Anda di halaman 1dari 6

HELPING RELATIONSHIP

Merupakan bagian dari konsep komunikasi yang lebih besar yakni komunikasi terapeutik.
Helping relationship merupakan bentuk hubungan dalam rangka membantu individu lain
melalui pendekatan yang professional. Hal itulah yang membedakan helping relationship
dengan jenis komunikasi lain dalam konteks komunikasi sosial. Helping relationship
merupakan bentuk komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya
dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Helping relationship secara professional merupakan
proses dinamis dan unik yang dilakukan individu untuk membantu orang lain dengan
menggunakan sumber-sumber internal agar tumbuh ke dalam arahan yang positif.

Helping relationship adalah hubungan saling membantu antara perawat klien yang berfokus
pada hubungan untuk memberikan bantuan yang dilakukan oleh perawat kepada klien yang
membutuhkan pencapaian tujuan. Dalam hubungan saling membantu ini, perawat berperan
sebagai orang yang membantu dan klien adalah orang yang dibantu, sedangkan sifat
hubungan adalah hubungan timbal balik dalam rangka mencapai tujuan klien. Tujuannya
adalah memenuhi kebutuhan klien dan meningkatkan kemandirian, perasaan berharga, dan
kesejahteraan.

Khoshnavafomani (2012) mengatakan bahwa beberapa perilaku yang relevan dengan pekerja
kesehatan dan helping relationship adalah akuntabilitas, focus pada kebutuhan pasien,
memiliki keterampilan klinis, dan adanya pengawasan dan diskusi secara reguler dengan tim
medis. Perawat dalam helping relationship adalah seorang “helper” yang memiliki
kompetensi komunikasi yang mengarah pada perilaku yang efektif dan tepat sesuai dengan
konteksnya.

Terdapat 4 tataran kompetensi komunikasi, yaitu unconscious incompetence, conscious


incompetence, conscious competence, unconscious competence. Perawat yang melakukan
helping relationship telah berada pada tataran kompetensi komunikasi conscious competence
bahkan unconscious competence. Pada tataran ketiga ini, ada kesadaran dalam hal ini perawat
untuk merancang dan mengontrol perilaku komunikasinya serta terus menerus berupaya
untuk mencapai komunikais yang efektif. Kesadaran ini mengarah pada kemampuan
mempersepsi dan berinteraksi dengan pasien serta lingkungan.

Seorang helper memiliki kecakapan untuk memahami dirinya sendiri, profesionalitas yang
sedang dijalani dan siapa yang dihadapi. Helper memahami bahwa relasi yang dibangun akan
berdampak secara klinis dan berdampak juga pada pribadi pasien. Kompetensi ini terus
diterapkan melalui persiapan, perawat mempersiapakan diri setiap kali bertugas dan
mendampingi di wisma pasien mengenai apa yang harus dilakukan, bagaimana
mendengarkan pasien, bagaimana menjawab pertanyaan pasien, bagaimana ketika gejala
penyakit pasien muncul. Tentu saja satu pasien dengan pasien lainnya berbeda dalam
penanganan dan gaya komunikasi. Oleh karena itu pengalaman dalam petugas sangat penting.
HAMBATAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK

Menurut Pettergrew, komunikasi terapeutik adalah komunikasi verbal dan paraverbal yang
berlangsung antara penolong dan yang ditolong dengan menghasilkan perasaan psikologis
(berpikir), emosi (perasaan) dan fisik (tindakan).

Hambatan yang terjadi dalam komunikasi terapeutik pada pasien ODGJ

1. Kurang kooperatif
Pasien dan keluarga awalnya kurang bisa diajak kerjasama dalam hal terapi. Perawat
mengalami hambatan ketika keluarga sudah menolak untuk membawa pasien atau
anggota keluarga yang ODGJ mengikuti kegiatan terapi yang ada diposyandu, dan pasien
kurang kooperatif dalam kepatuhan meminum obat karena merasa bosan karena setiap
hari meminum obat.
2. Stranger anxiety
Kedatangan orang asing memang membuat pasien dan keluarga merasa cemas. Karena
seolah-olah ada yang salah dalam diri mereka. Tetapi hal ini tidak berlangsung lama
karena intensitas dalam berinteraksi semakin meningkat ketika adanya posyandu yang
tujuannya adalah membantu memberikan pengobatan melalui terapi yang diadakan di
posyandu.
3. Factor Pendidikan
Adanya perbedaan tingkat pendidikan seseorang menjadikan setiap individu memiliki
pemahaman yang berbeda dalam mencerna informasi yang diberikan, bahwa mereka
mengalami kesulitan saat berkomunikasi dengan keluarga pasien yang memiliki status
Pendidikan menegah ke bawah.
4. Bahasa
Diartikan sebagai alat untuk beriteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat
untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan. Sejalan dengan hasil
penelitian dari Arumsari, dkk, (2016:109) bahwa setiap daerah bahkan setiap negara
memiliki bahasanya masing-masing. Adanya perbedaan bahasa dapat mempengaruhi
komunikasi yang ada. Beberapa informan kesulitan dalam berkomunikasi dengan
keluarga pasien, khususnya yang menggunakan bahasa asing. tidak menutup
kemungkinan bahwa bahasa adalah kendala utama ketika berkomunikasi dengan orang
lain.
5. Jaringan Kurang Mendukung
Pada proses telepsychiatry yang ada di Posyandu Jiwa kadang mengalami gangguan
berkomunikasi antara psikiater dan pasien yang didampingi perawat, karena hilangnya
akses jaringan internet sehingga terapi pun terhambat. Pada pengamatan peneliti ketika
mengalami gangguan signal dengan suara yang tidak jelas perawat langsung
berkomunikasi lewat chatting dengan psikiater lewat Skype. Telemedicine atau
telepsychiatry adalah konsep praktek kedokteran yang sangat bermanfaat untuk
mendukung diagnosis maupun konsultasi medis jarak jauh. Telemedicine sangat
tergantung pada tingkat ketersediaan infrastruktur IT di suatu daerah dan juga tingkat
biaya operasional yang tersedia. Selain kurang kuatnya jaringan internet, penggunaan
Telemedicine juga masih sangat dibatasi oleh penguasaan teknologi ini khususnya oleh
tenaga medis di Indonesia (Fatta, 2018).
6. Noise Suara
Gangguan ini terjadi ketika proses telepsychiatry disekitarnya ada suara-suara yang
masuk seperti suara musik, suara-suara yang lain masuk pada proses telepsychiatry,
sehingga menyebabkan komunikasi tidak lancar dan mengulang-ulang terus sampai
pesannya jelas. Terjadi noise suara, karena dalam proses telepsychiatry berada dalam satu
tempat dengan kegiatan terapi lain, yaitu terapi rehabilitasi mental yang ada di Posyandu
Jiwa. Seharusnya ketika proses telepsychiatry berlangsung memerlukan ruangan khusus
agar suara-suara yang sifatnya mengganggu tidak bisa masuk dalam proses telepsychiatry
berlangsung.
7. Inkoherensi
Kadang kala persepsi tenaga kesehatan dan pasien maupun keluarga pasien tidak
mengalami kesamaan sehingga terhambat dalam penyampaian pesan. Hal ini terjadi
karena ketidaktahuan mereka tentang apa yang dimaksud oleh tenaga kesehatan kepada
keluarga pasien maupun pasien. Jadi tenaga kesehatan harus beradaptasi mengenai
kondisi tersebut, agar pesan tersampaikan dengan baik. Misalnya pasien kurang
mendengar, pasien banyak diam ketika diajak berbicara. Inkoherensi juga terjadi ketika,
pasien yang kurang bisa diajak berkomunikasi ketika mengalami kebingungan dalam
menerima pesan, kadang pasien kurang bisa mendengar apa yang disampaikan karena
mengalami kerusakan indera. Pasien hanya diam tidak berkata-kata bahkan berbicara
yang kacau.
8. Emosional
Emosional dalam hal ini adalah keluarga kadang merasa emosinya naik, ketika pasien
ODGJ pasca pasung tidak mengikuti keinginan dari anggota keluarganya untuk
menjalankan aktivitas kesehariannya seperti ADL (Active Daily Learning), karena hal ini
adalah untuk melatih kemandirian pasien, agar tidak selalu bergantung dengan
keluarganya ketika membutuhkan sesuatu. Emosional yang dialami oleh keluarga ini bisa
menyebabkan terhambatnya proses komunikasi terapeutik keluarga, karena apabila
keluarga tidak bisa mengontrol emosinya pasien tidak akan mencapai kondisi yang stabil.
Justru pasien akan bertambah stress, semakin rendahnya emosi keluarga dalam
penanganan pasien di lingkungan rumah pada setiap harinya, semakin pasien mencapai
kondisi yang stabil. Kesembuhan pasien, selain terapi di Posyandu Jiwa, terapi obat,
keluarga mempunyai andil yang sangat besar dalam kesembuhan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Afrilia, A. M. & L. C. C. (2020). Helping Relationship Antara Perawat dengan Pasien dalam
Penyembuhan Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang. Jurnal
Komunikasi Dan Kajian Media, 4(1), 27–41.
https://jurnal.untidar.ac.id/index.php/komunikasi/article/viewFile/2391/1326

Wahyuningsih, S., Dida, S., Suminar, J. R., & Setianti, Y. (2019). Hambatan komunikasi
terapeutik psikiater, perawat, kader jiwa, dan keluarga pada pasien gangguan jiwa pasca
pasung. Jurnal Keperawatan Jiwa, 7(2), 115. https://doi.org/10.26714/jkj.7.2.2019.115-
126

Anda mungkin juga menyukai