PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
2.4 Etiologi
Varicella zoster virus (VZV) adalah nama lain dari human herpes virus 3
(HHV-3), yakni jenis virus herpes yang menjadi penyebab dari 2 jenis
penyakit yaitu cacar air (varicella) dan herpes zoster/HZ (shingles). Varicella
zoster virus merupakan anggota keluarga herpesviridae, seperti virus herpes
simplex virus (HSV) tipe 1 dan 2, cytomegalovirus (CMV), Epstein-barr virus
(EBV), human herpesvirus 6 (HHV-6), human herpesvirus 7 (HHV-7), dan
human herpesvirus 8 (HHV-8).[10]
Varicella zoster virus merupakan jenis virus deoxyribonucleic acid
(DNA), alphaherpesvirus yang memiliki besar genom 125.000 bp,
berselubung, dengan diameter 80-120 nm. Virus ini memberi kode kurang
lebih 70-80 protein, salah satunya enzim thymidine kinase yang rentan
terhadap obat antivirus karena memfosforilasi aciclovir, sehingga
menghambat replikasi virus DNA. Selubung protein virus diduga berperan
dalam interaksi dengan molekul permukaan sel seperti reseptor mannose-6-
phospate atau glikoprotein myelin. Glikoprotein VZV B (gB), gH dan L
berfungsi sebagai kompleks inti dan glikoprotein selubung lain berfungsi
sebagai protein tambahan. Tegument protein termasuk immediate-early
protein 62 (IE62) sebagai protein utama berfungsi sebagai faktor transkripsi
atau disebut transaktivator virus, keluar dan akan dipindahkan ke inti sebelum
terjadi sintesis protein.[10]
3. Kultur Virus
Kultur virus bersifat kurang sensitif dan membutuhkan waktu yang
cukup lama yaitu 1 minggu atau lebih. Tapi metode ini dapat menentukan
sensitivitas dari antivirus yang digunakan. Virus varicella zoster
cenderung bersifat tidak stabil, dan hanya sekitar 30% hingga 60%
specimen yang telah terkonfirmasi terinfeksi virus varicella memberikan
hasil positif pada kultur. Oleh karena itu, disarankan agar spesimen segera
di inokulasi setelah pengambilan sampel. Selain itu, pengambilan
specimen dianjurkan dilakukan pada vesikel yang baru terbentuk. Karena
kemungkinan untuk mendapatkan virus varicella zoster sangat kecil pada
lesi yang telah menjadi pustul. Virus varicella zoster hampir tidak pernah
ditemukan pada krusta [11].
4. Enzyme Immunoassay
Pemeriksaan ini membutuhkan waktu yang lebih cepat dari PCR,
tetapi sensitifitas dan spesifisitasnya masih lebih kurang dari PCR. Tes ini
lebih berguna untuk mengidentifikasi individu yang rentan terkena herpes
zoster, yang dapat menjadi kandidat untuk isolasi virus ataupun pemberian
profilaksis. Teknik yang paling umum digunakan adalan solid-phase-
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Namun, metode ini
memiliki sensitivitas rendah [11].
2.6 Diagnosis Banding
1. Herpes Simplex Zosteriformis
Adalah kelainan kulit yang disebabkan oleh infeksi akut herpes
simpleks virus (HSV) tipe I atau II. Setelah infeksi primer, HSV dapat
berdiam diri secara laten di ganglion sensoris nervus spinalis dan
kemudian dapat aktif Kembali secara intermitten Ketika muncul faktor
predisposisi. Reaktivasi dari virus ini dapat berulang dan muncul pada area
dematom, sehingga menyerupai infeksi herpes zoster. Untuk
membedakannya, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti kultur
virus, dekteksi antigen, serologi, atau pemeriksaan molecular seperti PCR
[12].
2. Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan
atau substansi yang menempel pada kulit. Terdapat dua tipe dermatitis
kontak yakni dermatitis kontak alergi dan dermatitis kontak iritan.
Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi peradangan kulit non-
imunologik yaitu kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses
pengenalan/sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada
seseorang yang mengalami sensitisasi terhadap suatu bahan
penyebab/allergen. Oleh karena itu, perlu ditanyakan riwayat terpajan
bahan-bahan yang bersifat iritan atau allergen kepada pasien sebelumnya
[13].
3. Dermatitis Venenata
Merupakan tipe dermatitis kontak iritan tipe akut lambat yang
biasanya disebabkan oleh gigitan, liur, atau bulu serangga. Manifestasi
klnik muncul dalam 8-24 jam setelah kontak dengan serangga [14].
2.7 Tatalaksana
Prinsip dasar pengobatan herpres zoster adalah menghilangkan nyeri
secepat mungkin dengan cara membatasi replikasi virus, sehingga mengurangi
kerusakan saraf lebih lanjut [13].
1. Farmakologi
a. Sistemik
- Obat Antivirus
Obat antivirus terbukti menurunkan durasi lesi herpres zoster dan
derajat keparahan nyeri herpes zoster akut. Terdapat tifa antivirus oral
yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi
herpes zoster yakni : famsiklovir, valasiklovir hidroklorida, dan
asiklovir. Bioavabilitas asiklovir hanya 15-20 % lebih rendah
dibandingkan valasiklovir (biovabilitas 65%), dan famsiklovir
(bioavabilitas 77%).
Antivirus famsiklovir 3X 500 mg atau valasiklovir 3X1000 mg
atau asiklovir 5X 800 mg diberikan sebelum 72 jam awitan lesi selama
7 hari [13].
- Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid oral sering dilakukan, walaupun berbagai
penelitian menunjukkan hasil beragam. Prednison yang digunakan
bersama asiklovir dapat mengurangi nyeri akut. Hal ini disebabkan
penurunan derajat neuritis akibat infeksi virus dan kemungkinan juga
menurunkan derajat kerusakan pada saraf yang terlibat. Akan tetapi
pada penelitian lain, penambahan kortikosteroid hanya memberikan
sedikit manfaat dalam memperbaiki nyeri dan tidak bermanfaat untuk
mencegah NPH, walaupun memberikan perbaikan kualitas hidup.
Mengingat risiko komplikasi terapi kortikosteroid lebih berat daripada
keuntungannya, Departemen llmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FKUl/RSCM tidak menganjurkan pemberian kortikosteroid pada
herpes zoster [13].
- Analgetic
Pasien dengan nyeri akut ringan menunjukkan respons
baikterhadapAINS (asetosal, piroksikam, ibuprofen, diklofenak), atau
analgetik non opioid (parasetamol, tramadol, asam mefenamat).
Kadang-kadang dibutuhkan opioid (kodein, morfin atau oksikodon)
untuk pasien dengan nyeri kronik hebat. Pernah dicoba pemakaian
kombinasi parasetamol dengan kodein 30-60 mg [13].
- Antidepresan dan Antikonvulsan
Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan bahwa kombinasi
terapi 123 asiklovir dengan antidepresan trisiklik atau gabapentin sejak
awal mengurangi prevalensi NPH [13].
b. Topikal
- NSAID
Berbagai NSAID topikal seperti bubuk aspirin dalam kloroform
atau etil eter, krim indometasin dan diklofenak banyak dipakai.
Balakrishnan S dkk. (2001 ), melaporkan asam asetil salisilat topikal
dalam pelembab lebih efektif dibandingkan aspirin oral dalam
memperbaiki nyeri akut. Aspirin dalam etil eter atau kloroform
dilaporkan aman dan bermanfaat menghilangkan nyeri untuk beberapa
jam. Krim indometasin sama efektifnya dengan aspirin, dan
aplikasinya lebih nyaman. Penggunaannya pada area luas dapat
menyebabkan gangguan gastrointestinal akibat absorpsi per kutan.
Penelitian lain melaporkan bahwa krim indometasin dan diklofenak
tidak lebih baik dari placebo [13].
- Anestetik Lokal
Pemberian anestetik lokal pada berbagai lokasi sepanjang jaras
saraf yang terlibat dalam herpes zoster telah banyak dilakukan untuk
menghilangkan nyeri. Pendekatan seperti infiltrasi lokal subkutan, blok
saraf perifer, ruang paravertebral atau epidural, dan blok simpatis
untuk nyeri yang berkepanjangan sering digunakan. Akan tetapi, dalam
studi prospektif dengan kontrol berskala besar, efikasi blok saraf
terhadap pencegahan NPH belum terbukti dan berpotensi
menimbulkan risiko [13].
- Kortikosteroid
Krim/losio yang mengandung kortikosteroid tidak digunakan pada
lesi 124 akut herpes zoster dan juga tidak dapat mengurangi risiko
terjadinya NPH [13].
2. Non-Farmakologi
Hindari menggaruk area lesi : Pasien diedukasi untuk menghindari
garukan pada lesi.garukan pada area lesi dapat menyebabkan vesikel
pecah, selain itu dapat terjadi infeksi sekunder akibat ekskoriasi yang
timbul setelah dilakukan garukan pada lesi.
Kompres : Kompres terbuka dengan solusio Burowi dan solusio
Calamin (CaladrylD) dapat digunakan pada lesi akut untuk
mengurangi nyeri dan pruritus. Kompres dengan Solusio Burowi
(alumunium asetat 5%) dilakukan 4-6 kali/hari selama 30-60 menit.
Kompres dingin atau cold pack juga sering digunakan [13].
Menjaga area lesi tetap bersih dan kering: Hal ini bertujuan agar
mengurangi risiko infeksi sekunder akibat bakteri [15].
Mengenakan pakaian yang longgar : Pakaian yang longgar dapat
mengurangi friksi antara kulit yang lesi dengan pakaian, sehingga
kemungkinan terjadinya trauma karena gesekan lebih rendah. Selain
itu, pakaian longgar juga dapat meningkatkan kenyamanan pasien [15].
2.8 Pencegahan
1. Vaksinasi
Pemberian vaksin herpes zoster virus bertujuan untuk menghindari
reaktivasi dan penyebaran VZV laten dengan cara merangsang
pembentukan system kekebalan tubuh terhadap HZV terutama pada
populasi umum terutama orangtua dan individu yang berisiko tinggi.
Padaa tahun 2006, Food and Drug Administtration Amerika Serikat dan
CDC merekomendasikan vaksin hidup dari virus herpes zoster yang
dilemahkan dengan potensi yang lebih tinggi untk mencegah herpes zoster
pada individu yang tidak hamil, populasi berusia lebih dari 60 tahun dan
populasi yang pernah mengalami herpes zoster sebelumnya. Pemberiannya
secara intramuscular dan dapat melindungi hingga 3 tahun.
Namun, vaksin hidup ini memiliki kontraindikasi pada mereka yang
mengalami imunokopromise, pada Wanita hamil, anak-anak, individu
yang menderita HIV dengan jumlah limfosit CD4 kurang dari 200 dan
pasien yang menjalani pengobatan kanker. Namun pada tahun 2018, CDC
merekomendasikan pemberian vaksin HZV rekombinan dalam 2 dosis.
Syarat pemberiannya yaitu [16]:
- Pemberian 2 dosis vaksin zoster rekombinan (RZV) dengan jarak
antara dosis 1 dan 2 selama 2-6 bulan. Dapat diberikan pada indivisu
yang berusia lebih dari 50 tahun meskipun pernah terinfeksi HZ
sebelumnya atau telah mendapatkan vaksin zoster hidup.
- 2 dosis rekombinan zoster vaksin (RZV) dengan jarak 2-6 bulan
setelah mendapatkan vaksin zoster hidup (ZVL)
2.9 Komplikasi
1. Postherpetic neuralgia
Komplikasi yang umum terjadi dari penyakit herpes zoster (HZ)
adalah postherpetic neuralgia (PHN), yang merupakan sejenis nyeri
neuropati yang menetap selama 90 hari atau lebih setelah ruam kemerahan
sembuh. Nyeri dapat menetap dalam waktu beberapa bulan atau tahun,
serta berdampak pada kualitas hidup penderita karena mengganggu tidur
dan aktivitas sehari-hari, menyebabkan anoreksia, kehilangan berat badan,
lemas, mengganggu fungsi sosial, produktivitas, dan menyebabkan
dependensi.
Terdapat dua bentuk karakteristik nyeri pada PHN yaitu nyeri terus
menerus dengan penurunan sensasi raba, atau bersifat hilang timbul
dengan rasa gatal disertai parestesia. Nyeri tersebut menjadi keluhan yang
paling mengganggu dan terjadi 90% pada orang dengan PHN. Faktor
risiko terjadinya PHN antara lain usia di atas 40 tahun, keparahan nyeri
pada kondisi akut, keparahan lesi kulit kemerahan, dan keparahan gejala
prodromal dengan lokasi paling berisiko yaitu daerah trigeminal.
2. Kelemahan otot
Selain nyeri, HZ juga dapat menyebabkan disabilitas permanen,
seperti komplikasi pada mata, komplikasi neurologis (kelumpuhan saraf
perifer dan kranial, defisit motorik, paresis) yang diikuti rasa nyeri pada
daerah lesi. Herpes zoster yang mengenai regio sakrum dapat
bermanifestasi menjadi retensi urin dan kelainan defekasi. Pada kondisi
herpes sine herpete dapat terjadi Bell’s palsy, sindrom Ramsay Hunt
(bermanifestasi berupa adanya vesikel pada kanalis auditori eksternal,
hilangnya sensasi rasa 2/3 anterior lidah, kelemahan wajah), transverse
myelitis, meningoencephalitis, sindrom yang melibatkan arteri serebral
atau disebut varicella zoster virus vasculopathy dapat menyebabkan
sindrom stroke.
3. Herpes zoster diseminata
Insidensi keparahan HZ meningkat pada kondisi kegagalan
imunitas seperti kondisi keganasan (limfoma) atau saat seseorang
menjalani terapi dengan agen immunosuppressant. Lesi kulit yang terjadi
dapat tersebar, berjumlah lebih dari 20 lesi atau meluas dari dermatom
primer, serta terdapat keterlibatan organ dalam berupa pneumonia,
hepatitis, serta peradangan otak. [10]
2.10 Prognosis
Prognosis herpes zoster sangat bervariasi tergantung dari besarnya faktor
risiko pasien, waktu pengobatan, agresivitas penyakit dan berat ringannya
penyakit. Beberapa studi mengatakan bahwa kebanyakan pasien
imunokompeten dengan herpes zoster yang menerima pengobatan dini
memiliki resolusi lesi dalam waktu empat minggu dan dapat dilakukan rawat
jalan.
Daftar Pustaka
[1] Danardono DH, Niode NJ. Profil Herpes Zoster Di Poliklinik Kulit Dan
Kelamin Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado 2011-2013. J Biomedik
2015;7. https://doi.org/10.35790/jbm.7.3.2015.9486.
[2] Johnson RW, Alvarez-Pasquin M-J, Bijl M, Franco E, Gaillat J, Clara JG,
et al. Herpes zoster epidemiology, management, and disease and economic
burden in Europe: a multidisciplinary perspective. Ther Adv Vaccines
2015;3:109–20. https://doi.org/10.1177/2051013615599151.
[3] Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
7th ed. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016.
[4] Weller RB, Hunter HJA, Mann MW. Clinical Dermatology. 5th ed.
Chichester: John Wiley & Sons Ltd; 2015.
[5] Eroschenko VP. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional. 12th
ed. Jakarta: EGC; 2015.
[6] Levin MJ, Schmader KE, Oxman MN. Varicella and Herpes Zoster. In:
Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ,
et al., editors. Fitzpatrick’s Dermatology, 9e, New York, NY: McGraw-Hill
Education; 2019.
[7] Tricco AC, Zarin W, Cardoso R, Veroniki AA, Khan PA, Nincic V, et al.
Efficacy, effectiveness, and safety of herpes zoster vaccines in adults aged
50 and older: Systematic review and network meta-analysis. BMJ
2018;363. https://doi.org/10.1136/bmj.k4029.
[8] Chen L-K, Arai H, Chen L-Y, Chou M-Y, Djauzi S, Dong B, et al. Looking
back to move forward: a twenty-year audit of herpes zoster in Asia-Pacific.
BMC Infect Dis 2017;17. https://doi.org/10.1186/s12879-017-2198-y.
[9] Pusponegoro EH. Buku Panduan Herpes Zoster di Indonesia. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.
[10] Fitriani F, Kariosentono H, Prasetyorini BE, Oktriana P, Amelinda N. Tata
Laksana Herpes Zoster. Med Rev 2021;34:50–60.
[11] Kang S, Amagai M, Bruckner A. Fitzpatrick’s Dermatology. ninth edit.
New York: Mc Graw Hill Education; 2019.
[12] Koh MA, Pp S, Ryl T. Zosteriform herpes simplex n.d.
[13] Djuanda A, Suriadiredja A, Sudharmono A. Ilmu Penyakit Kulit Dan
Kelamin. Edisi ketu. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016.
[14] DERMATITIS VENENATA | fahri | JURNAL MEDICAL PROFESSION
n.d.
[15] Udayana University Hospital - PDF Free Download n.d.
[16] Patil A, Goldust M, Wollina U. Herpes zoster: A Review of Clinical
Manifestations and Management. Viruses 2022;14:1–13.
https://doi.org/10.3390/v14020192.
[17] Purwoko MIH, Darmawan H. Herpes Zoster: Clinical Manifestation,
Treatment, and Prevention. Herpes Zoster Clin Manifestation, Treat Prev
2020;4:34–44.