Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN EVALUASI PROGRAM POKOK PUSKESMAS

PENEMUAN DAN PENDATAAN PENYAKIT DIARE DI WILAYAH KERJA


PUSKESMAS KEBASEN

Disusun oleh:

Aisyah Aulia Wahida


G4A015038

Pembimbing Lapangan
dr. Leni Kurniati Jubaedah
NIP. 19721107 200604 2 013

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2017
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN EVALUASI PROGRAM POKOK PUSKESMAS

PENEMUAN DAN PENDATAAN PENYAKIT DIARE DI WILAYAH KERJA


PUSKESMAS KEBASEN

Disusun untuk memenuhi sebagian syarat dari


Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman

Disusun oleh:

Aisyah Aulia Wahida G4A015038

Telah dipresentasikan dan disetujui


Banyumas, Maret 2017

Pembimbing Lapangan

dr. Leni Kurniati Jubaedah


NIP. 19721107 200604 2 013
Daftar isi

a. Pendahuluan ................................................................................................ 4
b. Latar belakang .............................................................................................. 4
c. Tujuan .......................................................................................................... 6
d. Manfaat ........................................................................................................ 6
e. Analisis situasi............................................................................................... 7
f. Keadaan Geografi ......................................................................................... 7
g. Keadaan Demografi...................................................................................... 7
h. Social ekonomi dan budaya ......................................................................... 10
i. Program kerja puskesmas ........................................................................... 12
j. Sumber Daya puskesmas ............................................................................. 13
k. Capaian program dan derajat kesehatan................................................... 14
l. Analisis system pada program kesehatan .................................................. 16
m. Identifikasi isu strategis ............................................................................... 22
n. Pembahasan Masalah ................................................................................... 24
o. Alternative pemecahan masalah ................................................................. 24
p. Kesimpulan .................................................................................................. 26
q. Saran ............................................................................................................. 26
r. Daftar pustaka ............................................................................................. 27
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diare merupakan penyakit infeksi saluran cerna yang masih menjadi masalah
utama di negara maju maupun negara berkembang. Setiap anak di bawah usia
lima tahun di negara berkembang akan memgalami episode diare kurang lebih
tiga sampai empat kali pertahun. Setiap balita di Indonesia akan mengalami
episode diare kurang lebih 1,6 – 2 kali pertahun. Sampai saat ini, penyakit diare
merupakan penyebab kematian utama balita di dunia (Kemenkes RI, 2014;
WHO, 2009).
Sampai saat ini angka kesakitan diare pada semua umur tahun 2000-2010
cenderung naik. Pada tahun 2000, angka kejadian diare adalah 301/1000
penduduk, tahun 2003 terdapat peningkatan menjadi 374/1000 penduduk, tahun
2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan tahun 2010 terdapat penurunan
menjadi 411/1000 penduduk. Meskipun angka kejadian diare menurun pada
tahun 2010, hal tersebut tidak menunjukkan penurunan yang signifikan.
Disamping itu perubahan iklim (climate change) diperkirakan akan berdampak
buruk terhadap lingkungan sehingga dapat terjadi peningkatan permasalahan
terhadap penyakit. Hal lain yang menyebabkan meningkatnya permasalahan
penyakit juga diakibatkan oleh keterbatasan akses masyarakat terhadap kualitas
air minum yang sehat sebesar 63% dan penggunaan jamban sehat sebanyak 69%
(Permenkes RI, 2015).
Beberapa faktor risiko yang mampu meningkatkan angka kejadian diare
diantaranya dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Hannif, 2011), faktor bayi,
faktor ibu, dan faktor sosial ekonomi (Agus et al., 2009). Pemerintah telah
membuat kebijakan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian
karena diare pada balita dengan melaksanakan tatalaksana diare standar di sarana
kesehatan melalui program Lima Langkah Tuntaskan Diare (Lintas Diare). Lintas
diare meliputi pemberian oralit untuk mencegah dehidrasi, pemberian zinc untuk
mengurangi keparahan, durasi dan kambuhnya diare, pemberian makanan,
pemberian antibiotik selektif untuk disentri dan kolera, serta pemberian nasihat
kepada ibu untuk kembali ke petugas kesehatan apabila menemukan tanda bahaya
(Kemenkaes RI, 2011).
Kejadian Luar Biasa (KLB) diare terjadi di Indonesia pada tahun 2013
sebanyak 646 kasus. Jumlah kasus terbanyak terjadi di Provinsi Jawa Tengah
yang mencapai 294 kasus. Pada tahun 2013, angka kematian karena diare di
Indonesia adalah sebesar 1,08%. Angka ini masih jauh dari target yaitu sebesar
<1%. Bila dilihat per kelompok umur diare dengan prevalensi tertinggi pada anak
balita (1-4 tahun) yaitu 16,75% dan menurut jenis kelamin prevalensi diare anak
laki-laki dan perempuan hampir sama, yaitu 8,9%, sedangkan menurut tempat
tinggalnya prevalensi diare terbanyak di pedesaan 10% dan 7,4% di perkotaan
(Kemenkes RI, 2014).
Kabupaten Banyumas merupakan salah satu kabupaten dengan kejadian
diare yang cukup tinggi jika dibanding penyakit lainnya. Kejadian diare di
Kabupaten Banyumas mengalami fluktuasi beberapa tahun terakhir. Kejadian
diare di tahun 2011 sebesar 45,15% dan menurun di tahun 2012 menjadi 27,05%,
tetapi meningkat kembali di tahun 2013 menjadi 30,95% (Dinkes Banyumas,
2013). Di wilayah kerja Puskesmas Kebasen, penyakit terkait kualitas
lingkungan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, seperti angka kejadian
diare tahun 2015 di wilayah kerja Puskesmas Kebasen sebanyak 1335 kasus atau
sekitar 19,3%. Jumlah kasus ini masih belum memenuhi target yaitu sebesar
6917 kasus (Data Sekunder Puskesmas Kebasen, 2015). Angka kejadian diare di
Puskesmas Kebasen pada bulan Januari-Juli 2016 terdapat 614 kasus atau 8,8%
dari target (Data Sekunder Puskesmas Kebasen, 2016).
Evaluasi program dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Oleh karena dari pendataan tersebut dapat diketahui
kondisi kesehatan lingkungan di masyarakat, sehingga dapat dilakukan upaya
promotif dan preventif dalam mencegah timbulnya penyakit yang disebabkan
oleh faktor risiko lingkungan. Puskesmas memegang peranan penting sebagai
unit pelayanan kesehatan terdepan dalam upaya pemberantasan penyakit menular
yang salah satunya adalah upaya penjaringan,pencegahan dan penanggulangan
diare. Puskesmas diharapkan dapat melakukan pencegahan penularan penyakit
serta mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat diare baik dengan
penanganan aktif maupun dengan penyuluhan.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengetahui masalah-masalah terkait pelaksanaan Program penemuan
penderita diare di Puskesmas Kebasen.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap belum
tercapainya target cakupan penemuan dan pendataan penderita diare.
b. Mengetahui upaya-upaya Puskesmas Kebasen dalam meningkatkan
cakupan penemuan dan pendataan penderita diare.
c. Memberikan alternatif pemecahan masalah terhadap program
penemuan dan pendataan penderita diare di wilayah kerja Puskesmas
Kebasen
C. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Praktis
a. Memberikan informasi kepada pembaca mengenai faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap penemuan dan pendataan penyakit diare di
Puskesmas Kebasen.
b. Menjadi dasar ataupun masukan bagi Puskesmas dalam mengambil
kebijakan jangka panjang dalam upaya peningkatan penemuan dan
pendataan penyakit diare.
2. Manfaat Teoritis
Menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya bagi pihak yang membutuhkan.
II. ANALISIS SITUASI

A. KEADAAN GEOGRAFI KECAMATAN KEBASEN


Kecamatan Kebasen merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Banyumas. Kecamatan Kebasen memiliki luas wilayah 53,99 km2, dan terdiri
dari 12 desa dengan batas-batas sebagai berikut :
1. Sebelah Utara : Kecamatan Patikraja
2. Sebelah Selatan : Kecamatan Sampang dan Kecamatan Kroya Kabupaten
Cilacap
3. Sebelah Timur : Kecamatan Banyumas dan Kecamatan Kemranjen
4. Sebelah Barat : Kecamatan Rawalo

Gambar 2.1 Denah Wilayah Puskesmas Kebasen


Sedangkan pemanfaatan tanah di Kecamatan Kebasen diperinci sebagai
berikut (Sumber data : BPS 2014):
- Tanah pekarangan : 4,07%
- Tanah Bangunan : 31,75%
- Tegal/Kebun : 19,29%
- Persawahan : 17,1%
- Hutan negara : 16,96%
- Perkebunan rakyat : 10,47%
- Kolam ikan : 0,33%
- Lain-lain : 4,19%
Kecamatan Kebasen terdiri dari 12 Desa di wilayah kerjanya. Desa-desa
yang termasuk dalam wilayah kerja Kecaman Kebasen antara lain: Desa Kebasen,
Desa Adisana, Desa Bangsa, Desa Cindaga, Desa Karangsari, Desa Randegan,
Desa Kaliwedi, Desa Kalisalak, Desa Gambarsari, Desa Tumiyang, Desa
Sawangan, dan Desa Mandirancang.

B. KEADAAN DEMOGRAFI KECAMATAN KEBASEN


1. Pertumbuhan Penduduk
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kecamatan Kebasen tahun
2016 jumlah penduduk Kecamatan Kebasen adalah 66.080 jiwa terdiri dari
33.540 jiwa laki-laki (50,76%) dan 32540 jiwa perempuan (49,24%)
tergabung dalam 16.530 rumah tangga/KK. Jika dibandingkan dengan kondisi
tahun 2014 jumlah penduduk dalam tahun 2016 mengalami peningkatan
(sumber data dari Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil).
Jumlah penduduk tahun 2016 yang tertinggi di desa Cindaga sebanyak
11.221 jiwa, sedangkan terendah di desa Tumiyang 1.607 jiwa. Apabila kita
bandingkan dengan luas wilayah, kepadatan penduduk kecamatan Kebasen
sebesar 1.224/km2.
2. Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk Kecamatan Kebasen tahun 2016 sebesar 1.224/km2.
Dengan kepadatan tertinggi ada di desa Cindaga dengan tingkat kepadatan
sebesar 2.290/Km2
3. Keadaan Sosial Kecamatan Kebasen
Tingkat Pendidikan
Berdasarkan data dari BPS Kec. Kebasen diiformasikan bahwa sampai akhir
tahun 2016 jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan adalah sebagai
berikut :
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan
Jenis Pendidikan Jenis Kelamin JUMLAH
No Laki-laki Perempuan
1. Tidak/belum tamat SD 7.806 7.866 15.672
2. Tamat SD/MI 9.960 10.197 20.158
3. SLTP/sederajat 3.481 2.836 6.317
4. SLTA/sederajat 1.997 1.432 3.429
5. Diploma III 392 311 703
6. Universitas 248 158 406

4. Petugas kesehatan
Berdasarkan tabel dalam lampiran profil puskesmas, jumlah tenaga medis dan
non medis yang ada di Puskesmas Kebasen pada tahun 2016 sebanyak 42
orang yang terdiri dari:
a. Dokter Umum : 3 orang
b. Dokter Gigi : 1 orang
c. Perawat : 8 orang
d. Perawat Gigi : 1 orang
e. Bidan : 22 orang
f. Apoteker : 1 orang
g. Ahli Gizi : 1 orang
h. Sanitasi : 1 orang
i. Promkes : 1 orang
j. Laborat : 1 orang
k. Radiografer : 1 orang
l. Akuntansi : 1 orang

C. Cakupan Program Pelayanan Kesehatan Dasar


Untuk memberikan gambaran derajat kesehatan masyarakat di wilayah
kerja Puskesmas Kebasen, ditampilkan tabel berupa resume profil kesehatan di
wilayah kerja Puskesmas Kebasen pada tahun 2016.
1. Angka Kematian (Mortalitas)
Berikut ini akan diuraikan perkembangan tingkat kematian pada periode tahun
2015 yaitu sebagai berikut :
a. Angka Kematian Bayi
Pada tahun 2016 di Kecamatan Kebasen ada 905 lahir hidup,
dengan 7 lahir mati dan jumlah bayi mati sebesar 0 bayi. Angka kematian
bayi (AKB) di Kecamatan Kebasen sebesar 7,7 per 1000 lahir hidup,
sehingga AKB dilaporkan sebesar 7,7. Sedangkan AKB tahun 2015
sebesar 15,7. Dengan demikian ada penurunan AKB. Hal ini menunjukkan
adanya penurunan kematian bayi yang tidak terpengaruh oleh jumlah
kelahiran hidup pada tahun 2016. Jika dibandingkan dengan IIS 2016
AKB di Kecamatan Kebasen masih terhitung rendah (IIS 2014 = 40 per
1000 kelahiran hidup). Untuk itu perlu didukung oleh peningkatan
kualitas pelayanan dengan bertambahnya kemampuan tenaga medis dan
paramedis untuk penanggulangan kegawatdaruratan lewat pelatihan atau
diklat yang diikuti.
Tingginya angka kematian bayi menunjukkan masih rendahnya
status kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang dapat disebabkan oleh masih
rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat khususnya
pelayanan kesehatan ibu dan anak, perilaku hidup bersih dan sehat di
masyarakat khususnya ibu saat hamil serta lingkungan masyarakat yang
belum sepenuhnya mendukung pentingnya kesehatan.
b. Angka Kematian Balita
Angka kematian balita (AKABA) merupakan jumlah kematian
anak balita (1 th – 5 th) per 1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu 1
tahun. AKABA menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan anak
balita, tingkat pelayanan KIA, tingkat keberhasilan program KIA dan
kondisi lingkungan.
Angka kematian balita ada 3 pada tahun 2016, dibandingkan tahun
2015 ada 7. Hal ini berarti pada tahun 2016 menunjukan ada penurunan
jumlah kasus kematian balita dibanding tahun 2015.
c. Angka Kematian Ibu
Pada tahun 2016 di Kecamatan Kebasen jumlah kematian ibu hamil 1, ibu
bersalin 0 dan ibu nifas sebanyak 0 orang. Angka Kematian Ibu (AKI) di
Kecamatan Kebasen pada tahun 2016 sebesar 104 per 100.000 kelahiran
hidup.
2. Angka Kesakitan (Morbiditas)
a. Penyakit Malaria
Pada tahun 2016 tidak terjadi kasus Malaria positif atau Angka Kesakitan
Malaria (API) 0,0 per 1000 penduduk. Sedangkan kejadian kasus Malaria
Positif pada tahun 2015 sebanyak 1 kasus atau Angka Kesakitan Malaria
(API) sebesar 0,0655 per 1000 penduduk. Dengan demikian di Kecamatan
Kebasen tidak terjadi peningkatan kejadian kasus malaria positif. Hal ini
bisa dipertahankan dengan peran aktifnya medis, paramedis, petugas
surveilan, promkes, bidan desa dalam preventif dan promotifnya dan juga
dibantu oleh juru malaria desa. Dan daerah endemis malaria di Kecamatan
Kebasen masih berada di desa Kalisalak.
b. Kesembuhan penderita TB paru BTA (+)
Tahun 2016 ditemukan kasus baru TB Paru BTA positif sebanyak
23 kasus, klinis 26 dengan perkiraan jumlah kasus BTA positif sebanyak
99 kasus. Dengan demikian angka Penemuan Penderita TB Paru BTA
positif (CDR) di Kecamatan Kebasen sebesar 23,23%. Dibanding periode
yang sama pada tahun 2015 ditemukan kasus baru BTA positif sebanyak
25 kasus dengan perkiraan jumlah kasus BTA positif sebanyak 65 kasus
dengan CDR sebesar 38,46%. Dengan demikian ada penurunan CDR pada
tahun 2016 dibanding tahun 2015.
Hal ini dimungkinkan kurangnya screening dari pemegang
program atau kurang aktifnya pemegang program, medis dan paramedis
untuk melakukan penjaringan di keluarga dengan BTA +.
Angka kesembuhan penderita TB Paru BTA (+) dievaluasi dengan
melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis pada akhir pengobatan
dengan hasil pemeriksaan negative. Dinyatakan sembuh bila hasil
pemeriksaan dahak pada akhir pengobatan ditambah minimal satu kali
pemeriksaan sebelumnya(sesudah fase awal atau satu bulan sebelum akhir
pengobatan) hasilnya negative. Bila pemeriksaan follow up tidak
dilaksanakan, namun pasien telah menyelesaikan pengobatan, maka
evaluasi pengobatan pasien dinyatakan sebagai pengobatan lengkap.
Angka kesembuhan (Cure Rate) TB paru di Kecamatan Kebasen
tahun 2016 sebesar 100%, nilai ini bisa dipertahankan seperti tahun 2016
yaitu 100%. Hal ini menunjukan bahwa sudah berjalanny petugas PMO
dengan baik dan kunjungan rumah yang sudah rutin dilakukan oleh
pemegang program.
c. Persentase Balita dengan Pneumoni
Kasus pneumoni di wilayah kecamatan Kebasen tahun 2016 ada 19 kasus
pneumoni yang di tangani,dengan sasaran yang seharusnya ada 491 orang.
Dibandingkan dengan tahun 2015 ada 21 kasus, menunjukan ada
penurunan penemuan kasus. Hal ini menunjukan masih sangat rendahnya
penemuan kasus pneumoni, bisa disebabkan masih kurangnya pemahaman
diagnose tentang pneumoni. Dengan demikian perlunya penambahan dari
kompetensi dari medis dan paramedis dalam screening atau penjaringan
kasus pneumoni.
d. HIV
pada tahun 2016 di Kecamatan Kebasen ditemukan satu kasus kematian
karena HIV, walaupun untuk angka laporan dari kabupaten ada sekitar 3-5
kasus. Hal ini dimungkinkan karena tidak adanya open status dari pihak
rumah sakit ataupun dari DKK, terutama untuk pasien yang dirujuk ke
Rumah Sakit dengan suspek HIV. Begitu pula di tahun 2015 ada 3-5
kasus.
e. AFP Rate (non polio) < 15 tahun
Standar penemuan kasus polio adalah 2 per 100.000 penduduk usia kurang
dari 15 tahun. Target penemuan kasus di Kabupaten banyumas adalah 2
kasus, di Kecamatan Kebasen pada tahun 2016 tidak ditemukan kasus
AFP.
f. Demam Berdarah Dengue
Jumlah kasus DBD di Kecamatan Kebasen pada tahun 2016 sebanyak 14
kasus dengan angka kesakitan DBD sebesar24,3per 100.000 penduduk.
Sedangkan pada tahun 2015 jumlah kasus DBD sebanyak 8 kasus dengan
angka kesakitan DBD sebesar 12,1 per 100.000 penduduk. Dengan
demikian terjadi peningkatan kasus DBD pada tahun 2016 dibanding
tahun 2015. Untuk Insiden rate terhitung masih tinggi. Hal ini dapat
disebabkan oleh semakin tingginya mobilitas penduduk , masih kurangnya
kesadaran masyarakat untuk melakukan pencegahan dengan kegiatan PSN
secara rutin dan berkesinambungan, dan kurangnya pengetahuan dari
masyarakat tentang DBD dan pemberantasannya. Masyarakat hanya
mengetahui untuk penatalaksaan pemberantasan DBD hanya dengan
fogging tanpa PSN, mungkin kurangnya preventif dan promotif dari
petugas kesehatan ke masyarakat.
g. Kasus Diare Ditangani
Penyakit diare terjadi ketika terjadi perubahan konsistensi feses selain dari
frekwensi buang air besar. Diare merupakan penyakit endemis di
kabupaten Banyumas dan merupakan penyakit potensial KLB yang sering
disertai dengan kematian terutama pada daerah yang pengendalian factor
resikony masih rendah. Kasus diare di kecamatan Kebasen tahun 2016
dari table 13 jumlah perkiraan penemuan kasus 1414 kasus dan yang
mendapat penanganan 1264 kasus. Dibandingkan tahun 2015 dari
perkiraan penemuan kasus 1414 kasus yang mendapat penanganan 1226
kasus. Hal ini menunjukan sudah adanya peningkatan dalam penanganan
kasus diare.
h. Persentase penderita kusta selesai berobat
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular, yang
disebabkan oleh infeksi bakteri mycobacterium leprae. Penatalaksanaan
kasus yang buruk dapat menyebabkan kerusakan permanen pada saraf,
kulit, anggota gerak dan mata serta dapat menimbulkan masalah yang
sangat komplek, bukan hanya bagi segi medis tetapi meluas sampai
masalah sosial ekonomi.
Penemuan penderita kusta di kecamatan kebasen tahun 2016 tabel
14 terdapt 2 kasus dengan angka prevalensi per 10000 penduduk 0,3 (tipe
multibasiler). Dibandingkan pada tahun 2014 ditemukan 2 kasus dengan
angka prevalensi per 10000 penduduk 0,3 (tipe multibasiler) hal ini
menunjukan tidak ada peningkatan kasus, dengan penatalaksanaan 100%.
i. Kasus penyakit filariasis ditangani
Di kecamatan Kebasen di tahun 2016 tidak didapatkan adanya kasus
filariasis, begitu juga di tahun 2015.
j. Jumlah kasus dan angka kesakitan penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I).
Penyakit yang termasuk dalam PD3I adalah polio, campak, difteri,
pertussis,tetanus neonatorum, tetanus non neonatorium. Dalam upaya
untuk membebaskan Indonesia dari penyakit tersebut diperlukan
komitmen global untuk menekan turunnya angka kesakitan dan kematian
yang dikenal dengan eradikasi polio (ERAPO), Reduksi campak
(REDCAM), dan eliminasi tetanus neonatorium (ETN).
Pada tahun 2016 tidak ditemukan kasus penyakit PD3I yang
berarti kecamatan Kebasen sudah terbebas dari kasus/penyakit PD3I.
3. Status Gizi
a. Prosentase berat bayi lahir rendah
Berat bayi lahir rendah adalah bayi yang lahir dengan berat badan
kurang dari 2500 gram, terjadinya kasus BBLR ini disebabkan antara lain
oleh ibu hamil mengalami anemia, kurangnya suplay gizi sewaktu dalam
kandungan atau terlahir belum cukup bulan. Bayi BBLR ini perlu
penanganan serius karena pada kondisi ini bayi mudah sekali mengalami
hipotermidan belum sempurnanya pembentukan organ-organ tubuhnya
yang biasanya akan menjadi penyebab utama kematian bayi.
Jumlah bayi BBLR di kecamatan Kebasen tahun 2016 ada 51
kasus atau 5,6%. Dibandingkan tahun 2015 terdapat 52 kasus atau 5,4%,
hal ini menunjukan adanya peningkatan jumlah bayi BBLR ditahun 2016.
Perlu adanya peningkatan promotif dan preventif pada setiap pertemuan di
posyandu ataupun di kelas ibu baik oleh bidan desa, bidan puskesmas,
petugas gizi, promkes ataupun medis.
b. Prosentase balita dengan gizi buruk
Pada tahun 2016 terdapat 1100 bayi, 3948 batita,dan 5048
balita,semuanya mendapat vitamin A dari bayi ,batita dan balita adalah
100%. Di Kecamatan Kebasen untuk tahun 2015 terdapat 1057 bayi dan
7759 anak balita dengan bayi mendapat vitamin A satu kali sebanyak
1057 bayi (100%), anak balita mendapat vitamin A dua kali sebanyak
7759 (100%). Kasus balita gizi buruk katagori BB/U dan semuanya sudah
mendapat PMT pemulihan dari anggaran APBN (BOK), dengan
pengawasan dan evaluasi dari petugas kesehatan baik medis, pemegang
program gizi dan dibantu oleh bidan desa akhirnya 6 yang terkategori gizi
buruk terjadi peningkatan BB yang signifikan.
D. Upaya Kesehatan
1. Pelayanan Kesehatan Dasar
Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal yang sangat
penting dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan
pemberian pelayanan kesehatan dasar secara tepat dan cepat, diharapkan
sebagaian besar masalah kesehatan masyarakat sudah dapat diatasi. Berbagai
pelayanan kesehatan dasar yang dilaksanakan oleh Puskesmas Kebasen
adalah sebagai berikut :
a. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Seorang ibu mempunyai peran yang sangat besar di dalam pertumbuhan
bayi dan perkembangan anak. Gangguan kesehatan yang dialami seorang
ibu apalagi yang sedang hamil bisa berpengaruh terhadap kesehatan janin
dalam kandungan hingga kelahiran dan masa pertumbuhan bayi dan
anaknya.
1) Pelayanan K4
Masa kehamilan merupakan masa yang rawan kesehatan, baik
kesehatan ibu yang mengandung maupun janin yang dikandungnya
sehingga dalam masa kehamilan perlu dilakukan pemeriksaan secara
teratur. Hal ini dilakukan guna mencegah gangguan sedini mungkin
dari segala sesuatu yang membahayakan kesehatan ibu dan janin yang
dikandungnya.
Pada tahun 2016 jumlah ibu hamil di Kecamatan Kebasen
sebanyak 958 ibu hamil, adapun ibu hamil yang mendapat pelayanan
K-4 adalah sebesar 938 atau 97,8% ibu hamil. Dibandingkan dengan
tahun 2015 yang mendapatkan pelayanan K-4 sejumlah 1001 atau
99,4% Berarti pelayanan K-4 mengalami penurunan sebesar 1,8%.
Standar Pelayanan Minimal untuk cakupan kunjungan ibu
hamil K-4 sebesar 95%. Dengan demikian untuk Kecamatan Kebasen
memenuhi target/tercapai standar pelayanan minimal.
2) Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan (Nakes)
Komplikasi dan kematian ibu maternal serta bayi baru lahir
sebagian besar terjadi pada masa disekitar persalinan. Hal ini antara
lain disebabkan oleh pertolongan yang tidak dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai kompetensi kebidanan (profesional).
Jumlah ibu bersalin tahun 2016 sesuai tabel 29 sebanyak 901
orang, jumlah yang ditolong oleh nakes sebanyak 901 orang atau
100%. Dibandingkan tahun 2015 jumlah ibu bersalin 964 orang,
jumlah persalinan yang ditolong nakes 964 orang atau 100%. Target
Standar Pelayanan Minimal untuk pertolongan persalinan oleh nakes
tahun 2016 sebesar 90%. Dengan demikian cakupan persalinan nakes
Kecamatan Kebasen tahun 2016 sudah memenuhi standar pelayanan
minimal, berkat kerjasama pemegang program, koordinasi antar bidan,
koordinasi tim PONED puskesmas, dan kerjasama lintas sector.
3) Komplikasi Kebidanan yang ditangani
Pada tahun 2016 jumlah ibu hamil resiko tinggi (resti) di Kecamatan
Kebasen 193. Adapun jumlah ibu hamil resti yang mendapat
penanganan 239. Dibandingkan jumlah bumil resti tahun 2015 adalah
263 orang maka tahun 2016 jumlah bumil resti mengalami penurunan.
Hal ini disebabkan karena tingginya kesadaran ibu hamil untuk
memeriksakan kehamilannya serta adanya Bidan di setiap desa
sehingga setiap ada kelainan segera terdeteksi dan mendapat
penanganan, dan adanya kerjasama lintas sektor, yang ikut membantu
dalam pendataan ibu hamil resiko tinggi.
4) Pelayanan Ibu Nifas
Nifas adalah periode mulai dari 6 jam sampai 42 hari pasca
persalinan, masa nifas berpeluang untuk terjadinya kematian ibu
maternal. Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan
pada ibu nifas sesuai standart, yang dilakukan sekurang-kurangnya 3
kali sesuai jadwal yang dianjurkan yaitu pada 6 jam sampai dengan 3
hari pasca persalinan, pada hari ke 4 sampai dengan hari ke 28 pasca
persalinan.
Cakupan pelayanan pada ibu nifas tahun 2016 adalah 901
orang dari 901 ibu bersalin. Ini menunjukan bahwa pelayanan ibu
nifas sudah 100% dilaksanakan oleh tenaga kesehatan.
5) Ibu hamil mendapat tablet besi
Penanggulangan anemia pada ibu hamil dilaksanakan dengan
program penanggulangan anemia dengan memberikan 90 tablet Fe
kepada ibu hamil selama periode kehamilannya, selain itu juga
dilakukan dengan pemberian tablet tembah darah yaitu preparat Fe
yang bertujuan untuk menurunkan angka anemia pada balita, remaja
putri, dan wanita usia subur.
Jumlah ibu hamil di Kecamatan Kebasen tahun 2016 sebanyak
959 orang, yang mendapatkan tablet Fe (90 tablet) sebanyak 938 orang
atau 97,81%. Jika dibandingkan dengan kondisi tahun sebelumnya
jumlah ibu hamil di Kecamatan Kebasen tahun 2015 sebanyak 1.007
orang., yang mendapatkan tablet Fe (90 tablet) sebanyak 1022 orang
atau 101,49%. Hal ini menunjukan terjadinya penurunan di tahun 2016
dalam pemberian tablet tambah darah (Fe) dibandingkan tahun 2015.
Kondisi di atas bila dibandingkan dengan SPM (90%) sudah
mencapai target.
6) Neonatus dengan komplikasi yang ditangani
Neonatus dengan komplikasi yang ditangani adalah neonatus
komplikasi yang mendapat pelayanan oleh tenaga kesehatan yang
terlatih, dokter dan bidan di sarana pelayanan kesehatan. Perhitungan
sasaran neonatus dengan komplikasi dihitung berdasarkan 15% dari
jumlah bayi baru lahir. Indicator ini mengukur kemampuan
managemen program KIA dalam menyelenggarakan pelayanan
kesehatan secara professional kepada neonatus dengan komplikasi.
Tahun 2016 perkiraan neonatal dengan komplikasi sebanyak
135 dari jumlah komplikasi neonatal komplikasi ditangani sebesar 200
atau 148%. Dibandingkan dengan tahun 2015 terdapat perkiraan
jumlah neonatal risti sebanyak 143 dari jumlah komplikasi neonatal
komplikasi ditangani sebesar 218 atau 152%. mengalami kenaikan di
tahun 2016, dengan ini diharapkan karena masih tingginya angka
neonatal dengan komplikasi, seluruh paramedis baik bidan maupun
perawat, tenaga medis dan juga tim PONED puskesmas untuk selalu
update kebidanan untuk melatih skill dalam penatalaksanaan neonatal
dengan komplikasi.
b. Pelayanan Keluarga Berencana
Masa subur seorang wanita memiliki peran penting bagi terjadinya
kehamilan sehingga peluang wanita untuk melahirkan menjadi cukup
tinggi. Menurut hasil penelitian usia subur seorang wanita biasanya antara
15-49 tahun. Oleh karena itu untuk mengatur jumlah kelahiran atau
menjarangkan kelahiran, wanita/pasangan ini lebih diprioritaskan untuk
menggunakan alat/ cara KB.
Tahun 2016 jumlah pasangan usia subur (PUS) berdasarkan
sumber dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan KB sebesar
11665, pasangan. Jumlah PUS tahun 2015 sebesar 11449 sehingga
mengalami peningkatan. Jumlah PUS tertinggi terdapat di desa Cindaga
yaitu sebanyak 2116.
Peserta KB aktif pada tahun 2016 sebanyak 8560 atau 73,4%;
2015 sebesar 7764 atau 67,8%, sehingga jumlah peserta KB aktif
mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan menurunnya tingkat kesadaran
masyarakat terhadap KB yang berpengaruh besar terhadap kualitas
generasi yang dilahiran dan pengaruh terhadap kesehatan ibu hamil,
dengan semakin banyak anak semakin besar resiko yang dihadapi pada
saat kehamilan atau dikarenakan kurang aktifnya pemegang program
dalam promosi tentang kualitas KB.
c. Pelayanan Imunisasi
Kegiatan imunisasi rutin meliputi pemberian imunisasi untuk bayi
umur 0 – 1 tahun (BCG, DPT, Polio, Campak, HB) imunisasi untuk
wanita usia subur/ ibu hamil (TT) dan imunisasi untuk anak sekolah
SD(kelas 1 : DT, dan kelas 2-3 : TD).
Jumlah desa di Kecamatan Kebasen sebanyak 12 desa. Desa
Universal Child Immunization (UCI) pada tahun 2016 berdasarkan tabel
41 sebanyak 12 desa atau 100%. Dibandingkan tahun 2015 desa
Universal Child Imunization (UCI) sebanyak 12 desa atau 100% berarti
sama. Terget SPM untuk desa UCI tahun 2016 sebesar 100% . Dengan
demikian Kecamatan Kebasen pada tahun 2016 sudah memenuhi target
SPM.
2. Pelayanan Kesehatan Puskesmas, Rujukan dan Penunjang
Pelayanan dapat dilayani melalui Puskesmas sebagai pelayanan
kesehatan dasar dan Rumah Sakit sebagai pelayanan kesehatan rujukan.
Jumlah kunjungan baru rawat jalan sebesar 35658, atau 53,5%. Tahun 2015
jumlah kunjungan 33721 atau 51,0% dari jumlah penduduk, dibanding tahun
lalu mengalami peningkatan. Jumlah kunjungan baru pasien rawat inap
sebanyak 2222 pasien,atau 3,9%. Tahun 2015 jumlah kunjungan rawat inap
1835 pasien atau 2,8% dari jumlah penduduk berarti mengalami peningkatan
sekitar 1,1%.
Target kunjungan rawat jalan berdasarkan Indonesia Sehat 2016
sebesar 15% dengan demikian penggunaan fasilitas kesehatan rawat jalan di
Kecamatan Kebasen tahun 2016 belum memenuhi target. Sedangkan untuk
penggunaan fasilitas kesehatan rawat inap di Kecamatan Kebasen bila
dibandingkan dengan Indikator Indonesia Sehat 2016 sebesar 1,5% maka
masyarakat Kecamatan Kebasen dalam pemanfaatan fasilitas rawat inap sudah
diatas target.
Pelayanan kesehatan jiwa adalah pelayanan yang mengalami
gangguan kejiwaan, yang meliputi gangguan pada perasaan, proses pikir, dan
perilaku yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan
dalam melaksanakan peran sosialny. Pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas
Kebasen tahun 2016 adalah sebesar 40 orang. Dibandingkan tahun 2015 ada
30 orang, ini menunjukan adanya peningkatan kasus.
3. Pembinaan Kesehatan Lingkungan dan Sanitasi Dasar
a. Penyediaan air bersih dan sanitasi
Salah satu tujuan pembangunan prasarana penyediaan untuk memastikan
komitmen pemerintah terhadap MDGs (Milenium Development goals)
yaitu memastikan kelestarian lingkungan dan mengurangi hingga
setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap air
yang layak dan sanitasi dasar hingga tahun 2016.
1) Akses Sarana Air Bersih
Jumlah penduduk pengguna dengan diperiksa akses air minum
berkelanjutan terhadap air minum berkualitas (layak) menurut jenis
sumbernya seperti sumur gali terlindung, sumur gali dengan pompa,
sumur bor dengan pompa, terminal air terlindung, penampungan air
hujan (PAH) sebanyak 66080 jiwa atau sebesar 82,105% dengan rician
penduduk pengguna sebagai berikut : sumur gali terlindung 41935,
sumur gali dengan pompa 1400, terminal air 0, mata air terlindung
8070, penampungan air hujan 0, dan perpipaan 2335, dalam hal ini
akses air minum berkualitas paling banyak menggunakan air sumur
gali terlindung, hal ini terjadi karena struktur geografis, sedangkan
jaringan perpipaan belum menjangkau seluruh wilayah kecamatan
Kebasen.
2) Sarana Sanitasi Dasar
Akses penduduk terhadap sanitasi yang layak (jamban sehat) di
kecamatan Kebasen table 61 sebesar 53259,atau 80,6%, dengan
rincian memenuhi syarat sebagai berikut : jumlah penduduk
kecamatan kebasen 66.080 jiwa pengguna jamban komunal 539, leher
angsa 48009, plengsengan 0, cemplung 863. Bila dibandingkan secara
nasional prosentase rumah tangga menurut akses terhadap
pembuangan tinja layak sesuai MDGs tahun 2016, sendiri / bersama,
jenis kloset leher angsa / laktrine dan pembuangan akhir tinjanya
adalah tangki sptic/saluran pembuangan air limbah (SPAL) harus
sebesar 55,5% maka untuk kecamatan Kebasen dalam sarana sanitasi
dasar (jamban) belum memenuhi standart.
b. Pengawasan dan pemeliharaan kualitas lingkungan
Rumah sehat
Pada tahun 2016 desa sanitasi total berbasis sanitasi di kecamatan
Kebasen sebanyak 12 desa (100%), sedang jumlah stop BABS sebesar 3
desa (25%) (table 62). Sedangkan untuk pemeriksaan rumah yang
memenuhi syarat (rumah sehat) sebagai berikut: jumlah rumah yang ada
16530 yang memenuhi syarat sehat sebanyak 5562,atau 33,65%, yang
dibina 5176, yang memenuhi syarat sehat setelah dibina adalah 5176,
dengan kata lain rumah yang memenuhi syarat rumah sehat adalah 10738
atau 64,96%. Cakupan rumah sehat di kecamatan Kebasen menurun di
tahun 2016 ini.
4. Perbaikan Gizi Masyarakat
a. Pemantauan Pertumbuhan Balita
Pemantauan pertumbuhan balita pada tahun 2016 adalah sebagai
berikut :
Jumlah seluruh balita (S) = 4.912 anak
Jumlah balita yang ditimbang (D) = 4.120 anak
Berdasarkan data diatas, maka tingkat partisipasi masyarakat (D/S)
mengalami kenaikkan yaitu 83,9%. dibandingkan tahun 2015, 80,8%. Hal
ini menunjukkan adanya peningkatan kinerja dari pemegang program dan
peningkatan koordinasi lintas sektor.
Tingkat partisipasi masyarakat dan efek penyuluhan bila
dibandingkan dengan SPM sudah diatas standar. Upaya yang ditempuh
antara lain meningkatkan penyuluhan, meningkatkan fungsi Kelompok
Kerja (Pokja) Posyandu Desa untuk memotifasi masyarakat sehingga
meningkatkan peran serta masyarakat.
b. Pelayanan Gizi
1) Pemberian Kapsul Vitamin A
Upaya perbaikan gizi juga dlakukan pada beberapa sasaran
yang diperkirakan banyak mengalami kekurangan vitamin A, yaitu
melalui pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi pada bayi dan balita
yang diberikan sebanyak 2 kali dalam satu tahun (Februari dan
Agustus) dan ibu nifas.
Berdasarkan data yang berhasil dihimpun oleh seksi gizi
seperti tercantum pada tabel 44 bahwa jumlah sasaran bayi yang
mendapat vitamin A (usia 6 bulan – 11 bulan) ada 1100,dan yang
diberikan vitamin A 1100 (100%), adapun jumlah batita yang ada
tahun 2016 sebanyak 5048 balita. Balita yang mendapat kapsul
vitamin A 2 kali sebanyak 5048,balita atau 100%. Sedangkan jumlah
Ibu nifas (tabel 29) yang ada 964 dan semuanya (100%) mendapatkan
vitamin A dosis tinggi.
Standar pelayanan minimal untuk balita mendapat kapsul
vitamin A 2 kali sebesar 95%. Dengan demikian cakupan balita yang
mendapat kapsul vitamin A 2 kali dibandingkan dengan SPM sudah
tercapai. Dibandingkan tahun 2015 sama target tercapai 100% untuk
pemberian vit A usia 6-11 bulan dan vit A balita 2x 100% dan ibu
nifas juga 100%.
2) Pemberian Tablet Besi
Pemberian tablet besi (Fe) dimaksudkan untuk mengatasi kasus
Anemia serta meminimalisasi dampak buruk akibat kekurangan Fe
khususnya yang dialami ibu hamil. Jumlah ibu hamil di Kecamatan
Kebasen tahun 2016 sebanyak 959 orang., yang mendapatkan tablet Fe
(90 tablet) sebanyak 938 orang atau 97,81%.
Jika dibandingkan dengan kondisi tahun sebelumnya jumlah
ibu hamil di Kecamatan Kebasen tahun 2015 sebanyak 1.007 orang.,
yang mendapatkan tablet Fe (90 tablet) sebanyak 1022 orang atau
101,49%.
5. Perilaku Hidup Masyarakat
a. Presentase Rumah Tangga Berperilaku hidup bersih dan sehat
Perilaku hidup bersih dan sehat sejak dini dalam keluarga dapat
menciptakan keluarga yang sehat dan aktif dalam setiap upaya kesehatan
di masyarakat. Untuk mencapai rumah tangga berPHBS terdapat 10
perilaku hidup bersih dan sehat yang dipantau yaitu : 1. Persalinan
ditolong oleh tenaga kesehatan, 2. Memberi ASI eksklusif, 3. Menimbang
balita setiap bulan, 4. Menggunakan air bersih, 5. Mencuci tangan dengan
bersih, 6. Menggunakan jamban sehat, 7. Memberantas jentik di rumah
dan sekitar rumah seminggu sekali, 8. Makan sayur dan buah setiap hari,
9. Melakukan aktifitas fisik setiap hari, 10. Tidak merokok didalam
rumah.
Tatanan rumah tangga di kecamatan Kebasen tahun 2016 tabel 57
adalah sebanyak 16530 dipantau PHBS ada 14475 yang ber PHBS
ada10471 (72,3%). Bila dibandingkan tahun 2014 sejumlah 17338 yang
dipantau 1410 dan yang berPHBS ada 8917 (63,6%), pada tahun 2014
telah diketahui hasil dari pemantauan keluarga yang berPHBS, sedang
pada tahun-tahun sebelumnya hanya dilakukan pemantauan terhadap
keluarga yang berPHBS.
b. Prosentase posyandu aktif
Jumlah posyandu yang ada di kecamatan Kebasen tahun2016 sebanyak 78
posyandu aktif yang terdiri dari 70 posyandu purnama dan 8 posyandu
mandiri.
c. Bayi yang mendapat ASI eksklusif
Berdasarkan data yang diperoleh tahun 2016 tabel 39 cakupan pemberian
ASI eksklusif dari 800 bayi yang diberikan ASI eksklusif ada 445
(56,5%). Hal ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2015
cakupan pemberian ASI eksklusif dari 409 (51,1%) . Target SPM tahun
2016 adalah 50%, hal ini terpenuhi target, karena meningkat dari tahun
sebelumnya.
d. Pelayanan kesehatan dalam bencana
Dalam 2 tahun ini baik tahun 2014 dan 2016 tidak terdapat KLB (kejadian
luar biasa) 0 di wilayah kecamatan Kebasen.
III. ANALISIS POTENSI DAN IDENTIFIKASI ISU STRATEGIS

A. ANALISIS SISTEM PADA PROGRAM KESEHATAN


1. Input
a. Man
Berdasarkan data sekunder dari Puskesmas Kebasen tahun 2016
didapatkan jumlah tenaga kesehatan sebagai berikut :
1) Dokter umum
Dokter umum yang ada di sarana kesehatan dalam wilayah Puskesmas
Kebasen berjumlah 3 orang. Menurut standar Indikator Indonesia
Sehat (IIS) tahun 2010 ratio tenaga medis per 100.000 penduduk
adalah 40 tenaga medis, berarti tenaga medis masih kurang.
2) Dokter gigi
Dokter gigi di Puskesmas Kebasen ada 1 orang. Standar IIS 2010,
11/100.000 penduduk.
3) Perawat
Tenaga perawat kesehatan yang ada di Puskesmas Kebasen ada 12
orang yang terdiri dari 11 perawat umum dan 1 perawat gigi. Standar
IIS tahun 2010, adalah 117,5/100.000 penduduk.
4) Bidan
Tenaga Kebidanan jumlahnya 24 orang, bidan puskesmas 9 orang dan
bidan desa 15 orang. Standar IIS 2010, jumlah tenaga bidan
100/100.000, dengan demikian jumlah bidan di wilayah Puskesmas
Kebasen masih kurang.
5) Farmasi
Tenaga farmasi di Puskesmas Kebasen ada 1 orang. Menurut standar
Indikator Indonesia Sehat (IIS) tahun 2010 ratio apoteker per 100.000
penduduk adalah 10, dengan demikian jumlah tenaga farmasi di
wilayah Puskesmas Kebasen masih kurang.
6) Ahli gizi
Tenaga Gizi di Puskesmas Kebasen jumlahnya 1 orang. Standar IIS
2010, 22/100.000 penduduk, dengan demikian jumlah tenaga gizi di
wilayah Puskesmas Kebasen masih kurang
7) Sanitasi
Tenaga Kesehatan Lingkungan ada 2 orang. Standar IIS tahun 2010,
40/100.000 penduduk, dengan demikian jumlah tenaga kesehatan
lingkungan di wilayah Puskesmas Kebasen masih kurang.
8) Promosi Kesehatan
Tenaga Promosi Kesehatan dari bidang kesehatan masyarakat
berjumlah 3 orang. Standar IIS tahun 2010, 40/100.000 penduduk,
dengan demikian jumlah tenaga kesehatan lingkungan di wilayah
Puskesmas Kebasen masih kurang.
b. Money
Dana untuk kegiatan program Puskesmas Kebasen berasal dari Dinas
Kesehatan berupa BOK (Bantuan Operasional Kesehatan), Bantuan
Layanan Umum Daerah (BLUD), kapitasi dan klaim BPJS (Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial), retribusi pelayanan, serta klaim KBS
(Kartu Banyumas Sehat).
c. Material
Di wilayah kerja Puskesmas Kebasen terdapat 78 posyandu aktif yang
terdiri dari 70 posyandu purnama dan 8 posyandu mandiri, serta 12
Poskesdes yang tersebar di semua desa. Puskesmas Puskesmas Kebasen
merupakan sarana Kesehatan yang mempunyai kemampuan Labkes di
wilayah Puskesmas Kebasen serta pelayanan rawat inap di wilayah
Puskesmas Kebasen.
d. Metode
Program pendataan penemuan diare dilakukan di lapangan sesuai
wilayah kerja Puskesmas Kebasen. Keterampilan diperoleh dari
pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten
Banyumas yang diadakan secara insidensil.
Tata urutan kerja dan metode kegiatan program P2M di Puskesmas
Kebasen dilakukan dengan dua cara, yakni di dalam puskesmas dan di
luar puskesmas. Kegiatan di dalam puskesmas dilakukan dengan
menemukan kasus diare yang dilaporkan dari pasien rawat jalan di balai
pengobatan umum Puskesmas atau pasien rawat inap yang selanjutnya
akan dilaporkan ke bagian P2M. Cara ini merupakan metode passive
promotif case finding, serta belum dilakuka penyuluhan sebagai upaya
promotif dan preventif.
Kegiatan di luar puskesmas dilakukan pada pelayanan kesehatan di
PKD (Poliklinik Desa) dan puskesmas pembantu. Selain itu, pihak
penanggung jawab program P2M diare akan melakukan home visit untuk
kasus diare pada balita yang mengalami kematian. Hal ini memiliki
kelemahan karena yang dilakukan home visit hanya pasien yang sudah
mengalami diare dan meninggal. Penemuan kasus diare secara aktif
belum dilakukan.
e. Minute
Program pendataan kasus diare dilakukan dalam jangka waktu 12 bulan
sampai dengan data dari 12 desa di wilayah kerja Puskesmas Kebasen
lengkap. Penyuluhan mengenai diare dilakukan pada kegiatan pertemuan
desa maupun posyandu pada awal bulan. Hal ini dirasa cukup baik karena
petugas memiliki waktu yang cukup untuk menjalankan program
tersebut.
f. Market
Sasaran dari program pendataan dan penemuan penderita diare adalah
semua warga di wilayah kerja Puskesmas Kebasen. Sebagian besar
penduduk di wilayah kerja Puskesmas Kebasen memiliki tingkat
pendidikan dan ekonomi yang rendah. Setiap desa telah dikatakan
mencapai target program ini apabila 75% dari total populasinya telah
merubah perilaku menjadi lebih peduli terhadap kebersihan dan
kesehatan lingkungan.
2. Proses
a. Perencanaan (P1)
Visi Puskesmas Kebasen adalah Pelayanan kesehatan dasar paripurna
menuju masyarakat sehat dan mandiri. Misi Puskesmas Kebasen adalah
mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan
kinerja dan mutu pelayanan kesehatan, meningkatkan profesionalisme
sumber daya manusia, meningkatkan kerjasama lintas program dan linstas
sektoral, meningkatkan tertib administrasi dan keuangan.
b. Pengorganisasian (P2)
Adanya kerjasama lintas sektoral antara pemerintah desa dan bidan desa.
Pemerintah desa membantu dalam proses pendataan dan pencatatan,
kemudian dari bidan desa membantu dalam hal melakukan pendataan dan
penyuluhan mengenai diare di posyandu.
c. Penggerakan dan Pelaksanaan Program
Pendataan dilakukan secara aktif, yakni dengan cara kunjungan
kerumah penduduk. Pendataan secara pasif dilakukan dengan mengambil
data dari pasien rawat inap dan rawat jalan di puskesmas Kebasen dan
menunggu laporan dari kader kesehatan tiap desa.
Kegiatan pendataan dilakukan secara survey door to door ke
rumah warga berdasarkan per kepala keluarga yang dilakukan oleh
pemegang program bidang kesehatan lingkungan dibantu oleh bidan desa
tetapi hal ini belum berjalan secara maksimal. Program pendataan dan
penyuluhan dengan metode kontak sosial tersebut dirasa cukup efektif
untuk mengetahui keadaan yang terjadi di masyarakat secara nyata dan
dapat melakukan upaya pendidikan kesehatan masyarakat mengenai diare
secara langsung. Akan tetapi hal ini juga tidak sepenuhnya efektif karena
banyak masyarakat yang memilih berobat ke tempat praktek swasta atau
langsung ke rumah sakit terdekat sehingga tidak tercatat di data
puskesmas.
Jangka waktu pelaksanaan kegiatan pendataan program penemuan
penderita diare dilakukan rutin tiap bulan sampai dengan data dari 12 desa
di wilayah kerja Puskesmas Kebasen tersebut lengkap. Sedangkan untuk
penyuluhan diare dilakukan pada kegiatan pertemuan desa maupun
posyandu. Hal ini dirasa cukup efektif untuk mengetahui kondisi
kesehatan masyarakat dan memberikan pendidikan kesehatan masyarakat,
mengingat ketiadaan dana yang dapat digunakan oleh pemilik program
untuk membuat satu pertemuan khusus untuk mensosialisasikan program
ini.
d. Pengawasan dan pengendalian (P3) untuk kelancaran kegiatan
Pengawasan terhadap penemuan penderita diare dilakukan oleh petugas
kesehatan lingkungan dibantu oleh bidan desa. Pengawasan terhadap
penemuan dan pendataan masih dirasa belum maksimal karena kurangnya
sumber daya manusia dan belum terbentuknya kader kesehatan
lingkungan di setiap desa.
3. Output
Presentase penemuan dan pendataan penderita diare bulan Desember 2016
sebanyak 1080 kasus atau 61,54% dimana target penemuan diare tahun 2016
adalah sebesar 1755 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa belum seluruh kader
dan bidan desa di wilayah kerja Puskesmas Kebasen melakukan penemuan
dan pendataan diare dengan baik.
4. Outcome (Impact)
Dampak program yang diharapkan adalah meningkatnya angka penemuan
kasus diare dibanding tahun sebelumnya dan dapat mencapa target minimal
SPM.
B. IDENTIFIKASI ISU STRATEGIS (ANALISIS STRENGTH, WEAKNESS,
OPPORTUNITY, THREAT)
Analisis Strength, Weakness, Opportunity, Threat (SWOT) untuk menilai
permasalahan pada proses tercapainya program penemuan dan pendataan diare di
wilayah kerja Puskesmas Kebasen, maka didapatkan informasi sebagai berikut
1. Strength
a. Program kesehatan lingkungan di Puskesmas Kebasen memiliki tenaga
kesehatan yang kompeten dan bertanggung jawab dibidangnya
b. Kerjasama antarkoordinator program pokok puskesmas bidang kesehatan
lingkungan dan promosi kesehatan dengan koordinator bidang lainnya
yang termasuk 6 program pokok puskesmas.
2. Weakness
a. Belum terbentuknya kader-kader kesehatan lingkungan yang membantu
proses pendataan, proses kegiatan dan pemantauan program-program
kesehatan lingkungan.
b. Sistem deteksi penyakit diare masih dilakukan secara pasif, yaitu hanya
mengandalkan pasien yang datang ke puskesmas dan memiliki tanda gejala
diare. Deteksi penderita secara aktif, penyuluhan kesehatan ke desa-desa
dan pembentukan kader kesehatan dalam penanganan diare belum berjalan.
c. Pengertahuan masyarakat tentang diare masih rendah
d. Informasi mengenai data kasus diare di masyarakat kurang lengkap dimana
kasus tidak semua terdata karena tidak semua pasien berobat di puskesmas
atau PKD, dan kurangnya kerja sama antara puskesmas dengan rumah
sakit, praktik dokter, ataupun klinik.
e. Kebiasaan perilaku masyarakat buang air besar disungai.

3. Opportunity
a. Kerjasama lintas sektoral dengan kecamatan, bidan desa dan pemerintah
desa.
b. Pemantauan dari pihak dinas kesehatan tentang pemberantasan penyakit
menular dan dukungan penuh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas.

5. Threat
a. Wilayah Puskesmas Kebasen yang luas serta jumlah penduduk yang besar
b. Partisipasi masyarakat yang kurang dan sulit untuk diajak bekerja sama
dalam kegiatan pemberantasan penyakit menular.
c. Kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
hidup bersih dan sehat.
d. Banyak masyarakat yang tidak memeriksakan diri ke puskesmas atau
PKD, mereka langsung memeriksakan diri ke rumah sakit, praktik dokter
swasta ataupun klinik, hal ini menghambat adanya informasi cakupan
penderita diare di puskesmas karena kerja sama lintas sektoral kurang
baik untuk pengumpulan data penderita diare.
e. Kesadaran masyarakat wilayah kerja Puskesmas Kebasen yang masih
rendah baik untuk memeriksakan diri ke puskesmas, maupun untuk
berobat dan sembuh.
III. PEMBAHASAN

A. Pembahasan Masalah
1. Belum terbentuknya kader-kader kesehatan lingkungan yang membantu
proses pendataan, proses kegiatan dan pemantauan program-program
kesehatan lingkungan
2. Deteksi penyakit diare masih dilakukan secara pasif
3. Banyak kejadian diare yang belum tercatat karena berobat di dokter swasta
maupun rumah sakit terdekat.
4. Rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi penduduk di wilayah kerja
puskesmas serta budaya dan pola perilaku masyarakat di beberapa daerah di
wilayah kerja Puskesmas yang tidak memiliki keinginan untuk merubah
perilakunya
5. Rendahnya kesadaran dan motivasi masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
untuk berperilaku hidup bersih dan sehat.

B. Alternatif Pemecahan Masalah


Strategi alternatif pemecahan masalah yang mungkin dapat dilakukan adalah
sebagai berikut
1. Membentuk kader kesehatan lingkungan di tiap desa yang bertugas mendata,
penggerak kegiatan kesehatan lingkungan, dan memantau kegiatan program
kesehatan lingkungan
2. Menambah frekuensi penyuluhan pada kader kesehatan mengenai penyakit
menular khususnya diare.
3. Peningkatan kesadaran masyarakat melalui sosialisasi ataupun penyuluhan
oleh kader diare di desa.
4. Memberdayakan kader kesehatan untuk melakukan home visit untuk
melakukan skrining penyakit diare dan mencari faktor risiko tersebut.
5. Menambah frekuensi penyuluhan kepada masyarakat agar selalu menjaga
kebersihan lingkungan sekitar.
6. Peningkatan kerjasama antar sektor seperti kerja sama melalui sekolah dan
komunitas lain di masyarakat.
7. Peningkatan kerjasama dengan dokter swasta ataupun rumah sakit sekitar
untuk data penderita diare karena tidak semua warga yang sakit berobat ke
puskesmas, tetapi ada sebagian warga yang langsung memilih ke praktik
dokter swasta, klinik ataupun rumah sakit.
8. Membuat formulir baku untuk pendataan penderita diare
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Program kesehatan lingkungan meliputi penyehatan tempat pemukiman
(rumah sehat), penduduk dengan akses jamban sehat, penyehatan air,
penyehatan tempat pembuangan sampah dan limbah, sanitasi makanan dan
minuman dan sanitasi tempat-tempat umum.
2. Program kesehatan lingkungan yang masih memiliki masalah dalam
pelaksanaan dan pencapaiannya adalah program penemuan dan pendataan
diare di wilayah kerja Puskesmas Kebasen pada tahun 2016.
3. Kurangnya kerjasama lintas sektoral, seperti antara petugas puskesmas
dengan bidan wilayah, kader kesehatan di desa atau para petinggi desa, serta
swasta dan rumahsakit terdekat dalam menangani program penemuan dan
pendataan diare.
4. Pengetahuan masyarakat yang masih rendah terkait diare terkait tingkat
pendidikan, pengetahuan, dan sosial ekonomi masyarakat yang rendah, sikap
dan kesadaran masyarakat yang masih kurang terkait penyakit diare yang
bersifat menular, sikap dan budaya masyarakat mengenai perilaku sakit dan
PHBS.
B. Saran
1. Membentuk kader kesehatan lingkungan di tiap desa yang bertugas mendata,
penggerak kegiatan kesehatan lingkungan, dan memantau kegiatan program
penemuan diare
2. Peningkatan kerjasama dengan dokter swasta, klinik, ataupun rumah sakit
sekitar untuk data penderita diare.
3. Monitoring dan evaluasi kegiatan secara rutin agar dapat mengetahui
perkembangan kegiatan yang telah dilaksanakan.
4. Membuat format baku untuk pendataan dan pencatatan penderita diare.
5. Meningkatkan frekuensi penyuluhan baik kepada kader kesehatan dan
masyarakan oleh petugas puskesmas bekerja sama dengan lintas program dan
lintas sektoral.

Anda mungkin juga menyukai