Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PENGENDALIAN INFEKSI DASAR

Dosen Pembimbing :

HUSNUL KHOTIMAH, M.Kep

Disusun oleh:

KELOMPOK 3 :

1) Adila Qotrunnada (2031800010)


2) Arini Afifatul Faizah (2031800013)
3) Ilmi Agustin (2031800023)
4) Mawaddatul Hasana (2031800026)
5) Ibnu Warid Al Ahmad (2031800048)

UNIVERSITAS NURUL JADID

FAKULTAS KESEHATAN

PRODI S1 KEPERAWATAN

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya maka kami disini dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “PENGENDALIAN INFEKSI DASAR”.
Penulisan makalah adalah salah satu tugas pelajaran Keperawatan Dasar II. Dalam penulisan
makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknik penulisan
maupun penyampaian materi, mengingatkan kemampuan yang dimiliki penulis belum
maksimal. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Penulis makalah ini menyampaikan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada
pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada pendidik
mata kuliah Keperawatan Dasar II Ibu Khusnul yang telah membimbing dan mengarahkan
bagaimana seharusnya makalah ini di buat.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan yang setimpal
pada mereka yang telah memberikan bantuan dan dapat menjadikan semua bantuan ini
sebagai ibadah serta makalah ini dapat menjadi manfaat bagi pembaca. Amiin Yaa
Robbal’Alamiin.

Paiton 25 Maret 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

JUDUL……………………………………………………………………………....

KATA PENGANTAR………………………………………………………...……

DAFTAR ISI………..……………………………………………………………....

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……………………………………………………………….
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………….
C. Tujuan dan Sasaran…………………………………………………….…….
D. Ruang Lingkup………………………………………………………………..
E. Konsep Dasar Penyakit Infeksi………………………………………………

BAB II
KEWASPADAAN STANDAR DAN BERDASARKAN TRANSMISI………….

BAB III
KEWASPADAAN TRANSMISI………………………………………………….

BAB IV

STANDAR KESELAMATAN PASIEN…………………………………………

BAB V

PENGELOLAAN DAN PEMBELAJARAN LABORATORIUM……………..

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penularan infeksi yang sering terjadi di lingkungan pelayanan medis, sangat
beresiko terpapar ke tenaga kesehatan, pasien, pengunjung dan karyawan. Pelayanan
kesehatan yang diberikan ke pasien harus didukung oleh sumber daya manusia yang
berkualitas untuk mencapai pelayanan yang prima dan optimal. Proses dalam
mewujudkan Pelayanan yang prima dan optimal dapat diwujudkan dengan kemampuan
kognitif dan motoric yang cukup yang harus dimiliki oleh setiap petugas kesehatan.
Seperti yang kita ketahui pengendalian infeksi di setiap pelayanan kesehatan merupakan
rangkaian aktifitas kegiatan yang wajib dilakukan oleh Tim Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi yang merupakan tuntutan kualitas sekaligus persyaratan
administrasi menuju proses akreditasi. Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang
diperoleh/dialami pasien selama dirawat di Rumah Sakit, puskesmas, dan layanan
kesehatan lainnya.
Infeksi Nosokomial terjadi karena adanya transmisi mikroba patogen yang
bersumber dari lingkungan rumah sakit dan perangkatnya.Akibat lainnya yang juga
cukup merugikan adalah hari rawat penderita yang bertambah, beban biaya menjadi
semakin besar, serta merupakan bukti bahwa manajemen pelayanan medis rumah sakit
kurang membantu. Infeksi nosokomial yang saat ini disebut sebagai healthcare associated
Infection (HAIs) merupakan masalah serius bagi semua sarana pelayanan kesehatan di
seluruh dunia termasuk Indonesia. Bagi masyarakat umum, sarana kesehatan merupakan
tempat pemeliharaan kesehatan.Pasien mempercayakan sepenuhnya kesehatan dirinya
atau keluarganya kepada petugas kesehatan, maka kewajiban petugas kesehatan adalah
menjaga kepercayaan tersebut.
Pelaksanaan Kewaspadaan Universal merupakan langkah penting untuk menjaga
sarana kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, dll) sebagai tempat penyembuhan, bukan
menjadi sumber infeksi.Berkaitan dengan hal di atas maka diperlukan rangkaian program
yang berkesinambungan dalam rangka pencegahan dan pengendalian Infeksi (PPI).Untuk
meminimalkan risiko terjadinya infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya perlu diterapkan pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI).Rumah Sakit/Klinik
sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan tidak saja memberikan pelayanan kuratif dan
rehabilitatif tetapi juga memberikan pelayanan preventif dan promotif.
Pengendalian dan pencegahan infeksi telah mengalami beberapa perubahan,
menyesuaikan dari hasil monitoring evaluasi selama dilahan. Di Indonesia, secara
Nasional, telah dimulai pembangunan sistematik kerangka pikir dan pengorganisasian
upaya PPI RS oleh Kementerian Kesehatan. Upaya ini dibangun melalui penyusunan
struktur organisasi dan tatakelola PPI di RS (dijabarkan dalam Pedoman Manajerial
PPIRS–KepMenKes No. 27/Menkes/SK/III/2007; revisi 2011). Program dasar PPI RS di
Indonesia dikembangkan berdasarkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di
RS dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lain (Depkes, 2007; revisi 2011) meliputi
pencegahan transmisi infeksi melalui penerapan kewaspadaan standar dan kewaspadaan
isolasi, pengendalian resistensi antibiotika melalui penggunaan antibiotika dan
disinfektan secara bijaksana, surveilans infeksi RS yang berfokus pada studi
epidemiologi dan analisis risiko, pengelolaan peralatan dan kebersihan lingkungan,
perlindungan dan profilaksis petugas serta edukasi staf. Penyiapan sumber daya manusia
yang kompeten dalam bidang PPI difasilitasi melalui berbagai pelatihan dan lokakarya
berjenjang mulai tingkat dasar sampai dengan tingkat lanjut secara berkesinambungan
(Sulistomo et al., 2009 ; KARS, 2011 ; JCI, 2014).
Pedoman ini memberi panduan bagi petugas kesehatan di Rumah Sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dalam melaksanakan pencegahan dan pengendalian
infeksi pada pelayanan terhadap pasien yang menderita penyakit menular melalui udara
(airborne). Dengan pengalaman yang sudah ada dengan pelayanan pasien SARS,
pedoman ini dapat juga diterapkan untuk menghadapi penyakit-penyakit infeksi lainnya
(Emerging Infectious Diseases) yang mungkin akan muncul di masa mendatang, baik
yang menular melalui droplet, udara atau kontak.
Melihat pentingnya pemahaman terkait pencegahan dan pengendalian infeksi di
layanan kesehatan, memberikan masukan bagi institusi pendidikan dalam peningkatan
proses pembelajaran yang dilakukaan di pendidikan dalam persiapan mencetak SDM
yang mumpuni. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menambah pengetahuan dan
kemampuan mahasiswa dalam persiapan kebutuhan SDM di dunia kerja, yaitu dengan
dilaksanakannya pelatihan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI). Pelatihan
Pengendalian dan Pencegahan Infeksi akan dilaksanakan selama 2 hari dimana meliputi
pembelajaran teori dan praktik ketrampilan. Pelatihan PPI ini dilakukan sesuai pedoman
terbaru yaitu Permenkes No 27 Tahun 2017.

B. Rumusan Masalah
1. Apa tujuan pengendalian infeksi dasar ?
2. Apa saja konsep dari penyakit infeksi ?
3. Apa resiko dari pengendalian infeksi dasar ?
C. Tujuan dan Sasaran
Pedoman PPI di Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan
kualitas pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan, sehingga melindungi sumber daya
manusia kesehatan, pasien dan masyarakat dari penyakit infeksi yang terkait pelayanan
kesehatan.Sasaran Pedoman PPI di Fasilitas Pelayanan Kesehatan disusun untuk
digunakan oleh seluruh pelaku pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan yang meliputi
tingkat pertama, kedua, dan ketiga.
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup program PPI meliputi kewaspadaan isolasi, penerapan PPI terkait
pelayanan kesehatan (Health Care Associated Infections/HAIs) berupa langkah yang
harus dilakukan untuk mencegah terjadinya HAIs (bundles), surveilans HAIs, pendidikan
dan pelatihan serta penggunaan anti mikroba yang bijak. Disamping itu, dilakukan
monitoring melalui Infection Control Risk Assesment (ICRA), audit dan monitoring
lainya secara berkala. Dalam pelaksanaan PPI, Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Praktik
Mandiri wajib menerapkan seluruh program PPI sedangkan untuk fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya, penerapan PPI disesuaikan dengan pelayanan yang di lakukan pada
fasilitas pelayanan kesehatan tersebut.
E. Konsep Dasar Penyakit Infeksi
Infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia, termasuk
Indonesia.Ditinjau dari asal atau didapatnya infeksi dapat berasal dari komunitas
(Community acquired infection) atau berasal dari lingkungan rumah sakit (Hospital
acquired infection) yang sebelumnya dikenal dengan istilah infeksi nosokomial.Dengan
berkembangnya sistem pelayanan kesehatan khususnya dalam bidang perawatan pasien,
sekarang perawatan tidak hanya di rumah sakit saja, melainkan juga di fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya, bahkan perawatan di rumah (home care). Tindakan medis yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang dimaksudkan untuk tujuan perawatan atau
penyembuhan pasien, bila dilakukan tidak sesuai prosedur berpotensi untuk menularkan
penyakit infeksi, baik bagi pasien (yang lain) atau bahkan pada petugas kesehatan itu
sendiri. Karena seringkali tidak bisa secara pasti ditentukan asal infeksi, maka sekarang
istilah infeksi nosokomial (Hospital acquired infection) diganti dengan istilah baru yaitu
“Healthcare-associated infections” (HAIs) dengan pengertian yang lebih luas tidak hanya
di rumah sakit tetapi juga di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.Juga tidak terbatas
infeksi pada pasien saja, tetapi juga infeksi pada petugas kesehatan yang didapat pada
saat melakukan tindakan perawatan pasien.Khusus untuk infeksi yang terjadi atau didapat
di rumah sakit, selanjutnya disebut sebagai infeksi rumah sakit (Hospital infection).
Pencegahan dan Pengendalian infeksi menjadi bagian penting dalam upaya
meningkatkan mutu pelayanan medis dan asuhan keperawatan di Puskesmas yang
berfokus pada keselamatan pasien, petugas dan lingkungan puskesmas. Kinerja PPI
dicapai melalui keterlibatan aktif semua petugas Puskesmas, mulai dari jajaran
manajemen, dokter, perawat, paramedis, pekarya, petugas kebersihan, sampai dengan
petugas parkir dan satpam maupun seluruh masyarakat di puskesmas seperti pengunjung,
mitra kerja puskesmas (Bank, asuransi, rekanan penyedia barang, dll). Kegiatan PPI
harus dilakukan secara tepat di semua bagian/area di Puskesmas, mencakup seluruh
masyarakat puskesmas dengan menggunakan prosedur dan petunjuk pelaksanaan yang
ditetapkan oleh Puskesmas. Upaya pokok PPI mendasarkan pada upaya memutus rantai
penularan infeksi berfokus pada Kewaspadaan Standar (Standart Precautions) yang
merupakan gabungan Kewaspadaan Universal (Universal Precautions) dan BSI (Body
Substance Isolation) , serta Kewaspadaan Isolasi berdasarkan transmisi penyakit.
Untuk dapat melakukan pencegahan dan pengendalian infeksi khususnya infeksi
rumah sakit, perlu memiliki pengetahuan mengenai konsep dasar penyakit infeksi. Pada
bab ini akan dibahas mengenai beberapa pengertian tentang infeksi dan kolonisasi,
inflamasi, rantai penularan penyakit, faktor risiko terjadinya infeksi (HAIs), serta strategi
pencegahan dan pengendalian infeksi.
1. Beberapa Batasan/Definisi
a. Kolonisasi : suatu keadaan dimana ditemukan adanya agen infeksi, dimana
organisme tersebut hidup, tumbuh dan berkembang biak, tetapi tanpa disertai
adanya respon imun atau gejala klinik. Pada kolonisasi, tubuh pejamu tidak dalam
keadaan suseptibel. Pasien atau petugas kesehatan bisa mengalami kolonisasi
dengan kuman patogen tanpa menderita sakit, tetapi dapat menularkan kuman
tersebut ke orang lain. Pasien atau petugas kesehatan tersebut dapat bertindak
sebagai “Carrier”.
b. Infeksi : suatu keadaan dimana ditemukan adanya agen infeksi (organisme),
dimana terdapat respon imun, tetapi tidak disertai gejala klinik.
c. Penyakit infeksi : suatu keadaan dimana ditemukan adanya agen infeksi
(organisme) yang disertai adanya respon imun dan gejala klinik.
d. Penyakit menular atau infeksius : penyakit (infeksi) tertentu yang dapat berpindah
dari satu orang ke orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.
e. Inflamasi (radang atau perdangan lokal) : bentuk respon tubuh terhadap suatu
agen (tidak hanya infeksi, dapat berupa trauma, pembedahan atau luka bakar),
yang ditandai dengan adanya sakit/nyeri (dolor), panas (calor), kemerahan
(rubor), pembengkakan (tumor) dan gangguan fungsi.
f. “Systemic Inflammatory Response Syndrome” (SIRS) : sekumpulan gejala klinik
atau kelainan laboratorium yang merupakan respon tubuh (inflamasi) yang
bersifat sistemik. Kriteria SIRS bila ditemukan 2 atau lebih dari keadaan berikut :
(1) hipertermi atau hipotermi atau suhu tubuh yang tidak stabil,
(2) takikardi (sesuai usia),
(3) takipnoe (sesuai usia),
(4) leukositosis atau leukopenia (sesuai usia) atau pada hitung jenis leukosit
jumlah sel muda (batang) lebih dari 10%. SIRS dapat disebabkan karena infeksi
atau non-infeksi seperti trauma, pembedahan, luka bakar, pankreatitis atau
gangguan metabolik.SIRS yang disebabkan infeksi disebut “Sepsis”.

2. Rantai Penularan
Untuk melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi perlu
mengetahui rantai penularan.Apabila satu mata rantai dihilangkan atau dirusak, maka
infeksi dapat dicegah atau dihentikan. Komponen yang diperlukan sehingga terjadi
penularan tersebut adalah:
a. Agen infeksi (infectious agent) adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan
infeksi. Pada manusia, agen infeksi dapat berupa bakteri virus, jamur dan parasit.
Ada 3 faktor pada agen penyebab yang mempengaruhi terjadinya infeksi yaitu :
patogenesis, virulensi dan jumlah (dosis atau “lood”).
b. Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang biak
dan siap ditularkan kepada orang. Reservoir yang paling umum adalah manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan bahan-bahan organik lainnya. Pada
orang sehat, permukaan kulit, selaput lendir saluran napas atas, usus dan vagina
merupakan reservoir yang umum.
c. Pintu keluar (portal of exit) adalah jalan darimana agen infeksi meninggalkan
reservoir. Pintu keluar meliputi saluran pernapasan, pencernaan, saluran kemih
dan kelamin, kulit dan membrana mukosa, transplasenta dan darah serta cairan
tubuh lain.
d. Pintu masuk (portal of entry) adalah tempat dimana agen infeksi memasuki
pejamu (yang suseptibel). Pintu masuk bisa melalui saluran pernapasan,
pencernaan, saluran kemih dan kelamin, selaput lendir, serta kulit yang tidak utuh
(luka).
e. Pejamu (host) yang suseptibel adalah orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh
yang cukup untuk melawan agen infeksi serta mencegah terjadinya infeksi atau
penyakit. Faktor yang khusus dapat mempengaruhi adalah umur, status gizi, status
imunisasi, penyakit kronis, luka bakar yang luas, trauma atau pembedahan,
pengobatan dengan imunosuresan. Faktor lain yang mungkin berpengaruh adalah
jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status ekonomi, gayahidup, pekerjaan dan
herediter.

3. Faktor Risiko “Healthcare-associated infections” (HAIs)


a. Umur : neonatus dan lansia lebih rentan.
b. Status imun yang rendah (imuno-kompromais) : penderita dengan penyakit
kronik, penderita keganasan, obat-obat imunosupresan.
c. Interupsi barier anatomis : kateterisasi meningkatkan kejadian infeksi saluran
kemih (ISK).
d. Prosedur Operasi : dapat menyebabkan infeksi luka operasi (ILO) atau “Surgical
Site Infection” (SSI).
e. Implantasi benda asing :1) “indwelling catheter”
2) “surgical suture material”
3) “cerebrospinal fuid shunts”
4) “valvular / vascular prostheses”

f. Perubahan mikroflora normal :pemakaian antibiotika yang tidak bijaksana


menyebabkan timbulnya kuman yang resisten terhadap berbagai antimikroba.

4. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi


Proses terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara suseptibilitas pejamu,
agen infeksi (patogenitas, virulensi dan dosis) serta cara penularan. Identifikasi faktor
risiko pada pejamu dan pengendalian terhadap infeksi tertentu dapat mengurangi
insiden terjadinya infeksi (HAIs), baik pada pasien ataupun pada petugas kesehatan.
5. Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari :
a. Peningkatan daya tahan pejamu dapat meningkat dengan pemberian imunisasi
aktif (contoh vaksinasi Hepatitis B), atau pemberian imunisasi pasif
(imunoglobulin). Promosi kesehatan secara umum termasuk nutrisi yang adekuat
akan meningkatkan daya tahan tubuh.
b. Inaktivasi agen penyebab infeksi dapat dilakukan dengan metode fisik maupun
kimiawi. Contoh metode fisik adalah pemanasan (Pasteurisasi atau Sterilisasi) dan
memasak makanan seperlunya. Metode kimiawi termasuk klorinasi air, disinfeksi.
c. Memutus rantai penularan merupakan cara yang paling mudah untuk mencegah
penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya sangat bergantung kepada ketaatan
petugas dalam melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan. Tindakan
pencegahan ini telah disusun dalam suatu “Isolation Precautions” (Kewaspadaan
Isolasi) yang terdiri dari dua tingkatan yaitu “Standard Precautions”
(Kewaspadaan standar) dan “Transmission- based Precautions” (Kewaspadaan
berdasarkan cara penularan).
d. Tindakan pencegahan paska pajanan (“Post Exposure Prophylaxis”/PEP) terhadap
petugas kesehatan berkaitan dengan pencegahan agen infeksi yang ditularkan
melalui darah dan cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk
jarum bekas pakai atau pajanan lainnya. Penyakit yang perlu mendapat perhatian
adalah hepatitis B, Hepatitis C dan HIV.

BAB II
KEWASPADAAN STANDAR DAN BERDASARKAN TRANSMISI

Ketika HIV/AIDS muncul pada tahun 1985, dibutuhkanlah suatu pedoman untuk
melindungi petugas pelayanan kesehatan dari terinfeksi.Karena penularannya termasuk Hepatitis
C virus adalah melalui darah, maka disusunlah pedoman yang disebut Kewaspadaan Universal
(Universal Precaution).Sejak diberlakukan dan diterapkan di rumah sakit dan fasilitas kesehatan
lainnya, strategi baru ini telah dapat melindungi petugas pelayanan kesehatan (penularan dari
pasien ke petugas) serta mencegah penularan dari pasien ke pasien dan dari petugas ke pasien.

Individu yang terinfeksi HIV atau HCV tidak menunjukkan gejala penyakit atau terlihat
sebagai layaknya seseorang yang terinfeksi, maka Kewaspadaan Universal di modifikasi agar
dapat menjangkau seluruh orang (pasien, klien, pengunjung) yang datang ke fasilitas layanan
kesehatan baik yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi.

Pada tahun 1987 diperkenalkan sistem pendekatan pencegahan infeksi kepada pasien dan
petugas kesehatan, yaitu Body Substance Isolation (BSI) sebagai alternatif dari Kewaspadaan
Universal.Pendekatan ini difokuskan untuk melindungi pasien dan petugas kesehatan dari semua
cairan lendir dan zat tubuh (sekret dan ekskret) yang berpotensi terinfeksi, tidak hanya
darah.Body Substance Isolation (BSI) ini juga meliputi: imunisasi perlindungan bagi pasien dan
staf fasilitas layanan kesehatan yang rentan terhadap penyakit yang ditularkan melalui udara atau
butiran lendir (campak, gondong, cacar air dan rubela), termasuk imunisasi hepatitis B dan
toksoid tetanus untuk petugas, mengkajiulang instruksi bagi siapapun yang akan masuk ke ruang
perawatan pasien terutama pasien dengan infeksi yang ditularkan lewat udara (Lynch dkk, 1990).

Sistem Body Substance Isolation (BSI) lebih cepat diterima daripada sistem
Kewaspadaan Universal karena lebih sederhana, lebih mudah dipelajari dan diterapkan dan dapat
diberlakukan untuk semua pasien, tidak hanya pada pasien yang didiagnosis atau dengan gejala
yang mungkin terinfeksi tetapi tetap berisiko bagi pasien dan staf lainnya. Kelemahan sistem ini
antara lain: membutuhkan biaya tambahan untuk perlengkapan pelindung terutama sarung
tangan, kesulitan dalam perawatan rutin harian bagi semua pasien, ketidakpastian mengenai
pencegahan terhadap pasien dalam ruang isolasi serta penggunaan sarung tangan yang berlebihan
untuk melindungi petugas dengan biaya dibebankan kepada pasien.
Keberadaan kedua sistem ini pada awal 1990 mengakibatkan fasilitas pelayanan dan
petugas kesehatan tidak dapat memilih pedoman pencegahan mana yang harus digunakan.
Sehingga pada beberapa rumah sakit telah diterapkan Kewaspadaan Universal, sedangkan yang
lainnya menerapkan Isolasi Zat Tubuh. Kebingungan yang terjadi semakin besar dimana rumah
sakit dan staf merasa telah menerapkan Kewaspadaan Universal, padahal sebenarnya mereka
menerapkan Isolasi Zat Tubuh dan sebaliknya, termasuk banyaknya variasi lokal dalam
menginterpretasikan dan menggunakan Kewaspadaan Universal dan Isolasi Zat Tubuh serta
variasi kombinasi penggunaan kedua sistem tersebut. Ditambah 16 lagi dengan adanya
kebutuhan untuk menggunakan kewaspadaan tambahan bagi pencegahan penyakit yang
ditularkan lewat udara (airborne), droplet dan kontak badan, yang merupakan keterbatasan utama
Isolasi Zat Tubuh (Rudnick dkk 1993).

Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan


bertujuan untuk melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung yang menerima pelayanan
kesehatan serta masyarakat dalam lingkungannya dengan cara memutus siklus penularan
penyakit infeksi melalui kewaspadaan standar dan berdasarkan transmisi. Bagi pasien yang
memerlukan isolasi, maka akan diterapkan kewaspadaan isolasi yang terdiri dari kewaspadaan
standar dan kewaspadaan berdasarkan transmisi.

A. Kewaspadaan Standar
Kewaspadaan standar yaitu kewaspadaan yang utama, dirancang untuk diterapkan
secara rutin dalam perawatan seluruh pasien di rumah sakit dan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya, baik yang telah didiagnosis,diduga terinfeksi atau kolonisasi.
Diterapkan untuk mencegah transmisi silang sebelum pasien di diagnosis, sebelum
adanya hasil pemeriksaan laboratorium dan setelah pasien didiagnosis.Tenaga kesehatan
seperti petugas laboratorium, rumah tangga, CSSD, pembuang sampah dan lainnya juga
berisiko besar terinfeksi.Oleh sebab itu penting sekali pemahaman dan kepatuhan petugas
tersebut untuk juga menerapkan Kewaspadaan Standar agar tidak terinfeksi. Pada tahun
2007, CDC dan HICPAC merekomendasikan 11 komponen utama yang harus
dilaksanakan dan dipatuhi dalam kewaspadaan standar, yaitu kebersihan tangan, Alat
Pelindung Diri (APD), dekontaminasi peralatan perawatan pasien,kesehatan lingkungan,
pengelolaan limbah, penatalaksanaan linen, perlindungan kesehatan petugas, penempatan
pasien, hygiene respirasi/etika batuk dan bersin, praktik menyuntik yang aman dan
praktik lumbal pungsi yang aman.
Kesebelas kewaspadaan standar tersebut yang harus di terapkan di semua fasilitas
pelayanan kesehatan, sebagai berikut:
1. Kebersihan Tangan
Kebersihan tangan dilakukan dengan mencuci tangan menggunakan sabun dan air
mengalir bila tangan jelas kotor atau terkena cairan tubuh, atau menggunakan alkohol
(alcohol-based handrubs)bila tangan tidak tampak kotor. Kuku petugas harus selalu
bersih dan terpotong pendek, tanpa kuku palsu, tanpa memakai perhiasan cincin. Cuci
tangan dengan sabun biasa/antimikroba dan bilas dengan air mengalir.

2. Alat Pelindung Diri (APD)


Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam APD sebagai berikut:
1) Alat pelindung diri adalah pakaian khusus atau peralatan yang di pakai
petugas untuk memproteksi diri dari bahaya fisik, kimia, biologi/bahan
infeksius.
2) APD terdiri dari sarung tangan, masker/Respirator Partikulat, pelindung
mata (goggle), perisai/pelindung wajah, kap penutup kepala, gaun
pelindung/apron, sandal/sepatu tertutup (Sepatu Boot).
3) Tujuannya untuk melindungi kulit dan membran mukosa dari resiko
pajanan darah, cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh dan
selaput lendir dari pasien ke petugas dan sebaliknya.

3. Dekontaminasi Peralatan Perawatan Pasien


Pada tahun 1968 Spaulding mengusulkan tiga kategori risiko berpotensi infeksi
untuk menjadi dasar pemilihan praktik atau proses pencegahan yang akan digunakan
(seperti sterilisasi peralatan medis, sarung tangan dan perkakas lainnya) sewaktu
merawat pasien.
4. Pengendalian Lingkungan
1) Kualitas Udara Tidak dianjurkan melakukan fogging dan sinar ultraviolet untuk
kebersihan udara, kecuali dry mist dengan H2O2 dan penggunaan sinar UV untuk
terminal dekontaminasi ruangan pasien dengan infeksi yang ditransmisikan
melalui air borne. kualitas air bersih harus dipenuhi baik menyangkut bau, rasa,
warna dan susunan kimianya termasuk debitnya sesuai ketentuan peraturan
perundangan mengenai syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum dan
mengenai persyaratan kualitas air minum.
2) Permukaan lingkungan Seluruh pemukaan lingkungan datar, bebas debu, bebas
sampah, bebas serangga dan binatang pengganggu dan harus dibersihkan secara
terus menerus. Perbersihan permukaan dapat dipakai klorin 0,05%, atau H2O2
0,5-1,4%, bila ada cairan tubuh menggunakan klorin 0,5%. Fasilitas pelayanan
kesehatan harus membuat dan melaksanakan SPO untuk pembersihan, disinfeksi
permukaan lingkungan,tempat tidur, peralatan disamping tempat tidur dan
pinggirannya yang sering tersent. Fasilitas pelayanan kesehatan harus mempunyai
disinfektan yang sesuai standar untuk mengurangi kemungkinan penyebaran 48
kontaminasi.
3) Desain dan konstruksi bangunan
Desain dari faktor berikut dapat mempengaruhi penularan infeksi yaitu
jumlah petugas kesehatan, desain ruang rawat, luas ruangan yang tersedia, jumlah
dan jenis pemeriksaan/prosedur, persyaratan teknis komponen lantai, dinding dan
langit-langit, air, listrik dan sanitasi, ventilasi dan kualitas udara, pengelolaan alat
medisreused dan disposable, pengelolaan makanan, laundry dan limbah.
5. Pengelolaan Limbah
a. Risiko Limbah
Rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain sebagai sarana
pelayanan kesehatan adalah tempat berkumpulnya orang sakit maupun sehat,
dapat menjadi tempat sumber penularan penyakit serta memungkinkan terjadinya
pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan, juga menghasilkan limbah yang
dapat menularkan penyakit.
b. Jenis Limbah
Fasilitas pelayanan kesehatan harus mampu melakukan minimalisasi
limbah yaitu upaya yang dilakukan untuk mengurangi jumlah limbah yang
dihasilkan dengan cara mengurangi bahan (reduce), menggunakan kembali
limbah (reuse) dan daur ulang limbah (recycle).
c. Tujuan Pengelolaan Limbah
1) Melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan masyarakat sekitar
fasilitas pelayanan kesehatan dari penyebaran infeksi dan cidera.
2) Membuang bahan-bahan berbahaya (sitotoksik, radioaktif, gas, limbah
infeksius, limbah kimiawi dan farmasi) dengan aman.
d. Proses Pengelolaan Limbah
Proses pengelolaan limbah dimulai dari identifikasi, pemisahan, labeling,
pengangkutan, penyimpanan hingga pembuangan/ pemusnahan.
6. Penatalaksanaan Linen
Linen terbagi menjadi linen kotor dan linen terkontaminasi. Linen terkontaminasi
adalah linen yang terkena darah atau cairan tubuh lainnya, termasuk juga benda
tajam. Penatalaksanaan linen yang sudah digunakan harus dilakukan dengan hati-hati.
Kehatian-hatian ini mencakup penggunaan perlengkapan APD yang sesuai dan
membersihkan tangan secara teratur sesuai pedoman kewaspadaan standard.
7. Perlindungan Kesehatan Petugas
Petugas harus selalu waspada dan hati-hati dalam bekerja untuk mencegah
terjadinya trauma saat menangani jarum, scalpel dan alat tajam lain yang dipakai
setelah prosedur, saat membersihkan instrumen dan saat membuang jarum.
Jangan melakukan penutupan kembali (recap) jarum yang telah dipakai,
memanipulasi dengan tangan, menekuk, mematahkan atau melepas jarum dari spuit.
Buang jarum, spuit, pisau,scalpel, dan peralatan tajam habis pakai lainnya kedalam
wadah khusus yang tahan tusukan/tidak tembus sebelum dimasukkan ke insenerator.
Bila wadah khusus terisi ¾ harus diganti dengan yang baru untuk menghindari
tercecer.
Sebagian besar insiden pajanan okupasional adalah infeksi melalui darah yang
terjadi dalam fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). HIV, hepatitis B dan hepatitis
C adalah patogen melalui darah yang berpotensi paling berbahaya, dan kemungkinan
pajanan terhadap patogen ini merupakan penyebab utama kecemasan bagi petugas
kesehatan di seluruh dunia.
Risiko mendapat infeksi lain yang dihantarkan melalui darah (bloodborne) seperti
hepatitis B dan C jauh lebih tinggi dibandingkan mendapatkan infeksi HIV. Sehingga
tatalaksana pajanan okupasional terhadap penyebab infeksi tidak terbatas pada PPP
HIV saja. Di seluruh fasyankes, kewaspadaan standar merupakan layanan standar
minimal untuk mencegah penularan patogen melalui darah.
8. Penempatan Pasien
a. Tempatkan pasien infeksius terpisah dengan pasien non infeksius.
b. Penempatan pasien disesuaikan dengan pola transmisi infeksi penyakit pasien
(kontak, droplet, airborne) sebaiknya ruangan tersendiri.
c. Bila tidak tersedia ruang tersendiri, dibolehkan dirawat bersama pasien lain yang
jenis infeksinya sama dengan menerapkan sistem cohorting. Jarak antara tempat
tidur minimal 1 meter. Untuk menentukan pasien yang dapat disatukan dalam satu
ruangan, dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Komite atau Tim PPI.
d. Semua ruangan terkait cohorting harus diberi tanda kewaspadaan berdasarkan
jenis transmisinya (kontak,droplet, airborne).
e. Pasien yang tidak dapat menjaga kebersihan diri atau lingkungannya seyogyanya
dipisahkan tersendiri.
f. Mobilisasi pasien infeksius yang jenis transmisinya melalui udara (airborne) agar
dibatasi di lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan untuk menghindari terjadinya
transmisi penyakit yang tidak perlu kepada yang lain.
g. Pasien HIV tidak diperkenankan dirawat bersama dengan pasien TB dalam satu
ruangan tetapi pasien TB-HIV dapat dirawat dengan sesama pasien TB.
9. Kebersihan Pernapasan/Etika Batuk dan Bersin
a. Menutup hidung dan mulut dengan tisu atau saputangan atau lengan atas.
b. Tisu dibuang ke tempat sampah infeksius dan kemudian mencuci tangan.
Edukasi/Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) dan fasilitas pelayanan
kesehatan lain dapat dilakukan melalui audio visual, leaflet, poster, banner,
video melalui TV di ruang tungguataulisan oleh petugas.
10. Praktik Menyuntik Yang Aman
a. Menerapkan aseptic technique untuk mecegah kontaminasi alat- alat injeksi
(kategori IA)
b. Tidak menggunakan semprit yang sama untuk penyuntikan lebih dari satu
pasien walaupun jarum suntiknya diganti (kategori IA)
c. Semua alat suntik yang dipergunakan harus satu kali pakai untuk satu
pasien dan satu prosedur (kategori IA)
d. Gunakan cairan pelarut/flushing hanya untuk satu kali (NaCl, WFI, dll)
(kategori IA)
e. Gunakan single dose untuk obat injeksi (bila memungkinkan) (kategori IB)
f. Tidak memberikan obat-obat single dose kepada lebih dari satu pasien atau
mencampur obat-obat sisa dari vial/ampul untuk pemberian berikutnya
(kategori IA)
g. Bila harus menggunakan obat-obat multi dose, semua alat yang akan
dipergunakan harus steril (kategori IA)
h. Simpan obat-obat multi dose sesuai dengan rekomendasi dari pabrik yang
membuat (kategori IA)
i. Tidak menggunakan cairan pelarut untuk lebih dari 1 pasien (kategori IB)
11. Praktik Lumbal Pungsi Yang Aman
Semua petugas harus memakai masker bedah, gaun bersih, sarung tangan steril
saat akan melakukan tindakan lumbal pungsi, anestesi spinal/epidural/pasang kateter
vena sentral. Penggunaan masker bedah pada petugas dibutuhkan agar tidak terjadi
droplet flora orofaring yang dapat menimbulkan meningitis bacterial.
BAB III

KEWASPADAAN TRANSMISI

Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan


bertujuan untuk melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung yang menerima pelayanan
kesehatan serta masyarakat dalam lingkungannya dengan cara memutus siklus penularan
penyakit infeksi melalui kewaspadaan standar dan berdasarkan transmisi.

Jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi sebagai berikut:

1. Melalui kontak

2. Melaluidroplet

3.Melalui udara (AirbornePrecautions)

4. Melalui common vehicle (makanan, air, obat, alat,peralatan)

5. Melalui vektor (lalat, nyamuk,tikus)

Suatu infeksi dapat ditransmisikan lebih dari satu cara.

1. Kewaspadaan Transmisi Melalui Kontak


2. Kewaspadaan Transmisi Melalui Droplet
BAB IV

STANDAR KESELAMATAN PASIEN

Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit
yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Maksud dari Sasaran Keselamatan
Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran menyoroti
bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi
dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan ini.Diakui bahwa desain sistem
yang baik secara intrinsik adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan
bermutu tinggi, sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada solusi-solusi yang
menyeluruh.

Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman. Insiden keselamatan pasien adalah setiap kejadian yang tidak
disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat
dicegah pada pasien.

Insiden Keselamatan Pasien

1. KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) – Adverse event : insiden yang mengakibatkan pasien
cedera
2. Kejadian Sentinel : Kejadian Tidak Diharapkan yang mengakibatkan kematian atau
cedera yang serius
3. KNC (Kejadian Nyaris Cedera ) – Near miss, Close call : terjadinya insiden yang belum
sampai terpapar ke pasien ( pasien tidak cedera)
4. KTC (Kejadian Tidak Cedera) – No harm incident: insiden sudah terpapar ke pasien,
tetapi pasien tidak timbul cedera
5. KPC (Kondisi Potensial Cedera) – Reportable circumstance: kondisi / situasi yang sangat
berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden. Contoh :Alat
defibrilator yang standby di IGD, tetapi kemudian diketahui rusak ; ICU yg under staff

Jenis Insiden Yang Harus Dilaporkan

1. Kejadian Sentinel
2. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)
3. Kejadian Tidak Cidera (KTC)
4. Kejadian Nyaris Cidera (KNC)

Enam sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya hal-hal sebagai berikut

1. Ketepatan Identifikasi Pasien


2. Peningkatan Komunikasi Yang Efektif
3. Peningkatan Keamanan Obat Yang Perlu Diwaspadai (High-Alert)
4. Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepatpasien Operasi
5. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
6. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
BAB V

PENGELOLAAN DAN PEMBELAJARAN LABORATORIUM

A. Standar Laboratorium Pendidikan Kesehatan Sebagai Pendukung Mutu


Pendidikan Tinggi
Peran laboratorium dalam sebuah institusi pendidikan untuk menunjang
keberhasilan mahasiswa dan mahasiswi dalam menyelesaikan study mereka.
Pembelajaran praktikum mempunyai komposisi yang besar dalam dunia pendidikan
kesehatan sehingga keberadaan laboratorium yang ideal dalam sebuah insitusi pendidikan
akan menentukan mutu pendidikan dalam perguruan tinggi.
Ruang lingkup standar nasional pendidikan terdir atas :
1. Standar kompetensi lulusan
2. Standar isi pembelajaran
3. Standar proses pembelajaran
4. Standar penilaian pembelajaran
5. Standar dosen dan tenaga pendidikan
6. Standar sarana dan prasarana pembelajaran (Pasal 31-33)
7. Standar pengelolaan pembelajaran
8. Standar pembiayaan pembelajaran Dalam standar nasional pendidikan tinggi terdapat
point standar sarana dan prasarana pembelajaran.
B. Kualifikasi Tenaga Kependidikan
Berikut merupakan standar tenaga pendidikan yang diatur dalam (SN DIKTI
PASAL 30):
1. Tenaga kependidikan memiliki kualifikasi akademik paling rendah lulusan program
diploma 3 yang dinyatakan dengan ijazah sesuai dengan kualifikasi tugas pokok dan
fungsinya.
2. Tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi tenaga
administrasi.
3. Tenaga administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki kualifikasi
akademik paling rendah SMA atau sederajat.
C. Standar Sarana dan Prasarana Pembelajaran (PS 31-33)
Standar prasarana pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 paling
sedikit terdiri atas:
1. lahan;
2. ruang kelas;
3. perpustakaan;
4. laboratorium/studio/bengkel kerja/unit produksi; tempat berolahraga;
5. ruang untuk berkesenian;
6. ruang unit kegiatan mahasiswa;
7. ruang pimpinan perguruan tinggi;
8. ruang dosen;
9. ruang tata usaha;
10. fasilitas umum.
D. Kewajiban Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
Sebagai seorang tenaga pendidik yang sudah terkualifikasi tentunya dalam proses
kegiatan belajar mengajar bisa menciptakan suasana yang bermakna, menyenangkan,
kreatif dinamis, dan dialogis. Sehingga peseta didik tidak merasa bosan dalam menjalani
proses kegiatan belajar mengajar.
Menciptakan mutu pendidikan yang berkualitas berangkat dari tenaga pendidikan
yang berkualitas pula. Untuk selalu meningkatkan mutu pendidikan maka sebagai
seorang tenaga pendidikan harus mempunyai komitmen secara profesional untuk selalu
berusaha meningkatkan pendidikan. Upaya yang dilakukan bisa dimulai dari diri sendiri
dengan selalu mengembangkan diri sebagai seorang tenaga pendidik.
E. Tenaga Laboran
Jenis-Jenis tenaga laboran antara lain :
1) Laboran Kebidanan
2) Laboran Microteaching
3) Laboran Keperawatan
4) Laboran Biomedik
5) Laboran Fisiotherapi
6) Laboran Bahasa
7) Labor /Teknisi/Analis/Operator/Programer dsb
F. Visi dan Misi
Visi Laboratorium merupakan pusat penelusuran kembali konsep-konsep ilmu
pengetahuan, pengembangan ilmu pengetahuan, dan atau ditemukannya ilmu
pengetahuan baru dan aplikasi ilmu pengetahuan.
Misi laboratorium Mencakup beberapa hal yaitu menciptakan laboratorium
sebagai pusat penemuan dan pengembangan IPTEK, memahami menguji dan
menggunakan konsep/teori untuk diterapkan pada saat praktik, menciptakan keamanan
dan keselamatan kerja di laboratorium dan menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif.
G. Pengelolaan Laboratorium
1. Kepala unit laboratorium bertanggung jawab terhadap semua kegiatan
administrasi maupun akademik
2. Penanggung jawab laboratorium membantu secara langsung tugas kepala unit
laboratorium dalam bidang administrasi, kualifikasi pendidikan minimum
Sarjana Sains Terapan (D IV)/S.1.
3. Teknisi/tenaga bantu laboratorium adalah seseorang yang bertugas membantu
aktifitas peserta didik dalam melakukan kegiatan praktek laboratorium
H. Pengelolaan Laboratorium
Terdapat empat komponen didalam pengelolaan laboratorium yaitu :
1. Planning
2. Organizing
3. Penggerak (actuating)
4. Evaluasi (Controlling)
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pengontrolan mikroorganisme adalah segala kegiatan yang dapat menghambat
pertumbuhan, membasmi, maupun menyingkirkan mikroorganisme menggunakan zat
antibakteri yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang mengarah pada
kematian sel bakteri.
2. Efektivitas agen kimia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
• Konsentrasi agen kimia yang digunakan (semakin tinggi konsentrasi, efektivitas
makin tinggi).
• Sifat dan jenis mikroba (mikroba berspora dan berkapsul lebih resisten).
• pH (efektivitas agen kimia berbanding lurus dengan nilai pH).
• Adanya bahan ekstrak dan organik (efektivitas suatu agen kimia akan menurun
jika didalamnya terdapat bahan-bahan organik).
3. Metode-metode yang digunakan dalam melakukan pengontrolan mikroorganisme
adalah dengan metode fisik maupun metode kimia. Metode fisik dengan cara
pemanasan, filtrasi, pasteurisasi, sinar ultraviolet dan lain sebagainya, sedangkan
dengan metode kimia menggunakan antibiotik, desinfektan dan surfaktan.
Proses keperawatan terhadap infeksi yaitu pengkajian keperawatan,
diagnosiskeperawatan, perencanaan tindakan keperawatan, pelaksanaaan keperawatan
dan evaluasikeperawatan. Dalam pelaksanaan keperawatan terhadap infeksi seperti
dengan mencucitangan, menggunakan sarung tangan, menggunakan masker, dan
desinfeksi.

B. Saran
Praktikan diharapkan dapat melakukan metode dan bahan lainnya, seperti sinar
ultraviolet, filtrasi menggunakan bahan antibiotik, surfaktan agar praktikan
mengetahui metode-metode lainnya yang sering digunakan serta praktikan juga harus
lebih teliti dalam mengukur zona hambat agar diperoleh hasil yang akurat.
Setelah seorang perawat mendapatkan ilmu mengenai pengendalian infeksi
ini,Sebaiknya sebagai seorang perawat dapat mengetahui bagaimana cara mencegah
infeksiagar tidak terjadi penularan, dan perawat diharapkan juga dapat
menanggulangi penyakitinfeksi tersebut dengan intensif.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Djojosugito, Prof.DR.Dr.M,dkk. 2001. Buku Manual Pengendalian Infeksi


Nosokomial di Rumah Sakit. Jakarta

Depkes, RI Bekerjasama Dengan Perdalin. 2009. Pedoman Pencegahan Dan


Pengendalian Infeksi Di Rumah Sakit Dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya. Sk Menkes
No 382/Menkes/2007. Jakarta: Kemnkes Ri

Fatimah,Siti, 2011 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya Infeksi


Nosokomial Luka Operasi Di Ruang Bedah Rsup Fatmawati Tahun 2011. Jakarta: Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran”.

Friedman. 1998. Keperawatan Keluarga Teori Dan Praktek. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Habni,Yulia 2009 Perilaku Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial Di Ruang Rundu A,
Rindu B, ICU, IGD, Rawat Jalan Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
Medan:Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara: Medan. Kkp-Rs, Laporan Insiden
Keselamatan Pasien Periode Januari-April 2011, 2011.

Kurniasari.Septi.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keejadian Infeksi Nosokomial Di


Ruang Bedah Rumah Sakit. Jurnal Kesehatan Mitra Lampung Vol. 8 No.1, Jan 2011.

Maryana Maryana, Ria Mardikaningsih. "Penilaian Kepatuhan Perilaku Perawat dalam


melaksanakan Hand Hygiene di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Depati Bahrin
Sungailiat tahun 2018", Citra Delima : Jurnal Ilmiah STIKES Citra Delima Bangka Belitung,
2019

Permenkes No 1691 Tentang Keselamatan Pasien Rumah


Sakit/MENKES/PER/VIIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah sakit

Permenkes RI no 27 tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi


di fasilitas Pelayanan KesehataN.

Anda mungkin juga menyukai