Anda di halaman 1dari 32

TINJAUAN PUSTAKA I

Agustus 2022

TERAPI FARMAKOLOGI PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF


KRONIK (PPOK)

OLEH
Fuadah Handayani

PEMBIMBING
Dr. dr. Muh. Ilyas, Sp.PD,K-P, Sp.P(K)

PPDS PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERANRESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

RS WAHIDIN SUDIROHUSODO

MAKASSAR

2022
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa,
tugas makalah ini saya susun tanpa tindakan plagiarism sesuai dengan peraturan
yang berlaku di Universitas Hasannuddin. Jika dikemudian hari ternyata saya
melakukan Tindakan plagiarism, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan
menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Hasanuddin kepada saya.

Makassar, Agustus 2022

Fuadah Handayani

1
ABSTRACT
Chronic Obstructive Pulmonary Disease or COPD is a disease characterized by
persistent respiratory symptoms and airflow limitation caused by airway abnormalities.
The prevalence of COPD in the world shows that there are 251 million people suffering
from this disease. In 2013 the incidence of COPD in Indonesia reached 3.7% of the total
population and was more common in men than women. COPD is suffered by many
smokers, both passive and active smokers. Genetic factors can also cause COPD such as
alpha-1 antitrypsin deficiency. Patients with COPD show symptoms of shortness of
breath and cough. COPD is classified according to the severity of GOLD based on the
results of spirometry measurements (FEV1) after administration of bronchodilators at a
ratio of FEV1/FVC < 0.7. Treatment is often given to COPD patients in the form of
bronchodilator medication.
Keywords: COPD, smoking, therapy

ABSTRAK
Penyakit Paru Obstruksi Kronik atau PPOK adalah penyakit yang ditandai dengan gejala
pernapasan yang persisten dan adanya keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh
kelainan jalan napas. Prevalensi PPOK didunia menunjukkan terdapat 251 juta penduduk
menderita penyakit ini. Tahun 2013 angka kejadian PPOK di Indonesia mencapai 3,7%
dari total jumlah penduduk dan lebih banyak terjadi pada laki-laki disbanding perempuan.
PPOK banyak dideriita oleh perokok baik perokok pasif ataupun aktif. Faktor gentik juga
dapat menyebabkan PPOK seperti kekurangan alpha-1 antitrypsin. Penderita PPOK
menunjukkan gejala berupa sesak napas dan batuk. PPOK diklasifikasikan berdasarkan
tingkat keparahan GOLD berdasarkan hasil pengukuran spirometri (FEV1) setelah
pemberian bronkodilator pada rasio FEV1/FVC < 0,7.Terapi yang sering diberikan pada
pasien PPOK berupa pengobatan bronkodilator.
Kata kunci: PPOK, perokok, terapi

2
DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN ................................................................................................. 1


ABSTRAK........................................................................................................................ 2
DAFTAR ISI .................................................................................................................... 3
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ 4
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ 5
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 6
FAKTOR RISIKO ............................................................................................................ 7
PATOGENESIS ............................................................................................................. 10
PATOFISIOLOGI .......................................................................................................... 12
GEJALA KLINIS ........................................................................................................... 15
DIAGNOSIS ................................................................................................................... 16
DIAGNOSIS BANDING ............................................................................................... 20
TATALAKSANA .......................................................................................................... 21
KOMPLIKASI................................................................................................................ 27
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 29

3
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi PPOK berdasarkan tingkat keparahan GOLD berdasarkan hasil


pengukuran spirometri .................................................................................................... 18
Tabel 2. Diagnosis Banding Penyakit Paru Obstruksi Kronis ........................................ 20

4
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Patogenesis Penyakit Paru Obstruksi Kronis ............................................................10


Gambar 2. Patofisiologi Penyakit Paru Obstruksi Kronik ..........................................................13
Gambar 3. ABCD Assessment Tool ...........................................................................................16

5
PENDAHULUAN

Menurut GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease),


Penyakit Paru Obstruksi Kronis atau PPOK adalah penyakit yang ditandai dengan gejala
pernapasan yang persisten dan adanya keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh
kelainan jalan napas dan/atau alveolus yang biasanya disebabkan oleh paparan yang
signifikan terhadap partikel atau gas berbahaya dan dipengaruhi oleh faktor pejamu
termasuk paru-paru yang perkembangannya abnormal. PPOK adalah gangguan
pernapasan yang dapat dicegah dan diobati yang sebagian besar disebabkan oleh merokok
dan paparan jangka panjang terhadap iritasi kimia. 1,2
Data epidemiologi menurut The Global Burden of Disease Study melaporkan
prevalensi 251 juta kasus PPOK secara global pada tahun 2016. Secara global,
diperkirakan bahwa 3,17 juta kematian disebabkan oleh penyakit pada tahun
2015, yaitu 5% dari semua kematian secara global pada tahun itu. Lebih dari 90%
kematian PPOK terjadi di negara-negara yang rendah dan menengah ke bawah.
Menurut Word Health Organization (WHO) tahun 2018, penyebab utama PPOK adalah
paparan asap tembakau, baik perokok aktif atau perokok pasif . Berdasarkan data
Riskesdas 2013, PPOK termasuk penyakit yang tidak menular. Prevalensi
PPOK di Indonesia sebesar 3,7%. PPOK lebih tinggi pada laki-laki (4,2%)
dibanding perempuan (3,3%). Indonesia memiliki 65 juta perokok atau 28 % per
penduduk (~225 miliar batang pertahun). Indonesia merupakan Negara ketiga tertinggi
yang mengkonsumsi rokok menurut Kementrian Kesehatan tahun 2018. 1,2
PPOK secara progresif melemahkan pasien, sehingga meningkatkan kecacatan
dan memperburuk dampak eksaserbasi. Penyakit ini ditandai dengan progresif, obstruksi
aliran udara yang reversibel dan hiperinflasi paru dengan manifestasi ekstra paru
(sistemik) yang signifikan dan adanya komorbiditas yang berkontribusi pada keparahan
penyakit disetiap individu. Banyak pasien dengan PPOK tetap tidak terdiagnosis dan
berpotensi tidak diketahui oleh penyedia layanan kesehatan hingga stadium penyakit yang
lebih lanjut. Hasil diagnosis yang tertunda pada pasien yang menderita gejala dan
keterbatasan yang dapat dikurangi dengan pengobatan.2,3

6
FAKTOR RISIKO

Identifikasi faktor risiko merupakan langkah penting dalam pencegahan dan


penatalaksanaan PPOK. Faktor risiko pada pasien PPOK bisa berupa:
1. Asap rokok
Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh
lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Asap rokok mempunyai prevalensi yang
tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Dari beberapa
penelitian dilaporkan bahwa terdapat rerata penurunan VEP1. Angka kematian pada
perokok mempunyai nilai yang bermakna dibandingkan dengan bukan perokok.
Perokok dengan pipa dan cerutu mempunyai morbiditi dan mortaliti lebih tinggi
dibandingkan bukan perokok, tetapi masih lebih rendah jika dibandingkan dengan
perokok sigaret. Tipe lain dari jenis rokok yang populer di berbagai negara tidak
dilaporkan. Perokok pasif (atau dikenal sebagai environmental tobacco smoke-ETS)
dapat juga memberi kontribusi terjadinya gejala respirasi dan PPOK, dikarenakan
terjadinya peningkatan jumlah inhalasi pertikel dan gas.4,5
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan apakah pasien merupakan
perokok aktif, perokok pasif atau bukan perokok. Risiko PPOK pada perokok
tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok
pertahun dan lamanya merokok (Indeks Brinkman). Untuk menentukan derajat berat
merokok dapat dihitung dengan skor Indeks Brinkman (IB) yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun.
Interpretasi yang didapatkan dikatakan ringan jika indeks brinkman 0-200; sedang
jika 200-600; dan berat jika > 600. Merokok selama kehamilan dapat berisiko
terhadap janin, mempengaruhi tumbuh kembang paru di uterus dan dapat menurunkan
sistem imun awal 1,4

2. Polusi udara
Penyebab terjadinya polusi udara dapat disebabkan berbagai macam partikel dan
gas yang terdapat di udara sekitar. Ukuran dan macam partikel akan memberikan efek
yang berbeda terhadap timbul dan beratnya PPOK. Polusi udara terbagi menjadi

7
polusi didalam ruangan seperti asap rokok dan asap kompor, polusi di luar ruangan
seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu jalanan serta polusi di tempat kerja
berupa bahan kimia, zat iritasi dan gas beracun. Hal ini agar memudahkan
mengidentifikasi partikel penyebab PPOK. Paparan terhadap polusi udara dapat
menyebabkan kerusakan berbagai organ dan sistem tubuh manusia, sehingga
berdampak buruk bagi kesehatan. Saluran pernapasan adalah bagian yang paling
rentan terhadap paparan polusi udara dibandingkan dengan organ lain. Paparan ini
dapat menyebabkan kerusakan di sel epitel paru-paru dan makrofag alveolar dan
dapat meningkatkan produksi ROS yang diinduksi oleh stres oksidatif, yang
menyebabkan kerusakan DNA dan perubahan ekspresi gen. 6,7

3. Sosial ekonomi
Belum dapat dijelaskan secara pasti keterlibatan sosial ekonomi sebagai faktor
risiko terjadinya PPOK. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukinan yang
padat, nutrisi yang jelek, dan faktor lain yang berhibungan dengan status sosial
ekonomi kemungkinan dapat menjelaskan hal ini. Peranan nutrisi sebagai faktor
risiko tersendiri penyebab berkembangnya PPOK belum jelas. Malnutrisi dan
penurunan berat badan dapat menurunkan kekuatan dan ketahanan otot respirasi,
karena penurunan masa otot dan kekuatan serabut otot. Kelaparan dan status
anabolik/katabolik berkembang menjadi empisema pada binatang percobaan. CT scan
paru perempuan dengan kekurangan nutrisi akibat anoreksia nervosa menunjukkan
gambarann seperti empisema.8,9

4. Tumbuh kembang paru


Pertumbuhan paru ini berhubungan dengan proses selama kehamilan, kelahiran,
dan pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru seseorang
adalah risiko untuk terjadinya PPOK. Studi meta analisa menyatakan bahwa berat
lahir mempengaruhi nilai VEP1 pada masa anak. Ketika keseimbangan antara oksidan
dan antioksidan berubah bentuk, misalnya ekses oksidan dan atau deplesi antioksidan
akan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif tidak hanya menimbulkan efek
kerusakan pada paru tetapi juga menimbulkan aktifitas molekuler sebagai awal

8
inflamasi paru. Jadi, ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan memegang
peranan penting pada patogenesi PPOK.1,8

5. Asma
Asma kemungkinan sebagai faktor risiko terjadinya PPOK, walaupun belum
dapat disimpulkan. Pada laporan “The Tucson Epidemiological Study” didapatkan
bahwa orang dengan asma 12 kali lebih tinggi risiko terkena PPOK daripada bukan
asma meskipun telah berhenti merokok. Penelitian lain 20% dari asma akan
berkembang menjadi PPOK dengan ditemukannya obstruksi jalan napas ireversibel.
Terdapat istilah Asma-COPD Overlap Syndrome (ACOS) yaitu asma dan PPOK
terjadi bersamaan pada pasien yang sama. Keadaan ini ditandai dengan obstruksi jalan
napas tetap yang signifikan dan juga merupakan komponen dari obstruksi jalan napas
yang reversibel. Diagnosis ACOS dibuat berdasarkan skala gejala karakteristik asma,
PPOK, atau keduanya. Orang dengan asma yang menetap sampai dewasa, bersama
dengan penurunan fungsi paru-paru akan berisiko terkena ACOS dan bukan hanya
COPD di masa yang akan datang. 10,11

6. Genetik
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-lingkungan.
Polimorfisme genetik adalah faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan dan
progresi PPOK. Polimorfisme genetik adalah terdapatnya dua atau lebih alel pada
bagian tertentu kromosom yang kejadiannya relatif sering pada suatu populasi (>1%).
Polimorfisme genetik yang dialporkan adalah polimorfisem gen serpin yang
mengakibatkan defisiensi berat dari alpha-1 antitripsin sebagai inhibitor dari protease
serin. Sifat resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada individu origin Eropa Utara.
Ditemukan pada usia muda dengan kelainan emphysema panlobular dengan
penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan perokok dengan
kekurangan alpha-1 antitripsin yang berat. 6,12
Banyak variasi individu dalam hal beratnya emfisema dan penurunan fungsi paru.
Meskipun kekurangan alpha-1 antitrypsin yang hanya sebagian kecil dari populasi di
dunia, hal ini menggambarkan adanya interaksi antara gen dan pajanan lingkungan

9
yang menyebabkan PPOK. Gambaran ini menjelaskan bagaimana faktor risiko
genetik berkontribusi terhadap timbulnya PPOK. Risiko obstruksi aliran udara yang
di turunkan secara genetik telah diteliti pada perokok yang mempunyai keluarga
dengan PPOK berat. Hasil penelitian menunjukkan keterkaitan bahwa faktor genetik
mempengaruhi kerentanan timbulnya PPOK. Telah diidentifikasi kromosom 2q7
terlibat dalam patogenesis PPOK, termasuk TGF-1, mEPHX1dan TNF. Gen-gen di
atas banyak yang belum pasti kecuali kekurangan alpha- 1 antitrypsin.13,14

PATOGENESIS

Inflamasi saluran napas pada pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon
inflamasi normal akibat iritasi kronis seperti asap rokok. Mekanisme untuk amplifikasi
ini belum dimengerti, kemungkinan disebabkan faktor genetik. Beberapa pasien
menderita PPOK tanpa merokok, respon inflamasi pada pasien ini belum diketahui.
Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif dan kelebihan proteinase. Semua
mekanisme ini mengarah pada karakteristik perubahan patologis PPOK. 15

Gambar 1. Patogenesis Penyakit Paru Obstruksi Kronis

Dikutip dari: Journal Pathology, pathogenesis, and pathophysiology of chronic obstructive


pulmonary disease 16

a. Stres Oksidatif
Stres oksidatif dihasilkan dari ketidakseimbangan antara oksidan dan
antioksidan. Hal ini terjadi karena peningkatan beban oksidan atau penurunan anti

10
oksidan atau keduanya. Peningkatan beban oksidan di paru-paru dapat dihasilkan dari
inhalasi oksidan, seperti yang berasal dari dari asap rokok, polusi udara atau sebagai
akibat dari masuknya leukosit inflamasi yang diaktifkan untuk melepaskan spesies
oksigen reaktif. Menghirup partikel beracun dan gas dalam asap rokok dapat
menyebabkan kerusakan langsung pada lipid dan protein di paru-paru. Jalur
molekuler dan mekanisme pensinyalan dirangsang oleh stres oksidatif yang
menghasilkan peningkatan ekspresi gen, produksi sitokin pro-inflamasi, masuknya
leukosit inflamasi dan meningkatkan peradangan pada paru-paru. Stres oksidatif tidak
hanya menimbulkan efek kerusakan pada paru tetapi juga menimbulkan aktifitas
molekuler sebagai awal inflamasi paru. Jadi, ketidakseimbangan antara oksidan dan
anti oksidan memegang peranan penting pada patogenesi PPOK.16, 17

b. Ketidakseimbangan protease-antiprotease
Ada bukti kuat mengenai ketidakseimbangan protease dan antiprotease pada
pasien PPOK, yaitu protease yang memecah komponen jaringan ikat dan antiprotease
yang melindunginya. Ada hipotesis yang mengatakan bahwa ketidakseimbangan
protease-anti protease berhubungan dengan defisiensi a1-antitripsin. Pada defisiensi
ini, proteksi anti-elastase di interstitium paru dan ruang alveolar sangat menurun
hingga sekitar 15-20% dari level normal. Peningkatan kadar beberapa protease,
berasal dari sel inflamasi dan sel epitel yang meningkat pada pasien PPOK. Protease
memediasi perusakan elastin, komponen jaringan utama penghubung dalam parenkim
paru-paru, adalah faktor penting dari emphysema dan kemungkinan tidak dapat
diubah.17,18

c. Sel Inflammatori
PPOK ditandai dengan peningkatan jumlah makrofag di saluran napas perifer,
parenkim paru-paru dan pembuluh darah paru, bersama dengan peningkatan aktivasi
neutrofil dan peningkatan limfosit yang termasuk sel Tc1, Th1, Th17 dan ILC3. Pada
beberapa pasien, mungkin juga ada peningkatan eosinofil, sel Th2 atau ILC2. Semua
sel inflamasi ini, bersama dengan sel epitel dan sel struktural lainnya melepaskan
beberapa mediator inflamasi. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa defisiensi IgA

11
lokal dikaitkan dengan translokasi bakteri, peradangan saluran napas kecil dan
remodeling saluran napas. Berbagai macam mediator inflamasi yang telah terbukti
meningkat pada pasien PPOK yang menarik sel inflamasi dari sirkulasi (faktor
kemotaktik), memperkuat proses inflamasi (sitokin proinflamasi), dan menginduksi
perubahan struktural (faktor pertumbuhan).1,19

d. Fibrosis peribronkiolar dan interstisial.


Fibrosis peribronkiolar dan interstisial telah dilaporkan pada pasien dengan
PPOK atau mereka yang perokok tanpa gejala. Produksi faktor pertumbuhan yang
berlebihan dapat ditemukan pada perokok atau mereka yang mengalami peradangan
saluran napas sebelumnya yang menderita PPOK. Peradangan dapat mendahului
perkembangan fibrosis atau cedera berulang pada dinding saluran napas itu sendiri
dapat menyebabkan meningkatnya produksi otot dan jaringan fibrosa. Ini mungkin
menjadi faktor yang berkontribusi terhadap pengembangan keterbatasan saluran
udara kecil dan mendahului perkembangan emfisema. 1,20

PATOFISIOLOGI

Saat ini telah diketahui dengan jelas tentang mekanisme patofisiologis yang
mendasari PPOK sampai terjadinya karakteristik gejala. Misalnya penurunan FEV1 yang
terjadi disebabkan peradangan dan penyempitan saluran napas perifer, sementara transfer
gas yang menurun disebabkan kerusakan parenkim yang terjadi pada emphysema. Selain
itu, terjadinya hipersekresi mukus dan hyperplasia sel epitel dikarenakan adanya proses
peradangan yang mengakibatkan disfungsi siliaris sehingga terjadi pembengkakan pada
otot polos yang menyempitkan saluran napas kecil sehingga terjadi sumbatan pada
saluran napas. Selain itu, PPOK dapat ditandai oleh keterbatasan aliran udara progresif
yang tidak sepenuhnya reversibel, berkaitan dengan respons inflamasi abnormal paru-
paru terhadap partikel atau gas berbahaya . 1,21

12
Gambar 2. Patofisiologi Penyakit Paru Obstruksi Kronik

a. Airflow limitation and gas trapping

Tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran udara kecil
berkorelasi dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Penurunan FEV1
merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan napas perifer ini
menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi. Meskipun
emfisema lebih dikaitkan dengan kelainan pertukaran gas dibandingkan dengan FEV1
berkurang, hal ini berkontribusi juga pada udara yang terperangkap yang terutama
terjadi pada alveolar. Ataupun saluran napas kecil akan menjadi hancur ketika
penyakit menjadi lebih parah. 1,15
Hiperinflasi dapat mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan
kapasitas residual fungsional, khususnya selama latihan (bila kelainan ini dikenal

13
sebagai hiperinflasi dinamis), yang terlihat sebagai dyspnea dan keterbatasan
kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit merupakan
mekanisme utama timbulnya dyspnea pada aktivitas. Bronkodilator yang bekerja pada
saluran napas perifer mengurangi perangkap udara, sehingga mengurangi volume
paru residu dan gejala serta meeningkatkan kapasitas berolahraga. Hal ini yang
mengakibatkan paru membutuhkan waktu lebih lama untuk melakukan pengosongan.
Peningkatan tahanan jalan napas pada saluran napas kecil dan peningkatan
compliance paru akibat kerusakan emfisematus menyebabkan perpanjangan waktu
pengosongan paru. 1,15

b. Gas Exchange Abnormalities


Gangguan pertukaran gas menyebabkan kelainan hipoksemia dan hiperkapnia
yang terjadi karena beberapa mekanisme. Secara umum, pertukaran gas akan
memburuk selama penyakit berlangsung. Tingkat keparahan emfisema berkorelasi
dengan PO2 arteri dan tanda lain dari ketidakseimbangan ventilasi- perfusi (VA / Q).
Obstruksi jalan napas perifer juga menghasilkan ketidakseimbangan VA / Q, dan
penggabungan dengan gangguan fungsi otot ventilasi pada penyakit yang sudah parah
akan mengurangi ventilasi, yang menyebabkan retensi karbon dioksida. Kelainan
pada ventilasi alveolar dan berkurangnya pembuluh darah paru akan lebih
memperburuk kelainan VA / Q.1,15

c. Hipersekresi Mukus
Hipersekresi lendir yang mengakibatkan batuk produktif kronis adalah
gambaran dari bronkitis kronis yang tidak selalu dikaitkan dengan keterbatasan aliran
udara. Sebaliknya, tidak semua pasien dengan PPOK memiliki gejala hipersekresi
lendir. Hal ini disebabkan karena metaplasia mukosa yang meningkatkan jumlah sel
goblet dan membesarnya kelenjar submukosa sebagai respon terhadap iritasi kronis
saluran napas oleh asap rokok atau agen berbahaya lainnya. Beberapa mediator dan
protease merangsang hipersekresi lendir melalui aktivasi reseptor faktor EGFR.
Hipersekresi lendir mengakibatkan penyempitan pada saluran napas sehingga terjadi
1,15
sumbatan pada saluran napas.

14
d. Hipertensi Pulmonal
Hipertensi pulmonal dapat berkembang pada akhir perjalanan PPOK dan
terutama disebabkan oleh vasokonstriksi hipoksia dari arteri pulmonalis kecil, yang
mengakibatkan perubahan yang menghasilkan remodeling struktural tetap dari
pembuluh darah paru yang mencakup hiperplasia fibromuskular intima dan kemudian
hipertrofi/hiperplasia otot polos media arteriol dan arteri paru. Bahkan pada PPOK
ringan atau pada perokok yang rentan terhadap emfisema, ada kelainan signifikan
pada aliran darah mikrovaskular paru, yang memburuk dengan perkembangan
penyakit. Pada PPOK berat dengan hipertensi pulmonal ditemukan hyperplasia
mikrovaskuler dan terdapat penurunan kepadatan kapiler alveolar. 1,15,22

GEJALA KLINIS

Gejala yang dapat dijumpai pada seseorang yang menderita PPOK bisa berupa
sesak napas dan batuk.
1. Dyspneu
Sesak napas merupakan gejala utama PPOK. Penderita PPOK menunjukkan gejala
berupa rasa peningkatan upaya untuk bernapas, dada berat atau terengah-engah. Sesak
napas yang dirasakan terus menerus terutama selama beraktivitas. Beberapa pasien
mengalami peningkatan dispnea malam hari dan pagi hari. Dispnea yang mengganggu
sering dipicu oleh serangan batuk dan pengeluaran dahak yang sulit. Dispnea
mungkin terutama terkait dengan aktivitas fisik atau ditandai dengan peningkatan
intensitas dan kelelahan secara bertahap sepanjang hari, diselingi oleh episode dis-
pnea atau krisis. Gejala ini lebih sering pada wanita. PPOK harus diutamakan dalam
diagnosis banding pasien yang datang dengan keluhan sesak napas.Sesak naaps
biasanya menjadi keluhan saat FEV1 < 60% prediksi. 23,24
2. Batuk
Batuk kronis sering merupakan gejala pertama PPOK dan sering diabaikan oleh
pasien karena dianggap sebagai akibat merokok dan/atau pajanan lingkungan.
Awalnya, batuk terjadi hanya sebentar, tetapi kemudian terjadi setiap hari dan

15
kemudian terjdi sepanjang hari. Batuk kronis pada PPOK bisa produktif atau tidak
produktif pada beberapa kasus, keterbatasan aliran udara yang signifikan dapat terjadi
tanpa adanya batuk. Batuk yang terjadi juga dapat disertai dengan produksi sputum
biasanya ditemukan 30% pada pasien PPOK. Biasanya gejala ini menetap selama
bertahun-tahun dan kadang-kadang terjadi sebelum dispnea. 23,25

DIAGNOSIS
Penilaian PPOK bertujuan untuk menentukan tingkat keterbatasan aliran udara,
dampaknya terhadap status kesehatan pasien dan risiko jangka panjang. Penilaian PPOK
harus mempertimbangkan beberapa aspek seperti keparahan kelainan tes spirometri,
riwayat eksaserbasi sedang dan berat, dan ada atau tidaknya komorbiditas. Pada gambar
1, GOLD grade 1-4 memberikan informasi mengenai tingkat keparahan keterbatasan
aliran udara, sedangkan ABCD memberikan informasi mengenai beban gejala dan risiko
eksaserbasi yang dapat digunakan untuk terapi. FEV1 adalah parameter yang sangat
penting pada tingkat populasi dalam prediksi hasil klinis yang penting seperti kematian
dan rawat inap atau mendorong pertimbangan untuk terapi non-farmakologis seperti
pengurangan volume paru-paru atau transplantasi paru-paru. Namun, penting untuk
dicatat bahwa pada tingkat pasien individu, FEV1 kehilangan presisi dan dengan
demikian tidak dapat digunakan sendiri untuk menentukan semua pilihan terapi. 1,26

Gambar 3. ABCD Assessment Tool

16
1. Riwayat Medis1
- Paparan terhadap faktor risiko seperti merokok atau paparan zat iritan bermakna
di tempat kerja atau lingkungan
- Riwayat penyakit sebelumnya seperti asma, alergi, sinusitis, hiv, tuberculosis,
penyakit pernapasan dan non pernapasan kronis lainnya
- Riwayat keluarga dengan PPOK atau penyakit pernapasan kronis lainnya
- Riwayat rawat inap karena gangguan pernapasan.
- Adanya penyakit penyerta seperti penyakit jantung, osteoporosism gangguan
musculoskeletal, kecemasan, depresi dan keganasan.

2. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisik pada penderita PPOK jarang bersifat diagnostik. Tanda-tanda fisik
keterbatasan aliran udara biasanya tidak muncul sampai terjadi gangguan fungsi paru
yang signifikan dan deteksi berdasarkan pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang relatif rendah.1

3. Pemeriksaan Penunjang
Spirometri adalah pengukuran keterbatasan aliran udara yang paling
reproducible dan objektif. spirometri adalah tes non-invasif dan selalu tersedia.
Meskipun sensitivitasnya bagus, pengukuran aliran ekspirasi puncak saja tidak dapat
diandalkan sebagai satu-satunya tes diagnostik karena spesifisitasnya yang lemah.
Spirometri harus mengukur volume udara yang dihembuskan secara paksa dari titik
inspirasi maksimal (kapasitas vital paksa , FVC) dan volume udara yang dihembuskan
selama detik pertama dari manuver ini (volume ekspirasi paksa dalam satu detik,
FEV1), dan rasio kedua pengukuran ini (FEV1/FVC) harus dihitung. Rasio antara
FEV1 dan kapasitas vital lambat (VC), FEV1/VC, kadang-kadang diukur sebagai
rasio FEV1/FVC. Hal ini akan sering menyebabkan nilai rasio yang lebih rendah,
terutama dalam pembatasan aliran udara yang jelas. Pengukuran spirometri dievaluasi

17
dengan perbandingan dengan nilai referensi berdasarkan usia, tinggi badan, jenis
kelamin, dan ras.27

Penyakit paru obstruksi kronik dapat diklasifikasikan berdasarkan gejala dan hasil
spirometri (nilai FEV1) setelah pemberian bronkodilator pada rasio FEV1/FVC < 0,7. 1

Tabel 1. Klasifikasi PPOK berdasarkan tingkat keparahan GOLD berdasarkan hasil


pengukuran spirometri. 1

Pada Pasien dengan FEV1/FVC < 0,7


Gold 1 Ringan Dengan atau tanpa batuk FEV1 ≥ 80%
kronik dan sputum prediksi
produktif

Gold 2 Sedang Dengan keluhan napas 50% ≤ FEV1 <80%


pendek, terutama prediksi
saatlatihan fisik,
kadangkadang disertai
batukdan sputum
produktif

Gold 3 Berat Keluhan napas pendek 30% ≤ FEV1< 50%


bertambah,kemampuan prediksi
latihan berkurang,
lelah,eksaserbasi
berulang, hingga
mempengaruhikualitas
hidup pasien

Gold 4 Sangat Berat Gagal jantung kanan/kor FEV1 < 30%


pulmonal, kualitashidup prediksi
sangat terganggu,
eksaserbasi yang bisa
menyebabkan kematian

18
Penilaian gejala PPOK dapat dilakukan menggunakan Modified MRC Dyspnea
Scale (mMRC). Penilaian ini dilakukan dengan cara pemeriksa mencentang kolom yang
sesuai dengan kondisi yang dirasakan oleh pasien. Penilaian mMRC memiliki 5
tingkatan, mulai dari tingkatan 0-4. 1
Tabel 2. Modified MRC Dyspneu Scale
Centang kotak yang sesuai dengan kondisi pasien (hanya 1 kotak saja)
mMRC Grade 0 Saya hanya susah bernapas jika aktivitas berat
mMRC Grade 1 Napas saya menjadi pendek jika naik tangga
dengan bergegas atau berjalan ke tanjakan
mMRC Grade 2 Saya berjalan lebih lambat dibandingkan teman
sebayakarena susah bernapas, atau saya harus
berhenti untukmengambil napas ketika berjalan
di tangga
mMRC Grade 3 Setelah berjalan 100 meter atau beberapa menit
ditangga, saya harus berhenti untuk mengambil
napas
mMRC Grade 4 Saya tidak bisa keluar rumah karena susah
bernapas atautidak bisa mengganti baju karena
susah bernapas

Penilaian terhdapap eksaserbasi PPOK adalah sebagai perburukan gejala


pernapasan akut yang memerlukan terapi tambahan. Eksaserbasi dapat dipicu oleh
beberapa faktor, yang paling sering infeksi saluran pernapasan. Penyebab lainnya adalah
polusi udara,kelelahan, dan adanya komplikasi.
Gejala eksaserbasi akut PPOK:
− Sesak napas bertambah
− Produksi sputum meningkat
− Perubahan warna sputum

Eksaserbasi akut dibagi menjadi:


− Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
− Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas

19
− Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran napas
atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi
atau peningkatan frekuensi pernapasan lebih dari 20% basal,atau frekuensi nadi lebih
dari 20% basal.

Keterbatasan aliran udara yang memburuk dikaitkan dengan peningkatan


prevalensi eksaserbasi, rawat inap dan risiko kematian. Rawat inap untuk eksaserbasi
PPOK dikaitkan dengan prognosis yang buruk dan peningkatan risiko kematian. Pada
tingkat populasi, sekitar 20% pasien GOLD grade 2 (keterbatasan aliran udara sedang)
mengalami eksaserbasi yang sering membutuhkan pengobatan dengan antibiotik dan/atau
kortikosteroid sistemik. Risiko eksaserbasi secara signifikan lebih tinggi untuk pasien
dengan GOLD grade 3 (parah) dan GOLD grade 4 (sangat parah).

DIAGNOSIS BANDING
Tabel 3. Diagnosis Banding Penyakit Paru Obstruksi Kronis 1
Diagnosis Gejala
PPOK - Onset pada usia pertengahan
- Gejala progresif lambat
- Lamanya riwayat merokok
- Sesak saat aktivitas
- Sebagian besar hambatan aliran udara ireversibel
Asma - Onset awal sering pada anak
- Gejala bervariasi dari hari ke hari
- Gejala pada malam / menjelang pagi
- Disertai alergi, rinitis atau eksim
- Riwayat keluarga dengan asma.
- Sebagian besar keterbatasan aliran udara reversibel
Gagal Jantung Kongestif - Auskultasi: terdengar ronchi halus di bagian basal
- Foto toraks tampak jantung membesar, edema paru
- Uji fungsi paru menunjukkan restriksi bukan obstruksi
Bronkiektasis - Sputum produktif dan purulent
- Umumnya terkait dengan infeksi bakteri
- Auskultasi terdengar ronki kasar
- Foto toraks /CT-scan toraks menunjukkan pelebaran
dan penebalan bronkus.
Tuberkolosis - Onset segala usia
- Foto toraks menunjukkan infiltrat di paru

20
- Konfirmasi mikrobiologi (sputum BTA)
- Prevalensi tuberkulosis tinggi di daerah endemis
Bronkiolitis Obliteratif - Onset pada usia muda, bukan perokok
- Mempunyai Riwayat rheumatoid atritis
- CT-scan saat eskpirasi menunjukkan area hypodens
Panbronchiolitis diffuse - Predominan terjadi pada pasien di wilayah Asia
- Sering pada laki-laki dan bukan perokok
- Hamper semua punya Riwayat sinusitis kronik
- Chest X-ray & HRCT menunjukkan hyperinflasi1

TATALAKSANA

1. Bronkodilator
Bonkodilator merupakan obat yang meningkatkan FEV1 dan/atau memperbaiki
variabel spirometri lainnya dengan mempengaruhi tonus otot polos jalan napas dan
memperbaiki aliran udara ekspirasi, yang mencerminkan pelebaran jalan napas daripada
perubahan elastisitas paru. Bronkodilator cenderung menurunkan hiperinflasi dinamik
saat istirahat ataupun selama latihan fisik, serta memperbaiki performa latihan. Besarnya
perubahan ini, khususnya pada pasien dengan PPOK berat dan sangat berat, tidak mudah
diprediksi dari perbaikan FEV1 saat istirahat. Peningkatan dosis bronkodilator,
khususnya yang diberikan dengan nebulizer,tampaknya memberikan manfaat subjektif
pada episode akut, tetapi tidak membantu pada penyakit stabil. Obat bronkodilator paling
sering diberikan reguler untuk mencegah atau mengurangi gejala. Namun, penggunaan
bronkodilator kerja singkat pada basis regular secara umum tidak dianjurkan.
Bronkodilator yang digunakan pada PPOK adalah agonis β2 dan antikolinergik
(antagonis muskarinik). 1,28
a. Agonis β2-reseptor
Kerja utama agonis β2 adalah merelaksasi otot polos jalan napas dengan
menstimulasi reseptor adrenergik beta-2, yang meningkatkan cAMP dan
menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokonstriksi. Efek samping
berupa sinus takikardia saat istirahat dan dapat berpotensi mencetuskan gangguan

21
irama jantung pada pasien yang rentan, dan dapat mengakibatkan tremor somatik jika
diberikan dengan dosis tinggi pada pasien lansia. Efek hipokalemia juga dapat terjadi
saat dikombinasikan dengan diuretic thiazide. Agonis β2 terdiri dari short-acting
Beta2 agonis (SABA) dan long-acting Beta2 agonis (LABA):
❖ SABA (short acting beta2-agonist)
Penggunaan SABA secara teratur dapat memperbaiki FEV1 dan gejala dari
PPOK. Contoh obat yang termasuk dalam golongan SABA adalah salbutamol,
levalbuterol, terbutaline dan fenoterol. Salbutamol lebih selektif, sehingga
menimbulkan lebih sedikit efek samping dibanding fenoterol. Efek SABA
biasanya hilang dalam 4-6 jam kecuali levalbuterol selama 6-8 jam. Salbutamol
dihidrolisis dalam jaringan dan darah untuk menghasilkan senyawa aktif, seperti
colterol. Lebih dari 70% obat yang dihirup diekskresikan dalam urin dalam waktu
tiga hari. Salbutamol juga tersedia dalam bentuk tablet, serta formulasi untuk
aplikasi intramuskular dan intravena. Terbutaline juga digunakan secara intravena
untuk mengendurkan otot polos dan menghambat kontraksi uterus. 1,29

❖ LABA (long acting beta2-agonist)


Obat golongan LABA memiliki durasi kerja selama 12 jam atau lebih. Obat
golongan ini yaitu formoterol, salmeterol, indacaterol, oladaterol dan vilanterol
(inhalasi). Formoterol & salmeterol merupakan LABA yang diberikan dua kali
sehari yang secara bermakna memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak napas,
frekuensi eksaserbasi dan jumlah perawatan di rumah sakit. Tetapi tidak
mempunyai efek dalam penurunan mortalitas dan fungsi paru. Formoterol
memiliki onset kerja yang lebih cepat daripada salmetero, yang relevan untuk
beberapa pasien, terutama untuk gejala pagi hari. Indacaterol merupakan LABA
sekali sehari dengan durasi kerja 24 jam dan secara signifikan memperbaiki sesak
nafas, status kesehatan, dan tingkat eksaserbasi. Namun beberapa pasien
mengalami batuk setelah inhalasi indacaterol. Oladaterol dan vilanterol
merupakan LABA tambahan yang memperbaiki fungsi paru dan gejala PPOK.1,29

b. Anti Muskarinik

22
Bekerja memblokade efek bronkokonstriktor asetilkolin pada reseptor
muskarinik M3 yang diekspresikan pada otot polos jalan napas. Antikolinergik
inhalasi hampir tidak diabsorpsi sehingga efek samping sistemiknya lebih rendah
dibanding atropine. Secara umum obat ini relatif aman, dengan efek samping utama
mulut kering. Antikolinergik terdiri dari short-acting (SAMA) dan long-acting
(LAMA) muscarinic antagonist.10,11
❖ SAMA (short acting muscarinic antagonist)
Bekerja dengan menghambat reseptor neuron M2 yang berpotensi menyebabkan
bronkokonstriksi secara vagal. Efek bronkodilator antara SAMA inhalasi lebih
lama dibanding SABA. Obat yang termasuk dalam golongan SAMA yaitu
Ipratropium dan oxitropium. Berdasarkan kajian sistematik dari studi acak dengan
kontrol menunjukkan bahwa ipratropium memberikan sedikit manfaat lebih
dibanding SABA dalam fungsi paru, status kesehatan, dan kebutuhan steroid oral.
Namun pada beberapa pasien penggunaan obat ini dapat menyebabkan efek
samping rasa logam atau pahit pada lidah. 1,30,31

❖ LAMA (long acting muscarinic antagonist)-


Mempunyai ikatan yang lama pada reseptor muskarinik M3, dengan disosiasi
yang lebih cepat dari reseptor muskarinik M2, sehingga memperpanjang durasi
efek bronkodilator. LAMA dapat mengurangi eksaserbasi dan perawatan di
rumah sakit, memperbaiki gejala dan status kesehatan, serta memperbaiki
efektivitas rehabilitasi pulmonal. Obat yang termasuk dalam golongan LAMA
yaitu Tiotropium, aclidinium, umeclidinium dan glycopyrronium bromide.
Tiopropium dan umeclidinium diberikan sekali sehari, sedangkan aclidinium dua
kali sehari, dan glycopyrronium 1-2 kali sehari. Tiotropium memperbaiki gejala,
status kesehatan, efektivitas rehabilitasi paru, dan menurunkan eksaserbasi serta
perawatan di rumah sakit, namun tidak mempunyai efek pada tingkat penurunan
fungsi paru. Berdasarkan uji klinik juga menunjukkan bahwa efek pada tingkat
eksaserbasi LAMA(tiotropium) lebih besar dibanding terapi LABA.1,9,10,31

2. Methylxanthine

23
Efek pasti obat golongan ini masih kontroversi, bisa bekerja sebagai
penghambat phosphodiesterase nonselektif, tetapi juga dilaporkan mempunyai efek
bronkodilator yang kemaknaannya masih diperdebatkan. Obat yang termasuk dalam
jenis derivat metilxanthin yaitu teofilin dalam bentuk oral dan aminofilin dalam
bentuk larutan. Theofilin merupakan jenis methilxanthine yang paling sering
digunakan. Obat ini dimetabolisme oleh sitokrom P450. Keefektivan obat ini
berkurang seiring bertambahnya usia. Telah dilaporkan adanya peningkatan fungsi
otot inspirasi pada pasien yang diobati dengan metilxanthin.. Rasio terapeutik derivate
xanthine kecil dan sebagian besar manfaatnya terjadi hanya saat diberikan pada dosis
yang hampir toksik. Efek samping meliputi palpitasi yang disebabkan oleh aritmia
atrium dan ventrikel, kejang grandmal, sakit kepala, insomnia, mual, dan nyeri ulu
hati.1,32
3. Agen anti-inflamasi
Hingga saat ini, eksaserbasi (tingkat eksaserbasi, pasien dengan minimal
sekalieksaserbasi, waktu hingga pertama kali mengalami eksaserbasi)
mencerminkanendpoint utama yang klinis relevan untuk menilai efikasi obat
antiinflamasi.Antiinflamasi yang dapat digunakan pada PPOK adalah corticosteroid
dan phosphodiesterase-4 inhibitor. Bukti in vitro menunjukkan bahwa inflamasi
terkaitPPOK mempunyai responsivitas terbatas terhadap corticosteroid, namun,
beberapa obat seperti agonis β2, theophylline, atau macrolide dapat secara parsial
meningkatkan sensitivitas kortikosteroid. Data in vivo menunjukkan bahwa kaitan
dosis respon dengan keamanan jangka panjang (>3 tahun) kortikosteroid inhalasi pada
pasien PPOK masih belum jelas dan memerlukan penelitian lebih lanjut.9,11
a. Glukokortikoid Oral
Glukokortikoid sistemik untuk mengobati eksaserbasi akut pada pasien
rawat inap, atau selama kunjungan gawat darurat, telah terbukti dapat mengurangi
tingkat kegagalan pengobatan, tingkat kekambuhan dan meningkatkan fungsi
paru-paru dan sesak napas. Sebaliknya, studi prospektif pada jangka panjang efek
glukokortikoid oral pada PPOK stabil masih terbatas. Oleh karena itu, saat ini
penggunaan glukokortikoid oral hanya berperan dalam manajemen eksaserbasi
akut, dan tidak memiliki peran dalam pengobatan harian pada PPOK kronis

24
karena lebih banyak efek komplikasi sistemik dibandingkan manfaatnya.
Glukokortikoid oral memiliki banyak efek samping, termasuk miopati steroid
yang dapat menyebabkan kelemahan otot, penurunan fungsi, dan gagal napas pada
pasien dengan PPOK yang berat. 1

b. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Kerja utama PDE4 inhibitor adalah mengurangi inflamasi dengan
menghambat pemecahan C-AMP intraseluler. Peningkatan konsentrasi
intraseluler C-AMP mengaktifkan protein kinase A dengan meningkatkan
fosforilasi protein fisiologis. Peningkatan kadar C-AMP menghambat jalur sel
inflamasi dengan mengurangi proliferasi dan pelepasan inflamasi sitokin dan
kemokin, metabolit asam arakidonat, protease, dan spesies oksigen reaktif.
Sehingga, makrofag dan neutrofil diturunkan regulasinya. Hal ini mengakibatkan
pembuluh darah paru yang mengalami remodeling diperlambat oleh berkurangnya
proliferasi sel otot polos arteri. Obat yang termasuk jenis Phosphodiesterase-4
inhibitor yaitu Roflumilast. Roflumilast merupakan obat golongan ini yang
diberikan sekali sehari secara oral. 1,33
Roflumilast tidak mempunyai efek bronkodilator langsung, namun bisa
menurunkan eksaserbasi sedang dan berat pada pasien dengan bronkitiskronik,
PPOK berat hingga sangat berat, dan riwayat eksaserbasi, yang diterapi dengan
kortikosteroid sistemik. Efek pada fungsi paru juga tampak jika roflumilast
ditambahkan pada bronkodilator kerja panjang dan pada pasien yang tidak
terkontrol dengankombinasi tetap LABA/ICS. Untuk pasien PPOK, PDE4
inhibitor mempunyai efek samping yang lebih besar dibanding obat inhalasi,
seperti diare, mual, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, nyeri
abdomen, ganggun tidur, dan sakit kepala. Sebaiknya dihindari pada pasien kurus
dan hatihati pada pasien dengan depresi. Efek samping tampaknya terjadi pada
awal terapi namun akan menghilang dengan diteruskannya terapi. 1,31

4. Antibiotik

25
Studi baru-baru ini menunjukkan bahwa penggunaan reguler beberapa
antibiotic secara teratur dapat menurunkan tingkat eksaserbasi PPOK. Azithromycin
(250mg/hari atau 500 mg 3 kali seminggu) atau erythromycin (500 mg 2 kali sehari)
selama 1 tahun pada pasien yang rentan eksaserbasi, dapat menurunkan risiko
eksaserbasi dibanding perawatan biasa. Namun penggunaan azithromycin dikaitkan
dengan peningkatan kejadian resistensi bakteri, perpanjangan interval QTc dan
gangguan tes pendengaran. Tidak ada data mengenai efikasi atau keamanan terapi
azithromycin kronik (> 1 tahun terapi) untuk mencegah eksaserbasi PPOK. Terapi
nadi dengan moksifloksasin (400 mg/hari selama 5 hari setiap 8 minggu) pada pasien
dnegan bronchitis kronik dan sering eksaserbasi tidak memiliki efek menguntungkan
pada tingkat eksaserbasi secara keseluruhan. 1,34

5. Mukolitik
Pada pasien PPOK yang tidak mendapat ICS, terapi reguler dengan mukolitik
seperti carbocysteine dan N-acetylcysteine (NAC) dapat menurunkan eksaserbasi dan
sedikit memperbaiki status kesehatan. Namun, pada suatu penelitian menyebutkan
bahwa pemberian erdostein memiliki efek signifikan pada pasien dengan eksaserbasi
ringan meskipun tidak diberikan bersamaan dengan ICS. NAC adalah agen pereduksi
kuat yang berasal dari asam amino sistein. Oabt ini mengurangi viskositas lendir dan
sehingga meningkatkan pembersihan mukosiliar. Selain itu, obat ini memiliki
kapasitas antioksidan, karena merupakan prekursor GSH glutation tereduksi dan
bertindak sebagai pengambil ROS langsung. Pengobatan dengan NAC 600 mg setiap
hari selama 12 bulan telah terbukti mengurangi konsentrasi H2O2 dalam kondensat
napas ekshalasi pada pasien PPOK stabil. Sebuah uji klinis yang lebih baru
menggunakan NAC 600 mg dua kali sehari selama 2 bulan. 1,35

6. Obat lain
a. Terapi Alpha-1 antitrypsin augmentation
Obat ini diberikan secara intravena untuk meminimalisasi perkembangan
dan progresivitas penyakit paru serta menjaga fungsi dan struktur paru pada
pasien dengan defisiensi alpha-1 antitrypsin (AATD). Suatu studi observasi

26
menunjukkan adanya penurunan progresivitas spirometrik pada pasien yang
diterapi dengan obat ini dibanding yang tidak, dan penurunan tersebut lebih efektif
pada pasien dengan FEV1 diprediksi 35-49%. Bukan atau bekas perokok dengan
FEV1 diprediksi 35-60% merupakan kelompok pasien yang paling dianjurkan
untuk terapi obat ini. 1,36
Tidak semua pasien dengan AATD mengalami atau menetap dengan
progresivitas spirometrik yang cepat setelah berhenti merokok, sehingga obat ini
sebaiknya digunakan pada pasien dengan bukti progresivitas yang terus menerus
dan cepat setelah berhenti merokok. Obat ini direkomendasikan pada pasien
dengan AATD dan FEV1 diprediksi <65%. Namun studi baru-baru ini yang
menggunakan CT scan merekomendasikan bahwa semua pasien dengan bukti
penyakit paru progresif sebaiknya dipertimbangkan untuk penyakit paru terkait
AATD, dan FEV1 >65%. Meskipun obat ini ditoleransi dengan baik dalam
pemberiannya, tanda-tanda vital dan reaksi terkait infus harus dipantau terus
menerus selama pemberian, karena ada risiko penularan virus. 1,36
b. Anti-tusive
Digunakan pada pasien dengan COPD yang tidak menunjukkan bukti yang nyata.

KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita PPOK yaitu dapat terjadi infeksi
pernapasan, hal ini dikarenakan kondisi paru-paru yang tidak sempurna lagi keadaannya,
maka paru paru menjadi rentan terhadap virus yang langsung menyasar pada paru-paru.
Virus yang paling sering menyerang seperti influenza atau pneumonia. Jaringan paru paru
akan rentan terhadap infeksi. Selain itu, bisa penyebabkan cor pulmonal, yaitu kondisi
dimana kadar oksigen darah yang rendah dapat menyebabkan penyempitan arteri dan
tekanan darah yang lebih tinggi di pembuluh darah yang mengalir dari jantung ke paru-
paru sehingga membuat banyak tekanan pada jantung dan menyebabkan ganggal jantung
sisi kanan. Kondisi ini menyebabkan detak jantung tidak teratur, masalah dengan sirkulasi
darah, pembesaran hati, dan pembengkakan di kaki.

27
Komplikasi lainnya dapat menyebabkan atrial fibrilasi, kondisi ini disebabkan
PPOK dapat merusak serabut saraf yang terhubung ke jantung dan menyebabkan detak
jantung yang tidak biasa yang disebut aritmia dan fibriasi atrium adalah kondisi yang
tersering. Dalam sebuah penelitian terhadap lebih dari 1,3 juta orang dengan PPOK,
sekitar 18% juga memiliki AFib. Pasien PPOK juga rentan terhadap infeksi yang
berulang. Hal ini dikarenakan pada pasien PPOK terdapat produksi sputum yang
berlebihan sehingga menjadi koloni kuman. Hal ini memudahkan terjadinya infeksi yang
berulang. Pada kondisi ini, system imunitas penderita menjadi lebih rendah yang ditandai
dengan menurunya kadar limfosit darah.1, 13

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Chen Y. Interpretation of Global Strategy for the Diagnosis, Treatment,


Management and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease 2022
Report. Vol. 25, Chinese General Practice. 2022.
2. Osiecki H, Gillis M. Chronic obstructive pulmonary disease. J Complement Med.
2008;7(2):14–20.
3. Price D, Freeman D, Cleland J, Kaplan A, Cerasoli F. Earlier diagnosis and
earlier treatment of COPD in primary care. Prim Care Respir J. 2011;20(1):15–
22.
4. Bartal M. COPD and tobacco smoke. Monaldi Arch Chest Dis - Pulm Ser.
2005;63(4):213–25.
5. Allwood B, Calligaro G. Pathogenesis of chronic obstructive pulmonary disease:
An African perspective. South African Med J. 2015;105(9):789.
6. Oktaria D, Ningrum MS. Pengaruh Merokok dan Defisiensi Alfa-1 Antitripsin
terhadap Progresivitas Penyakit Paru Obstruktif Kronis ( PPOK ) dan Emfisema.
Majority. 2017;6(2):42–7.
7. Duan RR, Hao K, Yang T. Air pollution and chronic obstructive pulmonary
disease. Chronic Dis Transl Med. 2020;6(4):260–9.
8. Gershon AS, Dolmage TE, Stephenson A, Jackson B. Chronic obstructive
pulmonary disease and socioeconomic status: A systematic review. COPD J
Chronic Obstr Pulm Dis. 2012;9(3):216–26.
9. Dong H, Hao Y, Li D, Su Z, Li W, Shi B, et al. Risk factors for acute
exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease in industrial regions of
China: A multicenter cross-sectional study. Int J COPD. 2020;15:2249–56.
10. Caramori G, Casolari P, Adcock I. Role of transcription factors in the
pathogenesis of asthma and COPD. Cell Commun Adhes. 2013;20(1–2):21–40.
11. McGeachie MJ. Childhood asthma is a risk factor for the development of chronic
obstructive pulmonary disease. Curr Opin Allergy Clin Immunol.
2017;17(2):104–9.
12. Yang Y, Mao J, Ye Z, Li J, Zhao H, Liu Y. Risk factors of chronic obstructive
pulmonary disease among adults in Chinese mainland: A systematic review and
meta-analysis. Respir Med. 2017;131:158–65.
13. Brashier BB, Kodgule R. Risk factors and pathophysiology of chronic
obstructive pulmonary disease (COPD). J Assoc Physicians India.
2012;60(SUPPL FEB2012):17–21.
14. Mustofa S, Zuya CS, Kedokteran F, Lampung U, Biokimia D, Molekuler B, et al.
Polimorfisme Genetik dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis Gene Polymorphism
and Chronic Obstructive Pulmonary Disease. 2020;9:584–91.
15. Yudhawati R, Prasetiyo YD. Imunopatogenesis Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
J Respirasi. 2019;4(1):19.
16. MacNee W. Pathogenesis / Pathophysiology. Arch Intern Med. 2009;332(May).
17. Anderson D, Macnee W. Targeted treatment in COPD: a multi-system approach
for a multi-system disease. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. 2009;4:321–35.
18. Abboud RT, Vimalanathan S. Pathogenesis of COPD. Part I. The role of

29
protease-antiprotease imbalance in emphysema. Int J Tuberc Lung Dis.
2008;12(4):361–7.
19. MacNee W. Pathogenesis of chronic obstructive pulmonary disease. Proc Am
Thorac Soc. 2005;2(4):258–66.
20. Portillo K, Morera J. Combined pulmonary fibrosis and emphysema syndrome: A
new phenotype within the spectrum of smoking-related interstitial lung disease.
Pulm Med. 2012;(February).
21. Decramer M, Janssens W, Miravitlles M. Chronic obstructive pulmonary disease.
Lancet. 2012;379(9823):1341–51.
22. Rodrigues S de O, da Cunha CMC, Soares GMV, Silva PL, Silva AR,
Gonçalves-De-albuquerque CF. Mechanisms, pathophysiology and currently
proposed treatments of chronic obstructive pulmonary disease. Pharmaceuticals.
2021;14(10).
23. O’Donnell DE, Banzett RB, Carrieri-Kohlman V, Casaburi R, Davenport PW,
Gandevia SC, et al. Pathophysiology of dyspnea in chronic obstructive
pulmonary disease: A roundtable. Proc Am Thorac Soc. 2007;4(2):145–68.
24. Trigueros JA, Riesco JA, Alcázar-Navarrete B, Campuzano A, Pérez J. Clinical
features of women with COPD: Sex differences in a cross-sectional study in
Spain (“The ESPIRAL-ES study”). Int J COPD. 2019;14:2469–78.
25. Pauwels PRA, Rabe KF. Burden and clinical features of chronic obstructive
pulmonary disease (COPD). Lancet. 2004;364(9434):613–20.
26. Fazleen A, Wilkinson T. Early COPD: current evidence for diagnosis and
management. Ther Adv Respir Dis. 2020;14:1–13.
27. Guillien A, Puyraveau M, Soumagne T, Guillot S, Rannou F, Marquette D, et al.
Prevalence and risk factors for COPD in farmers: A cross-sectional controlled
study. Eur Respir J. 2016;47(1):95–103.
28. Dong YH, Hsu CL, Li YY, Chang CH, Lai MS. Bronchodilators use in patients
with COPD. Int J COPD. 2015;10(1):1769–79.
29. Antus B. Pharmacotherapy of Chronic Obstructive Pulmonary Disease: A
Clinical Review. ISRN Pulmonol. 2013;2013:1–11.
30. Bcguidelines. Prescription Medication Table for COPD Generic Name Trade
Name Dosage Forms and Strengths SHORT-ACTING RELIEVER
MEDICATIONS Short-Acting Beta 2 Agonists (SABA). 2017;03:1–5.
31. Ejiofor S, Turner AM. Pharmacotherapies for COPD. Clin Med Insights Circ
Respir Pulm Med. 2013;7(1):17–34.
32. Onãtibia-Astibia A, Martínez-Pinilla E, Franco R. The potential of
methylxanthine-based therapies in pediatric respiratory tract diseases. Respir
Med. 2016;112:1–9.
33. Mulhall AM, Droege CA, Ernst NE, Panos RJ, Zafar MA. Phosphodiesterase 4
inhibitors for the treatment of chronic obstructive pulmonary disease: A review
of current and developing drugs. Expert Opin Investig Drugs. 2015;24(12):1597–
611.
34. Hagarty K, Runde D. Antibiotics for exacerbations of chronic obstructive
pulmonary disease. Am Fam Physician. 2020;101(3):142A-142B.
35. Decramer M, Janssens W. Mucoactive therapy in copd. Eur Respir Rev.
2010;19(116):134–40.

30
36. Wells AD, Woods A, Hilleman DE, Malesker MA. Alpha-1 antitrypsin
replacement in patients with copd. P T. 2019;44(7):412–5.

31

Anda mungkin juga menyukai