukosit bertanggung jawab terhadap sistem imun tubuh dan bertugas untuk
memusnahkan benda-benda yang dianggap asing dan berbahaya oleh tubuh,
misal virus atau bakteri. Secara rinci, fungsi dari masing-masing jenis lekosit
adalah:
1. Netrofil berfungsi melakukan fagositosis (melahap agen penyerang,
misalnya bakteri)

2. Eosinofil berfungsi menyerang allergen

3. Basofil berfungsi menyerang allergen

4. Limfosit berfungsi menghasilkan antibodi untuk melawan antigen

5. Monosit berfungsi melakukan fagositosis

c. Trombosit (KEPING DARAH)


Disebut pula sel darah pembeku. Jumlah sel pada orang dewasa sekitar 200.000
– 500.000 sel/cc. Di dalam trombosit terdapat banyak sekali faktor pembeku

14
(Hemostasis) antara lain adalah Faktor VIII (Anti Haemophilic Factor) Jika
seseorang secara genetis trombositnya tidak mengandung faktor tersebut, maka
orang tersebut menderita Hemofili.

15
16
G. Prognosa
Prognosis penyakit ini sukar diramalkan namun pada umumnya buruk,
karena seperti telah dikemukakan baik etiologi maupun patofisiologinya
sampai sekarang belum jelas. Sekitar dua pertiga pasien meninggal sekitar
6 bulan setelah diagnosis ditegakkan, kurang dari 10-20 % sembuh tanpa
transplantasi sumsum tulang dan sepertiga pasien meninggal akibat
perdarahan dan infeksi yang tidak teratasi. Penyebab kematian pada
umumnya adalah sepsis akibat infeksi Pseudomonas dan Stafilokokus. Oleh
karena itu, menentukan prognosis pasien anemia aplastik penting karena
akan menentukan terapi yang sesuai (Young, 2010). Beberapa hal yang
dapat dijadikan pedoman dalam menentukan prognosis pasien anemia
aplastik adalah usia pasien, gambaran sumsum tulang hiposeluler atau
aseluler, gambaran darah tepi, dan ada tidaknya infeksi sekunder (Alter,
2009 Young, 2010).
Prognosis pasien anemia aplastik disebut buruk jika ditemukan pada
usia muda, gambaran sumsum tulang aseluler dengan pengurangan proporsi
komponen mieloid dari sumsum tulang lebih dari 30% limfosit, gambaran
darah tepi dengan jumlah retikulosit<1%, leukosit<500/uL, dan trombosit
<20.000/uL, disertai infeksi sekunder.5,13 Di antara halhal di atas yang
paling baik dijadikan sebagai pegangan dalam menentukan prognosis
adalah gambaran sumsum tulang (Munthe 2010).

H. Penetalaksanaan Medis

1. Anemia Aplastik
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat
granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk
menghilangkan kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk
memperbaiki keadaan pasien.
Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi immunosupresi atau
transplantasi sumsum tulang (TST). Faktor-faktor seperti usia pasien

18
adanya donor saudara yang cocok (matched sibling donor), dan
faktorfaktor risiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus
dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik
mendapatkan terapi immunosupresi atau TST. Pasien yang lebih mudah
mentoleransi TST lebih baik dan sedikit mengalami GVHD. Pasien yang
lebih tua dan mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan serangkaian
terapi immunosupresif. Pasien berusia lebih dari 20 tahun dengan hitung
neutrofil 200-500/ mm3 tampaknya lebih mendapat manfaat manfaat
immunosupresi dibandingkan TST. Secara umum pasien dengan hitung
neutrofil yang sangat rendah cenderung lebih baik dengan TST., karena
dibutuhkan waktu yang lebih pendek untuk resolusi neutropenia (harus
diingat bahwa neutropenia pada pasien yang mendapat terapi
immunosupresif mungkin baru membaik setelah 6 bulan). Untuk pasien
usia menengah yang memiliki donor saudara yang cocok, rekomendasi
terapi harus dibuat setelah memperhatikan kondisi kesehatan pasien secara
menyeluruh, derajat keparahan penyakit, dan keinginan penyakit. Suatu
algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia
aplastik.

Manajemen Awal Anemia Aplastik

a. Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang


diduga menjadi penyebab anemia aplastik.

b. Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang


dibutuhkan.

c. Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai


yang dibutuhkan.

d. Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.

e. Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme


spesifik tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan;
bila berat badan kurang dan infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram

19
negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi granulosit dari donor yang
belum mendapat terapi G-CSF.
f. Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan
histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien.
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu
transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG,
siklosporindan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi
siklofosfamid.

g. Pengobatan Suportif
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa
packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang
tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm 3.
Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar
trombosit dibawah 20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya
diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang
dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor.
Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya
(orang tua atau saudara kandung). Pemberian transfusi leukosit sebagai
profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek
samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit
yang ditransfusikan sangat pendek.

h. Terapi imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah
antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan
siklosporin A (CSA).

i. Terapi Penyelamatan (Salvage theraphies)


Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian
faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid

20
anabolik. Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat
berespon terhadap siklus imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah
penelitian, pasien yang refrakter ATG kuda tercapai dengan siklus
kedua ATG kelinci. Pemberian faktor-faktor pertumbuhan
hematopoietic seperti Granulocyte-Colony Stimulating Factor (G-CSF)
bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan tetapi neutropenia berat
akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan neutrofil oleh
stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama. Faktorfaktor
pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satusatunya
modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi
imunosupresif telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-
kasus yang refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan
dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien. Steroid anabolik
seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel
induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia
aplastk ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak
bermanfaat. Androgen digunakan sebagai terapi penyelamatan untuk
pasien yang refrakter terapi imunosupresif.

j. Transplantasi sumsum tulang


Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien
anemia aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan
kecocokan HLA (Human leukocyte antigen). Akan tetapi, transplantasi
sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagian kecil pasien
(hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan
HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi
primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih
baik bila mendapatkan terapi imunosupresif karena makin
meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan beratnya
reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus Host
Disesase/GVHD). Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki

21
respon yang lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda. Pasien
yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival
yang lebih baik daripada pasien yang mendapatkan terapi
imunosupresif. Pasien dengan umur kurang dari 50 tahun yang gagal
dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi
sumsum tulang dapat dipertimbangkan. Akan tetapi survival pasien
yang menerima transplanasi sumsum tulang namun telah mendapatkan
terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang belum
mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali. Pada pasien yang
mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan transfusi selama
beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat mungkin
diambil dari donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang.
Hal ini diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft
rejection) karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi. Kriteria
respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation
(EBMT) adalah sebagai berikut:

1) Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya


2000/mm3 dan trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3

2) Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit


dibawah 2000/mm3 dan trombosit dibawah 100.000/mm3 3)
Refrakter : tidak ada perbaikan.

2. Leukemia
Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif
meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia, komplikasi dan
tindakan yang mendukung penyembuhan, termasuk perawatan psikologi.
Perawatan suportif tersebut antara lain transfusi darah/ trombosit, pemberian
antibiotik pada infeksi/ sepsis, obat anti jamur, pemberian nutrisi yang baik
dan pendekatan aspek psikososial.

22
Terapi kuratif/ spesifik bertujuan untuk menyembuhkan penderita.
Strategi umum kemoterapi leukemia akut meliputi induksi remisi,
intensifikasi (profilaksi susunan saraf pusat) dan lanjutan. Klasifikasi resiko
standar dan resiko tinggi, menentukan protokol kemoterapi. Pada induksi
remisi diberikan kemoterapi maksimum yang dapat ditoleransi dan
perawatan suportif yang maksimum. Kemungkinan hasil yang dicapai
remisi komplet, remisi parsial atau gagal. Intensifikasi merupakan
kemoterapi intensif tambahan setelah remisi komplet dan untuk profilaksi
terjadi leukemia pada saluran syaraf pusat.
Hasil yang diharapkan adalah tercapainya perpanjangan remisi dan
meningkatkan kesembuhan. Pengobatan lanjutan sampai sekitar 2 tahun,
diharapkan tercapai perpanjangan remisi dan dapat bertahan hidup.
Sitostatika yang digunakan pada tiap tahap pengobatan leukemia merupakan
kombinasi dari berbagai sitostatika. Pengobatan dengan granulocyte-colony
stimulating factor (G-CSF) bermanfaat untuk mengatasi penurunan
granulosit sebagai efek samping sitistatika, namun tidak mengurangi lama
perawatan di rumah sakit. Penderita dinyatakan remisi komplit apabila tidak
ada keluhan dan bebas gejala leukemia, pada aspirasi sumsum tulang
didapat selularitas normal dan jumlah sel blast < 5% dari sel berinti,
hemoglobin > 12 gr/dL tanpa transfusi, jumlah sel leukosit > 3000/µl,
dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit > 2000/ µl, jumlah
trombosit > 100.000/ µl, dan pemeriksaan cairan serebropinal normal.
Permasalahan yang dihadapi pada penanganan pasien leukemia adalah
obat yang mahal, ketersediaan obat yang belum tentu langkap, dan adanya
efek samping, serta perawatan yang lama. Obat untuk leukemia dirasakan
mahal bagi kebanyakan pasien apalagi dimasa krisis sekarang ini, Selain
macam obat yang banyak , juga lamanya pengobatan menambah beban
biaya untuk pengadaan obat. Efek samping sitostatika bermacam-macam
seperti anemia, pedarahan, rambut rontok, granulositopenia (memudahkan
terjadinya infeksi), mual/ muntah, stomatitis, miokarditis dan sebagainya.
Penderita dengan granulositopenia sebaiknya dirawat di ruang isolasi.

23
Untuk mengatasi kebosanan karena perawatan yang lama perlu disediakan
ruang bermain dan pelayanan psikologis. Penderita yang telah remisi dan
selesai pengobatan kondisinya akan pulih seperti anak sehat. Problem
selama pengobatan adalah terjadinya relap (kambuh). Relaps merupakan
pertanda yang kurang baik bagi penyakitnya.
Pada dasarnya ada 3 tempay relaps :

a) Intramedular (Sumsum tulang)

b) Ekstramedular (Susunan saraf pusat, testis, iris)

c) Intra dan ekstra meduler.

Relaps bisa terjadi pada relaps awal (early relaps) yang terjadi selama
pengobatan atau 6 bulan dalam masa pengobatan dan relaps lambat (late
relapse) yang terjadi lebih dari 6 bulan setelah pengobatan

I. Pemeriksaan Penunjang 1. Anemia Aplastik


Untuk menegakkan diagnosis anemia aplastik dan menyingkirkan
berbagai kemungkinan penyakit penyebab pansitopenia sehingga tidak
meragukan hasil diagnosisnya, kita dapat memulainya dengan melakukan
anamnesis seputar keluhan dari pasien, kemudian melakukan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium ataupun
radiologis.
a. Anamnesis
Dari anamnesis bisa kita dapatkan keluhan pasien mengenai gejalagejala
seputar anemia seperti lemah, letih, lesu, pucat, pusing, penglihatan
terganggu, nafsu makan menurun, sesak nafas serta jantung yang berdebar.
Selain gejala anemia bisa kita temukan keluhan seputar infeksi seperti
demam, nyeri badan ataupun adanya riwayat terjadinya perdarahan pada
gusi, hidung, dan dibawah kulit.
Kita juga bisa menanyakan apakah anggota keluarga lain mengeluhkan
gejala seperti ini atau apakah gejala ini sudah terlihat sejak masih kecil atau

24
tidak. Dimana nantinya akan dapat mengetahui penyebab dari anemia
aplastik ini sendiri. Apakah karena bawaan (kongenital) atau karena
didapat.

1. Pemeriksaan fisik
Kita akan menegaskan kembali apa yang sudah dikeluhkan oleh pasien.

2. Pemeriksaan laboratorium

1) Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah lengkap kita dapat mengetahui jumlah
masingmasing sel darah baik eritrosit, leukosit maupun trombosit.
Apakah mengalami penurunan atau pansitopenia. Pasien dengan anemia
aplastik mempunyai bermacam-macam derajat pansitopenia. Tetapi
biasanya pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu
ditemukan. Anemia dihubungkan dengan indeks retikulosit yang rendah,
biasanya kurang dari 1% dan kemungkinan nol walaupun
eritropoetinnya tinggi. Jumlah retikulosit absolut kurang dari 40.000/μL
(40x109/L). Jumlah monosit dan netrofil rendah. Jumlah netrofil absolut
kurang dari 500/μL
(0,5x109/L) serta jumlah trombosit yang kurang dari
30.000/μL(30x109/L) mengindikasikan derajat anemia yang berat dan
jumlah netrofil dibawah 200/μL (0,2x109/L) menunjukkan derajat
penyakit yang sangat berat. Jenis anemia aplastik adalah anemia
normokrom normositer. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda
dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Persentase
retikulosit umumnya normal atau rendah. Ini dapat dibedakan dengan
anemia hemolitik dimana dijumpai sel eritrosit muda yang ukurannya
lebih besar dari yang tua dan persentase retikulosit yang meningkat.
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan
biasanya memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan akibat
adanya trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik
anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.

25
Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis,
termasuk eritropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi
koloni myeloid. Kadar Fe serum biasanya meningkat dan klirens Fe
memanjang dengan penurunan inkorporasi Fe ke eritrosit yang
bersirkulasi.

2) Pemeriksan sumsum tulang


Pada pemeriksaan sumsum tulang dilakukan pemeriksaan biopsi
dan aspirasi. Bagian yang akan dilakukan biopsi dan aspirasi dari
sumsum tulang adalah tulang pelvis, sekitar 2 inchi disebelah tulang
belakang. Pasien akan diberikan lokal anastesi untuk menghilangkan
nyerinya. Kemudian akan dilakukan sayatan kecil pada kulit, sekitar 1/8
inchi untuk memudahkan masuknya jarum. Untuk aspirasi digunakan
jarung yang ukuran besar untuk mengambil sedikit cairan sumsum
tulang (sekitar 1 teaspoon). Untuk biopsi, akan diambil potongan kecil
berbentuk bulat dengan diameter kurang lebih 1/16 inchi dan
panjangnya 1/3 inchi dengan menggunakan jarum. Kedua sampel ini
diambil di tempat yang sama, di belakang dari tulang pelvis dan pada
prosedur yang sama. Tujuan dari pemeriksaan ini untuk menyingkirkan
faktor lain yang menyebabkan pansitopenia seperti leukemia atau
myelodisplastic syndrome (MDS).
Pemeriksaan sumsum tulang akan menunjukkan secara tepat jenis
dan jumlah sel dari sumsum tulang yang sudah ditandai, level dari selsel
muda pada sumsum tulang (sel darah putih yang imatur) dan kerusakan
kromosom (DNA) pada sel-sel dari sumsum tulang yang biasa disebut
kelainan sitogenik. Pada anaplastik didapat, tidak ditemukan adanya
kelainan kromosom. Pada sumsum tulang yang normal, 40-60% dari
ruang sumsum secara khas diisi dengan sel-sel hematopoetik
(tergantung umur dari pasien). Pada pasien anemia aplastik secara khas
akan terlihat hanya ada beberapa sel hematopoetik dan lebih banyak
diisi oleh sel-sel stroma dan lemak. Pada leukemia atau keganasan

26
lainnya juga menyebabkan penurunan jumlah sel-sel hematopoetik
namun dapat dibedakan dengan anemia aplastik. Pada leukemia atau
keganasan lainnya terdapat sel-sel leukemia atau sel-sel kanker.
Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan
kurang dari 30% sel pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau
jika kurang dari 20% pada individu yang berumur lebih dari 60 tahun.
International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik
berat bila selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari
50% dengan kurang dari 30% sel hematopoiesis terlihat pada sumsum
tulang.

3) Pemeriksaan Flow cytometry dan FISH (Fluoresence In Situ


Hybridization)
Kedua pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan spesifik. Pada
pemeriksaan Flow cytometry, sel-sel darah akan diambil dari sumsum
tulang, tujuannya untuk mengetahui jumlah dan jenis sel-sel yang
terdapat di sumsum tulang. Pada pemeriksaan FISH, secara langsung
akan disinari oleh cahaya pada bagian yang spesifik dari kromosom atau
gen. Tujuannya untuk mengetahui apakah terdapat kelainan genetic atau
tidak

4) Tes fungsi hati dan virus


Tes fungsi hati harus dilakukan untuk mendeteksi hepatitis, tetapi
pada pemeriksaan serologi anemia aplastik post hepatitis kebanyakan
sering negative untuk semua jenis virus hepatitis yang telah diketahui.
Onset dari anemia aplastik terjadi 2-3 bulan setelah episode akut
hepatitis dan kebanyakan sering pada anak laki-laki. Darah harus di tes
antibodi hepatitis A, antibodi hepatitis C, antigen permukaan hepatitis
B, dan virus Epstein-Barr (EBV). Sitomegalovirus dan tes serologi virus
lainnya harus dinilai jika mempertimbangkan dilakukannya BMT (Bone
Marrow Transplantasion). Parvovirus menyebabkan aplasia sel darah
merah namun bukan merupakan anemia aplastik.

27
5) Level vitamin B-12 dan Folat
Level vitamin B-12 dan Folat harus diukur untuk menyingkirkan
anemia megaloblastik yang mana ketika dalam kondisi berat dapat
menyebabkan pansitopenia

6) Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk
menegakkan diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khususnya
berguna untuk sindrom kegagalan sumsum tulang yang diturunkan,
karena banyak diantaranya memperlihatkan abnormalitas skeletal

a. Pemeriksaan X-ray rutin dari tulang radius untuk menganalisa


kromosom darah tepi untuk menyingkirkan diagnosis dari anemia
fanconi

b. USG abdominal. Untuk mencari pembesaran dari limpa dan/ atau


pembesaran kelenjar limfa yang meningkatkan kemungkinan adanya
penyakit keganasan hematologi sebagai penyebab dari pansitopenia.
Pada pasien yang muda, letak dari ginjal yang salah atau abnormal
merupakan penampakan dari anemia Fanconi.

c. Nuclear Magnetic Resonance Imaging. Pemeriksaan ini rnernpakan


cara terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan karena dapat
membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang berlemak
dan sumsum tulang berselular.

d. Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning.


Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning
tubuh setelah disuntik dengan koloid radoaktif technetium sulfur
yang akan terikat pada makrofag sumsum tulang atau iodium
chloride yang akan terikat pada transferin. Dengan bantuan scan
sumsum tulang dapt ditentukan daerah hemopoesis aktif untuk
memperoleh sel-sel guna pemeriksaan sitogenik atau kultur sel-sel
induk

28
3. Leukemia
Secara klasik diagnosis Leukemia ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan fisik, morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Seperti sudah
disebutkan, sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu berkembang 2 (dua)
teknik pemeriksaan terbaru: immunophenotyping dan analisis sitogenik.
Pertama, tes darah dilakukan untuk menghitung jumlah setiap jenis
sel darah yang berbeda dan melihat apakah mereka berada dalam batas
normal. Dalam AML, tingkat sel darah merah mungkin rendah,
menyebabkan anemia, tingkat-tingkat platelet mungkin rendah,
menyebabkan perdarahan dan memar, dan tingkat sel darah putih mungkin
rendah, menyebabkan infeksi.
Biopsi sumsum tulang atau aspirasi (penyedotan) dari sumsum tulang
mungkin dilakukan jika hasil tes darah abnormal. Selama biopsi sumsum
tulang, jarum berongga dimasukkan ke tulang pinggul untuk mengeluarkan
sejumlah kecil dari sumsum dan tulang untuk pengujian di bawah
mikroskop. Pada aspirasi sumsum tulang, sampel kecil dari sumsum tulang
ditarik melalui cairan injeksi.
Pungsi lumbal, atau tekan tulang belakang, dapat dilakukan untuk
melihat apakah penyakit ini telah menyebar ke dalam cairan cerebrospinal,
yang mengelilingi sistem saraf pusat atau sistem saraf pusat (SSP) - otak
dan sumsum tulang belakang. Tes diagnostik mungkin termasuk flow
cytometry penting lainnya (dimana sel-sel melewati sinar laser untuk
analisa), imunohistokimia (menggunakan antibodi untuk membedakan
antara jenis sel kanker), Sitogenetika (untuk menentukan perubahan dalam
kromosom dalam sel), dan studi genetika molekuler (tes DNA dan RNA
dari sel-sel kanker). Penyakit Leukemia dapat dipastikan dengan beberapa
pemeriksaan, diantaranya adalah ; Biopsy, Pemeriksaan darah {complete
blood count (CBC)}, CT or CAT scan, magnetic resonance imaging (MRI),
X-ray, Ultrasound, Spinal tap/lumbar puncture.

29
Kelainan hematologis
a. Anemia dengan jumlah eritrosit yang menurun sekitar 1-3 x 106/mm3.
b. Leukositosis dengan jumlah leukosit antara 50-100 x 10 3 /mm3. Leukosit
yang ada dalam darah tepi terbanyak adalah myeloblas.
c. Trombosit jumlah menurun. Mieloblas yang tampak kadang-kadang
mengandung “badan auer” suatu kelainan yang pathogonomis untuk
LMA.
Sumsum tulang hiperseluler karena mengandung mieloblas yang masif,
sedang megakariosit dan pronormoblas dijumpai sangat jarang.
Kelainan sumsum tulang ini sudah akan jelas meskipun myeloblas
belum tampak dalam darah tepi. Jadi kadang-kadang ditemukan kasus
dengan pansitopenia perifer akan tetapi sumsum tulang sudah jelas
hiperseluler karena infiltrasi dengan myeloblas. Kadang-kadang
ditemukan “Auer body” dalam mieloblas. Kadang manifestasi pertama
sebagai eritroleukemia (ploriferasi eritroblas dan mieloblas dalam
sumsum tulang) yang berlangsung beberapa bulan/tahun sebelum
fambaran mieloblastiknya menjadi jelas benar.

J. Diagnosa Yang Sering Muncul


1) Gangguan pertukaran gas

2) Pola nafas tidak efektif

3) Perfusi jaringan perifer tidak efektif

4) Intoleransi aktivitas

5) Defisit perawatan diri

6) Resiko cedera / jatuh

7) Resiko infeksi

30
K. Penetalaksanaan Keperawatan

a. Proses Keperawatan 1.

Pengkajian

a) Identitas
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
status perkawinan, alamat, No. RM, dan tanggal MRS.

b) Riwayat kesehatan

1) Keluhan Utama
Keluhan yang dirasakan pasien saat ini , kemungkinan ditemukan
gangguan tidur/istirahat , pusing-pusing/sakit kepala.

2) Riwayat penyakit sekarang


Riwayat penyakit sekarang merupakan pengalaman klien saat ini yang
membentuk suatu kronologi dari terjadinya etiologi hingga klien
mengalami keluhan yang dirasakan.

3) Riwayat penyakit dahulu


Adanya riwayat penyakit menahun seperti DM atau penyakit – penyakit
lain. Adanya riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis,
tindakan medis yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa
digunakan oleh penderita.
a) Alergi

b) Imunisasi

c) Kebiasaan/Pola hidup

d) Obat yang pernah digunakan

4) Riwayat penyakit keluarga


Riwayat keluarga merupakan penyekit yang pernah dialami atau sedang
dialami keluarga, baik penyakit yang sama dengan keluhan klien atau pun
penyakit lain. Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota
keluarga yang menderita penyakit yang sama.

31
c) Genogram

d) Pengkajian Keperawatan

1) persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan menjelaskan tentang


bagaimana pendapat klien maupun keluarga mengenai apakah kesehatan
itu dan bagaimana klien dan keluarga mempertahankan kesehatannya.

2) pola nutrisi/metabolik terdiri dari antropometri yang dapat dilihat


melalui lingkar lengan atau nilai IMT, biomedical sign merupakan data
yang diperoleh dari hasil laboratorium yang menunjang, clinical sign
merupakan tanda-tanda yang diperoleh dari keadaan fisik klien yang
menunjang, diet pattern merupakan pola diet atau intake makanan dan
minuman yang dikonsumsi.

3) pola eliminasi: BAB dan BAK (frekuensi, jumlah, warna, konsistensi,


bau, karakter)

4) Pola aktivitas & latihan: Activity Daily Living, status oksigenasi, fungsi
kardiovaskuler, terapi oksigen. Gejala: lemah, letih, sulit
bergerak/berjalan, kram otot, tonus otot menurun. Tanda : penurunan
kekuatan otot, serta mengenai kurangnya aktivitas dan kurangnya
olahraga pada klien.

5) Pola kognitif & perceptual : fungsi kognitif dan memori, fungsi dan
keadaan indera

6) Pola persepsi diri : gambaran diri, identitas diri, harga diri, ideal diri,
dan peran diri

7) Pola seksualitas & reproduksi : pola seksual dan fungsi reproduksi

8) Pola peran & hubungan

9) Pola manajemen & koping stres

10) Sistem nilai dan keyakinan : oleh pasien maupun masyarakat

e) Pemeriksaan fisik

32
1) Keadaan umum (Kesadaran secara kualitatif maupun kuantitatif),
tandatanda vital seperti tekanan darah, pernafasan, nadi dan suhu 2)
Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi):

(a) Kepala

(1) Rambut, rambut berserabut, kusam,kusut,kering, Tipis ,dan kasar,


penampilan, depigmentasi.

(2) Muka/ Wajah → Simetris atau tidak? Apakah ada nyeri tekan? penampilan
berminyak, diskolorasi bersisik, bengkak; Kulit gelap di pipi Dan di bawah
mata; Tidak halus atau Kasar pada kulit Sekitar hidung dan mulut

(3) Mata, apakah penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata keruh.

(4) Telinga, Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda


adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga,
keluar cairan dari telinga, melihat serumen telinga berkurangnya
pendengaran, telinga kadang-kadang berdenging, adakah gangguan
pendengaran

(5) Hidung, Apakah ada pernapasan cuping hidung? Adakah nyeri tekan?
Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya?

(6) Mulut, lidah sering terasa tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah
goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah

(7) Tenggorokan, Adakah tanda-tanda peradangan tonsil? Adakah tanda-tanda


infeksi faring, cairan eksudat?

(b) Leher → Adakah nyeri tekan, pembesaran kelenjar tiroid? Adakah


pembesaran vena jugularis?

(c) Thorax → Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak
pernapasan, frekuensinya, irama, kedalaman, adakah
retraksi Intercostale? Pada auskultasi, adakah suara napas
tambahan? Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada.

33
(d) Jantung → Bagaimana keadaan dan frekuensi jantung serta iramanya?
Adakah bunyi tambahan? Adakah bradicardi atau tachycardia?

(e) Abdomen → Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada


abdomen? Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus? Adakah tanda
meteorismus? Adakah pembesaran lien dan hepar?

(f) Kulit → Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya?


Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka,
kelembaban dan suhu kulit di daerah sekitar stoma, kemerahan pada
kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.

(g) Ekstremitas → Apakah terdapat oedema, Penyebaran lemak,


penyebaran masa otot, perubahan tinggi badan, cepat lelah, lemah dan
nyeri, adanya gangren di ekstrimitas?

(h) Genetalia → Adakah kelainan bentuk oedema, tanda-tanda infeksi?


Apakah ada kesulitan untuk berkemih?

34
L. Rencana Keperawatan
DIAGNOSA Paraf
NO. KEPERAWA TUJUAN DAN KRITERIA HASIL (NOC) INTERVENSI (NIC) &
TAN Nama
Ketidakefekti Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam pasien NIC: Monitor Pernafasan (3350)
fan pola menunjukkan hasil: a. Memonitor tingkat, irama kedalaman dan kesulitan
napas bernafas;
(00032)
b. Mencatat pergerakan dada, kesimetrisan, dan penggunaan
Status Pernafasan (0415) otot bantu pernafasan;
c. Memonitor suara nafas tambahan;
Tujuan
No. Indikator Awal d. Memonitor pola nafas;
1 2 3 4 5
1. Frekuensi pernafasan √ e. Mengauskultasi suara nafas;
2. Irama pernafasan √ f. Membuka jalan napas;
3. Kedalaman inspirasi g. Memberikan terapi oksigen.

4. Suara auskultasi nafas


5. Kepatenan jalan nafas √ NIC: Terapi Oksigen (3320)
1 Penggunaan otot bantu h. Mempertahankan kepatenan jalan nafas;
6. √
pernafasan i. Memberikan oksigen seperti yang diperintahkan;
Pernafasan bibir dengan j. Memonitor aliran oksigen;
7. mulut mengerucut √
k. Memeriksa perangkat (alat) pemberian oksigen secara
8. Dyspnea saat istirahat √ berkala untuk memastikan bahwa konsentrasi (yang
Dyspnea dengan telah) ditentukan telah diberikan;
9. √ l. Memonitor peralatan oksigen untuk memastikan bahwa
aktivitas ringan
Pernafasan cuping alat tersebut tidak mengganggu upaya pasien untuk
10. bernapas.
hidung
Keterangan:
NIC: Manajemen Jalan Nafas (3140)
1. Keluhan ekstrime a. Memposisikan pasien semi fowler;
2. Keluhan berat b. Memotivasi pasien untuk melakukan batuk efektif;
3. Keluhan sedang c. Mengauskultasi suara nafas, mendengarkan ada atau
35
4. Keluhan ringan tidak ada adanya suara kesehatan mengenai
5. Tidak ada keluhan tambahan;
d. Memberikan pendidikan
fisioterapi dada.
- Frekuensi pernafasan dalam batas normal (16-24x/menit)
(041501)
- Irama pernafasan reguler (041502)
- Kedalaman inspirasi maksimal (041503)
- Suara auskultasi kembali normal (041504)
- Jalan nafas paten (041532)
- Tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan (041510)
- Tidak ada pernafasan dengan bibir (041512)
- Tidak dyspnea saat istirahat (041015)
- Tidak dyspnea saat aktivitas ringan (041016)
- Tidak ada pernafasan cuping hidung (041528)
2 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam pasien NIC: Monitor Pernafasan (3350)
menunjukkan hasil: m. Memonitor tingkat, irama kedalaman dan kesulitan bernafas;
Status Pernafasan (0415)
n. Mencatat pergerakan dada, kesimetrisan, dan penggunaan otot
bantu pernafasan;
Tujuan o. Memonitor suara nafas tambahan;
No. Indikator Awal 1 2 3 4 5 p. Memonitor pola nafas;
1. Frekuensi pernafasan √
Ketidakefektif q. Mengauskultasi suara nafas;
an pola napas 2. Irama pernafasan √ r. Membuka jalan napas;
(00032) 3. Kedalaman inspirasi √ s. Memberikan terapi oksigen.
4. Suara auskultasi nafas √
5. Kepatenan jalan nafas √ NIC: Terapi Oksigen (3320)
Penggunaan otot bantu t. Mempertahankan kepatenan jalan nafas;
6. √
pernafasan u. Memberikan oksigen seperti yang diperintahkan;
Pernafasan bibir dengan v. Memonitor aliran oksigen;
7. √
mulut mengerucut

36
8. Dyspnea saat istirahat √ w. Memeriksa perangkat (alat) pemberian oksigen secara berkala
Dyspnea dengan aktivitas untuk memastikan bahwa konsentrasi (yang telah) ditentukan telah
9. √ diberikan;
ringan x. Memonitor peralatan oksigen untuk memastikan bahwa alat

10. Pernafasan cuping hidung tersebut tidak mengganggu upaya pasien untuk bernapas.

NIC: Manajemen Jalan Nafas (3140)


Keterangan:
e. Memposisikan pasien semi fowler;
6. Keluhan ekstrime
f. Memotivasi pasien untuk melakukan batuk efektif;
7. Keluhan berat
g. Mengauskultasi suara nafas, mendengarkan ada atau tidak ada
8. Keluhan sedang
adanya suara tambahan;
9. Keluhan ringan
h. Memberikan pendidikan kesehatan mengenai fisioterapi dada.
10. Tidak ada keluhan

- Frekuensi pernafasan dalam batas normal (16-24x/menit) (041501)


- Irama pernafasan reguler (041502)
- Kedalaman inspirasi maksimal (041503)
- Suara auskultasi kembali normal (041504)
- Jalan nafas paten (041532)
- Tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan (041510)
- Tidak ada pernafasan dengan bibir (041512)
- Tidak dyspnea saat istirahat (041015)
- Tidak dyspnea saat aktivitas ringan (041016)
- Tidak ada pernafasan cuping hidung (041528)
3 Ketidakefekt Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan Intervensi Keperawatan Yang Disarankan Untuk Menyelesaikan Rofi
ifan Perfusi perfusi jaringan pasien menjadi efektif dengan kriteria hasil : Masalah : Syahri
Jaringan Manajemen cairan (4120) zal
Perifer Perfusi Jaringan Perifer (0407) 1. Monitor tanda – tanda vital
(000204)
Tujuan 2. Monitor makan dan minum yang dikonsumsi
No Indikator Awal 3. Berikan terapi intravena seperti yang dianjurkan
1 2 3 4 5 4. Berikan cairan dengan cara yang tepat
1. Pengisian kapiler jari  5. Berikan dukungan kepada pasien dan keluarga untuk membantu

37
2. Pengisian kapiler jari kaki  dalam pemberian makanan dengan baik
Suhu kulit ujung kaki dan
3.  Terapi Oksigen (3320)
tangan
4. Kekuatan denyut nadi karotis  1. Pertahankan kepatenan jalan nafas;
2. Berikan oksigen seperti yang diperintahkan;
5. Muka pucat 
3. Monitor aliran oksigen;
6. Kelemahan otot 
4. Periksa perangkat (alat) pemberian oksigen secara berkala untuk
memastikan bahwa konsentrasi (yang telah) ditentukan telah
Keterangan: diberikan;
- Keluhan ekstrime
- Keluhan berat

- Keluhan sedang 5. Monitor peralatan oksigen untuk memastikan bahwa alat tersebut
- Keluhan ringan tidak mengganggu upaya pasien untuk bernapas.
- Tidak ada keluha
Pengaturan posisi (0840)
1. Tempatkan pasien pada temapt tidur yang nyaman
2. Dororng pasien untuk terlibat dalam perubahan posisi
1) Pengisisan kapiler jari (040715)
3. Posisikan pasien sesuai dengan keinginan
2) Pengisian kapiler jari kaki (040716)
4. Posisikan pasien pada semi fowler
3) Suhu kulit ujung jari kaki dan tangan (040710)
5. Dorong pasien untuk melakukan rom aktof dan pasif
4) Kekuatan denyut nadi karotis (040730)
5) Muka pucat (040743)

4 Ketidakseimba Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam pasien NIC: Penahapan Diet (1020) Rofi
ngan nutrisi: menunjukkan hasil: 1. Berikan nutrisi per oral, sesuai Syahri
kurang dari kebutuhan zal
kebutuhan Status Nutrisi (1004)
2. Kolaborasikan dengan tenaga kese
tubuh (00002) Tujuan hatan lain untuk meningkatkan diet
No. Indikator Awal secepat mungkin jika tidak ada
1 2 3 4 5 komplikasi
1. Asupan Gizi √ 3. Tawarkan makan 6x dengan porsi kecil
2. Asupan Makanan √ 4. Tingkatkan diet dari cairan jernih, cair
dan lembut

38
3. Asupan Cairan √ 5. Tingkatkan diet dari air gula atau
cairan elektrolit oral
4. Energi √
6. Monitor toleransi peningkatan
Rasio berat badan atau diet
5. √
tinggi badan
7. Ciptakan lingkungan yang me-
6. Hidrasi √ mungkinkan makanan disajikan sebaik
Keterangan ; mungkin
1. Sangat menyimpang dari rentang normal 8. Monitor kesadaran pasien dan juga
2. Banyak menyimpang dari rentang normal reflek menelan
9. Tuliskan batasan diet pasien di
3. Cukup menyimpang dari rentang normal
samping tempat tidur, pada papan
4. Sedikit menyimpang dari rentang normal chart dan di catatan perencanaan
5. Tidak menyimpang dari rentang normal pasien

- Asupan gizi adekuat (100401)


- Asupan makanan adekuat (100402)
- Asupan cairan adekuat (100408)
- Energi adekuat (100403)

-- Rasio berat badan/tinggi badan normal (100405) NIC : Terapi Nutrisi (11200
Tidak ada hidrasi (100411) 1. Lengkapi pengkajian nutrisi
2. Monitor intake makanan/cairan dan
hitung masukan kalori perhari
3. Tentukan jumlah kalori dan tipe nutrisi
yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi dengan berkolaborasi
dengan ahli gizi
4. Motivasi pasien untuk mengkon sumsi
makanan yang tinggi kalsium
5. Motivasi untuk mengkonsumsi
makanan dan minuman yang tinggi
kalium sesuai kebutuhan
6. Pastikan bahwa dalam diet mengan
dung makanan yang tinggi serat untuk
mencegah konstipasi

39
7. Berikan nutrisi enteral, sesuai kebu
tuhan
8. Berikan nutrisi yang dibutuhkan
Sesuai batas diet yang dianjurkan

40
DAFTAR PUSTAKA

Alter BP, Young NS. The bone marrow failure syndromes. Dalam: Nathan DG, Oski
FA, penyunting. Hematology of infancy and childhood. Edisi ke-4. Philadelphia:
Saunders, 2009. h. 216-37
American Cancer Society. Aplastic Anemia. Dalam : ACS Information andGuide, 2005.
Diakses : 12/01/2014. Dari URL : http://www.cancer.org/cancer/aplasticanemia/
Bakhsi S. Aplastic Anemia, Dalam : Emedicine Article, 2004. Diakses : 13/01/2014,
Dari URL: http://emedicine.medscape.com/article/198759
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., Wagner, C. M. 2016. Nursing
Intervention Classification (NIC), 6th Indonesian Edition. United Kingdom:
Elseiver Global Rights.
Dan L, Longo., Denis L, Kasper,. Et al, Aplastic anemia, Myelodisplasia, and Related
Bone Marrow Failure syndromes, dalam Harrison’s Principles Of Internal
Medicine, Ed. 18. NewYork: Lange McGraw Hill, 2008
Herdman, T. Heather. 2015. NANDA Internasional Inc. diagnosa keperawatan: definisi
& klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC
Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4th ed. NewYork:
Lange McGraw Hill, 2005. Hal. 31-40
Munthe BG. Diagnostik dan penanggulangan anemia aplastik. Dalam: Pendidikan
tambahan berkala Ilmu Kesehatan Anak. FKUI-RSCM Jakarta 2010. h. 33-40
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Young NS, Maciejewski J. The pathofisiology of acquired aplastic anemia. N engl J
Med 2010;336:1365-72.
39

Anda mungkin juga menyukai