Anda di halaman 1dari 54

KARYA TULIS ILMIAH

STUDI GAMBARAN JUMLAH TROMBOSIT DAN KADAR

CREATININ PADA PENDERITA LEPTOSPIROSIS

Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar

Ahli Madya Analis Kesehatan

Oleh:

DINDA ANJARWATI

1010171058

PROGRAM STUDI DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN

FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS MH. THAMRIN

JAKARTA

2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................i
BAB I............................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Identifikasi Masalah............................................................................7
C. Pembatasan Masalah........................................................................8
D. Rumusan Masalah.............................................................................8
E. Tujuan penelitian................................................................................8
F. Manfaat Penelitian.............................................................................9
BAB II.........................................................................................................10
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................10
A. Leptospirosis....................................................................................10
B. Laporan Kasus.................................................................................12
C. Patogenesis......................................................................................15
D. Manifestasi klinis..............................................................................17
E. Kriteria..............................................................................................19
F. Gejala Klinis.....................................................................................19
G. Penyebab dan Faktor Risiko Leptospirosis.....................................21
H. Diagnosis Leptospirosis...................................................................24
I. Pengobatan......................................................................................25
J. Pencegahan Leptospirosis...............................................................27
K. Kelainan Hasil Laboratorium pada Pasien Leptospirosis................28
L. Kerangka Berfikir..............................................................................33
BAB III........................................................................................................34
METODE PENELITIAN..............................................................................34
A. Definisi Operasional Variabel...........................................................34
B. Jenis Karya Tulis Ilmiah...................................................................35
C. Tempat dan Waktu Penelitian..........................................................35
D. Populasi dan Sampel.......................................................................35
E. Teknik Pengumpulan Data...............................................................35
F. Teknik Analisa Data.........................................................................36
BAB IV........................................................................................................37
HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................37
BAB V.........................................................................................................43
KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................43
Daftar Pustaka............................................................................................45
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Leptospirosis merupakan salah satu penyakit zoonosis yang

menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyakit ini

disebabkan oleh infeksi bakteri yang berbentuk spiral dari genus

Leptospira yang pathogen, menyerang hewan dan manusia. (Amin, 2016)

Beberapa wilayah di Indonesia merupakan daerah endemis untuk

Leptospirosis dan sampai saat ini Leptospirosis masih menjadi ancaman

bagi kesehatan masyarakat dengan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB)

di beberapa wilayah di Indonesia berkaitan dengan keberadaan faktor

risiko yaitu tingginya populasi tikus (rodent) sebagai reservoar

Leptospirosis, buruknya sanitasi lingkungan serta semakin meluasnya

daerah banjir di Indonesia. (Kemenkes RI, 2017)

Diperkirakan 0,1 hingga 1 per 100.000 orang yang tinggal di daerah

subtropis per tahun menderita leptospirosis, meningkat hingga 10 atau

lebih per 100.000 orang di daerah tropis. Jika epidemi, insidensnya dapat

meningkat hingga 100 atau lebih per 100.000 orang. (Amin, 2016)

Penderita laki-laki lebih dominan daripada perempuan, dengan

perbandingan rasio 3:1. Analisis gender terhadap 170 pasien leptospirosis

yang menjalani perawatan di ruang Intensive Care Unit (ICU)

1
2

menunjukkan bahwa persentase pasien laki-laki lebih tinggi dari wanita.

Hal tersebut dipengaruhi oleh tingginya risiko paparan kerja. (Depo &

Kusnanto, 2018).

Untuk alasan yang sama, laki-laki remaja dan setengah baya

memiliki prevalensi lebih tinggi dibanding- kan anak laki-laki dan orang

usia lanjut. Gejala patologis yang selalu ditemukan adalah vaskulitis pada

pembuluh darah kapiler berupa edem pada endotel, nekrosis, disertai

invasi limfosit. (Rampengan, 2017)

Leptospirosis memiliki banyak variasi klinis. Hampir 90% kasus

infeksi leptospira bermanifestasi sebagai penyakit sistemik dengan tanda

dan gejala yang tidak khas seperti mialgia anikterik yang mirip dengan

penyakit lain. Tingkat kematian pada jenis ini kurang dari 1% namun dapat

meningkat pada pasien lanjut usia yang memiliki komorbid penyakit lain.

(Haake DA, 2015)

Masa inkubasi penyakit ini bervariasi antara 2 hari hingga 3 minggu.

Fase akut (sekitar 7 hari) muncul sebagai gejala tidak khas meliputi nyeri

kepala berat, demam, menggigil, mialgia, mual, diare, nyeri perut, uveitis,

conjunctival suffusion dan terkadang ruam kulit. Fase kedua atau fase

imun ditandai dengan pembentukan antibodi dan adanya leptospira pada

urin. (Rampengan, 2017)

Berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan berupa demam, nyeri

kepala, nyeri otot, mata merah dan air seni kuning kecoklatan. Dari

pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis +/+, conjungtival


3

suffusion +/+, sklera ikterik +/+. Pada palpasi abdomen ditemukan nyeri

tekan epigastrium dan shifting dullness (+). Hasil laboratorium

menunjukkan adanya anemia dan penurunan jumlah trombosit,

peningkatan SGOT 313u/L, SGPT 174 u/L, ureum 71 mg/dL dan kreatinin

2,3 mg/dL. Hasil pemeriksaan ultrasonografi abdomen menunjukkan

adanya effusi pleura dextra, asites, dan pyelonephritis dextra. (Andani L,

2014)

Keadaan ini dapat ditemukan pada semua organ yang terkena.

Vaskulitis ini menimbulkan petekie, perdarahan intraparenkim, dan

perdarahan pada lapisan mukosa dan serosa. Pada beberapa kasus

dapat ditemukan trombositopenia namun tidak terjadi DIC (disseminated

intravascular coagulation). Masa protrombin kadang-kadang memanjang

dan tidak dapat diperbaiki dengan pemberian vitamin K. (Petunjuk et al.,

2014).

Sesuai dengan tanda dan gejala yang didapatkan pada pasien

melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien yang

dipaparkan dalam kasus mengalami kondisi berat dari infeksi leprospira

atau Weil disease. Bentuk ikterik atau bentuk berat dari leptospirosis yang

dikenal dengan nama Weil disease terjadi pada 5-10% pasien

leptospirosis. Weil disease umumnya diawali dengan gejala klinis

leptospirosis ringan yang diikuti progresivitas menjadi derajat berat.

Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain ikterik, gagal ginjal,
4

perdarahan (khususnya pulmoner) aritmia kardiak, pneumonitis dan

gangguan hemodinamik. (Gamage CD dkk, 2013)

Ikterik biasanya muncul pada hari kelima hingga kesembilan dan

dapat bertahan beberapa minggu. Terjadi peningkatan kadar uji fungsi

hepar, namun kerusakan hepatoselular berat sangat jarang terjadi.

Hepatomegali dan splenomegali dapat ditemukan. Keterlibatan renal

umum ditemukan dan dapat muncul pada hari 3-4 onset penyakit.

Beberapa faktor dapat terlibat dalam patogenesis insufisiensi ginjal,

meliputi hipovolemia, hipotensi dan nekrosis tubular akut, Gagal ginjal

oligurik atau non-oligurik biasanya terjadi pada minggu kedua. (Gamage

CD dkk, 2013)

Perdarahan terjadi karena vaskulitis berat, dengan kerusakan

endotel yang menyebabkan cedera kapiler. Manifestasi perdarahan

meliputi ptekiae, puprura, gusi berdarah, epitaksis, hemoptisis,

perdarahan gastrointestinal dan yang paling jarang, perdarahan

subarachnoid atau adrenal. Keterlibatan jantung dapat berupa miokarditis

atau perikarditis, dan dapat terjadi aritmia seperti atrial fibrilasi, atrial flutter

dan berbagai gangguan konduksi jantung. Gagal jantung kongestif dapat

terjadi dan miokarditis sering ditemukan pada kasus berat. (Kumar S,

2013)

Leptospirosis juga merupakan penyakit penyebab cidera ginjal akut

atau Acute Kidney Infections (AKI), yang ditandai dengan poliuria dan
5

hipokalemia. Perubahan fungsional tubulus mendahului penurunan laju

filtrasi glomerulus. Baik manusia dan hewan percobaan menunjukkan

peningkatan ekskresi fraksi urin kalium dan natrium, hal ini menunjukkan

peningkatan ekskresi kalium distal yang disebabkan oleh pengiriman

natrium distal akibat kerusakan tubulus proksimal dan gangguan

reabsorpsi natrium. (Araujo et al., 2015)

Pada pasien ini didapatkan riwayat membersihkan selokan

beberapa hari sebelum pasien mulai merasakan keluhan pada sakit

sekarang. Hal ini yang diduga sebagai faktor risiko dan memperkuat

dugaan bahwa pasien mengalami infeksi Leptospira. (Kumar S, 2013)

Analisis spasial mengenai kejadian leptospirosis di Sleman tahun

2011 melaporkan bahwa keberadaan selokan di sekitar rumah pasien

bukanlah faktor risiko terjadinya leptospirosis. Namun, proses transmisi

saat kontak dengan air selokan yang diduga telah terkontaminasi urin

tikus atau hewan lain yang terinfeksi Leptospira itulah yang menjadi faktor

risiko. (Gamage CD, 2013)

Acute kidney injury dilaporkan pada 40-60% kasus leptospirosis

berat dan biasanya non-oligourik. Trombositopenia ditemukan pada 50%

pasien dengan leptospirosis dan berkorelasi dengan prognosis yang

buruk. Jumlah trombosit kurang dari 100.000/uL merupakan faktor risiko

kematian pada leptospirosis. (Andani L, 2014)


6

Pada pasien ini ditemukan trombosit 133.000/uL pada hari pertama

perawatan dan semakin menurun pada hari kedua yaitu 111.000/uL.

Meskipun belum mencapai angka di bawah 100.000/uL, namun

penurunan trombosit setiap harinya ini perlu dipantau untuk menghindari

kemungkinan perdarahan spontan atau komplikasi lainnya. (Andani L,

2014)

Penelitian oleh Daher et al. (2014) menemukan bahwa

trombositopenia tidak selalu berkaitan dengan kematian pasien

leptospirosis. Menurut WHO, kasus leptospirosis terkonfirmasi

laboratorium didefinisikan sebagai tanda dan gejala klinis yang mengarah

pada leptospirosis dan salah satu dari hasil laboratorium berikut:

1. Peningkatan empat kali titer MAT pada sampel serum akut dan

konvalesen.

2. Titer MAT ≥ 1:400 pada sampel serum tunggal atau berpasangan.

3. Isolasi spesies Leptospira patogen dari lokasi yang normalnya steril.

4. Deteksi spesies Leptospira pada sampel klinis dengan teknik

histologis, histokimia atau imunostain.

5. Deteksi DNA spesies Leptospira patogen dengan PCR.

Kasus leptospirosis probable didefinisikan sebagai tanda dan gejala

klinis yang mengarah pada leptospirosis dan salah satu dari hasil

laboratorium berikut:
7

1. Adanya IgM atau peningkatan empat kali titer antibodi IFA pada sampel

serum akut dan konvalesen.

2. Ditemukannya antibodi IgM dengan pemeriksaan enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA) atau dipstick.

3. Titer MAT ≥ 1:100 pada sampel serum fase akut tunggal di daerah non-

endemik.

Pada pasien ini juga terjadi anemia yang didasarkan pada

anamnesis, pemeriksaan penunjang, dan pemeriksaan laboratorium.

Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik berupa

konjungtiva anemis dan pemerikaan laboratorium, yaitu kadar hemoglobin

sebesar 11,2 g/dl. Menurut WHO, anemia adalah kondisi dimana kadar

hemoglobin <13 g/dl (laki-laki) dan <12 g/dl (wanita), sehingga

disimpulkan bahwa pasien mengalami anemia. (Araujo et al., 2015)

Berdasarkan penjelasan diatas, menunjukan bahwa penyakit

leptospirosis menyebabkan kelainan fungsi pada trombosit dan ginjal.

Maka dari itu, peneliti akan memfokuskan pembahasan pada jumlah nilai

trombosit dan jumlah kadar fungsi ginjal (Creatinin) pada pasien

leptospirosis.

B. Identifikasi Masalah

1. di beberapa wilayah di Indonesia berkaitan dengan keberadaan faktor

risiko yaitu tingginya populasi tikus (rodent) sebagai reservoar

Leptospirosis, buruknya sanitasi lingkungan serta semakin meluasnya

daerah banjir di Indonesia.


8

2. Terjadinya penurunan jumlah nilai trombosit yang menyebabkan

trombositopenia.

3. Adanya peningkatan kadar creatinin dalam darah yang menyebabkan

gagal ginjal akut pada pasien leptospirosis.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, peneliti membatasi

masalah yaitu hanya pada gambaran jumlah trombosit dan kadar creatinin

pada pasien leptospirosis.

D. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, maka dirumuskkan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah jumlah nilai Trombosit pada pasien leptospirosis?

2. Bagaimanakah jumlah kadar Creatinin pada pasien leptospirosis?

E. Tujuan penelitian
1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran jumlah trombosit dan kadar creatinin

pada penderita leptospirosis.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran jumlah trombosit pada penderita


9

leptospirosis.

b. Untuk mengetahui gambaran kadar creatinin pada penderita

leptospirosis.

F. Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya pemeriksaan jumlah trombosit dan kadar

creatinin pada psien leptospirosis, maka dapat diketahui adanya kelainan

yang terjadi pada fungsi ginjal penderita leptospirosis.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Leptospirosis

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang penting didunia dan

frekuensinya tinggi pada negara tropis (Elizabeth, 2011). Penyakit ini

disebabkan oleh Spirochetes dari genus Leptospira pada manusia yang

terpapar urin dari hewan yang terinfeksi. (Ann Florence, 2009)

Kejadian infeksi leptospirosis secara gobal diestimasikan 0,1-

1/100.000 populasi pada iklim sedang dan 10-100/100.000 populasi pada

iklim basah. Insiden penyakit lebih dari 100/100.000 populasi ditemukan

selama wabah dan pada grup yang beresiko tinggi. (A. T. Slack dkk, 2010).

Secara global persentase kematian akibat penyakit ini mencapai 22%,

tetapi angka ini sangat dipengaruhi oleh fasilitas kesehatan yang kurang

memadai di negara endemik. (A.E. Forbes dkk, 2012)

Pada suatu studi yang dilakukan di Queensland, Australia selama 7

tahun (1998–2004) insiden infeksi leptospirosis mencapai 3,1/100.000

populasi. (Slack, 2006) Asia tenggara merupakan Negara endemik

leptospirosis dan kejadian ini meningkat pada musim hujan. Wabah

leptospirosis diketahui terjadi di Jakarta pusat, Indonesia saat kejadian

banjir besar bulan Januari 2002. Pada wabah ini 12,0% dari 418 sampel

terdeteksi positif terinfeksi leptospirosis. Setelah itu, pada tahun 2007,

10
93% dari 667 sampel telah dikonfirmasi terinfeksi leptospirosis. (Ann

Florence, 2009)

Hewan pengerat dan mamalia domestik seperti sapi, kucing, babi

dan anjing merupakan reservoir utama. Infeksi pada manusia berasal dari

kontak langsung maupun tidak langsung terhadap urin hewan yang

terinfeksi. Leptospirosis masuk ke sistem peredaran darah melalui luka

dan abrasi pada kulit atau mukosa. (A. T. Slack dkk, 2010)

Keluhan pada pasien yang terinfeksi bervariasi dari yang ringan

hanya flu likesyndrome, demam, myalgia dan sakit kepala sampai yang

berat hingga terjadi ikterus, gangguan fungsi ginjal, diathesis diathesis

haemorhagic atau yang disebut juga dengan Weil diseases yang terutama

disebabkan oleh serovars Icterohaemorrhagiae. (Elizabeth, 2011)

Diagnosis yang cepat dan tepat dibutuhkan untuk memberikan

terapi yang adekuat. Terapi secara umum adalah suportif dan pemberian

antibiotik walaupun masih ada keraguan pada beberapa aspek terapi. (A.

T. Slack dkk, 2010) Inisiasi hemodialisa secara dini telah dikaitkan memiliki

hasil yang lebih baik pada leptospirosis terkait AKI. (Elizabeth, 2011)

Diagnosis yang cepat dan tepat dibutuhkan untuk memberikan

terapi yang adekuat. Terapi secara umum adalah suportif dan pemberian

antibiotik walaupun masih ada keraguan pada beberapa aspek terapi. (A.

T. Slack dkk, 2010)

11
B. Laporan Kasus

Pada tanggal 8 Februari 2017, seorang pasien perempuan

berinisial RK berusia 40 tahun datang ke Puskesmas Panekan, Magetan,

Jawa Timur dengan keluhan demam sejak 6 hari sebelumnya. Demam

dirasakan meningkat pada sore atau malam hari dan terasa membaik

pada pagi hari. Demam disertai dengan rasa nyeri di seluruh badan, mual,

dan muntah. (Rosa De Lima, 2018)

Pasien mengeluh nyeri di perut sebelah kanan yang semakin

memberat dan nyeri pada kedua betis. Sejak dua hari sebelum datang ke

Puskesmas pasien merasa sesak nafas. (Rosa De Lima, 2018)

Selama mengalami keluhan tersebut pasien hanya meminum obat

penurun demam yang dibeli dari toko obat. Pasien merupakan ibu rumah

tangga dan sehari-hari banyak beraktivitas di rumah. Pasien tampak

lemas dengan kesadaran compos mentis. Tekanan darah (TD) pasien

adalah 130/80 mmHg, dengan frekuensi nadi (N) 100 kali per menit,

frekuensi respirasi (R) 22 kali per menit, dan suhu (T) 36℃. (Rosa De

Lima, 2018)

Pemeriksaan fisik pada Nyonya RK didapatkan sklera ikterik pada

kedua mata, nyeri tekan pada regio hipokondrium dekstra, ikterik pada

kedua palmar dan plantar pedis. Berdasarkan semua keluhan tersebut,

dokter Puskemas menyarankan pasien untuk menjalani rawat inap di

Puskesmas. (Rosa De Lima, 2018)

12
Hasil pemeriksaan laboratorium nyonya RK pada hari pertama

rawat inap tampak pada Tabel 1. Dari hasil pemeriksaan darah, diperoleh

peningkatan leukosit, SGOT, dan SGPT. Pemeriksaan HbsAg

menunjukkan hasil negatif. Pemeriksaan urin pasien menunjukkan adanya

proteinuria dan hematuria. (Rosa De Lima, 2018)

Tabel 2.1 Pemeriksaan Laboratorium Hari Pertama Rawat Inap

Pemeriksaan Darah Hasil Pemeriksaan Urin Hasil

Hemoglobin (mg/dL) 13,2 pH 5.0

Leukosit (/mmk) 26.610 Berat Jenis 1.020

Trombosit (/mmk) 175.000 Warna Kuning Kemerahan

Hematokrit (%) 36,3 Bau Khas

SGOT (U/L) 61,99 Tingkat Kejernihan Keruh

SGPT (U/L) 53,62 Protein +2

HbsAg Negatif Nitrit +1

Widal 1/80 Leukosit (/lpb) 4-5

Eritrosit (/lpb) 6-8

Epitel (/lpb) 2-14

SGOT: Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase,

SGPT: Serum Glumatat-Pyruvate Transaminase

Pada hari kedua rawat inap, pasien mengeluh pandangan menjadi

kabur dan demam semakin meningkat. Buang air kecil semakin sedikit,

disertai rasa nyeri, dan berwarna kuning kemerahan. TD pasien pada hari

13
kedua rawat inap adalah 130/80 mmHg, N 120 kali per menit, R 24 kali

per menit, dan T 39.3℃. (Rosa De Lima, 2018)

Hasil pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik, conjunctival

suffusion pada kedua mata, nyeri tekan pada regio hipokondrium kanan

dan regio suprapubik, serta ikterik pada kedua palmar dan plantar pedis.

(Andani L, 2014)

Selama rawat inap di Puskemas pasien mendapatkan terapi infus

NaCl 20 tetes per menit injeksi cefotaxime 1 gram dua kali per hari, injeksi

ranitidin 150 mg dua kali per hari, injeksi metamizole 1 ampul satu kali per

hari, hepatoprotektor 1 tablet per hari, antipiretik satu tablet tiga kali per

hari, dan antasida satu tablet tiga kali per hari. Pasien juga diberikan

oksigenasi dengan nasal kanul 3 liter per menit (lpm) dan dilakukan

pemasangan kateter pada hari kedua rawat inap. (Rosa De Lima, 2018)

Hasil pemeriksaan laboratorium pada hari kedua rawat inap tampak

pada tabel 2. Kadar leukosit, SGOT, dan SGPT sedikit menurun jika

dibandingkan dengan hari pertama rawat inap. Kadar alkalin fosfatase,

BUN, dan kreatinin pasien meningkat.

Tabel 2.2 Pemeriksaan Laboratorium Hari Kedua Rawat Inap

Pemeriksaan Darah Hasil

Hemoglobin (mg/dL) 12,6

Leukosit (/mmk) 25.770

Trombosit (/mmk) 180.000

14
Hematokrit (%) 34,4

SGOT (U/L) 46

SGPT (U/L) 21

HbsAg Negatif

Widal 1/80

Albumin 2,8

Alkalin Fosfatase 87

BUN (mg/dL) 111

Kreatinin (mg/dL) 5,8

BUN: Blood Urea Nitrogen

Kasus Nyonya RK termasuk dalam kasus probable leptospirosis

karena gejala yang khas, pemeriksan fisik, dan hasil pemeriksaan

laboratorium darah yang mendukung. Meskipun belum sempat dilakukan

RDT, Dinas Kesehatan Magetan sepakat menyatakan kasus ini sebagai

kasus KLB oleh karena kasus ini hingga menimbulkan kematian. (Berkala

Ilmiah Kedokteran Duta Wacana, 2018)

C. Patogenesis

Leptospira dapat masuk melalui luka di kulit atau menembus

jaringan mukosa seperti konjungtiva, nasofaring, dan vagina kemudian

masuk ke dalam darah, berkembang biak, dan menyebar ke jaringan

tubuh. Leptospira juga dapat menembus jaringan seperti ruang depan

15
mata dan ruang subarakhnoid tanpa menimbulkan reaksi peradangan

yang berarti. (Soedarma SP. 2008)

Tubuh manusia akan memberikan respon imunologik, baik secara

selular maupun humoral. Leptospira berkembang biak terutama di ginjal

(tubulus konvoluta), serta akan bertahan dan diekskresi melalui urin.

Leptospira dapat berada di urin sekitar 8 hari setelah infeksi hingga

bertahun-tahun. Setelah fase leptospiremia (4-7 hari), leptospira hanya

dijumpai pada jaringan ginjal dan mata. Pada fase ini, leptospira

melepaskan toksin yang menyebabkan gangguan pada beberapa organ.

(Jawetz E, 2010)

Gejala fase awal ditimbulkan karena kerusakan jaringan akibat

leptospira, sedangkan gejala fase kedua timbul akibat respons imun

pejamu. Beberapa organ yang mengalami gangguan akibat toksin

leptospira ialah ginjal, mata, hati, otot rangka, pembuluh darah dan

jantung. Bila leptospira masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS)

kemudian ke selaput otak, dapat menyebabkan meningitis yang

merupakan komplikasi neurologik tersering dari leptospirosis. (Garcia LS,

2010)

Gejala patologik yang selalu ditemukan ialah vaskulitis kapiler

berupa edema endotel, nekrosis, disertai invasi limfosit akibat endotoksin

yang dikeluarkan oleh leptospira pada semua organ yang terkena.

Vaskulitis menimbulkan petekie, perdarahan intraparenkim, dan

perdarahan pada lapisan mukosa dan serosa yang dapat berujung pada

16
terjadinya hipovolemia dan renjatan. Dapat ditemukan trombositopenia

dan masa protrombin kadang-kadang memanjang yang tidak dapat

diperbaiki dengan pemberian vitamin K. Pada jantung dapat ditemukan

petekie endokardium, edema interstisial miokard, dan arteritis koroner.

(Speelman P, 2008)

Terjadinya ikterik pada leptospirosis disebabkan oleh beberapa hal,

antara lain karena kerusakan sel hati, gangguan fungsi ginjal yang akan

menurunkan ekskresi bilirubin sehingga meningkatkan kadar bilirubin

darah, terjadinya perdarahan pada jaringan dan hemolisis intravaskuler

yang meningkatkan kadar bilirubin, serta proliferasi sel Kupffer sehingga

terjadi kolestatik intra-hepatik. (Steele JH, 2009)

D. Manifestasi klinis

Karakteristik perjalanan penyakit leptospirosis ialah bifasik. Masa

inkubasi leptospirosis berkisar 2-26 hari, dengan rata-rata 10 hari.

(Soedarman SP, 2008)

Leptospirosis mempunyai dua fase penyakit yang khas yaitu:

1. Fase leptospiremia: leptospira dapat dijumpai dalam darah. Gejala

ditandai dengan nyeri kepala daerah frontal, nyeri otot betis, paha,

pinggang terutama saat ditekan. Gejala ini diikuti hiperestesi kulit,

demam tinggi, menggigil, mual, diare, bahkan penurunan kesadaran.

Pada sakit berat dapat ditemui bradikardia dan ikterus (50%). Gejala ini

17
terjadi saat hari ke 4-7. Jika pasien ditangani secara baik, suhu tubuh

akan kembali normal dan organ-organ yang terlibat akan mem-baik.

Manifestasi klinik akan berkurang bersamaan dengan berhentinya

prolife-rasi organisme di dalam darah. Fungsi organ-organ ini akan

pulih 3-6 minggu setelah perawatan. Pada keadaan sakit lebih berat,

demam turun setelah hari ke-7 diikuti fase bebas demam 1-3 hari, lalu

demam kembali. Keadaan ini disebut sebagai fase kedua atau fase

imun. (Chaparro S, 2008)

2. Fase imun: berlangsung 4-30 hari, ditandai dengan peningkatan titer

antibodi, demam hingga 40°C disertai mengigil dan kelemahan umum.

Pada leher, perut, dan otot kaki dijumpai rasa nyeri. Perdarahan paling

jelas saat fase ikterik dimana dapat ditemukan purpura, petekie,

epistaksis, dan perdarahan gusi. Conjungtival suffusion dengan ikterus

merupakantanda patognomonik untuk leptospirosis. Meningitis,

gangguan hati dan ginjal akan mencapai puncaknya pada fase ini.

Pada fase ini juga terjadi leptospiuria yang dapat berlangsung 1 minggu

sampai 1 bulan. (Speelman P, 2008)

Secara garis besar, manifestasi klinis leptospirosis dapat dibagi

menjadi leptospirosis anikterik pada sekitar 85%-90% kasus dan

leptospirosis ikterik (sindroma Weil) pada kurang lebih 10% kasus.

(Steel JH, 2009)

18
E. Kriteria

Terdapat tiga kriteria yang ditetapkan dalam mendefinisikan kasus

Leptospirosis, yaitu: (Kemenkes RI, 2016)

1. Kasus suspek: Demam akut dengan atau tanpa sakit kepala, disertai

nyeri otot, lemah (malaise), conjungtival suffusion, dan riwayat terpapar

dengan lingkungan yang terkontaminasi atau aktifitas yang merupakan

faktor risiko leptospirosis dalam kurun waktu 2 minggu.

2. Kasus probable: Dinyatakan probable disaat kasus suspek memiliki dua

gejala klinis di antara berikut: ikterus, manifestasi pendarahan, sesak

nafas, oliguria atau anuria, aritmia jantung. Selain itu, memiliki

gambaran laboratorium: trombositopenia <100.000 sel/mm 3,

leukositosis dengan neutrofil >80%, kenaikan jumlah bilirubin total >2 g

% atau peningkatan SGPT, amilase, lipase, dan creatine

phosphokinase (CPK), penggunaan rapid diagnostic test (RDT) untuk

mendeteksi IgM anti-leptospira.

3. Kasus konfirmasi: Dinyatakan sebagai kasus konfirmasi saat kasus

probable disertai salah satu dari: isolasi bakteri Leptospira dari

spesimen klinik, hasil polymerase chain reaction (PCR)positif, dan

serokonversi macroscopicagglutination test (MAT) dari negatifmenjadi

positif.

F. Gejala Klinis

19
1. Gejala penyakit leptospirosis, di antaranya adalah:

a. Mual

b. Muntah

c. Meriang

d. Sakit kepala

e. Nyeri otot

f. Sakit perut

g. Diare

h. Kulit atau area putih pada mata yang menguning

i. Demam

j. Ruam

k. Konjungtivitis

Leptospirosis biasanya menunjukkan gejala secara mendadak

dalam waktu 2 minggu setelah penderita terinfeksi. Pada sebagian kasus,

gejala baru terlihat setelah 1 bulan. (Zein U, 2012)

Pasca kemunculan gejala, penderita leptospirosis biasanya akan

pulih dalam waktu 1 minggu setelah sistem imunitas dapat mengalahkan

infeksi. Namun sebagian penderita akan mengalami tahap kedua penyakit

leptospirosis yang dikenal sebagai penyakit Weil. Gejala penyakit Weil ini

ditandai dengan dada terasa nyeri, serta kaki dan tangan yang bengkak.

(Kemenkes RI, 2016)

20
Selama terserang tahap kedua penyakit leptospirosis ini, bakteri

dapat menyerang organ lain sehingga kondisi menjadi lebih parah.

Keadaan tersebut ditunjukkan dengan:

1) Gangguan pada paru-paru dengan gejala batuk, napas pendek, dan

batuk yang mengeluarkan darah.

2) Gangguan pada ginjal yang dapat berujung dengan kondisi gagal

ginjal.

3) Gangguan pada otak yang ditunjukkan dengan gejala meningitis.

4) Gangguan pada jantung yang memicu peradangan jantung

(miokarditis) atau gagal jantung. (Zein U, 2012)

G. Penyebab dan Faktor Risiko Leptospirosis

Leptospirosis disebabkan oleh infeksi bakteri leptospira yang

dibawa oleh hewan tertentu. Leptospira dapat hidup selama beberapa

tahun pada ginjal hewan yang terinfeksi bakteri ini, lalu dikeluarkan

melalui urine hewan tersebut sehingga dapat mengkontaminasi air atau

tanah di lingkungan. Bakteri yang mengontaminasi air dan tanah tersebut

dapat bertahan dalam hitungan bulan atau tahun. Sementara hewan yang

terkena infeksi ini dapat terus menyebarkan bakteri meski tidak

menunjukkan gejala penyakit ini. (Widarso HS dkk, 2008)

21
Penularan leptospirosis pada manusia terjadi saat adanya kontak

langsung antara manusia dengan urine hewan yang terinfeksi, atau

dengan air, tanah, dan makanan yang telah terkontaminasi urine hewan

yang terinfeksi bakteri leptospira. Bakteri ini memasuki tubuh melalui kulit

pada luka terbuka, kulit yang kering, atau lapisan lendir tubuh (seperti

mata, hidung, atau mulut). (Gasem MH, 2010)

Selain itu penularan leptospirosis terjadi akibat buruknya kondisi

lingkungan di pemukiman penduduk. Lingkungan yang buruk dapat

meningkatkan ketersediaan makanan, tempat berlindung, bersarang dan

berkembang biak tikus sebagai reservoir leptospirosis. Selain itu

lingkungan yang buruk dapat menyebabkan banjir yang bisa

meningkatkan risiko terjadinya penyakit leptospirosis. (Riyaningsih, 2012).

Manusia cenderung dapat terserang leptospirosis saat banjir di

mana air tersebut sudah terkontaminasi urine hewan yang

terinfeksi bakteri lepstospira. Meski demikian, bakteri ini tidak bisa

disebarkan antarmanusia, meski penularan masih dapat terjadi melalui air

susu ibu atau hubungan seksual. Setelah memasuki tubuh, bakteri ini juga

dapat menyebar melalui aliran darah dan sistem getah bening pada

organ-organ dalam tubuh. (Widarso HS dkk, 2008)

Risiko penularan juga ditemui pada manusia yang berkegiatan di

luar ruangan atau sering melakukan kontak dengan hewan. Risiko

mengalami lepstospirosis juga dapat ditemui pada orang yang berenang,

atau mengggunakan rakit dan perahu di sungai atau danau yang tercemar

22
bakteri leptospira, dan juga orang yang berkemah di sekitar sungai atau

danau tersebut. (Widarso HS dkk, 2008) Beberapa jenis pekerjaan yang

memiliki risiko lebih besar untuk menderita leptospirosis adalah:

1. Petani

2. Peternak atau pengurus hewan

3. Personel militer

4. Pekerja di pemotongan hewan

5. Pembersih saluran pembuangan atau selokan

6. Pekerja tambang (Gasem MH, 2010)

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa distribusi

penderita berdasarkan umur dikategorikan menjadi < 20 tahun, 20 – 40

tahun, dan > 40 tahun.

Centers for Disease Control (CDC) menyatakan bahwa manusia

dengan segala umur rentan dengan infeksi leptospira. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa penderita terbanyak berada di umur lebih dari 40

tahun sebanyak 70%.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ramadhani (2010)

yang juga penderita terbanyak ada di umur 40 tahun ke atas. Dari

beberapa hasil penelitian dapat disimpulkan segala umur rentan dengan

infeksi leptospira. Sehingga semua umur harus mengantisipasi agar tidak

terkena kontak dengan tikus atau urinnya atau dengan hewan lain yang

dapat menularkan leptospirosis. Dengan cara melakukan pola Perilaku

23
Hidup Bersih dan Sehat, serta menggunakan alat pelindung diri ketika

akan kontak dengan hewan terinfeksi dan genangan banjir.

Menurut Riyaningsih (2012), dapat diketahui bahwa 80 % penderita

leptospirosis adalah laki-laki meskipun bahwa sebenarnya laki-laki dan

perempuan memiliki risiko tertular leptospirosis yang sama. Akan tetapi

laki-laki cenderung kurang peduli apabila terjadi luka yang bisa menjadi

tempat masuk bakteri leptospirosis.

H. Diagnosis Leptospirosis

Proses penegakan diagnosis leptospirosis dapat dilakukan melalui

gejala, riwayat penyakit pasien, serta pemeriksaan fisik. Selain itu,

beberapa tes penunjang juga dapat dilakukan untuk membantu

memastikan diagnosis leptospirosis dan mengetahui tingkat keparahan

yang dialami pasien. (Siswandari, 2014)

Tes penunjang tersebut, antara lain:

1. Tes urine, untuk melihat keberadaan bakteri leptospira dalam urine.

2. Tes darah, untuk melihat adanya bakteri dalam aliran darah, dan

antibodi dalam tubuh. Pemeriksaan antibodi dalam darah perlu

24
diulang lagi dalam waktu 1 minggu untuk memastikan hasilnya, karena

hasil positif bisa saja ditunjukkan dari infeksi lain yang terjadi

sebelumnya.

3. Pemeriksaan fungsi ginjal, untuk melihat kondisi ginjal dan infeksi

bakteri ini pada ginjal.

4. Pemeriksaan fungsi hati.

5. Foto Rontgen paru, untuk melihat apakah infeksi sudah menyebar

hingga ke organ paru-paru.( Adang M, 2015)

I. Pengobatan

Pengobatan Leptospirosis pada dasarnya dibagi menjadi

leptospirosis an-ikterik dan leptospirosis ikterik (leptospira berat), seperti

tertera pada tabel di bawah ini : (Hickkey PW, 2010)

Tabel 2.3 : Tabel pengobatan Leptospirosis

Antibiotik An-ikterik Ikterik

1. Penisilin G, 100,000
Ampisilin 75-100 mg/kg/hari,oral,
U/kg/hari,intravena, dberikan
1. tiap 6 jam, selama 7 hari. setiap 6 jam selama 7 hari

2. Ampisilin 200 mg/kg/hari,


intravena, tiap 6 jam

Pilihan Amoksisilin 50 mg/kg/hari, oral tiap


3. Amoksisilin 200 mg/kg/hari,
pertama 2. 6-8 jam selama 7 hari. intravena, tiap 6 jam

Pilihan Doksisiklin 40 mg/kg/hari, oral 2 kali Eritromisin 50 mg/kg/hari,

25
sehari selama 7 hari (tidak

direkomendasikan umur dibawah 8

kedua tahun intravena (data penelitian in-vitro)

Doksisiklin 40 mg/kg/hari, oral, dua kali

Alergi sehari selama 7 hari (tidak Eritromisin 50 mg/kg/hari,

penisilin direkomendasika umur dibawah 8 tahun) intravena (data penelitian in-vitro)

Selain antibiotik, obat pereda nyeri,seperti paracetamol  juga dapat

diberikan untuk mengatasi gejala awal leptospirosis, seperti demam, sakit

kepala, atau nyeri otot. Jika penyakit leptirospirosis berkembang lebih

parah atau sering disebut penyakit Weil, maka pasien perlu mendapatkan

perawatan di rumah sakit. (WHO, 2011)

Pada kondisi ini, antibiotik akan disuntikkan ke dalam pembuluh

darah vena dalam tubuh. Saat infeksi telah menyerang organ tubuh, maka

beberapa penanganan tambahan diperlukan untuk menjaga sekaligus

mengembalikan fungsi tubuh, seperti:

1. Infus cairan, untuk mencegah terjadinya dehidrasi pada penderita

yang tidak bisa minum banyak air.

2. Pemantauan terhadap kerja jantung.

3. Pemakaian alat bantu pernapasan jika terjadi gangguan

pernapasan pada penderita.

26
4. Dialisis atau cuci darah, untuk membantu fungsi ginjal. (WHO,

2011)

Kemungkinan sembuh penyakit Weil tergantung dari organ mana

yang ikut terserang infeksi dan tingkat keparahannya. Kematian pada

pasien leptospirosis parah yang terjadi biasanya disebabkan oleh

komplikasi gangguan paru, ganguan ginjal, atau perdarahan dalam

tubuh. (WHO, 2011)

J.Pencegahan Leptospirosis

Beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah terjangkit penyakit

leptospirosis, di antaranya:

Hindari air yang sudah terkontaminasi dan pastikan kebersihan air

sebelum mengonsumsinya.

1) Jauhi binatang yang rentan terinfeksi bakteri,

terutama tikus liar yang paling banyak membawa bakteri leptospira.

2) Bersikap cermat terhadap lingkungan, terutama saat

bepergian.

3) Gunakan disinfektan jika perlu.

4) Gunakan pakaian yang melindungi tubuh dari kontak

langsung dengan hewan pembawa bakteri leptospira, serta

bersihkan dan tutup luka dengan penutup tahan air agar tidak

terpapar air yang terkontaminasi bakteri.

27
5) Mandi secepatnya setelah berolahraga dalam air.

6) Jaga kebersihan dan cuci tangan setelah melakukan

kontak dengan hewan atau sebelum makan.

7) Vaksinasi hewan piaraan atau ternak supaya

terhindar dari leptospirosis. (Siswandari, 2014)

K. Kelainan Hasil Laboratorium pada Pasien Leptospirosis

Sesuai dengan tanda dan gejala yang didapatkan pada pasien

melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien yang

dipaparkan dalam kasus mengalami kondisi berat dari infeksi leprospira

atau Weil disease. Bentuk ikterik atau bentuk berat dari leptospirosis yang

dikenal dengan nama Weil disease terjadi pada 5-10% pasien

leptospirosis. Weil disease umumnya diawali dengan gejala klinis

leptospirosis ringan yang diikuti progresivitas menjadi derajat berat.

Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain ikterik, gagal ginjal,

perdarahan (khususnya pulmoner) aritmia kardiak, pneumonitis dan

gangguan hemodinamik. (Stoddard RA, 2015)

Ikterik biasanya muncul pada hari kelima hingga kesembilan dan

dapat bertahan beberapa minggu. Terjadi peningkatan kadar uji fungsi

hepar, namun kerusakan hepatoselular berat sangat jarang terjadi.

Hepatomegali dan splenomegali dapat ditemukan. Keterlibatan renal

28
umum ditemukan dan dapat muncul pada hari 3-4 onset penyakit.

Beberapa faktor dapat terlibat dalam patogenesis insufisiensi renal,

meliputi hipovolemia, hipotensi dan nekrosis tubular akut, Gagal ginjal

oligurik atau non-oligurik biasanya terjadi pada minggu kedua. (Hartskeerl

RA, 2013)

Perdarahan terjadi karena vaskulitis berat, dengan kerusakan

endotel yang menyebabkan cedera kapiler. Manifestasi perdarahan

meliputi ptekiae, puprura, gusi berdarah, epitaksis, hemoptisis,

perdarahan gastrointestinal dan yang paling jarang, perdarahan

subarachnoid atau adrenal. Keterlibatan jantung dapat berupa miokarditis

atau perikarditis, dan dapat terjadi aritmia seperti atrial fibrilasi, atrial flutter

dan berbagai gangguan konduksi jantung. Gagal jantung kongestif dapat

terjadi dan miokarditis sering ditemukan pada kasus berat. (Hartskeerl RA,

2013)

Sehari-hari pasien bekerja sebagai petani. Aplin et al. melaporkan

bahwa penularan penyakit ini dapat terjadi melalui kontak kulit terhadap

tumbuhan yang terkontaminasi tikus infektif Leptospira sp. Aktivitas harian

sebagai petani sangat memungkinan kontak dengan rumput atau

tumbuhan lain di sawah atau ladang yang memiliki kemungkinan

terkontaminasi urin tikus. Oleh karena itu, pekerjaan pasien ini dapat

menjadi faktor risiko leptospirosis. (Aplin KP, 2005)

29
1. Pemeriksaan Rapid Immunochromatographic Test (ICT) secara

kualitatif untuk mendetekai IgM dan IgG Leptospira di dalam tubuh

pasien, umumnya digunakan sebagai srinning test leptospirosis. Test

ini mempunyai sensitivitas 39-72% dan spesifisitas 91.8%. Test ini

cukup mudah dan cepat karena hanya memakan waktu kurang lebih

20 menit, dan memberikan hsil yang cukup akurat. Akan tetapi test

ini hanya digunakan sebagai test skrinning dan masih perlu

pemeriksaan serologi lanjutan jika terdapat hsil positif. Test serologi

lainnya seperti ELISA atau MAT (Microscopic Aglutination Test).

(Gasem MH, 2010)

Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa penderit yang sudah di

diagnosis leptospirosis secara pasti akan menunjukan hasil positif

dengan biakan 48%, PCR 62% sedangkan serologi 92%. Berbagai

test diatas mempunyai keunggulan dan kelmahan makan harus di

evaluasi data klinik pasien dan perjalanan penyakitnya untuk

menentukan pilihan test yang di gunakan. (Setiawan IM, 2015)

2. Trombositopenia

Trombositopenia adalah istilah medis untuk platelet darah rendah.

Platelet (trombosit) adalah sel-sel darah tidak berwarna yang

memainkan peran penting dalam pembekuan darah.

Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit kurang dari

100.000/mm3 dalam sirkulasi darah. Darah biasanya mengandung

sekitar 150.000-350.000 trombosit/mL. Jika jumlah trombosit kurang

30
dari 30.000/mL3 bisa terjadi perdarahan abnormal meskipun

biasanya gangguan baru timbul jika jumlah trombosit mencapai

kurang dari 10.000/mL. (Daher EF, 2014)

Trombositopenia ditemukan pada 50% pasien dengan leptospirosis

dan berkorelasi dengan prognosis yang buruk. Jumlah trombosit

kurang dari 100.000/uL merupakan faktor risiko kematian pada

leptospirosis. Pada pasien ini ditemukan trombosit 133.000/uL pada

hari pertama perawatan dan semakin menurun pada hari kedua yaitu

111.000/uL. Meskipun belum mencapai angka di bawah 100.000/uL,

namun penurunan trombosit setiap harinya ini perlu dipantau untuk

menghindari kemungkinan perdarahan spontan atau komplikasi

lainnya. Penelitian oleh Daher et al. (2014) menemukan bahwa

trombositopenia tidak selalu berkaitan dengan kematian pasien

leptospirosis.

Sedangkan pada pasien leptospirosis, Trombositopenia

adalah komplikasi yang sering ditemukan pada kasus ini dan dapat

menyebabkan perdarahan yang mengakibatkan kematian.

Perdarahan sebagai komplikasi serius, lebih sering dijumpai pada

subjek meninggal, tetapi perdarahan bukan faktor risiko independen

untuk kematian. Penurunan jumlah trombosit berhubungan dengan

leptospirosis berat. (Daher EF, 2014)

a. Keberadaan Ikterik

31
Pada umumnya, leptospirosis menyebabkan gagal ginjal akut,

dimana terjadi pada 16 - 40% kasus.Gagal ginjal akut pada

leptospirosis disebut juga Sindroma Pseudohepatorenal. Di dalam

ginjal, akan meyebabkan nefritis intersisialis dan nekrosis

tubuler.Intersisial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear

merupakan bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa

gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat tubular nekrosis

akut. Pada leptospirosis berat, jenis gagal ginjal akutnya adalah tipe

oliguri. Dimana produksi urinnya < 600 ml/24 jam dan penderita

sudah dalam keadaan hidrasi yang baik, kadar kreatinin darah > 2gr

%. Terjadi kira-kira pada 54% penderita leptospirosis dan

mempunyai mortalitas yang tinggi (50-90%) serta prognosis yang

kurang baik. Faktor-faktor yang meramalkan prognosis kurang baik

adalah adanya oliguri/anuri yang berlangsung lama, BUN selalu

meningkat > 60 mg/dL/24 jam, rasio ureum urin : darah tidak

meningkat. Hemodialisis tidak lebih menguntungkan untuk terapi

pengganti pada GGA leptospirosis, lebih dipilih tindakan dialisis

peritoneal bila telah ada indikasi. Imam Parsudi (1976), dialisis

peritoneal pada GGA leptospirosis disamping dapat mengoreksi

kelainan biokimiawi akibat GGA, juga dapat mengeluarkan bahan-

bahan toksik akibat penurunan faal hepar. (Ansdel VE, 2016)

32
L. Kerangka Berfikir

Curah Hujan, Buruknya Penderita


Sanitasi Lingkungan dan Leptospirosis
Banjir

Peningkatannya
jumlah titer IgM Pemeriksaan Serologi IgG dan
sebanyak 4x IgM Leptospira
lipat dari titer
antibodi IFA Yang Mempengaruhi :
pada sampel
Keberadan haemoragik
Kadar Trombosit atau perdarahan pada
lapisan mukosa dan
serosa

Yang Mempengaruhi :
Kadar Creatinin
Keberadaan ikterik
yang menyebabkan
GGA (Gagal Ginjal
Akut) / Acute Kidney
Injury
Hasil

Kesimpulan
Keterangan :

Yang Di Teliti

Yang Tidak Di Teliti

33
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Definisi Operasional Variabel

1. Leptospirosis merupakan salah satu penyakit zoonosa yang menjadi

masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyakit ini disebabkan

oleh infeksi bakteri yang berbentuk spiral dari genus Leptospira yang

pathogen, menyerang hewan dan manusia.

2. Trombositopenia adalah istilah medis untuk platelet darah rendah.

Platelet (trombosit) adalah sel-sel darah tidak berwarna yang

memainkan peran penting dalam pembekuan darah. Trombositopenia

didefinisikan sebagai jumlah trombosit kurang dari 100.000/mm3

dalam sirkulasi darah. Darah biasanya mengandung sekitar 150.000-

350.000 trombosit/mL.

3. Pada umumnya, leptospirosis menyebabkan gagal ginjal akut, dimana

terjadi pada 16 - 40% kasus. Gagal ginjal akut pada leptospirosis

disebut juga Sindroma Pseudohepatorenal. Dimana produksi urinnya

< 600 ml/24 jam dan penderita sudah dalam keadaan hidrasi yang

baik, kadar kreatinin darah > 2gr %.

34
B.

C. Jenis Karya Tulis Ilmiah

Karya Tulis Ilmiah kualitatif eksplanatif ini dibuat berdasarkan

eksplorasi studi literatur Kadar Trombosit dan Kadar Creatinin darah pada

pasien Leptospirosis.

D. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian studi literatur ini dilakukan selama bulan Maret – Mei 2020

yang berdasarkan pada literatur yang di temukan.

E. Populasi dan Sampel

1. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penderita leptospirosis

yang ada di Indonesia.

2. Sampel pemeriksaan ini adalah berdasar pada literatur yang memiliki

data penderita leptospirosis yang melakukan pemeriksaan kadar

trombosit dan creatinin.

F. Teknik Pengumpulan Data

1. Penelitian ini dilakukan dengan cara pengumpulan data primer

berdasarkan pada studi literatur atau studi analisis.

35
2. Melakukan penulusuran dan pendalaman teoritis mengenai

pemeriksaan kadar trombosit dan kadar creatinin terhadap pasien

leptospirosis.

3. Melakukan konsultasi atau diskusi dengan dosen pembimbing untuk

penetapan topik KTI.

4. Perbaikan proposal KTI dan mengajukan permohonan persetujuan

kepada Ketua Prodi DIII Analis Kesehatan atas KTI yang akan dibuat.

5. Mengolah, menganalisis dan menyajikan iformasi yang diperoleh.

G. Teknik Analisa Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah secara deskriptif

dalam bentuk presentase dan disajikan dalam bentuk tabel disertai

dengan narasi.

A
x 100 %
B

Keterangan :

A = Jumlah variabel yang akan dihitung

B = Jumlah total sampel

X% = Persentase hasil variabel yang dihitung

36
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Leptospirosis disebabkan oleh infeksi bakteri leptospira yang

dibawa oleh hewan tertentu. Leptospira dapat hidup selama beberapa

tahun pada ginjal hewan yang terinfeksi bakteri ini, lalu dikeluarkan

melalui urine hewan tersebut sehingga dapat mengkontaminasi air atau

tanah di lingkungan. Bakteri yang mengontaminasi air dan tanah tersebut

dapat bertahan dalam hitungan bulan atau tahun. Sementara hewan yang

terkena infeksi ini dapat terus menyebarkan bakteri meski tidak

menunjukkan gejala penyakit ini. (Widarso HS dkk, 2008)

Penularan leptospirosis pada manusia terjadi saat adanya kontak

langsung antara manusia dengan urine hewan yang terinfeksi, atau

dengan air, tanah, dan makanan yang telah terkontaminasi urine hewan

yang terinfeksi bakteri leptospira. Bakteri ini memasuki tubuh melalui kulit

pada luka terbuka, kulit yang kering, atau lapisan lendir tubuh (seperti

mata, hidung, atau mulut). (Gasem MH, 2010)

Selain itu penularan leptospirosis terjadi akibat buruknya kondisi

lingkungan di pemukiman penduduk. Lingkungan yang buruk dapat

meningkatkan ketersediaan makanan, tempat berlindung, bersarang dan

berkembang biak tikus sebagai reservoir leptospirosis. Selain itu

lingkungan yang buruk dapat menyebabkan banjir yang bisa

meningkatkan risiko terjadinya penyakit leptospirosis. (Riyaningsih, 2012).

37
Manusia cenderung dapat terserang leptospirosis saat banjir di

mana air tersebut sudah terkontaminasi urine hewan yang

terinfeksi bakteri lepstospira. Meski demikian, bakteri ini tidak bisa

disebarkan antarmanusia, meski penularan masih dapat terjadi melalui air

susu ibu atau hubungan seksual. Setelah memasuki tubuh, bakteri ini juga

dapat menyebar melalui aliran darah dan sistem getah bening pada

organ-organ dalam tubuh. (Widarso HS dkk, 2008)

Berdasarkan hasil observasi dari beberapa data dapat di simpulkan

dengan beberapa variabel, diantaranya adalah :

A. Usia

Berdasarkan hasil penelitian studi literatur dari Ramadhani (2010) dan

Maria Ulfah (2018) menunjukan bahwa leptospirosis terjadi pada

penderita berusia 20 tahun sampai >40 tahun, sesuai dengan tabel

berikut :

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi penderita leptospirosis berdasarkan usia

Variabel Usia Mean Median Min-Max Kejadian


Leptospirosis

n %

< 20 0 0 0 0 0%

20 – 40 46,6 47,5 28 – 62 3 30
%
> 40 7
70
%

38
Hasil penelitian yang diambil berdasarkan kriteria umur pada

penderita Leptospirosis dapat dilihat pada Tabel 4.1 Menunjukan

bahwa penderita Leptospirosis pada usia muda sangat jarang ditemui.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian Ramadhani (2010) bahwa

penderita penyakit Leptospirosis sebanyak 30% (pada usia 20-40

tahun) dan paling sering terjadi sebanyak 70% (pada usia >40tahun

keatas). Dari beberapa hasil penelitian dapat disimpulkan segala

umur rentan dengan infeksi leptospira. Sehingga semua umur harus

mengantisipasi agar tidak terkena kontak dengan tikus atau urinnya

atau dengan hewan lain yang dapat menularkan leptospirosis.

Dengan cara melakukan pola Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, serta

menggunakan alat pelindung diri ketika akan kontak dengan hewan

terinfeksi dan genangan banjir.

B. Jenis Kelamin

Berdasarkan pada penelitian dengan studi literatur menurut

Riyaningsih (2012) dan Maria Ulfah (2018) untuk jenis kelamin sering

terjadi kepada laki-laki. Sehingga dapat dikategorikan sebagai berikut:

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi penderita berdasarkan jenis kelamin,


dan pekerjaan

Variabel Kategori Kejadian Leptospirosis

39
n %

Jenis Kelamin Laki-laki 8 80 %

Perempuan 2 20 %

Hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin pada penderita

Leptospirosis dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan hasil penelitian

yang didapat menunjukkan bahwa penderita leptospirosis sebanyak

80% (laki-laki) dan 20% (perempuan). Hasil ini sesuai dengan

penelitian Riyaningsih (2012), yang menjelaskan bahwa sebenarnya

laki-laki dan perempuan memiliki risiko tertular leptospirosis yang

sama. Akan tetapi laki-laki cenderung kurang peduli apabila terjadi

luka yang bisa menjadi tempat masuk bakteri leptospirosis.

C. Hasil laboratorium penderita leptospirosis

Berdasarkan studi literatur dari penelitian Rosa De Lima (2018), M.

Patriot (2017), Meliana Depo (2017), I Made Ade S (2013), dan Anti

Dharmayanti (2012). Dapat disimpulkan bahwa jumlah trombosit pada

psien leptospirosis mengalami penurunan dan kadar creatinin

mengalami peningkatan seperti pada tabel distribusi berikut :

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi penderita berdasarkan jenis kelamin,


dan pekerjaan

Variabel Kategori Kejadian Leptospirosis

40
Jumlah Trombosit Trombositopeni 80 %
a
20 %
Trombosit
Normal

Kada Creatinin Abnormal 100%


darah
Normal 0%

Catatan :

Trombositopenia : Keadaan dimana jumlah trombosit dalam darah

<100.000/µL

Creatinin Abnormal : >1,5 mg/dL

1. Jumlah Trombosit

Menunjukan bahwa pada pasien leptospirosis ditemukan

sebanyak 80% penelitian menyatakan terjadinya trombositopenia

dan sebanyak 20% jarang terjadinya trombositopenia.

Trombositopenia adalah suatu keadaan dimana kadar jumlah

trombosit dalam darah kurang dari 100.000/µL. Trombositopenia

yang ditemukan pada pasien leptospirosis dan berkorelasi

dengan prognosis yang buruk. Jumlah trombosit yang kurang dari

100.000/µL merupakan faktor risiko kematian pada pasien

leptospirosis. Penurunan jumlah trombosit harus selalu dipantau

untuk menghindari adanya perdarahan spontan atau komplikasi

41
lainnya. Penurunan jumlah trombosit juga berhubungan dengan

terjadinya leptospirosis berat. (Daher EF, 2014)

2. Creatinin darah

Menunjukan bahwa pada pasien leptospirosis terjadinya

peningkatan pada kadar creatinin sebanyak 100%. Dikarenakan

bakteri leptospira berkembang biak terutama di ginjal, serta akan

bertahan dan di ekskresi melalui urin. Leptospira berada di urin

sekitar 8 hari setelah infeksi (Jawetz E, 2010).

Beberapa organ yang akan mengalami gangguan akibat bakteri

leptospira adalah ginjal, mata, hati, jantung, otot rangka dan

pembuluh darah serta dapat menyebabkan meningitis jika masuk

ke selaput otak (Garcia LS, 2010). Terjadinya ikterik pada

penderita leptospirosis dikarenakan adanya kerusakan sel hati

dan gangguan fungsi ginjal (Steel JH, 2009).

42
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa dengan beberapa juurnal yang berkaitan

dengan gambaran jumlah nilai trombosit dan kadar creatinin pada

pasien leptospirosis didapatkan kesimpulan bahwa:

1. Leptospirosis terjadi karena adanya pencemaran pada tanah dan

air yang terkontaminasi oleh bakteri leptospira yang didapatkan dari

kencing tikus yang umumnya terjadi pada beberapa daerah di

Indonesia yang rawan terjadinya banjir sebesar 5%-10%.

2. Jumlah nilai trombosit yang kurang dari 100.000/µL pada pasien

leptospirosis seharusnya jarang ditemukan, karena trombositopenia

43
merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada pasien

leptospirosis. Sedangkan pada hasil penelitian ini didapatkan hasil

sebesar 80% untuk pasien trombositopenia dan 20% untuk pasien

yang tidak mengalami trombositopenia. Bila terjadi trombositopenia

pada pasien leptospirosis menandakan keadaan pasien yang

kurang baik yang menyebabkan gangguan metabolik sehingga nilai

trombosit dalam darah pasien mengalami penurunan.

3. Pada pasien leptospirosis, ditemukan hasil creaatinin meningkat

sebanyak 100%. Biasanya kadar creatinin akan cenderung

meningkat karena adanya gangguan gagal ginjal pada pasien yang

membuat kadar creatinin darah melebihi nilai normal.

B. Saran

Sebaiknya ditambahkan dengan pemeriksaan fungsi hati sebagai

acuan tambahan untuk dilakukannya pemeriksaan leptospirosis.

44
Daftar Pustaka

Adang M. Diagnosis Laboratorium Leptospirosis. Mutiara Medika. 2015:

6;43-53.

A.E. Forbes, W.J. Zochowski, S.W. Dubrey, dkk. Leptospirosis and Weil’s

disease in the UK. Leptospira Reference Unit (LRU),

Department of Microbiology, County Hospital,Soedarma

SP, Garna H, Hadinegoro SR, Satara IH. Leptospirosis. In:

Soedarma SP, Garna H, Hadinegoro SR, Satara IH,

editors. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis (2nd ed).

Jakarta: Badan penerbit IDAI, 2008; p. 364-9.

Amin, L. Z. (2016). Leptospirosis. 43(8), 576–580.

Andani L, Gassem MH. Evaluasi Penggunaan Kriteria Diagnosis

Leptospirosis (WHO Searo 2009) pada Pasien

Leptospirosis Di RSUP Dr Kariadi Semarang. 2014.

Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.

Ann Florence B Victoriano1, Lee D Smythe2, Nina Gloriani-Barzaga, dkk.

Leptospirosis in the Asia Pacificregion. Department of

45
MedicalMicrobiology, University of the Philippines. BMC

Infectious Diseases 2009, 9:147

Ansdell VE. Chapter 23: Leptospirosis. Dalam: Sanford CA, Jong EC,

Pottinger PS, ed. The Travel and Tropical Medicine

Manual. Fifth Edition. 2016. Elsevier.340-3.

Aplin KP, Brown J, Jacob CJ, Krebs, Singleton GR. Field methods for

rodent studies in Asia and the Indo-Pacific. Australian

Centre for International Agricultural Research. Canberra:

Australia; 2005.

Araujo, E. R., Seguro, A. C., Spichler, A., Magaldi, A. J., Volpini, R. A., &

De Brito, T. (2015). Acute kidney injury in human

leptospirosis: An immunohistochemical study with

pathophysiological correlation. Virchows Archiv, 456(4),

367–375. https://doi.org/10.1007/s00428-010-0894-8

A.T.Slack,M. L. Symonds, M. F. Dohnt, L. D. Smythe, dkk.

Theepidemiology of leptospirosis and theemergence of

Leptospira borgpetersenii serovar Arborea in Queensland,

Australia, 1998–2004. Centre for Public Health Sciences,

Queensland Health Scientific Services : Mei 2006

Chaparro S, Montoya JG.Borrelia &leptospirosis species. In: Wilson WR,

Sande MA, penyunting. Current Diagnosis & Treatment in

Infectious Diseases (1st ed). New York: Lange Medical

Books, 2009; p. 680-9.

46
Daher EF, Silva GB, Silveira CO, et al. Factors associated with

thrombocytopenia in severe leptospirosis (Weil’s disease).

Clinics. 2014;69(2):106-10.

Depo, M., & Kusnanto, H. (2018). Risiko Kematian pada Kasus-kasus

Leptospirosis: Data dari Kabupaten Bantul 2012-2017.

Berita Kedokteran Masyarakat, 34(6), 236–241.

https://doi.org/10.22146/bkm.34878

Elizabeth F. Daher , Geraldo B. Silva Júnior , Rafael S. A. Lima, dkk .

Different Patterns in a Cohort of Patients with Severe

Leptospirosis (Weil Syndrome): Effects of an Educational

Program in an Endemic Area. American Society of

TropicalMedicine and Hygiene, 85(3), 2011, pp. 479–484

Garcia LS, Isenberg HD. ClinicalMicrobiology Procedures (3rd ed).

Washington DC: ASM Press, 2014.

Gamage CD, Tamashiro H, Ohnishi M, Koizumi N. Epidemiology,

Surveillance and Laboratory Diagnosis of Leptospirosis in

the WHO South-East Asia Region. INTECH Open Access

Publisher. 2013:214.

Gasem MH. Gambaran Klinik dan Diagnosis Leptospirosis pada Manusia.

Dalam Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis, Budi

Riyanto, M Hussein Gasem, Muchlis AU Sofro Editors,

Badan Penerbit Universitas Diponegoro 2010; 17-31

47
Hartskeerl RA. Leptospira. Dalam: Liu DY, ed. Molecular Detection of

Human Bacterial Pathogens. Florida: CRC Press. 2013.

Hal. 1172-80.

Hickey PW, Denners D. Leptospirosis. Medicine J 2002; 2:h.1-17.

Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Medical Microbiology (25th ed). New

York: Mc Graw Hill, 2010; p. 483-7.

Kemenkes RI. Peraturan nomor 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang

pedoman penyelenggaraan sistem kewaspadaan dini

kejadian luar biasa (KLB). Jakarta: Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia. 2010

Kemenkes RI. (2017). Petunjuk Teknis Pengendalian Leptospirosis Tahun

2017. Scientific Journals, 11, 160–162.

Kemenkes RI (2016). Leptospirosis: Kenali dan waspada.

Kularatne SA, Budagoda BD, de Alwis VK, Wickramasinghe WM,

Bandara JM, Pathirage LP, et al.High efficacyof bolus

methylprednisolone in severe leptospirosis: a descriptive

study in SriLangka. Postgrad Med J 2015;87(1023):13-7.

Kumar, S. Shiva. Indian Guidelines for the Diagnosis and Management of

Human Leptospirosis. Mortality 2013;5: 20.

Petunjuk, S., Setadi, B., Setiawan, A., Effendi, D., & Hadinegoro, S. R. S.

(2014). Petunjuk Praktis Leptospirosis. Clinical Journals,

3(3), 163–167.

48
Priyanto A, Hadisaputro S, Santoso L, Gasem H, Adi S. Faktor-faktor

risikoyang berpengaruh terhadap kejadianleptospirosis

(Studi kasus di KabupateDemak). Jurnal Epidemiologi

Universitas Diponegoro. 2008: 2-5.

Rampengan, N. H. (2017). Leptospirosis. Fakultas Kedokteran Universitas

Sam Ratulangi Manado, 1(1), 5–8.

Rosa De Lima Renita Sanyasi. (2018). Laporan Kasus Leptospirosis.

Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana.

Setadi B, Setiawan A, Effendi D. Leptospirosis Sari pediatri. 2013;15: 163-

7.

Setiawan IM. Pemeriksaan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

untuk dignosis Leptospirosis. Ebers Papyrus 2015 :125-36

Siswandari. Diagnosis leptospirosis Mandala of Health. 2014;2:33-45.

Steele JH. Leptospirosis. In: Pickering LK,penyunting. Report of The

Committee on Infectious Disease (25th ed). Elk Grove

Village: American Academy of Pediatrics, 2009; p. 370-2.

Stoddard RA, Galloway RL, Guerra MA. Leptospirosis. 2015. Tersedia

pada http://wwwnc.cdc.gov/travel/yellowbook/2

016/infectious-diseases-related-to-travel/leptospirosis

Soedarma SP, Garna H, Hadinegoro SR, Satara IH. Leptospirosis. In:

Soedarma SP, Garna H, Hadinegoro SR, Satara IH,

editors. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis (2nd ed).

Jakarta: Badan penerbit IDAI, 2008; p. 364-9.

49
Speck WT, Toltziis P. Leptospirosis. In:Behrman RE, Kliecman RM,

Nelson WE, editors. Nelson Textbook of Pediatrics (16th

ed). Philadelphia: WB Saunders, 2000; 908-9.

Speelman P. Leptospirosis.Harrison’sPrinciples of Internal Medicine (17th

ed). New York: Mc Graw Hill, 2014; p. 988-91.

World Health Organization. Report of the Second Meeting of

theLeptospirosis Burden Epidemiology Reference Group.

2011. Geneva: WHO Document Production Services. Hal

1-37

Widarso HS, M.H. Gasem, Wilfried Purba, Tato Suharto dan Siti Ganefa.

Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Kasus

Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Sub. Dit.

Zoonosis. Dir.Jend. P2 & PL Dep. Kes. R.I., Jakarta, 2008

Zein U. Leptospirosis. In: Sudoyo A,Setiyohadi B, Alwi I, editors. Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam (4th ed). Jakarta: Departemen Ilmu

Penyakit Dalam FK UI, 2012; p. 1845-9.

50

Anda mungkin juga menyukai