Disusun oleh :
Abdul Rahman 41181396100018
Pembimbing :
dr. Annela Manurung, SpPD, FINASIM
Puji syukur kepada Tuhan atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
diberikan kekuatan dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
referat ini yang berjudul “Pendekatan Diagnostik Hematokezia” dengan lancar. Dan
sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad
SAW yang telah membimbing umat islam hingga akhir zaman.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini,
terutama kepada:
2. Seluruh dokter dan staf pengajar di SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Lower gastrointestinal bleeding (LGIB) didefinisikan sebagai perdarahan dari lesi
distal ke ligamentum Treitz, termasuk usus kecil dan besar. Dalam dekade terakhir,
ketersediaan diagnostik canggih terbaru seperti capsule endoscopy and balloon-assisted
enteroscopy telah mengarah ke pemahaman yang lebih baik tentang etiologi perdarahan
usus kecil.1
Hematokezia (perdarahan merah segar) biasanya menandakan sumber berasal dari
kolon, namun perdarahan dari saluran cerna bagian atas juga banyak yang dapat
menimbulkan hematokezia atau feses warna marun. Dalam dekade terakhir pasien dengan
perdarahan saluran cerna meningkat dengan signifikan. Mortalitas akibat perdarahan
saluran cerna bagian atas sekitar 3,5 – 7% dan saluran cerna bagian bawah sekitar 3,6%.2,3
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi dimana saja pada traktus digestivus dari mulut
sampai dengan anus. Darah dapat terlihat pada tinja atau muntahan atau dapat saja berupa
perdarahan tersembunyi yang hanya dapat dilihat dengan pemeriksaan laboratorium.
Perdarahan saluran cerna bagian bawah sebagian besar terjadi pada usia tua. Dahulu,
kematian yang disebabkan oleh perdarahan saluran cerna bagian bawah yang akut sangat
tinggi. Hal ini terutama disebabkan oleh kesulitan untuk menemukan sumber pendarahan.
Namun, seiring dengan kemajuan dan pembangunan di bidang teknologi medis, khususnya
kolonoskopi dan angiografi, telah menurunkan angka kematian yang disebabkan oleh
perdarahan saluran cerna bagian bawah sebesar 5-10% selama dekade terakhir. Hal ini
sebagian besar disebabkan oleh peningkatan kemampuan dalam mencari sumber
pendarahan, dalam resusitasi dan juga perawatan medis yang lebih baik.4
Tujuan makalah ini yaitu akan menjelaskan mengenai pendekatan diagnostik pada
kusus hematokezia karena manifestasi yang dapat terjadi yaitu sampai mengancam jiwa
sehingga diperlukan penegakkan diagnostik dengan baik dan tepat terutama di layanan
primer sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama di masyarakat.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Hematokezia diartikan sebagai perdarahan saluran cerna bagian bawah yang ditandai
dengan darah segar atau berwarna merah maroon yang keluar melalui anus.2
2.2 Epidemiologi
Insidens perdarahan saluran cerna bagian bawah sekitar 20-30 per 100.000 penduduk
dan akan meningkat seir ing bertambahnya usia. Sekitar 80% dari kasus perdarahan saluran
cerna bagian bawah akan berhenti dengan sendirinya dan tidak berpengaruh pada tekanan
darah. pada hematokezia yang berhenti sendiri memiliki risiko berulang terjadinya
perdarahan sebesar 25%. Hanya 15% pasien dengan perdarahan berat yang akan berdampak
pada terjadinya penurunan tekanan darah.
Data dari Pusat Pelayanan Endoskopi Gastroenterologi Departemen Penyakit Dalam
RSCM menunjukkan terdapat 442 pasien memiliki indikasi hematokezia berdasarkan
temuan endoskopi saluran cerna bagian bawah pada tahun 2000-2001.3 Dalam dekade
terakhir pasien dengan perdarahan saluran cerna meningkat dengan signifikan. Mortalitas
akibat perdarahan saluran cerna bagian atas sekitar 3,5 – 7% dan saluran cerna bagian bawah
sekitar 3,6%.3
2.3. Etiologi
2.3.1 Penyebab perdarahan saluran cerna bagian bawah tipe akut :
1. Angiodysplasia
A. Definisi
2
Penyebab terjadinya angiodydplasia tidak diketahui pasti. Namun beberapa
penelitian yang tidak konsisten mengatakan bahwa penyebabnya bisa disebabkan
oleh gagal ginjal kronik on hemodialisis. Hal ini berhubungan dengan koagulopati
secara kuantitatif maupun kualitatif, lebih banyak terjadi pada gagal ginjal kronik
yang membuat defek pada platelet dan fungsi abnormal serta struktur dari von
Willebrand factor. Faktor usia lansia juga dapat memengaruhi terjadinya
angiodysplasia karena perubahan struktur pembuluh darah akibat penyakit
degenerative. 8
B. Manifestasi klinis
Pada Anamnesis pasien datang dengan keluhan hematemesis atau hematoskezia,
melena, lemas dan pucat. Tidak ada gejala dan tanda spesifik pada angiodysplasia
karena biasanya asimptomatik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan Hemodinamik
tidak stabil jika terjadi perdarahan masif seperti takikardi, hipotensi, frekuensi nafas
meningkat, konjungtiva pucat, kulit pucat8
C. Diagnosis
Tes laboratorium berikut digunakan dalam evaluasi pasien dengan dugaan
angiodysplasia dari usus besar:
• Darah perifer lengkap (DPL) : anemia ditemukan pada 10% pasien dengan
perdarahan angiodysplasia.
• jumlah serum besi: defisiensi zat besi ditemukan pada 10% pasien dengan
perdarahan angiodysplasia.
• Pemeriksaan guaiac pada feses: sebanyak 15% dari pasien dengan perdarahan
angiodysplasia akan positif terdapat darah pada perdarahan GI yang tak terlihat
pada feses
D. Imaging
• Angiografi
tetapi perannya sebagai tes diagnostik untuk usus besar masih eksperimental.7
E. Pemeriksaan histologi
Biopsi Forsep endoskopik merupakan pemeriksaan untuk melihat gambar
karakteristik Histopatologi dari angiodysplasia sekitar 31%-60% spesimen. Biopsi
endoskopik pada mukosa untuk diagnosis ,umumnya tidak dianjurkan karena hasil
diagnostik yang rendah dan risiko menimbulkan perdarahan.
Angiodysplasia biasanya berbentuk arteri kecil yang tidak teratur, vena kecil
yang tidak teratur, dan koneksi kapiler yang tidak teratur. Bentuk mereka lebih banyak
multiple dibangdingkan single. Mikroskopis, lesi angiodysplasia lebar, pembuluh darah
yg berdinding tipis. Jumlah otot polos di dinding pembuluh bervariasi. Dinding
pembuluh bisa menjadi sangat tipis sehingga tampaknya hanya terdiri dari endothelium.
F. Pengobatan
• Konsultasi : Konsultasi harus diatur dengan gastroenterolog, ahli radiologi
intervensi, dan dokter bedah
4
G. Algoritma Diagnosis
endoskopi Sigmoidskopi/
kolonoskopi
terapi Diagnostik Non
Diagnostik
Perdarahan Perdarahan
Perdarahan berhenti aktif
berhenti Perdarahan
aktif
kolonoskopi Angiografi
Enteroskopi/Angiografi
enteroskopi
Algoritma untuk pendarahan gastrointestinal akut (GI). DPL = jumlah sel darah perifer
lengkap; CXR = x-ray dada; EKG = Elektrokardiografi; IVF = cairan intravena; NG =
nasogastric.
5
2. Kanker Kolorektal
A. Definisi
Kanker kolorektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar,
terdiri dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan/atau rektum (bagian
kecil terakhir dari usus besar sebelum anus).10
B. Faktor Resiko
Secara umum perkembangan KKR merupakan interaksi antara faktor
lingkungan dan faktor genetik. Faktor tidak dapat dimodifikasi: riwayat KKR atau
polip adenoma individual dan keluarga, dan riwayat individual penyakit kronis
inflamatori pada usus. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi: inaktivitas ,
obesitas , konsumsi tinggi daging merah, merokok dan konsumsi alkohol sedang-
berat. Sementara aktivitas fisik, diet berserat dan asupan vitamin D termasuk
C. Gambaran klinis
Pasien buang air besar disertai adanya darah yang berwarna hitam atau
merah segar. Gejala diawali dengan gangguan buang air besar, perubahan pola
defekasi (diare-konstipasi), penurunan berat badan dalam beberapa bulan dan
perubahan kondisi umum. Dapat juga disertai gejala nyeri kolik. Untuk pasien
dengan kanker di rektosigmoid memperlihatkan adanya tenesmus, lendir dalam
feses/tinja. Pasien biasanya pucat dan lemah, menunjukan adanya anemia akut
atau kronik
D. Diagnosis
6
4. Massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur) Massa intra-luminal
di dalam rektum Tanda-tanda obstruksi mekanik usus.
5. Setiap pasien dengan anemia defisiensi Fe (Hb <11gr% pada laki-laki dan
<10gr% pada wanita pascamenopuse)
c. Pemeriksaan penunjang13
1. Endoskopi merupakan prosedur diagnostik utama dan dapat dilakukan
dengan sigmoidoskopi (>35% tumor terletak di rektosigmoid) atau
dengan kolonoskopi total.
2. Enema barium dengan kontras ganda Pemeriksaan enema barium yang
dipilih adalah dengan kontras ganda.
3. CT colonography (Pneumocolon CT) Modalitas CT yang dapat
melakukan CT kolonografi dengan baik adalah modalitas CT scan
yang memiliki kemampuan rekonstruksi multiplanar dan 3D volume
rendering. Kolonoskopi virtual juga memerlukan software khusus
7
• Deteksi perluasan tumor primer dan infiltrasinya;
• Deteksi kelenjar getah bening regional dan para-aorta;
• Deteksi metastasis ke hepar dan paru-paru; Deteksi metastasis ke
cairan intraperitoneal.
Rekomendasi Tingkat A
8
terutama pada T1 yang akan dilakukan eksisi transanal, Digunakan pada
T3-4 yang dipertimbangkan untuk terapi neoajuvan, Digunakan apabila
direncanakan reseksi trans-anal atau kemoradiasi
Rekomendasi Tingkat A
9
E. Algoritma diagnosis
Ca Kolorektal
- Colok dubur
- CT- Scan
10
F. Tatalaksana
b. Epidemiologi
TB ekstrapulmonal ditemui pada 15-20% populasi dengan insiden HIV
rendah dan merupakan salah satu manifestasi TB ekstrapulmonal tersering.
Sementara itu, TB di abdomen didapatkan pada 11% pasien TB ekstrapulmonal.
Laporan kasus menyebutkan bahwa sebanyak 2-3% TB abdomen ini terjadi di
kolon . TB intestinal dapat ditemui pada berbagai usia namun didominasi oleh
rentang usia 20-40 tahun.17
11
Lokasi anatomis TB abdominal :
c. Manifestasi klinis
Manifestasinya dapat tidak spesifik dan menunjukkan kemiripan dengan
gangguan gastrointestinal lain, seperti penyakit Crohn, colitis ulseratif, limfoma,
enteritis amuba, actinomikosis dan enterokolitis Yersinia sp atau bahkan
keganasan pada kolon.18
Gambaran klinis TB intestinal meliputi: 1) gejala konstitusi seperti
demam, anoreksia dan penurunan berat badan; 2) gejala akibat ulserasi mukosa
seperti diare, hematoskezia dan malabsorpsi; 3) Gejala terkait keterlibatan
transmural seperti nyeri perut, tegang dan muntah akibat obstruksi lumen, teraba
benjolan, perforasi usus, fistula perianal dan intestinal; 4) manifestasi
ekstraintestinal seperti artritis, peritoneum dan kelenjar limfe; 5) riwayat kontak
dengan TBC.18
d. Diagnosis
Diagnosis pasti TB kolon ditegakkan bila dari biopsi ditemukan
granuloma dan atau basil tahan asam. Biopsi dari lesi hanya dapat mendeteksi 60-
12
80% penyakit.19 Pemeriksaan diagnostik yang membutuhkan waktu lama seperti
pewarnaan basil tahan asam dari biopsi atau sputum, kultur M. tuberculosis, uji
Mantoux dan rontgen toraks sering negatif pada TB ekstraparu.19
Diagnosis awal didasarkan pada penilaian klinis, yaitu demam yang tidak
diketahui sebabnya, penurunan berat badan, anemia, riwayat TB paru atau infeksi
aktif, kontak TB dan biopsi menunjukkan non caseating granuloma dan inflamasi
kronik. Perbedaan pada hasil pemeriksaan klinis, endoskopik, radiologis,
patologis, kultur dan pemeriksaan molekuler dapat digunakan utuk membedakan
keduanya.
Beberapa kepustakaan mengatakan bahwa pemeriksaan diagnostik yang
direkomendasikan adalah kolonoskopi dan biopsi.19 Ada beberapa kriteria
diagnostik klinis untuk TB intestinal yang perlu diperhatikan. Beberapa kriteria
tersebut yaitu: 1) kultur positif jaringan atau kelenjar getah bening; 2)
histopatologik menunjukkan menunjukkan batang tahan asam M. tuberculosis di
lesi; 3) ditemukan tuberkel dan nekrosis perkijuan dari gambaran histologik; 4)
gambaran endoskopi dan histologik sesuai dengan infeksi TB ; dan 5) respon baik
dengan terapi OAT.
Anamnesis
Gambaran klinis TB intestinal meliputi: 1) gejala konstitusi seperti
demam, anoreksia dan penurunan berat badan; 2) gejala akibat ulserasi mukosa
seperti diare, hematoskezia dan malabsorpsi; 3) Gejala terkait keterlibatan
transmural seperti nyeri perut, tegang dan muntah akibat obstruksi lumen, teraba
benjolan, perforasi usus, fistula perianal dan intestinal; 4) manifestasi
ekstraintestinal seperti artritis, peritoneum dan kelenjar limfe; 5) riwayat kontak
dengan TBC.18
Pemeriksaan Histologi
Gambaran histologis TB intestinal yang khas adalah konfluen, granuloma
caseosa yang mengandung basil tahan asam dan dikelilingi limfoid cuff. Hal
tersebut ditemukan pada semua lapisan dinding usus dan kelenjar getah bening
regional. Granuloma awal kadang hanya ditemukan di jaringan limfoid, namun
dapat juga ditemukan metaplasia pilorik ekstensif, ulkus fisura superfisial yang
melas sampai ke submukosa dan penyembuhan terjadi melalui fibrosis dan
13
regenerasi epitel yang dimulai dari tepi. Granuloma penyembuhan dikelilingi
jaringan fibrosis di kelenjar limfe namun tidak pada dinding intestinal.18 Biopsi
dalam harus diambil di tepi ulkus karena granuloma sering berada di submukosa,
tidak seperti granuloma pada penyakit Crohn yang umum ditemui pada lapisan
mukosa. 20
Pemeriksaan Laboratorium
Analisis PCR dari spesimen biopsi dari endoskopi lebih sensitif
dibandingkan kultur dan basil tahan asam untuk diagnosis TB intestinal. Nilai
sensitifitas metode ini yaitu sebesar 75%-85%, sedangkan spesifisitasnya 85%-
95% tergantung tipe spesimen.21
Pemeriksaan Radiologi
Rontgen toraks mungkin dapat membantu diagnosis TB intestinal, namun
hasil yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan TB intestinal.22 Hanya 20%
TB paru aktif yang dikaitkan dengan TB saluran cerna.
Pemeriksaan computer tomography scan (CT scan) mungkin
menunjukkan inflitrasi omentum, peritoneum dan mesenteium pada penebalan
lapisan peritoneum dan adanya cairan peritoneum yang berdensitas tinggi.20
Gambaran yang paling umum ditemui dari CT scan adalah penebalan dinding
sirkumferensial saekum dan terminal ileum serta asimetris dari ileosaekal.23
E. Tatalaksana
14
abdomen dapat berupa ulkus, perforasi, perlengketan, obstruksi, pendarahan,
pembentukan istula dan stenosis. Terapi bedah diperlukan pada beberapa kasus
terutama pada kasus yang sudah menimbulkan komplikasi seperti perforasi,
obstruksi, istula atau pendarahan.22
15
F Algoritma Diagnosis
TB abdomen
H : Isoniazid
R : Rifampisin
Z : Pirazinamid
E : Etambutol
16
2.3.2 Penyebab perdarahan saluran cerna bagian bawah tipe kronik :
1. Hemoroid
A. Defenisi
B. Etiologi
C. Klasifikasi24
Hemoroid Interna
Derajat Berdarah Menonjol Reposisi
I (+) (-) (-)
II (+) (+) Spontan
III (+) (+) Manual
IV (+) Tetap Tidak dapat
Tabel 1. Pembagian derajat hemoroid interna
2. Hemoroid eksterna kronik. Disebut juga skin tag, berupa satu atau lebih
lipatan kulit anus yang terdiri dari jaringan penyambung dan sedikit
pembuluh darah.
18
D. Algoritma Diagnosis25,
Curiga Hemoroid
Diperlukan
• BAB berdarahnya segar atau • Benjolan Pemeriksaan ini perlu dilakukan
untuk
berwarna kehitaman hemoroid akan untuk memastikan bahwa keluhan
mengetahui
menonjol pada bukan disebabkan oleh proses
• Ada konstipasi atau sulit adanya darah
ujung anoskop, radang atau proses keganasan di
samar (occult
buang besar • Dilihat warna tingkat yang lebih tinggi
bleeding).
(rektum/sigmoid), karena hemoroid
• Pasien sering duduk berjam- selaput lendir
yang merah merupakan keadaan fisiologik saja
jam di WC atau tanda yang menyertai
meradang atau
• Ada riwayat diare kronik perdarahan,
• Ada riwayat hubungan seks • banyaknya
benjolan, letaknya
peranal,
dan besarnya
• Kurang minum air, kurang benjolan
makan makanan berserat
kurang olahraga/imobilisasi. Tidak teraba dan juga tidak sakit.
Dapat diraba bila sudah ada
trombus atau sudah ada fibrosis.
Pemeriksaan Fisik Colok dubur : Trombus dan fibrosis pada
perabaan padat dengan dasar yang
lebar
Inspeksi : Terlihat sebagai
benjolan yang
tertutup mukosa
Terlihat
benjolan sudah
mengandung Hemoroid
trombus interna
yang
prolaps
Hemoroid
eksterna
19
E. Algoritma Tatalaksana25
Hemoroid
Gelang karet ligasi / injeksi skleroterapi / Gelang karet ligasi / Operasi Hemoroidektomi
serat suplementasi serat suplementasi
20
dengan tirah baring dan kompres lokal untuk mengurangi pembengkakan. Rendam
duduk dengan dengan cairan hangat juga dapat meringankan nyeri.
b. Skleroterapi
Hemoroid yang besar atau yang mengalami prolaps dapat ditangani dengan
ligasi gelang karet menurut Barron. Dengan bantuan anoskop, mukosa di atas
hemoroid yang menonjol dijepit dan ditarik atau dihisap ke tabung ligator khusus.
Gelang karet didorong dari ligator dan ditempatkan secara rapat di sekeliling
mukosa pleksus hemoroidalis tersebut. Pada satu kali terapi hanya diikat satu
kompleks hemoroid, sedangkan ligasi berikutnya dilakukan dalam jarak waktu 2 –
4 minggu.25
Penyulit utama dari ligasi ini adalah timbulnya nyeri karena terkenanya
garis mukokutan. Untuk menghindari ini maka gelang tersebut ditempatkan cukup
jauh dari garis mukokutan. Nyeri yang hebat dapat pula disebabkan infeksi.
Perdarahan dapat terjadi waktu hemoroid mengalami nekrosis, biasanya setelah 7 –
10 hari.25
21
d. Krioterapi / bedah beku
Hemoroid dapat pula dibekukan dengan suhu yang rendah sekali. Jika
digunakan dengan cermat, dan hanya diberikan ke bagian atas hemoroid pada
sambungan anus rektum, maka krioterapi mencapai hasil yang serupa dengan yang
terlihat pada ligasi dengan gelang karet dan tidak ada nyeri. Dingin diinduksi
melalui sonde dari mesin kecil yang dirancang bagi proses ini. Tindakan ini cepat
dan mudah dilakukan dalam tempat praktek atau klinik. Terapi ini tidak dipakai
secara luas karena mukosa yang nekrotik sukar ditentukan luasnya. Krioterapi ini
lebih cocok untuk terapi paliatif pada karsinoma rektum yang ireponibel25
e. Hemorroidal Arteri Ligation ( HAL )
Pada terapi ini, arteri hemoroidalis diikat sehingga jaringan hemoroid tidak
mendapat aliran darah yang pada akhirnya mengakibatkan jaringan hemoroid
mengempis dan akhirnya nekrosis25
F. Komplikasi
Perdarahan akut pada umumnya jarang , hanya terjadi apabila yang pecah
adalah pembuluh darah besar. Hemoroid dapat membentuk pintasan portal sistemik
pada hipertensi portal, dan apabila hemoroid semacam ini mengalami perdarahan
maka darah dapat sangat banyak. Yang lebih sering terjadi yaitu perdarahan kronis
dan apabila berulang dapat menyebabkan anemia karena jumlah eritrosit yang
diproduksi tidak bisa mengimbangi jumlah yang keluar. Anemia terjadi secara
kronis, sehingga sering tidak menimbulkan keluhan pada penderita walaupun Hb
sangat rendah karena adanya mekanisme adaptasi. Apabila hemoroid keluar, dan
tidak dapat masuk lagi (inkarserata/terjepit) akan mudah terjadi infeksi yang dapat
menyebabkan sepsis dan bisa mengakibatkan kematian.25
22
2. Divertikulosis
A. Defenisi 24
Penyakit diverticulosis merupakan suatu kelainan, dimana terjadi herniasi
mukosa dan submucosa dan hanya dilapisi oleh tunika serosa pada lokasi dinding
kolon yang lemah yaitu tempat dimana vasa rekta menembus dinding kolon.
Herniasi dari mukosa/submucosa san ditutupi oleh lapisan serosa yang tipis
disebut pseudodivertikular atau false diverticular. Apabila semua diding kolon
alami herniasi maka disebut dengan true diverticular dan biasanya bersifat
kongenital.
B.Etiologi26
23
2. Kelemahan otot dinding kolon
Penyebab lain terjadinya divertikulosis adalah terdapat daerah yang lemah
pada dinding otot kolon dimana arteri yang membawa nutrisi menembus
submukkosa dan mukosa. Biasanya pada usia tua karena proses penuaan yang dapat
melemahkan dinding kolon.
D. Faktor Resiko Divertikulosis 26
- Pertambahan Usia
Pada usia lanjut terjadi penurunan tekanan mekanik/ daya regang dinding
kolon sebagai akibat perubahan struktur jaringan kolagen dinding usus.
- Konstipasi
Konstipasi menyebabkan otot-otot menjadi tegang karena tinja yang
terdapat di dalam usus besar. Tekanan yang berlebihan menyebabkan titik-titik
lemah pada usus besar menonjol dan membentuk divertikula.
- Diet rendah serat
Pada mereka yang kurang mengkonsumsi makanan berserat, akan
menyebabkan penurunan massa feses menjadi kecil-kecil dan keras, waktu transit
kolon yang lebih lambat sehingga absorpsi air lebih banyak dan output yang
menurun menyebabkan tekanan dalam kolon meningkat untuk mendorong massa
feses keluar mengakibatkan segmentasi kolon yang berlebihan. Segmentasi kolon
yang berlebihan akibat kontraksi otot sirkuler dinding kolon untuk mendorong isi
lumen dan menahan pasase dari material dalam kolon merupakan salah satu faktor
penyebab terjadinya penyakit divertikular. Pada segmentasi yang meningkat secara
berlebihan terjadi herniasi mukosa/submukosa dan terbentuk divertikel.
- Gangguan jaringan ikat
Gangguan jaringan ikat seperti pada sindrom Marfan dan Ehlers Danlos
dapat menyebabkan kelemahan pada dinding kolon.
24
C. Algoritma Diagnosis27, 28
Curiga Divertikulosis
• BAB disertai darah • Nyeri tekan local ringan dan Tampak Dapat ditemukan
sigmoid sering dapat diraba divertikel dengan gambaran
• Ada riwayat konstipasi
sebagai struktur padat. spasme local dan penebalan dinding
• nyeri dangkal dan kram • Demam ringan penebalan kolon dan massa
pada kuadran kiri bawah • Bisa teraba tegang pada dinding yang kistik
kuadran kiri bawah, menyebabkan
dari abdomen
• Dapat teraba massa seperti penyempitan
• demam ringan sosis yang tegang pada lumen
• Malaise sigmoid yang terkena.
D. Algoritma Tatalaksana27, 28
Divertikulosis
Rujuk ke Sp. PD
dan Sp. B
25
3. Kolitis Ulseratif
A.Definisi29
Kolitis ulseratif adalah penyakit inflamasi mukosa yang membentuk abses
di kripta lieberkuhn dan bergabung menjadi tukak. Daerah antara ulkus tampak
udem dan terjadi poliferasi radang yang mirip dengan polip (pseudopolip). Kolitis
ulseratif adalah salah satu bentuk Inflammatory Bowel disease yang merupakan
suatu kondisi kronis sehingga secara umum membutuhkan perawatan terus –
menerus.
B. Etiologi 29, 30
Penyebab Kolitis ulseratif tidak diketahui. Teori yang paling umum bahwa
Kolitis ulseratif disebabkan oleh beberapa faktor genetik, reaksi sistem imun yang
salah, pengaruh dari lingkungan, penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-
steroid, kurangnya kadar anti oksidan di dalam tubuh, faktor stress, ada atau
tidaknya riwayat merokok dan riwayat mengonsumsi produk susu. Sebagai contoh,
beberapa orang memiliki risiko secara genetik untuk terkena penyakit ini. Bakteri
dan virus dapat memicu sistem imun mereka sehingga mengakibatkan suatu
inflamasi. Karena Kolitis ulseratif lebih sering muncul di negara-negara
berkembang, sangat memungkinkan diet tinggi lemak jenuh dan makanan yang
diawetkan memiliki kontribusi pada penyakit ini.
a. Penyebab genetik
Hipotesis terkini mengatakan bahwa genetik dapat menyebabkan seseorang
memperoleh kelainan pada respon imun humoral dan respon imun yang dimediasi
sel dan/atau respon imun secara umum yang direaktivasi oleh bakteri komensal dan
menyebabkan disregulasi respon imun pada mukosa sehingga mengakibatkan
inflamasi pada kolon. Riwayat adanya Kolitis ulseratif pada keluarga diasosiasikan
dengan seseorang yang memiliki risiko tinggi terkena penyakit ini. Kesesuaian
penyakit ini ditemukan pada anak kembar monozigot. Penelitian genetik telah
mengidentifikasi beberapa lokus, beberapa di antaranya terkait dengan Kolitis
ulseratif dan penyakit Crohn. Baru-baru ini, salah satu lokus yang diidentifikasi
juga dikaitkan dengan kerentanan terhadap karsinoma kolorektal. Kromosom pada
pasien dengan Kolitis ulseratif dianggap kurang stabil. Fenomena ini juga dapat
berkontribusi pada risiko karsinoma yang meningkat.
26
b. Reaksi imun
Reaksi imun yang membahayakan integritas barier epitel usus dapat
menyebabkan Kolitis ulseratif. Autoantibodi serum dan mukosa yang sifatnya
melawan sel epitel usus mungkin terlibat. Adanya antibodi antineutrofil
sitoplasma/antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA) dan anti-
Saccharomyces cerevisiae antibodi (ASCA) adalah ciri-ciri utama dari penyakit
inflamasi usus. Selain itu, abnormalitas yang terjadi pada sistem imun dianggap
sedikit berperan pada rendahnya insiden Kolitis ulseratif pada pasien yang telah
menjalani operasi usus buntu sebelumnya. Pasien-pasien yang telah menjalani
appendektomi memiliki insidens yang rendah untuk terkena Kolitis ulseratif.
c. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan juga berperan. Sebagai contoh, bakteri yang mereduksi
sulfat, memproduksi sulfat, ditemukan pada sejumlah besar pasien dengan Kolitis
10 ulseratif dan produksi sulfat lebih tinggi pada pasien Kolitis ulseratif
dibandingkan pasien-pasien lainnya.
d. Penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid
Penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid lebih tinggi pada pasien
dengan Kolitis ulseratif dibandingkan dengan kontrol dan sepertiga pasien dengan
Kolitis ulseratif eksaserbasi yang dilaporkan baru saja menggunakan obat-obatan
anti inflamasi non-steroid. Penemuan ini dapat menjadi bukti bahwa penggunaan
obat-obatan anti inflamasi non-steroid harus dihindari pada pasien dengan Kolitis
ulseratif.
27
C. Algoritma Diagnosis30, 31
Radiologi
28
D. Algoritma Tatalaksana32, 33
Kolitis Ulserative
E. Prognosis 34
F. Komplikasi34
Penyulit dapat ditemukan pada anus dan kolon; pada anus dapat terjadi
fisura, abses perianal, dan fistel perianal, sementara pada kolon dapat terjadi
perforasi terutama di sigmoid dan kolon decendens. Komplikasi lain berupa dilatasi
kolon toksisk yang biasanya meyebab perforasi fatal.
29
Dilatasi kolon akut atau megakolon toksik yang disebabkan oleh
progresivitas penyakit di dinding, dapat dicetuskan oleh pemberian sediaan opioat
atau pemeriksaan rotgen barium. Penderita tampak sakit berat, disertai dengan
takikardi dan syok toksisk. Diagnosis dapat dibuat melalui foto polos abdomen.
Gambaran klinis megakolon toksisk juga dapat ditemukan pada morbus Crohn,
demam tifoid dan amubiasis. Pendarahan berat biasanya mengancam nyawa namun
jarang terjadi. Striktur kolon dapat ditemukan pada pemyakiy kronok yang
menimbulkan nekrosis, polip atau karsinoma. Diperkirakan risiko terjadinya
karsinoma pada IBD lebih kurang 13%. Karsinoma adalah penyulit lambat yang
ditemukan pada 25% penderita setelah 20 tahun dan oada 30-40% setelah 30 tahun.
Karsinoma sering timbul multisentrik, dan dapat ditemukan dysplasia epitel
mukosa pada pemeriksaan biopsi, harus dipertimbangkan untuk melakukan
kolektomi total.
4. Crohn’s Disease
A. Definisi
Suatu penyakit inflamasi kronis dan berulang pada saluran cerna dengan
etiologi yang tidak diketahui.Crohn’s disease dapat melibatkan setiap bagian dari
saluran cerna mulai dari mulut hingga anus tetapi paling sering menyerang usus
halus, yakni ileum sehingga sering juga disebut sebagai ileitis atau enteritis.
Peradangan dapat meluas dan melibatkan semua lapisan dinding usus mulai dari
mukosa sampai serosa.40
B. Etiologi
Penyebab pasti dari penyakit crohn belum sepenuhnya dapat dipahami, diduga
hal ini melibatkan interaksi antara genetik, sistem imun dan faktor lingkungan.1,9,10
Sistem imun akan memberikan respon pada antigen seperti bakteri, virus, jamur dan
mikroorganisme lainnya. Namun, pada orang dengan penyakit crohn, sistem imun
memberikan respon yang tidak sesuai pada saluran usus, sehingga mengakibatkan
peradangan.40
Reaksi sistem imun yang tidak normal terjadi pada orang yang telah mewarisi
gen yang membuat mereka rentan terhadap penyakit crohn. faktor lingkungan berfungsi
sebagai "pemicu" yang memulai respon imun berbahaya dalam usus. Risiko faktor
lingkungan meningkatkan gambaran penyakit crohn hingga 40 kali pada indivu dengan
30
regulasi sistem imun yang abnormal. Faktor lingkungan juga mencakup gaya hidup
seperti merokok; konsumsi makanan olahan; diet tinggi lemak serta; penggunaan obat-
obatan tertentu (termasuk kontrasepsi hormonal dan obat golongan NSAID). Selain itu,
faktor endokrin dan psikologis juga mungkin secara bersamaan dapat menyebabkan
terjadinya penyakit crohn40
C. Algoritma Diagnosis40
Radiologi
Crohns Disease
32
5. Polip Kolon
A.Definisi
Polip merupakan neoplasma yang berasal dari permukaan mukosa dan
meluas ke arah luar. Istilah polip kolon dalam klinik dipakai untuk menggambarkan
tiap kelainan yang jelas (any circumscribed lesion), yang menonjol di atas
permukaan mukosa yang mengelilinginya. Betuk, besar, dan bentuk permukaan
polip dapat berbeda-beda.35
B. Klasifikasi35
Polip pada usus besar dibagi atas polip non-epitelial dan polip epitelial.
Polip non-epitelial berasal dari jaringan limfoid, otot halus, lemak, dan saraf.
Misalnya polip limfoid, yang sessile dan submukosa, terdapat pada bagian distal
rektum dan tidak ganas. Polip limfoid ini terjadi karena peradangan lokal. Polip
epitelial lebih sering terjadi. Dapat dibagi atas 4 golongan :
1. Adenoma atau golongan neoplastik. Jenis ini sangat berpotensi
menjadi ganas. Terdapat 3 jenis adenoma yakni :
a) Adenoma tubular, b) Adenoma villosa, c) Adenoma tubulo-villosa.
Adenoma tubular yang khas ialah kecil, sferis dan bertangkai dengan
permukaan yang licin. Adenoma villosa biasanya besar dan sessil
dengan permukaan yang tidak licin. Sedangkan adenoma tubulo-
villosa adalah campuran kedua jenis adenoma. Hampir semua
karsinoma kolon timbul dari adenoma. Proses ini dinamakan
adenoma-carsinoma sequence. Menurut penelitian tentang adenoma,
perubahan ke arah ganas lebih mungkin bila adenoma berukuran lebih
besar, berupa adenoma villosa, atau dysplasia epitel berat. Poliposis
kolon merupakan suatu polip adenomatosa tetapi penyakit ini di
Indonesia jarang ditemukan dan diturunkan menurut hokum Mendel.
Bila salah satu orang tua menderita poliposis kira-kira 50% dari
keturunannya akan terkena penyakit ini, Sebelum polip mulai nampak,
daerah-daerah dengan proliferasi atipik sudah dapat ditemukan pada
biopsi mukosa rektum. Proliferasi atipik ini kemudian tumbuh
menjadi polip adenomatosa. Biasanya terdapat ratusan hingga ribuan
polip pada poliposis familial. Perdarahan, banyak lendir, dan tenesmus
33
menunjukkan adanya transformasi keganasan. Juvenil polyposis
syndrome yaitu keadaan terdapatnya polip pada lambung, dan jarang
pada ileum dan kolon. Makroskopis kelihatan sebagai polip kecil
sampai 2cm, bundar dengan permukaan licin dan merah terang. Polip
pada sindrom Peutz-Jegher sebagian besar terdapat pada usus kecil
akan tetapi, 15%, polip terdapat pula pada kolon. Polip tersebut sessile
atau bertangkai, permukaan kasar dan lobulated, tidak menjadi ganas.
2. Hamartoma. Hamartoma merupakan suatu malformasi, terdiri atas
suatu campuran jaringan yang secara normal terdapat di bagian badan
tersebut. Pada usus besar ada 2 macam hamartoma yang dikenal, tetapi
jarang terjadi, yakni : a) polip juvenile (Juvenile polyp), b) polip pada
Syndrome Peutz-Jeghers. Polip juvenile biasanya terjadi pada anak-
anak, meskipun tak selalu demikian. Sebagian besar timbul di rektum
bagian distal sampai 5 cm dari rektum, biasanya hanya satu atau
sedikit jumlahnya. Polip karena peradangan (inflammatory polyps).
Inflamatory polyps, terdapat pada peradangan kronik seperti penyakit
Chron, colitis ulseratif, disentri basilaris, amebiasis, dan
skistosomiasis. Walaupun keliatannya bertangkai tetapi sukar
dibedakan antara tangkai dan kepala.
3. Polip hiperplastik (hyperplastic polyp). Inflamatory polyps, terdapat
pada peradangan kronik seperti penyakit Chron, colitis ulseratif,
disentri basilaris, amebiasis, dan skistosomiasis. Walaupun
keliatannya bertangkai tetapi sukar dibedakan antara tangkai dan
kepala.
4.
Polip hiperplasi atau metaplastik. Biasanya multiple dan sessile,
timbul pada usia lebih dari 40 tahun. Dapat ditemukan disemua bagian
usus besar, tetapi lebih sering di rectum. Biasanya lebih kecil dari
0,5cm dan warnanya sama dengan mukosa sekitar atau lebih pucat.1
34
C. Algoritma Diagnosis35, 36
35
D. Algoritma Tatalaksana37
Polip Kolorektal
E. Prognosis 38
Prognosis bergantung pada jenis polip yang ditemukan :
1. Hamartoma usus : polip hamartoma non familial tidak berhubungan
dengan peningkatan risiko karsinoma.
36
2.4. Karakteristik Klinik Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah
1. Hematokezia
Hematokezia ditandai dengan keluarnya darah segar dari anus dan
merupakan manifestasi tersering perdarahan saluran cerna bagian bawah.
Hematokezia umumnya menunjukkan terjadi perdarahan pada kolon sebelah
kiri, namun dapat juga berasal dari saluran cerna bagian atas, usus halus, dan
transit darah yang cepat.3
2. Melena
Melena didefinisikan dengan feses yang berwarna hitam dan berbau khas.
Melena timbul apabila hemoglobin dikonversi menjadi hematin atau
hemokrom lainnya oleh bakteri setelah 14 jam. Umumnya melena
menunjukkan terjadi perdarahan saluran cerna bagian atas atau usus halus,
namun juga dapat berasal dari kolon bagian kanan karena adanya perlambatan
motilitas. Perlu diketahui tidak semua feses yang berwarna hitam merupakan
melena, karena bismuth, sarcol. Lycorice, dan obat0obatan yang mengandung
besi dapat menyebabkan feses menjadi hitam. Oleh karena itu perlu dilakukan
tes Guaiac untuk menentukan adanya hemoglobin.3
3. Darah samar
Darah samar timbul apabila perdarahan yang timbul adalah perdarahan
ringan yang tidak sampai menimbulkan terjadi perubahan warna feses.
Perdarahan jenis ini dapat dikonfirmasi dengan tes Guaiac.3
37
2.5 Pendekatan Dignosis Hematokezia42
No Yes
Outlet Bleeding Moderate Volume Large Volume Management : Resusitasi cairan dan
lakukan Esofagogastroduodenale
Step 4 : Colok dubur Step 3 : Nyeri abdomen
Normal EGD ?
38
2.6 Management Tatalaksana Hematokezia43
39
maka selanjutnya cari sumber perdarahan kemudian tatalaksana dengan embolisasi
atau terapi endoskopi. Jika seorang pasien memiliki shock indeks <1, mereka
cenderung memiliki perdarahan aktif, dan dapat digolongkan sebagai LGIB 'stabil'.
Penilaian Resiko
Skor Oakland adalah alat penilaian risiko yang diturunkan\ dari audit
nasional LGIB dan dapat digunakan untuk mengklasifikasikan perdarahan stabil
sebagai mayor atau minor. Ini adalah skor pertama yang secara khusus dirancang
untuk LGIB dan divalidasi secara eksternal. Terdiri dari tujuh variabel yang secara
rutin diukur selama penilaian klinis awal: usia, jenis kelamin, masuk rumah sakit
sebelumnya dengan LGIB, temuan pada colok dubur, detak jantung, tekanan darah
sistolik dan hemoglobin (Hb). Skor dihitung dengan menjumlahkan komponen
individu. Pasien dengan skor ≤8 poin memiliki kemungkinan 95% untuk pulang
dari IGD dengan selamat dan diklasifikasikan sebagai perdarahan minor, pasien
yang memiliki skor <8 dan tidak memiliki indikasi medis untuk dirawat inap bisa
langsung dipulangkan dari IGD dan di observasi melaui rawat jalan. Pemulangan
yang aman untuk pasien yaitu tidak adanya semua hal berikut: rebleeding, Transfusi
sel darah merah, intervensi terapeutik untuk mengendalikan perdarahan
(didefinisikan sebagai kebutuhan untuk hemostasis endoskopi, radiologis atau
bedah), kematian di rumah sakit (semua penyebab) dan perlu masuk lagi jika dalam
28 hari ada perdarahan lagi. Seorang pasien yang mendapat skor >8 poin
diklasifikasikan sebagai pendarahan mayor, dan kemungkinan untuk mendapat
perawatan di rumah sakit.
40
Tabel Score Oakland
41
Perdarahan saluran cerna bawah
Bedah
42
2.8. Komplikasi
Seperti halnya pada perdarahan saluran cerna bagian atas, perdarahan
saluran cerna bagian bawah yang masif dapat menimbulkan sequel yang nyata.
Perdarahan saluran cerna bagian bawah berulang atau kronik dapat menyebabkan
kebutuhan transfusi yang lebih sering. Perdarahan yang persisten biasanya berasal
dari usus halus dan tidak dapat dijangkau dengan tindakan endoskopi, hanya dapat
dilakukan diagnosis saja.3
43
BAB III
KESIMPULAN
44
DAFTAR PUSTAKA
46
21. Pulimood A, Amarapurkar DN, Ghoshal U, Philip M, Pai CG, Real DN, et
al. Differentiation of Penyakit Crohn’sFrom Intestinal Tuberculosis in India
in 2010. World J Gastroenterol. 2011;17(3):433-43.
22. Kusnanto P, Simadibrata M, Syam AF, Fauzi A, Abdullah M, Makmun D,
Manan C, Daldiyono, Rani AR, Krisnuhoni E. A 17 Year Man with Collitis
Tuberculosis and Fistula Perianal. Indones J Gastroenterol Hepatol Dig
Endosc. 2008;9(3):103-6
23. Michalopoulos A, Papadopoulos VN, Panidis S, Papavramidis TS, Chiotis
A , Basdanis G. Cecal Obstruction Due to Primary Intestinal Tuberculosis:
A Case Series. J Med Case Rep. 2011;128:1-5.
24. Sudoyo AW, setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
edisi V. Jakarta : Interna
25. Anonim, 2004, Hemorhoid, http://www.hemorjoid.net/hemoroid
galery.html. Last update Desember2009. Sjamsuhidajat, Wim de Jong.
Hemoroid, 2004 Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed.2, Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal: 672 – 675
26. Jackson, W. Frank. Diverticulosis and Diverticulitis. 2011.[cited on
October 12th 2012]. Available from
:http://www.gicare.com/disease/diverticulosis.html
27. Anonim. Diverticulosis. 2011. [cited on October 12th 2012]. Available from
: http://www.medicastore.com/penyakit/489/diverticulosis.html
28. 12. Bontemp Emst, Pardoll P.M. et all. Diverticular Disease of the Colon.
2011. [cited on October 12th 2012]. Available from :
http://www.acg.gi.org/patients/ gihealth/diverticular/asp
29. Jong D, editor. Buku ajar ilmu bedah edisi 3. Jakarta: ECG, 2016.
30. Ehrlich SD. Ulcerative colitis. Available in University of Maryland
Medical Centre. (www.umm.edu), Update November 12, 2010. Diakses
tanggal 22 Februari 2016
31. Hanauer SB. Inflammatory bowel diseases. In: Dale DC, Federman DD,
editors. ACP medicine 3rd edition. USA: WebMD Inc.; 2007.
32. Anand MKN. Gastrointestinal tuberculosis imaging . Available in
Medscape Reference, Drug,Disease and Procedures
47
(www.emedicine.medscape.com), Update Juni 7, 2011. Diakses tanggal 26
Februari 2016.
33. 19. Djojoningrat, Dharmika. Inflammatory Bowel Disease : Alur Diagnosis
dan Pengobatannya di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1
Edisi ke-IV. Hal. 384-388. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
34. Roggeveen MJ, Tismenetsky M, Shapiro R. Best cases from the AFIP:
ulcerative colitis. RadioGraphics 2006; 26, 3: 947-51.
35. Aru W. S., Bambang S., Idrus A., Marcellius S. K., Siti S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam PAPDI jilid 1. Jakarta : Interna Publishing; 2010. hlm 557-
9.
36. Ali N. K., Eugene C.L. Imaging in colon polyposis syndromes. Medscape
Reference (update 2011, Juni 28). Available from
http://emedicine.medscape.com/article/372273-overview#a19. Accessed
November 22, 2012.
38. Stanlay L. Robbins, Vinay Kumar. Buku ajar patologi. Jakarta : EGC; 2007.
hlm 565-6
39. Thomas G, Cotter MD, dkk. Approach to the patient with hemtochezia.
Departemen of Internal Medicine and Division of Gastroenterology, Dubli
Ireland. 2017
40. Crohn’s & Colitis Foundation of America. 2012. The Facts about
Inflammatory Bowel Diseases. New York : CCFA. Available from :
www.ccfa.org (Accessed 8 september 2016)
41. Knipe, Henry, A. Prof Frank Gallard et al. 2015. Crohn’s Disease.
Available from : http://radiopaedia.org/articles/crohn-diseases-1 (Accessed
6 september 2016)
48
42. Thomas G, et all. Approach to the Patient With Hematochezia: Mayo
Foundation for Medical Education and Research. 2017
43. Oakland G, Et all. Diagnosis and management of acute lower
gastrointestinal bleeding: guidelines from the British Society of
Gastroenterology. Gut 2019;68:776–789.
49