Anda di halaman 1dari 46

EVALUASI PROGRAM PENANGGULANGAN GIZI BURUK

PUSKESMAS SALEMBARAN JAYA TAHUN 2019

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4

Abd Rahman 41181396100018


Fitria Rahmi R 41181096100071
Robby Franata S 41181396100024
Salsabila Windya A 41181396000036

PEMBIMBING PUSKESMAS SALEMBARAN JAYA

dr. Joko Haryanto

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
PERIODE 18 AGUSTUS – 13 SEPTEMBER 2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Menurut UU no. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yang dimaksud kesehatan adalah keadaan
sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pengertian ini memberikan makna, bahwa keadaan sehat
akan memungkinkan setiap orang hidup sejahtera. Kesehatan merupakan salah satu unsur bagi
kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, kesehatan harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita dan
martabat manusia.
Tingkat kesehatan seseorang dipengaruhi beberapa faktor di antaranya bebas dari penyakit
atau cacat, keadaan sosial ekonomi yang baik, keadaan lingkungan yang baik, dan status gizi juga
baik. Orang yang mempunyai status gizi baik tidak mudah terkena penyakit, baik penyakit infeksi
maupun penyakit degeneratif. Status gizi merupakan salah satu faktor penting dalam mencapai
derajat kesehatan yang optimal. Namun pada masyarakat kita masih ditemui berbagai penderita
penyakit yang berhubungan dengan kekurangan gizi.
Masalah gizi pada dasarnya merupakan refleksi konsumsi zat gizi yang belum mencukupi
kebutuhan tubuh. Seseorang akan mempunyai status gizi baik, apabila asupan gizi sesuai dengan
kebutuhan tubuhnya. Asupan gizi yang kurang dalam makanan, dapat menyebabkan kekurangan gizi,
sebaliknya orang yang asupan gizinya berlebih akan menderita gizi lebih. Jadi status gizi adalah
gambaran individu sebagai akibat dari asupan gizi sehari-hari.
Masalah kekurangan gizi yang mendapat banyak perhatian akhir-akhir ini adalah masalah
kurang gizi kronis dalam bentuk anak pendek atau "stunting" (untuk selanjutnya digunakan istilah
"anak pendek"), kurang gizi akut dalam bentuk anak kurus ("wasting"). Kemiskinan dan rendahnya
pendidikan dipandang sebagai akar penyebab kekurangan gizi. Masalah kegemukan terkait dengan
berbagai penyakit tidak menular (PTM), seperti penyakit jantung, hipertensi, diabetes, stroke dan
kanker paru-paru. Masalah kegemukan dan PTM selama ini dianggap masalah negara maju dan
kaya, bukan masalah negara berkembang dan miskin. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa
kedua masalah gizi tersebut saat ini juga terjadi di negara berkembang. Dengan demikian negara
berkembang dan miskin saat ini mempunyai beban ganda akibat kedua masalah gizi tersebut.
Kedua masalah gizi tersebut terkait erat dengan masalah gizi dan kesehatan ibu hamil dan
menyusui, bayi yang baru lahir dan anak usia di bawah dua tahun (baduta). Apabila dihitung dari
sejak hari pertama kehamilan, kelahiran bayi sampai anak usia 2 tahun, maka periode ini merupakan
periode 1000 hari pertama kehidupan manusia. Periode ini telah dibuktikan secara ilmiah merupakan
periode yang menentukan kualitas kehidupan, oleh karena itu periode ini ada yang menyebutnya
sebagai "periode emas", "periode kritis", dan Bank Dunia (2006) menyebutnya sebagai "window of
opportunity".
Status gizi dan kesehatan ibu dan anak dinilai dapat menjadi penentu kualitas sumber daya
manusia, semakin jelas dengan adanya bukti bahwa status gizi dan kesehatan ibu pada masa pra-
hamil, saat kehamilannya dan saat menyusui merupakan periode yang sangat kritis. Periode seribu
hari, yaitu 270 hari selama kehamilannya dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi yang
dilahirkannya, merupakan periode sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap bayi pada masa
ini akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Dampak tersebut tidak hanya pada
pertumbuhan fisik, tetapi juga pada perkembangan mental dan kecerdasannya, yang pada usia
dewasa terlihat dari ukuran fisik yang tidak optimal serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang
berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi.
Status gizi itu sendiri dapat diketahui melalui pengukuran beberapa parameter, kemudian
hasil pengukuran tersebut dibandingkan dengan standar atau rujukan. Peran penilaian status gizi
bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya status gizi yang salah. Penilaian status gizi menjadi penting
karena dapat menyebabkan terjadinya kesakitan dan kematian terkait dengan status gizi. Oleh karena
itu dengan diketahuinya status gizi, dapat dilakukan upaya untuk memperbaiki tingkat kesehatan
pada masyarakat.

Dari data Riskesdas di Indonesia sendiri pada tahun 2018 sebenarnya telah menunjukkan tren
positif perbaikan dalam interval 5 tahun (2013-2018) dengan penurunan status gizi buruk dan gizi
kurang pada balita yang awalnya 19,6% menjadi 17,7% dan status gizi sangat pendek dan pendek
pada balita yang awalnya 37,2% menjadi 30,8%. Namun dari penyajian data tersebut juga terlihat
sangat kontras kesenjangan diantara Provinsi. Provinsi Kepulauan Riau menunjukkan proporsi status
gizi buruk dan gizi kurang balita sebesar 13%, sementara Nusa Tenggara Timur cukup terpaut lebih
tinggi dengan angka 29,5%, Provinsi DKI Jakarta menunjukkan proporsi status gizi sangat pendek
dan pendek balita sebesar 17,7%, sementara Nusa Tenggara Timur 42,6%. Sedangkan Proporsi status
gizi sangat pendek dan pendek pada baduta di Indonesia sebesar 29,9%, angka tersebut masih diatas
dari target RPJMN 2019 yaitu 28%. Masalah gizi merupakan akibat dari berbagai faktor yang saling
terkait. Pada tahun 1990 ketika Indonesia mengalami krisis multidimensi, UNICEF mengembangkan
suatu diagram untuk menunjukkan penyebab kurang gizi (under nutrition) yang kemudian diadaptasi
oleh World Bank pada tahun 2011.
Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan yang tidak memenuhi jumlah
dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang yaitu beragam, sesuai kebutuhan, bersih,
dan aman, misalnya bayi tidak memperoleh ASI Eksklusif.
Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan tingginya
kejadian penyakit menular terutama diare, cacingan dan penyakit pernapasan akut (ISPA). Faktor ini
banyak terkait mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup dan
perilaku hidup sehat. Kualitas lingkungan hidup terutama adalah ketersediaan air bersih, sarana
sanitasi dan perilaku hidup sehat seperti kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di
jamban, tidak merokok, sirkulasi udara dalam rumah dan sebagainya.
Faktor lain yang juga berpengaruh yaitu ketersediaan pangan di keluarga, khususnya pangan
untuk bayi 0—6 bulan (ASI Eksklusif) dan 6—23 bulan (MP-ASI), dan pangan yang bergizi
seimbang khususnya bagi ibu hamil. Semuanya itu terkait pada kualitas pola asuh anak. Pola asuh,
sanitasi lingkungan, akses pangan keluarga, dan pelayanan kesehatan, dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan, pendapatan, dan akses informasi terutama tentang gizi dan kesehatan.
Permasalahan gizi merupakan permasalahan multisektoral oleh karena itu penanganannya pun
harus multisektoral, tidak hanya itu Penanganan permasalahan gizi juga harus melibatkan berbagai
elemen dalam masyarakat. ISMKI sebagai garda terdepan mahasiswa kedokteran Indonesia
berkomitmen untuk ikut serta dalam upaya penanganan permasalahan gizi di Indonesia. ISMKI
dengan berbagai kelengkapan bidang didalamnya berkolaborasi merumuskan langkah intervensi
dengan penjabaran berdasarkan diagram di atas. Mulai dari akar masalah hingga dengan intervensi
pada penyebab langsung dan tidak langsung.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana keberhasilan program penanggulangan Gizi Buruk di Puskesmas
Salembaran Jaya pada periode tahun 2019?
1.3. Tujuan
Mengetahui tingkat keberhasilan program penanggulangan Gizi di Puskesmas
Salembaran Jaya pada periode tahun 2019.
1.4. Manfaat
 Bagi Mahasiswa
Sebagai bahan pembelajaran untuk mengaplikasikan ilmu mengenai evaluasi
program.
 Bagi Puskesmas
Menjadi bahan masukan dalam mencapai keberhasilan program penanggulangan
Gizi Buruk di Puskesmas Salembaran Jaya
 Bagi Masyarakat
Memberikan informasi mengenai program penanggulangan Gizi Buruk.

BAB II
PROFIL PUSKESMAS

2.1. Geografi
Puskesmas Salembaran Jaya adalah salah satu puskesmas yang terletak di wilayah
Kecamatan Kosambi Kabupaten Tangerang Provinsi Banten, mempunyai luas wilayah 2.968.336
Ha (29.683 Km2), terdiri dari luas daratan 1.632.820 Ha dan Laut 1.200.364 Ha dengan ketinggian
dari permukaan laut 2-3 meter dengan curah hujan rata-rata 24 mm/tahun. Jarak dari Ibukota
Kabupaten Tangerang sekitar 16 Km.
Batas-batas wilayah Kecamatan Kosambi adalah sebagai berikut :
 Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Laut Jawa
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Tangerang
 Sebelah Timur berbatasan dengan Jakarta Utara
 Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Teluknaga

Wilayah kerja Puskesmas Salembaran Jaya berada di wilayah Kecamatan Kosambi bagian
utara yang terdiri dari 1 Kelurahan 4 desa binaan yaitu Kel. Salembaran Jaya, Desa Salembaran
Jati, Belimbing, Rawa Burung, Rawa Rengas
Puskesmas Salembaran Jaya terdapat di :
a. Kelurahan Salembaran Jaya
b. Jl. Putri No.3 kel. Salembaran Jaya
c. Kode Pos 15214
d. Status kepemilikan tanah : Tanah Pemkab
e. Batas wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa
f. Batas wilayah sebelah Timur berbatasan dengan Puskesmas Kosambi
g. Batas wilayah sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Tangerang
h. Batas wilayah sebelah Barat dengan Kec.Teluknaga
Prasarana perhubungan dan pengairan di Kecamatan Kosambi dihubungkan oleh :
 Jalan
Panjang jalan yang ada di wilayah Kecamatan Kosambi sepanjang 195 km, dengan
klasifikasi sebagai berikut :
a. Berdasarkan status.
 Jalan provinsi : - km
 Jalan Kabupaten : 48 km
 Jalan Desa : 28.5 km

b. Berdasarkan Kondisi Fisik


 Jalan hotmik : 9 km
 Jalan aspal : 15 km
 Jalan tanah : - km
 Jembatan
 Jembatan besi : 16 km
 Jembatan beton : 28 km
 Sungai/kali
Sungai/kali yang mengalir di wilayah Kecamatan Teluknaga adalah sungai Cisadane
dengan panjang saluran sejauh 12 km
 Irigasi/pengairan
Pengairan dapat mengairi sawah 557 Ha.
 Bendungan Air/Dam
Bendungan dapat digunakan PDAM yang menjadi salah satu sumber air bersih yang
dimanfaatkan masyarakat.

2.2. Demografi
Jumlah penduduk di wilayah UPT Puskesmas Salembaran Jaya tahun 2019 yaitu
75.209 Jiwa yang terdiri dari 38.476 laki-laki dan 36.733 perempuan. Secara administrasi
Puskesmas Salembaran Jaya mempunyai wilayah kerja 4 Desa 1 Kelurahan.

2.3. Sosial Ekonomi


Sebagian besar penduduk wilayah kerja Puskesmas Salembaran Jaya adalah termasuk
golongan ekonomi menengah kebawah, dengan jumlah keluarga miskin yang dicakup
JPKMM sebanyak 21.001 Jiwa.

2.4. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Derajat Kesehatan


1) Perilaku
Perilaku yang sehat akan meningkatkan derajat kesehatan. Seperti : cuci tangan sebelum
makan belum membudaya di desa-desa, membuang sampah tidak pada tempatnya,
mencuci pakaian di sungai.
2) Lingkungan
Lingkungan yang mendukung gaya hidup bersih juga berperan dalam peningkatan derajat
kesehatan. Kesehatan lingkungan yang tidak baik akan berdampak terhadap kesehatan
penduduk yang pasti akan berakibat menurunnya produktivitas penduduk dalam kegiatan
ekonomi.
3) Genetik
Banyak penyakit-penyakit yang dapat dicegah, namun sebagian ada yang tidak dapat
dihindari, seperti penyakit bawaan atau keturunan.
4) Pelayanan Kesehatan
Ketersediaan fasilitas dengan mutu pelayanan yang baik akan mempercepata terwujudnya
derajat kesehatan masyarakat. Namun harus ditunjang dengan ketersediaan tenaga
kesehatan yang cukup berkompeten pada bidangnya.

2.5. Faktor – faktor lain yang Berpengaruh terhadap Kesehatan


a. Kependudukan
Banyaknya jumlah penduduk dan luasnya daerah wilayah kerja Puskesmas Salembaran
Jaya dibandingkan jumlah tenaga yang kurang jelas tidak sesuai dengan proporsinya. Hal
ini akan mempengaruhi derajat kesehatan.
b. Ekonomi
Melihat banyaknya penduduk miskin diwilayah kerja Puskesmas Salembaran Jaya akan
mempengaruhi derajat kesehatan, karena dari penduduk 75.209 yang miskin 24.963
(33,20%).

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Epidemiologi
Gizi kurang dan Gizi buruk merupakan salah satu permasalah yang ada di Indonesia. Dari
data Riskesdas di Indonesia sendiri pada tahun 2018 menunjukkan tren positif perbaikan dalam
interval 5 tahun (2013-2018) dengan penurunan status gizi buruk dan gizi kurang pada balita yang
awalnya 19,6% menjadi 17,7% dan status gizi sangat pendek dan pendek pada balita yang awalnya
37,2% menjadi 30,8%. Namun dari penyajian data tersebut juga terlihat sangat kontras kesenjangan
diantara Provinsi. Provinsi Kepulauan Riau menunjukkan proporsi status gizi buruk dan gizi kurang
balita sebesar 13%, sementara Nusa Tenggara Timur cukup terpaut lebih tinggi dengan angka 29,5%,
Provinsi DKI Jakarta menunjukkan proporsi status gizi sangat pendek dan pendek balita sebesar
17,7%, sementara Nusa Tenggara Timur 42,6%. Sedangkan Proporsi status gizi sangat pendek dan
pendek pada baduta di Indonesia sebesar 29,9%, angka tersebut masih diatas dari target RPJMN
2019 yaitu 28%.

3.2. Definisi
Gizi Buruk adalah keadaan gizi balita yang ditandai dengan kondisi sangat kurus, disertai
atau tidak edema pada kedua punggung kaki, berat badan menurut panjang badan atau berat badan
dibanding tinggi badan kurang dari -3 standar deviasi dan/atau lingkar lengan atas kurang dari 11,5
cm pada Anak usia 6-59 bulan.
Gizi Kurang adalah keadaan gizi balita yang ditandai dengan kondisi kurus, berat badan
menurut panjang badan atau tinggi badan kurang dari -2 sampai dengan -3 standar deviasi, dan/atau
lingkar lengan 11,5-12,5 cm pada Anak usia 6-59 bulan.
Intervensi gizi dan kesehatan merupakan pelayanan gizi dan kesehatan yaitu pelayanan
perorangan dalam rangka mencegah timbulnya gizi kurang di masyarakat.

3.3. Tujuan
Intervensi gizi dan kesehatan bertujuan memberikan pelayanan langsung kepada balita. Ada
dua bentuk pelayanan gizi dan kesehatan, yaitu pelayanan perorangan dalam rangka menyembuhkan
dan memulihkan anak dari kondisi gizi buruk, dan pelayanan masyarakat yaitu dalam rangka
mencegah timbulnya gizi buruk di masyarakat. Dan Prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada
anak balita (persen) 19,6 tahun 2013 menjadi 17,0 pada tahun 2019.

3.4. Target Tatalaksana Balita Gizi Buruk

3.5. Kebijakan

1. Mengingat besaran dan sebaran gizi buruk yang ada di semua wilayah Indonesia dan
dampaknya terhadap kualitas sumber daya manusia, pencegahan dan penanggulangan gizi
buruk merupakan program nasional, sehingga perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi dilaksanakan secara berkesinambungan antara pusat dan daerah.
2. Penanggulangan masalah gizi buruk dilaksanakan dengan pendekatan komprehensif,
dengan mengutamakan upaya pencegahan dan upaya peningkatan, yang didukung upaya
pengobatan dan upaya pemulihan. (Bagan 1- lampiran).
3. Penanggulangan masalah gizi buruk dilaksanakan oleh semua kabupaten/kota secara terus
menerus, dengan koordinasi lintas instansi/dinas dan organisasi masyarakat.
4. Penanggulangan masalah gizi buruk diselenggarakan secara demokratis dan transparan
melalui kemitraan di tingkat kabupaten/kota antara pemerintahan daerah, dunia usaha dan
masyarakat.
5. Penanggulangan masalah gizi buruk dilakukan dengan pendekatan pemberdayaan
masyarakat yaitu dengan meningkatkan akses untuk memperoleh informasi dan
kesempatan untuk mengemukakan pendapat, serta keterlibatan dalam proses pengambilan
keputusan. Masyarakat yang telah berdaya diharapkan berperan sebagai pelaku/pelaksana,
melakukan advokasi dan melakukan pemantauan untuk peningkatan pelayanan publik.

3.6. Strategi
1. Pencegahan dan penanggulangan gizi buruk dilaksanakan di seluruh kabupaten/kota di
Indonesia, sesuai dengan kewenangan wajib dan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
dengan memperhatikan besaran dan luasnya masalah.
2. Mengembalikan fungsi posyandu dan meningkatkan kembali partisipasi masyarakat dan
keluarga dalam memantau tumbuh kembang balita, mengenali dan menanggulangi secara
dini balita yang mengalami gangguan pertumbuhan melalui revitalisasi Posyandu
3. Meningkatkan kemampuan petugas, dalam manajemen dan melakukan tatalaksana gizi
buruk untuk mendukung fungsi Posyandu yang dikelola oleh masyarakat melalui
revitalisasi Puskesmas
4. Menanggulangi secara langsung masalah gizi yang terjadi pada kelompok rawan melalui
pemberian intervensi gizi (suplementasi), seperti kapsul Vitamin A, MP-ASI dan makanan
tambahan
5. Mewujudkan keluarga sadar gizi melalui promosi gizi, advokasi dan sosialisasi tentang
makanan sehat dan bergizi seimbang dan pola hidup bersih dan sehat
6. Menggalang kerjasama lintas sektor dan kemitraan dengan swasta/dunia usaha dan
masyarakat untuk mobilisasi sumberdaya dalam rangka meningkatkan daya beli keluarga
untuk menyediakan makanan sehat dan bergizi seimbang
7. Mengaktifkan kembali Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) melalui revitalisasi
SKPG dan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) Gizi Buruk, yang dievaluasi dengan kajian
data SKDN yaitu (S)emua balita mendapat (K)artu menuju sehat, (D)itimbang setiap bulan
dan berat badan (N)aik, data penyakit dan data pendukung lainnya

3.7. Kegiatan

Penanggulangan Gizi buruk diselenggarakan melalui kegiatan:


A. Revitalisasi Posyandu
Revitalisasi Posyandu bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan kinerja Posyandu
terutama dalam pemantauan pertumbuhan balita.
Pokok kegiatan revitalisasi Posyandu meliputi;
1. Pelatihan/orientasi petugas Puskesmas, petugas sektor lain dan kader yang berasal
dari masyarakat
2. Pelatihan ulang petugas dan kader
3. Pembinaan dan pendampingan kader
4. Penyediaan sarana terutama dacin, KMS/Buku KIA, panduan Posyandu, media KIE,
sarana pencatatan
5. Penyediaan biaya operasional
6. Penyediaan modal usaha kader melalui Usaha Kecil Menengah (UKM) dan
mendorong partisipasi swasta.
B. Revitalisasi Puskesmas
Revitalisasi Puskesmas bertujuan meningkatkan fungsi dan kinerja Puskesmas terutama
dalam pengelolaan kegiatan gizi di Puskesmas, baik penyelenggaraan upaya kesehatan
perorangan maupun upaya kesehatan masyarakat.
Pokok kegiatan revitalisasi Puskesmas meliputi;
a. Pelatihan manajemen program gizi di puskesmas bagi pimpinan dan petugas
puskesmas dan jaringannya
b. Penyediaan biaya operasional Puskesmas untuk pembinaan posyandu, pelacakan
kasus, kerjasama LS tingkat kecamatan, dll
c. Pemenuhan sarana antropometri dan KIE bagi puskesmas dan jaringannya
d. Pelatihan tatalaksana gizi buruk bagi petugas rumah sakit dan puskesmas
perawatan C. Intervensi Gizi dan Kesehatan
Intervensi gizi dan kesehatan bertujuan memberikan pelayanan langsung kepada
balita. Ada dua bentuk pelayanan gizi dan kesehatan, yaitu pelayanan perorangan
dalam rangka menyembuhkan dan memulihkan anak dari kondisi gizi buruk, dan
pelayanan masyarakat yaitu dalam rangka mencegah timbulnya gizi buruk di
masyarakat.
Pokok kegiatan intervensi gizi dan kesehatan adalah sebagai berikut;
1. Perawatan/pengobatan gratis di Rumah Sakit dan Puskesmas balita gizi buruk dari
keluarga miskin
2. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berupa MP-ASI bagi anak 6- 23 bulan dan
PMT pemulihan pada anak 24-59 bulan kepada balita gizi kurang dari keluarga
miskin
3. Pemberian suplementasi gizi (kapsul vitamin A, tablet/sirup Fe)

D. Promosi keluarga sadar gizi


Promosi keluarga sadar gizi bertujuan dipraktikannya norma keluarga sadar gizi bagi
seluruh keluarga di Indonesia, untuk mencegah terjadinya masalah kurang gizi,
khususnya gizi buruk. Kegiatan promosi keluarga sadar gizi dilakukan dengan
memperhatikan aspek- aspek sosial budaya (lokal spesifik).
Pokok kegiatan promosi keluarga sadar gizi meliputi;
1. Menyusun strategi (pedoman) promosi keluarga sadar gizi
2. Mengembangkan, menyediakan dan menyebarluaskan materi promosi pada
masyarakat, organisasi kemasyarakatan, institusi pendidikan, tempat kerja, dan
tempat-tempat umum
3. Melakukan kampanye secara bertahap, tematik menggunakan media efektif terpilih
4. Menyelenggarakan diskusi kelompok terarah melalui dasawisma dengan dukungan
petugas.
E. Pemberdayaan keluarga
Pemberdayaan keluarga bertujuan meningkatkan kemampuan keluarga untuk mengetahui
potensi ekonomi keluarga dan mengembangkannya untuk memenuhi kebutuhan gizi
seluruh anggota keluarga. Keluarga miskin yang anaknya menderita kekurangan gizi
perlu diprioritaskan sebagai sasaran penanggulangan kemiskinan.
Pokok kegiatan pemberdayaan keluarga adalah sebagai berikut;
1. Pemberdayaan di bidang ekonomi;
1. Modal usaha, industri kecil
2. Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga (UPPK)
3. Peningkatan Pendapatan Petani Kecil
2. Pemberdayaan di bidang pendidikan
1. Beasiswa
2. Kelompok belajar
3. Pendidikan anak usia dini
3. Pemberdayaan di bidang kesehatan
1. Penyelenggaraan posgizi (Pos Pemulihan Gizi berbasis masyarakat)
2. Kader keluarga
3. Penyediaan percontohan sarana air minum dan jamban keluarga.
4. Pemberdayaan di bidang ketahanan pangan.
F. Advokasi dan pendampingan
Ada 2 tujuan dari kegiatan advokasi dan pendampingan. Pertama, meningkatkan
komitmen para penentu kebijakan, termasuk legislatif, tokoh masyarakat, tokoh agama,
pemuka adat dan media massa agar peduli dan bertindak nyata di lingkungannya untuk
memperbaiki status gizi anak. Kedua, meningkatkan kemampuan teknis petugas dalam
pengelolaan program Gizi.
Pokok kegiatan advokasi dan pendampingan adalah sebagai berikut;
1. Diskusi dan rapat kerja dengan DPR, DPD, dan DPRD secara berkala 2.
G. Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)
Revitalisasi SKPG bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat dan pemerintah
daerah melakukan pemantauan yang terus menerus terhadap situasi pangan dan keadaan gizi
masyarakat setempat, untuk dapat melakukan tindakan dengan cepat dan tepat untuk
mencegah timbulnya bahaya kelaparan dan kurang gizi, khususnya gizi buruk pada tingkat
desa, kecamatan dan kabupaten.
Memfungsikan sistem isyarat dini dan intervensi, serta pencegahan KLB dengan:
1. Memfungsikan sistem pelaporan, diseminasi informasi dan pemanfaatannya
2. Penyediaan data gizi secara reguler (pemantauan status gizi, untuk semua kelompok
umur, pemantauan konsumsi gizi, analisis data Susenas).

3.8. Indikator Program Gizi


Indikator diperlukan sebagai alat ukur kinerja dan kemajuan program (marker of
progress) atau keberhasilan program dengan mengacu pada data gizi diperlukan kegiatan
perbaikan gizi masyarakat yang dimonitor dan dievaluasi melalui kegiatan surveilans gizi,
antara lain sebagai berikut

1. Indikator Masalah Gizi

Indikator masalah gizi adalah indikator yang digunakan untuk menilai besaran masalah
gizi yang terjadi di satu wilayah. Indikator masalah gizi terdiri atas:
a. Persentase balita berat badan kurang (underweight);
1) Latar Belakang

Berat Badan Kurang merupakan masalah gizi yang bersifat umum dapat
disebabkan karena masalah kronis ataupun akut, sehingga perlu konfirmasi lebih
lanjut. Masalah Berat Badan Kurang yang terjadi lama akan mengakibatkan
gangguan pertumbuhan pada anak. Indikator ini sebagai indikator outcome yang
bertujuan untuk mengevaluasi dampak dari upaya program gizi yang telah
dilakukan.

2) Definisi Operasional
a. Balita adalah anak yang berumur dibawah 5 tahun ( 0 sampai 59 bulan 29 hari).
b. Berat Badan Kurang adalah kategori status gizi berdsarkan indeks Berat Badan
menurut Umur (BB/U) dengan z-score kurang dari -2 SD.
c. Persentase balita Berat Badan Kurang adalah jumlah balita dengan
kategori status gizi Berat Badan Kurang terhadap jumlah seluruh balita
yang ditimbang dikali 100%.
3) Ukuran Indikator

a. Berat Badan Kurang dinilai bukan masalah kesehatan masyarakat


apabila prevalensi dibawah 10%

Rumus:

Jumlah balita underweight


Persentase Balita = x 100%
Underweight
Jumlah balita yang ditimbang

b. Persentase balita pendek (stunting);

1) Latar Belakang

Balita Pendek merupakan masalah gizi yang bersifat kronis yang


disebabkan oleh banyak faktor baik dari masalah kesehatan maupun di luar
kesehatan dan berlangsung lama. Balita Pendek berdampak pada gangguan
kognitif dan risiko menderita penyakit degeneratif pada usia dewasa. Indikator ini
sebagai indikator outcome yang bertujuan untuk mengevaluasi dampak dari
upaya program gizi yang telah dilakukan.
2) Definisi Operasional
a. Balita adalah anak yang berumur dibawah 5 tahun (0 sampai 59 bulan
29 hari).
b. Baduta adalah anak yang berumur dibawah 2 tahun (0 sampai 23 bulan
29 hari).
c. Pendek adalah kategori status gizi berdasarkan indeks Tinggi Badan
menurut Umur (TB/U) dengan z-score kurang dari -2SD.
d. Persentase balita pendek adalah jumlah balita dengan kategori status
gizi pendek terhadap jumlah seluruh balita diukur dikali 100%.
e. Persentase baduta pendek adalah jumlah baduta dengan kategori status
gizi pendek terhadap jumlah seluruh baduta diukur dikali 100%.

3) Ukuran Indikator

Pendek dinilai bukan masalah kesehatan masyarakat apabila prevalensi


dibawah 20%
Rumus:
4)

Jumlah balita pendek


Persentase = x 100%
Balita Pendek
Jumlah balita yang diukur

Jumlah baduta pendek


Persentase Baduta = x 100%
Pendek Jumlah baduta yang diukur
c. Persentase balita gizi kurang (wasting);

1. Latar Belakang

Gizi kurang merupakan masalah gizi yang bersifat akut terutama


disebabkan oleh asupan yang kurang atau penyakit infeksi. Gizi kurang
berdampak pada gangguan pertumbuhan pada anak. Indikator ini sebagai
indikator outcome yang bertujuan untuk mengevaluasi dampak dari upaya
kinerja gizi yang telah dilakukan.
2. Definisi Operasional
a. Balita adalah anak yang berumur dibawah 5 tahun (0 sampai 59 bulan
29 hari).
b. Gizi kurang adalah kategori status gizi berdasarkan indeks Berat Badan
menurut Tinggi Badan (BB/TB) dengan z-score kurang dari -2 SD.
c. Persentase balita gizi kurang adalah jumlah balita dengan kategori
status gizi kurang terhadap jumlah seluruh balita diukur dikali 100%.
3. Ukuran Indikator

Gizi kurang dinilai bukan masalah kesehatan masyarakat apabila prevalensi


dibawah 5%.
Rumus:

Persentase Jumlah balita gizi kurang


= x 100%
Balita Gizi
Kurang Jumlah balita diukur

d. Persentase remaja putri anemia;

1) Latar Belakang

Anemia pada remaja putri berdampak buruk terhadap penurunan imunitas,


konsentrasi, prestasi belajar, kebugaran dan produktivitas. Dampak yang
lebih serius akan terjadi karena mereka adalah calon ibu yang akan hamil
dan melahirkan bayi yang berisiko terhadap kematian ibu melahirkan dan
bayi lahir prematur serta BBLR. Anemia sebagai indikator rendahnya
kualitas kesehatan dan gizi.
2) Definisi Operasional

a. Remaja putri adalah remaja putri yang berusia 12-18 tahun yang
bersekolah di SMP/SMA atau sederajat.
b. Remaja putri anemia adalah remaja putri dengan kadar Hb kurang dari
12,0 g/dl.
c. Persentase remaja putri anemia adalah jumlah remaja putri anemia
terhadap jumlah remaja putri yang diperiksa dikali 100%.
3) Ukuran Indikator

Masalah anemia dinilai bukan masalah kesehatan masyarakat apabila


prevalensi remaja putri anemia dibawah 5%.
Rumus:
\

Persentase Jumlah remaja putri anemia


Remaja Putri = Jumlah remaja putri yang x 100%
Anemia diperiksa Hb

e. Persentase ibu hamil anemia

1) Latar Belakang

Anemia pada ibu hamil menjadi salah satu penyebab terjadinya bayi
BBLR dan pendarahan pada saat persalinan yang berujung pada kematian
ibu. Anemia sebagai indikator rendahnya kualitas kesehatan dan gizi.
2) Definisi Operasional

a. Ibu hamil anemia adalah ibu hamil dengan kadar Hb kurang dari11,0
g/dl.
b. Persentase ibu hamil anemia adalahjumlah ibu hamil anemia terhadap
jumlah ibu hamil yang diperiksa dikali 100%.
3) Ukuran Indikator

Masalah anemia dinilai bukan masalah kesehatan masyarakat apabila


prevalensi ibu hamil anemia dibawah 5%.

Rumus:

Persentase Jumlah ibu hamil anemia


Ibu Hamil = x 100%
Jumlah ibu hamil yang
Anemia
diperiksa Hb pertama kali

f. Persentase ibu hamil risiko Kurang Energi Kronik (KEK); dan

1) Latar Belakang
Kurang Energi Kronik adalah kurangnya asupan energi yang berlangsung
relatif lama. Keadaan KEK pada ibu hamil jika tidak segera ditangani akan
menyebabkan gangguan kesehatan bagi ibu dan janin yang dilahirkan seperti
keguguran, bayi BBLR bahkan kematian. Sehingga wajib dilakukan
pengukuran status gizi pada ibu hamil untuk dapat menentukan tindakan
segera.
2) Definisi Operasional

a. Ibu hamil risiko KEK adalah ibu hamil dengan Lingkar Lengan Atas
(LiLA) kurang dari 23,5 cm.

b. Persentase ibu hamil risiko KEK adalah jumlah ibu hamil Risiko KEK
terhadap jumlah ibu hamil yang diukur LiLA dikali 100%.

3) Ukuran Indikator

Masalah KEK dinilai bukan masalah kesehatan masyarakat apabila prevalensi


ibu hamil risiko KEK dibawah 10%.

Rumus:

Persentase
Jumlah ibu hamilrisiko KEK
Ibu Hamil = x 100%
Risiko KEK Jumlah ibu hamil yang diukur LiLA

g. Persentase Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) (berat badan kurang dari 2500 gram)
1) Latar Belakang
Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) merupakan salah satu factor
determinan terjadinya masalah pendek. Indikator outcome dari kondisi gizi ibu
selama kehamilan.

2) Definisi Operasional

a. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi baru
lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram.
b. Persentase BBLR adalah jumlah BBLR terhadap jumlah bayi baru
lahir hidup yang ditimbang dikali 100%.
3) Ukuran Indikator

Masalah BBLR dinilai rendah apabila persentase BBLR dibawah


target.
Rumus:

Persentase Jumlah bayi BBLR

Bayi BBLR = x 100 %


Jumlah bayi baru lahir hidup yang ditimbang

2. Indikator Kinerja Program Gizi

Indikator kinerja gizi adalah indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilan
kinerja program gizi, yang meliputi:

a. Cakupan Bayi Usia Kurang dari 6 Bulan Mendapat ASI Eksklusif

1) Latar Belakang

Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan memiliki banyak manfaat bagi bayi
dan ibu. Indikator ini bertujuan untuk mengetahui penurunan persentase ASI
Eksklusif berdasarkan kelompok umur sehingga dapat merencanakan edukasi
gizi pada saat yang tepat bagi ibu hamil dan menyusui.
2) Definisi Operasional

a. Bayi usia kurang dari 6 bulan adalah seluruh bayi umur 0 bulan 1 hari
sampai 5 bulan 29 hari
b. Bayi mendapat ASI Eksklusifkurang dari 6 bulan adalah bayi kurang dari 6
bulan yang diberi ASI saja tanpa makanan atau cairan lain kecuali obat,
vitamin dan mineral berdasarkan recall 24 jam.
c. Persentase bayi kurang dari 6 bulan mendapat ASI Eksklusifadalah jumlah
bayi kurang dari 6 bulan yang masih mendapat ASI Eksklusifterhadap
jumlah seluruh bayi kurang dari 6 bulan yang direcall dikali 100%.

CATATAN:
Data pemberian ASI Eksklusif dicatat dari KMS seluruh bayi usia 0 bulan 1
hari sampai 5 bulan 29 hari pada Formulir Pencatatan Pemberian ASI
Eksklusif pada Bayi kurang dari 6 bulansesuai simbol berikut:
√ = bayi masih diberi ASI saja
X = bayi sudah diberi makanan/minuman lain selain ASI kecuali obat,
vitamin dan mineral
A = bayi tidak datang penimbangan
Pencatatan pada Buku KIA/KMS dilakukan setiap bulan
3) Ukuran Indikator

Kinerja dinilai baik jika persentase bayi kurang dari 6 bulan yang mendapat
ASI eksklusif sesuai target.
Rumus:

Persentase Bayi Jumlah bayi kurang dari 6 bulan masih


kurang dari 6 Bulan mendapat ASI Eksklusif
= x 100 %
Mendapat Jumlah bayi kurang dari 6 bulan
ASI Eksklusif yang di recall

b. Cakupan Bayi Usia 6 Bulan Mendapat ASI Eksklusif

1) Latar Belakang

Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air


Susu Ibu Eksklusif mengamanatkan bahwa setiap ibu yang melahirkan
harus memberikan ASI eksklusif kepada bayi yang dilahirkannya
selama enam bulan pertama agar mencapai pertumbuhan, perkembangan
dan kesehatan yang optimal, selanjutnya, mereka harus memberi
makanan pendamping yang bergizi dan terus menyusui hingga bayi
berusia dua tahun atau lebih.
2) Definisi Operasional

a. Bayi usia 6 bulan adalah seluruh bayi yang telah mencapai umur 5
bulan 29 hari
b. Bayi mendapat ASI Eksklusif 6 bulan adalah bayi sampai usia 6
bulan yang diberi ASI saja tanpa makanan atau cairan lain kecuali
obat, vitamin dan mineral sejak lahir
c. Persentase bayi usia 6 bulan mendapat ASI Eksklusif adalah
jumlah bayi mencapai usia 5 bulan 29 hari mendapat ASI
Eksklusif 6 bulan terhadap jumlah seluruh bayi mencapai usia 5
bulan 29 hari dikali 100%.
3) Ukuran Indikator

Kinerja dinilai baik jika persentase bayi usia 6 bulan yang mendapat ASI
eksklusif sesuai target.

Rumus :
Persentase Bayi Jumlah bayi telah mencapai usia 5 bulan
Usia 6 Bulan 29 hari mendapat ASI Eksklusif
= x 100%
mendapat ASI Jumlah bayi telah mencapai 5 bulan 29
Eksklusif hari

c. Cakupan Ibu Hamil yang Mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) Minimal 90
Tablet Selama Masa Kehamilan
1) Latar Belakang

Pemberian TTD merupakan satu intervensi untuk mencegah terjadinya


anemia pada ibu selama proses kehamilan. Sebaiknya ibu hamil mulai
mengonsumsi TTD sejak konsepsi sampai akhir trimester III. Indikator ini
sebagai evaluasi kinerja apakah TTD sudah diberikan kepada seluruh
sasaran.
2) Definisi Operasional

a. TTD adalah tablet yang sekurangnya mengandung zat besi setara


dengan 60 mg besi elemental dan 0,4 mg asam folat yang
disediakan oleh pemerintah maupun diperoleh sendiri.
b. Ibu hamil mendapat 90 TTD adalah jumlah ibu hamil yang selama
kehamilan mendapat minimal 90 TTD terhadap jumlah sasaran ibu
hamil dikali 100%.
3) Ukuran Indikator

Kinerja dinilai baik jika persentase ibu selama hamil mendapat 90 TTD
sesuai target.

Rumus:

Jumlah ibu hamil yang mendapat


Persentase Ibu Hamil yang
= minimal 90 TTD
Mendapat 90 TTD x 100%
Jumlah ibu hamil
d. Cakupan Ibu Hamil Kurang Energi Kronik (KEK) yang Mendapat Makanan
Tambahan
1) Latar belakang

Ibu hamil di Indonesia masih mengalami defisit asupan energi dan protein.
Berdasarkan hal tersebut pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil sangat
diperlukan untuk mencegah bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
2) Definisi Operasional

a. Ibu hamil KEK adalah Ibu hamil dengan Lingkar Lengan Atas
(LiLA) kurang dari 23,5 cm
b. Makanan Tambahan adalah makanan yang dikonsumsi sebagai
tambahan asupan zat gizi diluar makanan utama dalam bentuk
makanan tambahan pabrikan atau makanan tambahan bahan pangan
lokal.
c. Persentase Ibu hamil KEK mendapat makanan tambahan adalah
jumlah ibu hamil KEK yang mendapatkan makanan tambahan
terhadap jumlah ibu hamil KEK yang ada dikali 100%.

3) Ukuran Indikator

Kinerja dinilai baik jika presentase ibu hamil KEK mendapat makanan
tambahan sesuai target.
Rumus:

Jumlah ibu hamil KEK yang


Persentase Ibu Hamil
KEK mendapat makanan = mendapat makanan tambahan
x 100%
tambahan
yang ada

e. Cakupan Balita Kurus yang Mendapat Makanan Tambahan

1) Latar Belakang

Di banyak negara, kurang dari seperempat anak balita usia 6-23 bulan
dengan frekuensi makan dan kriteria keragaman makanannya sesuai untuk
usianya. Berdasarkan data Survei Diet Total (SDT) tahun 2014 diketahui
bahwa lebih dari separuh balita (55,7%) mempunyai asupan energi yang kurang
dari Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan. Pemberian makanan
tambahan khususnya bagi kelompok rawan merupakan salah satu strategi
suplementasi dalam mengatasi masalah gizi.

2) Definisi Operasional

a. Balita kurus adalah anak usia 6 bulan 0 hari sampai dengan

59 bulan 29 hari dengan status gizi kurus (BB/PB atau BB/TB -3 SD sampai
dengan kurang dari -2 SD).
b. Makanan Tambahan adalah makanan yang dikonsumsi sebagai
tambahan asupan zat gizi diluar makanan utama dalam bentuk
makanan tambahan pabrikan atau makanan tambahan bahan pangan
local.
c. Persentase balita kurus mendapat makanan tambahan adalah jumlah
balita kurus yang mendapat makanan tambahan terhadap jumlah
balita kurus dikali 100%.
3) Ukuran Indikator

Kinerja dinilai baik jika presentase balita kurus yang mendapat makanan
tambahan sesuai target.
Rumus:

Persentase Balita Kurus Jumlah balita kurus yang

mendapat makanan mendapat makanan tambahan


= x 100%
tambahan
Jumlah seluruh balita kurus

f. Cakupan Remaja Putri (Rematri) mendapat Tablet Tambah Darah (TTD)

1) Latar Belakang

Prevalensi anemia di Indonesia pada perempuan usia 15 tahun keatas


sebesar 22,7%. Remaja putri anemia akan mengalami gangguan kehamilan
jika tidak segera ditangani. Pemberian TTD pada rematri usia 12-18 tahun
sebagai upaya pencegahan anemia sejak dini. Pemberian TTD rematri yang
diikuti dengan KIE gizi dan kesehatan diharapkan akan memperbaiki
masalah-masalah pada periode berikutnya. Perlu dilakukan monitoring
pemberian TTD, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan TTD pada
remaja putri. Dalam kegiatan ini, diasumsikan seluruh remaja putri wajib
sekolah.

2) Definisi Operasional
a. Remaja Putri adalah remaja putri yang berusia 12-18 tahun yang
bersekolah di SMP/SMA atau sederajat
b. TTD adalah tablet yang sekurangnya mengandung zat besi setara
dengan 60 mg besi elemental dan 0,4 mg asam folat yang disediakan
oleh pemerintah maupun diperoleh secara mandiri
c. Remaja putri mendapat TTD adalah jumlah remaja putri yang
mendapat TTD secara rutin setiap minggu sebanyak 1 tablet.
d. Persentase remaja putri mendapat TTD adalah jumlah remaja putri
yang mendapat TTD secara rutin setiap minggu terhadap jumlah
remaja putri yang ada dikali 100%.
3) Ukuran Indikator

Kinerja dinilai baik jika presentase remaja putri mendapat dan


mengkonsumsi TTD sesuai target
Rumus:

Persentase Jumlah remaja putri mendapat TTD Jumlah


Remaja Putri seluruh remaja putri 12-18
= x 100%
mendapat TTD tahun di sekolah

g. Cakupan Bayi Baru Lahir yang Mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

1) Latar Belakang

Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dalam waktu 1 jam setelah kelahiran,


melindungi bayi yang baru lahir dari tertular infeksi dan mengurangi angka
kematian bayi baru lahir. IMD merupakan salah satu indikator keberhasilan
pelayanan kesehatan pada ibu hamil.
2) Definisi Operasional

a. Inisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah proses menyusu dimulai segera


setelah lahir. IMD dilakukan dengan cara kontak kulit ke kulit antara
bayi dengan ibunya segera setelah lahir dan berlangsung minimal 1
(satu) jam
b. Persentase bayi baru lahir yang mendapat IMD adalah jumlah bayi
baru lahir hidup yang mendapat IMD terhadap jumlah bayi baru lahir
hidup dikali 100%.
3) Ukuran Indikator

Kinerja dinilai baik jika persentase bayi baru lahir yang mendapat
IMDsesuai dengantarget
Rumus:
Jumlah bayi baru lahir hidup
Persentase
yang mendapat IMD
Jumlah bayi baru lahir = x 100%
Jumlah seluruh bayi baru lahir
yang mendapat IMD
hidup

h. Cakupan Balita Yang Ditimbang Berat Badannya (D/S)

1) Latar Belakang

Balita yang ditimbang berat badannya menggambarkan tingkat


keberlangsungan pemantauan pertumbuhan sebagai bentuk partisipasi
masyarakat sekaligus menilai kinerja tenaga kesehatan dalam mengedukasi
masyarakat untuk melakukan pemantauan pertumbuhan
2) Definisi Operasional

a. Balita adalah anak yang berumur di bawah 5 tahun (0-59 bulan 29


hari)
b. Balita adalah jumlah seluruh sasaran (S) balita yang ada di suatu
wilayah.
c. Balita adalah jumlah balita yang ditimbang (D) di suatu wilayah.
d. Persentase D/S adalah jumlah balita yang ditimbang terhadap
balita yang ada dikali 100%.

3) Ukuran Indikator

Kinerja penimbangan balita yang ditimbang


berat badannya dinilai baik bila persentase D/S setiap
bulannya sesuai target

Rumus:
Persentase
Jumlah balita ditimbang di suatu wilayah
Balita = x 100%
ditimbang Jumlah Balita yang ada
i. Cakupan Balita mempunyai Buku Kesehatan Ibu Anak (KIA)/Kartu Menuju Sehat
(KMS);
1) Latar Belakang

KMS digunakan sebagai media untuk merekam pemantauan pertumbuhan


anak. Sebaiknya seluruh balita mempunyai KMS didalam buku KIA agar
dapat terus diikuti pertumbuhannya dari waktu ke waktu.
2) Definisi Operasional

a. Balita adalah anak yang berumur di bawah 5 tahun (0-59 bulan 29


hari).
b. Buku KIA adalah buku yang berisi catatan kesehatan ibu (hamil,
bersalin dan nifas) dan anak (bayi baru lahir, bayi dan anak balita)
serta berbagai informasi cara memelihara dan merawat kesehatan ibu
serta grafik pertumbuhan anak yang dapat dipantau setiap bulan.
c. Kartu Menuju Sehat (KMS) adalah kartu yang memuat kurva
pertumbuhan normal anak berdasarkan indeks antropometri berat
badan menurut umur yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin.
KMS digunakan untuk mencatat berat badan, memantau
pertumbuhan balita setiap bulan dan sebagai media penyuluhan gizi
dan kesehatan.
d. Persentase balita mempunyai Buku KIA/KMS adalah jumlah balita
mempunyai Buku KIA/KMS terhadap jumlah balita yang ada dikali
100%.
3) Ukuran Indikator

Kinerja dinilai baik jika persentase balita mempunyai Buku KIA/KMS


sesuai dengan target.

Rumus :

Persentase Balita
Jumlah balita mempunyai buku
mempunyai = x 100%
KIA/KMS
buku KIA/KMS
Jumlah seluruh balita yang ada

j. Cakupan Balita ditimbang yang Naik Berat Badannya (N/D)

1) Latar Belakang

Pemantauan pertumbuhan yang dilakukan setiap bulan dapat memberikan


gambaran tingkat keberhasilan program dalam kegiatan upaya perbaikan
gizi masyarakat di posyandu melalui informasi persentase balita yang naik
berat badannya.

2) Definisi Operasional

a. Balita adalah anak yang berumur di bawah 5 tahun (0-59 bulan 29


hari)
b. Balita ditimbang (D) adalah anak umur 0-59 bulan 29 hari yang
ditimbang.
c. Berat badan naik (N) adalah hasil penimbangan berat badan dengan
grafik berat badan mengikuti garis pertumbuhan atau kenaikan berat
badan sama dengan kenaikan berat badan minimum atau lebih.
Kenaikan berat badan ditentukan dengan membandingan hasil
penimbangan bulan ini dengan bulan lalu. Balita tidak ditimbang
bulan lalu (O) adalah balita yang tidak memiliki catatan hasil
penimbangan bulan lalu
d. Balita baru (B) adalah balita yang baru datang ke posyandu dan
tidak terdaftar sebelumnya.
e. Persentase balita ditimbang yang naik berat badannya adalah
jumlah balita yang naik berat berat badannya terhadap jumlah balita
yang ditimbang dikurangi balita tidak ditimbang bulan lalu dan
balita baru dikali 100%.

3) Ukuran Indikator

Kinerja dinilai baik jika persentase balita ditimbang yang naik berat
badannya sesuai dengan target.

Rumus:

Persentase
balita tidak Jumlah balita naik berat badannya
naik Berat = x 100%

badannya Jumlah seluruh balita yang ditimbang – (balita

tidak ditimbang bulan lalu + balita baru)

k. Cakupan Balita Ditimbang yang Tidak Naik Berat Badannya Dua Kali Berturut-Turut
(2T/D)
1) Latar Belakang

Balita yang tidak naik berat badannya selama 2 bulan berturut turut harus
segera dirujuk ke puskesmas untuk mendapat pemeriksaan lanjut. Setelah
diketahui penyebabnya maka tenaga kesehatan akan memberikan intervensi
yang sesuai.
2) Definisi Operasional

a. Balita adalah anak yang berumur di bawah 5 tahun (0-59 bulan 29


hari)
b. Balita ditimbang (D) adalah anak umur 0-59 bulan 29 hari yang
ditimbang diseluruh Posyandu yang melapor di suatu wilayah pada
periode tertentu.
c. Balita tidak ditimbang bulan lalu (O) adalah balita yang tidak
memiliki catatan hasil penimbangan bulan lalu
d. Balita baru (B) adalah balita yang baru datang ke posyandu dan tidak
terdaftar sebelumnya.
e. Tidak naik berat badannya (T) adalah hasil penimbangan berat badan
dengan grafik berat badan mendatar atau menurun memotong garis
pertumbuhan dibawahnya atau kenaikan berat badan kurang dari
kenaikan berat badan minimum.
f. Balita 2T adalah balita tidak naik berat badannya dua kali berturut-
turut dalam 2 bulan.
g. Persentase balita 2T adalah jumlah balita 2T terhadap jumlah
balita yang ditimbang dikurangi balita tidak ditimbang bulan lalu dan
balita baru dikali 100%.

3) Ukuran Indikator

Masalah balita yang tidak naik berat badannya 2 kali berturut- turut dinilai
rendah apabila persentase dibawah target
Rumus:

Persentase Jumlah balita tidak naik berat badannya 2


balita tidak kali berturut-turut
naik Berat = x 100%

badannya Jumlah seluruh balita yang ditimbang –

(balita tidak ditimbang bulan lalu + balita baru)


l. Cakupan balita 6-59 bulan mendapat kapsul Vitamin A

1) Latar Belakang

Vitamin A merupakan zat gizi esensial yang dibutuhkan oleh tubuh dan asupan
vitamin A dari makanan sehari-hari umumnya masih kurang. Kekurangan
Vitamin A (KVA) di dalam tubuh yang berlangsung lama menimbulkan
berbagai masalah kesehatan yang berdampak pada meningkatnya risiko
kesakitan dan kematian. Mempertahankan status vitamin A pada bayi dan anak
balita dapat mengurangi masalah kesehatan masyarakat seperti kecacingan dan
campak.
2) Definisi Operasional

a. Bayi umur 6-11 bulan adalahbayi umur 6-11 bulan yang ada di suatu
wilayah kabupaten/kota
b. Balita umur 12-59 bulan adalah balita umur 12-59 bulan yang ada di
suatu wilayah kabupaten/kota
c. Balita 6-59 bulanadalah balita umur 6-59 bulan yang ada di suatu
wilayah kabupaten/kota
d. Kapsul vitamin Aadalahkapsul yang mengandung vitamin A dosis tinggi,
yaitu 100.000 Satuan Internasional (SI) untuk bayi umur 6-11 bulan dan
200.000 SI untuk anak balita 12- 59 bulan
e. Persentase balita mendapat kapsul vitamin Aadalah jumlah bayi 6-11
bulan ditambah jumlah balita 12-59 bulan yang mendapat 1 (satu) kapsul
vitamin A pada periode 6 (enam) bulan terhadap jumlah seluruh balita 6-
59 bulan dikali 100%.
3) Ukuran indikator:

Kinerja dinilai baik jika persentase balita 6-59 bulan mendapat Vitamin A
sesuai target
Rumus:

Persentase Balita 6-59 Jumlah bayi 6-11 bulan + balita 12-59


Bulan Mendapat = bulan yang mendapat kapsul vitamin A x 100%
Kapsul Vitamin A
Jumlah balita 6-59 bulan
m. Cakupan ibu nifas mendapat kapsul Vitamin A

1) Latar belakang

Ibu nifas membutuhkan vitamin A karena pada saat proses melahirkan telah
kehilangan sejumlah darah sehingga berisiko mengalami kekurangan vitamin A.
Pemberian vitamin A dapat membantu menurunkan angka kematian pada ibu
dan bayi, mengurangi penyakit infeksi paska persalinan, mempercepat proses
pemulihan dan mencegah anemia.
2) Definisi Operasional

a. Ibu nifas adalah ibu baru melahirkan sampai hari ke-42.

b. Ibu nifas mendapat kapsul Vitamin A adalah ibu nifas mendapat 2 kapsul
vitamin A, satu kapsul diberikan segera setelah melahirkan dan kapsul
kedua diberikan minimal 24 jam setelah pemberian pertama.
c. Kapsul Vitamin A untuk ibu nifas adalah kapsul yang mengandung
vitamin A dosis 200.000 Satuan Internasional (SI).
d. Persentase ibu nifas mendapat mendapat kapsul vitamin A adalah jumlah
ibu nifas yang mendapat kapsul vitamin A terhadap jumlah ibu nifas yang
ada dikali 100%.

3) Ukuran Indikator

Kinerja dinilai baik jika presentase ibu nifas mendapat dua kapsul vitamin A
sesuai target. Persentase ibu nifas mendapat kapsul Vitamin A
Rumus:

Persentase Ibu
Jumlah Ibu nifas dapat kapsul vit. A
nifas dapat kapsul vit. = x 100%
A
Jumlah seluruh ibu nifas

n. Cakupan Rumah Tangga Mengonsumsi Garam Beriodium

1) Latar belakang

Zat iodium berfungsi untuk membantu tubuh memproduksi hormon tiroid.


Hormone tiroid berfungsi mengatur keberlangsungan proses metabolisme tubuh
dan fungsi organ lainnya. Umumnya asupan makanan sumber iodium di
masyarakat masih rendah, sehingga untuk mencegah defisiensi iodium, WHO
menganjurkan fortifikasi pada garam yang digunakan untuk bumbu masakan di
rumah tangga.
2) Definisi Operasional

a. Garam konsumsi beriodium adalah produk bahan makanan yang


komponen utamanya Natrium Klorida (NaCl) dengan penambahan Kalium
Iodat(KIO3).
b. Alat Tes Cepat Garam Beriodium (larutan uji garam beriodium) adalah
larutan yang digunakan untuk menguji kandungan Iodium dalam garam
secara kualitatif yang dapat membedakan ada/tidaknya Iodium dalam
garam melalui perubahan warna menjadi ungu.
c. Rumah tangga yang mengonsumsi garam beriodium adalah seluruh
anggota rumah tangga yang mengonsumsi garam beriodium.
d. Persentase rumah tangga yang mengonsumsi garam beriodium adalah
jumlah rumah tangga yang mengonsumsi garam beriodium terhadap
jumlah seluruh rumah tangga yang diperiksa dikali 100%.
3) Ukuran Indikator

Kinerja dinilai baik, jika persentase rumah tangga mengonsumsi garam


beriodium sesuai target.
Rumus:

Jumlah rumah tangga yang


Persentase rumah tangga
mengonsumsi garam mengonsumsi garam beriodium
= x 100%
beriodium
Jumlah rumah tangga yang

diperiksa

o. Cakupan Kasus Balita Gizi Buruk yang Mendapat Perawatan

1) Latar Belakang

Gizi buruk secara langsung disebabkan karena kekurangan asupan dan adanya
penyakit infeksi. Gizi buruk yang berlangsung lama akan menyebabkan
gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Berdasarkan Permenkes
Nomor 347/Menkes/IV/2008 semakin aktif surveilans gizi, maka semakin
banyak kasus yang ditemukan dan dirujuk, karena setiap gizi buruk yang
ditemukan harus segera mendapat perawatan. Indikator ini untuk melihat kinerja
akses pelayanan kesehatan.

2) Definisi Operasional

a. Balita adalah anak yang berumur di bawah 5 tahun (0-59 bulan 29 hari).
b. Kasus balita gizi burukadalah balita dengan tanda klinis gizi buruk dan
atau indeks Berat Badan menurut Panjang Badan (BB/PB) atau Berat
Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) dengan nilai Z-score kurang dari-3
SD.
c. Kasus balita gizi buruk yang mendapat perawatan adalah balita gizi buruk
yang dirawat inap maupun rawat jalan di fasilitas pelayanan kesehatan dan
masyarakat sesuai dengan tata laksana gizi buruk.
d. Persentase kasus balita gizi buruk yang mendapat perawatan adalah
jumlah kasus balita gizi buruk yang mendapat perawatan terhadap jumlah
kasus balita gizi buruk yang ditemukan di suatu wilayah pada periode
tertentu dikali 100%.
3) Ukuran Indikator

Kinerja penanganan kasus balita gizi buruk dinilai baik jika seluruh balita gizi
buruk yang ditemukan mendapat perawatan.

Rumus :

Persentase Kasus Jumlah kasus balita gizi buruk yang


balita Gizi Buruk mendapat perawatan di suatu wilayah
yang Mendapat = x 100%

Perawatan Jumlah kasus balita gizi buruk yang

ditemukan di suatu wilayah


Keberhasilan dalam pelaksanaan teknis surveilans gizi di suatu wilayah dapat dipantau dan
dievaluasi berdsarkan :
1. Indikator Input
a. Adanya tenaga manajemen data gizi yang meliputi pengumpul data dari laporan rutin
atau survei khusus, pengolah dan analis data serta penyaji informasi
b. Tersedianya instrumen pengumpulan dan pengolahan data
c. Tersedianya sarana dan prasarana pengolahan data
d. Tersedianya biaya operasional surveilans gizi

2. Indikator Proses
a. Adanya proses pengumpulan data
b. Adanya proses analisis data
c. Adanya tindakan berdasarkan informasi surveilans (laporan dan umpan balik,
sosialisasi atau advokasi hasil surveilans gizi)

3. Indikator Output
a. Adanya perencanaan berbasis bukti
b. Terlaksananya advokasi kepada pemangku kepentingan

BAB IV
EVALUASI PROGRAM
4.1. Gambaran Umum Program Gizi Buruk
Progam gizi buruk merupakan salah satu bagian dari program Puskesmas
Salembaran Jaya dalam upaya pencegahan dan pengendalian gizi buruk pada
balita. Program ini sudah terlaksana dan kini dijalankan oleh satu orang bidan
sebagai penanggung jawab program. Terdapat beberapa indikator
keberhasilan program TB paru di Puskesmas Salembaran Jaya yang
tercantum pada tabel laporan kinerja program gizi keluarga

Tabel 4.1 Laporan Kinerja Program Gizi Keluarga 2019

PERC
PERHITUNGAN DATA DASAR TARGE CAKUP
JENIS KEGIATAN SATUAN APAI
TARGET PUSKESMAS T AN
AN
A. PERBAIKAN GIZI KELUARGA
1. Pemberian Kapsul vitamin A
Balita (12
(dosis 200.000 SI) pada balita 2 90%xJmlbalita 7083 4777 4483 93,80%
s/d 59)
x / th
2. Pembarian tablet besi ( Fe
Ibu hamil I00%xJmlbumil 1713 1713 1653 96,50%
3/90 ) pada Ibu hamil
3. Pemberian PMT Pemulihan
100% x Jml blt
balita gizi buruk pada gakin Balita 17 17 17 100%
gizbur
( BB/TB )
4. Balita naik berat badannya 80% x Jml Balita
Balita 7083 5666 5087 89,70%
( N/D ) ditimbang
5. Balita bawah garis merah Balita >1% (msk Mutu) 50 0,5%
60 % x Jml bal 0-6
6. Bayi mendapat ASI ekslusif Bayi 882 616 529 86%
bln
7. Desa dengan garam
Desa 90%xJmldesa 5 5 5 100%
beryodium baik
8. Pemberian vit A pada bufas Bufas 90%xJmlbufas 1635 1472 1439 97,70%
9. Balita gizi buruk mendapat 100% x Jml balita
Balita GiBur 17 17 17 100%
perawatan ( RJ dan RI ) ( BB/TB ) gizi buruk

10. Balita yang ditimbang di


Balita 80 %x Jml balita 7083 5666 4383 77%
Posyandu ( D/S )

11. Pemberian Tablet tambah 80% x Remaja


darah pada remaja putri (SMA Siswi Putri (Siswi 603 603 603 100%
sederajat) SMAkts I - 3 )

12. Bumil KEK yang mendapat 75% xBumil KEK


Bumil 100 100 100 100%
PMT RiiL

13. Presentasi penderita


stunting usia s.d 2 tahun yang
0 s.d 2
ditemukan dibulan <15% (Msk Mutu) <15% 2 8,60%
Tahun
penimbangan balita ( bulan 2
dan 8 )
Ketidakberhasilan dalam indikator program gizi buruk di Puskesmas
Salembaran jaya dapat disebabkan berbagai hal. Berdasarkan wawancara dengan
penanggung jawab program dan observasi langsung pelaksanaan program gizi di
Puskesmas Salembaran Jaya, yaitu
1. Kurangnya sumber daya manusia dalam pengelolaan program gizi,
2. Keteraturan kontrol pasien gizi buruk ke poli gizi di Puskesmas Salembaran Jaya,
3. Tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat masih rendah,
4. Kurangnya kesadaran keluarga pasien dan masyarakat akan bahaya dari gizi buruk,
5. Sulitnya transportasi dari rumah ke puskesmas,
6. Penyuluhan ke desa yang belum maksimal

Penemuan balita dengan gizi buruk didapatkan 17 anak dari seluruh wilayah
Puskesmas Salembaran Jaya pada tahun 2019, dan dilakukan evaluasi program per
bulan yang diawasi oleh Kepala Puskesmas Salembaran Jaya.
4.2. Penetapan Masalah
Berdasarkan analisis prioritas masalah menggunakan teknik kriteria
matrik, dengan mempertimbangkan pentingnya masalah (importancy),
kelayakan teknologi (iptek), dan ketersediaan sumber daya, didapatkan
bahwa permasalahan utama pada program gizi buruk yaitu,

Pentingnya Sumber Jumlah


Masalah Iptek
masalah Daya (IxRxT)

Balita yang ditimbang di Posyandu


(80 % x Jumlah Balita)
5 5 4 100
Edukasi masyarakat yang kurang 5 5 3 75
mengenai gizi buruk

4.3. Identifikasi Penyebab Masalah

INPUT:
1. Men :

a) Pemegang program hanya satu orang bidan

b) Kader yang terlibat dalam program masih kurang

2. Money : APBD

3. Method :

a) Penjaringan pasien gizi buruk secara pasif di posyandu dan puskesmas

PROSES :
1. Perencanaan : Perencanaan dilakukan oleh Penanggung jawab
program
2. Pengorganisasian : Program dilaksanakan dengan bantuan pemegang
program kesmas
3. Pelaksanaan : Tingkat kepatuhan kontrol pasien gizi buruk ke puskesmas kurang baik,
edukasi terhadap bahaya gizi buruk pada masyarakat kurang, penyuluhan ke desa belum
maksimal
LINGKUNGAN
1. Fisik : Puskesmas sulit untuk dijangkau
2. Pendidikan dan ekonomi : Tingkat Pendidikan dan ekonomi masyarakat
masih rendah

FEEDBACK
1. Melakukan penjaringan ke Populasi secara aktif maupun pasif.
2. Memaksimalkan edukasi mengenai gizi buruk, serta bahaya dan
penanganannya kepada masyarakat dengan meningkatkan kualitas kader,
organisasi masyarakat dan tokoh masyarakat melalui pelatihan khusus untuk
membantu mengedukasi keluarga dan masyarakat sekitar.

3. Penambahan jumlah pengurus program gizi yang memiliki kompetensi


dalam bidang gizi di puskesmas dan posyandu.

4. Memaksimalkan jejaring Puskesmas seperti Praktik Dokter Mandiri, Klinik


Swasta, Praktik Mandiri Perawat dan Bidan untuk melaporkan penemuan
Kasus gizi buruk.
5. Memaksimalkan penanganan gizi buruk melalui program 1000 hari pertama kehidupan
dimulai sejak bayi dalam kandungan melalui kegiatan seperti implementasi besi folat pada
ibu hamil, pemberian makanan tambahan pada ibu hamil KEK, promosi pemberian ASI
eksklusif, promosi perbaikan MPASI, serta fortifikasi zat besi dan zink untuk Balita.
Proses

Input
Tingkat kepatuhan kontrol
Material : Makanan pasien gizi buruk kurang
Men : Pemegang program
tambahan dan obat-obatan
hanya satu orang bidan,
yang tersedia di puskemas
Kader masih kurang
Edukasi gizi buruk kepada
masyarakat kurang

Money : APBD minimal Method: Penjaringan pasien


gizi buruk secara pasif di Penyuluhan ke desa belum
posyandu dan puskesmas maksimal

Tingkat Pendidikan dan


Puskesmas sulit ekonomi masyarakat masih
dijangkau rendah

Lingkungan Feedback

Dari hasil identifikasi penyebab didapatkan beberapa penyebab ketidaksesuaian


antara keluaran program secara kualitatif dan kuantitatif adalah sebagai berikut :

Jumlah
Penyebab Masalah Konstribusi Iptek Sumber daya
(CxRxT)
Penjaringan kasus gizi buruk
masih dilakukan secara pasif 5 5 4 100

Edukasi gizi buruk kepada


masyarakat kurang 5 4 3 60

Kepatuhan kontrol pasien gizi


3 4 1 12
buruk rendah

Kurangnya SDM dan


4 3 3 36
keterampilan kader
Tingkat pendidikan dan ekonomi
4 2 2 16
masyarakat masih rendah
Penyuluhan ke desa yang belum
3 4 3 36
maksimal

Puskesmas sulit dijangkau


3 5 4 60

 C : Kontribusi penyebab masalah (contribution)

 T : Kelayakan teknologi Iptek (Technical feasibility)

 R : Ketersediaan sumber daya (Resources availability)

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa penyebab masalah kurangnya angka
penimbangan balita disebabkan karena Penjaringan kasus gizi buruk masih dilakukan
secara pasif.

4.4. Penyelesaian Masalah


Penyelesaian masalah program TB yang disebabkan karena kurangnya angka
penemuan kasus TB paru, kami rencanakan berdasarkan prioritas berikut :
Penyebab Masalah Cara penyelesaian masalah M I V C Jumlah
Melakukan penjaringan ke
Populasi Kunci aktif maupun
pasif

5 5 5 3 41
Menambahkan jumlah SDM di
puskesmas dan menambah
Kurangnya angka
jumlah serta keahlian kader 4 5 4 4 20
penimbangan balita di Meningkatkan kerjasama lintas
posyandu dan sektoral (Kepala Desa, Ketua
RT/RW, dll)
puskesmas

4 4 3 4 12
Edukasi Melibatkan organisasi masyarakat
dan tokoh masyarakat melalui
mengenai pelatihan khusus untuk membantu
gizi buruk mengedukasi keluarga dan
masyarakat sekitar mengenai gizi
kepada buruk.
masyarakat Menggunakan media seperti pamflet,
kurang brosur, spanduk, serta memanfaatkan
media sosial untuk memberikan
informasi mengenai gizi buruk pada
masyarakat sekitar.
Mengadakan kegiatan rutin per desa
untuk memperingati hari gizi

M : Besarnya masalah yang terselesaikan (Magnitude)


I: Pentingnya cara penyelesaian masalah (Importancy)
V : Sensitivitas cara penyelesaian masalah (Vulnerability)
C : Biaya yang diperlukan (Cost)
MxIxV
Jumlah = C

4.5. Rencana Kegiatan


Untuk penyelesaian masalah kami merencanakan beberapa kegiatan, sebagai
berikut:
Kegiatan Waktu

Mengad
akan
Kegiatan dilakukan setiap hari kerja
pos gizi
di setiap
desa

Kegiatan dilakukan minimal 2x dalam


setahun
Untuk melaksanakan rencana kegiatan tersebut, kami merencanakan beberapa
kegiatan dengan metode sebagai berikut:

Anda mungkin juga menyukai