Anda di halaman 1dari 54

PRESENTASI KASUS RSU ADHYAKSA

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS


EKSASERBASI AKUT

Oleh:
dr. Shafira Irmayati

Pembimbing:
Dr. Ahmad Muslim, Sp.P
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Penyakit Paru
Obstruktif Kronis Eksaserbasi Akut”. Laporan kasus ini disusun sebagai salah
satu syarat mengkuti program dokter Internship di RSU Adhyaksa Jakarta 13 Juli
2021 – 12 Oktober 2021. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada dr.Ahmad Muslim,Sp.P selaku pembimbing yang telah membantu dalam
penyelesaian laporan kasus ini dan kepada dr. Heru Agusman selaku pendamping
dokter internship di RSU Adhayaksa. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada semua staff RSU Adhyaksa yang telah membantu pembuatan laporan
kasus ini. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan dokter pembimbing, dokter pendamping
dan rekan dokter internship untuk memberi saran dan kritik yang membangun.
Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, September 2021


Penulis

dr. Shafira Irmayati

2
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS EKSASERBASI AKUT

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat


Program Internsip Dokter Indonesia
Rumah Sakit Umum Adhyaksa

Lembar pengesahan ini, ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang


sesungguhnya.

Mengetahui : Jakarta, September 2021

Peserta Pendamping

dr. Shafira Irmayati dr. Heru Agusman

Pembimbing

dr. Ahmad Muslim, Sp.P

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) saat ini telah menjadi salah satu dari
tiga penyebab kematian teratas di dunia dan 90% dari jumlah kematian tersebut
terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.1 Data menunjukkan bahwa
lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2012, dimana hal
tersebut menyumbang 6% dari keseluruhan kematian secara global. PPOK
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting yang dapat dicegah serta
dapat diobati. PPOK merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di
seluruh dunia. Secara global, beban PPOK diperkirakan akan mengalami
peningkatan dalam beberapa dekade mendatang karena paparan terus-menerus
terhadap faktor risiko PPOK dan seiring dengan meningkatnya populasi lansia.2
Salah satu organisasi yang bergerak dalam pengembangan informasi dan
manajemen tatalaksana PPOK yang disebut Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung (GOLD) mengadakan konferensi pada tahun 2018, yang
menyimpulkan bahwa terdapat beberapa tantangan dan hal yang perlu di
perhatikan dalam pengendalian PPOK. Hal tersebut diantaranya adalah
terbatasnya gambaran epidemiologis dan klinis PPOK di negara berkembang;
produk tembakau yang terjangkau secara mudah dan luas, serta pajanan lain
(misalnya, polusi udara rumah tangga) yang diperkirakan meningkatkan risiko
PPOK; layanan diagnostik spirometri tidak tersedia secara luas dan masalah akses
untuk memperoleh terapi dengan kualitas baik serta terjangkau.
Untuk itu pada laporan ini akan dibahas mengenai definisi, faktor risiko,
patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, dan komplikasi pada PPOK dengan harapan
tenaga kesehatan dapat melakukan diagnosis serta mengerti tatalaksana yang tepat
untuk kasus tersebut.

4
1.2. Tujuan

Penulisan laporan ini bertujuan adalah untuk meningkatkan kesadaran akan


pentingnya untuk meningkatkan pencegahan dan pengelolaan PPOK melalui
upaya bersama dari orang-orang yang terlibat dalam semua aspek perawatan
kesehatan.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum


dijumpai, dapat dicegah dan diobati. Ditandai oleh gejala pernapasan yang
persisten dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh kelainan jalan napas
dan/atau alveolus, hal ini biasanya disebabkan oleh paparan yang signifikan
terhadap partikel atau gas berbahaya dan dipengaruhi oleh faktor pejamu termasuk
perkembangan paru-paru yang abnormal. Keterbatasan aliran udara kronis yang
merupakan karakteristik PPOK disebabkan oleh penyakit saluran napas dan
kerusakan parenkim paru. Perubahan ini tidak selalu terjadi bersamaan, tetapi
berkembang pada tingkat yang berbeda dari waktu ke waktu. Peradangan kronis
pada paru menyebabkan perubahan struktural, penyempitan saluran udara kecil
dan kerusakan parenkim paru yang mengarah ke hilangnya perlekatan alveolar ke
saluran udara kecil dan penurunan elastisitas paru. Setelah beberapa waktu,
perubahan ini dapat mengurangi kemampuan saluran udara untuk tetap terbuka
selama ekspirasi. Hilangnya saluran udara kecil juga dapat menyebabkan
keterbatasan aliran udara dan disfungsi mukosiliar yang merupakan ciri khas
penyakit ini. Keterbatasan aliran udara biasanya diukur dengan spirometri karena
ini merupakan tes fungsi paru yang paling banyak tersedia dan dapat
direproduksi.3,4

2.2. Faktor Risiko


Meskipun merokok merupakan faktor risiko PPOK yang paling banyak
dipelajari, namun ia bukanlah satu-satunya faktor risiko dan bukti dari studi
epidemiologi menunjukkan bahwa individu yang tidak merokok juga dapat
mengalami keterbatasan aliran udara yang kronis.5 Namun demikian,
dibandingkan dengan perokok dengan PPOK, individu dengan PPOK yang tidak
memiliki riwayat merokok memiliki gejala yang lebih sedikit, penyakit yang lebih

6
ringan dan resiko peradangan sistemik yang lebih rendah.6 PPOK merupakan hasil
dari interaksi yang kompleks antara gen dan lingkungan. Merokok adalah faktor
risiko utama bagi PPOK, namun data menunjukkan bahwa, kurang dari 50%
perokok berat yang menderita PPOK selama hidup mereka. 7 Meskipun genetik
mungkin berperan dalam memodifikasi risiko PPOK pada perokok, terdapat
kemungkinan keterlibatan faktor risiko lain. Pemahaman mengenai hubungan dan
interaksi antara faktor risiko membutuhkan investigasi lebih lanjut.

 Faktor genetik
Faktor risiko genetik yang paling umum ditemui adalah defisiensi herediter
dari alpha-1 antitrypsin (AATD),8 sebuah penghambat sirkulasi utama dari serin
protease. Meskipun defisiensi AATD hanya relevan untuk sebagian kecil dari
populasi dunia, namun hal ini dapat menggambarkan interaksi antara gen dan
paparan lingkungan yang mempengaruhi terjadinya PPOK. Risiko yang signifikan
dari riwayat keluarga pada PPOK, diamati pada perokok yang merupaka saudara
dari pasien dengan PPOK berat,9 hal tersebut menunjukkan bahwa genetika
bersamaan dengan faktor lingkungan dapat mempengaruhi kerentanan terhadap
terjadinya PPOK.

 Usia dan jenis kelamin


Usia sering dikaitkan sebagai faktor risiko PPOK. Belum dapat dipastikan
apakah proses penuaan menyebabkan PPOK atau apakah usia mencerminkan
jumlah paparan kumulatif yang seseorang dapatkan selama hidup.10 Penuaan dari
saluran pernapasan dan parenkim paru menyerupai perubahan beberapa struktur
yang terkait dengan PPOK.10 Di masa lalu, sebagian besar penelitian telah
melaporkan bahwa prevalensi kejadian dan kematian akibat PPOK lebih besar
pada laki-laki dibandingkan perempuan, tetapi data dari beberapa negara maju
melaporkan bahwa prevalensi PPOK saat ini hampir sama pada pria maupun
wanita, hal ini mungkin mencerminkan perubahan pola merokok pada individu. 11
Meskipun masih diperdebatkan, beberapa penelitian menyatakan bahwa
perempuan lebih rentan terhadap efek dari asap tembakau dibandingkan laki-

7
laki,12-14 dan berakibat pada kondisi yang lebih parah untuk jumlah rokok yang
setara. Gagasan ini telah divalidasi dalam studi hewan dan spesimen patologi
manusia, yang menunjukkan beban yang lebih besar dari penyakit saluran napas
kecil pada wanita dibandingkan dengan laki-laki dengan PPOK meskipun dengan
riwayat paparan asap tembakau yang serupa.15, 16

 Pertumbuhan dan perkembangan paru-paru


Proses yang terjadi selama kehamilan, kelahiran, dan paparan selama masa
kanak-kanak dan remaja dapat mempengaruhi pertumbuhan paru-paru. 17, 18 Setiap
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan paru-paru selama kehamilan dan masa
kanak-kanak memiliki potensi untuk meningkatkan risiko individu
mengembangkan PPOK. Misalnya, sebuah studi besar dan meta-analisis
mengkonfirmasi hubungan positif antara berat lahir dan FEV1 di masa dewasa, 19
dan beberapa penelitian telah menemukan efek infeksi paru-paru anak usia dini.

 Paparan partikel
Di seluruh dunia, merokok merupakan faktor risiko yang paling sering ditemui
untuk PPOK. Perokok memiliki prevalensi yang lebih tinggi dari gejala
pernapasan dan kelainan fungsi paru-paru, dan peningkatan tahunan yang lebih
besar pada penurunan FEV1, dan tingkat kematian PPOK yang lebih besar
dibandingkan pada bukan perokok.20 Paparan pasif terhadap asap rokok, juga
dapat menyebabkan gejala pernapasan dan PPOK 21 dengan meningkatkan beban
total paru-paru akibat partikel dan gas yang dihirup. Merokok pada masa
kehamilan dapat menimbulkan risiko bagi janin, dengan mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan paru-paru dalam rahim, dan pada proses
pembentukan sistem kekebalan tubuh.22
Paparan di tempat kerja, termasuk debu organik dan anorganik, bahan kimia
dan asap, kurang diperhatikan sebagai faktor risiko PPOK. 23, 24
Sebuah studi
menunjukkan bahwa paparan yang dilaporkan terhadap debu di tempat kerja dan
asap tidak hanya terkait dengan peningkatan keterbatasan aliran udara dan gejala
pernapasan, tetapi juga dengan emfisema dan peningkatan udara residual, hal ini

8
dinilai dengan pemindaian tomografi terkomputasi, baik pada pria maupun
wanita.25

 Status sosial ekonomi


Kemiskinan secara konsisten dikaitkan dengan obstruksi aliran udara 26 dan
status sosial ekonomi yang lebih rendah dikaitkan dengan peningkatan risiko
berkembangnya PPOK.27, 28 Namun, belum jelas apakah pola ini mencerminkan
pajanan di dalam ruangan dan polusi udara luar ruangan, keramaian, gizi buruk,
infeksi, atau faktor lain yang berhubungan dengan status sosial ekonomi rendah.

 Infeksi
Riwayat infeksi pernapasan yang parah pada masa kanak-kanak telah
dikaitkan dengan penurunan fungsi paru-paru dan peningkatan gejala pernapasan
di masa dewasa.29 Kerentanan terhadap infeksi berperan dalam eksaserbasi PPOK
tetapi efeknya pada perkembangan penyakit kurang jelas. Dalam studi
observasional, besar kolonisasi Pseudomonas aeruginosa secara independen
memprediksi peningkatan risiko rawat inap untuk eksaserbasi dan semua
penyebab kematian.30 Tuberkulosis juga telah diidentifikasi sebagai faktor risiko
PPOK.31 Selain itu, tuberkulosis adalah diagnosis banding untuk PPOK dan
potensial komorbiditas.32, 33

2.3. Patologi, patogenesis dan patofisiologi

Menghirup asap rokok atau partikel berbahaya lainnya, seperti asap dari bahan
bakar biomassa, menyebabkan radang paru-paru. Peradangan paru-paru adalah
respons normal yang tampak pada pasien dengan PPOK. Respon inflamasi kronis
ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan parenkim (mengakibatkan emfisema),
dan gangguan mekanisme perbaikan dan pertahanan normal (menghasilkan
fibrosis saluran napas kecil). Perubahan patologis ini menyebabkan gas trapping
dan keterbatasan aliran udara progresif.

9
 Patologi

Perubahan patologis karakteristik PPOK ditemukan pada saluran napas,


parenkim paru, dan pembuluh darah paru.34 Perubahan patologis yang diamati
pada PPOK termasuk peradangan kronis, dengan peningkatan jumlah spesifik
jenis sel inflamasi di berbagai bagian paru-paru, dan perubahan struktural akibat
cedera dan perbaikan berulang. Secara umum, perubahan inflamasi dan struktural
di saluran udara meningkat seiring dengan tingkat keparahan penyakit dan
bertahan walaupun dengan berhentinya merokok. Peradangan sistemik mungkin
terjadi dan dapat berperan dalam beberapa kondisi komorbiditas yang ditemukan
pada pasien dengan PPOK.35

 Patogenesis

Peradangan yang diamati pada saluran pernapasan pasien PPOK tampaknya


merupakan modifikasi dari respons inflamasi normal saluran pernapasan terhadap
iritasi kronis seperti asap rokok. Mekanisme untuk peradangan yang termodifikasi
belum dipahami tetapi diduga, terdapat pengaruh secara genetik. Peradangan paru-
paru yang tetap berlanjut setelah berhenti merokok terjadi melalui mekanisme
yang belum diketahui, meskipun autoantigen dan gangguan pada mikrobioma
paru-paru mungkin memainkan peran.36, 37

- Stres oksidatif
Stres oksidatif mungkin merupakan mekanisme yang memperkuat
terjadinya kejadian PPOK.35, 38 Biomarker stres oksidatif (misalnya, hidrogen
peroksida, 8-isoprostane) meningkat pada kondensat pernapasan yang
dihembuskan, dahak, dan sirkulasi sistemik pasien PPOK. Stres oksidatif
meningkat selama periode eksaserbasi. Kedua bahan oksidan dihasilkan oleh
asap rokok dan partikulat lain yang dihirup, dan dilepaskan dari sel-sel
inflamasi yang teraktivasi seperti makrofag dan neutrofil.

10
- Sel inflamasi
PPOK ditandai dengan peningkatan jumlah makrofag di saluran napas
perifer, parenkim paru dan pembuluh darah paru, bersama dengan peningkatan
neutrofil dan peningkatan limfosit. Semua sel inflamasi ini, bersama dengan
sel epitel dan sel struktural lainnya melepaskan beberapa mediator inflamasi. 35
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa defisiensi IgA dikaitkan dengan
translokasi bakteri, peradangan saluran napas kecil dan remodeling saluran
napas.39

- Mediator inflamasi
Berbagai macam mediator inflamasi yang telah terbukti meningkat dalam
Pasien PPOK menarik sel inflamasi dari sirkulasi (faktor kemotaktik),
memperkuat proses inflamasi (sitokin proinflamasi), dan menginduksi
perubahan struktural (faktor pertumbuhan).40

- Fibrosis peribronkiolar dan interstisial


Fibrosis peribronkiolar dan kekeruhan interstisial telah dilaporkan pada
pasien dengan PPOK atau mereka yang perokok tanpa gejala. 36,39,41,42 Produksi
faktor pertumbuhan yang berlebihan dapat ditemukan pada perokok atau
mereka dengan riwayat peradangan saluran napas yang menderita PPOK. 43
Peradangan dapat merangsang perkembangan fibrosis atau cedera berulang
pada dinding saluran dapat menyebabkan pembentukan otot dan jaringan
fibrosa.44 Hal tersebut mungkin merupakan faktor yang berkontribusi terhadap
perkembangan keterbatasan saluran napas kecil dan obliterasi yang mungkin
menjadi penyebab perkembangan emfisema.45

- Perbedaan inflamasi antara PPOK dan asma


Meskipun PPOK dan asma berhubungan dengan peradangan kronis pada
saluran pernapasan, namun terdapat perbedaan dalam sel-sel inflamasi dan
mediator terlibat dalam kedua penyakit.46 Beberapa pasien dengan PPOK
memiliki pola inflamasi dengan peningkatan eosinofil.47

11
 Patofisiologi

Pemahaman yang baik tentang bagaimana proses penyakit yang mendasari


berperan pada karakteristik kelainan fisiologis dan gejala PPOK. Misalnya,
peradangan dan penyempitan saluran udara perifer menyebabkan penurunan
FEV1.48 Kerusakan parenkim karena emfisema juga berkontribusi terhadap
keterbatasan aliran udara dan menyebabkan penurunan transfer gas. Bukti lainnya
menunjukkan bahwa selain penyempitan jalan napas, ada kerugian saluran udara
kecil, yang dapat menyebabkan keterbatasan aliran udara.49

- Keterbatasan aliran udara dan gas trapping


Tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal di saluran pernapasan
berkorelasi dengan penurunan rasio FEV1 dan FEV1/FVC, dan mungkin
dengan percepatan penurunan FEV1 yang merupakan karakteristik PPOK.48
Keterbatasan saluran napas perifer ini secara progresif menyebabkan gas
trapping selama ekspirasi, yang mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi statis
mengurangi kapasitas inspirasi dan umumnya dikaitkan dengan hiperinflasi
selama aktifitas sehingga menyebabkan dispnea dan terbatasnya aktifitas.
Faktor-faktor ini berkontribusi terhadap penurunan kontraktilitas intrinsik otot
pernapasan. Diperkirakan bahwa hiperinflasi berkembang pada awal penyakit
dan merupakan penyebab utama dari dispnea pada saat beraktivitas. 50,51
Bronkodilator yang bekerja pada saluran udara perifer mengurangi gas
trapping, sehingga mengurangi volume paru-paru, meningkatkan gejala, dan
kapasitas aktifitas.52

- Kelainan pertukaran gas


Abnormalitas pada proses pertukaran gas menyebabkan hipoksemia,
hiperkapnia, dan memiliki beberapa mekanisme pada PPOK. Secara umum,
proses transfer gas pada oksigen dan karbon dioksida memburuk seiring
dengan perkembangan penyakit. Berkurangnya ventilasi juga dapat

12
disebabkan oleh berkurangnya motilitas ventilasi atau peningkatan ruang mati
pada ventilasi.51 Hal ini dapat menyebabkan retensi karbon dioksida apabila
dikombinasikan dengan ventilasi berkurang, karena peningkatan upaya untuk
bernapas karena keterbatasan parah dan hiperinflasi ditambah dengan
gangguan otot ventilasi. Kelainan pada ventilasi alveolus dan berkurangnya
vaskular paru semakin memperburuk kelainan rasio perfusi ventilasi.53

- Hipersekresi mukus
Hipersekresi mukus, yang mengakibatkan batuk produktif kronis,
merupakan ciri bronkitis kronis dan tidak selalu berhubungan dengan
keterbatasan aliran udara. Sebaliknya, tidak semua pasien dengan PPOK
memiliki hipersekresi mukus yang simptomatik. Saat ini, hipersekresi mukus
disebabkan oleh peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar
submukosa, baik karena iritasi saluran napas kronis oleh asap rokok dan bahan
berbahaya lainnya. Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi
mukus dan banyak dari mereka mengerahkan efeknya melalui aktivasi
reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGFR).54

- Eksaserbasi
Eksaserbasi dari gejala pernapasan umumnya dipicu oleh infeksi pada paru
disebabkan oleh bakteri atau virus, polutan lingkungan, atau faktor lainnya
yang tidak diketahui sering terjadi pada pasien PPOK; sebuah respon khas
dengan peningkatan peradangan yang terjadi selama episode infeksi bakteri
atau virus. Selama eksaserbasi terjadi peningkatan hiperinflasi dan gas
trapping, dengan aliran ekspirasi berkurang, sehingga menyebabkan
peningkatan dispnea.55 Selama eksaserbasi ditemukan bukti peningkatan
peradangan saluran napas. Kondisi lain (pneumonia, tromboemboli, dan gagal
jantung akut) dapat menyerupai atau memperburuk eksaserbasi PPOK.

- Fitur sistemik
Sebagian besar pasien dengan PPOK memiliki penyakit kronis yang

13
terkait dengan faktor risiko yang sama yaitu, merokok, penuaan, dan ketidak
aktifan, yang mungkin berdampak besar pada status kesehatan dan
kelangsungan hidup.56 Keterbatasan aliran udara dan terutama hiperinflasi
mempengaruhi fungsi jantung dan pertukaran gas.55 Mediator inflamasi dalam
sirkulasi dapat berkontribusi pada pengecilan otot rangka dan cachexia, dan
dapat memulai atau memperburuk komorbiditas seperti jantung iskemik
penyakit, gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik, diabetes, dan
sindrom metabolik.

2.4. Diagnosis
PPOK harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami dispnea,
batuk kronis atau adanya produksi sputum, dan/atau riwayat paparan faktor risiko
penyakit (Gambar 2.1 dan Tabel 2.1). Spirometri diperlukan untuk membuat
diagnosis dalam hal ini konteks klinis57; kehadiran pasca-bronkodilator
FEV1/FVC <0,70 menegaskan adanya keterbatasan aliran udara persisten dan
dengan demikian PPOK pada pasien dengan gejala yang sesuai dan paparan
signifikan terhadap zat berbahaya.58

14
Gejala

Dispnea kronis dan progresif merupakan gejala PPOK yang paling khas.
Batuk yang disertai dengan produksi sputum dijumpai pada 30% pasien. Gejala-
gejala ini dapat bervariasi dari hari ke hari59 dan dapat muncul bertahun-tahun
sebelum berkembangnya keterbatasan aliran udara. Individu, terutama yang
memiliki faktor risiko PPOK, dan mengalami gejala harus diperiksa untuk
mencari penyebab yang mendasarinya. Gejala pasien harus digunakan untuk
membantu mengembangkan intervensi yang tepat. Keterbatasan aliran udara yang
signifikan juga dapat terjadi tanpa adanya dispnea kronis dan/atau batuk dan
produksi sputum begitu pula sebaliknya.60 Meskipun PPOK didefinisikan
berdasarkan adanya keterbatasan aliran udara, dalam praktiknya kebutuhan
bantuan medis ditentukan oleh dampak gejala pada status fungsional pasien.
Seseorang mungkin mencari bantuan medis baik karena gejala pernapasan kronis
atau karena eksaserbasi gejala pernapasan yang memburuk.

- Dispnea
Dispnea, gejala utama PPOK, adalah penyebab utama kecacatan dan

15
kecemasan yang terkait dengan penyakit.61 Pasien PPOK yang khas
menggambarkan dispnea mereka sebagai rasa peningkatan upaya untuk
bernapas, rasa berat pada dada, kebutuhan udara yang meningkat, atau
terengah-engah.62

- Batuk
Batuk kronis sering menjadi gejala PPOK yang pertama muncul dan sering
diabaikan oleh pasien, sebagai akibat dari merokok dan/atau pajanan
lingkungan. Awalnya, batuk mungkin intermiten, tetapi kemudian mungkin
hadir setiap hari, sering sepanjang hari. Batuk kronis pada PPOK mungkin
produktif atau tidak produktif.63 Beberapa kasus, keterbatasan aliran udara
yang signifikan dapat terjadi tanpa adanya batuk. Penyebab lain dari batuk
kronis tercantum dalam Tabel 2.2.

- Produksi dahak
Pasien PPOK biasanya mengeluarkan dahak dalam jumlah kecil dengan
batuk. Produksi sputum seringkali sulit untuk dievaluasi karena pasien
mungkin menelan dahak daripada mengeluarkannya, selain itu produksi

16
sputum juga dapat terputus-putus dengan periode flare-up diselingi dengan
periode remisi.64 Produksi dahak yang purulen mencerminkan peningkatan
mediator inflamasi,65,66 dan perkembangannya dapat mengidentifikasi
timbulnya eksaserbasi bakteri, meskipun asosiasinya relatif lemah.66,67

- Mengi dan sesak


Mengi dan sesak merupakan gejala yang dapat bervariasi dari hari ke hari,
dan bahkan dalam satu hari. Mengi yang disebabkan oleh penyempitan laring
dapat terdengar secara spontan. Mengi juga dapat ditemukan pada saat
pemeriksaan auskultasi, baik saat inspirasi maupun ekspirasi. Tidak adanya
mengi atau sesak tidak mengecualikan diagnosis PPOK, juga adanya gejala ini
tidak mengkonfirmasi diagnosis asma.

- Gejala lainnya
Kelelahan, penurunan berat badan, kehilangan massa otot, dan anoreksia
adalah masalah umum pada pasien dengan PPOK berat. 68-70 Gejala-gejala ini
memiliki kepentingan prognostik71,72 dan juga bisa menjadi tanda penyakit
lain, seperti TBC atau kanker paru-paru, dan karena itu penting untuk
diketahui. Edema pada tungkai merupakan indikator untuk adanya kor
pulmonal. Gejala depresi dan/atau kecemasan memerlukan pemeriksaan
khusus saat memperoleh riwayat medis karena sering dijumpai pada PPOK 73
dan berhubungan dengan kualitas hidup yang lebih buruk, peningkatan risiko
eksaserbasi, dan insidensi perawatan di rumah sakit.74

Pemeriksaan Fisik
Meskipun merupakan bagian penting dari perawatan pasien, pemeriksaan
fisik jarang bersifat diagnostik pada PPOK. Tanda-tanda fisik keterbatasan aliran
udara biasanya tidak terlihat hingga terjadi gangguan fungsi paru yang
signifikan,75,76 dan diagnosis berdasarkan pada pemeriksaan fisik memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang relatif rendah. Sejumlah tanda fisik mungkin ada

17
di PPOK, tetapi tidak adanya tidak menyingkirkan diagnosis.

- Spirometri
Spirometri adalah pengukuran keterbatasan aliran udara yang paling
mudah dilakukan dan objektif. Pemeriksaan ini merupakan prosedur non-
invasif dan paling mudah yang tersedia. Meskipun sensitivitasnya baik,
pengukuran peak expiratory flow saja tidak dapat digunakan sebagai satu-
satunya tes diagnostik karena spesifisitasnya yang lemah.77,78 Pengukuran
spirometrik berkualitas baik dapat dilakukan di fasilitas kesehatan mana saja
dan semua petugas kesehatan yang merawat pasien PPOK harus memiliki
akses pada pemeriksaan spirometri.
Spirometri harus mengukur volume udara yang dihembuskan paksa dari
titik inspirasi maksimal (forced vital capacity, FVC) dan volume udara yang
dihembuskan pada detik pertama manuver ini (forced expiratory volume in 1
second, FEV1), dan rasio kedua pengukuran ini (FEV1/FVC) harus dihitung.
Rasio antara FEV1 dan kapasitas vital lambat (VC), FEV1/VC, kadang-kadang
diukur sebagai ganti rasio FEV1/FVC. Hal ini sering kali akan membuat nilai
rasio lebih rendah, terutama dalam pembatasan aliran udara yang jelas.
Pengukuran spirometri dievaluasi dengan melakukan perbandingan terhadap
nilai referensi79 berdasarkan usia, tinggi badan, jenis kelamin, dan ras. Contoh
grafik hasil uji spirometri pada paru normal dan PPOK ditunjukkan pada
Gambar 2.2

18
Klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara pada PPOK ditunjukkan pada
Tabel 2.3. Spirometri harus dilakukan setelah pemberian dosis yang memadai
setidaknya satu bronkodilator inhalasi short-acting untuk meminimalkan
variabilitas. Perlu dicatat bahwa hanya ada korelasi lemah antara FEV 1, gejala dan
gangguan kesehatan pasien status.80,81 Untuk alasan ini, penilaian gejala formal
diperlukan.

19
Diagnosis banding
Pada beberapa pasien dengan asma kronis, perbedaan yang jelas dari
PPOK sulit ditentukan menggunakan teknologi pencitraan dan pemeriksaan fisik
yang ada saat ini, karena kedua kondisi tersebut memiliki sifat dan ekspresi klinis
yang serupa. Sebagian besar diagnosis banding lainnya lebih mudah dibedakan
dari PPOK (Tabel 2.4).

2.5. Manajemen
Farmakologis
Terapi farmakologis untuk PPOK digunakan untuk mengurangi gejala,
mengurangi frekuensi dan keparahan eksaserbasi, meningkatkan toleransi aktifitas

20
serta status kesehatan. Sampai saat ini, belum ada bukti uji klinis yang
mengkonfirmasi bahwa ada terapi untuk memodifikasi penurunan fungsi paru-
paru jangka panjang pada pasien PPOK. 82-86 Golongan obat yang biasa digunakan
untuk mengobati PPOK ditunjukkan pada Tabel 2.5. Pilihan terapi dalam setiap
golongan disesuaikan dengan ketersediaan terapi, biaya pengobatan serta
pertimbangan antara manfaat klinis dan efek samping. Setiap rejimen perawatan
perlu dimodifikasi pada setiap individu, dikarenakan tingkat keparahan gejala,
keterbatasan aliran udara, dan keparahan eksaserbasi dapat berbeda pada setiap
pasien.87

21
- Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pilihan terapi yang dapat meningkatkan FEV 1
dan/atau mengubah variabel spirometri lainnya. Bronkodilator bekerja dengan
mengubah tonus otot polos saluran napas dan adanya peningkatan aliran
ekspirasi mencerminkan pelebaran saluran napas. Bronkodilator cenderung
mengurangi hiperinflasi dinamis pada saat istirahat dan selama
beraktivitas,88,89 serta meningkatkan kinerja aktifitas. Peningkatan dosis beta 2-
agonis atau antikolinergik, terutama pemberian dengan nebulizer, terbukti
memberikan manfaat subjektif pada episode akut 90 tetapi tidak selalu
bermanfaat pada kondisi PPOK stabil.91 Terapi bronkodilator pada PPOK
paling sering diberikan secara teratur untuk mencegah atau mengurangi gejala.
Kerja utama beta2-agonis adalah dengan merelaksasi otot polos saluran
napas dengan merangsang reseptor beta2-adrenergik, yang meningkatkan
siklik AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap
bronkokonstriksi. Terdapat dua jenis beta2-agonis, yaitu short-acting beta2-
agonis (SABA) dan long-acting beta2-agonis (LABA). Efek SABA biasanya
hilang dalam 4 hingga 6 jam.92,93 Penggunaan SABA secara teratur dan sesuai
kebutuhan dapat meningkatkan FEV1 dan memperbaiki gejala.90 LABA
menunjukkan durasi aksi 12 jam atau lebih dan tidak menghalangi manfaat
tambahan dari terapi SABA.94 Stimulasi reseptor beta2-adrenergik dapat
menyebabkan sinus takikardia dan berpotensi untuk memicu gangguan irama
jantung pada pasien yang rentan. Tremor somatik yang berlebihan dapat
muncul pada pasien usia tua yang diobati dengan beta 2-agonis dosis tinggi,
terlepas dari rute pemberian.

- Obat antimuskarinik
Obat antimuskarinik menghambat efek bronkokonstriktor asetilkolin pada
reseptor muskarinik M3 yang diekspresikan dalam otot polos saluran napas. 95
Sebuah tinjauan sistematis dari randomized controlled trial menyimpulkan
bahwa ipratropium, antagonis muskarinik kerja pendek, saja memberikan
manfaat kecil dibandingkan beta2-agonis kerja pendek dalam hal fungsi paru-

22
paru, status kesehatan, dan kebutuhan steroid oral. 96 Di antara LAMA,
beberapa diberikan sekali sehari (tiotropium dan umeclidinium), beberapa dua
kali sehari (aclidinium), dan beberapa disetujui untuk satu dosis dalam sehari
di beberapa negara dan dua dosis dalam sehari di negara lain
(glycopyrronium).95,98 Terapi LAMA (tiotropium) terbukti memperbaiki gejala
dan status kesehatan.95,99 Terai tersebut juga dapat meningkatkan efektivitas
rehabilitasi paru100,101 dan mengurangi eksaserbasi serta rawat inap.99 Uji klinis
telah menunjukkan efek yang lebih besar pada tingkat eksaserbasi untuk
pengobatan menggunakan LAMA (tiotropium) dibandingkan pengobatan
menggunakan LABA.102,103 Obat antikolinergik inhalasi kurang dapat diserap
sehingga membatasi efek sistemik yang mengganggu. 95,104 Penggunaan
ekstensif agen terapi kelas ini dalam berbagai dosis dan pengaturan klinis telah
menunjukkan bahwa terapi ini sangat aman, satu-satunya efek samping utama
yang sering dijumpai adalah mulut kering.97,105

- Metilxantin
Teofilin, merupakan derivat metilxantin yang paling umum digunakan,
dimetabolisme oleh fungsi campuran oksidase sitokrom P450. Klirens obat
menurun seiring bertambahnya usia. Banyak variabel fisiologis lain dan obat-
obatan memodifikasi metabolisme teofilin. Peningkatan fungsi otot inspirasi
telah dilaporkan pada pasien yang diobati dengan metilxantin, 106 tetapi apakah
hal tersebut mencerminkan pengurangan gas trapping atau efek utama pada
otot rangka pernapasan tidak diketahui dengan jelas. Semua penelitian yang
menunjukkan efikasi teofilin pada PPOK dilakukan dengan sediaan lepas
lambat.
Toksisitas metilxantin sangat terkait dengan dosis, turunan xantin
memiliki rasio terapeutik kecil dan sebagian besar manfaatnya hanya bisa
didapatkan pada dosis yang mendekati toksik.107,108 Masalah lainnya terkait
dengan perkembangan palpitasi yang disebabkan oleh aritmia atrium dan
ventrikel (yang dapat berakibat fatal) dan kejang grand mal (yang dapat terjadi
terlepas dari riwayat epilepsi sebelumnya). Efek samping lainnya termasuk

23
sakit kepala, insomnia, mual, dan mulas, dan ini dapat terjadi dalam kisaran
terapeutik kadar serum teofilin.

- Terapi kombinasi bronkodilator


Penggunaan bronkodilator dengan mekanisme dan durasi kerja yang
berbeda dapat meningkatkan derajat bronkodilatasi dengan risiko efek
samping yang lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan dosis
bronkodilator tunggal.109,110 Kombinasi SABA dan SAMA lebih unggul
dibandingkan dengan salah satu obat saja dalam meningkatkan FEV 1 dan
perbaikan gejala.111 Pengobatan dengan formoterol dan tiotropium dalam
inhaler terpisah memiliki dampak yang lebih besar pada FEV 1 daripada
penggunaan keduanya secara individual.112 Terdapat banyak kombinasi LABA
dan LAMA yang tersedia dalam satu inhaler
Penelitian menunjukkan kombinasi kedua jenis terapi ini dapat
meningkatkan fungsi paru-paru dibandingkan dengan plasebo109; peningkatan
ini secara konsisten lebih besar dari efek monoterapi LAMA. 113 Dalam satu uji
klinis, pengobatan menggunakan kombinasi LABA/LAMA memiliki
peningkatan kualitas hidup terbesar dibandingkan dengan plasebo atau
komponen bronkodilator secara individual.114 Uji klinis juga menunjukkan
bahwa LABA/LAMA meningkatkan fungsi dan gejala paru-paru
dibandingkan monoterapi LAMA pada pasien simtomatik yang tidak
mendapatkan terapi inhalasi kortikosteroid.115

- Kortikosteroid inhalasi (ICS)


Bukti in vitro menunjukkan bahwa peradangan terkait PPOK memiliki
keterbatasan respon terhadap kortikosteroid. Selain itu, beberapa obat
termasuk beta2-agonis, teofilin atau makrolida sebagian dapat memfasilitasi
sensitivitas kortikosteroid pada PPOK.124,125 Relevansi klinis dari efek ini
belum sepenuhnya ditegakkan. Sebagian besar penelitian telah menemukan
bahwa pengobatan yang dilakukan secara teratur dengan ICS saja tidak dapat
mengubah penurunan FEV1 dalam jangka panjang atau kematian pada pasien

24
dengan PPOK.118 Pada pasien dengan PPOK sedang hingga sangat berat dan
eksaserbasi, kortikosteroid inhalasi yang dikombinasikan dengan LABA
bekerja lebih efektif daripada penggunaan monoterapi dalam memperbaiki
fungsi paru, status kesehatan dan pengurangan eksaserbasi. 119,120 Terdapat
bukti dari randomized controlled trial (RCT) bahwa penggunaan
kortikosteroid inhalasi dikaitkan dengan prevalensi kandidiasis oral yang lebih
tinggi, suara serak, memar pada kulit dan pneumonia. Pasien dengan risiko
pneumonia yang lebih tinggi termasuk mereka yang saat ini merokok, berusia
> 55 tahun, memiliki riwayat eksaserbasi atau pneumonia sebelumnya, indeks
massa tubuh (BMI) <25 kg/m2, tingkat dispnea MRC yang buruk dan/atau
keterbatasan aliran udara yang parah.121,122 Hasil studi observasional
menunjukkan bahwa pengobatan menggunakan kortikosteroid inhalasi dapat
dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes/kontrol diabetes yang buruk, 123
katarak,124 dan infeksi mikobakteri125 termasuk tuberkulosis.126,127

- Triple therapy (LABA/LAMA/ICS)


Peningkatan dalam pengobatan inhalasi ke LABA plus LAMA plus ICS
(triple therapy) dapat terjadi dengan berbagai pendekatan 128 dan telah terbukti
meningkatkan fungsi paru-paru, dan mengurangi eksaserbasi dibandingkan
dengan monoterapi LAMA, LABA/LAMA dan LABA/ICS. 129-132 Analisis
gabungan post-hoc dari tiga uji klinis triple therapy pada pasien PPOK dengan
keterbatasan aliran udara yang parah dan riwayat eksaserbasi menunjukkan
efek yang tidak signifikan untuk angka kematian yang lebih rendah.133

- Glukokortikoid oral
Glukokortikoid oral memiliki banyak efek samping, termasuk miopati
akibat steroid134 yang dapat berkontribusi pada kelemahan otot, penurunan
fungsi, dan kegagalan pernapasan pada subjek dengan PPOK yang sangat
parah. Glukokortikoid sistemik untuk mengobati eksaserbasi akut pada pasien
rawat inap, atau selama kunjungan gawat darurat, telah terbukti mengurangi
tingkat kegagalan pengobatan, tingkat kekambuhan dan meningkatkan fungsi

25
paru-paru dan sesak napas.135 Sebaliknya, studi prospektif tentang efek jangka
panjang glukokortikoid oral pada PPOK stabil masih terbatas. 136,137 Oleh
karena itu, sementara glukokortikoid oral dinilai berperan dalam manajemen
akut eksaserbasi, namun tidak memiliki peran dalam pengobatan kronis harian
pada PPOK karena kurangnya manfaat yang seimbang terhadap tingkat
komplikasi sistemik yang tinggi.

- Penghambat fosfodiesterase-4 (PDE4)


Cara kerja utama dari inhibitor PDE4 adalah mengurangi peradangan
dengan menghambat pemecahan intraseluler siklik AMP. 138 Roflumilast
merupakan obat oral yang dikonsumsi sekali sehari tanpa adanya aktivitas
bronkodilator langsung. Roflumilast mengurangi eksaserbasi sedang dan berat
diobati dengan kortikosteroid sistemik pada pasien dengan bronkitis kronis,
PPOK berat, dan riwayat eksaserbasi.139 Efek pada fungsi paru juga terlihat
ketika roflumilast ditambahkan pada LAMA,140 dan pada pasien yang tidak
terkontrol dengan dosis tetap kombinasi LABA/ICS. 141 Inhibitor PDE4
memiliki lebih banyak efek samping daripada obat inhalasi untuk PPOK. 142
Yang paling sering adalah diare, mual, nafsu makan berkurang, penurunan
berat badan, sakit perut, gangguan tidur, dan sakit kepala. Efek samping
tampaknya terjadi lebih awal selama pengobatan, bersifat reversibel, dan
berkurang seiring waktu dengan pengobatan lanjutan.

- Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan agen antioksidan (N-


asetilsistein, karboksistein, erdostein)
Pada pasien PPOK yang tidak mendapatkan kortikosteroid inhalasi,
pengobatan rutin dengan mukolitik seperti carbocysteine dan N-acetylcysteine
(NAC) dapat mengurangi eksaserbasi dan dapat sedikit meningkatkan status
kesehatan.143 Sebaliknya, penelitian menunjukkan bahwa erdosteine memiliki
efek signifikan pada eksaserbasi (ringan) terlepas dari pengobatan bersamaan
dengan ICS.
Non-farmakologis

26
- Rehabilitasi paru
Rehabilitasi paru didefinisikan sebagai intervensi komprehensif
berdasarkan penilaian pasien secara menyeluruh, dengan terapi yang
disesuaikan berdasarkan pasien, yang tidak hanya terbatas pada, pelatihan
olahraga, pendidikan, intervensi manajemen diri yang bertujuan untuk
mengubah perilaku, yang dirancang untuk meningkatkan kondisi fisik dan
psikologis individu dengan PPOK dan untuk mempromosikan kepatuhan
jangka panjang terhadap perilaku peningkatan kesehatan. Pasien harus
menjalani penilaian yang cermat sebelum pendaftaran, termasuk identifikasi
tujuan pasien, kebutuhan perawatan kesehatan khusus, status merokok,
kesehatan gizi, kapasitas manajemen diri, literasi kesehatan, status kesehatan
psikologis dan keadaan sosial, kondisi komorbiditas serta kemampuan dan
keterbatasan latihan.144,145
Pelatihan olahraga yang terpantau setidaknya dilakukan dua kali dalam
seminggu, dan dapat mencakup rejimen apa pun dari latihan daya tahan,
latihan interval, latihan ketahanan/kekuatan, fleksibilitas, pelatihan otot
inspirasi dan stimulasi neuromuskular juga dapat dimasukkan. Rehabilitasi
telah terbukti sebagai strategi terapi yang paling efektif untuk meringankan
keluhan sesak napas, meningkatkan status kesehatan dan toleransi aktifitas. 146
Rehabilitasi paru sesuai untuk sebagian besar pasien PPOK; peningkatan
kapasitas fungsional dan kualitas hidup terkait kesehatan telah ditunjukkan di
semua tingkat keparahan PPOK, meskipun perbaikan yang signifikan
dijumpai pada pasien dengan PPOK sedang sampai berat.

- Pendidikan
Tingkat pendidikan pasien berperan sebagai penyedia yang memberikan
informasi dan saran, diasumsikan bahwa pengetahuan akan membawa
perubahan perilaku. Pendidikan dan pelatihan yang dipersonalisasi dan
mempertimbangkan isu-isu spesifik berkaitan dengan pasien sebagai individu,
bertujuan untuk meningkatkan fungsionalitas jangka panjang dan perilaku
kesehatan yang sesuai serta lebih bermanfaat bagi pasien.

27
- Manajemen diri
Proses ini membutuhkan interaksi berulang antara pasien dan layanan
kesehatan profesional yang kompeten dalam memberikan intervensi
manajemen diri. Teknik perubahan perilaku digunakan untuk mendapatkan
motivasi pasien, kepercayaan diri dan kompetensi. Pendekatan literasi
digunakan untuk meningkatkan pemahaman.147 Masalah yang ada berkaitan
dengan heterogenitas antara intervensi, konsistensi penerapan, spesifikasi dari
intervensi, populasi pasien, waktu tindak lanjut dan ukuran hasil yang
membuat generalisasi sulit dilakukan. Juga sulit untuk merumuskan
rekomendasi yang jelas mengenai bentuk dan isi manajemen diri yang paling
efektif sebagai intervensi pada PPOK mengingat berbagai heterogenitas di
seluruh studi, dan kurangnya definisi yang tepat dari komponen manajemen
diri (misalnya, keterampilan yang diajarkan) dan ukuran kesetiaan.

- Program perawatan terpadu


PPOK merupakan penyakit kompleks yang membutuhkan perawatan dari
berbagai penyedia layanan kesehatan. Pada prinsipnya, penggunaan program
terstruktur akan membuat perawatan lebih efisien dan efektif. Sebuah meta-
analisis menyimpulkan bahwa program perawatan terpadu meningkatkan
sejumlah gejala klinis, meskipun tidak pada angka kematian. 148 Selain itu,
intervensi terpadu dengan telemedicine tidak menunjukkan efek yang
signifikan.149,150 Kesimpulannya adalah bahwa perawatan yang terorganisir
dengan baik itu penting, tetapi mungkin tidak ada keuntungan untuk
menyusunnya dengan sebagai program formal. Selanjutnya, perawatan
terpadu perlu disesuaikan dengan tahap penyakit orang tersebut dan literasi
kesehatan.

2.6. Manajemen Eksaserbasi

Eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) didefinisikan sebagai


perburukan akut gejala saluran pernapasan yang membutuhkan terapi tambahan.

28
151,152
Eksaserbasi PPOK merupakan kejadian penting dalam pengelolaan PPOK
karena berdampak negatif pada status kesehatan, tingkat rawat inap, dan
progresivitas penyakit. Eksaserbasi PPOK adalah peristiwa kompleks yang
biasanya terkait dengan peningkatan peradangan saluran napas, peningkatan
produksi lendir dan gas trapping. Perubahan ini berkontribusi pada peningkatan
dispnea yang merupakan gejala utama dari eksaserbasi gangguan pernapasan.
Gejala lain termasuk peningkatan purulensi dan volume sputum, bersama dengan
peningkatan batuk dan mengi.153 Karena komorbiditas lain yang dapat
memperburuk gejala pernapasan sering terjadi pada pasien PPOK, penilaian untuk
menyingkirkan diagnosis banding harus dipertimbangkan sebelum diagnosis
eksaserbasi PPOK (Tabel 2.6).

Eksaserbasi umumnya dipicu oleh infeksi virus pernapasan meskipun infeksi


bakteri dan faktor-faktor lingkungan seperti polusi dan suhu juga dapat memulai
dan/atau memperkuat peristiwa ini.154 Paparan jangka pendek partikel halus
(PM2.5) dikaitkan dengan peningkatan insidensi rawat inap untuk eksaserbasi

29
akut dan peningkatan mortalitas PPOK. 155-157 Virus yang paling umum ditemukan
adalah rhinovirus (penyebab flu) dan dapat dideteksi hingga satu minggu setelah
onset eksaserbasi.7,11 Ketika dikaitkan dengan infeksi virus, eksaserbasi
seringkali lebih parah, berlangsung lebih lama dan memicu lebih banyak insidensi
rawat inap.

- Pengaturan pengobatan
Tujuan pengobatan untuk eksaserbasi PPOK adalah untuk meminimalkan
dampak negatif dari eksaserbasi dan mencegah perkembangan kejadian
selanjutnya.159 Tergantung pada tingkat keparahan eksaserbasi dan/atau tingkat
keparahan penyakit yang mendasari, eksaserbasi dapat dikelola baik dalam
pengaturan rawat jalan atau rawat inap. Lebih dari 80% eksaserbasi dikelola
secara rawat jalan dengan terapi farmakologis termasuk bronkodilator,
160-162
kortikosteroid, dan antibiotik. Ketika pasien dengan PPOK eksaserbasi
datang ke unit gawat darurat, mereka harus diberikan oksigen tambahan dan
menjalani penilaian untuk menentukan apakah eksaserbasi mengancam jiwa
dan jika peningkatan usaha pernapasan atau gangguan pertukaran gas
memerlukan pertimbangan untuk ventilasi non-invasif. Jika demikian,
penyedia layanan kesehatan harus mempertimbangkan perawatan pada unit
perawatan intensif rumah sakit. Jika tidak, pasien dapat dikelola di unit gawat
darurat atau bangsal rumah sakit. Selain terapi farmakologis, manajemen
eksaserbasi pada rumah sakit termasuk bantuan pernapasan (terapi oksigen,
ventilasi).

Presentasi klinis eksaserbasi PPOK bersifat heterogen, sehingga tingkat keparahan


eksaserbasi harus didasarkan pada tanda-tanda klinis dan diklasifikasikan menjadi
berikut: 163
- Tidak ada gagal napas: Laju pernapasan: 20-30 napas per menit; tidak ada
penggunaan otot pernafasan tambahan; tidak perubahan status mental;
hipoksemia membaik dengan oksigen tambahan yang diberikan melalui
masker venturi 28-35% fraksi oksigen (FiO2); tidak ada peningkatan

30
PaCO2.
- Gagal napas akut – tidak mengancam jiwa: Laju pernapasan: > 30 kali per
menit; menggunakan otot pernapasan aksesori; tidak ada perubahan status
mental; hipoksemia membaik dengan oksigen tambahan melalui masker
venturi 24- 35% FiO2; hiperkarbia yaitu, PaCO2 meningkat dibandingkan
dengan baseline atau meningkat 50-60 mmHg.
- Gagal napas akut – mengancam jiwa: Frekuensi pernapasan: > 30 kali per
menit; menggunakan otot pernapasan aksesori; perubahan akut dalam
status mental; hipoksemia tidak membaik dengan oksigen tambahan
melalui masker venturi atau membutuhkan FiO2 > 40%; hiperkarbia yaitu,
PaCO2 meningkat dibandingkan dengan baseline atau meningkat > 60
mmHg atau adanya asidosis (pH ≤7,25).

Pengobatan farmakologis
Tiga kelas obat yang paling sering digunakan untuk eksaserbasi PPOK adalah
bronkodilator, kortikosteroid, dan antibiotik.

- Bronkodilator.
Direkomendasikan bahwa short-acting inhalasi beta2-agonis, dengan atau
tanpa antikolinergik kerja pendek, merupakan terapi inisial bronkodilator
untuk pengobatan akut eksaserbasi PPOK.164,165 Tinjauan sistematis
mengenai rute pemberian bronkodilator kerja pendek tidak menjelaskan
adanya perbedaan signifikan dalam FEV1 antara menggunakan inhaler

31
dosis terukur (MDI) (dengan atau tanpa spacer) atau nebulizers untuk
memberikan terapi,166,167 meskipun pilihan terakhir merupakan metode
pemberian agen terapi yang lebih mudah untuk pasien dalam kondisi berat.
Rekomendasi menyatakan agar pasien tidak menerima nebulisasi secara
terus menerus, tetapi gunakan inhaler MDI satu atau dua isapan setiap satu
jam untuk dua atau tiga dosis dan kemudian setiap 2-4 jam berdasarkan
respons pasien. Meskipun, tidak ada studi klinis yang telah mengevaluasi
penggunaan bronkodilator kerja panjang inhalasi (baik beta 2-agonis atau
antikolinergik atau kombinasi) dengan atau tanpa kortikosteroid inhalasi
selama eksaserbasi, rekomendasi menyatakan untuk melanjutkan
perawatan tersebut selama eksaserbasi atau memulai pengobatan ini
sesegera mungkin sebelum memulangkan pasien dari rumah sakit.
Metilxantin intravena (teofilin atau aminofilin) tidak dianjurkan untuk
digunakan pada pasien karena efek samping yang signifikan.168,169

- Glukokortikoid
Data dari penelitian menunjukkan bahwa glukokortikoid sistemik pada
eksaserbasi PPOK mempersingkat waktu pemulihan dan meningkatkan
fungsi paru-paru (FEV1). Pemberian glukokortikoid juga meningkatkan
oksigenasi,171-173 risiko kekambuhan dini, kegagalan pengobatan,174 dan
lama rawat inap.170,172,175 Dosis 40 mg prednison direkomendasikan per hari
selama 5 hari.176 Satu studi observasional menunjukkan bahwa pemberian
kortikosteroid oral yang lebih lama untuk eksaserbasi PPOK berhubungan
dengan peningkatan risiko pneumonia dan mortalitas. 177 Terapi dengan
prednisolon oral sama efektifnya dengan terapi administrasi intravena. 178
Budesonide nebulisasi dapat menjadi alternatif yang baik untuk
pengobatan eksaserbasi pada beberapa pasien,171,179,180 dan memberikan
manfaat yang sama dengan metilprednisolon intravena. 181 Terapi
kombinasi intensif dengan LABA/ICS selama 10 hari pada onset URTI
dapat dikaitkan dengan pengurangan eksaserbasi, terutama pada pasien
dengan penyakit parah.182 Peningkatan dosis kortikosteroid dalam waktu

32
singkat dikaitkan dengan peningkatan risiko pneumonia, sepsis dan
kematian183 dan penggunaan harus terbatas pada pasien dengan eksaserbasi
yang signifikan.

- Antibiotik
Meskipun agen infeksi pada eksaserbasi PPOK dapat berupa virus atau
bakteri,154,184 penggunaan antibiotik dalam eksaserbasi masih
kontroversial.185-187 Terdapat bukti yang mendukung penggunaan antibiotik
dalam eksaserbasi ketika pasien memiliki tanda-tanda klinis infeksi bakteri
misalnya, peningkatan purulensi sputum.186,187 Antibiotik harus diberikan
kepada pasien dengan eksaserbasi PPOK yang memiliki tiga gejala utama:
peningkatan dispnea, volume sputum, dan purulensi sputum; memiliki dua
gejala utama, jika purulensi sputum yang meningkat adalah salah satu dari
dua gejala; atau memerlukan ventilasi mekanis (invasif atau non-
invasif).153-154 Lama terapi antibiotik yang direkomendasikan adalah 5-7
hari.188 Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada pola resistensi bakteri
lokal. Biasanya terapi empiris awal meliputi aminopenicillin dengan asam
klavulanat, makrolida, atau tetrasiklin.

2.7. Prognosis
Prognosis jangka panjang dinilai buruk setelah rawat inap untuk eksaserbasi
PPOK, dengan tingkat kematian lima tahun sekitar 50%. 189 Faktor independen
terkait dengan hasil yang buruk termasuk usia tua, BMI yang lebih rendah,
komorbiditas (misalnya, penyakit kardiovaskular atau kanker paru-paru),
perawatan inap sebelumnya untuk eksaserbasi PPOK, indeks keparahan klinis
eksaserbasi dan kebutuhan untuk terapi oksigen jangka panjang saat pulang. 190-192
Pasien yang ditandai dengan prevalensi yang lebih tinggi dan keparahan gejala
pernapasan, kualitas hidup yang buruk, fungsi paru-paru yang buruk, kapasitas
latihan yang lebih rendah, densitas paru-paru yang lebih rendah dan penebalan
dinding bronkus pada CT-scan juga meningkatkan risiko kematian yang lebih
tinggi setelah eksaserbasi akut PPOK.193 Risiko kematian dapat meningkat selama

33
cuaca dingin.194

34
BAB III

ANALISA KASUS

I. Status Pasien
Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 15/08/1952
Usia : 68 thn

ANAMNESIS
Keluhan Utama: sesak napas
RPP: pasien datang dengan keluhan sesak napas, sesak sudah sering dan lama
dirasakan namun masih dapat dikontrol dengan obat-obatan rutin yang
dikonsumsi, sesak yang dirasakan saat ini disertai dengan mengi, memberat
sejak 2 hari lalu, pasien mengaku telah memakai obat yang ada dirumah
namun sesak tidak mengalami perubahan. Sesak tidak dipicu aktivitas maupun
cuaca, namun keluarga mengaku terdapat pembangunan yang sedang
berlangsung disekitar rumah. Nyeri dada (-), batuk (+) berdahak, pilek (-),
demam (-), nyeri tenggorokan (-), anosmia (-). Keluhan mual dan muntah
disangkal. BAK dan BAB dalam batas normal. Pasien memiliki riwayat
merokok selama > 30 tahun, sudah berhenti sejak 10 tahun yang lalu. Keringat
malam (-), penurunan BB (-).

Riwayat Penyakit Dahulu: PPOK (+) sejak 1,5 tahun lalu, hipertensi (-), DM
(-), asma (-)
Riwayat Pengobatan:
- Salbutamol 3x1
- Berotec inhaler 4x1
- Seretide 2x1

35
Riwayat Alergi: -

PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG


Keadaan Umum: Lemah
TD : 145/57 mmHg
Nadi : 130 x/menit
Suhu : 36,6oC
RR : 30x/menit
SpO2 : 90% on room air -> 98% on nasal kanul 5 lpm

Status Generalis
Kepala/Leher : normocephali, sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/-,
pupil isokor, refleks cahaya (+)
Thorax :
I : simetris, barrel chest (+)
P : stem fremitus kanan = kiri
P : hipersonor/ hipersonor
A : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing +/+
Jantung : BJ I-II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, supel, BU (+) normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : akral hangat, edema -/-, CRT <2s

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 13,9 g/dL 13,2-17,3
Hematokrit 42 % 40-52
Eritrosit 4,7 jt/µL 4,4-5,9
Leukosit 6460 /µL 3800-10600
Trombosit 226000 /µL 150000-440000

36
MCV 89 80-100
MCH 29 pg 26-34
MCHC 33 g/dL 32-36
Hitung Jenis
Basofil 1 % 0-1
Eosinofil 1 % 1-3
Neutrofil batang 1 % 3-5
Neurofil segmen 72 % 50-70
Limfosit 18 % 25-40
Monosit 7 % 2-8
Kimia Klinik
Glukosa darah
129 mg/dL 70-160
sewaktu
Serologi
CRP kuantitatif 7 mg/L <5

Rontgen

37
DIAGNOSIS UTAMA
PPOK eksaserbasi akut

DIAGNOSIS TAMBAHAN
Suspek TB paru

TATALAKSANA
O2 NK 5lpm
Nebulisasi combivent
Follow-up post nebulisasi:
Keadaan umum: Baik
Sens: compos mentis
TD: 127/62
N: 102x/m
RR: 22x/m
SpO2: 99% on room air
Thorax :
I : simetris, barrel chest (+)
P : stem fremitus kanan = kiri
P : hipersonor/ hipersonor
A : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Terapi pulang:
- Salbutamol 3x2mg
- Retaphyl 2x300mg
- N. asetylsistein 3x200mg

38
II. Pembahasan

Usia sering dikaitkan sebagai faktor risiko PPOK. Belum dapat dipastikan
apakah proses penuaan menyebabkan PPOK atau apakah usia mencerminkan
jumlah paparan kumulatif yang seseorang dapatkan selama hidup. 10 Merokok
merupakan faktor risiko yang paling sering ditemui untuk PPOK. Perokok
memiliki prevalensi yang lebih tinggi dari gejala pernapasan dan kelainan fungsi
paru-paru, dan peningkatan tahunan yang lebih besar pada penurunan FEV 1, dan
tingkat kematian PPOK yang lebih besar dibandingkan pada bukan perokok. 20
PPOK harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami dispnea, batuk
kronis atau adanya produksi sputum, dan/atau riwayat paparan faktor risiko
penyakit. Dispnea kronis dan progresif merupakan gejala PPOK yang paling khas.
Batuk yang disertai dengan produksi sputum dijumpai pada 30% pasien. Gejala-
gejala ini dapat bervariasi dari hari ke hari 59 Beberapa faktor risiko ini dapat
ditemukan pada pasien dimana pasien telah berumur 68 tahun serta memiliki
riwayat merokok yang sangat lama yaitu >30 tahun. Pasien juga mengeluhkan
adanya sesak yang berlangsung kronis, progresif, dan dengan derajat yang
berbeda antara hari demi hari, serta adanya keluhan batuk disertai produksi
sputum. Keluhan yang pasien rasakan diduga disebabkan oleh paparan debu
bangunan di sekitar rumah pasien. Peningkatan derajat keluhan pasien dari variasi
keluhan yang ia rasakan sehari-hari sesuai dengan prinsip eksaserbasi.
Eksaserbasi PPOK adalah peristiwa kompleks yang biasanya terkait dengan
peningkatan peradangan saluran napas, peningkatan produksi lendir dan gas
trapping. Perubahan ini berkontribusi pada peningkatan dispnea yang merupakan
gejala utama dari eksaserbasi gangguan pernapasan. Gejala lain termasuk
peningkatan purulensi dan volume sputum, bersama dengan peningkatan batuk
dan mengi.153 Eksaserbasi umumnya dipicu oleh infeksi virus pernapasan
meskipun infeksi bakteri dan faktor-faktor lingkungan seperti polusi dan suhu
juga dapat memulai dan/atau memperkuat peristiwa ini. 154 Tuberkulosis juga telah
diidentifikasi sebagai faktor risiko PPOK.31 Pada pemeriksaan penunjang
didapatkan adanya gambaran infiltrat pada apeks paru yang sesuai dengan

39
gambaran tb paru, sehingga hal ini perlu ditinjau lebih lanjut untuk deteksi dini
faktor risiko yang mungkin berperan terhadap kejadian eksaserbasi PPOK pada
pasien ini. Selain itu, tuberkulosis juga merupakan diagnosis banding untuk PPOK
dan potensial komorbiditas.32, 33
Paparan jangka pendek partikel halus (PM2.5)
dikaitkan dengan peningkatan insidensi rawat inap untuk eksaserbasi akut dan
peningkatan mortalitas PPOK.155-157
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya barrel chest pada dada serta perkusi
hipersonor pada kedua lapang paru yang menggambarkan adanya hiperinflasi
serta gas trapping. Pemeriksaan juga menunjukkan adanya wheezing/mengi yang
ditemukan saat pemeriksaan auskultasi. Mengi dan sesak merupakan gejala yang
dapat bervariasi dari hari ke hari, dan bahkan dalam satu hari. Mengi yang
disebabkan oleh penyempitan laring dapat terdengar secara spontan. Mengi juga
dapat ditemukan pada saat pemeriksaan auskultasi, baik saat inspirasi maupun
ekspirasi. Ketika pasien dengan PPOK eksaserbasi datang ke unit gawat darurat,
mereka harus diberikan oksigen tambahan dan menjalani penilaian untuk
menentukan apakah eksaserbasi mengancam jiwa dan jika peningkatan usaha
pernapasan atau gangguan pertukaran gas memerlukan pertimbangan untuk
ventilasi non-invasif.
Pada pasien didapatkan kesadaran compos mentis, adanya peningkatan usaha
pernapasan dengan laju pernapas 30 kali per menit tanpa adanya penggunaan otot
pernafasan tambahan, dengan saturasi oksigen 90% pada udara ruang yang
kemudian menjadi 98% setelah pemberian oksigen via nasal kanul 5 lpm. Untuk
itu pasien dapat dikategorikan sebagai ppok eksaserbasi tanpa adanya gagal napas
dimana laju pernapasan: 20-30 napas per menit; tidak ada penggunaan otot
pernafasan tambahan; tidak perubahan status mental; hipoksemia membaik
dengan oksigen tambahan yang diberikan melalui masker venturi 28-35% fraksi
oksigen (FiO2); tidak ada peningkatan PaCO2.
Pasien kemudian diberikan terapi berupa nebulisasi combivent untuk
meredakan gejala. Untuk terapi pengendalian eksaserbasi ppok, direkomendasikan
short-acting inhalasi beta2-agonis, dengan atau tanpa antikolinergik kerja pendek,
merupakan terapi inisial bronkodilator untuk pengobatan akut eksaserbasi

40
PPOK.164,165. Tujuan pengobatan untuk eksaserbasi PPOK adalah untuk
meminimalkan dampak negatif dari eksaserbasi dan mencegah perkembangan
kejadian selanjutnya.159 Tergantung pada tingkat keparahan eksaserbasi dan/atau
tingkat keparahan penyakit yang mendasari, eksaserbasi dapat dikelola dalam
pengaturan rawat jalan atau rawat inap. Lebih dari 80% eksaserbasi dikelola
secara rawat jalan dengan terapi farmakologis termasuk bronkodilator,
160-162
kortikosteroid, dan antibiotik. Pada kasus ini derajat keparahan eksaserbasi
masih tergolong ringan, dan respon pasien terhadap pemberian agen inhalasi
adalah baik, sehingga pasien dapat menjalani pengobatan lanjutan secara rawat
jalan. Sebagai terapi perawatan di rumah pasien diberikan obat berupa retaphyl,
salbutamol, dan n.asetylsistein untuk pengendalian gejala dan pencegahan
eksaserbasi.

41
BAB IV

KESIMPULAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum


dijumpai, dapat dicegah serta diobati. Ditandai oleh gejala pernapasan yang
persisten dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh kelainan jalan napas
dan/atau alveolus. Perubahan ini tidak selalu terjadi bersamaan, tetapi dapat
berkembang pada tingkat yang berbeda dari waktu ke waktu. PPOK merupakan
hasil dari interaksi yang kompleks antara gen dan lingkungan, untuk itu
pemahaman yang baik mengenai faktor risiko, gejala, dan terapi menjadi penting
sebagai pencegahan eksaserbasi, peningkatan kualitas hidup dan prognosis pasien.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Halpin DMG, Celli BR, Criner GJ, et al. The GOLD Summit on chronic
obstructive pulmonary disease in low- and middle-income countries. Int J Tuberc
Lung Dis 2019; 23(11): 1131-41.
2. Mathers CD, Loncar D. Projections of global mortality and burden of disease
from 2002 to 2030. PLoS Med 2006; 3(11): e442.
3. American Lung Association Epidemiology and Statistics Unit. Trends in COPD
(Chronic Bronchitis and Emphysema): Morbidity and Mortality. 2013.
4. Kim V, Crapo J, Zhao H, et al. Comparison between an alternative and the classic
definition of chronic bronchitis in COPDGene. Ann Am Thorac Soc 2015; 12(3):
332-9.
5. Lamprecht B, McBurnie MA, Vollmer WM, et al. COPD in never smokers:
results from the population-based burden of obstructive lung disease study. Chest
2011; 139(4): 752-63
6. Thomsen M, Nordestgaard BG, Vestbo J, Lange P. Characteristics and outcomes
of chronic obstructive pulmonary disease in never smokers in Denmark: a
prospective population study. Lancet Respir Med 2013; 1(7): 543-50.
7. Rennard SI, Vestbo J. COPD: the dangerous underestimate of 15%. Lancet 2006;
367(9518): 1216-9.
8. Stoller JK, Aboussouan LS. Alpha1-antitrypsin deficiency. Lancet 2005;
365(9478): 2225-36.
9. McCloskey SC, Patel BD, Hinchliffe SJ, Reid ED, Wareham NJ, Lomas DA.
Siblings of patients with severe chronic obstructive pulmonary disease have a
significant risk of airflow obstruction. Am J Respir Crit Care Med 2001; 164(8 Pt
1): 1419-24.
10. Mercado N, Ito K, Barnes PJ. Accelerated ageing of the lung in COPD: new
concepts. Thorax 2015; 70(5): 482-9.
11. Landis SH, Muellerova H, Mannino DM, et al. Continuing to Confront COPD
International Patient Survey: methods, COPD prevalence, and disease burden in
2012-2013. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis 2014; 9: 597-611.
12. Foreman MG, Zhang L, Murphy J, et al. Early-onset chronic obstructive
pulmonary disease is associated with female sex, maternal factors, and African
American race in the COPDGene Study. Am J Respir Crit Care Med 2011;
184(4): 414-20.
13. Lopez Varela MV, Montes de Oca M, Halbert RJ, et al. Sex-related differences in
COPD in five Latin American cities: the PLATINO study. Eur Respir J 2010;
36(5): 1034-41.
14. Silverman EK, Weiss ST, Drazen JM, et al. Gender-related differences in severe,
early-onset chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med
2000; 162(6): 2152-8.
15. Martinez FJ, Curtis JL, Sciurba F, et al. Sex differences in severe pulmonary
emphysema. Am J Respir Crit Care Med 2007; 176(3): 243-52.
16. Tam A, Churg A, Wright JL, et al. Sex Differences in Airway Remodeling in a
Mouse Model of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Am J Respir Crit Care
Med 2016; 193(8): 825-34.

43
17. Barker DJ, Godfrey KM, Fall C, Osmond C, Winter PD, Shaheen SO. Relation of
birth weight and childhood respiratory infection to adult lung function and death
from chronic obstructive airways disease. BMJ 1991; 303(6804): 671-5.
18. Todisco T, de Benedictis FM, Iannacci L, et al. Mild prematurity and respiratory
functions. Eur J Pediatr 1993; 152(1): 55-8.
19. Lawlor DA, Ebrahim S, Davey Smith G. Association of birth weight with adult
lung function: findings from the British Women's Heart and Health Study and a
meta-analysis. Thorax 2005; 60(10): 851-8.
20. Kohansal R, Martinez-Camblor P, Agusti A, Buist AS, Mannino DM, Soriano
JB. The natural history of chronic airflow obstruction revisited: an analysis of the
Framingham offspring cohort. Am J Respir Crit Care Med 2009; 180(1): 3-10.
21. Yin P, Jiang CQ, Cheng KK, et al. Passive smoking exposure and risk of COPD
among adults in China: the Guangzhou Biobank Cohort Study. Lancet 2007;
370(9589): 751-7.
22. 75. Tager IB, Ngo L, Hanrahan JP. Maternal smoking during pregnancy. Effects
on lung function during the first 18 months of life. Am J Respir Crit Care Med
1995; 152: 977-83.
23. Eisner MD, Anthonisen N, Coultas D, et al. An official American Thoracic
Society public policy statement: Novel risk factors and the global burden of
chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 2010; 182(5):
693-718.
24. Paulin LM, Diette GB, Blanc PD, et al. Occupational exposures are associated
with worse morbidity in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Am
J Respir Crit Care Med 2015; 191(5): 557-65.
25. Marchetti N, Garshick E, Kinney GL, et al. Association between occupational
exposure and lung function, respiratory symptoms, and high-resolution computed
tomography imaging in COPDGene. Am J Respir Crit Care Med 2014;
190(7):756-62.
1. Townend J, Minelli C, Mortimer K, et al. The association between chronic
airflow obstruction and poverty in 12 sites of the multinational BOLD study. Eur
Respir J 2017; 49(6).
2. Beran D, Zar HJ, Perrin C, Menezes AM, Burney P, Forum of International
Respiratory Societies working group c. Burden of asthma and chronic obstructive
pulmonary disease and access to essential medicines in low-income and middle-
income countries. Lancet Respir Med 2015; 3(2): 159-70.
3. Gershon AS, Warner L, Cascagnette P, Victor JC, To T. Lifetime risk of
developing chronic obstructive pulmonary disease: a longitudinal population
study. Lancet 2011; 378(9795): 991-6.
4. De Marco R, Accordini S, Marcon A, et al. Risk factors for chronic obstructive
pulmonary disease in a European cohort of young adults. Am J Respir Crit Care
Med 2011; 183(7): 891-7.
5. Eklof J, Sorensen R, Ingebrigtsen TS, et al. Pseudomonas aeruginosa and risk of
death and exacerbations in patients with chronic obstructive pulmonary disease:
an observational cohort study of 22 053 patients. Clin Microbiol Infect 2019.
6. Byrne AL, Marais BJ, Mitnick CD, Lecca L, Marks GB. Tuberculosis and
chronic respiratory disease: a systematic review. Int J Infect Dis 2015; 32: 138-
46.

44
7. Menezes AM, Hallal PC, Perez-Padilla R, et al. Tuberculosis and airflow
obstruction: evidence from the PLATINO study in Latin America. Eur Respir J
2007; 30(6): 1180-5.
8. Jordan TS, Spencer EM, Davies P. Tuberculosis, bronchiectasis and chronic
airflow obstruction. Respirology 2010; 15(4): 623-8.
9. Hogg JC, Timens W. The pathology of chronic obstructive pulmonary disease.
Annu Rev Pathol 2009; 4: 435-59.
10. Barnes PJ. Inflammatory mechanisms in patients with chronic obstructive
pulmonary disease. J Allergy Clin Immunol 2016; 138(1): 16-27.
11. Sze MA, Dimitriu PA, Suzuki M, et al. Host Response to the Lung Microbiome
in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Am J Respir Crit Care Med 2015;
192(4): 438-45.
12. Lee SH, Goswami S, Grudo A, et al. Antielastin autoimmunity in tobacco
smoking-induced emphysema. Nat Med 2007; 13(5): 567-9.
13. Domej W, Oettl K, Renner W. Oxidative stress and free radicals in COPD--
implications and relevance for treatment. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis 2014;
9: 1207-24.
14. Putman RK, Hatabu H, Araki T, et al. Association Between Interstitial Lung
Abnormalities and All-Cause Mortality. JAMA 2016; 315(7): 672-81.
15. Barnes PJ. Cellular and molecular mechanisms of chronic obstructive pulmonary
disease. Clin Chest Med 2014; 35(1): 71-86.
16. Katzenstein AL, Mukhopadhyay S, Myers JL. Diagnosis of usual interstitial
pneumonia and distinction from other fibrosing interstitial lung diseases. Hum
Pathol 2008; 39(9): 1275-94.
17. Washko GR, Hunninghake GM, Fernandez IE, et al. Lung volumes and
emphysema in smokers with interstitial lung abnormalities. N Engl J Med 2011;
364(10): 897-906.
18. Churg A, Tai H, Coulthard T, Wang R, Wright JL. Cigarette smoke drives small
airway remodeling by induction of growth factors in the airway wall. Am J Respir
Crit Care Med 2006; 174(12): 1327-34.
19. Rennard SI, Wachenfeldt K. Rationale and emerging approaches for targeting
lung repair and regeneration in the treatment of chronic obstructive pulmonary
disease. Proc Am Thorac Soc 2011; 8(4): 368-75.
20. Hogg JC, McDonough JE, Gosselink JV, Hayashi S. What drives the peripheral
lung-remodeling process in chronic obstructive pulmonary disease? Proc Am
Thorac Soc 2009; 6(8): 668-72.
21. Barnes PJ. Immunology of asthma and chronic obstructive pulmonary disease.
Nat Rev Immunol 2008; 8(3): 183-92.
22. Global Initiative for Asthma. 2015 Asthma, COPD and Asthma-COPD Overlap
Syndrome (ACOS). 2015
23. Hogg JC, Chu F, Utokaparch S, et al. The nature of small-airway obstruction in
chronic obstructive pulmonary disease. N Engl J Med 2004; 350(26): 2645-53.
24. McDonough JE, Yuan R, Suzuki M, et al. Small-airway obstruction and
emphysema in chronic obstructive pulmonary disease. N Engl J Med 2011;
365(17): 1567-75.
25. Ofir D, Laveneziana P, Webb KA, Lam YM, O'Donnell DE. Mechanisms of
dyspnea during cycle exercise in symptomatic patients with GOLD stage I
chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 2008; 177(6):
622-9.

45
26. Elbehairy AF, Ciavaglia CE, Webb KA, et al. Pulmonary Gas Exchange
Abnormalities in Mild Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Implications for
Dyspnea and Exercise Intolerance. Am J Respir Crit Care Med 2015; 191(12):
1384-94.
27. Casaburi R, Maltais F, Porszasz J, et al. Effects of tiotropium on hyperinflation
and treadmill exercise tolerance in mild to moderate chronic obstructive
pulmonary disease. Ann Am Thorac Soc 2014; 11(9): 1351-61.
28. Rodriguez-Roisin R, Drakulovic M, Rodriguez DA, Roca J, Barbera JA, Wagner
PD. Ventilation-perfusion imbalance and chronic obstructive pulmonary disease
staging severity. J Appl Physiol 2009; 106(6): 1902-8.
29. Burgel PR, Nadel JA. Epidermal growth factor receptor-mediated innate immune
responses and their roles in airway diseases. Eur Respir J 2008; 32(4): 1068-81.
30. Parker CM, Voduc N, Aaron SD, Webb KA, O'Donnell DE. Physiological
changes during symptom recovery from moderate exacerbations of COPD. Eur
Respir J 2005; 26(3): 420-8.
31. Miller J, Edwards LD, Agusti A, et al. Comorbidity, systemic inflammation and
outcomes in the ECLIPSE cohort. Respir Med 2013; 107(9): 1376-84.
32. Buist AS, McBurnie MA, Vollmer WM, et al. International variation in the
prevalence of COPD (the BOLD Study): a population-based prevalence study.
Lancet 2007; 370(9589): 741-50.
33. World Health Organization. WHO package of essential noncommunicable (PEN)
disease interventions for primary healthcare. Geneva. Licence: CC BY-NC-SA
3.0 IGO
34. Kessler R, Partridge MR, Miravitlles M, et al. Symptom variability in patients
with severe COPD: a pan-European crosssectional study. Eur Respir J 2011;
37(2): 264-72.
35. Montes de Oca M, Perez-Padilla R, Talamo C, et al. Acute bronchodilator
responsiveness in subjects with and without airflow obstruction in five Latin
American cities: the PLATINO study. Pulm Pharmacol Ther 2010; 23(1): 29-35.
36. Miravitlles M, Worth H, Soler Cataluna JJ, et al. Observational study to
characterise 24-hour COPD symptoms and their relationship with patient-
reported outcomes: results from the ASSESS study. Respir Res 2014; 15: 122.
37. Elliott MW, Adams L, Cockcroft A, MacRae KD, Murphy K, Guz A. The
language of breathlessness. Use of verbal descriptors by patients with
cardiopulmonary disease. Am Rev Respir Dis 1991; 144(4): 826-32.
38. Cho SH, Lin HC, Ghoshal AG, et al. respiratory disease in the Asia-Pacific
region: Cough as a key symptom. Allergy Asthma Proc 2016; 37(2): 131-40.
39. Allinson JP, Hardy R, Donaldson GC, Shaheen SO, Kuh D, Wedzicha JA. The
Presence of Chronic Mucus Hypersecretion across Adult Life in Relation to
Chronic Obstructive Pulmonary Disease Development. Am J Respir Crit Care
Med 2016; 193(6): 662-72.
40. Soler N, Esperatti M, Ewig S, Huerta A, Agusti C, Torres A. Sputum purulence-
guided antibiotic use in hospitalised patients with exacerbations of COPD. Eur
Respir J 2012; 40(6): 1344-53.
41. Brusse-Keizer MG, Grotenhuis AJ, Kerstjens HA, et al. Relation of sputum
colour to bacterial load in acute exacerbations of COPD. Respir Med 2009;
103(4): 601-6.

46
42. Stockley RA, O'Brien C, Pye A, Hill SL. Relationship of sputum color to nature
and outpatient management of acute exacerbations of COPD. Chest 2000; 117(6):
1638-45.
43. von Haehling S, Anker SD. Cachexia as a major underestimated and unmet
medical need: facts and numbers. J Cachexia Sarcopenia Muscle 2010; 1(1): 1-5.
44. Schols AM, Soeters PB, Dingemans AM, Mostert R, Frantzen PJ, Wouters EF.
Prevalence and characteristics of nutritional depletion in patients with stable
COPD eligible for pulmonary rehabilitation. Am Rev Respir Dis 1993; 147(5):
1151-6.
45. Attaway AH, Welch N, Hatipoglu U, Zein JG, Dasarathy S. Muscle loss
contributes to higher morbidity and mortality in COPD: An analysis of national
trends. Respirology 2020: online ahead of print
46. Rutten EP, Calverley PM, Casaburi R, et al. Changes in body composition in
patients with chronic obstructive pulmonary disease: do they influence patient-
related outcomes? Ann Nutr Metab 2013; 63(3): 239-47.
47. Schols AM, Broekhuizen R, Weling-Scheepers CA, Wouters EF. Body
composition and mortality in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Clin
Nutr 2005; 82(1): 53-9.
48. Hanania NA, Mullerova H, Locantore NW, et al. Determinants of depression in
the ECLIPSE chronic obstructive pulmonary disease cohort. Am J Respir Crit
Care Med 2011; 183(5): 604-11.
49. Blakemore A, Dickens C, Chew-Graham CA, et al. Depression predicts
emergency care use in people with chronic obstructive pulmonary disease: a large
cohort study in primary care. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis 2019; 14: 1343-
53.
50. Holleman DR, Jr., Simel DL. Does the clinical examination predict airflow
limitation? JAMA 1995; 273(4): 313-9.
51. Kesten S, Chapman KR. Physician perceptions and management of COPD. Chest
1993; 104(1): 254-8.
52. Colak Y, Nordestgaard BG, Vestbo J, Lange P, Afzal S. Prognostic significance
of chronic respiratory symptoms in individuals with normal spirometry. Eur
Respir J 2019; 54(3).
53. Jackson H, Hubbard R. Detecting chronic obstructive pulmonary disease using
peak flow rate: cross sectional survey. BMJ 2003; 327(7416): 653-4.
54. Pellegrino R, Viegi G, Brusasco V, et al. Interpretative strategies for lung
function tests. Eur Respir J 2005; 26(5): 948-68.
55. Jones PW. Health status and the spiral of decline. COPD 2009; 6(1): 59-63.
56. Han MK, Muellerova H, Curran-Everett D, et al. GOLD 2011 disease severity
classification in COPDGene: a prospective cohort study. Lancet Respir Med
2013; 1(1): 43-50.
57. Burge PS, Calverley PM, Jones PW, Spencer S, Anderson JA, Maslen TK.
Randomised, double blind, placebo-controlled study of fluticasone propionate in
patients with moderate to severe chronic obstructive pulmonary disease: the
ISOLDE trial. BMJ 2000; 320(7245): 1297-303.
58. Anthonisen NR, Connett JE, Kiley JP, et al. Effects of smoking intervention and
the use of an inhaled anticholinergic bronchodilator on the rate of decline of
FEV1. The Lung Health Study. JAMA 1994; 272(19): 1497-505.
59. Pauwels RA, Lofdahl CG, Laitinen LA, et al. Long-term treatment with inhaled
budesonide in persons with mild chronic obstructive pulmonary disease who

47
continue smoking. European Respiratory Society Study on Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. N Engl J Med 1999; 340(25): 1948-53.
60. Vestbo J, Sorensen T, Lange P, Brix A, Torre P, Viskum K. Long-term effect of
inhaled budesonide in mild and moderate chronic obstructive pulmonary disease:
a randomised controlled trial. Lancet 1999; 353(9167): 1819-23.
61. Tashkin DP, Celli B, Senn S, et al. A 4-year trial of tiotropium in chronic
obstructive pulmonary disease. N Engl J Med 2008; 359(15): 1543-54.
62. World Health Organization. WHO package of essential noncommunicable (PEN)
disease interventions for primary health care. Geneva. Licence: CC BY-NC-SA
3.0 IGO
63. O'Donnell DE, Fluge T, Gerken F, et al. Effects of tiotropium on lung
hyperinflation, dyspnoea and exercise tolerance in COPD. Eur Respir J 2004;
23(6): 832-40.
64. O'Donnell DE, Sciurba F, Celli B, et al. Effect of fluticasone
propionate/salmeterol on lung hyperinflation and exercise endurance in COPD.
Chest 2006; 130(3): 647-56.
65. Sestini P, Renzoni E, Robinson S, Poole P, Ram FS. Short-acting beta 2 agonists
for stable chronic obstructive pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev
2002; (4): CD001495.
66. Jenkins SC, Heaton RW, Fulton TJ, Moxham J. Comparison of domiciliary
nebulized salbutamol and salbutamol from a metered-dose inhaler in stable
chronic airflow limitation. Chest 1987; 91(6): 804-7.
67. Higgins BG, Powell RM, Cooper S, Tattersfield AE. Effect of salbutamol and
ipratropium bromide on airway calibre and bronchial reactivity in asthma and
chronic bronchitis. Eur Respir J 1991; 4(4): 415-20.
68. Vathenen AS, Britton JR, Ebden P, Cookson JB, Wharrad HJ, Tattersfield AE.
High-dose inhaled albuterol in severe chronic airflow limitation. Am Rev Respir
Dis 1988; 138(4): 850-5.
69. Cazzola M, Rogliani P, Ruggeri P, et al. Chronic treatment with indacaterol and
airway response to salbutamol in stable COPD. Respir Med 2013; 107(6): 848-
53.
70. Melani AS. Long-acting muscarinic antagonists. Expert Rev Clin Pharmacol
2015; 8(4): 479-501.
71. Appleton S, Jones T, Poole P, et al. Ipratropium bromide versus long-acting beta-
2 agonists for stable chronic obstructive pulmonary disease. Cochrane Database
Syst Rev 2006; (3): CD006101.
72. Barnes P. Bronchodilators: basic pharmacology. In: Calverley PMA, Pride NB,
eds. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. London: Chapman and Hall; 1995:
391-417.
73. Jones PW, Singh D, Bateman ED, et al. Efficacy and safety of twice-daily
aclidinium bromide in COPD patients: the ATTAIN study. Eur Respir J 2012;
40(4): 830-6.
74. Karner C, Chong J, Poole P. Tiotropium versus placebo for chronic obstructive
pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev 2014; 7(7): CD009285.
75. Kesten S, Casaburi R, Kukafka D, Cooper CB. Improvement in self-reported
exercise participation with the combination of tiotropium and rehabilitative
exercise training in COPD patients. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis 2008; 3(1):
127-36.

48
76. Casaburi R, Kukafka D, Cooper CB, Witek TJ, Jr., Kesten S. Improvement in
exercise tolerance with the combination of tiotropium and pulmonary
rehabilitation in patients with COPD. Chest 2005; 127(3): 809-17.
77. Vogelmeier C, Hederer B, Glaab T, et al. Tiotropium versus salmeterol for the
prevention of exacerbations of COPD. N Engl J Med 2011; 364(12): 1093-103.
78. Decramer ML, Chapman KR, Dahl R, et al. Once-daily indacaterol versus
tiotropium for patients with severe chronic obstructive pulmonary disease
(INVIGORATE): a randomised, blinded, parallel-group study. Lancet Respir
Med 2013; 1(7): 524-33.
79. Tashkin DP. Long-acting anticholinergic use in chronic obstructive pulmonary
disease: efficacy and safety. Curr Opin Pulm Med 2010; 16(2): 97-105.
80. Disse B, Speck GA, Rominger KL, Witek TJ, Jr., Hammer R. Tiotropium
(Spiriva): mechanistical considerations and clinical profile in obstructive lung
disease. Life Sci 1999; 64(6-7): 457-64.
81. Aubier M. Pharmacotherapy of respiratory muscles. Clin Chest Med 1988; 9(2):
311-24.
82. McKay SE, Howie CA, Thomson AH, Whiting B, Addis GJ. Value of
theophylline treatment in patients handicapped by chronic obstructive lung
disease. Thorax 1993; 48(3): 227-32.
83. Ram FS, Jones PW, Castro AA, et al. Oral theophylline for chronic obstructive
pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev 2002; (4): CD003902.
84. Cazzola M, Molimard M. The scientific rationale for combining long-acting
beta2-agonists and muscarinic antagonists in COPD. Pulm Pharmacol Ther 2010;
23(4): 257-67.
85. Ray R, Tombs L, Naya I, Compton C, Lipson DA, Boucot I. Efficacy and safety
of the dual bronchodilator combination umeclidinium/vilanterol in COPD by age
and airflow limitation severity: A pooled post hoc analysis of seven clinical trials.
Pulm Pharmacol Ther 2019; 57: 101802.
86. Gross N, Tashkin D, Miller R, Oren J, Coleman W, Linberg S. Inhalation by
nebulization of albuterol-ipratropium combination (Dey combination) is superior
to either agent alone in the treatment of chronic obstructive pulmonary disease.
Dey Combination Solution Study Group. Respiration 1998; 65(5): 354-62.
87. Tashkin DP, Pearle J, Iezzoni D, Varghese ST. Formoterol and tiotropium
compared with tiotropium alone for treatment of COPD. COPD 2009; 6(1): 17-
25.
88. Farne HA, Cates CJ. Long-acting beta2-agonist in addition to tiotropium versus
either tiotropium or long-acting beta2- agonist alone for chronic obstructive
pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev 2015; 10(10): CD008989.
89. Martinez FJ, Fabbri LM, Ferguson GT, et al. Baseline Symptom Score Impact on
Benefits of Glycopyrrolate/Formoterol Metered Dose Inhaler in COPD. Chest
2017; 152(6): 1169-78.
90. Maltais F, Bjermer L, Kerwin EM, et al. Efficacy of umeclidinium/vilanterol
versus umeclidinium and salmeterol monotherapies in symptomatic patients with
COPD not receiving inhaled corticosteroids: the EMAX randomised trial. Respir
Res 2019; 20(1): 238.
91. Barnes PJ. New anti-inflammatory targets for chronic obstructive pulmonary
disease. Nat Rev Drug Discov 2013; 12(7): 543-59.
92. Boardman C, Chachi L, Gavrila A, et al. Mechanisms of glucocorticoid action
and insensitivity in airways disease. Pulm Pharmacol Ther 2014; 29(2): 129-43.

49
93. Yang IA, Clarke MS, Sim EH, Fong KM. Inhaled corticosteroids for stable
chronic obstructive pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev 2012; 7(7):
CD002991.
94. Nannini LJ, Lasserson TJ, Poole P. Combined corticosteroid and long-acting beta
(2)-agonist in one inhaler versus longacting beta (2)-agonists for chronic
obstructive pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev 2012; 9(9):
CD006829.
95. Nannini LJ, Poole P, Milan SJ, Kesterton A. Combined corticosteroid and long-
acting beta (2)-agonist in one inhaler versus inhaled corticosteroids alone for
chronic obstructive pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev 2013; 8(8):
CD006826.
96. Crim C, Dransfield MT, Bourbeau J, et al. Pneumonia risk with inhaled
fluticasone furoate and vilanterol compared with vilanterol alone in patients with
COPD. Ann Am Thorac Soc 2015; 12(1): 27-34.
97. Crim C, Calverley PMA, Anderson JA, et al. Pneumonia risk with inhaled
fluticasone furoate and vilanterol in COPD patients with moderate airflow
limitation: The SUMMIT trial. Respir Med 2017; 131: 27-34.
98. Suissa S, Kezouh A, Ernst P. Inhaled corticosteroids and the risks of diabetes
onset and progression. Am J Med 2010; 123(11): 1001-6.
99. Wang JJ, Rochtchina E, Tan AG, Cumming RG, Leeder SR, Mitchell P. Use of
inhaled and oral corticosteroids and the long-term risk of cataract.
Ophthalmology 2009; 116(4): 652-7.
100. Andrejak C, Nielsen R, Thomsen VO, Duhaut P, Sorensen HT, Thomsen RW.
Chronic respiratory disease, inhaled corticosteroids and risk of non-tuberculous
mycobacteriosis. Thorax 2013; 68(3): 256-62.
101. Dong YH, Chang CH, Lin Wu FL, et al. Use of inhaled corticosteroids in patients
with COPD and the risk of TB and influenza: A systematic review and meta-
analysis of randomized controlled trials. Chest 2014; 145(6): 1286-97.
102. Lee CH, Kim K, Hyun MK, Jang EJ, Lee NR, Yim JJ. Use of inhaled
corticosteroids and the risk of tuberculosis. Thorax 2013; 68(12): 1105-13.
103. Brusselle G, Price D, Gruffydd-Jones K, et al. The inevitable drift to triple
therapy in COPD: an analysis of prescribing pathways in the UK. Int J Chron
Obstruct Pulmon Dis 2015; 10: 2207-17.
104. Lipson DA, Barnhart F, Brealey N, et al. Once-Daily Single-Inhaler Triple versus
Dual Therapy in Patients with COPD. N Engl J Med 2018; 378(18): 1671-80.
105. Papi A, Vestbo J, Fabbri L, et al. Extrafine inhaled triple therapy versus dual
bronchodilator therapy in chronic obstructive pulmonary disease (TRIBUTE): a
double-blind, parallel group, randomised controlled trial. Lancet 2018;
391(10125): 1076-84.
106. Vestbo J, Papi A, Corradi M, et al. Single inhaler extrafine triple therapy versus
long-acting muscarinic antagonist therapy for chronic obstructive pulmonary
disease (TRINITY): a double-blind, parallel group, randomised controlled trial.
Lancet 2017; 389(10082): 1919-29.
107. Welte T, Miravitlles M, Hernandez P, et al. Efficacy and tolerability of
budesonide/formoterol added to tiotropium in patients with chronic obstructive
pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 2009; 180(8): 741-50.
108. Vestbo J, Fabbri L, Papi A, et al. Inhaled corticosteroid containing combinations
and mortality in COPD. Eur Respir J 2018; 52(6): 1801230.

50
109. Manson SC, Brown RE, Cerulli A, Vidaurre CF. The cumulative burden of oral
corticosteroid side effects and the economic implications of steroid use. Respir
Med 2009; 103(7): 975-94.
110. Walters JA, Tan DJ, White CJ, Gibson PG, Wood-Baker R, Walters EH.
Systemic corticosteroids for acute exacerbations of chronic obstructive
pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev 2014; (9): CD001288.
111. Renkema TE, Schouten JP, Koeter GH, Postma DS. Effects of long-term
treatment with corticosteroids in COPD. Chest 1996; 109(5): 1156-62.
112. Rice KL, Rubins JB, Lebahn F, et al. Withdrawal of chronic systemic
corticosteroids in patients with COPD: a randomized trial. Am J Respir Crit Care
Med 2000; 162(1): 174-8.
113. Rabe KF. Update on roflumilast, a phosphodiesterase 4 inhibitor for the treatment
of chronic obstructive pulmonary disease. Br J Pharmacol 2011; 163(1): 53-67.
114. Calverley PM, Rabe KF, Goehring UM, et al. Roflumilast in symptomatic
chronic obstructive pulmonary disease: two randomised clinical trials. Lancet
2009; 374(9691): 685-94.
115. Fabbri LM, Calverley PM, Izquierdo-Alonso JL, et al. Roflumilast in moderate-
to-severe chronic obstructive pulmonary disease treated with longacting
bronchodilators: two randomised clinical trials. Lancet 2009; 374(9691): 695-
703.
116. Martinez FJ, Calverley PM, Goehring UM, Brose M, Fabbri LM, Rabe KF.
Effect of roflumilast on exacerbations in patients with severe chronic obstructive
pulmonary disease uncontrolled by combination therapy (REACT): a multicentre
randomised controlled trial. Lancet 2015; 385(9971): 857-66.
117. Seemungal TA, Wilkinson TM, Hurst JR, Perera WR, Sapsford RJ, Wedzicha
JA. Long-term erythromycin therapy is associated with decreased chronic
obstructive pulmonary disease exacerbations. Am J Respir Crit Care Med 2008;
178(11): 1139-47.
118. Sethi S, Jones PW, Theron MS, et al. Pulsed moxifloxacin for the prevention of
exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease: a randomized controlled
trial. Respir Res 2010; 11: 10.
119. Garvey C, Bayles MP, Hamm LF, et al. Pulmonary Rehabilitation Exercise
Prescription in Chronic Obstructive Pulmonary Disease: Review of Selected
Guidelines: An official statement from the American Association of
Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation J Cardiopulm Rehabil Prev 2016;
36(2): 75-83.
120. Alison JA, McKeough ZJ, Johnston K, et al. Australian and New Zealand
Pulmonary Rehabilitation Guidelines. Respirology 2017; 22(4): 800-19.
121. McCarthy B, Casey D, Devane D, Murphy K, Murphy E, Lacasse Y. Pulmonary
rehabilitation for chronic obstructive pulmonary disease. Cochrane Database
Syst Rev 2015; 2(2): CD003793.
122. Effing TW, Vercoulen JH, Bourbeau J, et al. Definition of a COPD self-
management intervention: International Expert Group consensus. Eur Respir J
2016; 48(1): 46-54.
123. Kruis AL, Boland MR, Assendelft WJ, et al. Effectiveness of integrated disease
management for primary care chronic obstructive pulmonary disease patients:
results of cluster randomised trial. BMJ 2014; 349: g5392.

51
124. Gregersen TL, Green A, Frausing E, Ringbaek T, Brondum E, Suppli Ulrik C. Do
telemedical interventions improve quality of life in patients with COPD? A
systematic review. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis 2016; 11: 809-22.
125. Cartwright M, Hirani SP, Rixon L, et al. Effect of telehealth on quality of life and
psychological outcomes over 12 months (Whole Systems Demonstrator
telehealth questionnaire study): nested study of patient reported outcomes in a
pragmatic, cluster randomised controlled trial. BMJ 2013; 346: f653.
151. Wedzicha JA, Seemungal TA. COPD exacerbations: defining their cause and
prevention. Lancet 2007; 370(9589): 786-96.
152. Seemungal TA, Donaldson GC, Paul EA, Bestall JC, Jeffries DJ, Wedzicha JA.
Effect of exacerbation on quality of life in patients with chronic obstructive
pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1998; 157(5 Pt 1): 1418-22.
153. Anthonisen NR, Manfreda J, Warren CP, Hershfield ES, Harding GK, Nelson
NA. Antibiotic therapy in exacerbations of chronic obstructive pulmonary
disease. Ann Intern Med 1987; 106(2): 196-204.
154. Woodhead M, Blasi F, Ewig S, et al. Guidelines for the management of adult
lower respiratory tract infections. Eur Respir J 2005; 26(6): 1138-80.
155. Li MH, Fan LC, Mao B, et al. Short-term Exposure to Ambient Fine Particulate
Matter Increases Hospitalizations and Mortality in COPD: A Systematic Review
and Meta-analysis. Chest 2016; 149(2): 447-58.
156. Liu S, Zhou Y, Liu S, et al. Association between exposure to ambient particulate
matter and chronic obstructive pulmonary disease: results from a cross-sectional
study in China. Thorax 2017; 72(9): 788-95.
157. Liang L, Cai Y, Barratt B, et al. Associations between daily air quality and
hospitalisations for acute exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease
in Beijing, 2013-17: an ecological analysis. Lancet Planet Health 2019; 3(6):
e270-e9.
158. White AJ, Gompertz S, Stockley RA. Chronic obstructive pulmonary disease 6:
The aetiology of exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease. Thorax
2003; 58(1): 73-80.
159. Martinez FJ, Han MK, Flaherty K, Curtis J. Role of infection and antimicrobial
therapy in acute exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease. Expert
review of anti-infective therapy 2006; 4(1): 101-24.
160. Groenke L, Disse B. Blood eosinophil counts as markers of response to inhaled
corticosteroids in COPD? Lancet Respir Med 2015; 3(8): e26.
161. Donaldson GC, Mullerova H, Locantore N, et al. Factors associated with change
in exacerbation frequency in COPD. Respir Res 2013; 14: 79.
162. Wells JM, Washko GR, Han MK, et al. Pulmonary arterial enlargement and acute
exacerbations of COPD. N Engl J Med 2012; 367(10): 913-21.
163. Celli BR, Barnes PJ. Exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease.
Eur Respir J 2007; 29(6): 1224-38.
164. National Institute for Health and Care Excellence. Chronic obstructive pulmonary
disease in over 16s: diagnosis and management. 2018.
165. Celli BR, MacNee W, ATS ERS Task Force. Standards for the diagnosis and
treatment of patients with COPD: a summary of the ATS/ERS position paper.
Eur Respir J 2004; 23(6): 932-46.
166. van Geffen WH, Douma WR, Slebos DJ, Kerstjens HA. Bronchodilators
delivered by nebuliser versus pMDI with spacer or DPI for exacerbations of
COPD. Cochrane Database Syst Rev 2016; (8): CD011826.

52
167. van Eerd EA, van der Meer RM, van Schayck OC, Kotz D. Smoking cessation
for people with chronic obstructive pulmonary disease. Cochrane Database Syst
Rev 2016; (8): CD010744.
168. Barr RG, Rowe BH, Camargo CA, Jr. Methylxanthines for exacerbations of
chronic obstructive pulmonary disease: metaanalysis of randomised trials. BMJ
2003; 327(7416): 643.
169. Duffy N, Walker P, Diamantea F, Calverley PM, Davies L. Intravenous
aminophylline in patients admitted to hospital with non-acidotic exacerbations of
chronic obstructive pulmonary disease: a prospective randomised controlled trial.
Thorax 2005; 60(9): 713-7.
170. Davies L, Angus RM, Calverley PM. Oral corticosteroids in patients admitted to
hospital with exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease: a
prospective randomised controlled trial. Lancet 1999; 354(9177): 456-60.
171. Maltais F, Ostinelli J, Bourbeau J, et al. Comparison of nebulized budesonide and
oral prednisolone with placebo in the treatment of acute exacerbations of chronic
obstructive pulmonary disease: a randomized controlled trial. Am J Respir Crit
Care Med 2002; 165(5): 698-703.
172. Niewoehner DE, Erbland ML, Deupree RH, et al. Effect of systemic
glucocorticoids on exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease.
Department of Veterans Affairs Cooperative Study Group. N Engl J Med 1999;
340(25):1941-7.
173. Thompson WH, Nielson CP, Carvalho P, Charan NB, Crowley JJ. Controlled
trial of oral prednisone in outpatients with acute COPD exacerbation. Am J
Respir Crit Care Med 1996; 154(2 Pt 1): 407-12.
174. Alia I, de la Cal MA, Esteban A, et al. Efficacy of corticosteroid therapy in
patients with an acute exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease
receiving ventilatory support. Arch Intern Med 2011; 171(21): 1939-46.
175. Aaron SD, Vandemheen KL, Hebert P, et al. Outpatient oral prednisone after
emergency treatment of chronic obstructive pulmonary disease. N Engl J Med
2003; 348(26): 2618-25.
176. Leuppi JD, Schuetz P, Bingisser R, et al. Short-term vs conventional
glucocorticoid therapy in acute exacerbations of chronic obstructive pulmonary
disease: the REDUCE randomized clinical trial. JAMA 2013; 309(21): 2223-31.
177. Sivapalan P, Ingebrigtsen TS, Rasmussen DB, et al. COPD exacerbations: the
impact of long versus short courses of oral corticosteroids on mortality and
pneumonia: nationwide data on 67 000 patients with COPD followed for 12
months. BMJ Open Respir Res 2019; 6(1): e000407.
178. de Jong YP, Uil SM, Grotjohan HP, Postma DS, Kerstjens HA, van den Berg JW.
Oral or IV prednisolone in the treatment of COPD exacerbations: a randomized,
controlled, double-blind study. Chest 2007; 132(6): 1741-7.
179. Gunen H, Hacievliyagil SS, Yetkin O, Gulbas G, Mutlu LC, In E. The role of
nebulised budesonide in the treatment of exacerbations of COPD. Eur Respir J
2007; 29(4): 660-7.
180. Stallberg B, Selroos O, Vogelmeier C, Andersson E, Ekstrom T, Larsson K.
Budesonide/formoterol as effective as prednisolone plus formoterol in acute
exacerbations of COPD. A double-blind, randomised, non-inferiority,
parallelgroup, multicentre study. Respir Res 2009; 10: 11.
181. Ding Z, Li X, Lu Y, et al. A randomized, controlled multicentric study of inhaled
budesonide and intravenous methylprednisolone in the treatment on acute

53
exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease. Respir Med 2016; 121:
39-47.
182. Stolz D, Hirsch HH, Schilter D, et al. Intensified Therapy with Inhaled
Corticosteroids and Long-Acting beta2-Agonists at the Onset of Upper
Respiratory Tract Infection to Prevent Chronic Obstructive Pulmonary Disease
Exacerbations. A Multicenter, Randomized, Double-Blind, Placebo-controlled
Trial. Am J Respir Crit Care Med 2018; 197(9): 1136-46.
183. Waljee AK, Rogers MA, Lin P, et al. short-term use of oral corticosteroids and
related harms among adults in the United States: population-based cohort study.
BMJ 2017; 357: j1415.
184. Seemungal T, Harper-Owen R, Bhowmik A, et al. Respiratory viruses,
symptoms, and inflammatory markers in acute exacerbations and stable chronic
obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 2001; 164(9): 1618-
23.
185. Vollenweider DJ, Jarrett H, Steurer-Stey CA, Garcia-Aymerich J, Puhan MA.
Antibiotics for exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease. Cochrane
Database Syst Rev 2012; 12: CD010257.
186. Miravitlles M, Kruesmann F, Haverstock D, Perroncel R, Choudhri SH, Arvis P.
Sputum colour and bacteria in chronic bronchitis exacerbations: a pooled
analysis. Eur Respir J 2012; 39(6): 1354-60.
187. Stockley RA, O'Brien C, Pye A, Hill SL. Relationship of sputum color to nature
and outpatient management of acute exacerbations of COPD. Chest 2000; 117(6):
1638-45.
188. Masterton RG, Burley CJ. Randomized, double-blind study comparing 5- and 7-
day regimens of oral levofloxacin in patients with acute exacerbation of chronic
bronchitis. Int J Antimicrob Agents 2001; 18(6): 503-12.
189. Hoogendoorn M, Hoogenveen RT, Rutten-van Molken MP, Vestbo J, Feenstra
TL. Case fatality of COPD exacerbations: a meta-analysis and statistical
modelling approach. Eur Respir J 2011; 37(3): 508-15.
190. Piquet J, Chavaillon JM, David P, et al. High-risk patients following
hospitalisation for an acute exacerbation of COPD. Eur Respir J 2013; 42(4):
946-55.
191. Singanayagam A, Schembri S, Chalmers JD. Predictors of mortality in
hospitalized adults with acute exacerbation of chronic obstructive pulmonary
disease. Ann Am Thorac Soc 2013; 10(2): 81-9.
192. Guo Y, Zhang T, Wang Z, et al. Body mass index and mortality in chronic
obstructive pulmonary disease: A doseresponse meta-analysis. Medicine
(Baltimore) 2016; 95(28): e4225.
193. Garcia-Aymerich J, Serra Pons I, Mannino DM, Maas AK, Miller DP, Davis KJ.
Lung function impairment, COPD hospitalisations and subsequent mortality.
Thorax 2011; 66(7): 585-90.
194. Chen J, Yang J, Zhou M, et al. Cold spell and mortality in 31 Chinese capital
cities: Definitions, vulnerability and implications. Environ Int 2019; 128: 271-8.

54

Anda mungkin juga menyukai