Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN HIV/AIDS

OLEH
FITRIANI

STIKES TANAWALI PERSADA TAKALAR

PROGRAM STUDI AHLI JENJANG

TAHUN 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Defenisi
HIV adalah virus penyebab Acquired Immuno Deficiensi Syndrom(AIDS). Virus
ini memiliki kemampuan untuk mentransfer informasi genetic, mereka dari RNA ke
DNA dengan menggunakan enzim yang disebut Reverse Transcriptase, yang
merupakan kebalikan dari proses transkripsi dari RNA & DNA dan transflasi dari
RNA ke protein pada umumnya (Murma, et.al,1999).
HIV merupakan salah satu penyakit menular seksual yang berbahaya didunia
(Silalahi, Lampus, dan Akili, 2013). Seseorang yang terinfeksiHIV dapat diibaratkan
sebagai gunung es (Lestary, Sugiharti dan Susyanty, 2016) yang dimana HIV
memang tidak tampak tetapi penyebarannya mengakibatkan banyaknya kasus HIV
baik di Indonesia maupun di dunia.
AIDS adalah Suatu kumpulan kondisi tertentu yang merupakan hasilakhir dari infeksi
oleh HIV ( Virginia Macedolan, 2008 ). AIDS Kependekan dari A: Acquired:
Didapat, Bukan penyakit keturunan Immune:Sistem kekebalan tubuh D:Deficiency:
Kekurangan Syndrome,
Jadi AIDS adalah berarti kumpulan gejala akibat kekurangan dankelemahan
system tubuh yang dibentuk setelah kita lahir ( Depkes,2007)
B. Etiologi
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency virus
(HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut
HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama
HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkan dengan HIV-1.
Maka untuk memudahkan keduanya disebut HIV.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada
gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes
illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam
hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor padaberbagai system tubuh,
dan manifestasi neurologist. AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk
bayi, pria maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
1. Lelaki homoseksual atau biseks.
2. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi HIV.
3. Orang yang ketagian obat intravena
4. Partner seks dari penderita AIDS
5. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
C. Patofisiologi
HIV termasuk kelompok retrovirus, yang mempunyai enzim (protein) yang dapat
merubah RNA, materi genetiknya, menjadi DNA.Kelompok retrovirus Karena
kelompok ini membalik urutan normal yaitu DNA diubah (replikasi) menjadi
RNA.Setelah menginfeksi RNA, HIV berubah menjadi DNA oleh enzim yang ada
dalam virus HIV yang dapat mengubah RNA virus menjadi (reversetranscriptas)
sehingga dapat disisipkan ke dalam DNA sel-sel manusia.DNA itu kemudian dapat
digunakan untuk membuat virus baru (virion), yang menginfeksi sel-sel baru, atau
tetap tersembunyi dalam sel-sel yang hidup panjang, atau tempat penyimpanan,
seperti limfosit sel-sel CD4 (sel T pembantu) yang istirahat sebagai target paling
penting dalam penyerangan virus ini.
Sel CD4 adalah salah satu tipe dari sel darah putih yang bertanggung jawab untuk
mengendalikan atau mencegah infeksi oleh banyak virus yang lain, bakteri jamur dan
parasit dan juga beberapa jenis kanker. Kemapuan HIV untuk tetap tersembunyi
dalam DNA dari sel-sel manusia yang hidup lama, tetap ada seumur hidup membuat
infeksi menyebabkan kerusakan sel-sel CD4 dan dalam waktu panjang jumlah sel-sel
CD4 menurun menjadi masalah yang sulit ditangani bahkan dengan pengobatan
efektif (Gallant,2010).
Apabila sudah banyak sel T4 yang hancur, terjadi gangguan imunitas selular, daya
kekebalan penderita menjadi terganggu/cacat sehingga kuman yang tadinya tidak
berbahaya atau dapat dihancurkan oleh tubuh sendiri (infeksi oportunistik) akan
berkembang lebih leluasa dan menimbulkan penyakit yang serius yang pada akhirnya
penyakit ini dapat menyebabkan kematian. Apabila sudah masuk ke dalam darah,
HIV dapt merangsang pembentukan antibody dalam sekitar 3-8 minggu setelah
terinfeksi pada periode sejak seseorang kemasukan HIV sampai terbentuk antibody
disebut periode jendela (Window Period). Periode jendela ini sangat perlu diketahui
karena sebelum antibody terbentuk di dalam tubuh, HIV sudah ada di dalam darah
penderita dan keadaan ini juga sudah dapat menularkan kepada orang lain (Yayasan
Pelita Ilmu,2010).
Menurut Robbins, Dkk (2011) Perjalanan infeksi HIV paling baik dipahami
dengan menggunakan kaidah saling memengaruhi antara HIV dan sistem imun. Ada
tiga tahap yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara virus dan
penjamu.
1. Fase Akut Pada Tahap Awal
Fase akut menggambarkan respon awal seseorang dewasa yang imunokompeten
terhadap infeksi HIV. Secara klinis, hal yang secara khas merupakan penyakit
yang sembuh sendiri yang terjadi pada 50% hingga 70%dari orang deawasa
selama 3-6 minggu setelah infeksi; fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik
yaitu nyeri tenggorokan, mialgia, demam, ruam, dan kadang-kadang meningitis
aseptik. Fase ini juga ditandai dengan produksi virus dalam jumlah yang besar,
viremia dan persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer, yang secara khas
disertai dengan berkurangnya sel T CD4+.
Namum segera setelah hal itu terjadi, akan muncul respon imun yang spesifik
terhadap virus, yang dibuktikan melalui serokonversi (biasanya dalam rentang
waktu 3 hingga 17 minggu etelah pejanan) dan muali munculnya sel T sitoksik
CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel T CD4+ kembali
mendekati jumlah normal. Namun, berkurangnya virus dalam plasma bukan
merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut di
dalam makrofag dan sel T CD 4+ jaringan.
2. Fase Kronis Pada Tahap Menengah
Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukkan tahap penahanan relatif virus.
Pada fase ini, sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus
berlanjut hingga beberapa tahun. Pada pasien tidak menunjukkan gejala ataupun
menderita limfadenopati persisten, dan banyak penderita yang mengalami infeksi
oportunistik “ringan” seperti ariawan (Candida) atau harpes zoster selama fase ini
replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus yang
meluas akan disertai dengan kehilangan sel CD4+ yang berlanjut.
Namun, karena kemampuan regenerasi sistem imun besar, sel CD4+ akan
tergantikan dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu penurunan selCD4+ dalam
darah perifer hanyalah hal yang sederhana. Setelah melewati periode yang
panjang dan beragam, pertahanan penjamu mulai berkurang, jumlah sel CD4+
mulai menurun, dan jumlah sel CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin
meningkat. Limfadenopati persisten yang disertai dengan kemunculan gejala
konstitusional yang bermakna (demam, ruam, mudah lelah) mencerminkan onset
adanya dekompensasi sistem imun, peningkatan replikasi virus, dan onset fase
“krisis”.
3. Fase Krisis, Pada Tahap Akhir
Tahap terakhir, fase krisis, ditandai dengan kehancuran ppertahanan penjamu
yang sangat merugikan peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis.
Para pasien khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah,
penurunan berat badan, dan diare. Jumlah sel CD4+ menurun dibawah 500 sel/μL.
Setelah adanya interval yang berubah-ubah, para pasien mengalami infeksi
oportunistik yang serius, neoplasma sekunder, dan atau manifestasi neurologis
(disebut dengan kondisi yang menentukan AIDS), dan pasien yang bersangkutan
dikatakan telah menderita AIDS yang sesungguhnya. Bahkan jika kondisi lazim
yang menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang digunakan saat ini
menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+
kurang atau sama dengan 200/μL sebagai pengidap AIDS.
PATHWEY

Hubungan seksual Transfuse darah Termasuk jarum Ibu hamil


dengan pasangan yang yang terinfeksi HIV bekas penderita HIV menderita HIV
berganti-gantian

Virus masuk dalam tubuh lewat luka berdarah


Sperma terinfeksi masuk
kedalam tubuh pasangan
lewat membrane mukosa Virus masuk dalam peredaran darah dan invasi sel target
vagina, anus yang lecet
atau luka.
T helper / CD4 Makrofag Sel B

Terjadi Perubahan Pada Struktur Sel Diatas Akibat Transkripsi RNA Virus + DNA Sel Sehingga Terbentuknya

Selpenjamu (T helper, limfosit B, makrofag) mengalami kelumpuhan

Menurunnya system kekebalan tubuh

Infeksi Oportunistik

System GIT Itegumen System reproduksi System respirasi System integumen

Virus HIV + kuman Herpes zozter + candidiasis Micobakterium kriptococus


salmonella, herpes simpleks TB
clostridium, candida

Menginvasi Dermatitis Ulkus genital PCP (pneumonia Meningitis


mukosa saluran serebroika pneumocystis) kriptococus
cerna

Ruam, difus, bersisik, Demam, batuk Perubahan status


folikulitas, kulit non produktif , mental, kejang,
Peningkatan
kering,mengelupas eksem nafas pendek kaku kuduk,
peristaltik
kelemahan,
mual, kehilangan
nafsu makan,
psoriasis Mk :
diare vomitus, demam,
 Hipertermi panas,pusing
Terapi  Bersihan jalan
trimetoprim nafas
sulfame  Pola nafas
Mk : Mk : tidak efektif Mk :
 Perubahan  Resiko  Resiko
eliminasi (bab) kerusakan kulit tinggi cedera
 Gangguan nutrisi  Resiko infeksi  Ggn, nutrisi
Ruam pruiritus, Mk :
kurang dari <keb. Tubuh
papula, macula Nyeri
kebutuhan tubuh  Resiko
merah mudah
 Resiko tinggi
kekurangan kekurangan
volume cairan volume
 Gangguan
perfusi jaringan

Sumber : Nanda, Nic,Noc 2015


D. Manifestasi Klinis
Pada suatu WHO Workshop yang diadakan di Bangui, Republik Afrika Tengah, 22–
24 Oktober 1985 telah disusun suatu defmisi klinik AIDS untuk digunakan oleh
negara-negara yang tidak mempunyai fasilitas diagnostic laboratorium. Ketentuan
tersebut adalah sebagai berikut :
1. AIDS dicurigai pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan
satu gejala minor dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi yang diketahui
seperti kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya.
a. Gejala mayor :
1) Penurunan berat badan lebih dari 10%
2) Diare kronik lebih dari 1 bulan
3) Demam lebih dari 1 bulan (kontinu atau intermiten).
b. Gejala minor :
1) Batuk lebih dari 1 bulan
2) Dermatitis pruritik umum
3) Herpes zoster rekurens
4) Candidiasis oro-faring
5) Limfadenopati umum
6) Herpes simpleks diseminata yang kronik progresif
2. AIDS dicurigai pada anak ( bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan dua
gejala minor dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi yang diketahui seperti
kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya.
a. Gejala mayor :
1) Penurunan berat badan atau pertumbuhan lambat yang abnormal
2) Diare kronik lebih dari 1 bulan
3) Demam lebih dari 1 bulan
b. Gejala minor :
1) Limfadenopati umum
2) Candidiasis oro-faring
3) Infeksi umum yang berulang (otitis, faringitis, dsb).
4) Batuk persisten
5) Dermatitis umum
6) Infeksi HIV maternal
Kriteria tersebut di atas khusus disusun untuk negara-negara Afrika yang
mempunyai prevalensi AIDS tinggi dan mungkn tidak sesuai untuk digunakan di
Indonesia. Untuk keperluan surveilans AIDS di Indonesia sebagai pedoman
digunakan defmisi WHO/CDC yang telah direvisi dalam tahun 1987. Sesuai
dengan hasil Inter-country Consultation Meeting WHO di New Delhi, 30-31
Desember 1985, dianggap perlu bahwa kasus-kasus pertama yang akan
dilaporkan sebagai AIDS kepada WHO mendapat konfrrmasi dengan tes ELISA
dan Western Blot.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat
penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit
serta responnya terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
a. Serologis
1) Tes antibody serum
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasiltes
positif, tapi bukan merupakan diagnose
2) Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)
3) Sel T limfosit
Penurunan jumlah total
4) Sel T4 helper Indikator system imun (jumlah <200>
5) T8 ( sel supresor sitopatik ) Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel
suppressor pada sel helper ( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.
6) P24 ( Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus
7) (HIV ) Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi
infeksi
F. Penatalaksanaan Medis
1. Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu
(Endah Istiqomah : 2009) :
a. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,
nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk
mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus
dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
b. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif
terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik
traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 .
Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus
(HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
c. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan
menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada
prosesnya. Obat-obat ini adalah :
 Didanosin
 Ribavirin
 Diedoxycytidine
 Recombinant CD 4 dapat larut
d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon,
maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian
dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan
keberhasilan terapi AIDS.
2. Diet
Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012) adalah
a. Tujuan Umum Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:\
 Memberikan intervensi gizi secara cepat dengan mempertimbangkan
seluruh aspek dukungan gizi pada semua tahap dini penyakit infeksi HIV.
 Mencapai dan mempertahankan berat badan secara komposisi tubuh yang
diharapkan, terutama jaringan otot (Lean Body Mass).
 Memenuhi kebutuhan energy dan semua zat gizi.
 Mendorong perilaku sehat dalam menerapkan diet, olahraga dan relaksasi.
b. Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
 Mengatasi gejala diare, intoleransi laktosa, mual dan muntah.
 Meningkatkan kemampuan untuk memusatkan perhatian, yang terlihat
pada: pasien dapat membedakan antara gejala anoreksia, perasaan
kenyang, perubahan indra pengecap dan kesulitan menelan.
 Mencapai dan mempertahankan berat badan normal.
 Mencegah penurunan berat badan yang berlebihan (terutama jaringan otot).
 Memberikan kebebasan pasien untuk memilih makanan yang adekuat
sesuai dengan kemampuan makan dan jenis terapi yang diberikan.
c. Syarat-syarat Diet HIV/AIDS adalah:
 Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi, diperhatikan faktor
stres, aktivitas fisik, dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi
sebanyak 13% untuk setiap kenaikan Suhu 1°C.
 Protein tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan mengganti
jaringan sel tubuh yang rusak. Pemberian protein disesuaikan bila ada
kelainan ginjal dan hati.
 Lemak cukup, yaitu 10 – 25 % dari kebutuhan energy total. Jenis lemak
disesuaikan dengan toleransi pasien. Apabila ada malabsorpsi lemak,
digunakan lemak dengan ikatan rantai sedang (Medium Chain
Triglyceride/MCT). Minyak ikan (asam lemak omega 3) diberikan
bersama minyak MCT dapat memperbaiki fungsi kekebalan.
 Vitamin dan Mineral tinggi, yaitu 1 ½ kali (150%) Angka
 Kecukupan Gizi yang di anjurkan (AKG), terutama vitamin A, B12, C, E,
Folat, Kalsium, Magnesium, Seng dan Selenium. Bila perlu dapat
ditambahkan vitamin berupa suplemen, tapi megadosis harus dihindari
karena dapat menekan kekebalan tubuh.
 Serat cukup; gunakan serat yang mudah cerna.
 Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan
gangguan fungsi menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan diberikan
bertahap dengan konsistensi yang sesuai. Konsistensi cairan dapat berupa
cairan kental (thick fluid), semi kental (semi thick fluid) dan cair (thin
fluid).
 Elektrolit. Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu diganti
(natrium, kalium dan klorida).
 Bentuk makanan dimodifikasi sesuai dengan keadaan pasien. Hal ini
sebaiknya dilakukan dengan cara pendekatan perorangan, dengan melihat
kondisi dan toleransi pasien. Apabila terjadi penurunan berat badan yang
cepat, maka dianjurkan pemberian makanan melalui pipa atau sonde
sebagai makanan utama atau makanan selingan.
 Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering
 Hindari makanan yang merangsang pencernaan baik secara mekanik,
termik, maupun kimia.
d. Jenis Diet dan Indikasi Pemberian
Diet AIDS diberikan pada pasien akut setelah terkena infeksi HIV, yaitu
kepada pasien dengan:
1) HIV positif tanpa gejala.
2) Infeksi HIV dengan gejala (misalnya panas lama, batuk, diare kesulitan
menelan, sariawan dan pembesaran kelenjar getah bening).
3) Infeksi HIV dengan gangguan saraf
4) Infeksi HIV dengan TBC.
5) nfeksi HIV dengan kanker dan HIV Wasting Syndrome.
Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara, yaitu secara oral,
enteral(sonde) dan parental(infus). Asupan makanan secara oral sebaiknya dievaluasi
secara rutin. Bila tidak mencukupi, dianjurkan pemberian makanan enteral atau
parental sebagai tambahan atau sebagai makanan utama.
Ada tiga macam diet AIDS yaitu Diet AIDS I, II dan III.
1. Diet AIDS
Diet AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut, dengangejala panas
tinggi, sariawan, kesulitan menelan, sesak nafas berat, diare akut, kesadaran
menurun, atau segera setelah pasien dapat diberi makan.Makanan berupa cairan
dan bubur susu, diberikan selama beberapa hari sesuai dengan keadaan pasien,
dalam porsi kecil setiap 3 jam. Bila ada kesulitan menelan, makanan diberikan
dalam bentuk sonde atau dalam bentuk kombinasi makanan cair dan makanan
sonde. Makanan sonde dapat dibuat sendiri atau menggunakan makanan enteral
komersial energy dan protein tinggi. Makanan ini cukup energi, zat besi, tiamin
dan vitamin C. bila dibutuhkan lebih banyak energy dapat ditambahkan glukosa
polimer (misalnya polyjoule).
2. Diet AIDS II
Diet AIDS II diberikan sebagai perpindahan Diet AIDS I setelah tahap akut
teratasi. Makanan diberikan dalam bentuk saring atau cincang setiap 3 jam.
Makanan ini rendah nilai gizinya dan membosankan. Untuk memenuhi
kebutuhan energy dan zat gizinya, diberikan makanan enteral atau sonde
sebagai tambahan atau sebagai makanan utama.
3. Diet AIDS III
Diet AIDS III diberikan sebagai perpindahan dari Diet AIDS II atau kepada
pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk makanan lunak atau biasa,
diberikan dalam porsi kecil dan sering. Diet ini tinggi energy, protein, vitamin
dan mineral. Apabila kemampuan makan melalui mulut terbatas dan masih
terjadi penurunan berat badan, maka dianjurkan pemberian makanan sonde
sebagai makanan tambahan atau makanan utama.
Pasien Hiv tidak boleh memakan makanan seperti :
a. Makanan yang dipanggang
b. Makanan yang mentah
c. Sayur – sayuran mentah
d. Kacang – kacanga
G. Komplikasi
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia
oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
2. Neurologik
Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency
Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan
kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social. Enselophaty akut,
karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit,
meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise,
total / parsial. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik,
dan maranik endokarditis. Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan
Human Immunodeficienci Virus (HIV)
3. Gastrointestinal
a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma,
dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia,
demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
b. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam
atritis.
c. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal
yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri
rectal, gatal-gatal dan siare.
4. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas
pendek,batuk,nyeri,hipoksia,keletihan,gagal nafas.
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena
xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa
terbakar,infeksi skunder dan sepsis.
6. Sensorik
Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan Pendengaran :
otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Asuhan keperawatan bagi penderita penyakit AIDS merupakan tantangan yang besar bagi
perawat karena setiap sistem organ berpotensi untuk menjadi sasaran infeksi ataupun kanker.
Disamping itu, penyakit ini akan dipersulit oleh komplikasi masalah emosional, sosial dan etika.
Rencana keperawatan bagi penderita AIDS harus disusun secara individual untuk memenuhi
kebutuhan masing-masing pasien (Burnner & Suddarth, 2013). Pengkajian pada pasien HIV
AIDS meliputi :
1. Pengkajian
Meliputi : nama, tempat/ tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin, agama, pendidikan,
pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR
2. Keluhan utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori ditemui keluhan utama
sesak nafas. Keluhan utama lainnya ditemui pada pasien HIV AIDS yaitu, demam yang
berkepanjangan (lebih dari 3 bulan), diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus
menerus, penurunan berat badan lebih dari 10%, batuk kronis lebih dari 1 bulan, infeksi pada
mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur Candida Albicans, pembengkakan kelenjer
getah bening diseluruh tubuh, munculnya Harpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal
diseluruh tubuh.
3. Riwayat kesehatan sekarang
Dapat ditemukan keluhan yang biasanya disampaikan pasien HIV AIDS adalah : pasien akan
mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi pasien yang memiliki manifestasi respiratori, batuk-
batuk, nyeri dada dan demam, pasien akan mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan
berat badan drastis.
4. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya riwayat penggunaan
narkotika suntik, hubungan seks bebas atau berhubungan seks dengan penderita HIV/AIDS,
terkena cairan tubuh penderita HIV/AIDS.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang menderita penyakit
HIV/AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang tua yang terinfeksi HIV. Pengkajian lebih
lanjut juga dilakukan pada riwayat pekerjaan keluarga, adanya keluarga bekerja di tempat
hiburan malam, bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial).
6. Pola aktivitas sehari-hari (ADL)
a. Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat
Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan
menglami perubahan atau gangguan pada personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi,
ganti pakaian, BAB dan BAK dikarenakan kondisi tubuh yang lemah, pasien kesulitan
melakukan kegiatan tersebut dan pasien biasanya cenderung dibantu oleh keluarga atau
perawat.
b. Pola Nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS mengalami penurunan nafsu makan, mual, muntah,
nyeri menelan, dan juga pasien akan mengalami penurunan BB yang cukup drastis dalam
waktu singkat (terkadang lebih dari 10% BB).
c. Pola Eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, fases encer, disertai mucus berdarah.
d. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS pola istirahat dan tidur mengalami gangguan karena
adanya gejala seperi demam dan keringat pada malam hari yang berulang. Selain itu juga
didukung oleh perasaan cemas dan depresi pasien terhadap penyakitnya.
e. Pola Istirahat dan tidur
Biasanya pada pasien HIV/AIDS aktivitas dan latihan mengalami perubahan. Ada
beberapa orang tidak dapat melakukan aktifitasnya seperti bekerja. Hal ini disebabkan
mereka yang menarik diri dari lingkungan masyarakat maupun lingkungan kerja, karena
depresi terkait penyakitnya ataupun karena kondisi tubuh yang lemah.
f. Pola presepsi dan konsep diri
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan marah, cemas, depresi, dan stres.
g. Pola sensori kognitif
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan pengecapan, dan gangguan
penglihatan. Pasien juga biasanya mengalami penurunan daya ingat, kesulitan
berkonsentrasi, kesulitan dalam respon verbal. Gangguan kognitif lain yang terganggu
yaitu bisa mengalami halusinasi.
h. Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran yang dapat mengganggu
hubungan interpersonal yaitu pasien merasa malu atau harga diri rendah.
i. Pola penanggulangan stres
Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami cemas, gelisah dan depresi
karena penyakit yang dideritanya. Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit, yang
kronik, perasaan tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis
yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain-lain, dapat
menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang kontruksif
dan adaptif.
j. Pola reproduksi seksual
Pada pasaaien HIV AIDS pola reproduksi seksualitas nya terganggu karena penyebab
utama penularan penyakit adalah melalui hubungan seksual.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada pasien HIV AIDS tata nilai keyakinan pasien awal nya akan berubah, karena
mereka menggap hal menimpa mereka sebagai balasan akan perbuatan mereka. Adanya
perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh mempengaruhi nilai dan
kepercayaan pasien dalam kehidupan pasien, dan agama merupakan hal penting dalam
hidup pasien.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Aktivitas istirahat
Mudah lemah, toleransi terhadap aktifitas berkurang, progresif, kelelahan,, perubahan
pola tidur.
b. Gejala sabjektif
Demam kronik, demam atau tanpa mengigil, keringat malam hari berulang kali, lemah,
lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.
c. Psikososial
Kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup, mengungkapkan perasaan
takut, cemas, meringis.
d. Satus mental
Marah, pasrah, depresi, ide bunuh diri, hilang interest pada lingkungan sekitar, gangguan
proses pikir, hilang memori, gangguan antensi dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.
e. Neurologis
Gangguan reflek pupil, vertigo, ketidak seimbangan, kaku kuduk, kejang, paraf legia.
f. Muskuloskletal
Focal motor deficit, lemah, tidak mampu melakukan ADL
g. Kardiovaskuler
Takikardi, sianosis, edema perifer, dizziness.
h. Pernafasan
Nafas pendek yang progresif, batuk ( sedang-parah ), batuk produktif/ non-produktif,
sesak pada dada.
i. Integument
Kering gatal, rash dan lesi, turgor jelek.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Diare b/d inflamasi gastrointestinal
2. Defisit nutrisi b/d ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient
3. Hipovolemia b/d kekurangan intake cairan
C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Luaran keperawatan Intervensi keperawatan
1. Diare b/d Setelah dilakukan Observasi :
inflamasi tindakan keperawatan 1 x 1. Identifikasi penyebab diare
gastrointestinal 24 jam di harapkan 2. Identifikasi pemberian makanan
 Pengontrolan 3. Monitoring warna, volume,
pengeluaran feses frekuensi, dan konsistensi tinja
meningkat (5) 4. Monitor tanda dan gejala
 Defekasi membaik (5) hipovolemia
 Frekuensi buang air 5. Monitor iritasi dan ulserasi kulit
besar membaik (5) di daerah perianal

 Kondisi kulit perianal 6. Monitor jumlah pengeluaran

membaik (5) diare


7. Monitor keamanan penyiapan
makanan
Terapiutik
1. Berikan asupan cairan oral
2. Pasang jalur intravena
3. Berikan cairan intravena
4. Ambil sampel darah untuk
untuk pemeriksaan darah
lengkap dan elektrolit
5. Ambil sampel feses untuk
kultur, jika perlu
Edukasi :
1. Anjurkan makanan porsi kecil
dan sering secara bertahap
2. Anjurkan menghindari
makanan pembentuk gas pedas
dan mengandung laktosa
3. Anjurkan melanjutkan
pemberian asi
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian obat
antimotilitas
2. Kolaborasi pemberian obat
antispasmodic/spasmolitik
3. Kolaborasi pemberian obat
pengeras feses
2. Defisit nutrisi b/d Setelah dilakukan Observasi:
ketidakmampuan tindakan keperawatan 1 x 1. Identifikasi masalah usus dan
mengabsorbsi 24 jam di harapkan penggunaan obat pencahar
nutrient  Kontrol pengeluaran 2. Identifikasi pengobatan yang
feses meningkat (5) berefek pada kondisi
 Distensi abdomen gastrointestinal
menurun (5) 3. Monitor buang air besar
 Nyeri abdomen 4. Monitor tanda dan gejala diare,
menurun (5) konstipasi,atau impaksi
 Kram abdomen Terapeutik :
menurun (5) 1. Berikan air hangat setelah
 Konsistensi feses makan
membaik (5) 2. Jadwalkan waktu defekasi

 Frekuensi defekasi bersama pasien

membaik (5) 3. Sediakan makanan tinggi serat

 Peristaltic usus Edukasi :


membaik (5) 1. Jelaskan jenis makanan yang
membantu meningkatkan
keteraturan peristaltic usus
2. Anjurkan mencatat warna,
frekuensi, konsistensi, volume
feses
3. Anjurkan meningkatkan
aktivitas fisik, sesuai toleransi
4. Anjurkan pengurangan asupan
makanan yang meningktakan
pembentukan gas
5. Anjurkan mengonsumsi
makanan yang mengandung
tinggi serat
6. Anjurkan meningkatkan asupan
cairan, jika tidak ada
kontraindikasi
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian obat
supositoria anal, jika perlu
3. Hipovolemia b/d Setelah dilakukan Observasi :
kekurangan intake tindakan keperawatan 1 x 1. periksa tandadan gejala
cairan 24 jam di harapkan hipovolemia
 pola makanan yang 2. monitor intake da output cairan
dihabiskan meningkat terapiutik :
(5) 1. hitung kebutuhan cairan
 diare menurun (5) 2. berikan posisi modified
 nafsu makan membaik trendelenburg
(5) 3. berikan asupan cairan oral

 bising usus membaik edukasi :


(5) 1. anjurkan memperbanyak
asupan cairan oral
2. anjurkan menghindari
perubahan porsi mendadak
kolaborasi :
1. kolaborasi pemberian cairan IV
isotonic
2. kolaborasi pemberian cairan IV
hipotonis
3. kolaborasi pemberian cairan
koloid

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana rencana
keperawatan dilaksananakan, melaksanakan intervensi yang telah ditentukan, pada tahap
ini perawat siap untuk melakukan intervensi yang telah dicatat dalam rencana
keperawatan klien. Agar implementasi perencanaan dapt tepat waktu dan efektif terhadap
biaya , pertama-tama harus mengidentifikasi priorotas perawatan klien, kemudian bila
perawatan telah dilaksanakan, memantau dan mencatat respon klienterhadap setiap
intervensi dan mengkomunikasikan informasi ini pada penyedia perawatan kesehatan
lainya. Kemudian, dengan menggunakan data, dapat mengevaluasi dan merevisi rencana
perawatan dalam tahap proses keperawatan berikutnya
E. Evaluasi
Tahap evaluasi menentukan kemajuan pasien terhadap pencapaian hasil yang diinginkan
dan respon pasien terhadap keefektifan intervensi keperawatan, kemudian mengganti
rencana perawatan jika diperlukan Tahap akhir dari proses keperawatan perawat
mengevaluasi kemampuan pasien kea rah pencapaian.
DAFTAR PUSTAKA
Dapertemen kesehatan RI. 2007 . Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang dewasa
dan Remaja Edisi Kedua, Jakarta

Kumar,Cotran,Robbins.(2011). Buku Ajar Patologi (Awal Prasetyo,Brahm U.Pandit, Toni


Prilino, Penerjemah). Jakarta: EGC

Muma, Richard D. (1999). HIV : Manual untuk tenaga kesehatan. Jakarta : EGC

NANDA International. (2015). Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta. EGC

Ppni, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus
Pusat Ppni.

Ppni, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesi. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus
Pusat Ppni.

Ppni, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus
Pusat Ppni.

Yayasan Spiritia. (2009). Dasar AIDS. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai