Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH KEPERAWATAN HIV/AIDS

“Manajemen Kasus Dengan HIV/AIDS dan


Penyalahgunaan Napza”

Dosen pembimbing : Ns. Safrullah, M.Kep


Kelompok 5
Nama Anggota : Nim:
1. Asna Nasir 19010049
2. Azura 19010050
3. Dara Salsabilla 19010051
4. Faiza Husna 19010053
5. Risna levia Harahap 19010081
6. Ulfa Riana Zahra 19010089

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIkes)
MEDIKA NURUL ISLAM SIGLI
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat taufik dan hidayah-Nya sehingga makalah ini selesai tepat pada waktunya.
Penulisan makalah yang berjudul “Manajemen Kasus HIV/AIDS dan Penyalahgunaan
Napza”. Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini,
dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat dorongan dan bimbingan
dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah ini tepat pada waktunya. Penulis
berharap dalam penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi
para pembaca pada umumnya serta semoga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk
mengembangkan atau meningkatkan prestasi di masa yang akan datang.

Sigli ,20 April 2021

ii
DAFTAR ISI

Kata pengantar........................................................................................ii
Daftar Isi............................................................................................iii
BAB I Pendahuluan .........................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................2
C. Tujuan.....................................................................................2
BAB II Tinjauan Teori.....................................................................3
A. HIV/AIDS...............................................................................3
1. Definisi .............................................................................3
2. Penyebab............................................................................3
3. Tanda dan Gejala...............................................................4
4. Komplikasi........................................................................5
5. Cara Penularan...................................................................6
6. Faktor resiko......................................................................6
7. Tindakan pencegahan........................................................7
8. Penatalaksanaan.................................................................7
9. Pemeriksaan diagnostik.....................................................7
10. Peran perawat spesialis klinis HIV/AIDS.........................8
11. Konsep Keperawatan.........................................................8
B. MANAJEMEN KASUS......................................................14
1. Konsepsi Manajemen Kasus............................................14
2. Tujuan Manajemen Kasus...............................................15
3. Dasar-Dasar Pekerjaan Sosial..........................................15
C. NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF 22
1. Narkotika.........................................................................22
2. Psikotropika.....................................................................24
3. Zat Adiktif.......................................................................25
D. PENYALAHGUNAAN DAN KETERGANTU-
NGAN NAPZA.....................................................................26

Kesimpulan ...........................................................................................34
Daftar Pustaka.......................................................................................35

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit HIV/AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan menjadi
masalah global yang melanda dunia. Menurut data WHO (World Health Organization)
tahun 2012, penemuan kasus HIV (Human Immunodeficiency Virus) di dunia pada tahun
2012 mencapai 2,3 juta kasus, dimana sebanyak 1,6 juta penderita meninggal karena AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) dan 210.000 penderita berusia di bawah 15 tahun
(WHO, 2012).
Berdasarkan data Ditjen P2PL (Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan),
statistik kasus HIV/AIDS yang dilaporkan dari tahun 2011-2012 mengalami peningkatan,
yaituS pada tahun 2011 kasus baru HIV sebesar 21.031 kasus, kemudian meningkat
menjadi 21.511 kasus pada tahun 2012. Begitu juga dengan AIDS dari tahun 2011
sebanyak 37.201 kasus, meningkat menjadi 42.887 kasus pada tahun 2012. Proporsi faktor
risiko penderita HIV/AIDS melalui hubungan heteroseksual merupakan cara penularan
dengan persentase tertinggi sebesar 77,75%, diikuti oleh penasun atau injecting drug user
(IDU) sebesar 9,16% dan dari ibu ke anak sebesar 3,76% (Kemenkes RI, 2012).
Kasus penyalahgunaan Napza yang berujung pada penularan HIV dan AIDS menjadi
masalah darurat global. Di seluruh dunia terdapat lebih dari 20 juta orang meninggal
sementara 40 juta orang telah terinfeksi HIV dan AIDS merupakan salah satu ancaman
terbesar terhadap pembangunan sosial ekonomi terutama pada negara-negara berkembang.
Fakta yang lebih memprihatinkan bahwa di seluruh dunia setiap hari virus HIV menular
pada sekitar 2000 anak dibawah 15 tahun dan menginfeksi lebih dari 6000 orang muda
dalam usia produktif antara 15-24 tahun. Semetara itu, berdasarkan data Kementerian
Kesehatan RI tahun 2014, jumlah kasus HIV AIDS secara kumulatif hingga tahun 2013
sebanyak 179.764 penderita dengan angka kematian sebanyak 9.585 orang.
Disekitar kita saat ini, banyak sekali zat-zat adiktif yang negatif dan sangat berbahaya
bagi tubuh. Dikenal dengan sebutan narkotika dan obat-obatan terlarang. Dulu, narkoba
hanya dipakai secara terbatas oleh beberapa komunitas manusia di berbagai negara. Tapi
kini, narkoba telah menyebar dalam spektrum yang kian meluas. Para era modern dan
kapitalisme mutakhir, narkoba telah menjadi problem bagi umat manusia diberbagai
belahan bumi. Narkoba yang bisa mengobrak-abrik nalar yang cerah, merusak jiwa dan
raga, tak pelak bisa mengancam hari depan umat manusia. Padahal 2.000 tahun yang lalu

1
catatan-catatan mengenai penggunaan cocaine di daerah Andes, penggunaan terkait adat,
untuk survival/bertahan hidup (sampai sekarang) menahan lapar dan rasa haus, rasa capek,
bantu bernafas, sedangkan Opium digunakan sebagai sedative (penawar rasa sakit) dan
aphrodisiac (perangsang). Dahulu pada banyak negara obat-obatan ini digunakan untuk
tujuan pengobatan. Namun seiring berjalannya waktu , penyalahgunaan napza dimulai oleh
para dokter, yang meresepkan bahan-bahan napza baru untuk berbagai pengobatan padahal
tahu mengenai efek-efek sampingnya. Kemudian ketergantungan menjadi parah sesudah
ditemukannya morphine (1804), diresepkan sebagai anaesthetic, digunakan luas pada
waktu perang di abad ke-19 hingga sekarang dan penyalahgunaan napza diberbagai negra
yang sulit untuk dikendalikan hingga saat ini.
Berdasarkan data diatas, penulis akan membahas makalah tentang “ Manajemen Kasus
Pada Klien HIV AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba”

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan HIV/AIDS?
2. Apa tanda dan gejala HIV/AIDS?
3. Bagaimana Asuhan keperawatan dengan HIV/AIDS?
4. Bagaimana Manajemen Kasus HIV/AIDS?
5. Apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan NAPZA?
6. Apa faktor penyebab dari penyalahgunaan NAPZA?
7. Bagaimana upaya menghindari penyalahgunaan NAPZA?

C. Tujuan
1. Mampu mengetahui definisi HIV/AIDS
2. Mampu mengetahui tanda dan gejala HIV/AIDS
3. Mampu mengetahui Asuhan keperawatan dengan HIV/AIDS
4. Mampu mengetahui Manajemen Kasus HIV/AIDS
5. Mampu mengetahui definisi penyalahgunaan NAPZA
6. Mampu mengetahui faktor penyebab dari penyalahgunaan NAPZA
7. Mampu mengetahui upaya menghindari penyalahgunaan NAPZA

2
BAB II
Tinjauan Teori

A. HIV/AIDS
1. Definisi
AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome, yaitu
menurunya kekebalan tubuh terhadap penyakit karena infeksi virus HIV (Human
Immunodeviciency Virus) (Djoerban & Djazuli, 2006). Dari keterangan tersebut jelas
bahwa sebelum seseorang menderita AIDS dalam tubuhnya, terlebih dahulu terjadi
kerusakan sistem kekebalan tubuh. Akibat kerusakan kekebalan tubuh tersebut tubuh
penderita menjadi peka terhadap infeksi kuman yang dalam keadaan normal
sebenarnya tidak berbahaya. Infeksi kuman bentuk ini disebut infeksi oportunistik.
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul karena mikroba yang berasal dari luar
tubuh maupun dalm tubuh manusia, namun dalam keadaan normal terkendali oleh
kekebalan tubuh (Yunihastuti, 2005).

2. Penyebab
AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama, yaitu HTL II, LAV,
RAV, yang nama ilmiahnya disebut dengan Human Immunodeficency Virus (HIV),
yang berupa agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah
dan punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T (Depkes, 2009). Penyebab kelainan
imun pada AIDS adalah suatu agen antiviral yang disebut HIV dari kelompok
Retrovirus Ribonucleic Acid (RNA). Retrovirus mempunyai afinitas yang kuat
terhadap limfosit T (Hudak & Gallo, 2010). Disebut retrovirus RNA karena virus
tersebut menggunkan RNA sebagai molekul pembawaan informasi genetik dan
memiliki Enzim Reverse Transciptase. Enzim ini memungkinkan virus mengubah
informasi genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk Deoxy Nucleic Acid
(DNA) yang kemudian diintegrasikan pada informasi genetik sel limfosit yang
diserang. Dengan demikian HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk
menduplikasi dirinya menjadi virus baru yang memiliki ciri HIV (Widoyono, 2011).
Menurut Bratawijaya & Rengganis (2010), tipe HIV ada 2, yaitu Tipe 1 (HIV-1),
penyebab utama AIDS yang merupakan bentuk virus yang paling virulen,
prevalensinya lebih banyak dan bermutasi lebih cepat. Tipe 2 (HIV-2), menyebabkan

3
penyakit yang serupa dengan HIV-1. Patogenesisnya lebih rendah dibandingkan
dengan HIV-1 (Mandal at. al, 2008).
Keduanya merupakan virus yang menginfeksi sel CD4+T yang memiliki reseptor
dengan afinitas tinggi untuk HIV. Setelah infeksi oleh HIV, terjadi penurunan sel
CD4 secara bertahap yang menyebabkan peningkatan gangguan imunitas yang
diperantarai sel dengan akibat kerentanan terhadap berbagai infeksi opertunistik
(Bratawijaya & Rengganis, 2010).

3. Tanda dan gejala


Menurut Nursalam (2006), tanda dan gejala penderita yang terinfeksi HIV/AIDS
biasanya penderita mengalami berat badanya menurun lebih dari 10% dalam waktu
singkat, demam tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan), diare berkepanjangan
(lebih dari satu bulan), batuk perkepanjangan (lebih dari satu bulan), kelainan kulit
dan iritasi (gatal), infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan, serta pembengkakan
kelenjar getah bening di seluruh tubuh, seperti di bawah telinga, leher, ketiak dan
lipatan paha. Menurut WHO dan CDC (2002, dalam Widoyono, 2011), manifestasi
klinis HIV/AIDS pada penderita dewasa berdasarkan stadium klinis yang disertai
skala fungsional dan kalisifikasi klinis, yaitu:
a. Stadium klinis I: pada skala I memperlihatkan kondisi asimtomatis, dimana
klien tetap melakukan aktivitas secara normal maupun disertai adanya
limfadenopati presistent generalisata.
b. Stadium klinis II: pada skala II memperlihatkan kondisi asimtomatis, dimana
klien tetap melakukan aktivitas normal tetapi disertai adanya penurunan berat
badan <10% dari berat badan sebelumnya, manifestasi mukokotaneius minor
(dermatitis seborhhoic, prurigo, infeksi jamur pada kuku, ulserasi mukosa oral
berulang, cheilitis angularis), herpes zoster dalam 5 tahun terakhir, dan ISPA
berulang.
c. Stadium III: pada skala III memperlihatkan adanya kelemahan, berbaring di
tempat tidur <50% sehari dalam 1 bulan terakhir disertai penurunan berat badan
>10%, diare kronis dengan penyebab tidak jelas >1 bulan, demam dengan
penyebab yang tidak jelas (intermitent atau tetap) >1 bulan, kandidiasis oral,
oral hairy leukoplakia, TB pulmoner dalam satu tahun terakhir, dan infeksi
bacterial berat (misal: pneumonia, piomiostitis).

4
d. Stadium klinis IV: pada skala IV memperlihatkan kondisi yang sangat lemah,
selalu berada ditempat tidur > 50% setiap hari dalam bulan-bulan terakhir
disertai HIV wasting syndrome (sesuai yang ditetapkan CDC), peneumocystis
carinii pneumonia (PCP), encephalitis toksoplasmosis, diare karena
cryptosporidiosis >1 bulan, cryptococcosis ekstrapulmoner, infeksi virus
sitomegalo, infeksi herpes simpleks >1 bulan, berbagai infeksi jamur berat
(histoplasma, coccoidioidomycosis), kandidiasis esophagus, trachea atau
bronkus, mikobakteriosis atypical, salmonelosis non tifoid disertai eptikemia,
TB ekstrapulmoner, limfoma maligna, sarcoma Kaposi’s ensefalopati HIV.

4. Komplikasi
Menurut Gunawan (2006), komplikasi dari penyakit HIV/AIDS menyerang paling
banyak pada bagian tubuh seperti:
a. Oral lesi
Lesi ini disebabkan karena jamur kandidia, herpes simpleks, sarcoma kaposi,
HPV oral, gingivitis, periodonitis HIV, leukoplakia oral, penurunan berat
badan, keletihan, dan cacat.
b. Neurologik
Pada neurologik, virus ini dapat menyebabkan kompleks dimensia AIDS
karena serangan langsung HIV pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian,
kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfagia, dan isolasi sosial.
Enselopaty akut karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis atau ensepalitis. Dengan efek seperti
sakit kepala, malaise demam, paralise, total/parsial, infrak serebral kornea
sifilis meningovaskuler, hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis.
c. Gastrointestinal
Pada gastrointestinal dapat menyebabkan beberapa hal seperti: diare karena
bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma
kaposi. Dengan efek penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi,
dan dehidrasi. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma kaposi,
obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen,
ikterik, demam atritis. Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan
inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi dengan efek inflamasi sulit dan
sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan diare.

5
d. Respirasi
Infeksi karena pneumocitis, carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri,
hipoksia, keletihan, dan gagal nafas.
e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokukus, virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena
xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekubitus dengan efek nyeri, gatal,
rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis.
f. Sensorik
Pada bagian sensorik virus menyebabkan pandangan pada sarcoma kaposis
pada konjuntiva berefek kebutaan. Pendengaran pada otitis eksternal dan otitis
media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.

5. Cara Penularan
Cairan tubuh yang potensial menjadi media penularan HIV adalah darah, cairan
mani, cairan vagina, dan di dalam air susu ibu (ASI). Pada umumnya resiko
penularan HIV/AIDS terjadi melalui hubungan seksual (homoseksualitas maupun
heteroseksualitas). Penularan melalui darah biasanya dengan perantara transfusi
darah/produk darah, alat suntik atau alat medis lain (narkoba, tato), perinatal (ibu
hamil ke janin) (Nursalam, 2006). Penyebaran virus HIV dapat melalui aktivitas
yang melibatkan kontak dengan cairan tubuh (Farnan & Enriquez, 2012). Secara
lebih terperinci, virus ini dapat ditularkan melalui cairan tubuh, semen, vagina, air
susu ibu, serebrospinal, sinoval, dan amnion (Ahluwalia, 2005).

6. Faktor resiko
Faktor risiko penularannya HIV/AIDS yang terjadi, yaitu :
a. Hubungan seksual secara heteroseksualitas maupun homoseksualitas.
b. Penggunaan jarum suntik.
c. Parenatal dan perinatal dari ibu kepada anaknya (Guerrant el. al, 2011 &
Volberding et. al, 2008).

6
7. Tindakan pencegahan
Menurut Widoyono (2005), tindakan pencegahan yang dilakukan adalah
menghindari hubungan seksual dengan penderita HIV atau penderita AIDS,
mencegah hubungan dengan pasangan yang bergonta-ganti atau dengan orang yang
mempunyai banyak pasangan, menghindari hubungan seksual dengan pecandu
narkotika obat suntik, melarang orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok
beresiko tinggi untuk melakukan donor darah, memberikan transfusi darah hanya
untuk pasien yang benar-benar memerlukan, dan memastikan sterilitas alat suntik.
HIV dan AIDS adalah penyakit menular yang bisa dicegah. HIV tidak menular
melalui jabat tangan, berciuman, menggunakan peralatan makan, kerja sama,
berbagi ruangan, gigitan nyamuk, dan kontak sosial biasa (KPAN, 2011).

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan klinis infeksi HIV/AIDS dikonsentrasikan pada terapi umum dan
terapi khusus serta pencegahan penularan yang meliputi penderita dianjurkan untuk
berisitirahat dan meminimalkan tingkat kelelahan akibat infeksi kronis, dukungan
nutrisi yang adekuat berbasis makronutrien dan mikronutrien, konseling termasuk
pendekatan psikologis dan psikososial, motivasi dan pengawasan dalam pemberian
antiretroviral therapy (ARV), membiasakan gaya hidup sehat antara lain dengan
berolahraga yang ringan dan teratur, mencegah hubungan seksual dengan pasangan
yang berganti-ganti atau orang yang mempunyai banyak pasangan.

9. Pemeriksaan diagnostik
Untuk membantu menegakkan diagnosa infeksi HIV/AIDS harus berdasarkan
pemeriksaan laboratorium dan pembagian gejala klinis baik mayor maupun minor.
Dinyatakan positif mengidap HIV/AIDS apabila pemeriksaan tes HIV enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA) dari metode yang berbeda menunjukkan hasil
reaktif dan telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan western bolt serta didapatkan
dua gejala mayor dan satu gejala minor (Nasronudin, 2007).
Diagnosa HIV pada umumnya baru dapat ditegakkan pada stadium lanjut dan
merupakan masalah yang paling sering di bidang klinik. Untuk mengubah hal ini

7
perlu ditingkatkan kepedulian terhadap infeksi HIV, perluasan fasilitas diagnosis
serta diterapkanya PITC (Provider Treatment and Conceling) (Djauzi, 2010).
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang umum digunakan dalam menegakkan
infeksi HIV, yaitu:
a. ELISA
Merupakan pemeriksaan serologi standart/uji penapsian terhadap antibodi HIV.
Sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini memberikan
hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi (Carroll, 2007).
b. Western Bolt
Merupakan tes konfirmasi uji pemastian terhadap komponen protein HIV.
Spesifitasnya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaanya cukup sulit,
mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam (Widoyono,2011).
c. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Tes ini banyak digunakan pada bayi, karena ini dapat meminimalkan kerja dari
zat antimaternal yang dapat mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah-olah sudah
ada infeksi pada bayi tersebut (Mandal at. al, 2008).

10. Peran perawat spesialis klinis HIV/AIDS


Program penanggulangan HIV/AIDS mempunyai tantangan yang cukup besar
sehubungan dengan angka prevalensi HIV/AIDS yang terus meningkat. Peran
tenaga kesehatan khususnya perawat spesialis dituntut untuk berperan aktif dalam
program tersebut melalui upaya pencegahan dan pengelolaan pelayan keperawatan
secara langsung. Dalam melakukan perananya, perawat spesialis bertanggungjawab
mengembangkan, melaksanakan, dan mengevaluasi asuhan keperawatan
HIV/AIDS yang komperehensif yang sangat bermanfaat dalam program
pengendalian lanjut infeksi HIV (Kurniawati & Nursalam, 2008).

11. KONSEP KEPERAWATAN


1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan untuk penderita AIDS (Doenges, 1999) adalah;
a. Aktivitas / istirahat.
Mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya, malaise

8
b. Sirkulasi.
Takikardia , perubahan TD postural, pucat dan sianosis.
c. Integritas ego.
Alopesia , lesi cacat, menurunnya berat badan, putus asa, depresi, marah,
menangis.
d. Elimiinasi.
Feses encer, diare pekat yang sering, nyeri tekanan abdominal, absesrektal.
e. Makanan / cairan.
Disfagia, bising usus, turgor kulit buruk, lesi pada rongga mulut, kesehatan
gigi / gusi yang buruk, dan edema.
f. Neurosensori.
Pusing, kesemutan pada ekstremitas, konsentrasi buruk, apatis, dan respon
melambat.
g. Nyeri / kenyamanan.
Sakit kepala, nyeri pada pleuritis, pembengkakan pada sendi, penurunan
rentang gerak, dan gerak otot melindungi pada bagian yangsakit.
h. Pernafasan.
Batuk, Produktif / non produktif, takipnea, distres pernafasan.

2. Diagnosa, Intervensi dan Rasional Tindakan Keperawatan


Diagnosa, intervensi dan rasional tindakan keperawatan (Doenges, 1999) adalah :
a. Nyeri berhubungan dengan inflamasi/ kerusakan jaringan ditandai dengan
keluhan nyeri, perubahan denyutnadi,kejang otot, ataksia, lemah otot dan
gelisah.
b. Perubahan nutrisi yang kurang dari kebutuhan tubuh dihubungkan dengan
gangguan intestinal ditandai dengan penurunan berat badan, penurunan nafsu
makan, kejang perut, bising usus hiperaktif, keengganan untuk makan,
peradangan rongga bukal.
c. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan diare berat
d. Resiko tinggi pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi dan
ketidak seimbangan muskuler (melemahnya otot-otot pernafasan)
e. Intoleransi aktovitas berhubungan dengan penurunan produksi metabolisme
ditandai dengan kekurangan energy yang tidak berubah atau berlebihan,

9
ketidakmampuan untuk mempertahankan rutinitas sehari-hari, kelesuan, dan
ketidakseimbangan kemampuan untuk berkonsentrasi.

3. Interfensi

10
Nursing care plan
N Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
O
1. Nyeri Setelah dilakukan 1. Kaji keluhan 1. Mengindikasikan
berhubungan tindakan nyeri, perhatikan kebutuhan untuk
dengan keperawatan, lokasi, intensitas, intervensi dan juga
inflamasi/ pasien mampu frekuensi dan tanda-tanda
mengontrol nyeri
kerusakan waktu. Tandai perkembangan
dengan kriteria
jaringan hasil :
gejala nonverbal komplikasi
ditandai misalnya gelisah, 2. Meningkatkan
dengan 1. Keluhan takikardia, relaksasi dan
keluhan nyeri, hilang, meringis. perasaan sehat
perubahan 2. Menunjukkan 2. Instruksikan 3. Dapat mengurangi
denyutnadi,kej ekspresi pasien untuk ansietas dan rasa
ang otot, wajah rileks, menggunakan sakit, sehingga
ataksia, lemah 3. Dapat tidur visualisasi atau persepsi akan
otot dan atau imajinasi, intensitas rasa sakit.
gelisah beristirahat relaksasi 4. Memberikan
secara adekuat progresif, teknik penurunan
nafas dalam. nyeri/tidak nyaman,
3. Dorong mengurangi demam.
pengungkapan Obat yang dikontrol
perasaan pasien berdasar
4. Berikan analgesik waktu 24 jam dapat
atau antipiretik mempertahankan
narkotik. kadar analgesia
Gunakan ADP darah tetap stabil
(analgesic yang mencegah
dikontrol pasien) kekurangan atau
untuk kelebihan obat-
memberikan obatan.
analgesia 24 jam. 5. Meningkatkan
relaksasi atau
menurunkan
5. Lakukan tindakan tegangan otot.
paliatif misal
pengubahan
posisi, masase,
rentang gerak
pada sendi yang
sakit.

2. Perubahan Setelah dilakukan 1. Kaji kemampuan 1. Lesi mulut,


nutrisi yang tindakan hasil untuk tenggorok dan
kurang dari yang diharapkan : mengunyah, esophagus dapat
kebutuhan 1. Mempertahan perasakan dan menyebabkan
tubuh kan berat menelan disfagia, penurunan
dihubungkan badan atau 2. Auskultasi bising kemampuan pasien
dengan memperlihatk usus untuk mengolah

11
gangguan an 3. Sediakan makanan dan
intestinal peningkatan makanan yang mengurangi
ditandai berat badan sedikit tapi sering keinginan untuk
dengan yang mengacu berupa makanan makan.
penurunan pada tujuan padat nutrisi, 2. Hopermotilitas
berat badan, yang tidak bersifat saluran intestinal
penurunan diinginkan, asam dan juga umum terjadi dan
nafsu makan, 2. Mendemostra minuman dengan dihubungkan dengan
kejang perut, sikan pilihan yang muntah dan diare,
bising usus keseimbangan disukai pasien. yang dapat
hiperaktif, nitrogen 4. Berikan obat anti mempengaruhi
keengganan po;sitif, bebas emetic misalnya pilihan diet atau cara
untuk makan, dari tanda- metoklopramid makan.
peradangan tanda 3. Memenuhi
rongga bukal. malnutrisi dan kebutuhan akan
3. Menunjukkan makanannonistitusio
perbaikan nal mungkin juga
tingkat energy meningkatkan
pemasukan.
4. Mengurangi insiden
muntah dan
meningkatkan fungsi
gaster

12
3. Resiko tinggi Setelah dilakukan 1. Pantau 1. Mempertahankan
kekurangan tindakan pemasukan oral keseimbangan
volume cairan keperawatandihara dan pemasukan cairan, mengurangi
berhubungan pkan resiko tinggi cairan sedikitnya rasa haus dan
dengan diare kekurangan volume 2.500 ml/hari melembabkan
berat cairan, dapat
membrane mukosa.
terjaga dengan
kriteria hasil:
1. Mempertahan 2. Buat cairan
kan hidrasi mudah diberikan 2. Meningkatkan
dibuktikan pada pasien; pemasukan cairan
oleh gunakan cairan tertentu mungkin
membrane yang mudah terlalu menimbulkan
mukosa ditoleransi oleh nyeri untuk
lembab, pasien dan yang dikomsumsi karena
turgor kulit menggantikan lesi pada mulut.
baik, tanda- elektrolit yang 3. Indicator tidak
tanda vital dibutuhkan, langsung dari status
baik, keluaran misalnya cairan.
urine adekuat Gatorade. 4. Menurunkan jumlah
secara pribadi 3. Kaji turgor kulit, dan keenceran feses,
membrane mungkin
mukosa dan rasa mengurangi kejang
haus. usus dan peristaltis
4. Berikan obat-
obatan anti diare
misalnya
ddifenoksilat
(lomotil),
loperamid
Imodium,
paregoric.

4. 4 Resiko tinggi Setelah dilakukan 1. Auskultasi bunyi 1. Memperkirakan


pola nafas tidak tindakan nafas, tandai adanya
efektif keperawatan, daerah paru yang perkembangan
berhubungan pasien mampu mengalami komplikasi atau
dengan proses mempertahankan penurunan, atau infeksi pernafasan,
infeksi dan pola nafas efektif kehilangan misalnya pneumoni,
ketidak dan tidak
seimbangan ventilasi, dan 2. Takipnea, sianosis,
mengalami sesak munculnya bunyi tidak dapat
muskuler nafas adventisius. beristirahat, dan
(melemahnya
otot-otot Misalnya krekels, peningkatan nafas,
pernafasan) mengi, ronki. menuncukkan
2. Catat kecepatan kesulitan pernafasan
pernafasan, dan adanya
sianosis, kebutuhan untuk
peningkatan kerja meningkatkan
pernafasan dan pengawasan atau
munculnya intervensi medis
dispnea, ansietas 3. Meningkatkan

13
3. Tinggikan kepala fungsi pernafasan
tempat tidur. yang optimal dan
Usahakan pasien mengurangi aspirasi
untuk berbalik, atau infeksi yang
batuk, menarik ditimbulkan karena
nafas sesuai atelektasis.
kebutuhan. 4. Mempertahankan
4. Berikan oksigenasi efektif
tambahan O2 untuk mencegah
Yng dilembabkan atau memperbaiki
melalui cara yang krisis pernafasan
sesuai misalnya

kanula, masker,
inkubasi atau
ventilasi mekanis

14
5. Intoleransi Setelah dilakukan 1. Kaji pola tidur 1. Berbagai factor
aktovitas tindakan dan catat dapat meningkatkan
berhubungan keperawatan, perunahan dalam kelelahan, termasuk
dengan intoleran aktivitas proses berpikir kurang tidur,
dengan hasil yang
penurunan atau berperilaku tekanan emosi, dan
diharapkan:
produksi 2. Rencanakan efeksamping obat-
1. Melaporkan
metabolisme perawatan untuk obatan.
ditandai peningkatan menyediakan fase 2. Perencanaan akan
dengan energy, istirahat. Atur membuat pasien
2. Berpartisipasi
kekurangan aktifitas pada menjadi aktif saat
energy yang dalam waktu pasien energy lebih tinggi,
tidak berubah aktivitas yang sangat berenergi sehingga dapat
atau diinginkan 3. Dorong pasien memperbaiki
berlebihan, dalam tingkat untuk melakukan perasaan sehat dan
ketidakmampu kemampuann apapun yang control diri.
an untuk ya mungkin, 3. Memungkinkan
mempertahank misalnya penghematan
an rutinitas perawatan energy, peningkatan
sehari-hari, diri,duduk stamina, dan
kelesuan, dan dikursi, berjalan, mengijinkan pasien
ketidakseimba pergi makan untuk lebih aktif
ngan 4. Pantau respon tanpa menyebabkan
kemampuan psikologis kepenatan dan rasa
untuk terhadap aktifitas, frustasi.
berkonsentrasi. misal perubahan 4. Toleransi bervariasi
TD, frekuensi tergantung pada
pernafasan atau status proses
jantung penyakit, status
5. Rujuk pada terapi nutrisi,
fisik atau okupasi keseimbangan
cairan, dan tipe
penyakit.
5. Latihan setiap hari
terprogram dan
aktifitas yang
membantu pasien
mempertahankan
atau meningkatkan
kekuatan dan tonus
otot

15
16
B. MANAJEMEN KASUS
1. Konsepsi Manajemen Kasus
Seringkali seseorang mengalami suatu permasalahan yang
sesungguhnyamembahayakan jiwa maupun raga. Namun mereka tidak tahu cara
keluar darimasalahnya tersebut atau tidak berani melakukakannya, sehingga
kondisidemikian membutuhkan pertolongan orang lain untuk membantu
mengatasipermasalahannya.Keterampilan manajemen kasus (case management)
merupakan suatu metodapendekatan pekerjaan sosial yang bertujuan memberikan
pelayanan terhadaporang dalam situasi dan kondisi meminta atau mencari
pertolongan. Pelayananyang diberikan diharapkan dapat menjamin orang yang
mempunyai masalah akanmemperoleh semua pelayanan yang dibutuhkannya secara
cepat dan tepat. Olehkarena itu, seorang manajer kasus harus mempelajari dan
mampumempertimbangkan masalah dan kebutuhan klien berdasarkan hasil
asesmenyang dibuat oleh assesor.Dengan beragamnya jenis masalah yang dihadapi
klien, maka seorang manajerkasus dituntut melaksanakan fungsi-fungsinya guna
memaksimalkan pertolonganyang akan diberikan. Salah satu fungsi manajemen
kasus yang tidak dapatdilaksanakan sendirian adalah fungsi koordinasi, karena
dalam pelaksanaannyaakan selalu berhubungan dengan orang lain untuk mengakses
sumber-sumberyang tersedia di masyarakat guna memaksimalkan pertolongan yang
akandiberikan. Rose,1992 dalam Compton, 1999, bahwa: “untuk beberapa
hal,manajemen kasus berarti membantu klien untuk mengakses sumber-sumber
yaitudengan mengatur sumber-sumber dari masyarakat”Lauber: 1992 dan
More:1990 dalam Comton :1999 bahwa: “salah satu fungsi daripekerjaan sosial
adalah koordinasi dukungan sosial formal”. Begitu juga Robert L.Balker (1982:
20) bahwa: Case management is a procedure to coordinate all thehelping activities
on be help of client or group of clients” (kegiatan dalammanajemen kasus
merupakan kegiatan yang memiliki prosedur untukmengkoordinasi seluruh
aktivitas pertolongan yang diberikan kepada klien secaraperorangan maupun
kelompok).
Koordinasi seyogyanya dilakukan secara professional oleh teamwork yaitu
antarapekerja sosial satu dengan pekerja sosial dan atau dengan profesi lain
sehinggaupaya pelayannya dapat ditingkatan sesuai kebutuhan klien. Selaku
teamwork,maka ada beberapa kaidah yang harus dilaksanakan oleh pekerja sosial,
antaralain:

17
a. Tumbuhkan rasa perhatian terhadap klien.
b. Ciptakan kepecayaan antar team.
c. Tanggung jawab terhadap persoalan yang dihadapi klien.
d. Terbuka.
e. Fokus pada tujuan pemecahan masalah.

2. Tujuan Manajemen Kasus


a. Menjamin kontinyuitas pelayanan lintas bidang pada waktu atau kurun
waktutertentu
b. Menjamin responsivitas pelayanan terhadap berbagai kebutuhan klientermasuk
perubahan pelayanan, jika perlu seumur hidup klien.
c. Membantu klien memperoleh akses terhadap pelayanan yang
dibutuhkan,memecahkan hambatan aksesibilitas yang disebabkan oleh
kriteriaketerjangkauan, peraturan, kewajiban.
d. Menjamin bahwa pelayanan yang disediakan sesuai dengan kebutuhan
klien,diberikan dengan cara tepat dan tidak duplikatif.

3. Dasar-Dasar Pekerjaan Sosial


a. Fungsi managemen kasus.
1) Identifikasi klien dan orientasi (Client Identification and Orientation).
Manajer kasus harus terlibat langsung dalam melakukan identifikasi
danorientasi sekaligus melakukan seleksi terhadap permasalahan yangdialami
oleh klien, serta mempengaruhi secara positif kepada orang /lembaga yang
dapat menerima rujukan terkait dengan kebutuhan klien.
2) Asesmen klien (Client Assessment). Asesmen berfungsi menggali
danmengumpulkan informasi terkait dengan kebutuhan-
kebutuhanbiopsikososial dan spiritual klien, serta sumber-sumber serta
potensiklien baik kekuatan dan kelemahannya. Melalui asesmen tersebut
makaakan diperoleh data yang lebih mendalam, jelas dan akurat
karenadiperoleh secara menyeluruh dan integral, sehingga dapat
dijadikanlangkah menyusun rencana intervesi yang tepat guna
pemecahanmasalah yang dihadapi klien. Lambert Maguire (2008:46) dalam
bukunyamengatakan bahwa: “..ada penyebab-penyebab biologis,
sosialpsikhologis lingkungan dan penyebab-penyebab yang dipelajari

18
dariperilaku dan/atau masalah-masalah. Oleh karena itu, manajer kasusharus
mempelajari dengan cermat hasil asesmen dilakukan oleh pekerjasosial
selaku asesor, guna menentukan rencana intervensi yang akandisusunnya.
3) Rencana Intervensi, setelah manajer kasus mempelajari danmemahami hasil
asesmen, dilanjutkan membuat telaahan danmerencanakan pelayanan yang
tepat sesuai dengan kebutuhan klien,dengan mempertimbangkan hak azasi
manusia, artinya bahwa layanantersebut mempertimbangkan hak-hak dasar
yang dibutuhkan oleh korbantindak kekerasan terhadap
perempuan.Selanjutnya manajer kasusbersama klien menyusun rencana
intervensi yang sebelumnya manajerkasus memberikan informasi tentang
lembaga layanan yang dapatdiakses oleh klien. Yang perlu dipertimbangkan
adalah bahwa korbantindak kekerasan biasanya memiliki ketakutan yang luar
biasa, ataupunrasa malu jika masalahnya diketahui oleh orang lain, sehingga
rencanaintervensi yang akan diberikan benar-benar memberikan rasa
aman,nyaman.Selanjutnya manajer kasus juga menginterpretasikan tujuan
danfungsi rencana kasus kepada pemberi pelayanan, agar terdapatsinkronisasi
dalam memberikan pelayanan.
4) Koordinasi, manajer kasus melakukan koordinasi dalam
rangkamenghubungkan klien dengan sumber-sumber bantuan yang
sesuaidengan kebutuhan klien. Koordinasi yang efektif dilakukan tidak
hanyapada saat akan melakukan rujukan, namun sebaiknya
dilaksanakansebelum dan sesudah melakukan rujukan, artinya bahwa
berkoordinasisama dengan berjejaring artinya sebaiknya selalu dijaga. Oleh
karena itu,penting bagi seorang manajer kasus mengenal lebih dekat
lembagalembagatersebut, dan memiliki daftar alamat lengkap dan kontak
personyang bisa dihubungi.
5) Tindak lanjut, monitoring dan evaluasi Seorang manajer kasus harusselalu
melakukan kontak secara kontinyu terhadap klien paska rujukan,untuk
memastikan bahwa layanan yang diberikan benar-benar tepat,sehingga klien
berada di lingkungan yang nyaman dan aman. Selanjutnyamonitoring
dilakukan untuk mengetahui tingkat perkembangan klienselama berada di
lembaga tersebut, apakah mengalami perubahansignifikan dengan pelayanan
yang diberikan. Monitoring dan evaluasidapat dilakukan terhadap lembaga

19
terkait (rujukan), guna mengetahuipelayanan yang sedang / sudah diberikan
kepada kliennya.
6) Dukungan, Manajer kasus harus selalu memberikan dukungan selamamasa
pelayanan melalui: informasi-informasi yang dibutuhkan,memberikan
konseling pada saat klien mengalami permasalahan, sertamelakukan
pembelaan terhadap klien jika hak-hak dasarnya tidakdipenuhi di lembaga
rujukan tersebut.
7) Pencatatan, pencatatan selama proses pelayanan penting bagi managerkasus,
guna mengetahui perkembangan / kemajuan yang dicapai klien,pelaksanaan
pelayanan serta kesesuaiannya terhadap rencana yangtelah diusun
sebelumnya. Manajer kasus wajib menjaga kerahasiaan fileini karena
menyangkut kehidupan klien selanjutnya.

b. Prinsip-prinsip Manajemen Kasus(Gerhart, 1990).


1) Individualisasi pelayanan (Individualization of services)
Dalam memberikan pelayanan kepada klien, walaupun memilikipersamaan
masalah, ataupun persamaan karakter yang dimiliki klien,maka seorang
manajer kasus harus dapat memberikan pelayanan yangspesifik, karena
bahwa manusia memiliki kebutuhan yang berbeda bagisetiap indvidu.
2) Pelayanan yang komprehensif (comprehensiveness of services)
Pelayanan diberikan tidak hanya terfokus pada klien, tetapi juga sistemklien
(lingkungan) yang mempengaruhi keberadaan klien, agar tercitasuasana yang
kondusip bagi kehidupan klien.
3) Pelayanan yang teratur (parsimonious services)
4) Kemandirian (fostering autonomy)
Pelayanan yang diberikan bertujuan agar klien mampu hidup normal
dankedepan mampu mengatasi masalahnya sendiri.
5) Keberlanjutan pelayanan (continuity of care)
Pelayanan dilakukansesuai dengan tahapan pelayanan yang dimulai
daripendekatan awal sampai dengan terminasi yang berakhir
dengankemandirian klien.

20
c. Peranan dan tugas Pekerjaan Sosial
1) Pembela, tugasnyanya:
a) Mengidentifikasi hak dan kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi baik yang
disengaja maupun terabaikan.
b) Mempertemukan kelayan dengan sumber-sumber untuk pemenuhan hak-
hak dasarnya.
c) Mempengaruhi sistem sumber agar dapat diakses oleh klien.

2) Pendidik, dengan tugas;


a) Meningkatan kesadaran dalam menghadapi masalah.
b) Memberikan informasi baru untuk meningkatkan wawasan berfikir dalam
menghadapi masalah yang dihadapi.
c) Mempengaruhi klien agar meningkatkan kapasitas dirinya untuk
mengatasi permasalahannya.

3) Fasilitator, dengan tugas:


a) Membantu klien dalam memanfaatkan sistem sumber tersebut,
b) Membantu sistem sumber sehingga dapat menjangkau klien.

4) Mediator, dengan tugas:Menjembatani antara klien dan sistem sumber dalam


rangka pemenuhankebutuhan.

5) Broker, dengan tugas:Mencari solusi dalam rangka membantu memecahkan


masalah yangdihadapi dalam pemenuhan hak-hak dasar yang terabaikan.

6) Perencana
a) Megidentifikasi dan menganalisa masalah dan kebutuhan klien.
b) Memanfaatkan dukungan sosial yang ada di sekitar klien
c) Menyusun rencana program sesuai dengan masalah dan kebutuhan.
d) Merekomendasikan kepada pekerja sosial penanggung jawab kasus
(manajer kasus tersendiri)

21
7) Organisator, dengan tugas:
a) Menghimpun data dan informasi terkait dengan rencana pelayanan
terhadap klien
b) Membangun kerjamama dengan tim sesuai dengan tugas dan fungsinya.
c) Melakukan koordinasi dengan lembaga terkait dalam rangka
menyelesaikan masalah klien.

8) Evaluator, dengan tugas:


a) Memperhatikan perkembangan situasi dan kondisi klien.
b) Memperhatikan ketepatan pelayanan yang telah diberikan.

9) Konsultan, dan tugas:


a) Memberikan nasehat-nasehat kepada klien.
b) Memberikan pertimbangan-pertimbangan (solusi) untuk dijadikan
alternatif pilihan dalam memecahkan masalah yang dihadapi klien.

d. Etika pekerjaan sosial dalam manajemen kasus


1) Penerimaan (acceptance).
Seorang pekerja sosial harus menerima kondisi klien apa adanya tentangdiri
klien dengan tidak memandang latar belakang kondisi klien.
2) Individualisasi (individualization).
Bahwa setiap individu hidup memiliki perbedaan, sehingga dariperbedaan
tersebut, maka seorang pekerja sosial harus memperlakukanberbeda pula
antara klien satu dengan yang lainnya.
3) Ekspresi emosional secara bertujuan.
bahwa emosi egatif maupun positif yang keluar dari perempuan korban
kekerasan, sama pentingnya untuk dipahami oleh pekerja sosial sebagai
ekspresi untuk mencairkan kondisi emosinya agar dapat kembali stabil.
4) Keterlibatan emosional secara terkendali (empaty),
bahwa seorang pekerja sosial mampu menunjukkan pemahaman
yangsungguh-sungguh tentang perasaan yang dialami oleh RTSM, seolah-
olah ia berada dalam situasi dan kondisi yang sama dengannya

22
5) Sikap tidak menghakimi (non-judmental attitude).
Pekerja sosial dilarang menghakimi orang lain, artinya memberikanpendapat
tentang kesalahan atau tak bersalah yang sudah dilakukan olehperempuan
korban tindak kekerasan, karena ia mempunyai hak untukmengemukakan
situasi yang dihadapinya tanpa memperoleh tanggapannegatif, agar klien
dapat mengeluarkan perasaan yang mengganjal padadirinya.
6) Menentukan kehidupan dirinya sendiri ( self determination )
Pekerja sosial dalam memberikan pertolongan terhadap denganperempuan
kornban tindak kekerasan hanya sebatas memotivasi ataupun memberikan
solusi saja. Selanjutnya klien mempunyai hak untuk menerima atau menolak
usul pertolongan yang diberikan, dan klien memiliki kebebasan dalam
menentukan pemecahan masalahnya yang paling sesuai dengan yang di
inginkannya.
7) Kerahasiaan (confidentiality).
bahwa pekerja sosial wajib merahasiakan masalah yang dialami olehklien,
dan permasalahan dibuka hanya untuk kepentingan pemecahan masalahnya
terhadap lembaga lain dalam rangka mencari solusi lain yanglebih baik.
8) Kesadaran diri (self awareness)
Pekerja sosial dalam memberikan pertolongan harus mawas diri, artinya ia
harus menyadari bahwa dirinya memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga
ia berkewajiban bekerja sama dengan pihak lain /profesi lain yang
berkompeten dalam rangka pemacahan masalah RTS.
9) Ketulusan/kesungguhan (genuiness).
Seorang pekerja sosial harus tulus atau sungguh-sungguh dalam membantu
memecahkan masalah wanita korban tindak kekerasan,sehingga tidak ada
motif-motif tertentu kecuali hanya ingin menolong.
10) Kejujuran (honesty).
Pekerja sosial harus berani mengatakan apa adanya tentang sesuatuyang
harus diketahui oleh kliennya, selama tidak akan menimbulkan hal-halyang
membahayakan, atau merugikan diri klien.

23
e. Langkah-langkah pekerja sosial dalam manajemen kasus
1) Mengakses lembaga layanan
a) Manajer kasus menyiapkan dan membuat kerja sama denganlembaga-
lembaga layanan yang sesuai dengan kenutuhan klienperempuan korban
tindak kekerasan.
b) Manajer kasus menyiapkan surat referal klien dirujuk pada organisasiatau
lembaga pelayanan tersebut.
c) Manajer kasus menghubungkan klien untuk melakukan rujukan
kelembaga-lembaga yang sesuai dengan kebutuhannya.
d) Manajer kasus melakukan penjangkauan (outreach) terhadap klienyang
kesulitan menjangkau lembaga pelayanan, dan mendorongmereka agar
bersedia datang ke lembaga layanan untuk dibantumenyelesaikan
masalahnya.

2) Tahap awal masuk (intake process).


a) Menghimpun data dan informasi dari pekerja sosial dari hasil asesmen
b) Menganalisa data dan informasi yang telah masuk / diterima.
c) Manajer kasus atau pekerja sosial menggali atau mengeksplorasi masalah
dan kebutuhan klien serta membantu klien memenuhi persyaratan
(elijibilitas) untuk mendapatkan pelayanan
d) Manajer kasus memberikan informasi tentang pelayanan yang disediakan
oleh organisasi atau lembaga pelayanan serta tata cara mengisi formulir-
formulir yang diperlukan
e) Melihat dukungan sosial yang ada disekitar klien (dukungan keluarga,
budaya, nilai-nilai yang ada di lingkungan sekitar).
f) Keterampilan dalam mengembangkan rapport (membangun kepercayaan
klien pada pekerja sosial) dan keterampilan dalam mendapatkan
informasi.

3) Menyusun rencana intervensi:


a) Merumuskan tujuan pelayanan baik jangka pendek maupun
jangkapanjang dan realistis sesuai dengan kemampuan dan keinginan
klienberdasarkan hasil konseling atau terapi awal sebelum
mengkaitkanklien dengan sumber-sumber.

24
b) Menyusun rencana program yang sesuai dengan kebutuhan klien.
c) Merekomendasikan rencana program kepada lembaga rujukan.

4) Menghubungkan klien (linking clients)


a) Manajer kasus mengantarkan klien ke lembaga rujukan
b) Menajer kasus meyakinkan klien bahwa lembaga rujukanmerupakan
lembaga yang tepat terhadap pemecahan masalahnyadan keamanan klien.
c) Manajer kasus memberikan dukungan berupa konseling, motivasiuntuk
penguatan klien selama dalam lembaga rujukan.
d) Memberikan inormasi-informasi baru yang dibutuhkan klien.

5) Monitor dan reasesmen (monitoring and reassessment)


Secara berkala melakukan monitoring terhadap keberadaan klien
untukmelihat tingkat perkembangan keseluruhan diri klien. Jika terdapat
ketidaknyamananan klien, maka perlu dilakukan asesmen ulang untuk
mengetahuipermasalahannya sehingga dapat memberikan layanan yang lebih
baik.
6) Evaluasi hasil (outcome evaluation)
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui hasil pelayananan yang dilakukan
olehlembaga rujukan tersebut, baik yang menyangkut kondisi klien
maupunlembaga layanan itu sendiri.

C. NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF


1. Narkotika
Istilah Narkotika berasal dari bahasa Yunani "Narke", yang artinya beku, lumpuh dan
dungu (Sukarno, 1985). Narkotika adalah sejenis zat yang bila dipergunakan
(dimasukkan ke dalam tubuh) akan membawa pengaruh terhadap tubuh si pemakai.
Pengaruh tersebut berupa menenangkan, merangsang, dan menimbulkan khayalan,
menghilangkan rasa sakit dan menidurkan. Jenis Narkotika kelompok ganja termasuk
di dalamnya adalah mariyuana, sering juga disebut cimeng, gelek, rumput, ganga, pot
atau yarnie. Bentuknya seperti bunga kering. Seringkali digunakan dengan cara
dihisap setelah dicampur dengan rokok.

25
Bahaya penggunaan ganja adalah: jantung berdebar-debar, terjadi rasa gembira yang
aneh, halusinasi dan delusi (keyakinan yang tidak rasional), perasaan waktu berlalu
dengan sangat lambat, menjadi apatis, gejala fisik (mata merah, nafsu makan
bertambah, mulut kering), dan terjadi perilaku maladaptif (ketakutan, kecurigaan,
gangguan dalam fungsi sosial).
Pemakaian dalam dosis besar mengakibatkan bingung, tidak kenal lelah, kehilangan
realitas, dan panik. Pemakaian dalam jangka panjang menyebabkan timbulnya
berbagai penyakit seperti bronchitis, kanker paru-paru, gangguan pernafasan,
kehilangan semangat, daya konsentrasi menurun, menurunkan gairah seks,
menurunkan jumlah sperma, dan mengganggu siklus haid. Ganja termasuk jenis
narkotika dapat merupakan pencetus bagi terjadinya gangguan jiwa, yaitu adanya
waham (delusi) mirip dengan waham yang terdapat pada gangguan jiwa skizofrenia
(Hawari, 1999). Pemakaian ganja juga dapat menimbulkan dampak munculnya
Gangguan Mental Organik (GMO). Manifestasi GMO pada pengisap ganja yaitu: (a)
euforia atau munculnya rasa gembira tanpa sebab; (b). perasaan intensifikasi persepsi
subjektif, yaitu mengalami gangguan persepsi tentang diri dan lingkungannya,
halusinasi, delusi (waham); (c) perasaan waktu berlalu dengan lambat, misalnya
waktu 10 menit dirasakan sebagai satu jam; (d) apati, sikap acuh tak acuh terhadap
diri dan lingkungan, tidak ada kemauan atau inisiatif, masa bodoh; (e) timbul gejala
fisik yaitu: mata merah, nafsu makan bertambah, dan mulut kering; (f) efek dalam
tingkah laku, misalnya muncul kecurigaan yang berlebihan, ketakutan berlebihan,
aktivitas yang sehari-hari dilakukan menjadi menurun, malas sekolah/kuliah
ataubekerja, kehilangan teman, dan dapat kehilangan pekerjaan.
Kelompok opium termasuk didalamnya adalah heroin (putaw), morphine, dan
codeine.Heroin bentuknya seperti bubuk garam halus berwarna putih. Heroin ini
sering digunakandengan cara digerus kemudian ditaruh di atas alumunium foil
kemudian bagian bawahnya dibakar, asapnya dihisap lewat gulungan uang (disebut
ngedrugs) atau cara lain disuntikkan ke pembuluh darah. Bahaya penyalahgunaan
narkotika kelompok opium (heroin/putaw) adalah: timbulnya tingkah laku maladaptif
(ketakutan, kecurigaan, gangguan menilai realitas, gangguan dalam fungsi sosial,
pekerjaan atau sekolah), gangguan pemusatan perhatian/konsentrasi, daya ingat
menurun, bicara cadel, mengantuk, lemah/lesu, apatis, timbul rasa gembira yang
aneh, pupil mata mengecil atau melebar.

26
Apabila pemakaian opium dihentikan dapat terjadi gejala putus obat (Sakaw) dengan
ciri-ciri: air mata berlebihan, cairan hidung berlebihan, pupil mata melebar, keringat
berlebihan, mual dan muntah, bulu kuduk berdiri, tekanan darah naik, jantung
berdebar-debar, demam, kejang, nyeri kepala, nyeri/ngilu pada sendi-sendi dan
menjadi mudah marah serta agresif.
Pemakainan heroin dalam jangka panjang dapat menyebabkan pembuluh darah
rusak, bengkak, tetanus, terinfeksi HIV, Hepatitis B dan C, kehilangan nafsu makan,
bagi wanita dapat mengacaukan siklus haid dan kadang menjadi mandul. Pemakaian
heroin melebihi takaran/dosis menyebabkan pengguna sulit bernafas dan aktivitas
syaraf pusat dapat terhambat hingga menyebabkan koma dan berakhir dengan
kematian.
Kelompok koka dikenal dengan nama cocaine hydrochloride atau juga dengan nama
lain coke atau charlie. Bentuknya berupa bubuk berwarna putih. Pemakaian dengan
cara dihisap melalui lubang hidung. Bahaya penggunaan kokain adalah: dapat
menimbulkan agitas motorik (perilaku gelisah), rasa gembira yang aneh, kepercayaan
diri meningkat, banyak bicara, timbul kecurigaan, jantung berdebar-debar, pupil mata
melebar, tekanan darah naik, berkeringat berlebihan, mual, dan muntah. Apabila
pemakaian dihentikan dapat timbul gejala putus kokain, yaitu: depresi (murung,
sedih, ada keinginan bunuh diri), rasa lelah, lesu, tidak berdaya, gangguan tidur, dan
gangguan mimpi bertambah. Efek pemakaian jangka panjang menyebabkan
pendarahan hidung, sinus, merusak dinding hidung, dan problema tingkah laku.
Penggunaan yang berlebihan dapat menyebabkan gagal jantung, kerusakan paru-paru
dan pembuluh darah di otak pecah.

2. Psikotropika
Psikotropika adalah obat atau zat yang tidak tergolong narkotika tetapi dapat
disalahgunakan sehingga terjadi kondisi ketergantungan terhadap obat atau zat
tersebut (Widjono, dkk. 1981). Dalam UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika, disebutkan bahwa psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah
maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku. Psikotropika ini digolongkan menjadiempat, yaitu Psikotropika

27
golongan I, Psikotropika Golongan II, Psikotropika Golongan III danPsikotropika
Golongan IV.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor: 13/Men Kes/Per/IV/1985 yang
disebut Psikotropika adalah obat yang dapat: (a) menyebabkan ketergantungan, (b)
menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan saraf pusat, (c) menimbulkan
kelainan kelakuan disertai oleh timbulnya halusinasi, ilusi, gangguan cara berpikir
dan perubahan alam perasaan.
Pemakaian obat psikotropika ini harus dengan resep dokter, karena kalau
disalahgunakan pemakaiannya dapat merusak organ tubuh manusia baik fisik
maupun psikisnya. Bahaya penggunaan psikotropika adalah: timbul agitasi motorik
(hiperaktif, tidak dapat diam), rasa gembira yang aneh, kepercayaan diri meningkat,
banyak bicara, kecurigaan, halusinasi penglihatan, jantung berdebar-debar, tekanan
darah naik, keringat berlebihan tetapi kedinginan, mual, dan muntah. Apabila
penggunaan dihentikan dapat mengakibatkan: depresi (murung, sedih, ingin bunuh
diri), rasa lelah, lesu, gangguan tidur, dan gangguan mimpi buruk. Efek pemakaian
dalam dosis besar menimbulkan rasa melayang, kelakuan irasional, kejangkejang dan
muntah. Efek pemakaian jangka panjang dapat merusak sel-sel otak.

3. Zat Adiktif
Pada umumnya zat adiktif menimbulkan khayalan, selain itu juga dapat
menimbulkanrangsangan pada pemakai. Termasuk dalam kelompok zat adiktif ini
adalah: miras (alkohol). Alkohol dapat menimbulkan adiksi yaitu ketagihan atau
ketergantungan. Karena sifat adiktif dari alkohol ini, maka orang yang meminumnya
lama kelamaan tanpa disadari akan menambah takaran/dosis sampai pada dosis
keracunan (intoksikasi) atau mabuk. Efek pemakaian alkohol dalam jangka panjang
dapat mengakibatkan gangguan pada organ otak, liver (hati), alat pencernaan,
pankreas, otot, metabolisme, dan resiko kanker. Kelompok zat adiktif lainnya adalah
Ecstacy. Obat ini pengaruhnya terhadap saraf pusat serupa dengan narkotika dan
alkohol. Nama lain dari ecstacy adalah: speed, inex atau eccy. Ecstacy dapat
menimbulkan ketagihan dan ketergantungan karena zat ini mempunyai 4 sifat utama
yaitu: (a) keinginan pemakai yang tak tertahankan untuk menambah dosis sesuai
toleransi tubuh, hingga overdosis atau keracunan,

28
(b) adanya keinginan pemakai yang tak tertahankan sehingga dengan jalan apapun
akan ditempuh untuk memperolehnya (c) ketergantungan psikis, dan (d)
ketergantungan secara fisik.
Bahaya penggunaan Ecstacy adalah: timbulnya ganggguan mental organik dengan
gejala psikis: agitasi psikomotor (agresif), rasa gembira yang aneh, kepercayaan diri
meningkat, banyak bicara dan curiga; gejala fisik: jantung berdebar-debar,
berkeringat tapi terasa dingin, mual dan muntah ,dan dapat terjadi delirium
(kesadaran menurun). Bagi mereka yang sudah mengalami ketergantungan, bila
pemakaian dihentikan akan menimbulkan kondisi gejala putus obat yang ditandai
dengan gejala: rasa ketagihan, kelelahan, keletihan menyeluruh, tidur
berkepanjangan (12-24 jam), rasa sedih, murung, timbul pikiran tentang kematian
(ide bunuh diri), dan sering mencelakakan diri.

D. PENYALAHGUNAAN DAN KETERGANTUNGAN NAPZA


Penyalahgunaan dan Ketergantungan adalah istilah klinis/medik-psikiatrik yang
menunjukan ciri pemekaian yang bersifat patologik yang perlu di bedakan dengan
tingkat pemakaian psikologik-sosial, yang belum bersifat patologik.
Penyalahgunaan napza adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara
berkala atau teratur diluar indikasi medis,sehingga menimbulkan gangguan kesehatan
fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial.
Ketergantungan napza adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan
psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi),
apabila pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat
(withdrawal syamptom). Oleh karena itu ia selalu berusaha memperoleh NAPZA yang
dibutuhkannya dengan cara apapun, agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari
secara “normal”
1. Tingkat Pemakaian Napza.
a. Pemakaian coba-coba (experimental use), yaitu pemakaian NAPZA yang
tujuannya ingin mencoba,untuk memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai
berhenti pada tahap ini, dan sebagian lain berlanjut pada tahap lebih berat.
b. Pemakaian sosial/rekreasi (social/recreational use) : yaitu pemakaian NAPZA
dengan tujuan bersenang-senang,pada saat rekreasi atau santai. Sebagian
pemakai tetap bertahan pada tahap ini,namun sebagian lagi meningkat pada tahap
yang lebih berat.

29
c. Pemakaian Situasional (situasional use) : yaitu pemakaian pada saat mengalami
keadaan tertentu seperti ketegangan, kesedihan, kekecewaan, dan sebagainnya,
dengan maksud menghilangkan perasaan-perasaan tersebut.
d. Penyalahgunaan (abuse): yaitu penggunaan salah satu atau beberapa jenis
NAPZA secara berkala atau teratur diluar indikasi medis,sehingga menimbulkan
gangguan kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial.
e. Ketergantungan (dependence use) : yaitu keadaan dimana telah terjadi
ketergantungan fisik dan psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA
yang makin bertambah (toleransi), apabila pemakaiannya dikurangi atau
diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal syamptom). Oleh karena
itu ia selalu berusaha memperoleh NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara
apapun, agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari secara “normal”.

2. Faktor-Faktor Penyebab Penyalahgunaan Napza


Beberapa faktor utama yang dipandang berpengaruh terhadap penyalahgunaan
NAPZA adalah: ( Yatim, 1993; Kaminer, 1994; Blau dan Gullotta, 1996;
Ammerman dan Hersen, 1997; Hawari, 1998).
a. Faktor internal (ciri kepribadian)
Pola kepribadian seseorang besar pengaruhnya dalam penyalahgunaan NAPZA.
Ciri kepribadian yang lemah dan antisosial sering merupakan penyebab
seseorang menjadi penyalahguna NAPZA. Ciri kepribadian yang lemah
ditunjukkan dengan sifat-sifat:
1) mudah kecewa
2) kurang kuat menghadapi kegagalan
3) tidak sabar
4) kurang mandiri
5) kurang percaya diri
6) ingin selalu mendapat pengakuan
Ciri kepribadian antisosial ditunjukkan dengan sifat-sifat:
1) agresif (suka menyerang)
2) suka menentang peraturan
3) suka memberontak

30
b. Faktor keluarga
Beberapa kondisi keluarga yang berpengaruh terhadap penyalahgunaan NAPZA
adalah:
1) hubungan antar anggota keluarga tidak harmonis
2) keluarga yang tidak utuh
3) suasana rumah diwarnai dengan pertengkaran yang terus menerus
4) kurang komunikasi dan kasih sayang antar anggota keluarga
5) keluarga yang sering ribut dan berselisih
6) keluarga yang kurang mengamalkan hidup beragama
7) keluarga yang orang tuanya telah menggunakan NAPZA
8) keluarga yang terlalu permisif atau terlalu otoriter.

c. Faktor teman sebaya


Pengaruh buruk dari lingkungan pergaulan, khususnya pengaruh dan tekanan dari
kelompok teman sebaya sering menjadi sumber penyebab terjadinya
penyalahgunaan NAPZA. Kelompok teman sebaya tersebut berperan sebagai
media awal perkenalan dengan NAPZA. Menurut Hawkins, dkk. (1997)
penyalahgunaan NAPZA pada kelompok teman sebaya merupakan prediktor
yang kuat terhadap penyalahgunaan NAPZA pada remaja. Remaja yang bergaul
dengan kelompok penyalahguna NAPZA memiliki resiko tinggi untuk menjadi
penyalahguna NAPZA.
Beberapa faktor yang telah dikemukakan di atas merupakan faktor-faktor resiko
(riskfactors) terhadap penyalahgunaan NAPZA. Menurut Hawkins, dkk. (1997)
faktor resiko merupakan hal yang dapat menimbulkan atau meningkatkan
terjadinya penyalahgunaan NAPZA.Untuk pencegahan penyalahgunaan NAPZA,
upaya yang perlu dilakukan antara lain dengan mengurangi faktor-faktor resiko
dan meningkatkan faktor-faktor protektif, yaitu hal-hal yang dapat mencegah
timbulnya penyalahgunaan NAPZA. Faktor protektif diantaranya adalah
karakteristik individual termasuk di dalamnya adalah pribadi yang tabah dan ulet,
berorientasi sosial yang positif, cerdas, dan terampil. Individu mengembangkan
hubungan yang hangat, suportif dan ikatan sosial yang kuat dengan orang dewasa
pada masa kanak-kanaknya. Ikatan yang kuat dengan orang dewasa yang
prososial dapat menghindarkan dari penyalahgunaan NAPZA.

31
Selain itu jika kelompok-kelompok sosial seperti kelompok teman sebaya,
sekolah dan masyarakat menekankan norma-norma, keyakinan dan perilaku
standar, menolak ataumemerangi penyalahgunaan NAPZA, maka norma-norma
tersebut dapat sebagai faktor protektif dalam mengurangi penyalahgunaan
NAPZA di kalangan remaja.

3. Upaya Menghindari Penyalahgunaan Napza


Menurut pendapat Nevid, dkk.(1997) penyalahgunaan NAPZA sangat erat
kaitannyadengan peran sejumlah faktor yang melibatkan faktor-faktor kognitif
seperti harapan dan keyakinannya tentang NAPZA, proses pengambilan keputusan
dan kesadaran diri. Harapan dan keyakinan tentang NAPZA sangat dipengaruhi oleh
pengetahuan individu tentang masalah NAPZA. Individu yang lebih banyak
mengetahui efek negatif NAPZA, misalnya dapat menimbulkan kerusakan saraf,
prestasi belajar atau bekerja menurun bahkan dapat menimbulkan kematian, maka ia
cenderung memiliki harapan dan keyakinan negatif. Sebaliknya, individu yang lebih
banyak mendapatkan pengetahuan tentang pengaruh positif NAPZA, misalnya dapat
mengurangi kecemasan dan ketegangan, menimbulkan rasa percaya diri, maka ia
cenderung memiliki harapan dan keyakinan yang positif. Harapan dan keyakinan
tentang efek NAPZA sangat mempengaruhi keputusan individu untuk menggunakan
NAPZA atautidak. Individu yang memiliki harapan dan keyakinan positif terhadap
efek NAPZA maka kecenderungan untuk menggunakan NAPZA menjadi lebih
besar. Sebaliknya, individu yang memiliki harapan dan keyakinan negatif terhadap
efek NAPZA maka kecenderungan untuk menggunakan NAPZA menjadi lebih kecil.
Hasil penelitian Christiansen dan Goldman (dalam Nevid, dkk.,1997)
menunjukkanbahwa harapan dan keyakinan terhadap alkohol merupakan prediktor
yang lebih kuat pada kecenderungan remaja menjadi alkoholik dibandingkan dengan
prediktor riwayat keluarga.
Harapan dan keyakinan remaja bahwa alkohol dapat menolong mereka menjadi
orang yang dapat diterima secara sosial, menjadi percaya diri, merasa rileks, aktif,
dan merasa bebas dalam interaksi sosial merupakan faktor yang sangat penting
dalam peningkatan perilaku alkoholisme pada remaja.
Selain pengaruh harapan dan keyakinan tentang NAPZA, pengaruh kesadaran
individujuga sangat penting dalam masalah penyalahgunaan NAPZA. Menurut
Nevid, dkk. (1997) individu yang ragu-ragu terhadap kemampuan dirinya akan

32
mudah tertarik pada NAPZA untuk mengubah kondisinya. Nevid, dkk (1997);
Ammerman dan Hersen (1997) serta Fuller (1998) menyatakan bahwa daya tarik
NAPZA terletak pada kemampuannya untuk meningkatkan harapan efikasi diri, baik
secara langsung, misalnya dengan meningkatkan perasaan lebih bertenaga, lebih
kuat, dan lebih sejahtera; maupun secara tidak langsung, misalnya dengan
mengurangi perasaan cemas dan stres. Individu dengan kesadaran diri rendah
memandang dirinya lemah, tidak mampu, dan merasa kurang berhasil secara sosial.
Individu yang memiliki kesadaran rendah ini sangat membutuhkan dukungan agar ia
mampu menyelesaikan tugas.Apabila ia memiliki harapan dan keyakinan positif
terhadap NAPZA, misalnya dapat meningkatkan keberanian untuk bergaul, lebih
bertenaga, maka kecenderungan untukmenyalahgunakan NAPZA menjadi lebih
besar.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas maka dapat dinyatakan bahwa
upaya untuk dapat menghindari penyalahgunaan NAPZA dapat dilakukan melalui
dua pendekatan yaitu:
a. Meningkatkan pengetahuan tentang NAPZA
Pengetahuan tentang NAPZA berkaitan dengan jenis dan bahayanya akan dapat
membekali individu agar tidak mudah terjebak untuk ikut-ikutan menggunakan
NAPZA secara ilegal. Pemahaman mengenai bahaya yang ditimbulkan oleh
penyalahgunaan NAPZA dapat menjadi penguat keyakinan untuk menolak
penyalahgunaan NAPZA. Selain pengetahuan tentang jenis dan bahaya serta
bagaimana cara penyebaran NAPZA, perlu juga diketahui bagaimana ciri-ciri
para penyalahguna NAPZA. Hal ini akan dapat menjadikan referensi bagi
individu supaya selektif dalam memilih teman. Berikut ini akan dijelasakan
pengenalan gejala penyalahguna NAPZA. Proses penyalahgunaan NAPZA
biasanya didahului oleh penggunaan jenis obat-obatan atau kebiasaan tertentu,
misalnya merokok, kemudian minum alkohol. Ada beberapa tahap yang biasanya
dialami seseorang sehingga ia menjadi penyalahguna dan ketergantungan
terhadap NAPZA, yaitu:
1) Tahap coba-coba
Sebagian besar awal dari penyalahgunaan NAPZA terjadi karena pengaruh
teman sebaya. Alasan utama yang mendorong seseorang untuk mencoba
NAPZA dipengaruhi oleh rasa ingin tahu dan adanya bujukan atau tekanan
kelompok teman sebaya, tersedianya NAPZA serta suasana pada saat itu.

33
Pemakai pada tahap ini biasanya masih belum memiliki pengetahuan yang
cukup mengenai NAPZA, baik dalam hal jenis, pengaruh, dan bahayanya.

2) Tahap okasional/rekreasional
Sebagian pemakai pada tahap coba-coba ada yang menghentikan
pemakaiannya, tetapiada sebagian yang meneruskan ke tahap berikutnya.
Alasan utama yang mendorong pemakaian selanjutnya adalah adanya
pengalaman mendapatkan rasa senang, puas, dan kenikmatan dari percobaan
pertama. Selain itu juga adanya penerimaan dari kelompoknya. Umumnya
mereka telah mulai merasakan 'manfaat' dari penggunaan NAPZA tersebut.
Pada tahap ini umumnya pemakai sudah menggunakan NAPZA secara teratur
dan lebih sering, sehingga mereka dapat disebut sebagai penyalahguna.

3) Tahap pemakai tetap/reguler


Pada tahap ini penyalahguna telah menunjukkan adanya perubahan tingkah
laku tertentu yang selanjutnya akan mempengaruhi pola-pola kehidupannya
(pergaulan, pekerjaan maupun prestasi). Apabila pemakaian ini berlangsung
lama, maka akan terjadi ketergantungan, yaitu bila dijumpai toleransi dan
gejala putus obat (zat) bila pemakaian dihentikan atau dikurangi dosisnya.
Upaya pencegahan perlu dilakukan terhadap kelompok resiko tinggi, yaitu
kelompokyang memiliki kepribadian yang lemah dan anti sosial serta adanya
lingkungan yang kurang kondusif, misalnya keluarga yang tidak harmonis
atau orang tua penyalahguna NAPZA, teman-teman dekatnya adalah para
penyalahguna NAPZA. Selain itu perlu juga dilakukan upaya-upaya untuk
deteksi dini, sehingga apabila ada individu telah menyalahgunakan NAPZA
dapat diketahui secara lebih dini, maka upaya penyembuhan dan rehabilitasi
juga dapat dilakukan sejak dini. Deteksi dini ini perlu dilakukan oleh
berbagai kalangan terhadap orang-orang dekat di sekitarnya. Misalnya orang
tua terhadap anaknya, suami atau istri terhadap pasangannya, guru terhadap
muridnya, pengelola asrama atau panti terhadap anak asuhnya, dan
sebagainya. Upaya untuk melakukan deteksi dini dapat dilakukan dengan
terlebih dahulu memahami tentang gejala-gejala penyalahgunaan dan
ketergantungan (adiksi) terhadap NAPZA. Berikut ini akan diuraikan
beberapa gejala yang akan diklasifikasikan menjadi empataspek, yaitu:

34
a) Aspek kondisi fisik
 sering mengeluh pusing
 sering batuk dan pilek yang berkepanjangan
 matanya cenderung merah, sayu dan tatapannya kosong
 berjalan sempoyongan
 malas berolahraga
b) Aspek kondisi psikis
 menunjukkan sikap membangkang
 mudah tersinggung sehingga sering marah secara meledak-ledak
 menuntut kebebasan yang lebih besar
 tidak dapat menunda keinginan
 suka mengambil resiko tinggi, misalnya: melayani tantangan balapan,
berkelahi.
 emosinya sangat labil
 sikapnya manipulatif, misalnya: tampak manis bila ada maunya

c) Aspek hubungan sosial


 semakin jarang ikut kegiatan keluarga/asrama
 mulai melupakan tanggung jawab rutin di rumah/asrama
 merongrong keluarga untuk minta uang dengan berbagai alasan
 berceritera pada keluarga yang mau mendengarkan keluhannya
 jarang mau makan bersama keluarga
 sering menginap di rumah teman dengan berbagai alasan
 menolak orangtua atau saudara masuk ke kamarnya
 omongannya basa-basi dan semakin menghindari pembicaraan
panjang
 omongannya sering tidak dapat dipercaya (doyan bohong)
 sering ingkar janji dengan berbagai alasan
 temannya berganti-ganti dan jarang mau mengenalkan orang yang
bersangkutan
 suka membolos dari sekolah, kuliah atau tempat kerja

35
d) Aspek perubahan perilaku
 sering pulang larut malam
 sering pergi ke diskotik, mal atau pesta
 selalu mengeluh kehabisan uang (bokek)
 sering mencuri uang dan barang di rumah
 perubahan ritme tidur
 suka merokok berlebihan
 perubahan bahasa yang digunakan (menggunakan bahasa prokem)
 sering berlama-lama di kamar mandi
 suka mengunci diri di kamar
 malas mengurus diri
 sering makan permen karet atau mentol untuk menghilangkan bau
mulut
 senang memakai kaca mata gelap dan membawa obat tetes mata
 senang memakai baju lengan panjang untuk menutupi bekas sayatan
 sering membunyikan musik keras-keras tanpa mempedulikan orang
lain
 di kamarnya ada lilin atau pewangi ruangan, alat-alat yang dapat
digunakan untukteler, ada obat-obatan, kertas timah, bau-bau khas
yang tidak biasa di rumah itu, adajarum suntik dan biasanya jika
ditanya ia bersikukuh bahwa barang-barang tersebutbukan miliknya.

Bila indikasi-indikasi tersebut terdapat pada individu (kira-kira 10% atau


lebih) daridaftar tersebut maka patut dicurigai dan selanjutnya perlu
dilakukan pengamatan lebih teliti.Apabila ditemukan hal tersebut maka perlu
dilakukan pendekatan secara psikologis/persuasif. Hal ini lebih bijaksana
daripada langsung memusuhinya.

36
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik beberapa
kesimpulansebagai berikutnya. Walaupun pemerintah telah menunjukkan hasil nyata upaya
pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap
napza, namun masihminim upaya pencegahan oleh pihak pemerintah terhadap generasi
muda sebagai sasaransindikat peredaran gelap napza. Oleh karena jumlah penyalahgunaan
napza dari tahun ke tahunsemakin meningkat, maka dipandang perlu pencegahan dan
penangulangan penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap napza ditingkatkan
dengan melibatkan peran serta masyarakatsecara optimal. Untuk itu perlu dilaksanakan
program pemberdayaan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap napza.Langkah-langkah yang perlu
dilaksanakan dalam proses pemberdayaan masyarakat, yaitu:(a) pemerintah melakukan
pertemuan dengan masyarakat lokal di lingkungan RW, Desa,Kelurahan ; (b) tujuan
pertemuan : memberi pencerahan kepada tokoh masyarakat baik formalmaupun informal
mengenai peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap napza yang tertuang dalamBab III UU
RI No. 35

37
Daftar pustaka

Abednego,H.M.,1996,Beberapa Pandangan dan HarapanPemerintah Terhadap LSM Peduli


AIDS,Program Book, Abstrak,Pertemuan Nasional Pencegahan & Penatalaksanaan
HIV/AIDS,Jakarta
Ahmad,M.,Gaash,B.,Kasur,R.,andBashir,S.,2003,Knowledge,Attitude and Beliefon
HIV/AIDS Among The Female Senior Secondary Students in Srinagar District of
Kashmir,Healthand Population,26 (3):101-109.
Anonim,2006,Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk ODHA,Direktorat Bina Farmasi
Klinik dan Komunitas Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI,Jakarta
Anonim,2008,ISO Farmakoterapi,PTISFI,Jakarta.
Anonim,2009,Banyak Remaja Mati Muda OverDosis Narkoba,Badan Narkotika Nasional,
(online),(http://www.bnn.go.id/konten.php?
nama=KegiatanCegah&op=detail_kegiatan_cegah&id=95&mn=2&smn=f,diakses1Desembe
r2010).
Anonim,2010,Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia,Ditjen PPM & PL Depkes RI,(online),
(http://www.aidsindonesia.or.id/repo/LT1Menkes2010.pdf,diakses1 Desember2010)
Asdie,A.H.,2005,Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam,Volume4, Penerbit Buku
Kedokteran EGC,Jakarta.
Davey,P.,2008,Infeksi HIV dan AIDS,.Ata Glance Medicine,Erlangga, Jakarta,288-289.
Djoerban,Z.,2004,Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,EdisiV,Interna Publishing,Jakarta.

38

Anda mungkin juga menyukai