Anda di halaman 1dari 52

REFERAT

PENDEKATAN DIAGNOSTIK HEMATOKEZIA

Disusun oleh :
Abdul Rahman 41181396100018

Nur Fajrina 41181396100014

Pembimbing :
dr. Annela Manurung, SpPD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
JUNI – AGUSTUS 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
diberikan kekuatan dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
referat ini yang berjudul “Pendekatan Diagnostik Hematokezia” dengan lancar. Dan
sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad
SAW yang telah membimbing umat islam hingga akhir zaman.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini,
terutama kepada:

1. dr. Annela Manurung, SpPD, FINASIM selaku pembimbing presentasi ini.

2. Seluruh dokter dan staf pengajar di SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati Jakarta.

Dalam proses penyelesaiannya, makalah presentasi kasus ini masih


terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran
sangat penulis harapkan dari berbagai pihak.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis ataupun


pembaca, baik untuk menambah wawasan di bidang kedokteran umumnya, serta
di bidang ilmu penyakit dalam khususnya. Terima kasih.

Jakarta, Juli 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii


DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 2
2.1. Definisi ..................................................................................................... 2
2.2. Epidemiologi............................................................................................. 2
2.3. Etiologi ..................................................................................................... 2
2.3.1 Penyebab perdarahan saluran cerna bagian bawah tipe akut .......... 2
1. Angiodysplasia ............................................................................. 2
2. Kanker kolorektal ......................................................................... 6
3. Tuberkulosis Abdominal .............................................................. 11
2.3.2 Penyebab perdarahan saluran cerna bagian bawah tipe kronik…….17
1. Hemoroid ...................................................................................... 17
2. Divertikulosis. .............................................................................. 23
3. Colitis ulseratif. ............................................................................ 26
4. Crohn disease…………………………………………………….30
5. Polip kolon ................................................................................... 33
2.4. Karakteristik Klinik Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah ............... 35
2.5.Pendekatan Dignosis Hematokezia............................................................ 38
2.6. Management Tatalaksana Hematokezia ................................................... 39
2.7. Komplikasi................................................................................................ 43
BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 45

iii
BAB I
PENDAHULUAN
Lower gastrointestinal bleeding (LGIB) didefinisikan sebagai perdarahan dari lesi
distal ke ligamentum Treitz, termasuk usus kecil dan besar. Dalam dekade terakhir,
ketersediaan diagnostik canggih terbaru seperti capsule endoscopy and balloon-assisted
enteroscopy telah mengarah ke pemahaman yang lebih baik tentang etiologi perdarahan
usus kecil.1
Hematokezia (perdarahan merah segar) biasanya menandakan sumber berasal dari
kolon, namun perdarahan dari saluran cerna bagian atas juga banyak yang dapat
menimbulkan hematokezia atau feses warna marun. Dalam dekade terakhir pasien dengan
perdarahan saluran cerna meningkat dengan signifikan. Mortalitas akibat perdarahan
saluran cerna bagian atas sekitar 3,5 – 7% dan saluran cerna bagian bawah sekitar 3,6%.2,3
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi dimana saja pada traktus digestivus dari mulut
sampai dengan anus. Darah dapat terlihat pada tinja atau muntahan atau dapat saja berupa
perdarahan tersembunyi yang hanya dapat dilihat dengan pemeriksaan laboratorium.
Perdarahan saluran cerna bagian bawah sebagian besar terjadi pada usia tua. Dahulu,
kematian yang disebabkan oleh perdarahan saluran cerna bagian bawah yang akut sangat
tinggi. Hal ini terutama disebabkan oleh kesulitan untuk menemukan sumber pendarahan.
Namun, seiring dengan kemajuan dan pembangunan di bidang teknologi medis, khususnya
kolonoskopi dan angiografi, telah menurunkan angka kematian yang disebabkan oleh
perdarahan saluran cerna bagian bawah sebesar 5-10% selama dekade terakhir. Hal ini
sebagian besar disebabkan oleh peningkatan kemampuan dalam mencari sumber
pendarahan, dalam resusitasi dan juga perawatan medis yang lebih baik.4
Tujuan makalah ini yaitu akan menjelaskan mengenai pendekatan diagnostik pada
kusus hematokezia karena manifestasi yang dapat terjadi yaitu sampai mengancam jiwa
sehingga diperlukan penegakkan diagnostik dengan baik dan tepat terutama di layanan
primer sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama di masyarakat.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Hematokezia diartikan sebagai perdarahan saluran cerna bagian bawah yang ditandai
dengan darah segar atau berwarna merah maroon yang keluar melalui anus.2

2.2 Epidemiologi
Insidens perdarahan saluran cerna bagian bawah sekitar 20-30 per 100.000 penduduk
dan akan meningkat seir ing bertambahnya usia. Sekitar 80% dari kasus perdarahan saluran
cerna bagian bawah akan berhenti dengan sendirinya dan tidak berpengaruh pada tekanan
darah. pada hematokezia yang berhenti sendiri memiliki risiko berulang terjadinya
perdarahan sebesar 25%. Hanya 15% pasien dengan perdarahan berat yang akan berdampak
pada terjadinya penurunan tekanan darah.
Data dari Pusat Pelayanan Endoskopi Gastroenterologi Departemen Penyakit Dalam
RSCM menunjukkan terdapat 442 pasien memiliki indikasi hematokezia berdasarkan
temuan endoskopi saluran cerna bagian bawah pada tahun 2000-2001.3 Dalam dekade
terakhir pasien dengan perdarahan saluran cerna meningkat dengan signifikan. Mortalitas
akibat perdarahan saluran cerna bagian atas sekitar 3,5 – 7% dan saluran cerna bagian bawah
sekitar 3,6%.3

2.3. Etiologi
2.3.1 Penyebab perdarahan saluran cerna bagian bawah tipe akut :
1. Angiodysplasia
A. Definisi

Angiodysplasia adalah lesi vaskular yang paling umum dari saluran


pencernaan, dan kondisi ini mungkin asimtomatik, atau dapat menyebabkan
perdarahan gastrointestinal (GI) karena dinding pembuluh darah yang tipis dan
ukurannya kecil .5
A. Etiologi

2
Penyebab terjadinya angiodydplasia tidak diketahui pasti. Namun beberapa
penelitian yang tidak konsisten mengatakan bahwa penyebabnya bisa disebabkan
oleh gagal ginjal kronik on hemodialisis. Hal ini berhubungan dengan koagulopati
secara kuantitatif maupun kualitatif, lebih banyak terjadi pada gagal ginjal kronik
yang membuat defek pada platelet dan fungsi abnormal serta struktur dari von
Willebrand factor. Faktor usia lansia juga dapat memengaruhi terjadinya
angiodysplasia karena perubahan struktur pembuluh darah akibat penyakit
degenerative. 8
B. Manifestasi klinis
Pada Anamnesis pasien datang dengan keluhan hematemesis atau hematoskezia,
melena, lemas dan pucat. Tidak ada gejala dan tanda spesifik pada angiodysplasia
karena biasanya asimptomatik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan Hemodinamik
tidak stabil jika terjadi perdarahan masif seperti takikardi, hipotensi, frekuensi nafas
meningkat, konjungtiva pucat, kulit pucat8
C. Diagnosis
Tes laboratorium berikut digunakan dalam evaluasi pasien dengan dugaan
angiodysplasia dari usus besar:

• Darah perifer lengkap (DPL) : anemia ditemukan pada 10% pasien dengan
perdarahan angiodysplasia.
• jumlah serum besi: defisiensi zat besi ditemukan pada 10% pasien dengan
perdarahan angiodysplasia.
• Pemeriksaan guaiac pada feses: sebanyak 15% dari pasien dengan perdarahan
angiodysplasia akan positif terdapat darah pada perdarahan GI yang tak terlihat
pada feses
D. Imaging
• Angiografi

Angiografi adalah teknik diagnostik yang berguna untuk angiodysplasia,


terutama pada pasien dengan perdarahan besar ketika diagnosis dengan
kolonoskopi sulit. Sensitivitas angiografi berkisar dari 58% sampai 86%. Deteksi
perdarahan tergantung pada tingkat perdarahan (Minimal 0,5 mL/menit), teknik,
dan waktu angiografi yang berkaitan dengan periode perdarahan.
3
Ketika Endoskopi tidak tersedia, Angiografi adalah alat diagnostik yang
berguna dalam kasus dengan pendarahan GI besar seperti angiodysplasia dan
varicosis. Angiodysplasia dan varicosis memiliki ciri khas yang dapat dibedakan
pada angiografi, seperti adanya nodus dan pembuluh darah vaskular yang khas.

Pemeriksaan histologis juga dapat menentukan angiodysplasia atau varicosis.6


Computed tomography (CT) angiografi dapat mendeteksi ekstravasi dan
pemeriksaan noninvasif pada pasien dengan situs pendarahan yang tidak terlihat
dari angiodysplasia. Endoskopi untuk mendeteksi angiodysplasia sekum pada
kasus tertentu. Endoskopi sangat berguna untuk menunjukkan lesi usus kecil,

tetapi perannya sebagai tes diagnostik untuk usus besar masih eksperimental.7

E. Pemeriksaan histologi
Biopsi Forsep endoskopik merupakan pemeriksaan untuk melihat gambar
karakteristik Histopatologi dari angiodysplasia sekitar 31%-60% spesimen. Biopsi
endoskopik pada mukosa untuk diagnosis ,umumnya tidak dianjurkan karena hasil
diagnostik yang rendah dan risiko menimbulkan perdarahan.

Selain itu, diagnosis histologis dari angiodysplasia sulit. lesi angiodysplasias


harus dibedakan dari tumor vaskular, lesi yang terkait dengan penyakit bawaan atau
sistemik, atau kerusakan radiasi.

Angiodysplasia biasanya berbentuk arteri kecil yang tidak teratur, vena kecil
yang tidak teratur, dan koneksi kapiler yang tidak teratur. Bentuk mereka lebih banyak
multiple dibangdingkan single. Mikroskopis, lesi angiodysplasia lebar, pembuluh darah
yg berdinding tipis. Jumlah otot polos di dinding pembuluh bervariasi. Dinding
pembuluh bisa menjadi sangat tipis sehingga tampaknya hanya terdiri dari endothelium.

F. Pengobatan
• Konsultasi : Konsultasi harus diatur dengan gastroenterolog, ahli radiologi
intervensi, dan dokter bedah

4
G. Algoritma Diagnosis

Anamnesis : hematoskezia, Pemeriksaan fisik: takikardi, hipotensi,


hematemesis, melena, lemas dan pucat. frekuensi napas meningkat,konjungtiva
anemis, pucat.

1. Cek darah perifer lengkap (DPL)


2. IVF/Transfusi
3. EKG,CXR, Xray abdomen
4. Pasang NGT

(+) Aspirasi pipa NGT (-) Aspirasi pipa NGT

Perdarahan saluran Perdarahan saluran


cerna atas cerna bawah

endoskopi Sigmoidskopi/
kolonoskopi
terapi Diagnostik Non
Diagnostik
Perdarahan Perdarahan
Perdarahan berhenti aktif
berhenti Perdarahan
aktif
kolonoskopi Angiografi
Enteroskopi/Angiografi
enteroskopi

Algoritma untuk pendarahan gastrointestinal akut (GI). DPL = jumlah sel darah perifer
lengkap; CXR = x-ray dada; EKG = Elektrokardiografi; IVF = cairan intravena; NG =
nasogastric.

5
2. Kanker Kolorektal

A. Definisi
Kanker kolorektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar,
terdiri dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan/atau rektum (bagian
kecil terakhir dari usus besar sebelum anus).10

B. Faktor Resiko
Secara umum perkembangan KKR merupakan interaksi antara faktor
lingkungan dan faktor genetik. Faktor tidak dapat dimodifikasi: riwayat KKR atau
polip adenoma individual dan keluarga, dan riwayat individual penyakit kronis
inflamatori pada usus. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi: inaktivitas ,

obesitas , konsumsi tinggi daging merah, merokok dan konsumsi alkohol sedang-
berat. Sementara aktivitas fisik, diet berserat dan asupan vitamin D termasuk

dalam faktor protektif. 11

C. Gambaran klinis

Pasien buang air besar disertai adanya darah yang berwarna hitam atau
merah segar. Gejala diawali dengan gangguan buang air besar, perubahan pola
defekasi (diare-konstipasi), penurunan berat badan dalam beberapa bulan dan
perubahan kondisi umum. Dapat juga disertai gejala nyeri kolik. Untuk pasien
dengan kanker di rektosigmoid memperlihatkan adanya tenesmus, lendir dalam
feses/tinja. Pasien biasanya pucat dan lemah, menunjukan adanya anemia akut
atau kronik

D. Diagnosis

a. Keluhan utama dan pemeriksaan klinis:


1. Perdarahan per-anum disertai peningkatan frekuensi defekasi dan/atau
diare selama minimal 6 minggu (semua umur)
2. Perdarahan per-anum tanpa gejala anal (di atas 60 tahun)
3. Peningkatan frekuensi defekasi atau diare selama minimal 6 minggu (di
atas 60 tahun)

6
4. Massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur) Massa intra-luminal
di dalam rektum Tanda-tanda obstruksi mekanik usus.
5. Setiap pasien dengan anemia defisiensi Fe (Hb <11gr% pada laki-laki dan
<10gr% pada wanita pascamenopuse)

b. Pemeriksaan colok dubur


Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada setiap pasien dengan gejala ano-
rektal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menetapkan keutuhan sfingter ani dan
menetapkan ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rektum 1/3 tengah dan
distal. Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:
• Keadaan tumor: Ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian
terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar
prostat atau ujung os coccygis.
• Mobilitas tumor: Hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek
terapi pembedahan. Ekstensi dan ukuran tumor dengan menilai batas
atas, bawah, dan sirkuler.

c. Pemeriksaan penunjang13
1. Endoskopi merupakan prosedur diagnostik utama dan dapat dilakukan
dengan sigmoidoskopi (>35% tumor terletak di rektosigmoid) atau
dengan kolonoskopi total.
2. Enema barium dengan kontras ganda Pemeriksaan enema barium yang
dipilih adalah dengan kontras ganda.
3. CT colonography (Pneumocolon CT) Modalitas CT yang dapat
melakukan CT kolonografi dengan baik adalah modalitas CT scan
yang memiliki kemampuan rekonstruksi multiplanar dan 3D volume
rendering. Kolonoskopi virtual juga memerlukan software khusus

d. Penetapan stadium pra-operatif


Penetapan stadium pre-operatif harus dilakukan, karena strategi terapi untuk
setiap stadium berbeda. Prosedur yang dilakukan untuk penetapan stadium
pre-operatif adalah:

7
• Deteksi perluasan tumor primer dan infiltrasinya;
• Deteksi kelenjar getah bening regional dan para-aorta;
• Deteksi metastasis ke hepar dan paru-paru; Deteksi metastasis ke
cairan intraperitoneal.

Penetapan stadium pra-operatif pada karsinoma kolon 14

Rekomendasi Tingkat A

 Seluruh pasien karsinoma kolon yang akan menjalani pembedahan


elektif, harus menjalani pemeriksaan pencitraan hepar dan paru
preoperatif dengan CT scan atau MRI, dan foto thoraks.

 Pada pasien yang harus menjalani bedah emergensi, pemeriksaan


ultrasonografi intraoperatif dan pemeriksaan pencitraan CT scan atau MRI
post-operatif. Rekomendasi Tingkat C

 Apabila fasilitas CT scan atau MRI tidak tersedia, maka ultrasonografi


trans-abdominal dapat digunakan untuk mendeteksi metastasis ke hepar.
Diperlukan pemeriksaan Abdomino-pelvic CT-scanning, MRI,
ultrasonografi transabdominal dan foto thoraks.

e. Penetapan stadium pra-operatif pada karsinoma rektum 15

a. Pemeriksaan colok dubur: Ada 2 gambaran khas pemeriksaan colok


dubur, yaitu indurasi dan penonjolan tepi, yang dapat berupa suatu
pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti cakram, yaitu suatu
plateau kecil dengan permukaan yang licin dan berbatas tegas, suatu
pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak, tetapi umumnya
mempunyai beberapa daerah indurasi, suatu bentuk khas dari ulkus
maligna dengan tepi noduler yang menonjol dengan suatu kubah yang
dalam (bentuk ini paling sering) dan suatu bentuk kanker anular yang
teraba sebagai pertumbuhan bentuk cincin.

b. Endorectal Ultrasonography (ERUS): Dilakukan oleh spesialis bedah


kolorektal (operator dependent) atau spesialis radiologi, Digunakan

8
terutama pada T1 yang akan dilakukan eksisi transanal, Digunakan pada
T3-4 yang dipertimbangkan untuk terapi neoajuvan, Digunakan apabila
direncanakan reseksi trans-anal atau kemoradiasi

c. Computed Tomography (CT) Scan: Memperlihatkan invasi ekstra-


rektal dan invasi organ sekitar rektum, tetapi tidak dapat membedakan
lapisan-lapisan dinding usus, Akurasi tidak setinggi ultrasonografi
endoluminal untuk mendiagnosis metastasis ke kelenjar getah bening,
Berguna untuk mendeteksi metastasis ke kelenjar getah bening
retroperitoneal dan metastasis ke hepar, Berguna untuk menentukan suatu
tumor stadium lanjut apakah akan menjalani terapi adjuvan pre-operatif
Untuk mengevaluasi keadaan ureter dan buli-buli.

d. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Rektum: Dapat mendeteksi lesi


kanker dini (cT1-T2), Lebih akurat dalam menentukan staging lokal T dan
N (margin sirkumferensial dan keterlibatan sakral pada kasus rekurens).

Rekomendasi Tingkat A

 Seluruh pasien karsinoma rektum harus menjalani pemeriksaan


ultrasonografi endoluminal trans-rektal.

 Seluruh pasien karsinoma rektum yang akan menjalani pembedahan


elektif, harus menjalani pemeriksaan pencitraan hepar dan paru-paru pre-
operatif dengan CT scan atau MRI, dan foto thoraks.

 Pada pasien yang harus menjalani bedah emergensi, pemeriksaan


ultrasonografi intra-operatif dan pemeriksaan pencitraan CT scan atau
MRI post-operatif. Rekomendasi Tingkat C

 Apabila fasilitas ultrasonografi endoluminal tidak tersedia, pemeriksaan


colok dubur dapat dilakukan untuk menentukan kurabilitas tumor.

 Apabila fasilitas CT scan atau MRI tidak tersedia, maka ultrasonografi


trans-abdominal dapat digunakan untuk mendeteksi metastasis ke hepar.

9
E. Algoritma diagnosis

Ca Kolorektal

Anamnesis : Pemeriksaan Fisik :

- BAB disertai adanya Rectal Toucher (colok dubur)


darah yang berwarna
hitam atau merah segar.
- Diare/konstipasi Gambaran colok dubur :
- Penurunan berat badan indurasi dan penonjolan tepi
dalam beberapa bulan indurasi seperti cakram : plateau kecil dengan
- Nyeri kolik. permukaan yang licin dan berbatas tegas,
- Tenesmus, lendir dalam pertumbuhan tonjolan yang rapuh, lunak.
feses/tinja.
- Pucat dan lemah,
Pemeriksaan penunjang :
menunjukan adanya
- Kolonoskopi
anemia akut atau kronik
- Pasien dengan riwayat - Barium enema : kanker pada kolon transverse :
polip pada kolonoskopi kontur defek dengan ulserasi sentral. Kanker
sebelumnya, annular kolon sigmoid : pelebaran akibat massa
- Pasien dengan riwayat yang melingkar permukaan kolon disertai dengan
keluarga destruksi mukosa
- CT colonography : invasi ekstra-rektal dan invasi
organ sekitar rektum, tetapi tidak dapat
membedakan lapisan-lapisan dinding usus.

Penetapan stadium pra operatif :

- Colok dubur

- Endorectal Ultrasonography (ERUS)

- CT- Scan

- Magnetic Resonance Imaging (MRI


MRI)
Konsul ke dokter
bedah

10
F. Tatalaksana

Penatalaksanaan kanker kolorektal bersifat multidisiplin yang


melibatkan beberapa spesialisasi/subspesialisasi antara lain
gastroenterologi, bedah digestif, onkologi medik, dan radioterapi. Pilihan
dan rekomendasi terapi tergantung pada beberapa faktor, seperti stadium
kanker, histopatologi, kemungkinan efek samping, kondisi pasien dan
praferensi pasien.

Terapi bedah merupakan modalitas utama untuk kanker stadium


dini dengan tujuan kuratif. Kemoterapi adalah pilihan pertama pada
kanker stadium lanjut dengan tujuan paliatif. Radioterapi merupakan salah
satu modalitas utama terapi kanker rektum.

3. Tuberculosis Abdominal (TB Abdominal)


a. Definisi
TB perut adalah penyakit yang menimbulkan tantangan diagnostik, seperti
gejala penyakit yang tidak spesifik sehingga menyebabkan keterlambatan
diagnosis dan timbulnya komplikasi. TB perut biasanya terjadi dalam empat
bentuk: limfadenopati tuberkulosis, tuberkulosis peritoneum, TBC
gastrointestinal (GI) dan TBC visceral yang melibatkan organ padat.16

b. Epidemiologi
TB ekstrapulmonal ditemui pada 15-20% populasi dengan insiden HIV
rendah dan merupakan salah satu manifestasi TB ekstrapulmonal tersering.
Sementara itu, TB di abdomen didapatkan pada 11% pasien TB ekstrapulmonal.
Laporan kasus menyebutkan bahwa sebanyak 2-3% TB abdomen ini terjadi di
kolon . TB intestinal dapat ditemui pada berbagai usia namun didominasi oleh
rentang usia 20-40 tahun.17

11
Lokasi anatomis TB abdominal :

c. Manifestasi klinis
Manifestasinya dapat tidak spesifik dan menunjukkan kemiripan dengan
gangguan gastrointestinal lain, seperti penyakit Crohn, colitis ulseratif, limfoma,
enteritis amuba, actinomikosis dan enterokolitis Yersinia sp atau bahkan
keganasan pada kolon.18
Gambaran klinis TB intestinal meliputi: 1) gejala konstitusi seperti
demam, anoreksia dan penurunan berat badan; 2) gejala akibat ulserasi mukosa
seperti diare, hematoskezia dan malabsorpsi; 3) Gejala terkait keterlibatan
transmural seperti nyeri perut, tegang dan muntah akibat obstruksi lumen, teraba
benjolan, perforasi usus, fistula perianal dan intestinal; 4) manifestasi
ekstraintestinal seperti artritis, peritoneum dan kelenjar limfe; 5) riwayat kontak
dengan TBC.18

d. Diagnosis
Diagnosis pasti TB kolon ditegakkan bila dari biopsi ditemukan
granuloma dan atau basil tahan asam. Biopsi dari lesi hanya dapat mendeteksi 60-

12
80% penyakit.19 Pemeriksaan diagnostik yang membutuhkan waktu lama seperti
pewarnaan basil tahan asam dari biopsi atau sputum, kultur M. tuberculosis, uji
Mantoux dan rontgen toraks sering negatif pada TB ekstraparu.19
Diagnosis awal didasarkan pada penilaian klinis, yaitu demam yang tidak
diketahui sebabnya, penurunan berat badan, anemia, riwayat TB paru atau infeksi
aktif, kontak TB dan biopsi menunjukkan non caseating granuloma dan inflamasi
kronik. Perbedaan pada hasil pemeriksaan klinis, endoskopik, radiologis,
patologis, kultur dan pemeriksaan molekuler dapat digunakan utuk membedakan
keduanya.
Beberapa kepustakaan mengatakan bahwa pemeriksaan diagnostik yang
direkomendasikan adalah kolonoskopi dan biopsi.19 Ada beberapa kriteria
diagnostik klinis untuk TB intestinal yang perlu diperhatikan. Beberapa kriteria
tersebut yaitu: 1) kultur positif jaringan atau kelenjar getah bening; 2)
histopatologik menunjukkan menunjukkan batang tahan asam M. tuberculosis di
lesi; 3) ditemukan tuberkel dan nekrosis perkijuan dari gambaran histologik; 4)
gambaran endoskopi dan histologik sesuai dengan infeksi TB ; dan 5) respon baik
dengan terapi OAT.
Anamnesis
Gambaran klinis TB intestinal meliputi: 1) gejala konstitusi seperti
demam, anoreksia dan penurunan berat badan; 2) gejala akibat ulserasi mukosa
seperti diare, hematoskezia dan malabsorpsi; 3) Gejala terkait keterlibatan
transmural seperti nyeri perut, tegang dan muntah akibat obstruksi lumen, teraba
benjolan, perforasi usus, fistula perianal dan intestinal; 4) manifestasi
ekstraintestinal seperti artritis, peritoneum dan kelenjar limfe; 5) riwayat kontak
dengan TBC.18
Pemeriksaan Histologi
Gambaran histologis TB intestinal yang khas adalah konfluen, granuloma
caseosa yang mengandung basil tahan asam dan dikelilingi limfoid cuff. Hal
tersebut ditemukan pada semua lapisan dinding usus dan kelenjar getah bening
regional. Granuloma awal kadang hanya ditemukan di jaringan limfoid, namun
dapat juga ditemukan metaplasia pilorik ekstensif, ulkus fisura superfisial yang
melas sampai ke submukosa dan penyembuhan terjadi melalui fibrosis dan

13
regenerasi epitel yang dimulai dari tepi. Granuloma penyembuhan dikelilingi
jaringan fibrosis di kelenjar limfe namun tidak pada dinding intestinal.18 Biopsi
dalam harus diambil di tepi ulkus karena granuloma sering berada di submukosa,
tidak seperti granuloma pada penyakit Crohn yang umum ditemui pada lapisan
mukosa. 20
Pemeriksaan Laboratorium
Analisis PCR dari spesimen biopsi dari endoskopi lebih sensitif
dibandingkan kultur dan basil tahan asam untuk diagnosis TB intestinal. Nilai
sensitifitas metode ini yaitu sebesar 75%-85%, sedangkan spesifisitasnya 85%-
95% tergantung tipe spesimen.21
Pemeriksaan Radiologi
Rontgen toraks mungkin dapat membantu diagnosis TB intestinal, namun
hasil yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan TB intestinal.22 Hanya 20%
TB paru aktif yang dikaitkan dengan TB saluran cerna.
Pemeriksaan computer tomography scan (CT scan) mungkin
menunjukkan inflitrasi omentum, peritoneum dan mesenteium pada penebalan
lapisan peritoneum dan adanya cairan peritoneum yang berdensitas tinggi.20
Gambaran yang paling umum ditemui dari CT scan adalah penebalan dinding
sirkumferensial saekum dan terminal ileum serta asimetris dari ileosaekal.23

E. Tatalaksana

Terapi TB abdomen merekomendasikan terapi antituberkulosis


konvensional selama minimal 6 bulan termasuk RHZE pada 2 bulan pertama.
Durasi pengobatan dapat diperpanjang hingga 12-18 bulan. Komplikasi TB

14
abdomen dapat berupa ulkus, perforasi, perlengketan, obstruksi, pendarahan,
pembentukan istula dan stenosis. Terapi bedah diperlukan pada beberapa kasus
terutama pada kasus yang sudah menimbulkan komplikasi seperti perforasi,
obstruksi, istula atau pendarahan.22

Panduan OAT kategori 1 :

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

• Pasien baru TB paru BTA positif.

• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

• Pasien TB ekstra paru

Dosis panduan OAT Kategori 1

15
F Algoritma Diagnosis

TB abdomen

Anamnesis : Pemeriksaan Fisik :

- Demam, anoreksia dan Rectal Toucher (colok dubur)


penurunan berat badan;
- Diare, hematoskezia
dan malabsorpsi; Pemeriksaan histologi : (kolonoskopi)
- Nyeri perut, tegang dan
muntah akibat obstruksi konfluen, granuloma caseosa yang
lumen, teraba benjolan, mengandung basil tahan asam dan
perforasi usus, dikelilingi limfoid cuff.
- Riwayat kontak dengan
TBC
Pemeriksaan penunjang :
- Kultur sputum
-PCR
CT Scan : - Kolonoskopi
- Barium enema
penebalan dinding
- CT scan
sirkumferensial saekum
dan terminal ileum serta
asimetris dari ileosaeka

TB Abdomen Treatment OAT :

H : Isoniazid
R : Rifampisin
Z : Pirazinamid
E : Etambutol

16
2.3.2 Penyebab perdarahan saluran cerna bagian bawah tipe kronik :
1. Hemoroid

A. Defenisi

Hemoroid merupakan pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena


didaerah usus yang berasal dari plexus hemorrhoidalis. Dibawah atau luar linea
dentate, pelebaran vena berada dibawah kulit (subkutan) disebut hemoroid eksterna.
Sedangkan diatas atau didalam linea dentate, pelebaran vena dibawah mukosa
disebut hemoroid interna. Biasanya struktur anal canal masih normal.24

B. Etiologi

Hemoroid timbul karena proses dilatasi, pembengkakan atau inflamasi vena


hemoroidalis yang disebabkan oleh factor-factor pencetus diantaranya mengedan
pada waktu buang air besar yang sulit, pola buang air besar yang salah (lebih banyak
menggunakan jamban duduk, terlalu lama duduk dijamban sambal membaca atau
merokok), peningkatan tekanan intra abdomen (tumor usus, tumor abdomen),
kehamilan, usia tua, konstipasi kronik, diare kronik, hubungan seks peranal, kurang
minum air, kurang makan makanan berserat kurang olahraga/imobilisasi.24

C. Klasifikasi24

Secara klinis, hemoroid interna dibagi atas 4 derajat:

1. Hemoroid interna derajat I. Merupakan hemoroid stadium awal.


Hemoroid hanya berupa benjolan kecil didalam kanalis anal pada saat
vena-vena mengalami distensi ketika defekasi.

2. Hemoroid interna derajat II. Hemoroid berupa benjolan yang lebih


besar, yang tidak hanya menonjol ke dalam kanalis anal, tapi juga turun
kearah lubang anus. Benjolan ini muncul keluar ketika penderita
mengejan, tapi secara spontan masuk kembali kedalam kanalis anal bila
proses defekasi telah selesai.

3. Hemoroid interna derajat III. Benjolan hemoroid tidak dapat masuk


kembali secara spontan. Benjolan baru masuk kembali setelah
dikembalikan dengan tangan ke dalam anus.
17
4. Hemoroid interna derajat IV. Hemoroid yang telah berlangsung sangat
lama dengan bagian yang tertutup kulit cukup luas, sehingga tidak dapat
dikembalikan dengan baik ke dalam kanalis anal.

Hemoroid Interna
Derajat Berdarah Menonjol Reposisi
I (+) (-) (-)
II (+) (+) Spontan
III (+) (+) Manual
IV (+) Tetap Tidak dapat
Tabel 1. Pembagian derajat hemoroid interna

Sedangkan hemoroid eksterna merupakan pelebaran pleksus hemoroidalis


inferior, terletak di sebelah bawah linea dentata, pada bagian yang dilapisi oleh
kulit. Hemoroid eksterna diklasifikasikan sebagai akut dan kronik.

1. Hemoroid eksterna akut. Bentuk akut berupa pembengkakan bulat kebiruan


pada pinggir anus dan sebenarnya merupakan hematoma. Bentuk ini sering
sangat nyeri dan gatal karena ujung-ujung saraf pada kulit merupakan
reseptor nyeri.

2. Hemoroid eksterna kronik. Disebut juga skin tag, berupa satu atau lebih
lipatan kulit anus yang terdiri dari jaringan penyambung dan sedikit
pembuluh darah.

18
D. Algoritma Diagnosis25,

Curiga Hemoroid

• BAB disertai darah


• Rasa nyeri saat BAB
• Lendir
• Tumpukan trombosis yang prolaps

Anoskopi Proktosigmoidoskopi Pemeriksaan Feces


Anamnesis

Diperlukan
• BAB berdarahnya segar atau • Benjolan Pemeriksaan ini perlu dilakukan
untuk
berwarna kehitaman hemoroid akan untuk memastikan bahwa keluhan
mengetahui
menonjol pada bukan disebabkan oleh proses
• Ada konstipasi atau sulit adanya darah
ujung anoskop, radang atau proses keganasan di
samar (occult
buang besar • Dilihat warna tingkat yang lebih tinggi
bleeding).
(rektum/sigmoid), karena hemoroid
• Pasien sering duduk berjam- selaput lendir
yang merah merupakan keadaan fisiologik saja
jam di WC atau tanda yang menyertai
meradang atau
• Ada riwayat diare kronik perdarahan,
• Ada riwayat hubungan seks • banyaknya
benjolan, letaknya
peranal,
dan besarnya
• Kurang minum air, kurang benjolan
makan makanan berserat
kurang olahraga/imobilisasi. Tidak teraba dan juga tidak sakit.
Dapat diraba bila sudah ada
trombus atau sudah ada fibrosis.
Pemeriksaan Fisik Colok dubur : Trombus dan fibrosis pada
perabaan padat dengan dasar yang
lebar
Inspeksi : Terlihat sebagai
benjolan yang
tertutup mukosa
Terlihat
benjolan sudah
mengandung Hemoroid
trombus interna
yang
prolaps
Hemoroid
eksterna

19
E. Algoritma Tatalaksana25
Hemoroid

Non Propalsing Propalsing

Rujuk untuk operasi

Derajat 1 & 2 Derajat 3 Derajat 4

Gelang karet ligasi / injeksi skleroterapi / Gelang karet ligasi / Operasi Hemoroidektomi
serat suplementasi serat suplementasi

Hemoroidektomi Stapler atau ligasi arteri


hemoroid , tergantung pada dokter bedah

Modifikasi gaya hidup seperti :

• Meningkatkan kebersihan anal,


• meningkatkan asupan cairan,
meringank
• Konsumsi makanan yang berserat
tinggi (buah & sayur)
• menghindari mengejan yang
terlalu keras

1. Terapi non bedah


a. Terapi obat-obatan (medikamentosa) / diet

Kebanyakan penderita hemoroid derajat pertama dan derajat kedua dapat


ditolong dengan tindakan lokal sederhana disertai nasehat tentang makan. Makanan
sebaiknya terdiri atas makanan berserat tinggi seperti sayur dan buah-buahan.
Makanan ini membuat gumpalan isi usus besar, namun lunak, sehingga
(5)
mempermudah defekasi dan mengurangi keharusan mengejan berlebihan.
Supositoria dan salep anus diketahui tidak mempunyai efek yang bermakna
kecuali efek anestetik dan astringen. Hemoroid interna yang mengalami prolaps
oleh karena udem umumnya dapat dimasukkan kembali secara perlahan disusul

20
dengan tirah baring dan kompres lokal untuk mengurangi pembengkakan. Rendam
duduk dengan dengan cairan hangat juga dapat meringankan nyeri.

b. Skleroterapi

Skleroterapi adalah penyuntikan larutan kimia yang merangsang, misalnya


5% fenol dalam minyak nabati. Penyuntikan diberikan ke submukosa dalam
jaringan areolar yang longgar di bawah hemoroid interna dengan tujuan
menimbulkan peradangan steril yang kemudian menjadi fibrotik dan meninggalkan
parut. Penyuntikan dilakukan di sebelah atas dari garis mukokutan dengan jarum
yang panjang melalui anoskop. Apabila penyuntikan dilakukan pada tempat yang
tepat maka tidak ada nyeri. Penyulit penyuntikan termasuk infeksi, prostatitis akut
jika masuk dalam prostat, dan reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang
disuntikan.Terapi suntikan bahan sklerotik bersama nasehat tentang makanan
merupakan terapi yang efektif untuk hemoroid interna derajat I dan II, tidak tepat
untuk hemoroid yang lebih parah atau prolaps.25,

c. Ligasi dengan gelang karet

Hemoroid yang besar atau yang mengalami prolaps dapat ditangani dengan
ligasi gelang karet menurut Barron. Dengan bantuan anoskop, mukosa di atas
hemoroid yang menonjol dijepit dan ditarik atau dihisap ke tabung ligator khusus.
Gelang karet didorong dari ligator dan ditempatkan secara rapat di sekeliling
mukosa pleksus hemoroidalis tersebut. Pada satu kali terapi hanya diikat satu
kompleks hemoroid, sedangkan ligasi berikutnya dilakukan dalam jarak waktu 2 –
4 minggu.25

Penyulit utama dari ligasi ini adalah timbulnya nyeri karena terkenanya
garis mukokutan. Untuk menghindari ini maka gelang tersebut ditempatkan cukup
jauh dari garis mukokutan. Nyeri yang hebat dapat pula disebabkan infeksi.
Perdarahan dapat terjadi waktu hemoroid mengalami nekrosis, biasanya setelah 7 –
10 hari.25

21
d. Krioterapi / bedah beku

Hemoroid dapat pula dibekukan dengan suhu yang rendah sekali. Jika
digunakan dengan cermat, dan hanya diberikan ke bagian atas hemoroid pada
sambungan anus rektum, maka krioterapi mencapai hasil yang serupa dengan yang
terlihat pada ligasi dengan gelang karet dan tidak ada nyeri. Dingin diinduksi
melalui sonde dari mesin kecil yang dirancang bagi proses ini. Tindakan ini cepat
dan mudah dilakukan dalam tempat praktek atau klinik. Terapi ini tidak dipakai
secara luas karena mukosa yang nekrotik sukar ditentukan luasnya. Krioterapi ini
lebih cocok untuk terapi paliatif pada karsinoma rektum yang ireponibel25
e. Hemorroidal Arteri Ligation ( HAL )
Pada terapi ini, arteri hemoroidalis diikat sehingga jaringan hemoroid tidak
mendapat aliran darah yang pada akhirnya mengakibatkan jaringan hemoroid
mengempis dan akhirnya nekrosis25

F. Komplikasi

Perdarahan akut pada umumnya jarang , hanya terjadi apabila yang pecah
adalah pembuluh darah besar. Hemoroid dapat membentuk pintasan portal sistemik
pada hipertensi portal, dan apabila hemoroid semacam ini mengalami perdarahan
maka darah dapat sangat banyak. Yang lebih sering terjadi yaitu perdarahan kronis
dan apabila berulang dapat menyebabkan anemia karena jumlah eritrosit yang
diproduksi tidak bisa mengimbangi jumlah yang keluar. Anemia terjadi secara
kronis, sehingga sering tidak menimbulkan keluhan pada penderita walaupun Hb
sangat rendah karena adanya mekanisme adaptasi. Apabila hemoroid keluar, dan
tidak dapat masuk lagi (inkarserata/terjepit) akan mudah terjadi infeksi yang dapat
menyebabkan sepsis dan bisa mengakibatkan kematian.25

22
2. Divertikulosis
A. Defenisi 24
Penyakit diverticulosis merupakan suatu kelainan, dimana terjadi herniasi
mukosa dan submucosa dan hanya dilapisi oleh tunika serosa pada lokasi dinding
kolon yang lemah yaitu tempat dimana vasa rekta menembus dinding kolon.
Herniasi dari mukosa/submucosa san ditutupi oleh lapisan serosa yang tipis
disebut pseudodivertikular atau false diverticular. Apabila semua diding kolon
alami herniasi maka disebut dengan true diverticular dan biasanya bersifat
kongenital.

B.Etiologi26

1. Peningkatan tekanan intralumen


Diet rendah serat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen
kolon sehinga menyebabkan herniasi mukosa melewati lapisan dinding otot kolon
yang menebal dan memendek (sebuah kondisi yang disebut-mychosis). Menurut
Painter dan Burkitt pada tahun 1960, penyebab terjadinya divertikulosis adalah
kurangnya serat dan rendahnya residu dalam makanan yang dikonsumsi sehingga
menyebabkan perubahan milieu interior dalam kolon. Pendapat ini diperkuat oleh
penelitian-penelitian selanjutnya dimana terbukti bahwa kurangnya serat dalam
makanan merupakan faktor utama terjadinya divertikular sehingga disebut sebagai
penyakit defisiensi serat.
Terdapat 2 jenis serat :
- Serat yang larut dalam air, di dalam usus terdapat dalam bentuk yang menyerupai
agar-agar yang lembut.
- Serat yang tidak larut dalam air, melewati usus tanpa mengalami perubahan
bentuk.
Kedua jenis serat tersebut membantu memperlunak feses sehingga mudah
melewati usus. Serat juga mencegah konstipasi. Konsumsi makanan yang berserat
tinggi, terutama serat yang tidak larut (selulosa) yang terkandung dalam biji-bijian,
sayur-sayuran dan buah-buahan akan berpengaruh pada pembentukan tinja yang
padat dan besar sehingga dapat memperpendek waktu transit feses dalam kolon dan
mengurangi tekanan intraluminal yang mencegah timbulnya divertikel.

23
2. Kelemahan otot dinding kolon
Penyebab lain terjadinya divertikulosis adalah terdapat daerah yang lemah
pada dinding otot kolon dimana arteri yang membawa nutrisi menembus
submukkosa dan mukosa. Biasanya pada usia tua karena proses penuaan yang dapat
melemahkan dinding kolon.
D. Faktor Resiko Divertikulosis 26
- Pertambahan Usia
Pada usia lanjut terjadi penurunan tekanan mekanik/ daya regang dinding
kolon sebagai akibat perubahan struktur jaringan kolagen dinding usus.
- Konstipasi
Konstipasi menyebabkan otot-otot menjadi tegang karena tinja yang
terdapat di dalam usus besar. Tekanan yang berlebihan menyebabkan titik-titik
lemah pada usus besar menonjol dan membentuk divertikula.
- Diet rendah serat
Pada mereka yang kurang mengkonsumsi makanan berserat, akan
menyebabkan penurunan massa feses menjadi kecil-kecil dan keras, waktu transit
kolon yang lebih lambat sehingga absorpsi air lebih banyak dan output yang
menurun menyebabkan tekanan dalam kolon meningkat untuk mendorong massa
feses keluar mengakibatkan segmentasi kolon yang berlebihan. Segmentasi kolon
yang berlebihan akibat kontraksi otot sirkuler dinding kolon untuk mendorong isi
lumen dan menahan pasase dari material dalam kolon merupakan salah satu faktor
penyebab terjadinya penyakit divertikular. Pada segmentasi yang meningkat secara
berlebihan terjadi herniasi mukosa/submukosa dan terbentuk divertikel.
- Gangguan jaringan ikat
Gangguan jaringan ikat seperti pada sindrom Marfan dan Ehlers Danlos
dapat menyebabkan kelemahan pada dinding kolon.

24
C. Algoritma Diagnosis27, 28

Curiga Divertikulosis

Anamnesis Pemeriksaan Fisik Barium Enema USG Abdomen

• BAB disertai darah • Nyeri tekan local ringan dan Tampak Dapat ditemukan
sigmoid sering dapat diraba divertikel dengan gambaran
• Ada riwayat konstipasi
sebagai struktur padat. spasme local dan penebalan dinding
• nyeri dangkal dan kram • Demam ringan penebalan kolon dan massa
pada kuadran kiri bawah • Bisa teraba tegang pada dinding yang kistik
kuadran kiri bawah, menyebabkan
dari abdomen
• Dapat teraba massa seperti penyempitan
• demam ringan sosis yang tegang pada lumen
• Malaise sigmoid yang terkena.

D. Algoritma Tatalaksana27, 28

Divertikulosis

• Diet tinggi serat (buah, • Laktulosa 2x15ml/hari.


sayuran, roti gandum) • Antibiotic spectrum
• Tingkatkan asupan luas diberikan selama 7-
cairan
10 hari.
• antispasmodic seperti
propantelin bromide
Jika tidak ada perbaikan dan disertai (Pro-Banthine) dan
dengan tanda komplikasi (Peritonitis, oksifensiklimin
Hematokezia, abses, obstruksi usus) (daricon)

Rujuk ke Sp. PD
dan Sp. B

25
3. Kolitis Ulseratif
A.Definisi29
Kolitis ulseratif adalah penyakit inflamasi mukosa yang membentuk abses
di kripta lieberkuhn dan bergabung menjadi tukak. Daerah antara ulkus tampak
udem dan terjadi poliferasi radang yang mirip dengan polip (pseudopolip). Kolitis
ulseratif adalah salah satu bentuk Inflammatory Bowel disease yang merupakan
suatu kondisi kronis sehingga secara umum membutuhkan perawatan terus –
menerus.
B. Etiologi 29, 30
Penyebab Kolitis ulseratif tidak diketahui. Teori yang paling umum bahwa
Kolitis ulseratif disebabkan oleh beberapa faktor genetik, reaksi sistem imun yang
salah, pengaruh dari lingkungan, penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-
steroid, kurangnya kadar anti oksidan di dalam tubuh, faktor stress, ada atau
tidaknya riwayat merokok dan riwayat mengonsumsi produk susu. Sebagai contoh,
beberapa orang memiliki risiko secara genetik untuk terkena penyakit ini. Bakteri
dan virus dapat memicu sistem imun mereka sehingga mengakibatkan suatu
inflamasi. Karena Kolitis ulseratif lebih sering muncul di negara-negara
berkembang, sangat memungkinkan diet tinggi lemak jenuh dan makanan yang
diawetkan memiliki kontribusi pada penyakit ini.
a. Penyebab genetik
Hipotesis terkini mengatakan bahwa genetik dapat menyebabkan seseorang
memperoleh kelainan pada respon imun humoral dan respon imun yang dimediasi
sel dan/atau respon imun secara umum yang direaktivasi oleh bakteri komensal dan
menyebabkan disregulasi respon imun pada mukosa sehingga mengakibatkan
inflamasi pada kolon. Riwayat adanya Kolitis ulseratif pada keluarga diasosiasikan
dengan seseorang yang memiliki risiko tinggi terkena penyakit ini. Kesesuaian
penyakit ini ditemukan pada anak kembar monozigot. Penelitian genetik telah
mengidentifikasi beberapa lokus, beberapa di antaranya terkait dengan Kolitis
ulseratif dan penyakit Crohn. Baru-baru ini, salah satu lokus yang diidentifikasi
juga dikaitkan dengan kerentanan terhadap karsinoma kolorektal. Kromosom pada
pasien dengan Kolitis ulseratif dianggap kurang stabil. Fenomena ini juga dapat
berkontribusi pada risiko karsinoma yang meningkat.

26
b. Reaksi imun
Reaksi imun yang membahayakan integritas barier epitel usus dapat
menyebabkan Kolitis ulseratif. Autoantibodi serum dan mukosa yang sifatnya
melawan sel epitel usus mungkin terlibat. Adanya antibodi antineutrofil
sitoplasma/antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA) dan anti-
Saccharomyces cerevisiae antibodi (ASCA) adalah ciri-ciri utama dari penyakit
inflamasi usus. Selain itu, abnormalitas yang terjadi pada sistem imun dianggap
sedikit berperan pada rendahnya insiden Kolitis ulseratif pada pasien yang telah
menjalani operasi usus buntu sebelumnya. Pasien-pasien yang telah menjalani
appendektomi memiliki insidens yang rendah untuk terkena Kolitis ulseratif.
c. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan juga berperan. Sebagai contoh, bakteri yang mereduksi
sulfat, memproduksi sulfat, ditemukan pada sejumlah besar pasien dengan Kolitis
10 ulseratif dan produksi sulfat lebih tinggi pada pasien Kolitis ulseratif
dibandingkan pasien-pasien lainnya.
d. Penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid
Penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid lebih tinggi pada pasien
dengan Kolitis ulseratif dibandingkan dengan kontrol dan sepertiga pasien dengan
Kolitis ulseratif eksaserbasi yang dilaporkan baru saja menggunakan obat-obatan
anti inflamasi non-steroid. Penemuan ini dapat menjadi bukti bahwa penggunaan
obat-obatan anti inflamasi non-steroid harus dihindari pada pasien dengan Kolitis
ulseratif.

27
C. Algoritma Diagnosis30, 31

Curiga Kolitis Ulserative

Anamnesis Pemeriksaan Fisik Laboratorium

• Riwayat diare • Demam • Anemia


• Takikardi • Leukositosis
bercampur darah
• Konjungtiva pucat • Peningkatan LED
• BAB disertai lender dan • Trombositosis
(pada pasien dengan
nanah • Leukositosis
anemia)
• Hipoalbuminemia
• Nyeri (kram) abdomen • Nyeri tekan abdomen
• Hipokalemia
pada kuadran kiri
• Mual dan buntah • Peningkatan
bawah
sedimentasi
• Lemas • Nyeri saat colok eritrosit
dubur karena adanya Dan C-reaktif
protein

Radiologi

Foto polos abdomen Barium enema

• Menunjukkan dilatasi • Hilangnya haustra


kolon yang masif yang pada lumen kolon.
disertai dengan kontur • Adanya granula dapat
mukosa yang abnormal • Terdapat gambaran
• Gambaran bintik-bintik pada
pseudopolip mukosa akibat
• Pemendekan usus perlengketan barium
• Haustra pada kolon pada ulser superfisial.
desendens menghilang • Striktur terutama
ditemukan pada kolon
asendens

28
D. Algoritma Tatalaksana32, 33

Kolitis Ulserative

• Diet tinggi serat (buah, • Lini pertama


sayuran, roti gandum) mengandung komponen
• Tingkatkan asupan 5-acetil salicylic acid (5-
cairan Jika gagal
ASA) dan obat
kortikosteroid (baik
Lini kedua yang pada umumnya bersifat sistemik maupun topikal)
imunosupresif (seperti 6-
merkaptopurin, azatriopin, siklosporin
dan metotreksat), anti-TNF (infliximab)

Intervensi pembedahan dilakukan


apabila dilatasi kolon akut/ megatoksik
kolon, perdarahan masif, ileus karena
stenosistoksik kolon

E. Prognosis 34

Prognosis yang buruk ditandai dengan takikardia, demam tinggi, dan


penurunan peristaltik usus, serta adanya hipoalbuminemia. Kolitis ulseratif
merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Risiko kematian
meningkat pada pasien-pasien usia tua, dan pada pasien yang disertai komplikasi
(misalnya: syok, malnutrisi, anemia). Kasus-kasus yang berat dan kronik dapat
menjadi lesi prakanker. Penyebab kematian yang tersering pada Kolitis ulseratif
adalah megakolon toksik.

F. Komplikasi34
Penyulit dapat ditemukan pada anus dan kolon; pada anus dapat terjadi
fisura, abses perianal, dan fistel perianal, sementara pada kolon dapat terjadi
perforasi terutama di sigmoid dan kolon decendens. Komplikasi lain berupa dilatasi
kolon toksisk yang biasanya meyebab perforasi fatal.

29
Dilatasi kolon akut atau megakolon toksik yang disebabkan oleh
progresivitas penyakit di dinding, dapat dicetuskan oleh pemberian sediaan opioat
atau pemeriksaan rotgen barium. Penderita tampak sakit berat, disertai dengan
takikardi dan syok toksisk. Diagnosis dapat dibuat melalui foto polos abdomen.
Gambaran klinis megakolon toksisk juga dapat ditemukan pada morbus Crohn,
demam tifoid dan amubiasis. Pendarahan berat biasanya mengancam nyawa namun
jarang terjadi. Striktur kolon dapat ditemukan pada pemyakiy kronok yang
menimbulkan nekrosis, polip atau karsinoma. Diperkirakan risiko terjadinya
karsinoma pada IBD lebih kurang 13%. Karsinoma adalah penyulit lambat yang
ditemukan pada 25% penderita setelah 20 tahun dan oada 30-40% setelah 30 tahun.
Karsinoma sering timbul multisentrik, dan dapat ditemukan dysplasia epitel
mukosa pada pemeriksaan biopsi, harus dipertimbangkan untuk melakukan
kolektomi total.

4. Crohn’s Disease
A. Definisi
Suatu penyakit inflamasi kronis dan berulang pada saluran cerna dengan
etiologi yang tidak diketahui.Crohn’s disease dapat melibatkan setiap bagian dari
saluran cerna mulai dari mulut hingga anus tetapi paling sering menyerang usus
halus, yakni ileum sehingga sering juga disebut sebagai ileitis atau enteritis.
Peradangan dapat meluas dan melibatkan semua lapisan dinding usus mulai dari
mukosa sampai serosa.40
B. Etiologi
Penyebab pasti dari penyakit crohn belum sepenuhnya dapat dipahami, diduga
hal ini melibatkan interaksi antara genetik, sistem imun dan faktor lingkungan.1,9,10
Sistem imun akan memberikan respon pada antigen seperti bakteri, virus, jamur dan
mikroorganisme lainnya. Namun, pada orang dengan penyakit crohn, sistem imun
memberikan respon yang tidak sesuai pada saluran usus, sehingga mengakibatkan
peradangan.40
Reaksi sistem imun yang tidak normal terjadi pada orang yang telah mewarisi
gen yang membuat mereka rentan terhadap penyakit crohn. faktor lingkungan berfungsi
sebagai "pemicu" yang memulai respon imun berbahaya dalam usus. Risiko faktor
lingkungan meningkatkan gambaran penyakit crohn hingga 40 kali pada indivu dengan

30
regulasi sistem imun yang abnormal. Faktor lingkungan juga mencakup gaya hidup
seperti merokok; konsumsi makanan olahan; diet tinggi lemak serta; penggunaan obat-
obatan tertentu (termasuk kontrasepsi hormonal dan obat golongan NSAID). Selain itu,
faktor endokrin dan psikologis juga mungkin secara bersamaan dapat menyebabkan
terjadinya penyakit crohn40
C. Algoritma Diagnosis40

Curiga Crohn Disease

Anamnesis Pemeriksaan Fisik Laboratorium

• Riwayat diare • Demam • Anemia


• Konjungtiva anemis • Leukositosis
bercampur darah
• Nyeri tekan pada • Peningkatan LED
• Demam
abdomen bagian
• Lemas kanan bawah
• Nyeri abdomen
• Diare
• Penuruan BB

Radiologi

Foto polos abdomen Barium enema

• Apakah ada obstruksi • Terdapat ulkus aptosa yang ditandai


usus dengan bintik-bintik barisum yang
• Untuk evaluasi apakah dikelilingi oleh edema radiolusen.
terdapat • Terdapat gambaran “Cobblestone”
pneumoperitoneum atau noduler yaitu pengisian kontras
atau tidak pada lekukan ulkus yang terlihat
• Apakah terdapat batu radiopaque
ginjal oksalat atau • Terdapat gambaran “String sign”
tidak yang terjadi akibta inflamasi
transmular yang mengakibatkan
31
penegecilan diameter lumen usus
D. Algoritma Tatalaksana41

Crohns Disease

• Diet tinggi serat (buah, • Aminosalicylates


sayuran, roti gandum)
• Tingkatkan asupan (sulfasalazine,
cairan Jika gagal balsalazide, mesalamine
, dan olsalazine
Pembedahan : Indikasi terapi bedah
• Kortikosteroid
pada Crohn’s disease mencakup
kegagalan terapi medikamentosa (prednisone,
dan/atau timbulnya komplikasi, seperti prednisolone,
obstruksi saluran cerna, perforasi usus
danbudesonide)
dengan pembentukan fistula atau abses,
perforasi bebas, perdarahan saluran • Imunomodulator
cerna, komplikasi-komplikasi urologis, (azathioprine, 6-
kanker, dan penyakit-penyakit perianal
mercaptopurine (6-MP),
dan methotrexate. )
• Antibiotik
(ciprofloxacin dan
metronidazole)

32
5. Polip Kolon
A.Definisi
Polip merupakan neoplasma yang berasal dari permukaan mukosa dan
meluas ke arah luar. Istilah polip kolon dalam klinik dipakai untuk menggambarkan
tiap kelainan yang jelas (any circumscribed lesion), yang menonjol di atas
permukaan mukosa yang mengelilinginya. Betuk, besar, dan bentuk permukaan
polip dapat berbeda-beda.35
B. Klasifikasi35
Polip pada usus besar dibagi atas polip non-epitelial dan polip epitelial.
Polip non-epitelial berasal dari jaringan limfoid, otot halus, lemak, dan saraf.
Misalnya polip limfoid, yang sessile dan submukosa, terdapat pada bagian distal
rektum dan tidak ganas. Polip limfoid ini terjadi karena peradangan lokal. Polip
epitelial lebih sering terjadi. Dapat dibagi atas 4 golongan :
1. Adenoma atau golongan neoplastik. Jenis ini sangat berpotensi
menjadi ganas. Terdapat 3 jenis adenoma yakni :
a) Adenoma tubular, b) Adenoma villosa, c) Adenoma tubulo-villosa.
Adenoma tubular yang khas ialah kecil, sferis dan bertangkai dengan
permukaan yang licin. Adenoma villosa biasanya besar dan sessil
dengan permukaan yang tidak licin. Sedangkan adenoma tubulo-
villosa adalah campuran kedua jenis adenoma. Hampir semua
karsinoma kolon timbul dari adenoma. Proses ini dinamakan
adenoma-carsinoma sequence. Menurut penelitian tentang adenoma,
perubahan ke arah ganas lebih mungkin bila adenoma berukuran lebih
besar, berupa adenoma villosa, atau dysplasia epitel berat. Poliposis
kolon merupakan suatu polip adenomatosa tetapi penyakit ini di
Indonesia jarang ditemukan dan diturunkan menurut hokum Mendel.
Bila salah satu orang tua menderita poliposis kira-kira 50% dari
keturunannya akan terkena penyakit ini, Sebelum polip mulai nampak,
daerah-daerah dengan proliferasi atipik sudah dapat ditemukan pada
biopsi mukosa rektum. Proliferasi atipik ini kemudian tumbuh
menjadi polip adenomatosa. Biasanya terdapat ratusan hingga ribuan
polip pada poliposis familial. Perdarahan, banyak lendir, dan tenesmus

33
menunjukkan adanya transformasi keganasan. Juvenil polyposis
syndrome yaitu keadaan terdapatnya polip pada lambung, dan jarang
pada ileum dan kolon. Makroskopis kelihatan sebagai polip kecil
sampai 2cm, bundar dengan permukaan licin dan merah terang. Polip
pada sindrom Peutz-Jegher sebagian besar terdapat pada usus kecil
akan tetapi, 15%, polip terdapat pula pada kolon. Polip tersebut sessile
atau bertangkai, permukaan kasar dan lobulated, tidak menjadi ganas.
2. Hamartoma. Hamartoma merupakan suatu malformasi, terdiri atas
suatu campuran jaringan yang secara normal terdapat di bagian badan
tersebut. Pada usus besar ada 2 macam hamartoma yang dikenal, tetapi
jarang terjadi, yakni : a) polip juvenile (Juvenile polyp), b) polip pada
Syndrome Peutz-Jeghers. Polip juvenile biasanya terjadi pada anak-
anak, meskipun tak selalu demikian. Sebagian besar timbul di rektum
bagian distal sampai 5 cm dari rektum, biasanya hanya satu atau
sedikit jumlahnya. Polip karena peradangan (inflammatory polyps).
Inflamatory polyps, terdapat pada peradangan kronik seperti penyakit
Chron, colitis ulseratif, disentri basilaris, amebiasis, dan
skistosomiasis. Walaupun keliatannya bertangkai tetapi sukar
dibedakan antara tangkai dan kepala.
3. Polip hiperplastik (hyperplastic polyp). Inflamatory polyps, terdapat
pada peradangan kronik seperti penyakit Chron, colitis ulseratif,
disentri basilaris, amebiasis, dan skistosomiasis. Walaupun
keliatannya bertangkai tetapi sukar dibedakan antara tangkai dan
kepala.
4.
Polip hiperplasi atau metaplastik. Biasanya multiple dan sessile,
timbul pada usia lebih dari 40 tahun. Dapat ditemukan disemua bagian
usus besar, tetapi lebih sering di rectum. Biasanya lebih kecil dari
0,5cm dan warnanya sama dengan mukosa sekitar atau lebih pucat.1

34
C. Algoritma Diagnosis35, 36

Curiga Polip Kolorektal

Anamnesis Pemeriksaan Fisik Double-contrast barium enema


(DCBE)
• Riwayat BAB • Demam • Meniscus sign (batas dalam yang

bercampur darah • Konjungtiva pucat tegas yang menunjukkan dasar dari


(pada pasien dengan polip; sementara itu batas luarnya
• Diare bercampur Mukus
anemia) kurang tegas di mana hal tersebut
• Nyeri (kram) abdomen • Nyeri saat colok menunjukkan area mukosa yang

• Lemas dubur normal )


• Bila dilihat secara tangensial atau
miring, maka akan terlihat seperti
topi bowler karena meniscus di dasar
dan barium menutupi permukaan
polip yang terlihat.
• Polip mengarah pada keganasan jika
permukaan polip terlihat irregular
dan berlobus, dasarnya lebih lebar
dari tingginya, dan jika dasar tersebut
nampak retraksi. Pasien dengan
familial adenomatous polyps
biasanya memiliki lebih dari 100
sessile adenoma berukuran 1-5 mm
dan terdapat di seluruh usus besar.

35
D. Algoritma Tatalaksana37
Polip Kolorektal

Poliposis Familial Adenoma pedunkulata adenoma vilosa

proktokolektomi total dan Dapat dieksisi dari Laparotomi dan


ileostomi permanen atau reseksi bawah melalui reseksi segmental.
subtotal dengan ileorektal sigmoidoskopi atau
anastomosis. kolonoskopi.

E. Prognosis 38
Prognosis bergantung pada jenis polip yang ditemukan :
1. Hamartoma usus : polip hamartoma non familial tidak berhubungan
dengan peningkatan risiko karsinoma.

2. Polip hiperplastik : tidak menyebabkan peningkatan risiko kanker.

3. Polip retensi juvenilis : tidak dihubungkan dengan peningkatan risiko


karsinoma.

4. Poliposis kolon familial : karsinoma kolon terjadi pada 100% kasus.


Kolektomi total untuk mencegah kanker merupakan indikasi absolut.

5. Sindrom Turcot : mempunyai risiko karsinoma kolon pada usia muda.

6. Sindrom Peutz-Jeghers : terdapat sedikit peningkatan risiko karsinoma


kolon.

7. Sindrom poliposis juvenilis : terdapat sedikit peningkatan karsinoma


kolon.

36
2.4. Karakteristik Klinik Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah
1. Hematokezia
Hematokezia ditandai dengan keluarnya darah segar dari anus dan
merupakan manifestasi tersering perdarahan saluran cerna bagian bawah.
Hematokezia umumnya menunjukkan terjadi perdarahan pada kolon sebelah
kiri, namun dapat juga berasal dari saluran cerna bagian atas, usus halus, dan
transit darah yang cepat.3
2. Melena
Melena didefinisikan dengan feses yang berwarna hitam dan berbau khas.
Melena timbul apabila hemoglobin dikonversi menjadi hematin atau
hemokrom lainnya oleh bakteri setelah 14 jam. Umumnya melena
menunjukkan terjadi perdarahan saluran cerna bagian atas atau usus halus,
namun juga dapat berasal dari kolon bagian kanan karena adanya perlambatan
motilitas. Perlu diketahui tidak semua feses yang berwarna hitam merupakan
melena, karena bismuth, sarcol. Lycorice, dan obat0obatan yang mengandung
besi dapat menyebabkan feses menjadi hitam. Oleh karena itu perlu dilakukan
tes Guaiac untuk menentukan adanya hemoglobin.3
3. Darah samar
Darah samar timbul apabila perdarahan yang timbul adalah perdarahan
ringan yang tidak sampai menimbulkan terjadi perubahan warna feses.
Perdarahan jenis ini dapat dikonfirmasi dengan tes Guaiac.3

37
2.5 Pendekatan Dignosis Hematokezia42

Pasien dengan Hematokezia

Step 1 : Hemodinamik tidak stabil ?

No Yes

Step 2 : Tentukan jenis perdarahan DDx : Varices, ulkus peptikum,


Aortoenterik fistula

Outlet Bleeding Moderate Volume Large Volume Management : Resusitasi cairan dan
lakukan Esofagogastroduodenale
Step 4 : Colok dubur Step 3 : Nyeri abdomen
Normal EGD ?

DDx : Hemoroid No Yes


eksternal, tumor Colonoscopy
rektal DDx :
b. Diverticulosis,
Saran :
Kolorectal Polyps,
pertimbangkan
hemoroid interna, DDx : Colitis, Crohns
Anoscopy
Colorectal Cancer Disease

Saran : persiapan Saran : Colonoscopy,


Colonoscopy CT Scan

EGD, Colonoscopy Normal ?

Step 5 : Pertimbangkan Obscure GI


bleeding

DDx : Usia < 20= Meckel diverticulum, Crohn Disease

Usia 20-60 = Small bowel tumor, Crohn Disease

Usia > 60 = Small bowel tumor

Saran : Capsule endoskopi or triple-phase CT enteroghraphy

38
2.6 Management Tatalaksana Hematokezia43

• Penilaian klinis dan Resusitasi


• Pemeriksaan fisik termasuk colok dubur
• Pemeriksaan Tanda-tanda vital Tekanan Darah,
Frekuensi nadi, dan pemeriksaan darah

Perhitungan Shock Index (Si) = Tekanan darah/tekanan darah sistolik

SI>1 “perdarahan GI tidak stabil” SI<1 “perdarahan GI stabil”


Atau suspek perdarahan aktif

Hasil perhitungan score risiko


CT Angiografi Negative

Positive Mayor Minor


Positive
Treatment lesi dengan interventional radiology (IR)
Endoskopi , EGD Observasi
dengaendoskopidengendoskopiendoskopiEndoskopi
Gagal : Jika ada klinis persiapan operasi
Sukses : Pada pasien
Pertimbangkan upper Gi bleeding
dengan IR maka
operasi
dilakukan rawat inap
untuk dilakukan Obati lesi jika Endoskopi
endoskopi ditemukan menunjukkan
Normal LGI
YES NO

Pertimbangkan Pulang Pemeriksaan lebih


sambal rawat jalan lanjut : CT Angiography

Semua pasien dengan LGIB harus dilakukan pengamatan, riwayat lengkap


dan pemeriksaan, termasuk pemeriksaan radiologi, serta pemeriksaan laboratorium
darah. Shock indeks dihitung dengan membagi detak jantung dengan tekanan darah
sistolik, hal ini dapat menjadi perdarahan aktif. Shock indeks ≥1 digunakan untuk
memprediksi ekstravasasi kontras pada angiografi dan menandakan suatu
perdarahan aktif. Shock indeks hanya memberikan gambaran ketidakstabilan
hemodinamik. Pada pasien yang menerima β bloker, seharusnya shock indeksnya
ditafsirkan dengan hati-hati. Seorang pasien dengan shock indeks > 1 maka
diklasifikasikan sebagai LGIB yang tidak stabil. Langkah manajemen selanjutnya
adalah melakukan CT Angiogrphy. Jika hasil CTA ditemukan ekstravasasi kontras,

39
maka selanjutnya cari sumber perdarahan kemudian tatalaksana dengan embolisasi
atau terapi endoskopi. Jika seorang pasien memiliki shock indeks <1, mereka
cenderung memiliki perdarahan aktif, dan dapat digolongkan sebagai LGIB 'stabil'.

Penilaian Resiko
Skor Oakland adalah alat penilaian risiko yang diturunkan\ dari audit
nasional LGIB dan dapat digunakan untuk mengklasifikasikan perdarahan stabil
sebagai mayor atau minor. Ini adalah skor pertama yang secara khusus dirancang
untuk LGIB dan divalidasi secara eksternal. Terdiri dari tujuh variabel yang secara
rutin diukur selama penilaian klinis awal: usia, jenis kelamin, masuk rumah sakit
sebelumnya dengan LGIB, temuan pada colok dubur, detak jantung, tekanan darah
sistolik dan hemoglobin (Hb). Skor dihitung dengan menjumlahkan komponen
individu. Pasien dengan skor ≤8 poin memiliki kemungkinan 95% untuk pulang
dari IGD dengan selamat dan diklasifikasikan sebagai perdarahan minor, pasien
yang memiliki skor <8 dan tidak memiliki indikasi medis untuk dirawat inap bisa
langsung dipulangkan dari IGD dan di observasi melaui rawat jalan. Pemulangan
yang aman untuk pasien yaitu tidak adanya semua hal berikut: rebleeding, Transfusi
sel darah merah, intervensi terapeutik untuk mengendalikan perdarahan
(didefinisikan sebagai kebutuhan untuk hemostasis endoskopi, radiologis atau
bedah), kematian di rumah sakit (semua penyebab) dan perlu masuk lagi jika dalam
28 hari ada perdarahan lagi. Seorang pasien yang mendapat skor >8 poin
diklasifikasikan sebagai pendarahan mayor, dan kemungkinan untuk mendapat
perawatan di rumah sakit.

40
Tabel Score Oakland

41
Perdarahan saluran cerna bawah

• Periksa tanda-tanda vital


• Resusitasi
• Tes darah, golongan darah dan
crossmatch
• Pasang dua buah jalur vena
• Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Pertimbangkan pemasangan NGT

Kehilangan cairan atau Tanda kehilangan cairan berkurang,


Perdarahan perdarahan aktif berkurang
hemodinamik tidak stabil
aktif
berkurang

Invus NaCl Endoskopi elektif

Packed red blood cells and


Lokasi perdarahan
factors as needed
tidak teridentifikasi

Kemungkinan Endoskopi Upper GI,


perdarahan di Perdarahan
OMD Follow through
Upper GI aktif lower GI
Enteroskopi, Capsule
endoskopi

Endoskopi Kolonoskopi segera


Upper GI atau scintigrfy
segera eritrosit plus
Normal angiograf
Perdarahan berulang :
Perlu suplementasi besi
Lokasi perdarahan
ditemukan Perdarahan cukup
banyak : Perlu transfuse,
Kauterisasi elektrik,Injeksi pertimbangkan operasi
Tidak berhasil atau lokasi
zak skleratik, Hemoclips,
berdarahan tidak terlihat
Angiografi, Embolisasi

Bedah

42
2.8. Komplikasi
Seperti halnya pada perdarahan saluran cerna bagian atas, perdarahan
saluran cerna bagian bawah yang masif dapat menimbulkan sequel yang nyata.
Perdarahan saluran cerna bagian bawah berulang atau kronik dapat menyebabkan
kebutuhan transfusi yang lebih sering. Perdarahan yang persisten biasanya berasal
dari usus halus dan tidak dapat dijangkau dengan tindakan endoskopi, hanya dapat
dilakukan diagnosis saja.3

43
BAB III
KESIMPULAN

Hematokezia didefinisikan dengan perdarahan yang berasal dari usus


bagian bawah dari ligamentum Treitz. Hematokezia merupakan manifestasi
tersering yang timbul pada perdarahan saluran cerna bagian bawah. Sekitar 11%
pasien dengan hamtokezia berasal dari perdarahan saluran cerna bagian atas dan
9% dari usus halus. Pendektanan klinis perdarahan saluran cerna bagian bawah
dapat dilakukan dengan menggali anamnesis yang rinci dan melakukan
pemeriksaan fisik dengan tepat. Selain itu juge perlu dilakulakukan pemeriksaan
penunjang untuk mendiagnosis dengan pasti dan untuk mengetahui sumber lokasi
perdarahan.3

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Gunjan D, Sharma V, Rana SS, Bhasin DK. Small bowel bleeding: a


comprehensive review. Gastroenterol Rep (Oxf) 2014; 2: 262-275 [PMID:
24874805 DOI: 10.1093/gastro/gou025]
2. Edelman DA, Sugawa C. Lower gastrointestinal bleeding: a review. Surg
Endosc 2007;21:514-20
3. Abdullah M. Perdarahan saluran cerna bagian bawah (hematokezia) dan
perdarahan samar (occult). Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setisti S. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi VI, 2014. Indonesia; Balai
Penerbit FKUI. Hal.1881-5
4. Wandono,Hadi. Acta Med Indonesia Vol 39 .October - December 2007
5. Regula J, Wronska E, Pachlewski J. Vascular lesions of the gastrointestinal
tract. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2008. 22(2):313-28. [Medline].
6. Uhm MS, Kim N, Nah JC, et al. Congenital angiodysplasia in a woman
presenting with idiopathic jejunal varicosis on angiography. Gut Liver. 2009
Jun. 3(2):122-6. [Medline]. [Full Text].

7. Kovacs M, Pak P, Pak G, Feheer J, Huttl K. [Multiple angiodysplasias


diagnosed by capsule endoscopy] [Hungarian]. Orv Hetil. 2007 Dec 23.
148(51):2435-40. [Medline].
8. Jarbandhan S, van der Veer WM, Mulder CJ. Double-balloon endoscopy in
the diagnosis and treatment of hemorrhage from retrovalvular
angiodysplasias. J Gastrointestin Liver Dis. 2008 Sep. 17(3):333-4.
[Medline]. [Full Text].
9. Monkemuller K, Fry LC, Neumann H, Rickes S, Malfertheiner P.
[Diagnostic and therapeutic utility of double balloon endoscopy: experience
with 225 procedures] [Spanish]. Acta Gastroenterol Latinoam. 2007 Dec.
37(4):216-23. [Medline].
10. Society AC. Colorectal Cancer Facts & Figures 2014-2016. Color Cancer
Facts Fig 2014; 1–32
11. Chen K, Qiu JL, Zhang Y, et al. Meta analysis of risk factors for colorectal
cancer. World J Gastroenterol 2003; 9: 1598– 1600.
45
12. Johnson CM, Wei C, Ensor JE, et al. Meta-analyses of colorectal cancer risk
factors. 2014; 24: 1207–1222.
13. Levin B, Lieberman D, McFarland B, et al. Screening and surveillance for
the early detection of colorectal cancer and adenomatous polyps: a joint
guideline from the American Cancer Society, the US Multi-Society Task
Force on Colorectal Cancer, and the American College of Radiology. CA
Cancer J Clin 2008; 58: 130–60.
14. Glimelius B, Tiret E, Cervantes A, Arnold D. Rectal Cancer: ESMO clinical
practice guidelines for diagnosis, treatment and follow-up. Ann Oncol.
2013;24(Suppl. 6):v81-v88
15. Labianca R, Nordlinger B, Beretta GD, Brouquet A, Cervantes A. Primary
colon cancer: ESMO clinical practice guidelines for diagnosis, adjuvant
treatment and follow-up. Ann Oncol. 2010
16. WHO. Tuberculosis control in the south east asia region: annual report 2016
[Internet]. Geneva: World Health Organization; 2016 [cited 2016 Apr
13].p.1-219. Available from: http://www.searo. who.int/tb/annual-tb-
report-2016.pdf?ua=1
17. TB/CTA, CDC, ATS, KNCV, The Union, WHO. International standards for
tuberculosis care (ISTC) [Internet]. Geneva: World Health
Organization;2006 [cited 2016 Feb 13]. p.1-60. Available from:
http://www.who.int/tb/publications/ISTC_3rdEd.pdf
18. Rathi P, Gambhire P. Abdominal Tuberculosis. J Assoc Physicians India.
2016;64(2):38-47.
19. Yusuf AI, Syam AF, Simadibrata M, Fauzi A. Multiple Lessions of The
Colon and Ileocaecal Valve in Collitis Tuberculosis Patient with Positive
Bacili Examination in the Stool. The Indones J Gastroenterol Hepatol Dig
Endosc. 2009;10(1):33-7
20. Larsson G, Shenov T, Ramasubramanian R, Kondarappassery LB,
Smastuen MC, et al. Routine Diagnosis of Intestinal Tuberculosis and
Chron’s Disease in Southern India. World J Gastroenterol.
2014;20(17):5017-24.

46
21. Pulimood A, Amarapurkar DN, Ghoshal U, Philip M, Pai CG, Real DN, et
al. Differentiation of Penyakit Crohn’sFrom Intestinal Tuberculosis in India
in 2010. World J Gastroenterol. 2011;17(3):433-43.
22. Kusnanto P, Simadibrata M, Syam AF, Fauzi A, Abdullah M, Makmun D,
Manan C, Daldiyono, Rani AR, Krisnuhoni E. A 17 Year Man with Collitis
Tuberculosis and Fistula Perianal. Indones J Gastroenterol Hepatol Dig
Endosc. 2008;9(3):103-6
23. Michalopoulos A, Papadopoulos VN, Panidis S, Papavramidis TS, Chiotis
A , Basdanis G. Cecal Obstruction Due to Primary Intestinal Tuberculosis:
A Case Series. J Med Case Rep. 2011;128:1-5.
24. Sudoyo AW, setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
edisi V. Jakarta : Interna
25. Anonim, 2004, Hemorhoid, http://www.hemorjoid.net/hemoroid
galery.html. Last update Desember2009. Sjamsuhidajat, Wim de Jong.
Hemoroid, 2004 Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed.2, Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal: 672 – 675
26. Jackson, W. Frank. Diverticulosis and Diverticulitis. 2011.[cited on
October 12th 2012]. Available from
:http://www.gicare.com/disease/diverticulosis.html
27. Anonim. Diverticulosis. 2011. [cited on October 12th 2012]. Available from
: http://www.medicastore.com/penyakit/489/diverticulosis.html
28. 12. Bontemp Emst, Pardoll P.M. et all. Diverticular Disease of the Colon.
2011. [cited on October 12th 2012]. Available from :
http://www.acg.gi.org/patients/ gihealth/diverticular/asp
29. Jong D, editor. Buku ajar ilmu bedah edisi 3. Jakarta: ECG, 2016.
30. Ehrlich SD. Ulcerative colitis. Available in University of Maryland
Medical Centre. (www.umm.edu), Update November 12, 2010. Diakses
tanggal 22 Februari 2016
31. Hanauer SB. Inflammatory bowel diseases. In: Dale DC, Federman DD,
editors. ACP medicine 3rd edition. USA: WebMD Inc.; 2007.
32. Anand MKN. Gastrointestinal tuberculosis imaging . Available in
Medscape Reference, Drug,Disease and Procedures

47
(www.emedicine.medscape.com), Update Juni 7, 2011. Diakses tanggal 26
Februari 2016.
33. 19. Djojoningrat, Dharmika. Inflammatory Bowel Disease : Alur Diagnosis
dan Pengobatannya di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1
Edisi ke-IV. Hal. 384-388. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
34. Roggeveen MJ, Tismenetsky M, Shapiro R. Best cases from the AFIP:
ulcerative colitis. RadioGraphics 2006; 26, 3: 947-51.

35. Aru W. S., Bambang S., Idrus A., Marcellius S. K., Siti S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam PAPDI jilid 1. Jakarta : Interna Publishing; 2010. hlm 557-
9.

36. Ali N. K., Eugene C.L. Imaging in colon polyposis syndromes. Medscape
Reference (update 2011, Juni 28). Available from
http://emedicine.medscape.com/article/372273-overview#a19. Accessed
November 22, 2012.

37. Sylvia A. P., Lorraine M. W. Patofisiologi volume 1. Los Angeles; 1994.


hlm 563-6.

38. Stanlay L. Robbins, Vinay Kumar. Buku ajar patologi. Jakarta : EGC; 2007.
hlm 565-6

39. Thomas G, Cotter MD, dkk. Approach to the patient with hemtochezia.
Departemen of Internal Medicine and Division of Gastroenterology, Dubli
Ireland. 2017
40. Crohn’s & Colitis Foundation of America. 2012. The Facts about
Inflammatory Bowel Diseases. New York : CCFA. Available from :
www.ccfa.org (Accessed 8 september 2016)
41. Knipe, Henry, A. Prof Frank Gallard et al. 2015. Crohn’s Disease.
Available from : http://radiopaedia.org/articles/crohn-diseases-1 (Accessed
6 september 2016)

48
42. Thomas G, et all. Approach to the Patient With Hematochezia: Mayo
Foundation for Medical Education and Research. 2017
43. Oakland G, Et all. Diagnosis and management of acute lower
gastrointestinal bleeding: guidelines from the British Society of
Gastroenterology. Gut 2019;68:776–789.

49

Anda mungkin juga menyukai