Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Herpes Zoster atau yang disebut dengan shingles atau dampa adalah
penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi virus varicella zoster yang
merupakan virus penyebab yang sama dengan penyakit varisela. Penyakit ini
terjadi sporadic sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Insidennya 2-3 kasus
per 1000 orang/tahun dan meningkat dengan bertambahnya usia namun jarang
terjadi pada anak-anak. Berdasarkan 13 data Rumah Sakit Pendidikan di
Indonesia pada tahun 2011-2013 terdapat 2.232 penderita herpes zoster, kasus
terbanyak terdapat pada kelompok usia 45-64 tahun sebanyak 37,95% dan
paling banyak terjadi pada perempuan. [1]
Herpes zoster adalah penyakit neurokutan dengan manifestasi erupsi
vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikular
unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom. Herpes zoster merupakan
manifestasi reaktivasi infeksi laten endogen virus varisela zoster di dalam
neuron ganglion sensoris radiks dorsalis, ganglion saraf kranialis atau
ganglion sarafautonomik yang menyebar ke jaringan saraf dan kulit dengan
segmen yang sama, sering muncul beberapa dekade setelah infeksi awal.
Pada saat respons imunitas selular dan titer antibodi spesifik terhadap
virus varisela-zoster menurun (misal oleh karena umur atau penyakit
imunosupresif) sampai tidak lagi efektif mencegah infeksi virus, maka partikel
virus varisela-zoster yang laten tersebut mengalami reaktivasi dan
menimbulkan ruam kulit yang terlokalisata di dalam satu dermatom.
Dermatom yang paling sering terkena dalam toraks (55%), kranial(20%),
lumbar(15%), dan sacral (5%). [2]
Risiko penyakit meningkat dengan adanya keganasan atau dengan
transplantasi sumsum tulang/ginjal. Komplikasi yang dapat terjadi seperti
posherpetic neuralgia jika tidak diberikan penanganan yang adekuat. Penaykit
ini dapat dicegah progresivitasnya dengan diberikan vaksin varisela zoster. [3]
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Histologi Kulit


Kulit menutupi seluruh permukaan tubuh manusia dan merupakan bagian
tubuh utama yang menghubungkan dengan dunia luar. Berat rata-rata kulit
adalah 4 kg dengan luas permukaan 2 m2. Kulit berperan sebagai pembatas,
melindungi tubuh dari lingkungan luar dan mencegah hilangnya zat-zat tubuh
yang penting, terutama air. Kulit terdiri dari tiga lapisan, yaitu epidermis,
dermis, dan hipodermis. Kulit yang paling tebal terdapat pada telapak tangan
dan telapak kaki, yaitu setebal ±1,5 mm dan yang paling tipis terdapat pada
kelopak mata dan postauricular (0,05 mm).[4]
1. Epidermis
Epidermis berisi jaringan nonvaskular dan bergantung pada lapisan
dermis yang mendasari untuk mendapatkan nutrisi dan pembuangan
dengan cara difusi melalui dermoepidermal junction. Epidermis memiliki
beberapa jenis sel, yaitu sel keratinosit sebagai sel induk, melanosit yang
mengandung pigmen melanin yang berfungsi untuk melindungi dari
radiasi sinar ultraviolet (UV), sel langerhans sebagai respon imun, dan sel
merkel sebagai mekanoreseptor. Epidermis memiliki 5 lapisan, antara lain:
[5]
a. Stratum korneum
Lapisan kulit yang paling luar. Terdiri dari sel-sel mati yang berisi
filamen keratin. Sel-sel superfisial terus dilepaskan atau deskuamasi
dan tergantikan oleh sel-sel dari stratum basal yang berada
dibawahnya.
b. Stratum lusidum
Terletak tepat di bawah stratum korneum, merupakan lapisan yang
tipis, jernih, mengandung eleidin. Lapisan ini hanya ada pada kulit
tebal, terletak antara stratum granulosum dan stratum korneum.
c. Stratum granulosum
Lapisan ini terdiri dari beberapa lapis sel gepeng dan granula
keratohialin. Tersusun oleh sel-sel keratinosit yang berbentuk
poligonal, berbutir kasar, berinti mengkerut.
d. Stratum spinosum
Lapisan ini terletak diatas stratum basal, terdiri dari beberapa lapis sel
yang terlihat seperti berduri (karena tonjolan sitoplasma).
Pembentukan filamen keratin pada lapisan ini membentuk
tonofilamen. Tonofilamen mempertahankan kohesi di antara sel-sel
dan menghasilkan resistensi terhadap abrasi epidermis; tonofilamen
berakhir di berbagai desmosom. Sel langerhans terutama di temukan di
lapisan ini.
e. Stratum germinativum (basal)
Lapisan dasar epidermis. Lapisan ini terdiri dari satu lapisan sel yang
terletak pada membrana basalis. Lapisan ini sebagai induk dari
epidermis, sel-selnya bermitosis, bergerak menuju lapisan superfisial,
dan mengalami keratinisasi. Di dalam stratum germinativum juga
terdapat sel-sel melanosit, yaitu sel-sel yang tidak mengalami
keratinisasi dan fungsinya hanya membentuk pigmen melanin dan
memberikannya kepada sel-sel keratinosit melalui dendrit-dendritnya.
2. Dermis
Dermis adalah jaringan ikat tidak teratur yang berada di bawah
epidermis. Lapisan dermis mengandung beberapa macam sel. Sel yang
paling utama adalah sel fibroblas. Fungsi sel fibroblas adalah sintesis
kolagen, retikulin, elastin, fibronektin, glikosaminoglikans, dan
kolagenase. Selain itu, terdapat beberapa sel-sel lain yang jumlahnya lebih
sedikit, yaitu mononuklear, limfosit, sel Langerhans dan sel dermal
dendritik, sel mast, dan sel merkel.[4] Di dalam dermis terdapat adneksa-
adneksa kulit seperti folikel rambut, papila rambut, kelenjar keringat,
saluran keringat, kelenjar sebasea, m. erector vili, ujung pembuluh darah
dan ujung saraf, juga sebagian serabut lemak yang terdapat pada lapisan
lemak bawah kulit.[5]
3. Hipodermis atau subkutis
Hipodermis atau lapisan subkutis (tela subcutanea) tersusun atas
jaringan ikat dan jaringan adiposa. Hipodermis ini terdiri dari sel-sel
lemak, ujung saraf tepi, pembuluh darah dan pembuluh getah bening,
kemudian dari beberapa kandungan yang terdapat pada lapisan ini
sehingga lapisan hipodermis ini memiliki fungsi sebagai penahan terhadap
benturan ke organ tubuh bagian dalam, memberi bentuk pada tubuh,
mempertahankan suhu tubuh dan sebagai tempat penyimpan cadangan
makanan.[5]

Gambar 1. Anatomi dan Histologi Kulit


2.2 Definisi
Herpes zoster (HZ) adalah penyakit neurokutaneus yang disebabkan oleh
reaktivasi dan multipikasi virus Varicella Zoster pada ganglion yang terinfeksi
secara laten di akar dorsal serabut sensorik maupun ganglion saraf kranial.
Karakteristik HZ berupa vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan yang
terasa nyeri pada daerah persarafan ganglion yang bersifat unilateral dan
dermatomal.[6,7] Herpes zoster menjadi penyakit yang umum terjadi dan
berpotensi menyebabkan komplikasi serius yang memengaruhi kualitas hidup.
[8]
2.3 Epidemiologi
Penyakit herpes zoster terjadi sporadis sepanjang tahun tanpa mengenal
musim. lnsidensnya 2-3 kasus per-1000 orang/tahun. lnsiden dan keparahan
penyakitnya meningkat dengan bertambahnya usia. Lebih dari setengah
jumlah keseluruhan kasus dilaporkan terjadi pada usia lebih dari 60 tahun dan
komplikasi terjadi hampir 50% di usia tua. Jarang dijumpai pada usia dini
(anak dan dewasa muda); bila terjadi, kemungkinan dihubungkan dengan
varisela maternal saat kehamilan. Risiko penyakit meningkat dengan adanya
keganasan, atau dengan transplantasi sumsum tulang/ginjal atau infeksi HIV.
Tidak terdapat predileksi gender. Penyakit ini bersifat menular namun daya
tularnya kecil bila dibandingkan dengan varisela.[3] Jumlah insidensi dan
prevalensi infeksi herpes zoster di Indonesia masih belum diketahui secara
pasti. Pada tahun 2011-2013, terdapat 2.232 pasien herpes zoster pada 13
Rumah Sakit pendidikan di Indonesia, dengan usia terbanyak antara 45 – 64
tahun (37,95%). Dilaporkan bahwa wanita cenderung memiliki insidensi yang
lebih tinggi. Total kasus post herpetik neuralgia (PHN) adalah 593 kasus
(26,5%) dengan usia terbanyak adalah 45 – 64 tahun (42%).[9]

2.4 Etiologi
Varicella zoster virus (VZV) adalah nama lain dari human herpes virus 3
(HHV-3), yakni jenis virus herpes yang menjadi penyebab dari 2 jenis
penyakit yaitu cacar air (varicella) dan herpes zoster/HZ (shingles). Varicella
zoster virus merupakan anggota keluarga herpesviridae, seperti virus herpes
simplex virus (HSV) tipe 1 dan 2, cytomegalovirus (CMV), Epstein-barr virus
(EBV), human herpesvirus 6 (HHV-6), human herpesvirus 7 (HHV-7), dan
human herpesvirus 8 (HHV-8).[10]
Varicella zoster virus merupakan jenis virus deoxyribonucleic acid
(DNA), alphaherpesvirus yang memiliki besar genom 125.000 bp,
berselubung, dengan diameter 80-120 nm. Virus ini memberi kode kurang
lebih 70-80 protein, salah satunya enzim thymidine kinase yang rentan
terhadap obat antivirus karena memfosforilasi aciclovir, sehingga
menghambat replikasi virus DNA. Selubung protein virus diduga berperan
dalam interaksi dengan molekul permukaan sel seperti reseptor mannose-6-
phospate atau glikoprotein myelin. Glikoprotein VZV B (gB), gH dan L
berfungsi sebagai kompleks inti dan glikoprotein selubung lain berfungsi
sebagai protein tambahan. Tegument protein termasuk immediate-early
protein 62 (IE62) sebagai protein utama berfungsi sebagai faktor transkripsi
atau disebut transaktivator virus, keluar dan akan dipindahkan ke inti sebelum
terjadi sintesis protein.[10]

2.5 Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis penyakit herpes zoster sebenarnya sudah dapat ditegakkan


melalui gambaran klinis. Namun, pada kasus-kasus yang tidak jelas, dapat
dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang seperti deteksi antigen herpres
atau nucleic acid varicella zoster virus, isolasi virus dari sediaan hapus lesi,
atau pemeriksaan antibodi igM terhadap herpes zoster [11].
1. tzanck smear
Tzanc smear adalah Tindakan yang dilakukan dengan menggores
dasar dari vesikel. Kemudian dilakukan pewarnaan dengan hematoksilin
eosin, giemsa, atau sejenisnya. Gambaran histopatologi menunjukkan
akantosis, “ballooning degeneration”, badan inklusi eosinofilik, dan
multinucleated giant cell. Extravasasi dari cairan yang edema akan
mengelevasi stratum korneum yang tidak terinfeksi sehingga membentuk
vesikel-vesikel halus berisi sel sel epitel normal yang nekrosis dan badan
inklusi eosinofilik.
Multinucleated giant cell terbentuk dari penggabungan dari sel sel
epitel yang terinfeksi dengan sel sel sekitarnya. Pada jaringan dermis
Nampak edema dan infiltrasi sel mononuclear. Gambaran multinucleated
giant cell dan sel epitel yang berisi badan inklusi eosinofilik dapat
membantu membedakan infeksi varicella zoster dengan erupsi vesicular
lain, namun gambaran ini juga terdapat pada infeksi virus herpes simplex
[11].
Gambar 2. (C) multinucleated giant cel; (D) multinucleated giant cell berisi badan
inklusi eosinofilik [11].

2. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Tes diagnostik terbaik untuk mendeteksi virus varicella zoster


adalah dengan menggunakan metode PCR. Hal ini dikarenakan tes ini
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sangat tinggi, tersedia di
banyak layanan kesehatan, serta hasil pemeriksaan relatif cepat ( 1 hari
atau kurang dari 1 hari). Specimen yang paling baik untuk dilakukan
analisis ialah cairan vesikel. Namun dapat juga digunakan specimen lain
seperti skuama, krusta, atau biopsi jaringan. PCR dapat membedakan
virus varicella zoster dengan virus herpres simplex [11].

3. Kultur Virus
Kultur virus bersifat kurang sensitif dan membutuhkan waktu yang
cukup lama yaitu 1 minggu atau lebih. Tapi metode ini dapat menentukan
sensitivitas dari antivirus yang digunakan. Virus varicella zoster
cenderung bersifat tidak stabil, dan hanya sekitar 30% hingga 60%
specimen yang telah terkonfirmasi terinfeksi virus varicella memberikan
hasil positif pada kultur. Oleh karena itu, disarankan agar spesimen segera
di inokulasi setelah pengambilan sampel. Selain itu, pengambilan
specimen dianjurkan dilakukan pada vesikel yang baru terbentuk. Karena
kemungkinan untuk mendapatkan virus varicella zoster sangat kecil pada
lesi yang telah menjadi pustul. Virus varicella zoster hampir tidak pernah
ditemukan pada krusta [11].
4. Enzyme Immunoassay
Pemeriksaan ini membutuhkan waktu yang lebih cepat dari PCR,
tetapi sensitifitas dan spesifisitasnya masih lebih kurang dari PCR. Tes ini
lebih berguna untuk mengidentifikasi individu yang rentan terkena herpes
zoster, yang dapat menjadi kandidat untuk isolasi virus ataupun pemberian
profilaksis. Teknik yang paling umum digunakan adalan solid-phase-
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Namun, metode ini
memiliki sensitivitas rendah [11].
2.6 Diagnosis Banding
1. Herpes Simplex Zosteriformis
Adalah kelainan kulit yang disebabkan oleh infeksi akut herpes
simpleks virus (HSV) tipe I atau II. Setelah infeksi primer, HSV dapat
berdiam diri secara laten di ganglion sensoris nervus spinalis dan
kemudian dapat aktif Kembali secara intermitten Ketika muncul faktor
predisposisi. Reaktivasi dari virus ini dapat berulang dan muncul pada area
dematom, sehingga menyerupai infeksi herpes zoster. Untuk
membedakannya, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti kultur
virus, dekteksi antigen, serologi, atau pemeriksaan molecular seperti PCR
[12].
2. Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan
atau substansi yang menempel pada kulit. Terdapat dua tipe dermatitis
kontak yakni dermatitis kontak alergi dan dermatitis kontak iritan.
Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi peradangan kulit non-
imunologik yaitu kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses
pengenalan/sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada
seseorang yang mengalami sensitisasi terhadap suatu bahan
penyebab/allergen. Oleh karena itu, perlu ditanyakan riwayat terpajan
bahan-bahan yang bersifat iritan atau allergen kepada pasien sebelumnya
[13].
3. Dermatitis Venenata
Merupakan tipe dermatitis kontak iritan tipe akut lambat yang
biasanya disebabkan oleh gigitan, liur, atau bulu serangga. Manifestasi
klnik muncul dalam 8-24 jam setelah kontak dengan serangga [14].
2.7 Tatalaksana
Prinsip dasar pengobatan herpres zoster adalah menghilangkan nyeri
secepat mungkin dengan cara membatasi replikasi virus, sehingga mengurangi
kerusakan saraf lebih lanjut [13].

1. Farmakologi
a. Sistemik
- Obat Antivirus
Obat antivirus terbukti menurunkan durasi lesi herpres zoster dan
derajat keparahan nyeri herpes zoster akut. Terdapat tifa antivirus oral
yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi
herpes zoster yakni : famsiklovir, valasiklovir hidroklorida, dan
asiklovir. Bioavabilitas asiklovir hanya 15-20 % lebih rendah
dibandingkan valasiklovir (biovabilitas 65%), dan famsiklovir
(bioavabilitas 77%).
Antivirus famsiklovir 3X 500 mg atau valasiklovir 3X1000 mg
atau asiklovir 5X 800 mg diberikan sebelum 72 jam awitan lesi selama
7 hari [13].
- Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid oral sering dilakukan, walaupun berbagai
penelitian menunjukkan hasil beragam. Prednison yang digunakan
bersama asiklovir dapat mengurangi nyeri akut. Hal ini disebabkan
penurunan derajat neuritis akibat infeksi virus dan kemungkinan juga
menurunkan derajat kerusakan pada saraf yang terlibat. Akan tetapi
pada penelitian lain, penambahan kortikosteroid hanya memberikan
sedikit manfaat dalam memperbaiki nyeri dan tidak bermanfaat untuk
mencegah NPH, walaupun memberikan perbaikan kualitas hidup.
Mengingat risiko komplikasi terapi kortikosteroid lebih berat daripada
keuntungannya, Departemen llmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FKUl/RSCM tidak menganjurkan pemberian kortikosteroid pada
herpes zoster [13].
- Analgetic
Pasien dengan nyeri akut ringan menunjukkan respons
baikterhadapAINS (asetosal, piroksikam, ibuprofen, diklofenak), atau
analgetik non opioid (parasetamol, tramadol, asam mefenamat).
Kadang-kadang dibutuhkan opioid (kodein, morfin atau oksikodon)
untuk pasien dengan nyeri kronik hebat. Pernah dicoba pemakaian
kombinasi parasetamol dengan kodein 30-60 mg [13].
- Antidepresan dan Antikonvulsan
Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan bahwa kombinasi
terapi 123 asiklovir dengan antidepresan trisiklik atau gabapentin sejak
awal mengurangi prevalensi NPH [13].
b. Topikal
- NSAID
Berbagai NSAID topikal seperti bubuk aspirin dalam kloroform
atau etil eter, krim indometasin dan diklofenak banyak dipakai.
Balakrishnan S dkk. (2001 ), melaporkan asam asetil salisilat topikal
dalam pelembab lebih efektif dibandingkan aspirin oral dalam
memperbaiki nyeri akut. Aspirin dalam etil eter atau kloroform
dilaporkan aman dan bermanfaat menghilangkan nyeri untuk beberapa
jam. Krim indometasin sama efektifnya dengan aspirin, dan
aplikasinya lebih nyaman. Penggunaannya pada area luas dapat
menyebabkan gangguan gastrointestinal akibat absorpsi per kutan.
Penelitian lain melaporkan bahwa krim indometasin dan diklofenak
tidak lebih baik dari placebo [13].
- Anestetik Lokal
Pemberian anestetik lokal pada berbagai lokasi sepanjang jaras
saraf yang terlibat dalam herpes zoster telah banyak dilakukan untuk
menghilangkan nyeri. Pendekatan seperti infiltrasi lokal subkutan, blok
saraf perifer, ruang paravertebral atau epidural, dan blok simpatis
untuk nyeri yang berkepanjangan sering digunakan. Akan tetapi, dalam
studi prospektif dengan kontrol berskala besar, efikasi blok saraf
terhadap pencegahan NPH belum terbukti dan berpotensi
menimbulkan risiko [13].
- Kortikosteroid
Krim/losio yang mengandung kortikosteroid tidak digunakan pada
lesi 124 akut herpes zoster dan juga tidak dapat mengurangi risiko
terjadinya NPH [13].

2. Non-Farmakologi
 Hindari menggaruk area lesi : Pasien diedukasi untuk menghindari
garukan pada lesi.garukan pada area lesi dapat menyebabkan vesikel
pecah, selain itu dapat terjadi infeksi sekunder akibat ekskoriasi yang
timbul setelah dilakukan garukan pada lesi.
 Kompres : Kompres terbuka dengan solusio Burowi dan solusio
Calamin (CaladrylD) dapat digunakan pada lesi akut untuk
mengurangi nyeri dan pruritus. Kompres dengan Solusio Burowi
(alumunium asetat 5%) dilakukan 4-6 kali/hari selama 30-60 menit.
Kompres dingin atau cold pack juga sering digunakan [13].
 Menjaga area lesi tetap bersih dan kering: Hal ini bertujuan agar
mengurangi risiko infeksi sekunder akibat bakteri [15].
 Mengenakan pakaian yang longgar : Pakaian yang longgar dapat
mengurangi friksi antara kulit yang lesi dengan pakaian, sehingga
kemungkinan terjadinya trauma karena gesekan lebih rendah. Selain
itu, pakaian longgar juga dapat meningkatkan kenyamanan pasien [15].

2.8 Pencegahan
1. Vaksinasi
Pemberian vaksin herpes zoster virus bertujuan untuk menghindari
reaktivasi dan penyebaran VZV laten dengan cara merangsang
pembentukan system kekebalan tubuh terhadap HZV terutama pada
populasi umum terutama orangtua dan individu yang berisiko tinggi.
Padaa tahun 2006, Food and Drug Administtration Amerika Serikat dan
CDC merekomendasikan vaksin hidup dari virus herpes zoster yang
dilemahkan dengan potensi yang lebih tinggi untk mencegah herpes zoster
pada individu yang tidak hamil, populasi berusia lebih dari 60 tahun dan
populasi yang pernah mengalami herpes zoster sebelumnya. Pemberiannya
secara intramuscular dan dapat melindungi hingga 3 tahun.
Namun, vaksin hidup ini memiliki kontraindikasi pada mereka yang
mengalami imunokopromise, pada Wanita hamil, anak-anak, individu
yang menderita HIV dengan jumlah limfosit CD4 kurang dari 200 dan
pasien yang menjalani pengobatan kanker. Namun pada tahun 2018, CDC
merekomendasikan pemberian vaksin HZV rekombinan dalam 2 dosis.
Syarat pemberiannya yaitu [16]:
- Pemberian 2 dosis vaksin zoster rekombinan (RZV) dengan jarak
antara dosis 1 dan 2 selama 2-6 bulan. Dapat diberikan pada indivisu
yang berusia lebih dari 50 tahun meskipun pernah terinfeksi HZ
sebelumnya atau telah mendapatkan vaksin zoster hidup.
- 2 dosis rekombinan zoster vaksin (RZV) dengan jarak 2-6 bulan
setelah mendapatkan vaksin zoster hidup (ZVL)

2. Varicella Zoster Immunoglobulin (VZIG)


Centers for Disease Control and Prevention merekomendasikan
imunisasi pasif menggunakan VZIG untuk mencegah adan mengurangi
gejalan yang ditimbulkan dari infeksi virus varisela zoster. VZIG ini
diberikan secara intramuscular dengan dosis 125U/10kg (max 625U;
Minimum 125U) atau 0,5-1 mg/kgBB. Varisela zoster immunoglobulin ini
memberikan efek yang baik jika diberikan sesegera mungkin setelah
terjadi paparan, minimal 96 jam setelah paparan. Perlindungan VZIG
berlangsung selama sekitar 3 minggu. [17]

2.9 Komplikasi
1. Postherpetic neuralgia
Komplikasi yang umum terjadi dari penyakit herpes zoster (HZ)
adalah postherpetic neuralgia (PHN), yang merupakan sejenis nyeri
neuropati yang menetap selama 90 hari atau lebih setelah ruam kemerahan
sembuh. Nyeri dapat menetap dalam waktu beberapa bulan atau tahun,
serta berdampak pada kualitas hidup penderita karena mengganggu tidur
dan aktivitas sehari-hari, menyebabkan anoreksia, kehilangan berat badan,
lemas, mengganggu fungsi sosial, produktivitas, dan menyebabkan
dependensi.
Terdapat dua bentuk karakteristik nyeri pada PHN yaitu nyeri terus
menerus dengan penurunan sensasi raba, atau bersifat hilang timbul
dengan rasa gatal disertai parestesia. Nyeri tersebut menjadi keluhan yang
paling mengganggu dan terjadi 90% pada orang dengan PHN. Faktor
risiko terjadinya PHN antara lain usia di atas 40 tahun, keparahan nyeri
pada kondisi akut, keparahan lesi kulit kemerahan, dan keparahan gejala
prodromal dengan lokasi paling berisiko yaitu daerah trigeminal.
2. Kelemahan otot
Selain nyeri, HZ juga dapat menyebabkan disabilitas permanen,
seperti komplikasi pada mata, komplikasi neurologis (kelumpuhan saraf
perifer dan kranial, defisit motorik, paresis) yang diikuti rasa nyeri pada
daerah lesi. Herpes zoster yang mengenai regio sakrum dapat
bermanifestasi menjadi retensi urin dan kelainan defekasi. Pada kondisi
herpes sine herpete dapat terjadi Bell’s palsy, sindrom Ramsay Hunt
(bermanifestasi berupa adanya vesikel pada kanalis auditori eksternal,
hilangnya sensasi rasa 2/3 anterior lidah, kelemahan wajah), transverse
myelitis, meningoencephalitis, sindrom yang melibatkan arteri serebral
atau disebut varicella zoster virus vasculopathy dapat menyebabkan
sindrom stroke.
3. Herpes zoster diseminata
Insidensi keparahan HZ meningkat pada kondisi kegagalan
imunitas seperti kondisi keganasan (limfoma) atau saat seseorang
menjalani terapi dengan agen immunosuppressant. Lesi kulit yang terjadi
dapat tersebar, berjumlah lebih dari 20 lesi atau meluas dari dermatom
primer, serta terdapat keterlibatan organ dalam berupa pneumonia,
hepatitis, serta peradangan otak. [10]

2.10 Prognosis
Prognosis herpes zoster sangat bervariasi tergantung dari besarnya faktor
risiko pasien, waktu pengobatan, agresivitas penyakit dan berat ringannya
penyakit. Beberapa studi mengatakan bahwa kebanyakan pasien
imunokompeten dengan herpes zoster yang menerima pengobatan dini
memiliki resolusi lesi dalam waktu empat minggu dan dapat dilakukan rawat
jalan.
Daftar Pustaka
[1] Danardono DH, Niode NJ. Profil Herpes Zoster Di Poliklinik Kulit Dan
Kelamin Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado 2011-2013. J Biomedik
2015;7. https://doi.org/10.35790/jbm.7.3.2015.9486.
[2] Johnson RW, Alvarez-Pasquin M-J, Bijl M, Franco E, Gaillat J, Clara JG,
et al. Herpes zoster epidemiology, management, and disease and economic
burden in Europe: a multidisciplinary perspective. Ther Adv Vaccines
2015;3:109–20. https://doi.org/10.1177/2051013615599151.
[3] Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
7th ed. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016.
[4] Weller RB, Hunter HJA, Mann MW. Clinical Dermatology. 5th ed.
Chichester: John Wiley & Sons Ltd; 2015.
[5] Eroschenko VP. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional. 12th
ed. Jakarta: EGC; 2015.
[6] Levin MJ, Schmader KE, Oxman MN. Varicella and Herpes Zoster. In:
Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ,
et al., editors. Fitzpatrick’s Dermatology, 9e, New York, NY: McGraw-Hill
Education; 2019.
[7] Tricco AC, Zarin W, Cardoso R, Veroniki AA, Khan PA, Nincic V, et al.
Efficacy, effectiveness, and safety of herpes zoster vaccines in adults aged
50 and older: Systematic review and network meta-analysis. BMJ
2018;363. https://doi.org/10.1136/bmj.k4029.
[8] Chen L-K, Arai H, Chen L-Y, Chou M-Y, Djauzi S, Dong B, et al. Looking
back to move forward: a twenty-year audit of herpes zoster in Asia-Pacific.
BMC Infect Dis 2017;17. https://doi.org/10.1186/s12879-017-2198-y.
[9] Pusponegoro EH. Buku Panduan Herpes Zoster di Indonesia. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.
[10] Fitriani F, Kariosentono H, Prasetyorini BE, Oktriana P, Amelinda N. Tata
Laksana Herpes Zoster. Med Rev 2021;34:50–60.
[11] Kang S, Amagai M, Bruckner A. Fitzpatrick’s Dermatology. ninth edit.
New York: Mc Graw Hill Education; 2019.
[12] Koh MA, Pp S, Ryl T. Zosteriform herpes simplex n.d.
[13] Djuanda A, Suriadiredja A, Sudharmono A. Ilmu Penyakit Kulit Dan
Kelamin. Edisi ketu. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016.
[14] DERMATITIS VENENATA | fahri | JURNAL MEDICAL PROFESSION
n.d.
[15] Udayana University Hospital - PDF Free Download n.d.
[16] Patil A, Goldust M, Wollina U. Herpes zoster: A Review of Clinical
Manifestations and Management. Viruses 2022;14:1–13.
https://doi.org/10.3390/v14020192.
[17] Purwoko MIH, Darmawan H. Herpes Zoster: Clinical Manifestation,
Treatment, and Prevention. Herpes Zoster Clin Manifestation, Treat Prev
2020;4:34–44.

Anda mungkin juga menyukai