PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah penyakit langka namun serius karena
adanya reaksi hipersensitivitas yang diperantarai kompleks imun, biasanya
melibatkan kulit dan membran mukosa. Pada perjalanan penyakit biasanya
mengenai mulai dari mulut, hidung, mata, vagina, uretra, pencernaan, dan
mukosa pernapasan bawah. Sindrom Stevens-Johnson merupakan gangguan
sistemik serius dengan potensi morbiditas parah dan bahkan kematian.
Seringkali, Sindrom Stevens-Johnson hanya muncul dengan gejala seperti flu,
diikuti dengan ruam merah atau keunguan yang menyebar dan lecet, akhirnya
menyebabkan lapisan atas kulit mati dan mengelupas.
SSJ merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan dengan ciri
eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang
mempunyai selaput lendir serta mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari SSJ
saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya
SSJ seperti obat-obatan atau infeksi virus. mekanisme terjadinya sindroma pada
SSJ adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang Steven
Johnson Sindrom, mengetahui apa definisi dari Steven Johnson Sindrom, apa
saja klasifikasi pada Steven Johnson Sindrom, bagaimana anatomi fisiologi kulit,
apa etiologi Steven Johnson Sindrom, bagaimana manifestasi klinis pada orang
yang menderita Steven Johnson Sindrom, bagaimana patofisiologi Steven
Johnson Sindrom, apa saja komplikasi dari Steven Johnson Sindrom, apa saja
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada Steven Johnson Sindrom,
bagaimana penatalaksanaan pada Steven Johnson Sindrom, apa saja masalah
yang lazim muncul pada pasien penderita Steven Johnson Sindrom, apa
discharge planning pada penderita Steven Johnson Sindrom dan bagaimana
Asuhan Keperawatan pada pasien penderita Steven Johnson Sindrom.
Kulit mempunyai susunan serabut saraf yang teranyam sangat halus, berfungsi
merasakan sentuhan atau sebagai alat peraba. Kulit merupakan organ yang sangat
luas sebagai pelindung tubuh terhadap bahaya bahan kimia, cahaya matahari,
mikroorganisme dan menjaga keseimbangan tubuh dengan lingkungan. Kulit
merupakan indikator untuk memperoleh kesan umum, dengan melihat perubahan
yang terjadi pada kulit misalnya pucat, kekuning-kuningan, kemerah-merahan.
Lapisan kulit
Kulit dapat dibedakan menjadi dua lapisan utama yaitu kulit ari (epidermis)
dan kulit jangat (dermis/kutis). Kedua lapisan ini berhubungan dengan lapisan
yang ada di bawahnya dengan perantaraan jaringan ikat bawah kulit
a. Epidermis
Kulit ari atau epidermis adalah lapisan paling luar yang terdiri dari lapisan
epitel gepeng unsur utamanya adalah sel-sel tanduk (keratinosit) dan sel
melanosit. Lapisan epidermis tumbuh terus karena lapisan sel induk yang
berada di lapisan bawah bermitosis terus, lapisan paling luar epidermis akan
terkelupas atau gugur. Epidermis tersusun oleh sel-sel epidermis terutama
serat-serat kolagen dan sedikit serat elastis. Kulit ari (epidermis) terdiri dari
beberapa lapis sel. Sel-sel ini berbeda dalam beberapa tingkat pembelahan sel
secara mitosis. Lapisan permukaan dianggap sebagai akhir keaktifan sel
lapisan tersebut, terdiri dari lima lapis yaitu :
1) Stratum korneum : terdiri dari banyak lapisan sel tanduk (keritinasi),
gepeng, kering, dan tidak berinti. Sitoplasma diisi dengan serat keratin,
makin keluar letak sel makin gepeng seperti sisik lalu terkelupas dari
tubuh, yang terkelupas digantikan oleh sel yang lain. Zat tanduk
merupakan keratin lunak yang susunan kimianya berada dalam sel-sel
keratin keras. Lapisan tanduk hampir tidak mengandung air karena adanya
penguapan air, elastisnya kecil dan sangat efektif untuk pencegahan
penguapan air dari lapisan yang lebih dalam.
2) Stratum lusidum : terdiri dari beberapa lapis sel yang sangat gepeng dan
bening. Sulit melihat membran yang membatasi sel-sel itu sehingga
lapisannya secara keseluruhan tampak seperti kesatuan yan bening.
Lapisan ini ditemukan pada daerah tubuh yang berkulit tebal.
3) Stratum granulosum : terdiri dari 2-3 lapis sel poligonal yang agak
gepeng, inti di tengah, dan sitoplasma berisi butiran granula keratohialin
atau gabungan keratin dengan hialin. Lapisan ini menghalangi masuknya
benda asing, kuman, dan bahan kimia ke dalam tubuh.
b. Dermis
Batas dermis (kulit jangat) yang pasti sukar ditentukan karena menyatu
dengan lapisan subkutis (hipodermis). Ketebalannya antara 0,5 – 3 mm.
Beberapa kali lebih tebal dari epidermis dibentuk dari komponen jaringan
pengikat. Derivat (turunan) dermis terdiri dari bulu, kelenjar minyak, kelenjar
lendir, dan kelenjar keringat yang membenam jauh ke dalam dermis.
Lapisan dermis terdiri dari :
Unsur utama sel dermis adalah fibroblas dan makrofag, juga terdapat sel
lemak yang berkelompok. Di samping itu juga sel jaringan ikat bercabang,
berpigmen pada lingkungan epidermis yang banyak mengandung pigmen
(mis. Areola mamae dan sekitar anus).
c. Hipodermis
Lapisan bawah kulit (fasia superfisialis) terdiri dari jaringan pengikat longgar.
Komponennya serat longgar, elastis, dan sel lemak. Pada lapisan adiposa
terdapat susunan lapisan subkutan yang menentukan mobilitas kulit di
atasnya. Bila terdapat lobulus lemak yang merata di hipodermis membentuk
bantalan lemak yang disebut panikulus adiposus. Pada daerah perut, lapisan
ini dapat mencapai ketebalan 3 cm. Pada kelopak mata, penis, dan skrotum
lapisan subkutan tidak mengandun lemak. Bagian superfisial hipodermis
mengandung kelenjar keringat dan folikel rambut.
Dalam lapisan hipodermis terdapat anyaman pembuluh arteri, pembuluh vena,
anyaman saraf yang berjalan sejajar dengan permukaan kulit di bawah dermis.
4. Etiologi
Hampir semua kasus SJS disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat,
terutama antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan
obat antinyeri, termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV,
penyebab SJS yang paling umum adalah nevirapine (hingga 1,5% penggunanya)
dan kotrimoksazol (jarang). Reaksi ini dialami segera setelah mulai obat,
biasanya dalam 2-3 minggu. Walaupun abacavir dapat menyebabkan reaksi
gawat pada kulit, reaksi ini tidak terkait dengan SJS. Eritema multiforme dapat
disebabkan oleh herpes simpleks (Lembaran Informasi (LI) 519), tetapi penyakit
ini jarang menjadi gawat.
Beberapa penyebab Sindrom Stevens Johnson :
1) Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes
simpleks, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus Epstein-
Barr, atau sejenisnya).
2) Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole,
valdecoxib, sitagliptin, penicillin, barbiturat, sulfanomide, fenitoin,
azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, ethosuximide,
carbamazepin).
3) Keganasan (karsinoma dan limfoma).
4) Faktor idiopatik (hingga 50%).
5) Sindrom Stevens Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek
samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung ginseng.
Sindrom Steven Johnson juga mungkin disebabkan oleh karena
penggunaan kokain.
6) Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi
alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena
penggunaan antibiotic dan sulfametoksazole. Pengobatan yang secara
5. Patofisilogi
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan IV.
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen antibodi yang
membentuk mikropresitipasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi
akibat limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang
sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan
IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen
penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang
respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau
karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau
metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut
(struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi,
atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit
dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen
dan reaksi inflamasi yang terjadi.
Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator
yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis
lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas
mediator serta produk inflamasi lainnya.
Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit
yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.
Aktivasi S. komplemen
Melepaskan limfokin/
sitotoksik
Degranulasi sel mast
Penghancuran sel-sel
Akumulasi netrofil
memfagositosis sel rusak
Reaksi peradangan
Kerusakan jaringan
Kerusakan integritas
jaringan
Gangguan gastrointestinal
Resiko infeksi demam, malaise Ansietas
- Ketidakseimbangan
ASUHAN KEPERAWATAN STEVEN JOHNSON SINDROM
nutrisi kurang dari Page 10
kebutuhan tubuh
- Deficit perawatan diri
7. Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit sangat akut dan mendadak dapat disertai gejala
prodormal berupa demam tinggi (30ºC - 40ºC), mulai nyeri kepala, batuk, pilek
dan nyeri tenggorokan yang dapat berlangsung 2 minggu. Gejala-gejala ini
dengan segera akan menjadi berat yang ditandai meningkatnya kecepatan nadi
dan pernafasan, denyut nadi melemah, kelemahan yang hebat serta menurunnya
kesadaran, soporous sampai koma.
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk,
koriza, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat
bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kulit berupa
eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh.
Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna
merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada
membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan
meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran
utama.
Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis,
kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi
kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan
faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid,
merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan.
Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial
pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
Pada sindroma ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
1) Kelainan kulit
Kelainan pada kulit dapat berupa eritema, vesikal, dan bulla. Eritema
berbentuk cincin (pinggir eritema tengahnya relatif hiperpigmentasi) yang
berkembang menjadi urtikari atau lesipapuler berbentuk target dengan
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium : biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila
disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
b. Histopatologi : kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan
ekstravasasi sel darah merah, degenarasi lapisan basalis. Nekrosis sel
epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
c. Imunologi : dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal
superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
10. Penatalaksanaan
a. Kortikosteroid
Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-saving. Pada
sindrom stevens johnson yang ringan cukup diobati dengan prednison
dengan dosis 30 - 40 mg/hari. Pada bentuk yang berat, ditandai dengan
kesadaran yang menurun dan kelainan yang menyeluruh, digunakan
dexametason intravena dengan dosis awal 4 – 6 x 5mg/hari. Setelah
Data Penunjang :
Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel
darah merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal,
spongiosis danedema intrasel di epidermis.
Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun
yangmengandung IgG, IgM, IgA.B.
2. Diagnosis Keperawatan
a. Hipertermia b.d proses penyakit (infeksi).
b. Nyeri akut b.d adanya bula.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi
kurang, gangguan gastrointestinal, disfagia.
d. Defisit perawatan diri b.d nyeri pada jaringan kulit, mukosa dan mata.
e. Kerusakan integritas jaringan b.d bula yang mudah pecah.
f. Defisiensi pengetahuan b.d kurang informasi.
g. Resiko infeksi b.d efek samping terpasangnya infus dan terapis steroid.
h. Ansietas b.d ancaman pada status kesehatan, pola interaksi (kondisi
kerusakan jaringan kulit /muncul kelainan pada kulit).
i. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d kerusakan pada mukosa bibir
dan rongga mulutnya
j. Pola nafas tidak efektif b.d
3. Intervensi Keperawatan
BAB III
PENUTUP
Syndrome Steven Johnson atau biasa disingkat SSJ yaitu syndrom kelainan
pada kulit, selaput lendir orifisium dan mata atau dengan kata lain, reaksi yang
melibatkan kulit & mukosa (selaput lendir) yang berat & mengancam jiwa
ditandai dengan pelepasan epidermis, bintil berisi air & erosi/pengelupasan dari
selaput lendir.
Penyakit ini menyerang selaput lendir, meliputi selaput bening mata, bibir
bidang dalam & rongga mulut, genital & anus. Gejala awalnya berupa demam,
kesukaran diwaktu menelan, pegal-pegal atau nyeri di tubuh, sakit kepala, &
sesak napas, dan ada tanda kemerahan atau ruam merah kepada kulit, munculnya
bintil berisi air (seperti cacar) yang terasa sakit bahkan sampai menyebabkan kulit
mengelupas & melepuh. Penyebabnya yaitu dikarenakan infeksi virus, bakteri dan
jamur, atau alergi obat-obat tertentu, umumnya yakni pemakaian obat antibiotik.
B. Saran
Sindrom Stevens Johnson bisa menyerang semua usia, namun lebih sering
terjadi pada usia dewasa. Begitu pula dengan gender, laki-laki dan perempuan
memiliki risiko yang sama untuk terkena SSJ. Pencegahan yang terbaik adalah
tidak mengonsumsi obat sembarangan. Ada baiknya pasien memberitahukan
kepada dokter jika memiliki alergi terhadap suatu obat-obatan, makanan atau
bahan-bahan kimia tertentu dan penyakit yang pernah klien derita. Karena hal ini
sangat penting bagi dokter agar bisa menentukan dengan tepat jenis obat apa yang
aman bagi pasien.
Demikian makalah yang telah penulis buat. Penulis sadar akan banyaknya
kesalahan dan kekurangan sehingga makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena
itu penulis mangharapkan kritik dan saran agar bisa menjadikan motivasi agar
penulisan makalah kedepan bisa menjadi lebih baik. Akhir kata semoga makalah
ini bisa bermanfaat bagi para pembaca.