KRONIS (PPOK)
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1
Disusun Oleh:
KELOMPOK XVII
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala, yang
telah memberikan kemampuan dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya tulis ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan
kepada Nabi kita, yakni Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam, juga kepada
keluarga, sahabat, tabiin, serta para pengikutnya sampai akhir nanti.
Alhamdulillah, hanya kata syukur yang bisa penulis sampaikan sehingga
makalah dengan berjudul “Konsep Dasar Penyakit Paru Obstruktif Kronis”
bisa terselesaikan dengan baik. Dilain sisi, penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Bpk.Anggie Stiexs, S.Kep.,Ners, M. Kep. dan tim mata kuliah
Keperawatam Medical Bedah 1 yang telah memaparkan materi yang menjadi
salah satu rujukan dalam proses penyusunan makalah ini.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat
menjadi salah satu penambah wawasan bagi penulis disamping menjadi tugas
Ujian Akhir Semester. Kritik dan saran senantiasa penulis harapkan agar makalah
ini dapat lebih ditingkatkan kedepannya.
Kelompok 12
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
5
119.000 diantaranya meninggal. Total estimasi biaya untuk pengobatan penyakit
PPOK sediri diperkirakan mencapai $24 milyar per tahunnya.
6
BAB II
PEMBAHASAN
2
2.1 Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) menurut The Global Initiative for
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD) dan Perkumpulan Dokter Paru
Indonesia (PDPI, 2013) merupakan penyakit obstruksi paru dengan beberapa
gejala ekstrapulmonari yang khas, yang dapat mengakibatkan tingkat keparahan
kepada setiap orang. Lebih jelasnya lagi, GOLD pada tahun 2014 mendefinisikan
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai penyakit respirasi kronis yang
dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya hambatan aliran udara yang
persisten dan biasanya bersifat progresif serta berhubungan dengan peningkatan
respons inflamasi kronis saluran napas yang disebabkan oleh gas atau partikel
iritan tertentu.
7
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan salah satu dari
kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan
hidup
8
dan semakin tingginya pajanan faktor risiko seperti faktor pejamu yang diduga
berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok
khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan
maupun di luar ruangan (Menkes RI , 2008)
9
partike-partikel yang dikandung dapat menyebabkan kerja paru menjadi lebih
berat dari biasanya, meskipun dalam jumlah yang relatif kecil (GOLD, 2017).
10
Penyebab dari timbulnya penyakit Penyakit Paru Obstruksi Kronis
beradasarkan (Guyton & Hall, 2014; Wahid & Suprapto, 2013 dan Djojodibroto,
2016) adalah:
11
kronis dan emfisema, walaupun kebanyakan pasien memiliki keduanya. Menurut
Black (2014), patologi penyakit tersebut adalah :
a) Bronkitis Kronis
Bronkitis kronis merupakan akibat dari inflamasi bronkus, yang
merangsang peningkatan produksi mukus, batuk kronis, dan kemungkinan
terjadi luka pada lapisan bronkus. Berbeda dengan bronkitis akut,
manifestasi klinis bronkitis kronis berlangsung minimal tiga bulan selama
satu tahun dalam dua tahun berturut-turut dan tidak disebabkan penyakit
lain (Muhammad A, Alsagaf H, 2010).
Terjadinya PPOK yang disebabkan oleh merokok yaitu bermula
pada masuknya komponen-komponen rokok ataupun bahan-bahan iritan
yang akan merangsang terjadinya peradangan atau inflamasi pada sel-sel
epitel penghasil mukus di bronkus. Peradangan ini juga akan mengganggu
sistem escalator mukosiliaris karena silia pada sel epitel mengalami
kelumpuhan atau disfungsional dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus
ini kemudian akan berfijngsi sebagai tempat perkembangan dari
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul
peradangan pada bronkus akan yang menyebabkan edema dan
pembengkakan jaringan bronkiolus, terutama ekspirasi yang terhambat .
Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit
dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan. Proses ini
semua mengakibatkan terjadinya bronkitis kronis (Valentina L . Brashers,
2008, Arif Mansjoer, dkk, 2001, Silvia & Lorraine, 1995, Soeparman,
1990, PDPI 2003, Hadi Halim, dkk, 2002).
b) Emfisema
Emfisema adalah keadaan terdapatnya pelebaran abnormal alveoli
yang permanen disertai destruksi dinding alveoli (kerusakan pada dinding
alveolus). Dua jenis emfisema yang relevan terhadap PPOK adalah
emfisema pan-asinar dan emfisema sentri-asinar.
1) Emfisema sentri-asinar
12
Secara selektif hanya menyerang bagian bronkiolus
respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar,
bergabung dan akhimya cenderung menjadi satu ruang sewaktu
dinding-dinding mengalami integrasi . Mula-mula ductus alveolaris
dan sakus alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan.
Penyakit ini seringkali lebih berat menyerang bagian atas paru-
paru, tetapi akhimya cenderung tersebar tidak merata. Emfisema
sentrilobular atau sentri-asinar lebih banyak ditemukan pada pria
dibandingkan dengan bronkitis kronis, dan jarang ditemukan pada
mereka yang tidak merokok (Silvia & Lorraine 1995) .
2) Emfisema Pan-asinar
Pan-asinar mempakan bentuk morfologi yang lebih jarang,
dimana alveolus yang terletak distal dari bronkiolus terminalis
mengalami pembesaran serta kemsakan merata . Jika penyakit
makin parah, maka semua komponen sinus sedikit demi sedikit
menghilang sehingga akhimya hanya tertinggal beberapa lembar
jaringan saja, yang biasanya berupa pembuluh-pembuluh darah.
Pan-asinar mempunyai gambaran khas yaitu: tersebar merata
diseluruh paru-paru, meskipun bagian-bagian basal cenderung
terserang lebih parah
13
Emfisema
Obstruksi saluran nafas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran nafas kecil yaitu: infamasi, fibrosis, metaplasia
sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan nafas.
Patogenesis PPOK
14
2.4 Faktor Resiko Penyakit Paru Obstruktif Kronis
1) Merokok
Merokok merupakan penyebab PPOK yang paling umum,
dan mencakup 80% dari semua kasus PPOK yang ditemukan.
Rokok mengandung banyak zat berbahaya penyebab iritasi pada
saluran napas, contohnya nikotin. Kandungan dalam nikotin
mampu mengiritasi saluran napas dan melemahkan sel pertahanan
saluran napas sehingga terjadi peradangan dan menyebabkan
PPOK. Diduga bahwa sekitar 20% orang yang merokok akan
mengalami PPOK, dengan risiko perseorangan meningkat
sebanding dengan peningkatan jumlah rokok yang diisapnya.
Merokok merupakan faktor utama pada PPOK. Gangguan
pernafasan dan penurunan faal paru paling sering terjadi pada
perokok. Dari lamanya merokok, usia mulai merokok, jumlah
bungkus rokok pertahun, dan merupakan perokok aktif atau
perokok pasif semua ini mempengamhi angka kematian PPOK
(Siti Fadilah Supari 2004 dalam keputusan Menkes RI, 2008).
2) Infeksi Saluran Pernafasan
Infeksi saluran pernafasan telah diteliti sebagai faktor risiko
potensial dalam perkembangan dan progresivitas PPOK pada orang
dewasa, terutama infeksi saluran nafas bawah berulang. Infeksi
15
saluran respirasi pada masa anak-anak juga telah dinyatakan
sebagai faktor predisposisi potensial pada perkembangan akhir
PPOK.
Infeksi saluran pemafasan adalah faktor risiko yang
berpotensi menyebabkan kerusakan paru lebih hebat, sehingga
gejalanya pun lebih berat. Bakteri masuk ke saluran pemapasan
penderita PPOK akan menyebabkan inflamasi pada paru semakin
hebat.
3) Paparan Pekerjaan
Meningkatnya gejala-gejala respirasi dan obstruksi aliran
udara dapat diakibatkan oleh paparan debu di tempat kerja.
Paparan ini meliputi agen kimia debu organik dan non organik,
serta bau-bauan. Beberapa paparan pekerjaan yang khas termasuk
penambangan batu bara, panambangan emas, dan debu kapas
tekstil telah diketahui sebagai faktor risiko obstruksi aliran udara
kronis
4) Polusi Udara
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan seperti
asap rokok, asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di
luar ruangan, seperti gas buang industri, gas buang kendaraan
bermoto, debu jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat kerja,
seperti bahan kimia, debu atau zat iritasi, gas beracun, dan lain-
lain.
5) Faktor Genetik
Faktor genetik yang utama adalah defisiensi anti elastase
yaitu kurangnya α1 Antitrypsin atau (α1AT). Dimana alfa1-
antitripsin merupakan suatu protein yang menetralkan enzim
elastase yang sering dikeluarkan saat terjadi peradangan dan
mencegah kerusakan paru. Dengan demikian ketidakseimbangan
16
antara enzim elastase dan anti elastase ini menimbulkan kerusakan
jaringan elastin paru .
17
2.5 Tanda dan Gejala Penyakit Paru Obstruktif Kronis
Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak napas.
Sesak napas juga biasanya menjadi keluhan utama pada pasien PPOK karena
terganggunya aktivitas fisik akibat gejala ini. Sesak napas biasanya menjadi
komplain ketika FEV1 <60% prediksi. Pasien biasanya mendefinisikan sesak
napas sebagai peningkatan usaha untuk bernapas, rasa berat saat bernapas,
gasping, dan air hunger. Batuk bisa muncul secara hilang timbul, tapi biasanya
batuk kronis adalah gejala awal perkembangan PPOK. Gejala ini juga biasanya
merupakan gejala klinis yang pertama kali disadari oleh pasien Batuk kronis pada
PPOK bisa juga muncul tanpa adanya dahak,
1) Anamnesis
Pada pasien PPOK ringan biasanya tidak menunjukkan gejala
sehingga sering luput dari perhatian dokter. Pada anamnesis kita mencari
tiga gejala respirasi yang umum terdapat pada pasien PPOK yaitu batuk
kronik, produksi sputum dan sesak napas (peningkatan usaha bemapas,
terasa berat, tersengal-sengal). Dicari dampak penyakit terhadap aktivitas
18
harian, pekerjaan, dampak ekonomi, perasaan depresi dan ansietas. Pada
PPOK sedang terjadi perburukan sesak napas pada aktivitas kerja atau
bukan kerja dan Pada PPOK berat pasien bisa henti napas (breathless) saat
meiakukan aktivitas harian . Dan ditanyakan juga riwayat paparan dengan
faktor resiko (intensitas dan lamanya), riwayat penyakit sebelumnya,
riwayat perawatan di rumah sakit akibat gangguan saluran napas, riwayat
penyakit keluarga dengan PPOK .
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien PPOK dapat bervariasi dari tidak
ditemukan kelainan sampai kelainan jelas dan tanda inflasi paru.
a) Inspeksi
i. Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu)
Sikap seseorang yang bernafas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Ini diakibatkan oleh mekanisme tubuh
yang berusaha mengeluarkan CO2 yang tertahan di dalam paru
akibat gagal nafas kronis.
ii. Penggunaan alat bantu napas
Penggunaan otot bantu napas terlihat dari retraksi dinding dada,
hipertropi otot bantu nafas, serta pelebaran sela iga
iii. Barrel chest
Barrel chest merupakan penurunan perbandingan diameter antero-
posterior dan transversal pada rongga dada akibat usaha
memperbesar volume paru. Bila telah terjadi gagal jantung kanan
terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai.
iv. Pink puffer
Pink puffer adalah gambaran yang khas pada emfisema, yaitu kulit
kemerahan pasien kurus, dan pernafasan pursed-lips breating.
v. Blue bloater
19
Blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis kronis, yaitu
pasien tampak sianosis sentral serta perifer, gemuk, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru.
20
b) Palpasi
Pada palpasi dada didapatkan vokal fremitus melemah dan sela iga
melebar. Terutama dijumpai pada pasien dengan emfisema dominan.
c) Perkusi
Hipersonor akibat peningkatan jumlah udara yang terperangkap, batas
jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
terutama pada emfisema.
d) Auskultasi
Suara nafas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi
pada waktu bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi
memanjang,
bunyi jantung terdengar jauh.
3) Pemeriksaan Penunjang
a) Faal paru: spirometri dan uji bronkodilator
b) Darah Rutin: Hb , Ht , leukosit dll
c) Analisa Gas Darah
d) Radiologi
e) Mikrobiologi sputum (untuk pemelihan antibiotik bila terjadi
eksaserbasi).
1) Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis: Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi
sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap factor resiko. Spirometri:
Normal.
2) Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum. Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%.
3) Derajat II (PPOK sedang)
21
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum. Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%.
4) Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis : Sesak napas ketika berjalan dan berpakaian. Eksaserbasi
lebih sering terjadi Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50% .
5) Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai
komplikasi korpulmonale atau gagal jantung kanan. Spirometri
:FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%
22
perburukan penyakit, mencegah dan mengobati eksaserbasi, menurunkan
mortalitas.
23
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan irreversible,
sehingga penatalaksanaan PPOK sebagai berikut :
1) Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang
pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK adalah menyesuaikan keterbatasan
aktivititas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru dan
menghindari pencetus dan memperbaiki derajat penyakit. Secara umum
bahan edukasi yang harus diberikan adalah:
a) Pengetahuan dasar tentang PPOK
b) Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
c) Cara pencegahan perburukan penyakit
d) Menghindari pencetus (berhenti merokok)
e) Penyesuaian aktivitas.
2) Obat-obatan
a) Bronkodilator
Macam-macam bronkodilator :
i. Golongan antikolinergik
ii. Golongan agonis beta-2
iii. Kombinasi anti kolinergik dan agonis beta-2
iv. Golongan xantin
b) Anti inflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral
atau injeksi intra vena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi,
dipilih golongan metalprednisolon atau prednisone. Bentuk
inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP l
pascabronkodilator meningkat >20 % dan minimal 250 mg.
c) Antibiotik
Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik secara
regular dapat menurunkan laju eksaserbasi. Azithromycin (250
24
mg/hari atau 500 mg 3 kali per minggu) atau eritromycin (500 mg
2
25
kali per hari) dalam satu tahun dapat menurunkan risiko
eksaserbasi. Azithromycin berhubungan dengan peningkatan
insiden resistensi bakteri dan gangguan pendengaran.
d) Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan agen antioksidan
Pada pasien PPOK yang tidak mendapatkan kortikosteroid inhaler,
terapi regular dengan mukolitik seperti carbocystein dan N-
acetylcystein dapat menurunkan eksaserbasi dan memperbaiki
status kesehatan.
Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan
simptomatik bila terdapat dahak yang lengket dan kental.
Diberikan secara rutin bila pada keadaan eksaserbasi akut karena
akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis
kronik dengan sputum ya g viscous. Mengurangi eksaserbasi pada
PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian
rutin .
e) Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup,
digunakan N-Asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang
rutin.
f) Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu.
Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi, jadi pemberian
antitusif diberikan dengan hati-hati.
3) Terapi Oksigen
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama
dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah
keadaan yang mengancam jiwa.
Manfaat terapi oksigen:
i. Mengurangi sesak
ii. Memperbaiki aktivitas
26
iii. Mengurangi hipertensi pulmonal
27
iv. Mengurangi vasokonstriksi
4) Nutrisi
Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk dengan kalori yang
dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus-menerus
(nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster. Gangguan keseimbangan
elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus
respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi
5) Rehabilitas
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan
ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendaptkan
pengobatan optimal yang disertai:
i. Symptom pemapasan berat
ii. Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
iii. Kualitas hidup yang menurun
Program dilaksanakan didalam maupun di luar rumah sakit oleh suatu tim
multi disiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapi, dan
psikolog. Program rehabilitasi terdi i dari 3 komponen yaitu : latihan fisis,
psikososial dan latihan pemapasan.
2.9 Komplikasi
1) Gagal nafas
a) Gagal nafas kronis
Dapat diatasi dengan menjaga keseimbangan PO2 dan PCO2,
bronkodilator adekuat, terapi oksigen yang adekuat terutama waktu
aktivitas atau waktu tidur, antioksidan, latihan pernapasan dengan
pursed lips breathing.
b) Gagal nafas akut pada gagal nafas kronis, ditandai oleh sesak nafas
dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen,
demam, kesadaran menurun.
28
2) Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang.
Pada kondisi kronis ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan
menurunnya kadar limfosit darah.
3) Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai
gagal
jantung kanan.
29
BAB III
PENUTUP
3
3.1 Simpulan
3.2 Saran
1) Untuk Pemerintahan
Pemerintah mengusahakan agar tingkat prevalensi Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK) dapat ditekan dan diturunkan.
2) Untuk Masyarakat
Meningkatkan pengetahuan masyarakat terhad p bahaya merokok
sehingga terhindar dari resiko Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
3) Untuk Mahasiswa
30
Perbanyak pengetahuan dan informasi yang dilengkapi dengan data
mengenai konsep dasar peyakit-penyakit yang ada. Agar dapat
memberikan edukasi dan informasi kepada masyarakat awam.
31
DAFTAR PUSTAKA
Adi Napanggala. (2015). Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dengan Efusi
Pleura dan Hipertensi Tingkat I. Jurnal Medula Unila. Vol. 4, No. 2. 1-6.
Arto Yuwono Soeroto, Hendarsyah Suryadinata. (2014). Penyakit Paru Obstruktif
Kronik. Ina J Chest Crit and Emerg Med. Vol. 1, No. 2. 83-88.
32