Anda di halaman 1dari 20

TATA CARA MERAWAT ORANG YANG TERMINAL DAN

MERAWAT JENAZAH MENURUT AGAMA BUDHA

Disusun Oleh:
Kelompok 1

1. Annastasya Br. Ginting (032017014) 7. Susi Rajagukguk (032017021)

2. Deskrisman Mendrofa (032017034) 8. Uli Delima Simbolon (032017021)

3. Elisabeth Sitorus (032017111) 9. Yuni Manurung (032017003)

4. Hanny Tampubolon (032017002) 10. Janwar Sinaga (032017110)

5. Melina Cecilia Tarigan (032017065) 11. Yuni Sarah Penjaitan (032017083)

6. Quinta Sihotang (032017056) 12. Loise M. Sihombing (032017009)

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTA ELISABETH
T.A 2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmatnya kami dapat menyelesaikan makalah kami ini dengan judul Tata Cara Merawat Orang
yang Terminal dan merawat Jenazah Menurut Agama Budha. Dalam pembelajaran kali ini,
mahasiswa dituntut untuk mampu memahami bagaimana cara merawat orang yang terminal dan
jenazah meurut agama budha.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai bagaimana cara mendampingi klien yang hampir meninggal dan
merawat jenazah menurut agama budha. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata kesempurna.

Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa
depan.
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI ..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................................................................1
1.2 Tujuan.....................................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORITIS...............................................................................................3
2.1 Pengertian Penyakit Terminal.3
2.2 Konsep Kematian Menurut Agama Buddha..........................................................3
2.3 Perkembangan Persepsi Tentang Kematian...5
2.4 Tanda-tanda Kematian...6
2.5 Fase-fase Menjelang Kematian..8
2.6 Pendampingan Pasien Sakratul Maut.9
2.7 Proses Kematian Menurut Agama Buddha10

BAB III PELAKSAAN PERAWATAN JENAZAH..............................................................11


3.1 Perlengkapan Pemandian Jenazah..........................................................................................11
3.2 Perlengkapan Pakaian.11
3.3 Perlengkapan Jenazah.....11
3.4 Perlengkapan Persembahyangan.....11
3.5 Merawat Jenazah.....12
3.6 Pelaksanaan Pemandian Jenazah.12
3.7 Pemakaian Pakaian......12
3.8 Sikap Tangan...13
3.9 Memasukkan Jenazah Kedalam Peti...13
3.10 Menyemayamkan Jenazah.....14
3.11 Pemberangkatan dari Rumah Duka.......14
3.12 Dimakamkan atau Dikuburkan......14
3.13 Dikrematorium atau Dikuburkan...15
3.14 Pelaringan Abu Jenazah.....15
3.15 Pemakaman Di Laut...........15
3.16 Pemakaman Dipertempuran...15

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan..16
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sakaratul Maut (Dying) merupakan kondisi pasien yang sedang menghadapi kematian,
yang memiliki berbagai hal dan harapan tertentu untuk meninggal. Sedangkan Kematian (death)
merupakan kondisi terhentinya pernapasan, nadi, dan tekanan darah serta hilangnya respons
terhadap stimulus eksternal, ditandai dengan terhentinya aktivitas otak atau terhentinya fungsi
jantung dan paru secara menetap. Tak dapat dipungkiri kematian itu tak dapat dihindari dari
kehidupan sehari-hari kita. Kematian tidak pandang bulu, anak-anak, remaja maupun orang
dewasa sekalipun dapat mengalami hal ini. Kita tak tahu kapan kematian akan menjemput kita.
Kematian seakan menjadi ketakutan yang sangat besar di hati kita.

Proses terjadinya kematian diawali dengan munculnya tanda-tanda yaitu sakaratul maut
atau dalam istilah disebut dying. Oleh karena itu perlunya pendampingan pada seseorang yang
menghadapi sakaratul maut (Dying). Sangat penting diketahui oleh kita, sebagai tenaga
kesehatan tentang bagaimana cara menangani pasien yang menghadapi sakaratul maut. Inti dari
penanganan pasien yang menghadapi sakaratul maut adalah dengan memberikan perawatan yang
tepat, seperti memberikan perhatian yang lebih kepada pasien sehingga pasien merasa lebih sabar
dan ikhlas dalam menghadapi kondisi sakaratul maut.

Kehilangan adalah peristiwa dari pengalaman manusia yang bersifat unik secara
individual. Hidup adalah serangkaian kehilangan dan pencapaian. Seorang anak yang mulai
belajar berjalan mencapai kemandiriannya dengan mobilisasi. Seorang lansia dengan perubahan
visual dan pendengaran mungkin kehilangan keterandalan-dirinya. Penyakit dan perawatan di
rumah sakit sering melibatkan berbagai kehilangan. (potter dan perry)

Kehilangan adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat dialami individu
ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan, atau
terjadi perubahan dalam hidup sehingga terjadi perasaan kehilangan. Kehilangan dapat memiliki
beragam bentuk, sesuai nilai dan prioritas yang dipengaruhi oleh lingkungan seseorang yang
meliputi keluarga, teman, atau masyarakat, dan budaya. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata
dan dapat disalah artikan, seperti kehilangan kepercayaan diri atau pretise. Kehilangan dapat
bersifat aktual atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat aktual dapat dengan mudah
diidentifikasi, misalnya seorang anak yang temannya pindah rumah dan yang paling nyata adalah
kematian.
1.2Tujuan Pembuatan Makalah

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu:


1) Mengetahui bagaimana cara menangani pasien dan merawat pasien yang terminal
menurut agama budha
2) Mengetahui bagaimana cara merawat jenazah menrut agama budha
3) Mengetahui konsep kematian menurut beberapa agama
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Penyakit Terminal

Penyakit terminal adalah suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan lagi. Kematian
adalah tahap akhir kehidupan. Kematian bisa datang tiba-tiba tanpa peringatan atau mengikuti
priode sakit yang panjang. Terkadang kematian menyerang usia muda tetapi selalu menunggu
yang tua.

Diskripsi Rentang Pola Hidup Sampai Menjelang Kematian.


Kondisi Terminal adalah: Suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu
tahapan proses penurunan fisik , psikososial dan spiritual bagi individu. (Carpenito ,1995 )
Pasien Terminal adalah : Pasien psien yang dirawat , yang sudah jelas bahwa mereka akan
meninggal atau keadaan mereka makin lama makin memburuk. (P.J.M. Stevens, dkk ,hal 282,
1999 )

Pendampingan dalam proses kematian adalah Suatu pendampingan dalam kehidupan ,


karena mati itu termasuk bagian dari kehidupan . Manusia dilahirkan , hidup beberapa tahun ,
dan akhirnya mati. Manusia akan menerima bahwa itu adalah kehidupan, dan itu memang akan
terjadi, kematian adalah akhir dari kehidupan ( P.J.M. Stevens, dkk, 282,1999 ).

2.2 Konsep Kematian Menurut Agama Budha

Kematian menurut definisi yang terdapat dalam kitab suci agama Buddha adalah
hancurnya Khanda. Khanda adalah lima kelompok yang terdiri dari pencerapan, perasaan,
bentuk-bentuk pikiran, kesadaran dan tubuh jasmani atau materi. Keempat kelompok yang
pertama adalah kelompok batin atau NAMA yang membentuk suatu kesatuan kesadaran.
Kelompok kelima adalah RUPA, yakni kelompok fisik atau materi. Gabungan batin dan jasmani
ini secara umum dinamakan individu, pribadi atau ego. Sebenarnya apa yang ada bukanlah
merupakan suatu individu yang berwujud seperti itu. Namun dua unsur pembentuk utama, yakni
NAMA dan RUPA hanya merupakan fenomena belaka. Kita tidak melihat bahwa kelima
kelompok ini sebagai fenomena, namun menganggapnya sebagai pribadi karena kebodohan
pikiran kita, juga karena keinginan terpendam untuk memperlakukannya sebagai pribadi serta
untuk melayani kepentingan kita.
Kita akan mampu melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, bilamana memiliki
kesadaran dan keinginan untuk melakukannya, yakni bila kita ingin melihat ke dalam pikiran
sendiri dan mencatat dengan penuh perhatian (Sati). Mencatat secara objektif tanpa
memproyeksikan suatu ego ke dalam proses ini dan kemudian mengembangkan latihan tersebut
untuk waktu yang cukup lama, sebagaimana telah diajarkan oleh Sang Buddha dalam
SATIPATHANA SUTTA. Maka kita akan melihat bahwa kelima kelompok ini bukan sebagai
suatu pribadi lagi, melainkan sebagai suatu serial dari proses fisik dan mental. Dengan demikian
kita tidak akan menyalah-artikan kepalsuan sebagai kebenaran. Lalu kita akan dapat melihat
bahwa kelompok-kelompok tersebut muncul dan lenyap secara berturut-turut hanya dalam
sekejap, tak pernah sama untuk dua saat yang berbeda; tak pernah diam namun selalu dalam
keadaan mengalir; tak pernah dalam keadaan yang sedang berlangsung namun selalu dalam
keadaan terbentuk. Kelompok materi atau jasmani berlangsung sedikit lebih lama, yakni kira-
kira tujuh belas kali dari saat berpikir tersebut. Karena itu setiap saat sepanjang kehidupan kita,
bentuk-bentuk pikiran muncul dan lenyap. Lenyapnya yang dalam waktu sekejap mata ini
merupakan suatu bentuk dari kematian.

Lenyapnya elemen-elemen dalam waktu sekejap ini tidaklah jelas, karena kelompok-
kelompok yang berturutan akan muncul dengan segera untuk menggantikan yang lenyap, dan
mereka inipun muncul dan lenyap sebagaimana terjadi dengan hal-hal terdahulu. Inilah yang kita
katakan sebagai Terus berlangsungnya kehidupan. Namun dengan berjalannya waktu, maka
kelompok materi atau jasmani kehilangan kekuatannya dan mulai terjadi kelapukan. Saatnya
akan tiba di mana kelompok-kelompok ini tidak dapat berfungsi lebih lanjut, dan istilah yang
biasa dipakai inilah akhir dari suatu kehidupan yang kita sebut sebagai terjadinya kematian.

Menurut agama Budha, kematian dapat terjadi disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Kematian dapat disebabkan oleh habisnya masa hidup sesuatu makhluk tertentu.Kematian
semacam ini disebut AYU-KHAYA.
2. Kematian yang disebabkan oleh habisnya tenaga karma yang telah membuat terjadinya
kelahiran dari makhluk yang meninggal tersebut. Hal ini disebutKAMMA-KHAYA.
3. Kematian yang disebabkan oleh berakhirnya kedua sebab tersebut di atas, yang terjadi secara
berturut-turut. Disebut UBHAYAKKHAYA.
4. Kematian yang disebabkan oleh keadaan luar, yaitu: kecelakaan, kejadian-kejadian
yang tidak pada waktunya, atau bekerjanya gejala alam dari suatu karma akibat kelahiran
terdahulu yang tidak termasuk dalam butir (c) di atas(UPACHEDAKKA).
Ada suatu perumpamaan yang tepat sekali untuk menjelaskan keempat macam kematian
ini, yaitu perumpamaan dari sebuah lampu minyak yang cahayanya diibaratkan sebagai
kehidupan.Cahaya dari lampu minyak dapat padam akibat salah satu sebab berikut ini:
1. Sumbu dalam lampu telah habis terbakar. Hal ini serupa dengan kematian akibat berakhirnya
masa hidup suatu makhluk.
2. Habisnya minyak dalam lampu seperti halnya dengan kematian akibat berakhirnya tenaga
karma.
3. Habisnya minyak dalam lampu dan terbakar habisnya sumbu lampu pada saat bersamaan,
sama halnya seperti kematian akibat kombinasi dari sebab-sebab yang diuraikan pada kedua hal
di atas.
4. Pengaruh dari faktor luar, misalnya ada angin yang meniup padam api lampu. Sama halnya
seperti yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar.

Oleh karena itu karma bukan merupakan satu-satunya sebab dari kematian. Dalam
Anguttara Nikaya dan Kitab-kitab lainnya, Sang Buddha menyatakan dengan pasti bahwa karma
bukan merupakan penyebab dari segala hal.

2.3 Perkembangan Persepsi Tentang Kematian

Di dalam kehidupan masyarakat dewasa, kematian adalah sesuatu yang sangat


menakutkan. Sebaliknya, pada anak-anak usia 0-7 tahun kematian itu dalah sesuatu hal yang
biasa saja, yang ada di pikirannya kematian adalah sesuatu hal yang hanya terjadi pada orang tua
yang sakit. Mereka sangat acuh sekali dengan kematian. Seiring dengan perkembangan usia
menuju kedewasaan, mereka mengerti tentang apa yang dimaksud dengan kematian tersebut.
Karena itu berkembanglah klasifikasi tentang kematian menurut umur yang di definisikan oleh
Eny Retna Ambarwati, yaitu :
1. Bayi - 5 tahun.
Tidak mengetahui tentang kematian, keyakinan bahwa mati adalah tidur/pergi yang temporer.
2. 5-9 tahun.
Mengerti bahwa titik akhir orang yang mati dapat dihindari.
3. 9-12 tahun.
Mengerti bahwa mati adalah akhir dari kehidupan dan tidak dapat dihindari, dapat
mengekspresikan ide-ide tentang kematian yang diperoleh dari orang tua/dewasa lainnya.
4. 12-18 tahun.
Mereka takut dengan kematian yang menetap, kadang-kadang memikirkan tentang kematian
yang dikaitkan dengan sikap religi.
5. 18-45 tahun.
Memiliki sikap terhadap kematian yang dipengaruhi oleh religi dan keyakinan.
6. 45-65 tahun.
Menerima tentang kematian terhadap dirinya. Kematian merupakan puncak kecemasan.
7. 65 tahun keatas.
Takut kesakitan yang lama. Kematian mengandung beberapa makna : terbebasnya dari rasa sakit
dan reuni dengan anggota keluarga yang telah meninggal.

2.4 Tanda-tanda Kematian

Tanda-tanda kematian terbagi dalam tiga tahapan yakni menjelang kematian, saat
kematian, dan setelah kematian.
1. Mendekati kematian.
Tanda-tanda fisik menjelang kematian meliputi:
a. Penurunan tonus otot
Gerakan ekstremitas berangsur-angsur menghilang, khususnya pada kaki dan
ujung kaki
Sulit berbicara
Tubuh semakin melemah
Aktivitas saluran pencernaan menurun sehingga perut membuncit
Otot rahang dan muka mengendur
Rahang bawah cenderung turun
Sulit menelan, refleks gerakan menurun
Mata sedikit terbuka

b. Sirkulasi melemah
Suhu tubuh pasien tinggi, tetapi kaki, tangan, dan ujung hidung pasien terasa
dingin dan lembap
Kulit ekstremitas dan ujung hidung tampak kebiruan, kelabu, atau pucat
Nadi mulai tidak teratur, lemah dan cepat
Tekanan darah menurun
Peredaran darah perifer terhenti

c. Kegagalan fungsi sensorik


Sensasi nyeri menurun atau hilang
Pandangan mata kabur/berkabut
Kemampuan indera berangsur-angsur menurun
Sensasi panas, lapar, dingin dan tajam menurun

d. Penurunan /kegagalan fungsi pernapasan


Mengorok (death rattle)/ bunyi napas terdengar kasar
Pernapasan tidak teratur dan berlangsung melalui mulut
Pernapasan Cheyne Stokes

2. Saat kematian
a. Terhentinya pernapasan, nadi, tekanan darah, dan fungsi otak (tidak berfungsinya paru, jantung
dan otak)
b. Hilangnya respon terhadap stimulus eksternal
c. Hilangnya kontrol atas sfingter kandung kemih dan rectum (inkontinensia) akibat peredaran
darah yang terhambat; kaki dan ujung hidung menjadi dingin.
d. Hilangnya kemampuan pancaindera; hanya indera pendengaran yang paling lama dapat
berfungsi
e. Adanya garis datar pada mesin elektroensefalografi menunjukkan terhentinya aktivitas listrik
otak untuk penilaian pasti suatu kematian.
3. Setelah kematian.
Fase ini ditandai dengan:
a. Livor mortis (lebam mayat)
Merupakan bercak merah-ungu(livide) pada bagian terbawah tubuh karena penumpukan
eritrosit pada lokasi terenda akibat pengaruh gravitasi, kecuali bagian tubuh ynang tertekan alas
keras. Mulai tampak 20-30 menit pascamati, makin lama makin luas dan lengkap, akhirnya
menetap setelah 8-12 jam.

b. Rigor mortis (kaku mayat)


Terjadi bila cadangan glikogen dalam otot habis maka energy tidak terbentuk dan aktin-
miosin menggumpal sehingga otot menjadi kaku. Pemeriksaan kaku mayat dilakukan pada
persendian, mulai tampak 2 jam setelah mati klinis, arahnya sentripetal(dari luar ke dalam),
menjadi lengkap dalam 12 jam, dipertahankan selama 12 jam, kemudian menghilang sesuai
urutan terbentuknya. Faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat diantaranya aktivitas fisik
prakematian, suhu tubuh yang tinggi, tubuh kurus, suhu lingkungan tinggi. Kaku mayat
merupakan tanda pasti kematian dan dapat digunakan untuk menentukan saat kematian.

c. Algor mortis (penurunan suhu tubuh)


Terjadi karena proses pemindahan panas dari tubuh yang panas ke lingkungan yang lebih
dingin dengan cara radiasi, konduksi, evaporasi, dan konveksi. Penurunan suhu tubuh lebih cepat
terjadi pada suhu sekeliling yang rendah, lingkungan berangin dengan kelembaban rendah, tubuh
kurus, posisi telentang, tidak berpakaian/tipis, umumnya orang tua dan anak kecil. Berguna
untuk penghitungan saat kematian.

d. Dekomposisi (pembusukan)
Merupakan proses degradasi jaringan akibat autolysis dan kerja bakteri. Pembusukan
mulai tampak kira-kira 24 jam pascamati berupa perubahan warna kehijauan pada perut kanan
bawah yang secara bertahap menyebar ke seluruh perut dan dada, menyertai terciumnya bau
busuk. Pembuluh darah bawah kulit akan melebar, hijau kehitaman, kemudian kulit ari
terkelupas/menggelembung, lama-lama gas menyebabkan pembengkakan tubuh menyeluruh,
terutama pada jaringan longgar. Rambut dan kuku mudah dicabut, seluruh wajah membengkak
warna ungu kehijauan. Kira-kira 36-48 jam pascamati akan dijumpai larva lalat.

e. Adiposera (lilin mayat)


Adalah perubahan postmortem berupa terbentuknya bahan yang berwarna keputihah,
lunak, atau berminyak, berbau tengik dalam jaringan lunak tubuh pascamati. Terbebtuk di
sembarang lemak tubuh, tetapi lemak superficial yang pertama kali terkena. Adiposera akan
membuat tubuh utuh hingga bertahun-tahun sehingga identifikasi mayat dan luka masih dapat
dilakukan lama setelah kematian.
f. Mumifikasi
Proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup cepat sehingga terjadi
pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan pembusukan. Jaringan berubah
menjadi keras dan kering, keriput, gelap, dan tidak membusuk. Terjadi pada suhu hangat,
kelembaban rendah, aliran udara yang baik, tubuh yang dehidrasi dan waktu yang lama (12-14)
minggu.

2.5 Fase-Fase Menjelang Kematian

Orang-orang yang sedang menghadapi kematian, memiliki beberapa fase dalam


menjelang kematian tersebut, diantaranya adalah:
1. Denial (Fase Penyangkalan/pengingkaran dan Pengasingan Diri)

Dimulai ketika orang disadarkan bahwa ia akan meninggal dan dia tidak dapat menerima
informasi ini sebagai kebenaran dan bahkan mungkin mengingkarinya. Reaksi pertama setelah
mendengar, bahwa penyakitnya diduga tidak dapat disembuhkan lagi adalah, "Tidak, ini tidak
mungkin terjadi dengan saya." Penyangkalan ini merupakan mekanisme pertahanan yang biasa
ditemukan pada hampir setiap pasien pada saat pertama mendengar berita mengejutkan tentang
keadaan dirinya. Hampir tak ada orang yang percaya, bahwa kematiannya sudah dekat, dan
mekanisme ini ternyata memang menolong mereka untuk dapat mengatasi shock khususnya
kalau peyangkalan ini periodik. Normalnya, pasien itu akan memasuki masa-masa pergumulan
antara menyangkal dan menerima kenyataan, sampai ia dapat benar-benar menerima kenyataan,
bahwa kematian memang harus ia hadapi.

2. Anger (Fase Kemarahan)

Terjadi ketika pasien tidak dapat lagi mengingkari kenyataan bahwa ia akan meninggal.
Jarang sekali ada pasien yang melakukan penyangkalan terus menerus. Masanya tiba dimana ia
mengakui, bahwa kematian memang sudah dekat. Tetapi kesadaran ini seringkali disertai dengan
munculnya ketakutan dan kemarahan. "Mengapa ini terjadi dengan diriku?", "Mengapa bukan
mereka yang sudah tua, yang memang hidupnya sudah tidak berguna lagi?" Kemarahan ini
seringkali diekspresikan dalam sikap rewel dan mencari-cari kesalahan pada pelayanan di rumah
sakit atau di rumah. Bahkan kadang-kadang ditujukan pada orang-orang yang dikasihinya,
dokter, pendeta, maupun Tuhan. Seringkali anggota keluarga menjadi bingung dan tidak
mengerti apa yang harus dilakukan. Umumnya mereka tidak menyadari, bahwa tingkah laku
pasien tidak masuk akal, meskipun normal, sebagai ekspresi dari frustasi yang dialaminya.
Sebenarnya yang dibutuhkan pasien adalah pengertian, bukan argumentasi-argumentasi dari
orang-orang yang tersinggung oleh karena kemarahannya.

3. Bargaining (Fase Tawar Menawar).

Ini adalah fase di mana pasien akan mulai menawar untuk dapat hidup sedikit lebih lama
lagi atau dikurangi penderitaannya. Mereka bisa menjanjikan macam-macam hal kepada Tuhan,
"Tuhan, kalau Engkau menyatakan kasih-Mu, dan keajaiban kesembuhan-Mu, maka aku akan
mempersembahkan seluruh hidupku untuk melayaniMu."
4. Depresion (Fase Depresi)

Setelah ternyata penyakitnya makin parah, tibalah fase depresi. Penderita merasa putus
asa melihat masa depannya yang tanpa harapan. Sebagai orang percaya memang mungkin dia
mengerti adanya tempat dan keadaan yang jauh lebih baik yang telah Tuhan sediakan di surga.
Namun, meskipun demikian perasaan putus asa masih akan dialami.

5. Acceptance (Fase Menerima)

Tidak semua pasien dapat terus menerus bertahan menolak kenyataan yang ia alami. Pada
umumnya, setelah jangka waktu tertentu mereka akan dapat menerima kenyataan, bahwa
kematian sudah dekat, sehingga mereka mulai kehilangan kegairahan untuk berkomunikasi dan
tidak tertarik lagi dengan berita dan persoalan-persoalan di sekitarnya. Pasien-pasien seperti ini
biasanya membosankan dan mereka seringkali dilupakan oleh teman-teman dan keluarganya,
padahal kebutuhan untuk selalu dekat dengan keluarga pada saat- saat terakhir justru menjadi
sangat besar.

2.6 Pendampingan Pasien Sakratul Maut

Perawatan kepada pasien yang akan meninggal oleh petugas kesehatan dilakukan dengan
cara memberi pelayanan khusus jasmani dan rohani sebelum pasien meninggal. Tujuannya yaitu:
a. Memberi rasa tenang dan puas jasmaniah dan rohaniah pada pasien dan keluarganya
b. Memberi ketenangan dan kesan yang baik pada pasien disekitarnya.
c. Untuk mengetahui tanda-tanda pasien yang akan meninggal secara medis bisa dilihat dari
keadaan umum, vital sighn dan beberapa tahap-tahap kematian.
1. Pendampingan dengan alat-alat medis
Memperpanjang hidup penderita semaksimal mungkin dan bila perlu dengan bantuan
alat-alat kesehatan adalah tugas dari petugas kesehatan. Untuk memberikan pelayanan yang
maksimal pada pasien yang hampir meninggal, maka petugas kesehatan memerlukan alat-alat
pendukung seperti :
Disediakan tempat tersendiri
Alat alat pemberian O2
Alat resusitasi
Alat pemeriksaan vital sighn.
Pinset
Kassa, air matang, kom/gelas untuk membasahi bibir
Alat tulis

2. Pendampingan dengan Bimbingan Rohani


Bimbingan rohani pasien merupakan bagian integral dari bentuk pelayanan kesehatan
dalam upaya pemenuhan kebutuhan bio-Psyco-Socio-Spritual ( APA, 1992 ) yang komprehensif,
karena pada dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual ( Basic spiritual
needs, Dadang Hawari, 1999 ). Pentingnya bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi
ketetapan WHO yang menyatakan bahwa aspek agama (spiritual) merupakan salah satu unsur
dari pengertian kesehataan seutuhnya (WHO, 1984). Oleh karena itu dibutuhkan dokter, terutama
perawat untuk memenuhi kebutuhan spritual pasien.

Perawat memiliki peran untuk memenuhi kebutuhan biologis, sosiologis, psikologis, dan
spiritual pasien. Akan tetapi, kebutuhan spiritual seringkali dianggap tidak penting oleh perawat.
Padahal aspek spiritual sangat penting terutama untuk pasien yang didiagnosa harapan
sembuhnya sangat tipis dan mendekati sakaratul maut.

Biasanya pasien yang sangat membutuhkan bimbingan oleh perawat adalah pasien
terminal karena pasien terminal, pasien yang didiagnosis dengan penyakit berat dan tidak dapat
disembuhkan lagi dimana berakhir dengan kematian, seperti yang dikatakan Dadang Hawari
(1977,53) orang yang mengalami penyakit terminal dan menjelang sakaratul maut lebih
banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual,dan krisis kerohanian sehingga pembinaan
kerohanian saat klien menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian khusus. Sehingga, pasien
terminal biasanya bereaksi menolak, depresi berat, perasaan marah akibat ketidakberdayaan dan
keputusasaan. Oleh sebab itu, peran perawat sangat dibutuhkan untuk mendampingi pasien yang
dapat meningkatkan semangat hidup pasien meskipun harapannya sangat tipis dan dapat
mempersiapkan diri pasien untuk menghadapi kehidupan yang kekal.

2.7 Proses Kematian Menurut Agama Budha

Kematian dapat terjadi karena salah satu dari empat sebab sebagai berikut:
1. Kammakkhaya atay habisnya kekuatan janaka kamma.
2. Ayukkhaya atau habisnya masa kehidupan.
3. Ubhayakkaya atau habisnya janaka kamma (masa kehidupan) secara bersama-sama.
4. Upacchedaka Kamma yang muncul, kamma penghancur atau pemotong yang kuat
sehingga walaupun janaka kamma dan ayukkhaya belum selesai orang tersebut
meninggal dengan cepat.
BAB III
PELAKSANAAN PERAWATAN JENAZAH

3.1 Perlengkapan Memandikan Jenazah

Didalam memandikan jenazah menurut agama Budha ada beberapa perlengkapan yang
harus disediakan terlebih dahulu, diantaranya adalah meja atau dipan yang digunakan untuk
tempat memandikan jenazah, air basah, air kembang, air yang dicampur dengan minyak wangi,
sabun mandi, sampo, sikat gigi dan handuk.

3.2 Perlengkapan Pakaian

a) Pakaian harus bersih dan rapi, dan yang paling penting adalah bahwa baju yang
dikenakan pada jenazah merupakan pakaian yang paling disenanginya sewaktu
masih hidup.
b) Sarung tangan dan kaos kaki yang berwarna putih.
c) Pakaian yang disesuaikan dengan adat masing-masing, misalnya dengan
menggunakan kain putih (kapan)

3.3Perlengkapan Jenazah

a. Peti jenazah
b. Kain putih, untuk alas dan untuk melapisi sisi bagian dalam peti
c. Bantal kecil 3 buah
d. Bunga yang terdiri dari :
Bunga yang dirangkai untuk hiasan bagian dalam peti
Bunga untuk ditaburkan
Tiga tangkai bunga, satu pasang lilin merah, tiga batang dupa, yang diikat
dengan benang merah.
e. Liang lahat (jika yang dikuburkan)
f. Usungan

3.4Perlengkapan Persembahyangan

Meja untuk altar


Lilin dua buah warna putih
Dupa wangi
Buah-buahan
Air untuk pemberkahan yang sudah diberi bunga didalamnya
Dua vas bunga
Foto almarhum/almarhumah, yang diletakkan di tengah altar.
3.5 Merawat Jenazah

a. Sesaat setelah almarhumah/almarhum menghembuskan nafas yang terakhir , badannya


digosok dengan air kayu cendana, atau dengan menaruh es balokan di bawahnya agar
jenazah tidak kaku.

b. Setelah itu jenazah diletakkan di atas meja dan ditutupi kain setelah itu baru dibacakan
paritta-paritta atau doa-doa sebagai berikut:

Pembukaan
Pemimpin kebhaktian memberi tanda kebhaktian dimulai, dengan membunyikan gong
atau lonceng lalu pemimpin kebaktian menyalakan lilin, dupa, dan meletakkan dupa tersebut
ditempatnya. Sementara hadirin berdiri di sisi depan jenazah dan bersikap anjali. Setelah dupa
diletakkan ditempatnya, hadirin menghormat dengan menundukkan kepala. Kemudian pemimpin
Kebhaktian membacakan Namakara Gatha, Pubbabhaganamakara, Pamsukula Gatha, dan Maha
Jaya Mangala Gatha.

3.6 Pelaksanaan Pemandian Jenazah

1) Jenazah setelah disembahyangkan kemudian diusung ke tempat pemandian yang


telah disiapkan.
2) Jenazah dimandikan dengan air bersih terlebih dahulu, kemudian air bunga, lalu
dibilas dengan air yang sudah dicampur dengan minyak wangi.
3) Jenazah dikramasi rambutnya dengan sampo, kemudian disabun seluruh badannya
dan giginya disikat dan kukunya dibersihkan, setelah itu dibilas lagi dengan air bersih
4) Sehabis itu jenazah dilap dengan handuk.

3.7 Pemakaian Pakaian


1. Jenazah laki-laki
Pakian jenazah laki-laki, baju lengan panjang, celana panjang, dan yang paling
disenangi oleh almarhum sewaktu masih hidup, rambut disisir rapi, bila perlu diberi
minyak rambut, lalu kedua tangannya dikenakan sarung tangan, dan juga kedua kakinya
diberi kaos kaki berwarna putih.
2. Jenazah Perempuan
Pakaian jenazah perempuan adalah pakaian nasional, misalnya kebaya dan
memakai kain (pakaian adat daerah) dan khuusnya pakaian yang disenangi olehnya
sewaktu dia hidup. Mukanya diberi bedak, rambutnya disisir rapi, bila rambutnya panjang
bisa disanggul. Lalu kedua tangannya diberi sarung tangan, dan kedua kakinya diberi
kaos kaki berwarna putih.
3. Jenazah Khusus Pandita
Pakaian khusus Pandita adalah memakai jubah berwarna kuning dan tangannya
diberi sarung tangan, dan kedua kakinya diberi kaos kaki berwarna putih.

3.8 Sikap Tangan

Sikap tangan diletakkan di depan dada, tangan kanan di atas tangan kiri, dan
sambil memegang tiga tangkai bunga, satu pasang lilin berwarna merah, tiga batang
dupa wangi, yang sudah diikat dengan benang merah. Sikap kedua kakinya biasa,
dengan telapak kaki tetap ke depan.

3.9 Memasukkan Jenazah kedalam Peti

Peti jenazah yang sudah disiapkan, kemudian keempat sisi bagian dalam dilapisi kain
putih, juga bagian bawah dan tutup peti tersebut. Kemudian dikeempat sisi tersebut dipasang
atau di hiasi dengan rangkaian-rangkaian bunga, setelah itu jenazah dimasukkan ke dalam peti
dan kepala bagian bawah diganjal dengan bantal kecil, begitu pula samping kanan dan samping
kiri. Setelah itu dengan peti masih dalam keadaan terbuka dibacakan paritta-paritta.

Sebelum acara pembacaan paritta-paritta suci, pemimpin kebhaktian memberi tanda


bahwa kebaktian akan segera dimulai, dengan membunyikan gong atau lonceng. Pemimpin
kebaktian menyalakan lilin, dupa, dan meletakkan dupa tersebut ditempatnya, dan hadirin
berdiri menghadap ke peti jenazah dengan sikap anjali, dan setelah dupa diletakkan kemudian
para hadirin menghormat dengan menundukkan kepala. Kemudian pemimpin kebaktian
memimpin membacakan :

* Namakara Gatha
* Pubbabhaganamakara
* Tisarana
* Buddhanussati
* Dhammanussati
* Sanghanussati
* Saccakiriyagatha
* Dhammaniyama Sutta
* Tilakkhanadigatha
* Pamsukula Gatha

Pada waktu hadirin membaca paritta/doa Pamsukula Gatha ini pandita atau pemimpin
kebaktian memercikkan air suci pada jenazah di dalam peti. Setelah itu pandita/pemimpin
kebaktian berkata:

"Saudara-saudara kami se-Dharma, marilah kita memancarkan pikiran cinta kasih dan kasih
sayang kita kepada almarhum/almarhumah (sebut namanya) yang telah mendahului kita,
semoga ia dalam perjalanannya di alam kehidupan selanjutnya selalu mendapat ketenangan
dan kebahagiaan hingga akhirnya tercapai kebebasan sempurna (Nibbana) semoga Sang
Tiratana selalu melindunginya. Samadhi dimulai."
Setelah berakhir pandita/pemimpin kebaktian mengucapkan "Sabbe Satta Bhavantu
Sukhitata" yang artinya "Semoga semua makhluk hidup berbahagia", setelah itu membacakan
paritta Ettavatta. Setelah pembacaan paritta/doa selesai, kemudian peti jenazah ditutup rapat
dan diatasnya ditutupi kain berenda berwarna putih, jika ada.
3.10 Menyemayamkan Jenazah

Setelah peti jenazah ditutup rapat, jenazah dapat langsung diberangkatkan ke


makam/krematorium, atau dapat juga disemayamkan pada tepat yang telah ditentukan
(tergantung permintaan keluarganya). Jika jenazah disemayamkan maka di atas peti jenazah itu
dibuat sebuah altar dan di atasnya di pasang dua buah vas bunga di sebelah kanan dan sebelah
kiri kemudian tengahnya dipasang foto almarhum/almarhumah dan sebelah depan dipasang
lilin, dan di tengah dipasang dupa dan air untuk pemberkahan. Selama disemayamkan dapat
dibacakan peritta/doanya pun sama dengan pada waktu jenazah belum ditutup petinya.

3.11 Pemberangkatan dari Rumah Duka

a. Bagi anggota militer sebelum dibawa ke makam/krematorium dapat


diselenggarakan uapacara kemiliteran.
b. Bagi orang-orang biasa dapat langsung dibawa ke makam/crematorium.
c. Peti jenazah dibawa/diusung dengan bagian kaki di depan dan bagian kepala
di belakang.

3.12 Dimakamkan atau Dikuburkan

1. Setelah sampai dipemakaman/kuburan, jenazah diletakkan di atas liang lahat, petinya


ditopeng dengan dua buah kayu.
2. Bagi anggota militer, diadakan upacara militer terlebih dahulu.
3. Setelah itu baru jenazah dimasukkan ke dalam liang lahat.
4. Pandita atau petugas upacara mempersiapkan upacara pembacaan paritta atau doa, lalu
pemimpin kebaktian memberi tanda kebaktian/pembacaan paritta dimulai dengan
membunyikan gong/lonceng. Pemimpin kebaktian menyalakan lilin, dupa, dan
meletakkan dupa ditempatnya. Sementara hadirin berdiri dihadapan peti jenazah dan
bersikap anjali. Setelah dupa diletakkan ditempatnya, hadirin menghormat dengan
menundukkan kepala. Lalu pemimpin kebaktian membacakan:

* Namakara Gatha
* Pubbabhaganamakara
* Buddhanussati
* Dhammanussati
* Sanghanussati
* Saccakiriya Gatha
* Pamsukula Gatha.

Pada saat paritta/doa dibacakan, pemimpin kebaktian atau pandita menaburkan


bunga ke dalam liang lahat, kemudian diikuti oleh para hadirin atau pelayat lainnya.
Setelah selesai acara tabur bunga ini, pemimpin kebaktian/pandita membacakan
paritta/doa sambil memercikkan air suci. Adapun paritta atau doanya adalah Sumangala
Gatha II.
3.13 Dikrematorium atau Diperabukan

1. Bagi jenazah yang akan diperabukan, setelah sampai di tempat perabuan atau krematorium,
jenazah langsung dimasukkan di tempat perabuan, kemudian seluruh bunga-bungaan yang
dipakai menghiasi bagian atas peti jenazah tetap ikut dibakar.
2. Apabila yang meninggal adalah seorang anggota militer, terlebih dahulu diadakan upacara
kemiliteran.
3. Pandita/pemimpin kebaktian bersiap-sap untuk membaca paritta/doa. Adapun doa atau
paritta-parittanya adalah sama saja dengan upacara di makam atau dipekuburan.
4. Setelah selesai pembacaan paritta/doa dibacakan, lalu dilanjutkan dengan penyulutan api
yang dilakukan oleh pihak keluarga khususnya anak yang tertua.

3.14 Pelaringan Abu Jenazah

1. Setelah pembakaran jenazah selesai, lalu abu jenasah tersebut setelah dingin kemudian di
masukkan ke dalam kantung yang tersedia.
2. Untuk pelrungan abu jenasah tersebut dicari tempat yang airnya jernih, misalnya di laut
atau danau.
3. Setelah menemukan tempat yang airnya cukup jernih, lalu perahu yang membawa abu
jenazah tersebut berputar membuat lingkaran sebanyak tiga kali putaran.

* Untuk putaran yang pertama ditaburkan bunga-bungaan yang sudah disediakan


* Untuk putaran yang kedua ditaburkan abu jenasah tersebut
* Untuk putaran yang ketiga ditaburkan agi bunga-bungaan.

3.15 Pemakaman di Laut

Untuk keluarga yang akan melakukan upacara pemakaman di dasar laut, pada
prinsipnya tata upacaranya atau doa dan paritta yang dibacakan adalah sama saja dengan
upacara dipemakaman atau krematorium. Hanya saja pada upacara di laut ini semuanya
yang hadir harus naik di perahu, sedangkan peti jenazah yang akan ditanam harus diberi
bandulan agar mudah tenggelam.

3.16 Pemakaman di Pertempuran

Apabila ada seorang anggota militer yang meninggal di daerah pertempuran atau di
medan perang, maka pemakamannya dilakukan secara darurat, misalnya jenazah diamankan dan
dimakamkan sesuai dengan keadaan pada saat itu. Bila ada rekannya yang beragama Buddha
dapat dibacakan Paritta atau doa seperti di pemakaman atau krematorium, tergantung situasi dan
kondisi saat itu. Tetapi jika tidak ada rekannya yang beragama Buddha, boleh juga didoakan
menurut agama dan kepercayaan rekan-rekannya yang ada.

BAB IV
PENUTUP

4.1Kesimpulan

Sakratul maut atau Dying merupakan saat-saat dimana seseorang akan menghadapi
kematian dan mereka memiliki bebapa hal yang ingin disampaikan untuk dikabulkan.
Kehilangan adalah suatu keadaan dimana seseorang merasakan perasaan yang kosong atau
hampa ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya pernah hadir didalam kehidupannya
baik itu kehadirannya hanya untuk sementara ataupun dalam waktu yang lama.

Kematian menurut agama Budha adalah hancurnya Khanda. Khanda sendiri dibedakan
kedalam lima golongan yaitu pencerapan, perasaan, bentuk-bentuk pikiran, kesadaran dan tubuh
jasmani atau materi. Didalam perawatan jenazah menurut agama Budha dilakukan berbagai
macam cara seperti yang terlah dijelaskan dalam makalah diatas.
DAFTAR PUSTAKA

http://mahadhammo.blogspot.co.id/2012/02/upacara-kematian-dalam-buddhisme.html
Kubler-Ross,E.,(1969) ,On Death and Dying, ,London: Tavistock Publication
http://www.sabda.org/c3i/dabda_5_fase_dalam_menghadapi_kematian

Anda mungkin juga menyukai