Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS


PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI BALAI
BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BBKPM)
BANDUNG TAHUN 2022

Disusun Oleh :
Kelompok 13

GRACE YOHANA P3.73.26.2.22.026

PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI JURUSAN


FISIOTERAPI

POLITEKNIK KESEHATAN JAKARTA III

BEKASI, 2022

1
LEMBAR PERSETUJUAN

LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS


PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI BALAI
BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BBKPM)
BANDUNG TAHUN 2022

Laporan kasus ini telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing serta telah
dipertahankan di hadapan penguji

Pembimbing Pendidikan Pembimbing Lapangan

Abdurrahman Berbudi, SST.Ft., M.Fis Dyah Widiningsih, S.Ft, Ftr


NIP. 198909012015031001 NIP. 197204242005012001

i
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS


PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI BALAI
BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BBKPM)
BANDUNG TAHUN 2022

Laporan kasus ini telah di ujikan dalam konferensi kasus pada

Tanggal 28 November 2022

Penguji I Penguji II

Abdurrahman Berbudi, SST.Ft., M.Fis Dyah Widiningsih, S.Ft, Ftr


NIP. 198909012015031001 NIP. 197204242005012001

ii
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan

rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan baik

dan tepat pada waktunya. Dalam menyelesaikan laporan kasus ini penulis banyak

sekali mendapatkan bantuan bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk

itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada yang

terhormat :

1. Ibu Ratu Karel Lina, SST.Ft., SKM., MPH. selaku Ketua Jurusan Fisioterapi

Poltekkes Kemenkes Jakarta III

2. Bapak Ari Sudarsono, Ftr., M.Fis. selaku Ketua Program Studi Profesi

Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Jakarta III

3. Bapak Abdurrahman Berbudi, SST.Ft., M.Fis selaku Dosen pembimbing

Pendidikan stase Kardiopulmonal di BBKPM Bandung

4. Ibu Dyah Widiningsih, S.Ft, Ftr dan teman-teman fisioterapis di BBKPM

Bandung yang telah memberikan ilmu serta pengalamannya yang berharga

5. Pasien beserta keluarga yang bersedia menjadi subjek persentasi kasus

Bandung, September 2022

iii
Daftar Isi
LEMBAR PERSETUJUAN...................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................iii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Indentifikasi Masalah....................................................................................3
C. Manfaat Penelitian........................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................5
A. Tinjauan Teori...............................................................................................5
BAB III URAIAN KASUS...............................................................................18
A. Identitas Pasien...........................................................................................18
B. Assesment/ Pemeriksaan.............................................................................18
C. Diagnosis Fisioterapi...................................................................................20
D. Program Fisioterapi.....................................................................................21
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................24
A. Hasil Pembahasan.......................................................................................24
B. Keterbatasan................................................................................................24
BAB V PENUTUP............................................................................................25
A. Kesimpulan.................................................................................................25
B. Saran............................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................26

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah sekolompok penyakit paru

menahun yang berlangsung lama dan disertai dengan peningkatan resistensi

terhadap aliran udara. Sumbatan udara ini biasanya berkaitan dengan respon

inflamasi abnormal paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. Umumnya

penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan PPOK adalah asma

bronkial, bronkitis kronis, bronkiektasis, dan emfisema paru. Penyakit ini sering

juga disebut dengan Chronic Airflow Lamitation (CAL) dan Chronic Obstruktive

Lung Diseases (COLD) (Padila, 2012).

Masalah kesehatan yang timbul akibat PPOK cukup beragam. Diantaranya

sesak napas terutama saat melakukan aktivitas, batuk kronik yang produktif,

penumpukan sputum, mudah lelah, berat badan turun, dan rasa berat di dada. Selain

itu, komplikasi yang dapat terjadi akibat PPOK adalah gagal jantung. Dikutip dari

American Thoracic Society, gagal jantung terjadi pada 5-10% orang dengan PPOK

parah. Selain itu, PPOK juga dapat meningkatkan penyakit jantung lainnya, seperti

serangan jantung. Penderita PPOK juga memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena

kanker paru- paru. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine

menyebutkan bahwa risiko kanker paru-paru pada perokok dengan PPOK adalah

dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan perokok tanpa PPOK. Selain itu,

PPOK juga dapat menyebabkan kematian. Angka kematian yang disebabkan

PPOK terus meningkat dari tahun ke tahun di seluruh dunia (GOLD, 2017).

1
Terjadinya PPOK diawali dengan seseorang yang menghisap asap rokok, polusi

udara yang tercemar, dan partikel lain seperti debu yang akan masuk ke saluran

pernapasan melalui ventilator, aspirasi, inhalasi. Selain itu faktor usia juga

memengaruhi PPOK karena elastisitas jaringan paru dan dinding paru semakin

berkurang, kontraksi otot pernapasan menjadi berkurang sehingga sulit bernapas

Partikel yang masuk pada saluran pernapasan dan menempel pada dinding bronkus

akan menyebabkan infeksi dan iritasi menahun sehingga terjadi penebalan dinding

bronkus yang mengakibatkan kerusakan dinding alveoli (Muttaqin, 2008).

Kerusakan yang disertai dengan bronchitis obstruksi kronis akan menyebabkan

saluran napas bagian bawah paru akan lebih banyak tertutup sehingga terjadi

penumpukan udara pada alveolus saat ekspirasi yang ditandai dengan sesak napas.

Cepatnya terjadi obstruksi serta kerusakan dinding alveoli akan menyebabkan

kekurangan oksigenasi. Kekurangan oksigenasi akan menimbulkan masalah

gangguan pertukaran gas dengan tanda gejala mayornya adalah dispnea, PCO2

meningkat, PO2 menurun, dan takikardi (Wahid & Suprapto, 2013).

World Health Organization (WHO) mendata pada tahun 2016 sebanyak 3 juta

kematian di dunia disebabkan oleh PPOK. WHO juga menyatakan bahwa 12

negara di Asia Tenggara mempunyai prevalensi PPOK sedang-berat pada usia >30

tahun dengan rata-rata 6,3% (WHO, 2021). Berdasarkan hasil RISKESDAS

(2018), prevalensi di Indonesia penderita PPOK yaitu 3,7% atau sekitar 9,2 juta

penduduk. Prevalensi kejadian PPOK di Indonesia terus meningkat sejalan dengan

peningkatan prevalensi perilaku merokok masyarakat di Indonesia. Perilaku

merokok masyarakat Indonesia meningkat dari 32,8% pada tahun 2016 menjadi

33,8% pada tahun 2018. Sementara itu, prevalensi penderita PPOK di RSPG

2
Cisarua Bogor pada tahun 2020 sebanyak 1843 orang dan meningkat pada tahun

2021 sebanyak 1984 orang (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2019).

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik dan ingin mengetahui,

mengkaji dan memberikan pelayanan fisioterapi melalui laporan kasus yang

berjudul “Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Penyakit Paru Obstruktif Kronik

(PPOK) di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Bandung Tahun

2022.”

B. Indentifikasi Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasi

beberapa masalah yang timbul akibat kasus PPOK, antara lain sebagai berikut:

1. Adanya sesak

2. Adanya batuk

3. Adanya sputum

4. Gangguan pola napas

5. Spasme otot

6. Low endurance

7. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis membatasi yang akan

ditangani untuk mengurangi sesak, mengurangi spasme otot, mengajarkan

pola napas. membuang sekresi bronkial, memerbaiki ventilasi, dan

meningkatkan efisiensi otot-otot pernapasan.

A. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah:

1. Tujuan Umum

3
Untuk mengetahui Pengaruh Intervensi Fisioterapi pada Kasus PPOK di
BBKPM Tahun 2022.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui teknik assessment yang efektif dan efisien dalam
menegakan diagnosa Fisioterapi pada kasus PPOK
b. Untuk mengetahui metode dan teknik intervensi serta pengaruhnya pada
kasus PPOK.
c. Untuk mengetahui evaluasi hasil intervensi dalam kajian akademik dan
profesional pada kasus PPOK.

C. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penulisan laporan ini adalah:

1. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dapat mengintegrasikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan

khususnya mengenai penanganan Fisioterapi pada stase ardiorespirasi dalam

kasus PPOK sebagai penguatan pembelajaran yang diperoleh selama

perkuliahan.

2. Bagi Institusi Lahan

Diharapkan dapat menambah wawasan dan refrensi terhadap penanganan dan

pengaruh fisioterapi pada kasus PPOK.

3. Bagi Profesi Fisioterapi

Diharapkan dapat menjadi masukan sebagai sumber referensi dalam

menambah wawasan atau ilmu penegtahuan yang terbaru khususnya mengenai

proses fisioterapi pada kasus PPOK.

4. Bagi Pasien dan Keluarga Pasien

Diharapkan agar pasien dan keluarga memperoleh tambahan informasi dan

edukasi terkait kondisi pada kasus PPOK.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Definisi PPOK

Gambar 2. 1 PPOK

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary

Disease (COPD) adalah gangguan paru yang akan menyebabkan kelainan ventilasi

berupa penyumbatan saluran pernapasan yang bersifat progresif dan tidak

sepenuhnya reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi abnormal

paru terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya. Pada PPOK, bronkitis kronik

dan emfisema sering ditemukan bersama, meskipun keduanya memiliki proses

yang berbeda.

Adapun klasifikasi PPOK yang diklasifikasi berdasarkan GOLD 2018 kriteria

adalah :

a. Stage I: Ringan Pemeriksaan spirometri post-bronchodilator menunjukan hasil

rasio FEV1/FVC < 70% dan nilai FEV1 ≥ 80% dari nilai prediksi.

b. Stage II: Sedang12 Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1

diantara 50-80% dari nilai prediksi.

c. Stage III: Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1

5
diantara 30-50% dari nilai prediksi.

d. Stage IV: Sangat Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan

kurang dari 30% ataupun kurang dari 50% dengan kegagalan respirasi kronik.

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan

dengan kondisi sebelumnya dan biasanya disebabkan oleh infeksi, kelelahan,

timbulnya komplikasi ataupun faktor lain. Selama eksaserbasi, gejala sesak

meningkat karena adanya peningkatan hiperinflasi, air trapping, adanya penurunan

aliran udara.

a. Gejala -gejala saat eksaserbasi akut:

1) Sesak bertambah

2) Produksi sputum meningkat

3) Perubahan warna sputum (menjadi purulen)

b. Eksaserbasi akut diklasifikasikan menjadi 3 menurut Anthonisen 1987:

1) Tipe I (Eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala diatas

2) Tipe II (Eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala diatas

3) Tipe III (Eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi

saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab, peningkatan batuk,

peningkatan mengi, peningkatan frekuensi pernapasan/frekuensi nadi >20%

dari nilai dasar (GOLD, 2018).

2. Anatomi Fungsional

Sistem pernapasan pada manusia adalah sistem menghirup oksigen dari udara

serta mengeluarkan karbon dioksida dan uap air. Penghisapan udara ke dalam

tubuh disebut proses inspirasi dan menghembuskan udara keluar tubuh disebut

proses ekspirasi. Manusia membutuhkan suplay oksigen secara terus-menerus

untuk proses respirasi sel dan membuang kelebihan karbondioksida sebagai limbah

6
beracun produk dari proses tersebut. Pertukaran gas antara oksigen dengan

karbondioksida dilakukan agar proses respirasi sel terus berlangsung. Oksigen yang

dibutuhkan untuk proses respirasi sel ini berasal dari lingkungan sekitar. Sistem

pernapasan pada manusia mencakup dua hal, yakni saluran pernapasan dan

mekanisme pernapasan.

Paru-paru merupakan salah satu sistem organ paling penting untuk bernafas.

Paru- paru berada di dalam rongga thorax, terlindung oleh susunan tulang-tulang

rusuk dan letaknya di sisi kiri dan kanan mediastinum. Paru kanan, memiliki tiga

lobus yaitu superior, medius dan inferior sedangkan paru kiri berukuran lebih kecil

dari paru kanan yang terdiri dari dua lobus yaitu lobus superior dan inferior. Paru-

paru diselimuti oleh suatu selaput paru-paru (pleura). Diperkirakan bahwa setiap

paru-paru mengandung 150 juta alveoli sehingga mempunyai permukaan yang

cukup luas untuk tempat pertukaran gas.

Normalnya, frekuensi pernapasan bayi baru lahir adalah 30 sampai 60 kali per

menit, balita 24 sampai 40 kali per menit, anak pra sekolah 22 sampai 34 kali per

menit, anak usia sekolah 18 sampai 30 kali per menit, remaja 12 sampai 16 kali per

menit, usia dewasa 12 sampai 20 kali per menit, dan lansia berada pada rentang 15

sampai 25 kali per menit. Frekuensi pernapasan normal pada lansia cenderung

lebih tinggi daripada orang dewasa muda, terutama bila lansia sedang mengalami

perawatan karena kondisi kesehatan tertentu.

Secara anatomi sistem pernafasan terdiri atas: saluran nafas, paru, pleura,

rongga dada dan otot-otot pernafasan.

a. Saluran Pernapasan

Sistem pernapasan manusia terbagi ke dalam dua bagian, yaitu organ

pernapasan atas dan organ pernapasan bawah. Sistem pernafasan atas terdiri

7
dari hidung, faring dan laring. Sedangkan sistem pernafasan bawah terdiri dari

trakea, bronkus dan paru-paru.

Gambar 2. 2 Saluran Pernapasan

1) Hidung

Hidung merupakan organ pertama dalam sistem respirasi yang terdiri dari

bagian eksternal (terlihat) dan bagian internal. Struktur interior dari bagian

eksternal hidung memiliki tiga fungsi : (1) menghangatkan, melembabkan,

dan menyaring udara yang masuk; (2) mendeteksi stimulasi olfaktori (indra

pembau); dan (3) modifikasi getaran suara yang melalui bilik resonansi yang

besar dan bergema (Tortorra and Derrickson, 2014).

2) Faring

Faring, atau tenggorokan, adalah saluran berbentuk corong dengan

panjang 13 cm. Faring merupakan persimpangan antara rongga hidung ke

tenggorokan (saluran pernapasan) dan rongga mulut ke kerongkongan (saluran

pencernaan) (Tortorra and Derrickson, 2014).

3) Laring

Laring disebut pula pangkal tenggorok. Pada laring terdapat pita suara

dan epiglotis atau katup pangkal tenggorokan. Epiglotis melindungi saluran

8
udara dan mengalihkan makanan dan minuman agar melewati esofagus (Peate

and Nair, 2011).

4) Trakea

Trakea atau batang tenggorokan merupakan saluran tubuler yang dilewati

udara dari laring menuju paru-paru. Trakea juga dilapisi oleh epitel kolumnar

bersilia sehingga dapat menjebak zat selain udara yang masuk lalu akan

didorong keatas melewati esofagus untuk ditelan atau dikeluarkan lewat

dahak. Trakea dan bronkus juga memiliki reseptor iritan yang menstimulasi

batuk, memaksa partikel besar yang masuk kembali keatas (Peate and Nair,

2011).

5) Bronkus

Setelah laring, trakea terbagi menjadi dua cabang utama, bronkus kanan

dan kiri, yang mana cabang-cabang ini memasuki paru kanan dan kiri pula. Di

dalam masing-masing paru, bronkus terus bercabang dan semakin sempit,

pendek, dan semakin banyak jumlah cabangnya, seperti percabangan pada

pohon. Cabang terkecil dikenal dengan sebutan bronchiole (Sherwood, 2010).

6) Paru-Paru

Paru-paru dibagi menjadi bagian-bagian yang disebut lobus. Terdapat

tiga lobus di paru sebelah kanana dan dua lobus di paru sebelah kiri. Diantara

kedua paru terdapat ruang yang bernama cardiac notch yang merupakan

tempat bagi jantung. Masing-masing paru dibungkus oleh dua membran

pelindung tipis yang disebut parietal dan visceral pleura. Parietal pleura

membatasi dinding thoraks sedangkan visceral pleura membatasi paru itu

sendiri.

9
Cabang-cabang bronkus terus terbagi hingga bagian terkecil yaitu

bronchiole. Bronchiole pada akhirnya akan mengarah pada bronchiole

terminal. Di bagian akhir bronchiole terminal terdapat sekumpulan alveolus,

kantung udara kecil tempat dimana terjadi pertukaran gas (Sherwood, 2010).

b. Otot-otot Pernapasan

1) Otot-otot inspirasi

Otot inspirasi utama yaitu m. diafragma, M. external intercostalis, dan M.

internal intercostalis. Sedangkan untuk otot bantu inspirasi adalah M.

sternocleidomastoideus, M. trapezius, M. Serratus anterior, M. pectoralis

mayor dan minor, M. lattisimus dorsi, dan M. scalenus (Inal-Ince &

Cakmak, 2020).

2) Otot-otot ekspirasi

Otot ekspirasi utama yaitu M. internal oblique, M. external oblique, M.

rectus abdominis, dan M. transversus abdominis. Sedangkan untuk otot

bantu ekspirasi adalah M. lattisimus dorsi, M. iliocostalis lumborum, dan

M. quadratus lumborum (Inal-Ince & Cakmak, 2020).

Pada penderita PPOK, terjadi gangguan pada saluran pernapasan bawah.

Organ yang terkena dampak pada penyakit tersebut, yaitu trakea, bronkus, dan

alveolus (Black, 2014).

3. Etiologi

Merokok merupakan penyebab terbesar pada kasus PPOK. Perokok bisa 12

sampai 13 kali lebih berpotensi untuk meninggal karena PPOK daripada yang tidak

merokok. Selain itu, semakin bertambah usia, semakin besar risiko menderita

PPOK (Ikawati, 2016). Pada usia 45-65 tahun merupakan usia paling sering

dijumpai pasien PPOK (Padila, 2012). Pekerjaan juga dapat menjadi penyebab

10
terkena penyakit PPOK. Salah satunya para pekerja tambang emas atau batu bara

yang berhubungan erat dengan kontaminasi udara yang mereka hirup dari debu

batubara. Pekerjaan ini yang mempunyai risiko yang lebih besar untuk terkena

penyakit PPOK. Polusi udara juga merupakan faktor tersering yang menyebabkan

PPOK, karena setiap hari manusia menghirup dan mengeluarkan kembali udara

melalui ekpirasi. Makin kotor udara semakin banyak pula kotoran yang masuk ke

dalam saluran pernapasan. Polutan ini berasal dari asap kendaraan bermotor, debu,

gas, maupun polusi dari dalam rumah misalnya asap dapur. Makin tinggi kadar

polutan semakin mudah dan cepat orang menderita penyakit PPOK.

4. Epidemiologi

World Health Organization (WHO) mendata pada tahun 2016 sebanyak 3 juta

kematian di dunia disebabkan oleh PPOK. WHO juga menyatakan bahwa 12

negara di Asia Tenggara mempunyai prevalensi PPOK sedang-berat pada usia >30

tahun dengan rata-rata 6,3% (WHO, 2021). Berdasarkan hasil RISKESDAS

(2018), prevalensi di Indonesia penderita PPOK yaitu 3,7% atau sekitar 9,2 juta

penduduk. Prevalensi kejadian PPOK di Indonesia terus meningkat sejalan dengan

peningkatan prevalensi perilaku merokok masyarakat di Indonesia. Perilaku

merokok masyarakat Indonesia meningkat dari 32,8% pada tahun 2016 menjadi

33,8% pada tahun 2018. Sementara itu, prevalensi penderita PPOK di RSPG

Cisarua Bogor pada tahun 2020 sebanyak 1843 orang dan meningkat pada tahun

2021 sebanyak 1984 orang (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2019).

5. Patofisiologi

PPOK merupakan kombinasi antara penyakit bronkitis obstruksi kronis,

emfisema, dan asma. Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan

perubahan fisiologi utama pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang

11
disebabkan perubahan saluran nafas secara anatomi di bagian proksimal, perifer,

parenkim, dan vaskularisasi paru dikarenakan adanya suatu proses peradangan atau

inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Radikal bebas

mempunyai peran besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari

berbagai macam penyakit paru. Partikel noxius yang terhirup bersama dengan

udara akan memasuki saluran pernafasan dan mengendap dan terakumulasi.

Partikel tersebut mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus

sehingga menghambat aktivitas sillia. Akibatnya pergerakan cairan yang melapisi

mukosa berkurang dan menimbulkan iritasi pada sel mukosa sehingga merangsang

kelenjar mukosa. Kelenjar mukosa akan melebar dan terjadi hiperplasia sel goblet

sampai produksi mukus yang akan berlebih. Produksi mukus yang berlebihan

menimbulkan infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini

merupakan suatu siklus yang menyebabkan terjadinya hipersekresi mukus.

Manifestasi klinis yang terjadi adalah batuk kronis yang produktif (Antariksa B

dkk, 2011).

Dampak lain yang ditimbulkan partikel tersebut dapat berupa rusaknya

dinding alveolus. Seiring dengan terus terjadinya iritasi di saluran pernafasan

makan lama- kelamaan akan menyebabkan erosi epitel hingga terbentuknya

jaringan parut pada saluran nafas. Selain itu juga dapat menimbulkan metaplasia

skuamosa (sel yang berada di permukaan dan lapisan tengah kulit) dan penebalan

lapisan skuamosa yang dapat menimbulkan stenosis dan obstruksi irreversibel dari

saluran nafas. Walaupun tidak begitu terlihat seperti pada penderita penyakit asma,

namun pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) juga dapat terjadi hipertrofi

otot polos dan hiperaktivitas bronkus yang menyebabkan masalah gangguan

sirkulasi udara pada sisitem pernafasan (GOLD, 2017).

12
Pada bronkitis kronis akan terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus,

metaplasia sel goblet, inflamasi saluran pernafasan, hipertrofi otot polos serta

distorsi yang diakibatkan fibrosis. Sedangkan pada emfisema ditandai oleh

pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, yang disertai dengan kerusakan

dinding alveoli yang menyebabkan berkurangnya daya renggang elastisitas paru-

paru (Sudoyo AW, 2017).

6. Manifestasi Klinis

Gejala dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah seperti susah

bernapas, kelemahan badan, batuk kronik, mengi atau wheezing, dan

terbentuknya sputum dalam saluran nafas dalam waktu yang lama, hipertropi otot

dan pelebaran di sela-sela iga atau daerah intercostalis, perubahan bentuk dada

antero-posterior dan transversal sebanding atau sering disebut barrel chest.

7. Prognosis

Prognosis penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau chronic obstructive

pulmonary disease (COPD) secara umum bergantung pada klinis, riwayat penyakit,

dan komorbiditas masing-masing pasien. Prognosis dari PPOK cukup buruk,

karena PPOK tidak dapat disembuhkan secara permanen, 30% penderita dengan

sumbatan yang berat akan meninggal dalam waktu satu tahun, 95% meninggal

dalam waktu 10 tahun. Hal ini terjadi karena kegagalan napas, pneumonia, aritmia

jantung atau emboli paru (Tomas, 2011).

8. Penatalaksanaan Fisioterapi

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 65 Tahun 2015, Fisioterapi

adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan/atau

kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi

tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan penanganan secara

13
manual, peningkatan gerak, peralatan (physics, elektroterapeutis dan mekanis)

pelatihan fungsi, dan komunikasi. Proses Fisioterapi dibagi menjadi beberapa

tahap, antara lain:

a. Assesment Pasien dan Pemeriksaan Fisioterapi

Dilakukan mulai dari mengambil data subyektif maupun obyektif dari pasien

maupun keluarga yang berhubungan dengan masalah pasien terkait mengenai

fungsi dan gerak. Pada kasus kardiorespirasi, pemeriksaan yang dilakukan

adalah pemeriksaan tanda tanda vital seperti saturasi oksigen, denyut nadi,

frekuensi nafas, dan tekanan darah. Pemeriksaan dasar kardiorespirasi seperti

inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. Pemeriksaan khusus yang dapat diberikan

pada kasus kardiorespirasi seperti pemeriksaan ekspansi thorax, pemeriksaan

derajat sesak menggunakan borg scale, pemeriksaan kemampuan kapasitas paru

dengan spirometri, pengukuran kemampuan ekspirasi dengan peak flow meters,

pengukuran toleransi latihan atau endurance menggunakan 6 minutes walking

test.

b. Penegak Diagnosa

Diagnosis fisioterapi adalah suatu pernyataan yang mengambarkan keadaan

multi dimensi pasien/klien yang dihasilkan melalui analisis dan sintesis dari

hasil pemeriksaan dan pertimbangan klinis fisioterapi, yang dapat menunjukkan

adanya disfungsi gerak/potensi disfungsi gerak mencakup gangguan/kelemahan

fungsi tubuh, struktur tubuh, keterbatasan aktifitas dan hambatan

bermasyarakat. Diagnosis fisioterapi berupa adanya gangguan dan/atau potensi

gangguan gerak dan fungsi tubuh, gangguan struktur dan fungsi, keterbatasan

aktivitas fungsional dan hambatan partisipasi, kendala lingkungan dan faktor

personal, berdasarkan International Classification of Functioning, Disability

14
and Health (ICF) atau berkaitan dengan masalah kesehatan sebagaimana

tertuang pada International Statistical Classification of Diseases and Related

Health Problem (ICD-10).

Contoh permasalahan body and structure pada pasien kardiorespirasi adalah

“Spasme otot pernapasan (s43038)”. Contoh permasalahan body and function

pasien kardiorespirasi adalah “gangguan fungsi menghembuskan udara ke luar

paru-paru”, “Sesak nafas (b4402)”. Contoh permasalahan activity and

participation limitation pasien kardiorespirasi adalah “Ketidakmampuan

berjalan jauh (d450)”.

c. Perencanaan Fisioterapi

Fisioterapis melakukan perencanaan intervensi fisioterapi berdasarkan hasil

assesmen dan diagnosis fisioterapi, prognosis dan indikasi-kontra indikasi,

setidaknya mengandung tujuan, rencana penggunaan modalitas intervensi, dan

dosis, serta diinformasikan/dikomunikasikan kepada pasien/klien atau

keluarganya. Pada kasus pasien kardiorespirasi seperti PPOK, perencanaan

fisioterapi terfokus pada pengembalian tanda-tanda vital pasien yang normal

seperti respiration rate dan toleransi latihan, lalu menangani masalah ventilasi

pasien seperti memaksimalkan pengembangan paru pasien, serta

mengembalikan kemampuan fungsional pasien untuk melakukan aktivitas

sehari-hari.

d. Intervensi

Intervensi fisioterapi berbasis bukti mengutamakan keselamatan

pasien/klien, dilakukan berdasarkan program perencanaan intevensi dan dapat

dimodifikasi setelah dilakukan evaluasi serta pertimbangan teknis dengan

melalui persetujuan pasien/klien dan/atau keluarganya terlebih dahulu.

15
Intervensi fisioterapi adalah implementasi dan modifikasi teknologi fisioterapi

termasuk manual terapi, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutik

mekanik) pelatihan fungsi, penyedian alat bantu, pendidikan pasien, konsultasi,

dokumentasi, koordinasi dan komunikasi. Intervensi yang tepat pada kasus

PPOK adalah:

Positioning, yaitu memposisikan pasien ke posisi nyaman pada kondisi

sesak, yaitu posisi semi fleksi hip dan trunk. Tujuannya adalah agar pasien tidak

merasa sesak dan sulit bernafas pada posisi tegak.

Control breathing, yaitu teknik mengontrol pernapasan yang tujuannya untuk

mengatur pernapasan pada pasien sesak agar tidak terlalu cepat. Teknik

pernapasan ini mengatur pola nafas yang terlalu cepat agar lebih terkontrol

dengan pola 1:2 untuk inspirasi dan ekspirasi.

Teknologi intervesi yang diberikan pada kasus PPOK adalah pemberian

infrared. Pemberian terapi infrared pada pasien PPOK dapat membantu

memercepat proses penyembuhan pasien. Terapi infrared akan menghasilkan

panas yang menyebabkan pembuluh kapiler mengalami pembesaran, serta

meningkatkan suhu kulit dan memerbaiki sirkulasi darah di dalam tubuh.

Apabila sirkulasi darah di dalam tubuh menjadi lancar, maka tekanan jantung

akan semakin menurun.

e. Evaluasi

Evaluasi adalah pengukuran kembali hasil setelah dilakuakan intervensi

fisioterapi sehingga dapat melihat eberhasilan atau kecocokan intervensi yang

telah diberikan. Dilakukan oleh fisioterapis sesuai tujuan perencanaan

intervensi, dapat berupa kesimpulan, termasuk dan tidak terbatas pada rencana

16
penghentian program atau merujuk pada dokter/profesional lain terkait

(Permenkes 2015).

Bentuk evaluasi dan pengukuran yang dapat dijadikan acuan dalam

pelaksanaan tindakan fisioterapi pada kasus PPOK adalah pengukuran

kemampuan ekspansi thoraks dengan midline, lalu untuk sesak dapat

menggunakan skala borg, serta barthel index untuk mengukur kemampuan

fungsional.

17
BAB III

URAIAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

No. RM : 1022090605

Nama : Tn. IS

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tanggal Lahir : 21 Januari 1975 / 47 tahun

Alamat : Jl. Komud Supaido G. Hanura Cicendo

Agama : Islam

Pekerjaan : Driver Gas

Hobi : Jalan-jalan

Tangga Pemeriksaan : 10 Oktober 2022

Diagnosa medis : PPOK

B. ASSESMENT/ PEMERIKSAAN

1. Anamnesis

a. Keluhan Utama :

Pasien mengeluhkan sedikit sesak saat jalan jauh

b. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien mengalami sesak sejak 1 bulan terakhir dan sempat di rawat inap

selama 3 hari (22-25 september 2022) kemudian ke fisioterapi pada 3

oktober 2022, pasien juga merupakan perokok aktif dengan ± 1

bungkus/hari

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak ada riwayat penyakit dahulu

18
d. Riwayat Penykait Keluarga

Asma (ayah)

e. CAT/ ACT skor :

22 sedang

2. Pemeriksaan Umum

a. Kesadaran : Composmentis

b. Kooperatif/ Non Kooperatif

c. Tekanan Darah : 110/80 mmHg

d. Saturasi O2 : 93 %

e. Denyut Nadi : 92 x/menit

f. Pernapasan : 19 x/menit

g. Tinggi Badan : 159 cm

h. Berat Badan : 55 kg

i. IMT : 20,5 (sedang)

3. Pemeriksaan Fisioterapi

a. Inspeksi

1) Pasien datang dengan jalan sendiri

2) Pasien datang dengan wajah tampak lesu

3) Shoulder asiemtris dengan shoulder tampak lebih depresi

4) Protaction shoulder

5) Thorax dextra lebih tinggi

6) Eksipirasi yang tampak lebih memanjang dari pada inspirasi

7) Tampak hipertropi pada otot bantu napas terutama pada SCM

8) Tipe nafas dominan pada pernapasan dada

b. Palpasi

19
1) Ekspansi thorax sinistra lebih terbatas dari pada dextra

2) Spasme otot bantu napas (SCM)

c. Perkusi

1) Hipersonar pada paru sinitra

d. Auskultasi

Wheezing : bunyi mengi pada dada dextra dan sinistra

Ronchi : tidak terdapat bunyi ronchi

e. Tes Khusus FT Respirasi

1) Ekspansi Thorax

Inspirasi Ekspirasi Selisih


Upper 90 91,5 1,5 cm
Middle 87 88 1 cm
86,5
Lower 85 1,5 cm

2) Borg Scale : 2 (sedikit sesak)

3) Spirometri

FVC = 56%

FEV = 38 %

FEV.1/FVC = 57,50 %

4) Six Minute Walking Test

Jarak yang ditempuh 360 m

Prediksi Normal =496,22 m

C. DIAGNOSIS FISIOTERAPI

1. Body Structure and Function Impairment

a) Spasme otot bantu pernapasan (SCM)

b) Penurunan kapasitas paru

20
c) Gangguan pernapasan dengan ekspirasi lebih memanjang

d) Postur tubuh kifosis

2. Activity Limitation

a) Keterbatasan saat jalan jauh akibat adanya sesak

b) Keterbatasan saat naik turun tangga

3. Participation of Restriction

a) Aktivitas sosial terganggu seperti bekerja sebagai driver gas

4. Diagnosa Fisioterapi

Gangguan pernapasan saat jalan jauh dan naik turun tangga akibat sesak,

adanya spasme otot bantu napas (SCM), postur tubuh kifosis e.c PPOK

D. PROGRAM FISIOTERAPI

5. Tujuan

a. Jangka Pendek

1) Mengurangi sesak napas

2) Mengurangi dan mengeluarkan Sputum

3) Memperbaiki postur tubuh

4) Meningkatkan endurance

5) Merelaksasi otot bantu pernapasan (SCM)

6) Meningkatkan ekspansi thorax

b. Jangka Panjang

Mengoptimalkan kapasitas fungsional beraktivitas tanpa adanya keluhan

6. Tindakan Fisioterapi

a. MWD

Dosis :

21
F: 1 x seminggu, I : 60-80 watt (toleransi pasien), T : 15 menit, T:

continuous

Tujuan : untuk merelaksasi otot bantu pernapasan, mengurangi nyeri serta

meningkatkan suplai darah.

Prosedur : posisi pasien tidur terlentang, fisioterapis memasang elektroda

pada dada pasien, nyalakan MWD atur waktu dengan intensitas 60-80

(toleransi pasien), tanyakan pada pasien sudah terasa hangat atau belum

jika sudah selesai matikan alat serta rapikan kembali.

b. Breathing Control

Dosis : F: setiap hari I: 1x/hari T: 5-10 menit

Tujuan : untuk mengontrol pernapasan agar menambah kapasitas inspirasi,

mengurangi sesak napas, memperbaiki pola napas dan mengurangi kerja

otot-otot bantu pernapasan.

Prosedur : posisi pasien duduk tegak di kursi, fisioterapismencontohkan

dan menginstruksiakn pasien untuk meletakkan tangan kanannya di peut

sedangkan tangan kiri di dada. Pasien diminta untuk menarik napas dalam

dengan pelan melaluihidung dan mengembangkan bagian perut dan ditahan

selama 2-3 detik lalu hembuskan secara pelan melalui mulut.

c. Static Cycle

Dosis : F: 1x/minggu, I: sedang (70% dari HR max), T: 10-30 menit

Tujuan : menjaga kapasitas fungsional pasien

Prosedur : pasien secara aktif mengayuh sepeda satis dengan mengatur

napas dengan diafragma breathing.

22
7. Evaluasi

Rehabilitation Problem Solving Form

Name: Tn. IS Date: 10 – 10 – 2022

Health Condition:
Body, Function & Activities &
Structure Participation

Accordin Sesak sudah berkurang Masih sulit untuk


tetapi spasme otot bantu berjalan jauh
g to
pernapasan masih ada
Client
According to TD : 110/80 mmHg Pasien sudah mampu
Fieldworker HR : 92x/menit menjaga pernpasan dari
RR : 19x/menit sebelumnya
SpO2 : 93 %
Borg Scale : 2
Spasme otot sternocleidomastoideus
Ekspansi thoraks
 Upper : 90-91,5
 Middle : 87-88
 Lower : 85-86

Personal Factors Environmental


Factors
According to Pasien kooperatif Pasien tinggal Bersama
Client menggikuti latihan keluarganya

According to Pasien memiliki semangat Keluarga pasien


Fieldworker untuk sembuh membantu pasien
latihhan di rumah

23
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Hasil Pembahasan

Dari laporan kasus yang di buat, pasien dengan nama Tn. IS dengan usia 47

tahun yang didiagnosa PPOK merupakan pasien BBKPM Bandung. Keluhan utama

pasien yaitu mengeluhkan adanya sedikit sesak saat jalan jauh. Pasien datang

mandiri tanpa menggunakan alat bantu. Penulis melakukan beberapa pemeriksaan

untuk menunjang diagnosa tersebut dari inpeksi, palpasi, perkusi, pengukuran

ekspansi thoras, uji spirometri serta uji 6 mwt. Kemudian memberikan intervensi

berupa MWD, breathing control, serta static cycle.

Setelah dilakukan intervensi fisioterapi, didapatkan bahwa terdapat

penurunan sesak yaitu 2 menjadi nilai 1, terdapat peningkatan pada saturasi

oksigen pasien yang semula 93% berubah menjadi 95%. Penulis memberikan home

program berupa breathing control menggunakan diafragma breathing, correct

posture, serta streatching pada otot yaang spasme otot sternocleidomastoideus.

Perubahan tidak signifikan ini terjadi karena karena hanya dilakukan satu kali

intervensi.

B. Keterbatasan

Keterbatasan yang terdapat pada penatalaksanaan fisioterapi pada kasus PPOK

yaitu berupa keterbatasan waktu dalam pemeriksaan dan pemberian intevensi

kepada pasien sehingga data yang terkumpulkan kurang lengkap. Selain itu

terdapat keterbatasn dalam pencarian teori materi literatur untuk pengkajian teori.

24
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penatalksanaan fisioterapi pada TN. IS dengan diagnosa PPOK

pasien di BBKPM Bandung. Saat pertemuan pertama kondisi pasien mengeluhkan

sedikit sesak saat jalan jauh dengan mengetahui keluhan tersebut dilakukan

beberapa pemeriksaan yang menunjang kondisi tersebut dan melakukan intevensi

yakni berupa MWD, breathing control, serta static cycle. Pemberian intervensi

tersebut bertujuan untuk mengurangi sesak dan meningktkan encurance pasien.

B. Saran

1. Bagi Pasien

Diharapkan pasien menjalankan edukasi dan home proram yang diberikan

sehingga bermanfaat untuk kondisi pasien.

2. Bagi Keluraga

Diharapkan keluarga berperan aktif dalam menjalani edukasi dan home program

yang sudah diberikan serta menjalani pola hidup yang sehat.

3. Bagi Profesi Fisioterapi

Diharapkan dapat memberikan program latihan yangtepat untuk kasus PPOK

dan mengaanalisa kembali perkembangan kondisi pasien agar tercapainya

tujuan yang diharapkan sesuai dengan intevensi yang diberikan dan meyiapkan

cataatan tentang prosedur, pengukuran dan intervensi agar tidka ada yang

terlewatkan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Immawati. Purwono, Janu., Setiawan, Anggi. 2021. Penerapan Fisioterapi Dada dan
Nebulizer Dalam Meningkatkan Saturasi Oksigen Pada Pasien PPOK. Jurnal
Cendikia Muda 1(1): 6-12.
Nur, W. K. (2015). Efektifitas Batuk Efektif dan Fisioterapi Dada Pagi dan Siang Hari
terhadap Pengeluaran Sputum Pasien Asma Bronkial Di RS Paru dr.Ario
Wirawan Salatiga. Jurnal Keperawatan.
Endrianti, Ericha., Immawati, Purwono Janu. 2021. Penerapan Pursed Lip Breathing
Execercise Untuk Mengatasi Masalah Keperawatan Pola Napas Tidak Efektif
Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Jurnal Cendikia Muda
1(1): 52-59.
Soeroto, A. Y., & Suryadinata Hendrasyah. 2014. Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
The Indonesian Journal Chest & Critical Emergency Medicine 1(2):83-88.

WHO. (2017). Chronic Obstructive disease (COPD), diunduh pada 21 Maret 2022, dari
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/chronic-obstructive-
pulmonary-disease-(copd).
Kemeskes RI. (2018). Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan : Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK).
Medical Record. (2022). Rumah Sakit Paru Dr. M. Goenawan Partowidigdo.

Abidin, Zainal., Ardianto, Rio., Purnomo, Didik. 2017. Pengaruh Nebulizer, Infrared, dan
Terapi Latihan Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) ET Causa Asma
Bronkial. Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi 1(2): 60-69
Thinyane K.H and Cooper Varsay J.L. (2017). Epidemiology of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) in Lesotho. Journal Pulmonary and Respiratory
Medicin 7(3): 55.

Sitorus, Lubis, & Kristiani. (2018). Penerapan batuk efektif dan fisioterapi dada pada
pasien TB Paru yang mengalami ketidakefektifan bersihan jalan napas di RSUD
Koja Jakarta Utara. JAKHKJ, 4(2).
Tahir, R. (2019). Fisioterapi Dada Dan Batuk Efektif Sebagai Penatalaksanaan
Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas Pada Pasien TB Paru Di RSUD Kota
Kendari. Health Information, 11(1).

26
Padila. (2012). Buku Ajar keperawatan Medikal bedah. Yogyakarta : Nuha Medika.

Inal-Ince, D., & Cakmak, A. (2020). Kinesiology of respiration. In Comparative


Kinesiology of the Human Body. INC. https://doi.org/10.1016/b978-0-12-
812162-7.00019-9.
GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention: A Guide for
Healthcare Professionals. 2017 ed. Sydney: Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease Inc.; 2017.

27

Anda mungkin juga menyukai