Anda di halaman 1dari 28

Ujian Tinjauan Kepustakaan Tahap I

Diagnosis dan Tala Laksana Hemoptisis

Nama : dr. Siswanto


NIM : 2150302213
Tanggal Presentasi : 24 Maret 2023
Pembimbing : dr. Fauzar, Sp.PD-KP, FINASIM

Program Studi Penyakit Dalam Program Spesialis


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
RSUP Dr. M. Djamil Padang
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
karunia-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan tinjauan kepustakaan
tahap I dengan judul “Diagnosis dan Tatalaksana pada Hemoptisis”.
Penulisan tinjauan kepustakaan tahap I ini merupakan salah satu syarat
untuk menyelesaikan tahap I di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK
UNAND/RSUP dr. M. Djamil Padang. Penulis menyadari bahwa penulisan
tinjauan kepustakaan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan tinjauan
kepustakaan ini.
Akhirnya izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf
pengajar di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNAND//RSUP dr. M. Djamil
Padang, khususnya Bapak dr. Fauzar, Sp. PD-KP, FINASIM yang telah
memberikan bimbingan dalam menyelesaikan tinjauan kepustakaan ini. Semoga
amalan dan kebaikan Beliau mendapat balasan dari Allah SWT.

Padang, 06 Maret 2023


Penulis,

Siswanto

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................. iii
DAFTAR TABEL................................................................................................... iv
DAFTAR SINGKATAN..........................................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………………………..………………………...4
2.1 Definisi............................................................................................... 4
2.2 Etiologi………………………………………..…………………….. 4
2.3 Patofisiologi.........................................................................................7
2.4 Diagnosis………………………………………..…………………...9
2.4.1 Anamnesis………………………………………...………….. 9
2.4.2 Pemeriksaan Fisik………………………………………….…10
2.4.3 Pemeriksaan Penunjang………………….............…………...12
2.5 Tatalaksana…………………………………………………..……..17
2.6 Prognosis………………………………………………………….. 19
BAB 3 PENUTUP................................................................................................20
3.1 Kesimpulan....................................................................................... 20
3.2 Saran................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 21

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Patofisiologi hemoptisis pada pasien dengan hipertensi 8


arteri pulmonal dan penyakit jantung kongenital
Gambar 2.2 Algoritma evaluasi dan tatalaksana hemoptisis nonmasif 14
Gambar 2.3 Algoritma evaluasi dan tatalaksana hemoptisis masif 15

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Insidensi etiologi hemoptisis 6


Tabel 2.2 Etiologi hemoptisis pada beberapa penelitian 7
Tabel 2.3 Perbedaan hemoptisis dan pseudohemoptisis 9
Tabel 2.4 Etiologi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik 11

Tabel 2.5 Differential Diagnosis dari hemoptsis 12

Tabel 2.6 Pemeriksaan diagnostik pada hemoptisis 16

Tabel 2.7 Prediktor mortalitas pasien dengan hemoptisis 17

iv
DAFTAR SINGKATAN

CT : Computed Tomography
CHD : Congenital Heart Disease
HIV : Human Immunodeficiency Virus
ICU : Intensive Care Unit
PA : Pulmonalis Artery
PAH : Pulmonary Arterial Hypertension
PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronik
TBC : Tuberculosis

v
BAB I
PENDAHULUAN

Hemoptisis adalah ekspektorasi darah dari saluran pernapasan bagian bawah


(saluran udara atau paru).1 Pengeluaran sputum bercampur darah dan hemoptisis
ringan sampai sedang harus dibedakan dari hemoptisis masif yang mengancam
jiwa.1
Hemoptisis adalah gejala umum dalam kasus gawat darurat dan dapat
didefinisikan sebagai ekspektorasi darah yang berasal dari pohon trakeobronkial
atau parenkim paru.2 Volume darah yang dikeluarkan selama 24 jam umumnya
digunakan untuk menilai tingkat keparahan hemoptisis dan
mengklasifikasikannya sebagai ringan, sedang, atau masif.
Lebih dari 90% kasus hemoptisis ringan, sembuh sendiri, dan memiliki
prognosis yang baik dengan penatalaksanaan konservatif.2 Namun, hemoptisis
masif memiliki angka kematian lebih dari 50%.3
Dalam banyak kasus, hemoptisis dapat sembuh sendiri; namun, hemoptisis
masif dapat menjadi kegawatdaruratan paru yang mengancam jiwa dengan
mortalitas tinggi, membutuhkan diagnosis dan pengobatan segera.2
Di Indonesia, prevalensi hemoptisis pada pasien rawat inap di RSP tahun
2007 dan 2008 sebesar 30.99% dan 34.68%. Etiologi dari hemoptisis ini beragam,
di antaranya adalah penyakit parenkimal, penyakit saluran nafas, dan penyakit
vaskuler. Namun dari beberapa penelitian, 3-42% pasien dengan hemoptisis
etiologinya tidak dapat diketahui dan dapat disebut sebagai kriptogenik. Pasien
dengan hemoptisis masif sebaiknya selalu dianggap kondisi yang mengancam
nyawa yang memerlukan terapi yang cepat, tepat, dan efektif.4
Etiologi dari hemoptisis ini bervariasi, namun secara garis besar dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu penyakit saluran nafas, penyakit parenkimal, dan
penyakit vaskuler. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah besar maupun
kecil. Perdarahan dari pemburuh darah kecil biasanya bersifat fokal atau difus
alveolar, paling sering disebabkan oleh penyakit imunologi, vaskulitis,
kardiovaskular, dan gangguan koagulasi. Penyebab perdarahan dari pembuluh
darah besar biasanya disebabkan oleh infeksi, kardiovaskular, kongenital,

1
neoplasma, dan penyakit vaskulitis. Namun penyebab tersering hemoptisis adalah
bronkiektasis, tuberkulosis, kanker, dan infeksi jamur.4 Perdarahan bisa berasal
dari arteri pulmonal maupun arteri bronkial. Sekitar 90% dari hemoptisis masif
disebabkan oleh perdarahan dari arteri bronkial karena memiliki tekanan yang
lebih tinggi dibandingkan arteri pulmonal. Hemoptisis dari arteri pulmonal dapat
disebabkan oleh penyakit yang menyebabkan nekrosis, seperti tuberkulosis, abses
paru, aspergilosis, dan karsinoma.1-4
Infeksi merupakan penyebab tersering dari hemoptisis, sekitar 60-70%. Dari
infeksi tersebut, 26% berasal dari bronkitis, 10% disebabkan pneumonia, dan 8%
akibat tuberkulosis. Infeksi dapat menyebabkan inflamasi mukosa dan edema
yang menyebabkan ruptur kapiler superfisial. Kanker primer paru sekitar 23%.
Perdarahan pada kanker diakibatkan oleh invasi atau erosi pembuluh darah oleh
tumor. Nodul metastasis pada paru biasanya tidak menyebabkan hemoptisis.
Hipertensi arteri pulmonal juga dapat menyebabkan hemoptisis, walaupun jarang.
Namun pada pasien dengan hipertensi arteri pulmonal dengan hemoptisis, angka
kesintasannya hanya sekitar 60%, dan pasien sering mengalami hemoptisis
berulang (75%). Di Indonesia itu sendiri, menurut penelitian di RS Persahabatan,
etiologi tersering dari hemoptisis adalah tuberkulosis (76,6%), infeksi jamur 10%,
dan penyakit lainnya 14%.4
Penyebab hemoptisis paling umum adalah infeksi saluran pernapasan akut,
kanker, bronkiektasis, dan penyakit paru obstruktif kronik. Tidak ada penyebab
yang teridentifikasi pada 20% hingga 50% kasus. Hemoptisis harus dibedakan
dengan pseudohemoptisis, yaitu darah yang berasal dari sumber nasofaring atau
gastrointestinal. Evaluasi awal termasuk menentukan tingkat keparahan
perdarahan dan stabilitas pasien yang mungkin memerlukan bronkoskopi untuk
perlindungan jalan napas.1
Hemoptisis ringan meliputi lebih dari 90% kasus dan memiliki prognosis
yang baik, sedangkan hemoptisis masif memiliki angka kematian yang tinggi.
Evaluasi awal hemoptisis termasuk penilaian awal untuk memastikan stabilitas
pasien dan untuk mengidentifikasi hemoptisis yang mengancam jiwa.
Pemeriksaan melibatkan mengevaluasi tanda-tanda obstruksi jalan napas dan
kegagalan pernapasan seperti dispnea, takipnea, peningkatan pernapasan, mengi,

2
sianosis, perubahan status mental dan hipoksia, dan tanda-tanda ketidakstabilan
hemodinamik, seperti hipotensi dan takikardia.1
Pasien dengan gejala ini memerlukan transfer ke unit perawatan intensif di
mana pemeriksaan dapat segera menyusul jalan napas dan stabilisasi
hemodinamik. Dalam kasus hemoptisis yang tidak mengancam jiwa yang waktu
klinis dan gejala yang menyertai memungkinkan untuk anamnesis lengkap dan
pemeriksaan fisik, tujuan awal evaluasi termasuk mengkonfirmasikan hemoptisis,
menemukan lokasi perdarahan, dan menentukan etiologi perdarahan. Konfirmasi
hemoptisis membutuhkan differential diagnosis dari pseudohemoptisis.1
Hal ini dapat dicapai melalui pengamatan langsung terhadap perdarahan
atau, berdasarkan pada gejala yang menyertai, munculnya darah, dan
komorbiditas pasien. Rongga mulut dan hidung harus diperiksa untuk memastikan
perdarahan subglottic, karena perdarahan hidung atau gusi yang terjadi
semalaman dapat mengakibatkan hemoptisis keesokan paginya. Terkadang
evaluasi endoskopik, yang meliputi endoskopi hidung dan endoskopi
gastrointestinal bagian atas, mungkin diperlukan untuk mengkonfirmasi
hemoptisis dan pseudohemoptisis.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat membantu dalam mengidentifikasi
etiologi, tetapi tes diagnostik seringkali diperlukan. Pemeriksaan rontgen thorax
adalah tes awal yang baik, tetapi memiliki sensitivitas terbatas untuk menentukan
lokasi dan etiologi perdarahan.1
Computed tomography dan computed tomography angiography dada
dengan kontras intravena merupakan modalitas pilihan untuk menentukan etiologi
perdarahan; namun, bronkoskopi juga mungkin perlu dilakukan untuk
mengkonfirmasi diagnosis. Selain terapi suportif, manajemen harus mencakup
pengobatan etiologi yang mendasari karena kekambuhan sering terjadi tanpa
terapi dari etiologi yang mendasari. Pembedahan dilakukan pada pasien yang
perawatan medis dan embolisasinya tidak efektif.1
Dalam makalah ini, selanjutnya akan dibahas mengenai definisi hemoptisis,
etiologi, patofisiologi hemoptisis, diagnosis dan tatalaksana hemoptisis
berdasarkan rekomendasi terbaru.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hemoptisis didefisinikan sebagai ekpetorasi dari darah yang berasal dari
paru atau trunkus bronkotrakeal sedangkan hemoptisis masif adalah batuk darah
dengan volume 100-1000 mL (jumlah yang digunakan masih beragam pada
beberapa pusat pendidikan). Belum ada volume spesifik yang dapat digunakan
secara universal untuk definisi hemoptisis masif. Volume cairan yang bisa
ditampung di dalam saluran nafas sebesar 100-200 ml. Oleh karena itu,
hemoptisis dapat dikatakan non-masif bila perdarahan kurang dari 200 ml.1,4
Hemoptisis berat harus segera diidentifikasi karena menimbulkan risiko
kematian yang signifikan yang telah dilaporkan setinggi 80% tanpa manajemen
yang tepat. Hampir semua definisi hemoptisis berat atau masif dalam literatur
bergantung pada volume darah ekspektorasi yang dilaporkan dalam periode 24
jam. Definisi yang mengandalkan volume yang dilaporkan sendiri tidak sempurna
karena pasien mungkin melebih-lebihkan atau meremehkan volume karena
hemoptisis masif, dapat dimengerti, menyebabkan stres yang signifikan.5

2.2 Etiologi
Etiologi dari hemoptisis ini bervariasi, namun secara garis besar dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu penyakit saluran nafas, penyakit parenkimal, dan
penyakit vaskuler. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah besar maupun
kecil. Perdarahan dari pemburuh darah kecil biasanya bersifat fokal atau difus
alveolar, paling sering disebabkan oleh penyakit imunologi, vaskulitis,
kardiovaskular, dan gangguan koagulasi. Penyebab perdarahan dari pembuluh
darah besar biasanya disebabkan oleh infeksi, kardiovaskular, kongenital,
neoplasma, dan penyakit vaskulitis. Namun penyebab tersering hemoptisis adalah
bronkiektasis, tuberkulosis, kanker, dan infeksi jamur.1,4
Etiologi hemoptisis seringkali menentukan sumber pendarahan. Pada 90%
kasus hemoptisis berat yang memerlukan pengobatan, perdarahan berasal dari
arteri bronkial. Perdarahan dari arteri pulmonalis (5%) dan arteri sistemik

4
nonbronkial (5%) lebih jarang terjadi. Arteri bronkial memasok saluran udara
intrapulmoner dan terhubung ke arteri pulmonalis melalui anastomosis. Ketika
perfusi arteri pulmonal terganggu (misalnya, paru emboli, vaskulitis,
vasokonstriksi paru hipoksia), peningkatan aliran arteri bronkial menghasilkan
mengalir melalui anastomosis, yang dapat mengalami hipertrofi, menjadi
berdinding tipis, dan pecah menjadi alveoli dan bronkus, menyebabkan
hemoptisis.1,6
Perdarahan dari arteri pulmonalis biasanya hasil dari pseudoaneurisma yang
dibuat oleh erosi arteri yang disebabkan oleh kerusakan di dekatnya parenkim
paru dari peradangan kronis (misalnya kanker, tuberkulosis,
aspergillosis/mycetoma, paru-paru abses, trauma [misalnya penempatan kateter
Swan-Ganz]). Dalam keadaan inflamasi, faktor pertumbuhan angiogenik
menyebabkan neovaskularisasi dan perekrutan pembuluh kolateral dari arteri
sistemik nonbronkial terdekat, yang terbentuk beranastomosis dengan sirkulasi
arteri pulmonalis yang rapuh dan dapat pecah ke saluran udara, menyebabkan
hemoptisis.1,6
Perdarahan bisa berasal dari arteri pulmonal maupun arteri bronkial. Sekitar
90% dari hemoptisis masif disebabkan oleh perdarahan dari arteri bronkial karena
memiliki tekanan yang lebih tinggi dibandingkan arteri pulmonal. Hemoptisis dari
arteri pulmonal dapat disebabkan oleh penyakit yang menyebabkan nekrosis,
seperti tuberkulosis, abses paru, aspergilosis, dan karsinoma. Infeksi merupakan
penyebab tersering dari hemoptisis, sekitar 60-70%. Dari infeksi tersebut, 26%
berasal dari bronkitis, 10% disebabkan pneumonia, dan 8% akibat tuberkulosis.
Infeksi dapat menyebabkan inflamasi mukosa dan edema yang menyebabkan
ruptur kapiler superfisial. Kanker primer paru sekitar 23%.1,4
Perdarahan pada kanker diakibatkan oleh invasi atau erosi pembuluh darah
oleh tumor. Nodul metastasis pada paru biasanya tidak menyebabkan hemoptisis.
Hipertensi arteri pulmonal juga dapat menyebabkan hemoptisis, walaupun jarang.
Namun pada pasien dengan hipertensi arteri pulmonal dengan hemoptisis, angka
kesintasannya hanya sekitar 60%, dan pasien sering mengalami hemoptisis
berulang (75%).

5
Di Indonesia sendiri, menurut penelitian di RS Persahabatan, etiologi
tersering dari hemoptisis adalah tuberkulosis (76,6%), infeksi jamur 10%, dan
penyakit lainnya 14%.8 Mortalitas hemoptisis tergantung beratnya perdarahan dan
kelainan patologis dari paru. Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Corey
dkk, mortalitas meningkat bila perdarahan melebihi 1000 ml/24 jam. Namun
mortalitas turun menjadi 9% bila perdarahan kurang dari 1000 ml/24 jam.7
Mortalitas meningkat menjadi 59% pada pasien dengan keganasan, dan 80%
bila perdarahan lebih dari 1000 ml/24 jam. Beberapa kondisi seperti abses paru
dan bronkiektasis memiliki mortalitas yang lebih rendah (<1%), dan tatalaksana
konservatif biasanya sudah cukup. Suatu penelitian Deepak dkk mendapatkan 377
pasien dengan hemoptisis, didapatkan etiologinya adalah tuberkulosis sebesar
54,6%, pneumonia sebesar 20,4%, bronkiektasis sebesar 15,9%, dan jamur
sebesar 14,6% dengan mortalitas 8,73%, 20,8%, 10%, dan 16,4% secara
berurutan, dengan mortalitas secara keseluruhan hemoptisis adalah 11%. Pada
studi tersebut, 24,13% pasien merupakan hemoptisis masif. Di Indonesia itu
sendiri, dikatakan mortalitas hemoptisis masif mencapai 75%.1,7

Tabel 2.1 Insidensi etiologi hemoptisis1,8

Di seluruh dunia, TBC (tuberkulosis) adalah penyebab paling umum dari


hemoptisis.8 Dalam keadaan rawat jalan di negara-negara dengan sumber daya
yang terbatas, hemoptisis sering disebabkan oleh infeksi pernapasan akut,
penyakit paru obstruktif kronik, kanker, dan bronkiektasis.8 Namun, 20% sampai
50% kasus bersifat kriptogenik, tanpa penyebab yang ditemukan pada
pemeriksaan CT atau bronkoskopi.3

6
Tabel 2.2 Etiologi hemoptisis pada beberapa penelitian5

2.3 Patofisiologi
Sebagian besar darah paru (95%) bersirkulasi melalui arteri paru-paru
bertekanan rendah dan berakhir di kapiler paru-paru, tempat pertukaran gas.
Sekitar 5% suplai darah bersirkulasi melalui arteri bronkial bertekanan tinggi,
yang berasal dari aorta dan memasok saluran udara utama dan struktur
pendukung. Pada hemoptisis, darah umumnya muncul dari sirkulasi bronkial ini,
kecuali jika arteri pulmonalis rusak karena trauma, karena erosi kelenjar getah
bening atau tumor granulomatosa atau kalsifikasi, atau, jarang, karena kateterisasi
arteri pulmonal atau ketika kapiler paru dipengaruhi oleh peradangan.9
Patofisiologi yang mendasari hemoptisis pada PAH-CHD (Pulmonary
Arterial Hypertension - Congenital Heart Disease) rumit dan melibatkan berbagai
mekanisme kompleks (Gambar 2.1). Renovasi obliteratif dari pembuluh darah
paru, perubahan mikrovaskular paru, kerusakan endotel, vasokonstriksi dan
trombosis telah berkorelasi dengan perkembangan PAH.

7
Gambar 2.1 Patofisiologi hemoptisis pada pasien dengan hipertensi arteri
pulmonal dan penyakit jantung kongenital.10

Semua proses ini mengarah pada substrat vaskular paru yang rentan pada
PAH-CHD, di mana episode hemoptisis dapat terjadi, terutama setelah
pembalikan shunt dan pembentukan penyakit vaskular paru tetap. Data yang kuat
tentang mekanisme yang tepat dari hemoptisis masih kurang. Erosi arteri bronkial
hipertrofi menjadi bronkus telah digambarkan sebagai penjelasan yang mungkin,
tetapi penyebab hipertrofi arteri bronkial ini tetap tidak teridentifikasi.10
Sirkulasi bronkial tekanan tinggi adalah sumber utama perdarahan pada
sebagian besar kasus hemoptisis masif (90%). Meskipun demikian, tidak semua
kasus hemoptisis dapat dikaitkan dengan arteri bronkial yang terkikis. Pada
sekitar 5% kasus, perdarahan berasal dari pembuluh paru.10
Diseksi arteri pulmonalis (PA) yang ada atau aneurisma rentan terhadap
ruptur, dalam pengaturan peningkatan PAP pada PAH, dan, dalam beberapa
kasus, hal tersebut dikaitkan dengan hemoptisis. Selain itu, dilatasi atau lesi
angiomatoid dari dinding arteriolar paru sering ditemui pada pasien dengan PAH-
CHD (terutama dengan shunt pasca-trikuspid besar) karena adanya penyakit
obstruktif pembuluh darah paru, dan telah dikaitkan dengan hemoptisis.10

8
2.4 Diagnosis
2.4.1 Anamnesis
Anamnesis mencakup durasi dan pola gejala (misalnya, onset tiba-tiba,
kekambuhan), faktor pemicu (misalnya, paparan alergen, dingin, aktivitas, posisi
terlentang), dan perkiraan volume hemoptisis (misalnya, sedikit, sebanyak satu
sendok teh, darah memenuhi satu cangkir).1,9
Pasien mungkin memerlukan dorongan khusus untuk membedakan antara
hemoptisis yang sebenarnya, pseudohemoptisis (yaitu, perdarahan yang berasal
dari nasofaring yang kemudian dibatukkan), dan hematemesis.9

Tabel 2.3 Perbedaan hemoptisis dan pseudohemoptisis3,11

Sensasi postnasal drip atau perdarahan dari nares tanpa batuk menunjukkan
pseudohemoptisis. Mual dan muntah bersamaan dengan darah hitam, coklat, atau
berwarna seperti kopi merupakan karakteristik dari hematemesis. Sputum berbusa,
darah merah cerah, dan (jika masif) sensasi tersedak adalah ciri khas hemoptisis
sejati.1,5,9
Tinjauan anamnesis harus mencari gejala yang menunjukkan kemungkinan
penyebab, termasuk demam dan produksi sputum (pneumonia); keringat malam,
penurunan berat badan, dan kelelahan (kanker, TB); nyeri dada dan dispnea
(pneumonia, emboli paru); nyeri kaki dan kaki bengkak (emboli paru); hematuria
(sindrom Goodpasture); dan keluarnya darah dari hidung (granulomatosis dengan
poliangiitis).1,5,9

9
Pasien harus ditanya tentang faktor risiko penyebab. Faktor risiko ini
termasuk infeksi HIV, penggunaan imunosupresan (TB, infeksi jamur); paparan
TBC; riwayat merokok yang lama (kanker); dan imobilisasi atau operasi dalam
jarak dekat sebelumnya, kanker, riwayat penyakit gangguan pembekuan darah
sebelumnya atau pada keluarga, kehamilan, penggunaan obat-obatan yang
mengandung estrogen, dan perjalanan jarak jauh sebelumnya (emboli paru).1,5,9
Riwayat penyakit sebelumnya harus mencakup kondisi yang diketahui dapat
menyebabkan hemoptisis, termasuk penyakit paru-paru kronis (misalnya, PPOK
[penyakit paru obstruktif kronik], bronkiektasis, TB, cystic fibrosis), kanker,
gangguan perdarahan, gagal jantung, aneurisma aorta toraks, dan penyakit paru-
paru. sindrom ginjal (misalnya sindrom Goodpasture, granulomatosis dengan
poliangiitis). Paparan terhadap TB penting, terutama pada pasien dengan infeksi
HIV atau keadaan immunocompromised lainnya. Riwayat sering mimisan, mudah
memar, atau penyakit hati menunjukkan kemungkinan koagulopati. Profil obat
harus ditinjau untuk penggunaan antikoagulan dan obat antiplatelet.1,5,9

2.4.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik harus fokus dalam menentukan etiologi perdarahan.
Adanya gejala yang menunjukkan infeksi; prosedur bedah baru-baru ini;
administrasi obat antikoagulan atau antiplatelet; atau diketahui riwayat
tuberkulosis, keganasan, an kondisi autoimun, atau penyakit paru-paru kronis
mungkin menunjukkan kemungkinan etiologi. Faktor seperti perjalanan terakhir,
imobilisasi, dan riwayat keluarga dengan gangguan pembekuan darah dan riwayat
perdarahan selanjutnya dapat menunjukkan etiologi. Temuan pemeriksaan fisik
dapat membantu dalam menentukan etiologi tetapi mungkin menyarankan
penyakit sistemik lainnya proses seperti ekimosis, clubbing, sinovitis, atau tanda-
tanda dermatologi penyakit autoimun. Dia penting untuk menentukan penyebab
bahkan perdarahan jika sudah berhenti karena manajemen termasuk pengobatan
etiologi yang mendasarinya.1,6

10
Tabel 2.4 Etiologi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik12

Tanda-tanda vital ditinjau untuk demam, takikardia, takipnea, dan saturasi


oksigen rendah. Tanda-tanda konstitusional (misalnya, cachexia) dan tingkat
keadaan umum pasien (misalnya, penggunaan otot aksesori, pernapasan bibir,
agitasi, penurunan tingkat kesadaran) juga harus diperhatikan. Pemeriksaan paru
lengkap dilakukan, terutama meliputi kecukupan masuk dan keluar udara,
kesimetrisan bunyi napas, dan adanya ronki, ronki, stridor, dan mengi.9
Tanda-tanda konsolidasi (misalnya egofoni, redupnya perkusi) harus dicari.
Area serviks dan supraklavikula harus diperiksa dan dipalpasi untuk
limfadenopati (menunjukkan kanker atau TB). Vena leher harus diperiksa untuk
distensi, dan tungkai serta area presakral harus dipalpasi untuk pitting edema
(menunjukkan gagal jantung). Bunyi jantung harus diauskultasi dengan notasi
bunyi jantung ekstra atau murmur yang mungkin mendukung diagnosis gagal
jantung dan peningkatan tekanan paru. Pemeriksaan abdomen harus fokus pada
tanda-tanda kongesti atau massa hati, yang dapat menunjukkan adanya kanker
atau hematemesis dari varises esofagus potensial. Kulit dan selaput lendir harus
diperiksa untuk melihat apakah ada ekimosis, peteki, telangiectasia, gingivitis,
atau bukti perdarahan dari mukosa mulut atau hidung. Jika pasien dapat
mereproduksi hemoptisis selama pemeriksaan, warna dan jumlah darah harus
diperhatikan.9

11
Tabel 2.5 Differential Diagnosis dari hemoptisis3,6,7

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang


American College of Radiology mengeluarkan kriteria untuk pencitraan
awal hemoptisis nonmasif meliputi foto toraks, CT toraks dengan kontras vena
intra, dan CT angiografi dada dengan intravena kontras.8
Foto toraks merupakan pencitraan yang dapat dilakukan pada awal pasien
dengan hemoptisis. Pemeriksaan ini cepat, tidak mahal, dan tersedia di banyak
rumah sakit.3 Foto toraks dapat membantu melihat adanya keterlibatan paru secara
difus maupun fokal, dan dapat mendeteksi kelainan pada parenkim paru dan
pleura, seperti tumor, pneumonia, penyakit paru kronik, atelektasis, kavitas, dan
opasitas alveolar akibat perdarahan alveoli.6 Namun, keganasan mungkin tidak
ditemukan pada foto toraks.13

12
Sensitivitas foto toraks dalam mendiagnosis hemoptisis cukup beragam.
Penelitian dari Hirshberg melaporkan sensitivitas foto toraks sebesar 50%,4
sementara Revel dkk melaporkan foto toraks dapat menentukan lokasi perdarahan
pada 46% pasien dan menentukan penyebab hemoptisis pada 36% kasus.4 Bisa
juga ditemukan foto toraks normal pada pasien dengan hemoptisis, seperti yang
ditulis oleh Herth dkk bahwa seperempat pasien dengan hemoptisis menunjukkan
foto toraks normal.4 Oleh karena itu, pada pasien dengan hemoptisis dan
menunjukkan foto toraks yang normal, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
lebih lanjut.4
Ada bukti kegunaan foto toraks yang sering dilakukan pada pasien yang
tidak stabil. Meskipun radiografi dada dapat menunjukkan jika perdarahan bersifat
fokal atau difus,14 namun kurang sensitif dibandingkan CT atau CT angiografi
untuk menentukan lokasi dan etiologi perdarahan. Beberapa penyebab hemoptisis
mungkin tidak menghasilkan perubahan radiografi dada.1
Oleh karena itu, jika tidak ditemukan penyebab di hasil pemeriksaan foto
toraks, evaluasi lebih lanjut diperlukan.3,14 Setelah radiografi dada, tidak ada
konsensus apakah CT atau bronkoskopi harus dilakukan terlebih dahulu untuk
menentukan etiologi hemoptisis; Namun, CT telah menjadi modalitas yang
disukai.8
CT dan bronkoskopi memiliki kesamaan efektivitas untuk mengidentifikasi
lokasi perdarahan, tetapi CT adalah lebih efektif untuk memastikan etiologi.15
Dibandingkan dengan radiografi dada, CT dada dengan kontras vena intra lebih
sensitif untuk menentukan lokasi dan etiologi perdarahan. CT angiografi dengan
kontras intravena secara akurat mengidentifikasi arteri itu mungkin menjadi
sumber perdarahan dan memungkinkan untuk deteksi emboli paru.11,14
Meskipun hemoptisis biasanya berasal dari arteri bronkial, paru dan arteri
sistemik nonbronkial juga harus divisualisasikan memandu embolisasi yang
tepat.8 Meskipun CT dengan intravena kontras dan CT angiografi dengan kontras
intravena sama efektifnya dalam mendiagnosis situs dan etiologi perdarahan, CT
angiografi lebih membantu untuk praprosedural perencanaan jika embolisasi akan
dilakukan.8 Bronkoskopi dapat bersifat diagnostik dan terapeutik,3,11 dan sangat
membantu untuk mendeteksi lesi endobronkial.

13
Karsinoma bronkogenik ditemukan pada 9,6% pasien dengan hemoptisis
dan radiografi dada normal.13 Bronkoskopi juga dapat mengevaluasi mukosa
bronkial; Namun, perubahannya tidak spesifik.8
Bronkoskopi memungkinkan pengambilan sampel untuk patologi jaringan
dan tes mikroba.3 Saat digunakan, bronkoskopi yang kaku dapat mengamankan
jalan napas dan ventilasi pasien; ini mungkin diperlukan untuk masif hemoptisis.
Bronkoskopi yang kaku juga memungkinkan untuk pengangkatan darah atau
benda asing dan debulking tumor. Namun, bronkoskopi kaku dilakukan di ruang
operasi di bawah anestesi umum dan hanya dapat mengakses jalan udara
proksimal kecuali ruang lingkup fleksibel dimasukkan untuk melakukan fleksibel
bronkoskopi. Bronkoskopi fleksibel dapat dilakukan di samping tempat tidur di
unit perawatan intensif (ICU; dengan sedasi daripada anestesi), dan dapat
mengakses saluran udara yang lebih rendah, tetapi intubasi sebelumnya
diperlukan jika manajemen jalan napas dilakukan diperlukan.3

Gambar 2.2 Algoritma evaluasi dan tatalaksana hemoptisis nonmasif.6,14

14
Gambar 2.3 Algoritma evaluasi dan tatalaksana hemoptisis masif.6,14

Evaluasi laboratorium untuk koagulopati yang mendasari harus diperoleh


dan laboratorium tambahan pemeriksaan harus didasarkan pada kecurigaan klinis
kontributor lainnya3,6,12

15
Tabel 2.6 Pemeriksaan diagnostik pada hemoptisis3,6,12

Bronkoskopi terapeutik juga memungkinkan untuk pengangkatan darah atau


benda asing. Untuk menentukan situs perdarahan, perdarahan aktif harus
divisualisasikan. Dapat dilakukan apabila terjadi selama atau dalam 24 hingga 48
jam saat terjadi hemoptisis yang aktif.11
Bronkoskopi yang dilakukan setelah CT dapat meningkatkan sensitivitas
untuk lokasi perdarahan dan juga dapat mengidentifikasi etiologi perdarahan bila
tidak ditemukan pada CT.16

16
2.5 Tatalaksana
Tingkat keparahan hemoptisis menjadi penentu bagaimana evaluasi dan
tatalaksana pasien. Sputum bercampur darah dapat ditatalaksana dengan rawat
jalan, sedangkan hemoptisis berat pada umumnya harus dikelola di unit gawat
darurat dan rawat inap.11
Perawatan rawat jalan dapat dipertimbangkan pada pasien yang kondisinya
stabil, dan penyebab yang dicurigai dapat ditindaklanjuti dalam pengaturan rawat
jalan, asalkan perdarahan telah berhenti. Obat antitusif dapat membantu dalam
mengendalikan batuk, yang dapat memicu berlanjutnya hemoptisis, dan
pengobatan etiologi-spesifik (contohnya antibiotik jika infeksi dicurigai) harus
diberikan, dengan evaluasi berulang dalam 24 hingga 48 jam.11
Pasien dengan hemoptisis masif, ketidakstabilan hematologi, atau gangguan
jalan napas harus dirawat di ICU dengan akses ke radiologi, endovaskular,
bronkoskopi, dan bedah. 6,11

Tabel 2.7 Prediktor mortalitas pasien dengan hemoptisis12

Tabel 2.6 menunjukkan prediksi model kematian di rumah sakit yang dapat
membantu dalam pengambilan keputusan merawat pasien di ICU.17 Selama
perdarahan aktif, pasien harus ditempatkan pada tirah baring yang ketat dalam
dekubitus lateral posisi di sisi perdarahan dan diperbolehkan tidak ada apa-apa
melalui mulut.11 Pasien harus memilikinya tanda-tanda vital, termasuk oksigenasi,
dipantau dekat dan akses intravena dipertahankan. Jika diperlukan, pasien harus
diberikan suplemen oksigen.11

17
Proteksi jalan napas, dengan intubasi dan penyumbatan bronkus dengan
bronkoskopi kaku, dan stabilisasi hemodinamik sangat penting. Perdarahan
perifer, isolasi paru oleh penyumbatan bronkus selektif, tamponade, atau kateter
balon mencegah darah dari daerah yang terkena dampak mengalir ke saluran
udara lain.3,11
Ada data terbatas untuk antifibrinolitik, seperti sebagai asam traneksamat,
tetapi dapat dipertimbangkan dalam pengobatan hemoptisis berat untuk
mengurangi volume dan waktu perdarahan, dan pada hemoptisis nonmasif untuk
mengurangi volume perdarahan, intervensi lebih lanjut risiko, dan lama tinggal di
rumah sakit.3
Pembedahan memiliki risiko kematian yang tinggi (2% hingga 18%)
meningkat menjadi 25% sampai 50% selama perdarahan aktif dan keadaan
darurat. Ini karena risiko komplikasi yang tinggi, termasuk perdarahan
perioperatif, asfiksia, fistula bronkopleural, dan kegagalan pernafasan.3,14
Pembedahan adalah pengobatan pilihan saja dalam kasus trauma dada dan arteri
pulmonalis iatrogenik pecah.14 Pembedahan juga dilakukan pada pasien dengan
hemoptisis refrakter terhadap pilihan lain atau sebagai pengobatan definitif setelah
pasien telah stabil.3
Embolisasi arteri adalah pengobatan pilihan untuk hemoptisis masif atau
berulang dan semakin meningkat digunakan untuk hemoptisis nonmasif karena
efektif dan invasif minimal.8,11
Untuk mencegah kekambuhan, semua arteri patologis harus diemboli.11
Arteri bronkial embolisasi paling sering dilakukan (75%) karena arteri bronkial
adalah sumber perdarahan yang paling umum dan paling setuju untuk
pengobatan.18 Tingkat keberhasilan teknis embolisasi adalah 81% sampai
100%,28,29 dengan kegagalan lebih mungkin pada adanya kolateral sistemik non
bronkial dan bronkopulmoner shunt.20 Tingkat keberhasilan klinis, seperti yang
didefinisikan oleh penghentian perdarahan, adalah 70% sampai 99%.1

18
2.6 Prognosis
Untuk hemoptisis ringan, kekambuhan terjadi pada 19% pasien, dengan
24% terjadi pada yang pertama tiga bulan dan 73% dalam dua tahun pertama.
Faktor risiko untuk kekambuhan termasuk aspergilosis, infeksi mikobakteri
nontuberkulosis, merokok, dan perdarahan aktif atau pembekuan darah. pada
bronkoskopi.2
Tingkat kematian akibat hemoptisis ringan adalah 0,3%.2 Hemoptisis sedang
dan berat, dengan perdarahan aktif pada bronkoskopi, dan merokok berhubungan
dengan mortalitas yang lebih tinggi.19 Embolisasi secara simtomatis mengobati
perdarahan; oleh karena itu, pengobatan penyakit yang mendasarinya adalah
sering diperlukan untuk mencegah perdarahan ulang.6,18
Setelah embolisasi arteri bronkial, tingkat perdarahan ulang tinggi (9,8%
hingga 57,5%), dengan waktu rata-rata hingga kekambuhan enam bulan sampai
satu tahun.17 Pasien yang tidak mengalami kekambuhan dalam waktu tiga tahun
prognosis yang baik dan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami
perdarahan ulang, tetapi pasien yang mengalami perdarahan ulang cenderung
mengalami kekambuhan multipel.1
Faktor risiko perdarahan ulang setelah embolisasi arteri termasuk
aspergillosis, TBC, keganasan, keparahan yang lebih besar hemoptisis, dan
mengalir atau perdarahan aktif bronkoskopi.3,6,17,19
Kekambuhan awal disebabkan oleh embolisasi yang tidak lengkap, dan
kekambuhan di kemudian hari disebabkan oleh rekanalisasi arteri yang
mengalami emboli atau perekrutan arteri baru.17 Kekambuhan biasanya diobati
dengan embolisasi berulang, seringkali pada arteri sistemik atau pulmonalis
nonbronkial, atau operasi.8,17 Pengulangan embolisasi membantu kesembuhan
jangka panjang hemoptisis, tetapi pembedahan sering diperlukan untuk
pengobatan definitif setelah embolisasi multipel.17

19
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Hemoptisis adalah ekspektorasi darah dari saluran pernapasan bagian bawah
(saluran udara atau paru). Pengeluaran sputum bercampur darah dan hemoptisis
ringan sampai sedang harus dibedakan dari hemoptisis masif yang mengancam
jiwa. Lebih dari 90% kasus hemoptisis ringan, sembuh sendiri, dan memiliki
prognosis yang baik dengan penatalaksanaan konservatif. Namun, hemoptisis
masif memiliki angka kematian lebih dari 50%.
Computed Tomography (CT) scan dan bronkoskopi merupakan modalitas
diagnostik yang terpercaya untuk diagnosis pasien hemoptisis. Ada beberapa
modalitas terapi yang dapat dilakukan, yaitu pemberian asam traneksamat,
fibrin/trombin, pemberian saline dingin dan agen vasokonstriksi melalui
bronkoskopi, embolisasi arteri bronkial, dan bedah. Namun terapi definitif untuk
hemoptisis adalah embolisasi dan pembedahan

3.2 Saran
1. Diperlukan pemahaman tentang cara mendeteksi gejala hemoptisis dan cara
penanganannya.
2. Diperlukan pemahaman mengenai penatalaksanaan hemoptisis terutama
pada pasien hemoptisis masif yang sangat membahayakan jiwa.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. O'Gurek D, Choi HYJ. (2022). Hemoptysis: Evaluation and management. Am


Fam Physician. 2022; 105(2): 144-51.
2. Choi J, Baik JH, Kim CH, et al. Long-term outcomes and prognostic factors
in patients with mild hemoptysis. Am J Emerg Med. 2018; 36(7): 1160-5.
3. Gagnon S, Quigley N, Dutau H, et al. Approach to hemoptysis in the modern
era. Can Respir J. 2017; 2017: 1-11.
4. Yulisar RN, Kamelia T. Diagnosis dan tata laksana terkini hemoptisis.
Indonesian Journal of Chest Critical and Emergency Medicine. 2016; 3: 57-
66.
5. Gagnon S, Quigley N, Dutau H, Delage A, Fortin M. Approach to hemoptysis
in the modern era. Canadian Respiratory Journal. 2017; 2017: 1-11.
6. Ittrich H, Bockhorn M, Klose H, et al. The diagnosis and treatment of
hemoptysis. Dtsch Arztebl Int. 2017; 114(21): 371-81.
7. Marleen FS, Swidarmoko B, Rogayah R, Pandelaki J. Embolisasi arteri
bronkial pada hemoptisis. J Respir Indones. 2009; 29(2); 1-10.
8. Olsen KM, Manouchehr-pour S, Donnelly EF, et al. ACR appropriateness
criteria hemoptysis. J Am Coll Radiol. 2020; 17(5S): 148-59.
9. Dezube R. Hemoptysis. Rahway (NJ): Merck Manuals Professional. 2022.
10. Baroutidou A, Arvanitaki A, Hatzidakis A, Pitsiou G, Ziakas A, Karvounis H,
et al. Haemoptysis in pulmonary arterial hypertension associated with
congenital heart disease: Insights on pathophysiology, diagnosis and
management. J Clin Med. 2022; 11(633): 1-15.
11. Cordovilla R, Bollo de Miguel E, Nuñez Ares A, et al. Diagnosis and
treatment of hemoptysis. Arch Bronconeumol. 2016; 52(7): 368-77.
12. Earwood JS, Thompson TD. Hemoptysis: Evaluation and management. Am
Fam Physician. 2015; 91(4): 243-9.
13. Thirumaran M, Sundar R, Sutcliffe IM, et al. Is investigation of patients with
haemoptysis and normal chest radiograph justified?. Thorax. 2009; 64(10):
854-6.

21
14. Larici AR, Franchi P, Occhipinti M, et al. Diagnosis and management of
hemoptysis. Diagn Interv Radiol. 2014; 20: 299-309.
15. Davoodi M, Kordi M, Gharibvand MM, et al. Hemoptysis: Comparison of
diagnostic accuracy of multi detector CT scan and bronchoscopy. Glob J
Health Sci. 2015; 7(3): 373-7.
16. Lee YJ, Lee SM, Park JS, et al. The clinical implications of bronchoscopy in
hemoptysis patients with no explainable lesions in computed tomography.
Respir Med. 2012; 106(3): 413-9
17. Fartoukh M, Khoshnood B, Parrot A, et al. Early prediction of in-hospital
mortality of patients with hemoptysis: An approach to defining severe
hemoptysis. Respiration. 2012; 83(2): 106-14.
18. Chun JY, Morgan R, Belli AM. Radiological management of hemoptysis: A
comprehensive review of diagnostic imaging and bronchial arterial
embolization. Cardiovasc Intervent Radiol. 2010; 33(2): 240-50.
19. Lee MK, Kim SH, Yong SJ, et al. Moderate hemoptysis: Recurrent
hemoptysis and mortality according to bronchial artery embolization. Clin
Respir J. 2015; 9(1): 53-64.

22

Anda mungkin juga menyukai