Anda di halaman 1dari 39

ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF PADA PASIEN DENGAN

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Paliatif

Disusun Oleh :

Sumardi

22.21.0024

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN INDONESIA WIRAUTAMA BANDUNG

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat taufik dan
hidayah-Nya, laporan ini dapat di selesaikan. Laporan ini sendiri dibuat guna
memenuhi salah satu tugas kuliah dari dosen mata kuliah Keperawatan Paliatif
dengan judul “ Asuhan Keperawatan Paliatif pada Pasien Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK)”. Dalam penulisan laporan ini penyusun berusaha
menyajikan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh para pembaca.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna dan masih
banyak kekurangan. Oleh karenanya, penyusun menerima kritik dan saran yang
positif dan membangun dari rekan-rekan pembaca untuk penyempurnaan laporan
ini. Penyusun juga mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-rekan yang
telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Garut, 11 Mei 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang.............................................................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................................2

C. Tujuan...........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

A. Definisi PPOK..............................................................................................3

B. Klasifikasi PPOK.........................................................................................3

C. Etiologi.........................................................................................................4

D. Manisfestasi Klinis.......................................................................................4

E. Patofisiologi..................................................................................................5

F. Pemeriksaan Penunjang................................................................................6

G. Komplikasi PPOK........................................................................................7

H. Penatalaksanaan...........................................................................................8

I. Konsep Dasar Keperawatan........................................................................10

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN................................................................24

A. Pengkajian..................................................................................................24

B. Analisa Data...............................................................................................25

C. Diagnosa Keperawatan...............................................................................26

D. Perencanaan................................................................................................27

E. Pelaksanaan Dan Evaluasi..........................................................................31

BAB IV PENUTUP...............................................................................................34

A. Kesimpulan................................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................iv

ii
BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit paru obstruktif Kronis (PPOK) merupakan istilah lain
dari beberapa jenis penyakit paru-paru yang berlangsung lama atau
menahun, ditandai dengan meningkatnya resistensi terhadap aliran
udara (Maisaroh, 2018)
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu
kelompok penyakit tidak menular yang menjadi masalah di bidang
kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia. PPOK adalah penyakit
inflamasi kronik pada saluran napas dan paru yang ditandai oleh
adanya hambatan aliran udara yang bersifat persisten dan progresif
sebagai respon terhadap partikel atau gas berbahaya. Karakteristik
hambatan aliran udara PPOK biasanya disebabkan oleh obstruksi
saluran nafas kecil (bronkiolitis) dan kerusakan saluran parenkim
(emfisema) yang bervariasi antara setiap individu (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia dalam Agustin, 2017). Pada umumnya penyakit
ini dapat dicegah dan diobati (Suyanto dalam Agustin, 2017).
PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan
interaksi genetik dengan lingkungan. Adapun faktor penyebabnya
adalah: merokok, polusi udara, dan pemajanan di tempat kerja
(terhadap batu bara, kapas, padi-padian) merupakan faktor-faktor
resiko penting yang menunjang pada terjadinya penyakit ini. Prosesnya
dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20 tahunan. (Smeltzer dan Bare
dalam Rahmadi, 2015. Penyakit ini juga mengancam jiwa seseorang
jika tidak segera ditangani (Smeltzer dan Bare dalam Rajmadi, 2015).
Angka kejadian PPOK di Indonesia cukup tinggi dengan
menggambil beberapa sempel di daerah DKI Jakarta 2,7%, Jawa Barat
4,0%, Jawa Tengah 3,4%, DI Yogyakarta 3,1%, Jawa Timur 3,6% dan
Bali 3,6%. Hasil wawancara pada peserta umur kurang lebih 30 tahun

1
berdasarkan gejala. Dalam kasus PPOK laki-laki cenderung lebih
tinggi di banding perempuan dan lebih tinggi pedesaan di banding
perkotaan (Kemenkes dalam Agustin, 2017). World Health
Organizatiton (WHO) memperkirakan pada tahun 2020 yang akan
datang angka kejadian PPOK akan mengalami peningkatan dan
menduduki dari peringkat 6 menjadi peringkat 3 sebagai penyebab
kematian tersering (Ikawati dalam Agustin, 2017).
Berdasarkan Latar belakang di atas terlihat bahwa angka
kejadian penderita PPOK semakin meningkat setiap tahun, maka kami
sebagai penyusun makalah tertarik untuk membuat “Asuhan
Keperawatan pada Pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis”
untuk menambah wawasan bagi mahasiswa Keperawatan maupun
untuk pembaca lain agar menambah ilmu pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan Paliatif pada Pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
C. Tujuan
1. Memahami tentang definisi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi,
pemeriksaan diagnosa dan penatalaksanaan pada pasien PPOK.
2. Memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi PPOK
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive
Pulmunary Disease (COPD) adalah penyakit yang dicirikan oleh
keterbatasan aliran udara yang tidak dapat pulih sepenuhnya. Keterbatasan
aliran udara biasanya bersifat progresif dan dikaitkan dengan respons
inflamasi paru yang abnormal terhadap partikel atau gas berbahaya, yang
menyebabkan penyempitan jalan napas, hipersekresi mukus, dan
perubahan pada sistem pembuluh darah paru (Brunner & Suddarth, 2013)
Penyakit Paru Obstuktif Kronis (Chronic obstructive pulmonary
disease – COPD) merupakan istilah yang sering digunakan untuk
sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya.
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan penyakit
paru- paru yang ditandai dengan penyumbatan pada aliran udara dari paru-
paru. Penyakit ini merupakan penyakit yang mengancam kehidupan dan
mengganggu pernafasan normal (WHO dalam Maisaroh, 2018).

B. Klasifikasi PPOK
PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat, menurut Global
Initiative for Chronic Obstructuve Lung Disease (GOLD) dalam Rahmadi
tahun 2015, yaitu:
1. Derajat 0 (beresiko)
Gejala klinis : memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi
sputum, dan dispnea, terdapat paparan faktor resiko, sprirometri : normal.
2. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala Klinis : batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering.
Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa menderita PPOK.
3. Derajat II (PPOK sedang)

3
Gejala Klinis : sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan
gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai
memeriksakan kesehatannya.
4. Derajat III (PPOK Berat)
Gejala Klinis : sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan
serangan eksasernasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup
pasien
5. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala Klinis : Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas atau gagal
jantung kanan dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup
pasien memburuk dan jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa biasanya
disertai gagal napas kronik.
C. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) menurut Mansjoer (2008) dan Ovedoff (2006) dalam Rahmadi
(2015) adalah :
1. Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi.
2. Faktor Usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya
fungsi paru-paru bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan.
3. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia, bronkitis, dan asma
orang dengan kondisi ini berisiko mendapat PPOK.
4. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang
normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang
kekurangan enzim ini dapat terkena empisema pada usia yang relatif
muda, walau pun tidak merokok.
D. Manisfestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis menurut Reeves (2001) dalam Rahmadi (2015) adalah :
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK
adalah malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya
ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang makin
menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi
nafas pendek

4
akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok)
memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak
yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan
kehilangan berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien
tersebut tidak akan mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas
rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien
mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu
melakukan kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan
berat badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan
karena produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan
tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan
pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem
(GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak
kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan
pernafasan.
E. Patofisiologi

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-


komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil
mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami
kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan pada sel-sel
penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris
dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat
persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen.
Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat
dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang
kental dan adanya peradangan. (Jackson dalam Rahmadi, 2015).

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya


peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak strukturstruktur penunjang di paru. Akibat hilangnya

5
elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.
Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal
terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi.
Dengan demikian apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan
terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps. (Grece & Borley
dalam Rahmadi, 2015).

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Somantri (2009) antara lain :
a. Chest X-Ray : dapat menunjukan hiperinflation paru, flattened diafragma,
peningkatan ruang udara restrotenal, penurunan tanda vaskuler/bullae
(emfisema), peningkatan suara bronkovaskular (bronkitis), normal
ditemukan saat periode remisi (asma).
b. Pemeriksaan Fungsi Paru : dilakukan untuk menentukan penyebab
dispnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi
atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi, dan mengevaluasi efek
dari terapi, misalnya bronkodilator.
c. Total Lung Capacity (TLC) : meningkat pada bronkitis berat dan biasanya
pada asma, namun menurun pada emfisema.
d. Kapasitas Inspirasi : menurun pada emfisema.
e. FEV1/FVC : rasio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan
kapasitas vital (FVC) menurun pada bronkitis dan asma.
f. Arterial Blood Gasses (ABGs) : menunjukan proses penyakit kronis,
sering kali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkitis
kronis dan emfisema), tetapi sering kali menurun pada asma, pH normal
atau asidosis, alkalosis repiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi
(emfisema sedang atau asma).
g. Bronkogram : dapat menunjukan dilatasi dari bronki saat inspirasi, kolaps
bronkial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus
(bronkitis).
h. Darah Lengkap : terjadi peningkatan hemoglobin (emfisema berat) dan
eosinofil (asma).

6
i. Kimia Darah : alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisema
primer.
j. Sputum Kultur : untuk menentukan adanya infeksi dan mengidentifikasi
patogen, sedangkan pemeriksaan sitologi digunakan untuk menentukan
penyakit keganasan atau alergi.
k. Elektrokardiogram (EKG) : deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asma
berat), atrial distritmia (bronkitis), gelombang P pada leads II, III, dan
AVF panjang, tinggi (pada bronkitis dan emfisema), dan aksis QRS
vertikal (emfisema).
l. Exercise EKG, Stress test : membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi
pernapasan, mengevaluasi keefektifan obat bronkodilator, dan
merencanakan/evaluasi program.
G. Komplikasi PPOK
Menurut Irman Sumantri (2009), Komplikasi PPOK yaitu :
a. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 < 55 mmHg,
dengan nilai saturasi oksigen < 85%. Pada awalnya klien akan mengalami
perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap
lanjut akan timbul sianosis.
b. Asidosis Respiratori
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang
muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, letargi, dizzines, dan takipnea.
c. Infeksi Respiratori
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus
dan rangsangan otot polos bronkial serta edem mukus. Terbatasnya aliran
udara akan menyebabkan peningkatan kerja napas dan timbulnya dispnea.
d. Gagal Jantung
Terutama kor pulmonl (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dispnea berat. Komplikasi ini
sering kali berhubungan dengan bronkitis kronis, tetapi klien dengan
emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
e. Kardiak Disritma

7
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratori.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma brokial.
Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering kali
tidak berespons terhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot
bantu pernapasan dan distensi vena leher sering kali terlihat pada klien
dengan asma.
H. Pentalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Mansjoer dalam Rahmadi (2015) adalah :
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini
umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka
digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman
penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang
memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin
pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat
penyembuhan dam membantu mempercepat kenaikan peak flow rate.
Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat
infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic
yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan
adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau
ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer
atau aminofilin 0,25- 0,5 g iv secara perlahan.

8
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-
0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap
pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif
dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II
dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri
dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari
depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis
adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.

Asih dalam Rahmadi (2015) menambahkan penatalaksanaan medis


pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :

a. Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab


dan edukasi atau penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan
medis asma adalah untuk meningkatkan fungsi normal individu, mencegah
gejala kekambuhan, mencegah serangan hebat, dan mencegah efek
samping obat. Tujuan utama dari berbagai medikasi yang diberikan untuk
klien asma adalah untuk membuat klien mencapai relaksasi bronkial
dengan cepat, progresif dan berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa
inflamasi adalah merupakan proses fundamental dalam asma, maka
inhalasi steroid bersamaan preparat inhalasi beta dua adrenergik lebih
sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid memastikan bahwa obat
mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan efek samping
yang berkaitan dengan steroid oral. Direkomendasikan bahwa inhalasi beta
dua adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk membuka jalan nafas,
kemudian inhalasi steroid akan menjadi lebih berguna.

9
b. Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada
pemeriksaan fisik, radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas
darah. Pemeriksaan ini mencerminkan sifat progresif dari penyakit.
Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis adalah pencegahan, karena
perubahan patologis yang terjadi pada penyakit ini bersifat tidak dapat
pulih (irreversible). Ketika individu mencari bantuan medis untuk
mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian besar.

Jika individu berhenti merokok, progresif penyakit dapat ditahan.


Jika merokok dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis
dapat menurun dan pada akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok.
Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi fisik dada diterapkan sesuai yang
dibutuhkan. Penyuluhan kesehatan untuk individu termasuk konseling
nutrisi, hygiene respiratory, pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan
teknik yang meredakan dispnea, seperti bernafas dengan bibir
dimonyongkan, beberapa individu mendapat terapi antibiotik profilaktik,
terutama selama musim dingin. Pemberian steroid sering diberikan pada
proses penyakit tahap lanjut (Rahmadi, 2015).

I. Konsep Dasar Keperawatan


a. Pengkajian
1. Biodata
Penyakit PPOK (Asma bronkial) terjadi dapat menyerang seagala usia
tetapi lebih sering di jumpai pada usia dini. Separuh kasus timbul
sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia
40 tahun. Predisposisi laki-laki dan perempuan di usia dini sebesar 2:1
yang kemudian sama pada usia 30 tahun.
2. Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
Keluhan utama yang timbul pada klien dengan sama bronkial adalah
dispnea (bias sampai berhari-hari atau berbulan-bulan),batuk,dan
mengi (pada beberapa kasus lebih banyak paroksismal).
b) Riwayat kesehatan dahulu

10
Terdapat data yang menyatakan adanya faktor predisposisi
timbulnya penyakit ini, di antaranya adalah riwyat alergi dan riwayat
penyakit saluran napas bagian bawah ( rhinitis, urtikaria, dan eksim).
c) Riwayat kesehatan keluarga
Klien dengan asma bronkial sering kali di dapatkan adanya riwayat
penyaakit keturunan, tetapi pada beberapa klien lainnya tidak di
temukan adanya penyakit yang sama pada anggota keluarganya.
3. Pengkajian diagnostic COPD
a) Chest X- Ray :dapat menunjukkan hyperinflation paru, flattened
diafragma, peningkatan ruangan udara retrosternal, penurunan
tanda vascular / bullae ( emfisema ), peningkatan suara
bronkovaskular ( bronchitis ), normal ditemukan saat periode
remisi ( asma ).
b) Pemeriksaan fungsi paru : dilakukan untuk menentukan
penyebab dispnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut
apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat
disfungsi, dan mengevaluasi efek dari terapi, misalnya
bronkodilator.
c) Total lung capacity (TLC ) : meningkat pada bronkitis berat dan
biasanya pada asma, namun menurun pada emfisema.
d) Kapasitas inspirasi : menurun pada emfisema.
e) FEV1/FVC : rasio tekanan volume ekspirasi ( FEV ) terhadap
tekanan kapasitas vital ( FVC ) menurun pada bronkitis dan asma.
f) Arterial blood gasses (ABGs) : menunjukan prose penyakit
kronis, sering kali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau
meningkatkan ( bronkitis kronis dan emfisema ), terapi sering kali
menurun pada asma, Ph normal atau asidosis, alkalosis respiratori
ringan sekunder terhadap hiperventilasi ( emfisema sedang atau
asma).
g) Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronki saat
inspirasi, kolabs bronkial pada tekanan ekspirasi( emfisema ),
pembesaran kelenjar mucus( brokitis).

11
h) Darah lengkap : terjadi peningkatan hemoglobin ( emfisema
berat) dan eosinophil (asma).
i) Kimia darah : alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang pada
emfisema perimer.
j) Skutum kultur : untuk menentukan adanya infeksi dan
mengidentifikasi pathogen, sedangkan pemeriksaan sitologi
digunakan untuk menentukan penyakit keganasan/ elergi.
k) Electrokardiogram (ECG) : diviasi aksis kanan, glombang P
tinggi ( asma berat), atrial disritmia ( bronkitis), gelombang P
pada leadsII, III, dan AVF panjang, tinggi( pada bronkitis dan
efisema)
, dan aksis QRS vertical (emfisema).
l) Exercise ECG , stress test :membantu dalam mengkaji tingkat
disfungsi pernafasan, mengevaluasi keektifan obat bronkodilator,
dan merencanakan/ evaluasi program.
4. Pemeriksaan fisik
Objektif
a) Batuk produktif/nonproduktif
b) Respirasi terdengar kasar dan suara mengi (wheezing) pada
kedua fase respirasi semakin menonjol.
c) Dapat disertai batuk dengan sputum kental yang sulit di keluarka.
d) Bernapas dengan menggunakan otot-otot napas tambahan.
e) Sianosis, takikardi, gelisah, dan pulsus paradoksus.
f) Fase ekspirasi memanjang diseratai wheezing( di apeks dan hilus
)
g) Penurunan berat badan secara
bermakna. Subjektif
Klien merasa sukar bernapas,sesak dan anoreksia
 Psikososial
a) Cemas, takut, dan mudah tersinggung.
b) Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi penyakitnnya
c) Data tambahan (medical terapi)
 Bronkodilator

12
Tidak digunakan bronkodilator oral, tetapi dipakai secara
inhalasi atau parenteral. Jika sebelumnya telah digunakan
obat golongan simpatomimetik, maka sebaiknya diberikan
Aminophilin seacara parenteral, sebab mekanisme yang
berlainan, demikian pula sebaliknya, bila sebelmnya telah
digunakan obat golongan Teofilin oral, maka sebaiknya
diberikan obat golongan simpatomimetik secara aerosol atau
parenteral.
Obat obatan bronkodilator golongan simpatomimetik
bentuk selektif terhadap adrenoreseptor ( orsiprendlin,
salbutamol, terbutalin, ispenturin, fenoterol) mempunyai sifat
lebih efektif dan masa kerja lebih lama serta efek samping
kecil dibandingkan dengan bentuk non selektif (adrenalin,
Efedrin, Isoprendlin)
Obat-obat bronkodilator serta aerosol bekerja lebih cepat dan
efek samping sistemiknya lebih kecil. Baik digunakan untuk
sesak napas berat pada anak-anak dan dewasa. Mula-mula
deberikan dua sedotan dari Metered Aerosol Defire
(AfulpenMetered Aerosol ). Jika menunjukkan perbaikan
dapat diulang setiap empat jam, jika tidak ada perbaikan
dalam 10-15 menit setelah pengobatan, maka berikan
Aminophilin intravena
Obat-obat bronkodilator simpatomimetik memberi efek
samping takikardi, penggunaan parenteral pada orang tua
harus hati-hati, berbahaya pada penyakit hipertensi,
kardiovaskuler, dan serebrovaskuler. Pada dewasa dicoba
dengan 0,3 ml larutan epinefrin 1 : 1000 secara subkutan.
Pada anak-anak 0,01 mg /KgBB subkutan (1 mg per mil)
dapat diulang setiap 30 menit untuk 2-3 kali sesuai kebutuhan
.
Pemberian Aminophilin secara intravena denagn dosis awal
5- 6 mg/KgBB dewasa/ anak-anak, disuntikkan perlahan
dalam 5-10 menit, untuk dosis penunjang dapat diberikan

13
sebanyak

14
0-9 mg/kgBB/jam secara intravena. Efek sampingnya tekanan
darah menurun bila tidak dilakukan secara perlahan.
Kortikosteroid
Jika pemberian obat-obat bronkodilator tidak
menunjukkan perbaikan, maka bisa dilanjutkan deagan
pengobatan kortikosteroid, 200 mg hidrokortison secara oral
atau dengan dosis 3-4 mg/KgBB intravena sebagai dosis
permulaan dan dapat diulang 2-4 jam secara parental sampai
serangan akut terkontrol,dengan diikuti pemberian 30-60 mg
prednison atau dengan dosis 1-2 mg/KgBB/hari secara oral
dalam dosis terbagi, kemudian dosis dikurangi secara
bertahap Pemberian oksigen
Oksigen dialirkan melalui kanul hidung dengan
kecepatan 2-4 liter/menit , menggunakan air (humidifier)
untuk memberiakan pelembapan. Obat eksfektoran seperti
gliserolguaiakolat juga dapat digunakan untuk memperbaiki
dehidrasi, oleh karena itu intake cairan per oral infus harus
cukup sesuai dengan prinsip.
Beta Agonis
Beta agonis ( β–adrenergic agents) merupakan pengobatan
awal yang digunakan dalam penatalaksanaan penyakit asma,
dikarenakan obat ini berekrja dengan cara mendilatsikan otot
polos ( vasedilator). Andrenerigic agent juga meningkatkan
pergerakan siliari , menurunkan mediator kimia anafilaksis,
dan dapat meningkatan efek bronkodilatasi dari
kortikosteroid. Andrenergic yang sering digunakan antara
lain epinefrin, albuterol, metaproterenol, isoproterenol,
isoetarin, dan terbutalin. Biasanya diberikan secara parenteral
atau inhalasi. Jalan inhalasi merupakan salah satu pilihan
dikarenakan dapat mempengaruhi secara langsung dan
mempunyai efek samping yang lebih kecil.

15
b. Intervensi keperawatan

Diagnosis Keperawatan Perencanaan


No. Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Rasional
1. Bersihan jalan nafas Status respirasi: a. Manajemen jalan Adanya
tidak efektif kepatenan jalan napas. perubahan
berhubungan dengan nafas dengan skala b. Penurunan fungsi respirasi
 Bronkospasme. (1-5) setelah kecemasan dan penggunaan
 Peningkatan diberikan c. Aspiration otot tambahan
produksi secret perawatan precautions. menandakan
(secret yang selama…hari, d. Fisioterapi dada. kondisi penyakit
bertahan, kental) dengan kriteria: e. Latih batuk yang masih
 Menurunya  Tidak ada efektif harus
energi/fatigue demam f. Terapi oksigen. mendapatkan
 Tidak ada g. Pemberian posisi. penanganan
Ditandai dengan: cemas h. Monitoring penuh.
 Klien mengeluh  RR normal respirasi.
sulit bernafas.  Irama nafas i. Monitoring tanda Ketidakmampua
 Perubahan normal vital. n mengeluarkan
kedalaman/jumla  Pergerakan mukus
h napas, sputum keluar menjadikan
penggunaan otot dari jalan nafas timbulnya
bantu pernafasan.  Bebas dari suara kongesti
 Suara nafas nafas tambahan. berlebih pada
abnormal seperti saluran
wheezing, ronchi, pernapasan .
dan cracles.
 Batuk Posisi semi/ high
(presisten)dengan fowler
/tanpa produksi memberikan
sputum. kesempatan
paru-paru

16
berkembang
secara maksimal
akibat diafragma
turun ke bawah.
Batuk efektif
mempermudah
ekspektorasi
mukus.

Klien dalam
kondisi sesak
cenderung untuk
bernapas melalui
mulut yang pada
akhirnya jika
tidak
ditindaklanjuti
akan
mengakibatkan
stomatis.
2. Gangguan pertukaran gas Status respirasi a. Manajemen asam
yang berhubungan pertukaran gas basa tubuh Kelemahan,
dengan: dengan skala….(1- b. Manajemen jalan iritable, bingung
 Kurangnya suplai 5) setelah diberikan napas dan somnolen
oksigen (obstruksi perawatan c. Latihan batuk dapat
jalan napas oleh selama… hari efektif merefleksikan
secret, dengan kriteria : d. Tingkatkan adanya
bronkospasme, air  Status aktivitas hipoksemia/pen
trapping); mental e. Terapi oksigen urunan
 Destruksi alveoli dalam batas f. Monitoring oksigenasi
Ditandai dengan normal respirasi serebral.
 Dyspnea

17
 Confusion,lemah;  Bernapas g. Monitoring tanda
 Tidak mampu dengan vital Mencegah
mengeluarkan mudah kelelahan dan
secret;  Tidak ada mengurangi
 Nilai ABGs sinosis konsumsi
abnormal (hipoksia  Pao paco oksigen untuk
dan hiperkapnea) dalam batas memfasilitasi
 Perubahan tanda normal resolusi infeksi.
vital  Saturnasi O
 Menurunya dalam Pemberian terapi
toleransi terhadap rentang oksigen untuk
aktivitas normal memelihara
PaO2 di atas 60
mmHg, oksigen
yang diberikan
sesuai dengan
toleransi dari
klien.

Untuk mengikuti
kemajuan proses
penyakit dan
memfasilitasi
perubahan
dalam terapi
oksigen.

3 Ketidakseimbangan Status nutrisi; a. Manajemen


nutrisi : intake cairan dan cairan Meningkatkan
makanan gas b. Monitoring kenyamanan
dengan skala (1- cairan flora normal

18
Kurang dari kebutuhan 5) setelah diberikan c. Status diet mulut, sehingga
tubuh yang berhubungan perawatan d. Manajemen akan
dengan : selama…. Hari gangguan meningkatkan
 Dispea, dengan kriteria; makan perasaan nafsu
fatique  Asupan e. Manajemen makan.
 Efek makanan nutrisi
samping adekuat f. Kolaborasi Meningkatkan
pengobatan dengan skala.. dengan ahli intake makanan
 Produksi (1-5) gizi untuk dan nutrisi klien
sputum  Intake cairan memberikan terutama kadar
 Anoreksia, per oral terapi nutrisi protein tinggi
nausea/vomit adekuat, g. Konseling akan
ing. dengan skala nutrisi meningkatkan
Ditandai dengan …(1-5) h. Kontroling mekanisme
 Penurunan  Intake cairan nutrisi tubuh dalam
berat badan adekuat dilakukan proses
 Kehilangan dengan untuk penyembuhan.
masa otot, skala… (1-5) memenuhi
tonus otot diet pasien. Menentukan
jelek Status nutrisi intake i. Terapi kebutuhan
 Dilaporkan nutrien gas dengan menelan nutrisi yang
adanya skala … (1-5) j. Monitoring tepat bagi klien.
perubahan setelah diberikan tanda vital Mengontrol
sensasi rasa perawatan k. Bantuan keefektifan
 Tidak bernafsu selama… untuk tindakan
untuk makan,  Intake kalori peningkatan terutama dengan
tidak tertarik adekuat,denga BB kadar protein
makan n skala.. (1-5) l. Manajemen darah.
 Intake protein, berat badan
karbohidrat, Meningkatkan
dan lemak komposisi tubuh
adekuat, akan kebutuhan

19
dengan skala vitamin dan
…(1-5) nafsu makan
klien.
Control berat badan
dengan skala … (1-
5) setelah diberikan
perawatan selama
… hari dengan
kriteria:
 Mampu
memelihara
intake kalori
secara optimal
(1-5)
(menunjukkan)
 Mampu
memelihara
keseimbangan
cairan (1-5)
(menunjukkan)

 Mampu
mengontrol
asupan makanan
secara adekuat
(1-5)
(menunjukkan)

20
No. Diagnosa Perencanaan
keperawatan Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Rasional
4. Intoleransi  Berpartisipasi  Kolaborasi Mengurangi stres dan
aktifitas b.d dalam aktivitas dengan tenaga stimulasi yang
ketidakseimbagan fisik tanpa disertai rehabilitasi berlebihan,
antara suplai dan peningkatan darah, medik dalam meningkatkan
kebutuhan nadi dan RR. merencanaakan istirahat
oksigen.  Mampu melakukan program terapi
aktivitas sehari-hari yang tepat Klien mungkin
(ADLs) secara  Bantu klien merasa nyaman dalam
mandiri. untuk kepala dalam keadaan

 Tanda-tanda vital mengidentifikasi evalasi, tidur di kursi

normal. aktivitas yang atau istiirahat pada


mampu meja dengan bantuan
 Energi psikomotor.
dilakukan. bantal
 Level kelemahan.
 Mampu berpindah:  Bantu utuk
memilih Meminimalkan
dengan atau
kelelahn dan
menggunakan alat. aktivitas yang
menolong
 Status sesuai dengan
menyeimbangkan
kardiopulmoari kemampuan
suplai oksigen dan
adekuat. fisik, sosial dan
kebutuhan.
 Sirkulasi status psikologi.

baik.  Bantu utuk

 Status respirasi: mengidetifikasi

pertukara gas da dan

vetilasi adekuat. mendapatkan


sumber yang
diperlukan untuk
aktivitas yang
diinginkan
 Bantu klien
untuk

21
mendapatkan
alat bantuan
aktivitas seperti
kursi roda, krek
 Bantu untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang
disukai
 Bantu klien
membuat jadwal
latihan diwaktu
luang
 Bantu
pasien/keluarga
untuk
mengidentifikasi
kekurangan
dalam
beraktivitas
 Sediakan
penguatan
positif bagi yang
aktif beraktivitas
 Bantu pasien
untuk
mengembangkan
motivasi diri dan
penguatan
 Monitor respon
fisik,emosi,
sosial dan
spiritual.

22
5. Risiko tinggi  Tidak muncul tanda  Monitor vital  Selama peride
penyebaran tanda infeksi sign, terutama ini, potensial
infeksi yang b.d sekunder. pada proses berkembang
penyakit kronis .  Klien dapat terapi. menjadi
mendemonstrasikan  Demonstrasikan komplikasi
kegiatan untuk teknik mencuci yang lebih
menghindarkan yang benar. fatal( hipotens
infeksi.  Ubah posisi dan i /
berikan shock ).
pulmonari toilet  Sangat efektif
yang baik. untuk
 Batasi mengurangi
pengunjung atas penyebaran
indikasi. infeksi .
 Lakukan isolasi  Meningkatkan
sesuai dengan ekspektorasi,
kebutuhan membersihkan
individual. dari infeksi.
 Anjurkan untuk  Mengurangi
istirahat secara paparan
adekuat dengan
sebanding organisme
dengan aktifitas, patogen lain.
tingkatkan  Isolasi
intake nutrisi mungkin
secara adekuat. dapat
mencegah
penyebaran
atau
memproteksi
klien dari

23
proses infeksi
lainya.
 Memvasilitasi
proses
pengembuhan
dan
meningkatkan
pertahanan
tubuh alami.

24
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
1) Nama Pasien : Tn T
2) Tempat Tgl Lahir : Yogja 10-mei-1950
3) Jenis Kelamin : Laki
4) Agama : Islam
1. Data Objektif
a. Kesadaran kompos mentis, GCS: E4-M5V6
b. Pasien terlihat sering menundukan kepala, kontak mata kurang dan
meminta agar penyakitnya jangan disampaikan kepada keluarga dengan
alasan tidak mau merepotkan keluarga.
c. Hasil pengkajian
Kesadaran : Compos Mentis, TB = 167 cm, BB = 75 Kg, TD = 130/100
mmHg, Nadi = 88 x/mnt, Suhu = 36 °C, RR = 25 x/mnt, Dada Inspeksi
Bentuk dada normal : diameter anterior posterior-transversal=1:2
Auskultas Terdengan bunyi ronchi + Perkusi : di temukan sonor tympani
di sisi kiri Palpasi: tidak ada nyeri tekan. Jantung Inspeksi :bentuk dada
normal semetris Auskultasi :Bj 1 (S1): Penutup katup mitral dan triku Bj
II(S2); Penutup katup aorta dan pulmonal=DUB S1-SII 1 detik SI lebih
kera dari SII Perkusi : di temukan sonor tympani di sisi kiri Palpasi: letak
ictus cordis nomal.tidak ada pembengkakan.
2. Data Subjektif
pasien mengeluh berdebar-debar,bila kecapekan melakukan kegiatan berat.
Selama Sakit Keadaan aktivitas sehari – hari ktivitas di bantu keluarga.
Napas terasa sesak. Pasien sudah menikah dan bekerja sebagai tukang
tambal ban. Selain itu pasien mengatakan khawatir dengan penyakitnya.

25
B. ANALISA DATA

NO DATA PENYEBAB MASALAH


1 DS : Produksi sputum Bersihan jalan
Tn T mengeluh batuk dahak susah yang produktif napas tidak efektif
keluar,sesak napas.

DO :
-TD : 130/100
-SUHU ; 36
-NADI : 88X/MNT
-RR : 25X/MNT
-Terpasang infus asering 12 Tpm

2 DS : Penumpukan gas
Tn T mengeluhkan perutnya di lambung Gangguan rasa
sakit dan terasa kembung. nyaman “nyeri”
P : di perut
Q : terasa di remas
R : Nyeri terlokalisir
S ; Skala 2
T : hilang timbul

DO :
-Perut tampak kembung
-klien tampak gelisah

3 DS : Kurangnya
Tn T tidak mengerti tentang informasi tentang Kurang
penyakit yang di alaminya penyakitnya pengetahuan
sekarang ini. tentang
penyakitnya

26
DO :
-Klien sering bertanya
tentang penyakitnya
- Klien tampak kebingunan
4 Hambatan
DO : - Hambatan interaksi sosial b.d
DS : interaksi sosial gangguan konsep
Pasien berharap kondisinya saat ini diri d.d pasien
tidak diceritakan pada keluarganya berharap
kondisinya tidak
diceritakan ke
orang lain

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d produksi sputum yang masi produktif
2. Gangguan rasa nyaman “nyeri” b.d penumpukan gas di lambung

3. Kurang pengetahuan tentang penyakitnya b.d kurangnya infomasi tentang


penyakitnya.
4. Hambatan interaksi sosial b.d gangguan konsep diri d.d pasien berharap
kondisinya tidak diceritakan ke orang lain

27
D. PERENCANAAN

DIAGNOSA PERENCANAAN RASIONAL


KEPERAWATAN
INTERVENSI TUJUAN
Bersihan jalan Setelah di lakukan 1. Kaji ulang 1. Mengetahui
napas tidak efektif tindakan keperawatan fungsi keadaan umum dan
b.d produksi 2x24 jam di harapkan pernapasan,irama, mengetahui adanya
sputum yang masih bersihan jalan napsa kecepatan, bunyi abnormal pada
produktif sebagian teratasi dengan napas. pernapasan
kriteria hasil : 2. Catat 2. Mengoptimalkan
-klien mengatakan kemampuan keseimbangan
sudah sudah dapat mengeluarkan cairan untuk
mengeluarkan dahak. - secret dan batuk membantu
klien mengatakan batuk efektif. mengencerkan
berkurang 3. Beri posisi semi dahak.
-batuk efektif dan fowler 3. Fisiteraphi dada
mengeluarkan secret 4. Lakukan teraphi dapat
TD : 140/100 dada memaksimalkan
NADI : 70x/mnt 5. Ajarkan batuk menjatuhkan secret
SUHU : 37,5 efektif 6.berikan yang ada di jalan
RR : 18-22 x/mnt obat pengencer napas.
dahak

28
DIAGNOSA PERENCANAAN RASIONAL

INTERVENSI TUJUAN
Gangguan rasa Setelah di lakukan 1. Lakukan 1. Respon klien
nyaman “nyeri” tindakan pendekatan pada dan keluarga lebih
b.d keperawatan 2x24 klien dan keluarga terbuka dan
penumpukan jam gangguan rasa jelaskan tentang menerima baik
gas di lambung nyaman “nyeri’ penyebab sakit yang penjelasan dari
berkurang dengan di alami. perawat.
kriteria hasil : 2. Ajarkan pada 2. Mengurangi
Klien keluarga klien agar rasa nyeri yang di
mengatakan nyeri ,memberi kompres rasakan klien.
berkurang. -Skala hangat pada daerah 3. Mengetahui
nyeri 2 perut yang sakit. perkembangan
- klien tidak 3. Berikan posisi setiap harinya.
meringgis senyaman mungkin.
TD 140/100
NADI 70x/MNT
SUHU: 36,5-37,5

29
PERENCANAAN RASIONAL
DIAGNOSA INTERVENSI TUJUAN
Kurang pengetahuan Setelah dilakukan 1. kaji tingkat Pasien mampu
adalah ketiadaan tindakan keperawatan pengetahuan pasien mengetahui akan
atau defisiensi 2x24 jam pengetahuan dan keluarga penyakitnya
informasi kognitif klien dan keluarga 2. jelaskan Pasien mampu
yang tidaka dekuat bertambah.Penulis patofisiologi dari akan memahami
terhadap memprioritaskan penyakit dan penyakitnya
pengetahuan diagnosa ini pada urutan bagaimana hal ini
Pasien mampu
ketiga karena pada saat berhubungan dengan
menggambarkan
klien bertanya perawat anatomi dan fisiologi
bagaimana
menjelaskan terkait dengan cara yang
penyakit nya.
penyakitnya, Respon tepat
Pasien mampu
klien merasa puasa atas 3. gambarkan
mengetahui proses
apa yang diinformasikan tanda dan gejalan
penyakit nya
terhadap perawat. yang biasa muncul
pada penyakit
dengan cara yang
tepat

gambarkan proses
penyakit dengan cara
yang tepat, sediakan
bagi keluarga
informasi tentang
kemanjuan pasien
dengan cara yang
tepat.

30
DIAGNOSA PERENCANAAN RASIONAL
INTERVENSI TUJUAN
Hambatan Setelah dilakukan 1. Bantu pasien 1. Bertujuan agar
interaksi Sosial tindakan 1x24 jam untuk pasien dapat
b.d gangguan hambatan interaksi mengidentifikasi mengidentifikasikan
konsep diri sosial pasien masalahnya masalahnya
berkurang. melalui 2. Berguna agar
Dengan kriteria: keterampilan pasien merasa
- Tingkat sosial. tenang dan tidak
kecemasan 2. Gunakan terintimidasi.
berkurang. pendekatan yang 3. Berguna untuk
- Persepsi diri tenang dan pasien mengetahui
yang negative meyakinkan. keadaan
berkurang. 3. Berikan kesehatannya
- Adanya informasi factual 4. Berguna agar
dukungan terkait diagnose, pasien tidak merasa
sosial dari perawatan dan takut dan khawatir
orang sekitar. prognosis.
4. Berada di sisi
pasien untuk
mengurangi
ketakutan dan
kekhawatiran
pasien.

31
E. PELAKSANAAN DAN EVALUASI

Diagnosa PELAKSANAAN EVALUASI


Keperawatan
Bersihan 1. Melakukan S : Tn T mengatakan batuk sudah berkurang dan
jalan napas terapi dada dahaknya sudah dapat keluar,dan sesak napas
tidak pada klien. sudah berkurang.
efektif b.d 2. Mengajarkan
O :TD 30/100,SUHU 36,5
produksi batuk efektif
sputum Nadi 88x/mnt,

masih RR 20x/mnt
produktif Terpasang infus asering 16 Tpm.
A : Masalah teratasi sebagian

P : Lanjutkan Intervensi

Diagnosa PELAKSANAAN EVALUASI


Keperawatan
Gangguan 1. mengajarkan keluarga klien S : Tn T Mengatakan nyeri di
rasa nyaman ,memberi kompres hangat di daerah perut sudah berkurang ,dan
nyeri daerah perut yang sakit. tidak merasa kembung lagi.
berhubungan
2. mengajarkan tehnik napas O :Exspresi wajah rileks,tidak
dengan
dalam ,untuk mengurangi nyeri meringis
penumpukan
perut
gas di A :Masalah teratasi
lambung.
sebagian P : Lanjutkan

Intervensi

32
Diagnosa PELAKSANAAN EVALUASI
Keperawatan
Kurangnya 1. Menjelaskan kepada klien dan S : Tn T dan keluarga mengatakan
pengetahuan keluarga tentang penyakit sudah lebih mengerti tentang
tentang yang di deritanya penyakit yang di deritanya
penyakitnya sekarang,serta menjelaskan sekarang.
berhubungan akibat dari merokok dengan
O : Klien dan keluarga merasa
dengan penyakitnya saat ini.
berterima kasih dengan info yang
informasi
di berikan.
tentang
penyakitnya. A : Masalah teratasi sebagian

P : Berikan pamplet lembar balik


pada klien dan keluarga agar di
baca.

Diagnosa PELAKSANAAN EVALUASI


Keperawatn
Hambatan 1. Membantu pasien untuk S: pasien mengatakan secara
interaksi mengidentifikasi masalahnya lisan bahwa rasa khawatirnya
Sosial b.d melalui keterampilan sosial. berkurang
gangguan 2. Menggunakan pendekatan O: pasien terlihat kembali ceria
konsep diri yang tenang dan seperti sedia kala.
meyakinkan. A: a. Tingkat kecemasan
3. Memberikan informasi berkurang.
factual terkait diagnose, b. Persepsi diri yang negative
perawatan dan prognosis. berkurang.
4. Menempatkan diri di sisi c. Adanya dukungan sosial dari
pasien untuk mengurangi orang sekitar.
P: intervensi dilanjutkan

33
ketakutan dan kekhawatiran
pasien.

34
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan kumpulan penyakit
paru yang sudah lama dan bertahun tahun, ditandai dengan adanya penyumbatan
pada aliran udara dari paru-paru. Dengan penyebab utama dari lingkungan polusi
udara, merokok, paparan debu, dan gas-gas kimiawi. Faktor Usia dan jenis
kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi paru-paru bahkan pada saat
gejala penyakit tidak dirasakan. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia,
bronkitis, dan asma orang dengan kondisi ini berisiko mendapat PPOK.
Jika individu berhenti merokok, progresif penyakit dapat ditahan. Jika
merokok dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat
menurun dan pada akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok.

35
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Susan C. 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Penerbit


Buku Kedokteran EGC.

Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan


Sistem Pernapasan. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.

Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan


Sistem Pernapasan . Vol:2. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.

http://repo.stikesicme- jbg.ac.id/910/13/151210013_Iis%20Maisaroh_KTI
%20benarkunci.pdf (diakses
pada tanggal 11 Oktober 2019, pukul 10.00 WIB)

http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/539/1/NISA%20AGUSTIN%20NIM.%20A0
1401932.pdf (diakses pada tanggal 11 Oktober 2019, pukul 14.00 WIB)

http://eprints.ums.ac.id/25892/14/NASKAH_PUBLIKASI.pdf (diakses pada


tanggal 12 Oktober 2019, pukul 19.00 WIB)

https://www.google.com/url?q=https://www.academia.edu/37689132/asuhan_kep
erawatan_pada_pasien_dengan_PPOK&sa=U&ved=2ahUKEwjf0_7S2ZvlAhWF
dn0KHYzXA3MQFjAAegQIAhAB&usg=AOvVaw3TTVNbVYVQVmbPnhQAJ
qM7 (diakses pada tanggal 13 Oktober 2019, pukul 12.00 WIB)

iv

Anda mungkin juga menyukai