Anda di halaman 1dari 6

RESUME

PENDAMPINGAN EMPATI

Disusun Oleh :

Nama : Yenni Kristiwati Saragih

Nim : 042020023

PROGRAM STUDI NERS TAHAP AKADEMIK JALUR TRANSFER

STIKes Santa Elisabeth Medan

2020/2021
KETRAMPILAN DAN SIKAP DASAR PENDAMPING PASTORAL

Relasi antara pendamping pastoral dan orang yang didampingi, bukanlah sebuah relasi
biasa, tetapi relasi yang sengaja dibangun agar shalom Illahi itu nyata dialami oleh warga jemaat.
Dalam bahasa akademik, relasi seperti ini disebut sebagai relasi terapeutik. Untuk membangun
relasi terapeutik, seorang pendamping perlu menguasai ketrampilan dan sikap dasar, yaitu Sikap
Empati Dan Ketrampilan Mendengarkan.

A. Empati
Empati adalah ekspresi konselor yang merupakan ungkapan pernyataan “dapat
memahami’ apa yang dirasakan konseli. Untuk berempati, konselor harus benar-benar mengikuti
semua yang diekspresikan (penuturan, ekspresi wajah, sikap tubuh) oleh konseli. Oleh karena 
itu, konsentrasi dan dan kemauan konselor untuk mendengarkan sangatlah diperlukan, agar dapat
mengikuti pembicaraan konseli. Empati dapat diekspresikan melalui:

a. Ekspresi wajah, seperti kerutan dahi, senyuman dan sebagainya.


b. Bahasa tubuh seperti anggukan kepala, tepukan dipundak konseli, usapan tangan,dan
sebagainya
c. Ungkapan verbal seperti:

 ‘saya dapat membayangkan betapa sakitnya jika saya ada di posisimu……”


 ‘ saya mendukung hal itu…’
 ‘wah, menyakitkan sekali ya…’
Ketrampilan mendengar adalah kunci utama untuk membuka gerbang relasi dan suasana
batin orang yang kita layani. Agar bisa mendengarkan dengan baik, kita perlu hadir (attending)
dan bisa membedakan : listening, to listen to dan  to hear). Beberapa ketrampilan “turunan” dari
ketrampilan mendengarkan :
1. Memperjelas. Perasaan dan pikiran orang bermasalah biasanya chaotic, campur aduk,
berlapis-lapis. Kita dapat memperjelas inti pesan yang disampaikan atau persepsi kita
sendiri tentang penghayatan atau pengalaman orang yang kita layani.
Contoh: (1) “Kalau saya tidak salah, Bapak mengalami kebingungan. Mau menceraikan
isteri Bapak atau tidak”. (2) “Apakah penangkapan saya ini salah?” Bapak betul-betul
sedang kecewa pada Tuhan ya?”
2. Memantulkan. Kita memantulkan perasaan atu pengalaman orang yang kita layani secara
umum. Menirukan dengan sama atau mengulangi apa yang diungkapkan oleh orang yang
kita layani dengan kata-kata baru. Contoh:   (1) “Kalau saya perhatikan, tampaknya ibu
betul-betul gelisah, ya” (2) “Bapak bingung untuk memilih ini atau itu” (3) “Ibu merasa
penyakit Ibu tidak dapat disembuhkan.”
3. Menafsir. Kita perlu menolong orang yang kita damping agar dapat melihat masalahnya
dengan perspektif yang baru. Dalam hal ini kita dapat menggunakan perumpamaan,
ilustrasi, gambar, permainan, meditasi, touching, sentuhan, cerita, tokoh panutan, ayat-
ayat, nyanyian, doa, dan sebagainya. Kadang saya bertanya tentang mimpi atau bayangan
yang masih terlintas.  Kita bantu orang mengambil learning point, hikmah, insight.
Contoh: “Apakah bapak masih bermimpi tentang anak menantu Bapak? Seberapa sering,
Biasanya muncul pukul berapa? Hari apa?” Kalau begitu pelajaran apa yang dapat Bapak
ambil dari peristiwa yang menyedihkan ini?
4. Mengarahkan. Namun bukan berarti kita mengambil alih kekuasaan atau mengontrol.
Ketrampilan ini untuk mendorong orang mulai mengemukakan permasalahannya. Ini
biasanya terjadi pada awal atau akhir pendampingan resmi.
Contoh:  (1) “Omong punya omong, coba mulai ceritakan masalah Kakak”. (2) “Kalau
sekarang belum dapat mengemukakan tidak apa-apa. Bagaimana kalau minggu depan?”
Hari Kamis, pukul 5 sore, persis pada hari ini?” (3) “Rasanya, kita sudah 3 bulan ya,
bertemu setiap minggu. Bagaimana kalau pertemuan kita akhiri minggu depan?”
5. Memusatkan. Banyak perasaan yang diungkapkan secara samar-samar atau loncat-loncat.
Contoh:  (1) “Coba ceritakan pengalaman yang benar-benar menyakitkan saat
ini.” (2) “Coba ceritakan hubungan Bapak dengan anak Bapak yang pertama, dulu.”
6. Memberi informasi. Inilah yang disebut dengan membimbing, memberi nasihat.  Nasihat
sebaiknya sederhana, rinci, akurat, tepat guna, dan mudah dilakukan.
Contoh: (1) “Kalau boleh saya usulkan, sebaiknya Nona menemui suster X, di ….., ini
nomer telponnya. Apakah Nona tahu bagaimana caranya ke sana? Ini petanya atau naik bis
nomer …. “
7. Mengajukan pertanyaan.  Ketrampilan ini dapat digabungkan dengan ketrampilan yang
lain. Kita tidak hanya menjadi pendengar yang baik, melainkan juga menjadi penanya yang
baik.  Hindari pertanyaan yang berisi lebih dari 2 isi dan pertanyaan yang bersifat
interogratif dan retorik.
Contoh (Harus dihindari): (1) “Ibu sakit apa?”, (2) “Gimana anak-anak Ibu?”, (3) “Ketika
itu Mas Adi sedang di situ juga ya?”
8. Menantang. Menantang dalam pengertian “confront, challenge” dan bukan nantang
dalam bahasa Jawa atau mengajak berkelahi. Kita dapat menggunakan “saat diam” untuk
menantang.
Contoh: (1) “Apakah Bapak merasa tidak pantas untuk menangis?” (2) “Rasa-rasanya,
hubungan kita ini sudah berubah. Saya mengambil keputusan untuk menghentikan
pertemuan kita yang rutin ini. Saya masih dapat menyapa kami sebagai warga paroki. Saya
ingin Anda dibantu oleh teman saya, ini …… Dia jauh lebih pantas menangani Anda.”
Salah satu bentuk memberikan konseling pastoral adalah melakukan pastoral care kepada
penderita sakit, baik yang dirawat di rumah maupun di rumah sakit. Inti dari pastoral care
adalah kita menjadi teman bagi sesama yang sedang sakit dan menjadi rekan bagi keluarga
pasien. Semua hal tersebut kita lakukan dengan memberikan bantuan sebagai berikut:
a. See Healing
Maksudnya melakukan suatu fungsi penyembuhan holistik dalam bentuk
kesediaan kita untuk duduk di samping pasien dan mendengarkan dia
mengungkapkan perasaan, keluhan, kemarahannya di hadapan kita. Singkatnya
kita menjadi media katarsis baginya atau tempat “tumpahan” macam-macam
keluh-kesahny
b. Sustaining(penopangan)
Maksudnya mendampingi pasien, atau keluarga yang merasa mendapat “beban”,
supaya mereka tidak mengalami stress berkepanjangan. Misalnya: bagaimana kita
perlu bersikap saat berhadapan dengan pasien yang menjadi tidak percaya diri
pasca diamputasi kakinya karena kecelakaan lalulintas? Sebab amputasi berarti
ketidak sempurnaan/cacat! Dan biasanya pasien yang bersangkutan menjadi tidak
memiliki semangat/hasrat/gairah menjalani hidupnya lagi. Kita harus
mendorongnya untuk bangkit lagi supaya tetap memiliki pengharapan. Atau
bagaimana kita harus bersikap saat mendampingi seorang ibu yang harus
melakukan aborsi demi keselamatan nyawanya karena ia mengidap penyakit
lever, yang akibatnya dihantui oleh rasa salah/dosa terus-menerus. Atau
bagaimana kita harus bersikap menghadapi pasien terminal ill yang dihinggapi
rasa cemas menjalani hari-harinya dalam ketidakpastian atau yang ketakutan
karena fakta kematian terbentang di hadapannya.
c. Guiding
Melakukan penelaahan bersama (dengan pasien atau keluarganya) dengan tujuan
memahami kasus-kasus yang dialami pasien, yang biasanya tak ada hubungan
dengan rumah sakit sekalipun, tetapi tetap perlu dibantu untuk ditangani. Contoh:
pasien yang mengalami perceraian, pasien yang ternyata hamil di luar nikah (dan
ingin melakukan aborsi),
d. Reconciliation(memperbaikihubungan)
Pasien kerap kali mempunyai perasaan telah menjadi beban bagi keluarganya dan
keluarga sendiri sering merasa bosan mendengar keluhan tersebut, akibatnya
terjadi kerenggangan hubungan di antara pasien dan keluarganya. Untuk itu
petugas pastoral care bertujuan menjadi media yang dapat “menyambung hati”
antara kedua kubu

B. Kemampuan Mendengarkan

Syarat utama agar kita dapat menjalankan pastoral care adalah kemampuan
mendengarkan pasien/klien. Ada 6 syarat untuk dapat mendengarkan secara efektif (bdk.
Tulus Tu’u, Dasar-dasar Konseling Pastoral, Yogyakarta: Andi Offset, 2007), yaitu:

1. Menatap wajah lawan berbicara sebaik-baiknya. Perlu melakukan kontak mata


supaya orang yang diajak bicara merasa yakin sungguh didengarkan.
2. Menunjukkan minat. Maksudnya kita nampak antusias terhadap persoalan yang
tengah diceriterakannya.
3. Memberi perhatian terhadap lawan bicara, tidak sibuk sendiri dengan HP atau
kegiatan lain. Singkatnya menyingkirkan segenap gangguan yang kemungkinan
ada.
4. Memahami segenap gejolak perasaan yang dialami oleh lawan bicara.
5. Empati: keinginan dan kemauan pendengar untuk berada atau masuk dalam
situasi/kondisi yang dialami lawan bicara.
6. Bersikap sabar, tenang dan ramah saat memberikan masukan/umpan balik.

C. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Empati

Mengenai faktor yang mempengaruhi seseorang menerima dan memberi empati,


Hoffman (1999) mengemukakannya sebagai berikut:

a. Sosialisasi
Sosialisasi dapat mempengaruhi empati melalui permainan-permainan yang
memberikan peluang kepada anak untuk mengalami sejumlah emosi, membantu
untuk lebih berpikir dan memberikan perhatian kepada orang lain, serta lebih
terbuka terhadap kebutuhan orang lain, serta lebih terbuka terhadap kebutuhan
orang lain sehingga akan meningkatkan kemampuan berempatinya. Model atau
peragaan yang diberikan pada anak-anak tidak hanya dapt menimbulkan respon
pro-sosial, tetapi juga mengembangkan perasaan empati dalam diri anak.
b. Mood dan feeling
Apabila seseorang dalam situasi perasaan yang baik, maka dalam berinteraksi dan
menghadapi orang lain ia akan lebih baik dalam menerima keadaan orang lain.
c. Proses Belajar dan Identifikasi
Dalam proses belajar, seorang anak membutuhkan repons-respons khas, dari
situasi yang khas, yang disesuaikan dengan pengaturan yang dibuat oleh orang tua
atau penguasa lainnya. Apa yang telah dipelajari anak di rumah pada situasi
tertentu, diharapkan dapat pula diterapkan olehnya pada waktu yang lebih luas di
kemudian hari.
d. Situasi atau Tempat
Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik dibandingkan dengan
situasi yang lain. Hali ini disebabkan situasi dan tempat yang berbeda dapat
memberikan suasana yang berbeda pula.Suasana yang berbeda inilah yang dapat
meninggi-rendahkan empati seorang anak.
e. Komunikasi dan Bahasa
Komunikasi dan Bahasa sangat mempengaruhi seseorang dalam mengungkapkan
dan menerima empati.Ini terbukti dalam penyampaian atau penerimaan bahasa
yang disampaikan dan diterima olehnya. Bahasa yang baik akan memunculkan
empati yang baik. Sedangkan komunikasi dan bahasa yang buruk akan
menyebabkan lahirnya empati yang buruk.
f. Pengasuhan
Lingkungan yang berempati dari suatu keluarga sangat membantu anak dalam
menumbuhkan empati dalam dirinya. Seorang anak yang dibesarkan dalam
lingkungan yang broken home atau dibesarkan dalam kehidupan rumah yang
penuh cacian dan makian dan persoalan dapat dipastikan akan menumbuhkan
empati buruk pula dalam diri si anak. Sebaliknya, pengasuhan dalam suasana
rumah yang baik akan menyebabkan empati anak tumbuh dengan baik pula.

Anda mungkin juga menyukai