Anda di halaman 1dari 2

active case finding dalam penanganan TB Paru

TB Paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis. Penanggulangan Tuberkulosis (TB) Paru di Indonesia menggunakan strategi
DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasikan WHO sejak tahun
1995 (Slamet H, 2004). Penemuan penderita TB Paru dalam strategi DOTS dilakukan secara
pasif (passive case finding). Penjaringan tersangka TB Paru dilaksanakan hanya pada
penderita yang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan terutama Puskesmas sehingga
penderita yang tidak datang masih menjadi sumber penularan yang potensial. Strategi passive
case finding kurang maksimal untuk diterapkan terutama dalam percepatan penanganan
penyakit TB yang telah menjadi bahaya global (Depkes, 2002). Program pemberantasan TB
Paru menjadi sangat penting untuk dilakukan karena sejak tahun 1999 kasus TB Paru di
Indonesia cenderung meningkat sehingga pelaksanaan DOTS secara passive case finding
perlu ditinjau ulang. Penemuan penderita TB Paru secara aktif di masyarakat sangat penting
untuk mencegah penularan lebih lanjut tetapi kendala di lapangan adalah jumlah tenaga
kesehatan yang ada sangat terbatas. Metode active case finding yang dilakukan oleh kader
masyarakat untuk meningkatkan angka cakupan (coverage) penemuan, pemeriksaan dan
pengobatan TB Paru sejauh ini masih belum diterapkan.
TB Paru tersebar di seluruh dunia dan menjadi masalah kesehatan penting di negara
berkembang dengan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi (Depkes, 2001). WHO
memperkirakan pada tahun 2001 Indonesia merupakan negara dengan kasus TB terbesar ke-3
di dunia, yang setiap tahun terdapat 262.000 penderita TB baru (44,9% dari 583.000
penderita TB baru) dan 140.000 orang meninggal (Depkes, 2001). TB Paru menjadi penyebab
kematian terbesar ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan saluran pernafasan (Suvei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995). TB Paru termasuk dalam 10 besar penyebab
kematian pasien rawat inap di rumah sakit selama tahun 2000-2001 (Depkes, 2001).
Penanggulangan TB dengan strategi DOTS diharapkan memberi angka kesembuhan
yang tinggi tetapi belum dapat menjangkau seluruh puskesmas, rumah sakit pemerintah,
swasta dan unit pelayanan kesehatan lainnya. Cakupan DOTS pada tahun 1995-1998
mencapai 10% dan error rate pemeriksaan laboratorium belum dihitung meskipun cure rate
lebih dari 85%. Penderita TB yang ditemukan dan diobati pada 2001 sekitar 19-20% (target
30%), kemudian 2002 meningkat menjadi 30% (target 40%), dan pada 2003 mencapai 47%
(target 50%). Pemerintah menargetkan pada tahun 2004 pengobatan penderita TB Paru
sebesar 60% dan 2005 sebesar 70% dengan angka kesembuhan 85% (Umar Fahmi, 2004).
Cakupan penemuan penderita TB Paru BTA positif di Propinsi Jawa Timur pada tahun 2000
sebesar 10,88%, hal ini diasumsikan BP4 Paru tidak menyelenggarakan kegiatan proaktif
keluar gedung (Dinkes Jatim, 2001:40). Peningkatan kasus TB Paru dari tahun ke tahun dan
terbatasnya pelayanan petugas kesehatan, memerlukan adanya peran serta masyarakat dalam
program pemberantasan TB Paru. Pemerintah yang masih menekankan metode passive case
finding mengakibatkan penderita TB Paru aktif di masyarakat akan semakin underreported
(Tjandra YA, 2003).
Penemuan penderita TB Paru secara aktif di masyarakat sangat diperlukan. Alternatif
program pemberantasan TB Paru adalah DOTS dengan Active Case Finding dengan
melibatkan peran serta masyarakat. Program active case finding adalah cara menjaring
penderita TB Paru dengan melibatkan peran kader masyarakat. Kader masyarakat di masingmasing wilayah diberikan pendidikan kesehatan mengenai TB Paru yang selanjutnya secara
aktif mencari, memotivasi dan melakukan supervisi terhadap pengawas menelan obat (PMO).
Pemberdayaan kader masyarakat secara active case finding diharapkan dapat meningkatkan
cakupan penemuan, pemeriksaan dan pengobatan penderita TB Paru dalam strategi DOTS

Anda mungkin juga menyukai