Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

FARMAKOTERAPI II
“SINDROM STEVENS JOHNSON”

DI BUAT OLEH :

RAHMAT.M 51623011028
MEI MEGA PUTRI 51823011119

UNIVERSITAS PANCASAKTI
MAKASSAR
2023/2024
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah penyakit langka namun


serius karena adanya reaksi hipersensitivitas yang diperantarai kompleks
imun, biasanya melibatkan kulit dan membran mukosa. Pada perjalanan
penyakit biasanya mengenai mulai dari mulut, hidung, mata, vagina, uretra,
pencernaan, dan mukosa pernapasan bawah. Sindrom Stevens-Johnson
merupakan gangguan sistemik serius dengan potensi morbiditas parah dan
bahkan kematian. Seringkali, Sindrom Stevens-Johnson hanya muncul dengan
gejala seperti flu, diikuti dengan ruam merah atau keunguan yang menyebar
dan lecet, akhirnya menyebabkan lapisan atas kulit mati dan mengelupas.

SSJ merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan dengan ciri


eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang
mempunyai selaput lendir serta mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari SSJ
saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu
timbulnya SSJ seperti obat-obatan atau infeksi virus. mekanisme terjadinya
sindroma pada SSJ adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya.

Stevens Johnson Syndrome (SJS) pertama diketahui pada 1922 oleh dua
dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun
dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya Stevens Johnson
Syndrome dijelaskan pertama kali pada tahun 1922, Stevens Johnson
Syndrome merupakan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang
merupakan ekspresi berat dari eritema multiforme. Stevens Johnson Syndrome
(SJS) (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom mukokutaneaokular,
eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema bulosa
maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel, bula, dapat
disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata
dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.lyell menemukan
nekrolisis epidermal toksis (NET). Berdasarkan gejala klinis, histopatologis,
faktor resiko, penyebab dan patogenesisnya, SSJ memiliki persamaan dengan
NET yang hanya di bedakan berdasarkan tingkat keparahannya dari luas
epirdemlisis yang terkena. Kategori tersebut yaitu di kategorikan SSJ apabila
terdapat epidemolisis yang tsebesar <10%, di kategorikan everlap SSJ-NET
apbila epidemolisis sebesar 10%-30%, dan di kategorikan NET apabila >
30%epidemolisis. Sindrom Stevens-Johnson dan toxic epidermal
necrolysis merupakan suatu entitas yang sama, tetapi sindrom Stevens-
Johnson melibatkan luas permukaan tubuh kurang dari 10 %. Sindrom
Stevens-Johnson muncul secara akut dan dapat mengancam jiwa.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Apa definisi dari Steven Johnson Sindrom ?
2. Apa saja klasifikasi pada Steven Johnson Sindrom ?
3. Apa etiologi Steven Johnson Sindrom ?
4. Bagaimana patofisiologi Steven Johnson Sindrom ?
5. Bagaimana penatalaksanaan pada penyakit Steven Johnson Sindrom ?
6. Mekanisme kerja obat pada penyakit Steven Johnson Sindrom ?

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi dari Steven Johnson Sindrom
2. Mengetahui klasifikasi pada Steven Johnson Sindrom
3. Mengetahui etiologi Steven Johnson Sindrom
4. Mengetahui patofisiologi Steven Johnson Sindrom
5. Mengetahui penatalaksanaan pada penyakit Steven Johnson Sindrom
6. Mengetahui kerja obat pada penyakit Steven Johnson Sindrom
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi

Sindrom Steven Jhonson atau dalam bahasa inggris Stevens-Johnson


sindrom (SJS) adalah suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang
ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta
mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de
Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform
bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Selain nama
sindrom Steven Johnson, ada TEN (Toksic Epidermal Necrolisys) dimana
ketika lesi kulit kurang dari 10% total dari tubuh disebut Sindrom Stevens
Johnsons, 10-30% kerusakan kulit disebut transisi, sementara jika lebih dari
30% disebut TEN

Stevens Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang


mempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah
dari dermis. Sindrom ini diperkirakan oleh karena reaksi hipersensitivitas yang
mempengaruhi kulit dan membrane mukosa. Walaupun pada kebanyakan
kasus bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui adalah dari
pengobatan, infeksi dan terkadang keganasan.

Sindrom Stevens- Johnsons merupakan sindrom yang mengenai kulit,


selaput lendir diorifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari
ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura.

Sindrom Steven Johnson Adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput


lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum berfariasi dari ringan
sampai berat kelainan pada kulit berupa eritema vesikel / bula, dapat disertai
purpura.

B. Klasifikasi

Terdapat 3 derajat klasifikasi Sindrom Stevens Johnsons :

1) Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari


10%.
2) Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%.
3) Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

C. Anatomi Fisiologi Kulit

Kulit mempunyai susunan serabut saraf yang teranyam sangat halus,


berfungsi merasakan sentuhan atau sebagai alat peraba. Kulit merupakan
organ yang sangat luas sebagai pelindung tubuh terhadap bahaya bahan kimia,
cahaya matahari, mikroorganisme dan menjaga keseimbangan tubuh dengan
lingkungan. Kulit merupakan indikator untuk memperoleh kesan umum,
dengan melihat perubahan yang terjadi pada kulit misalnya pucat, kekuning-
kuningan, kemerah-merahan.

Kulit merupakan organ hidup yang mempunyai ketebalan yang sangat


bervariasi. Bagian yang sangat tipis terdapat di sekitar mata dan yang paling
tebal pada telapak kaki dan telapak tangan yang mempunyai ciri khas
(dermatoglipic pattern) yang berbeda pada setiap orang yaitu berupa garis
lengkung dan berbelok-belok, hal ini berguna untuk mengidentifikasi
seseorang.

Dua sel yang ditemukan dalam epitel kulit :

1) Sel utama (terang), merupakan sel serosa yang menempati bagian


tengah sel. Sitoplasmanya mengandung bintik lemak dan granula
pigmen. Sel ini mengeluarkan getah encer mengandung bahan pelarut.
2) Sel-sel musigen (gelap), bertebaran di antara sel-sel serosa yang
mempunyai retikulum endoplasma granular dan granula sekretori
basofil, manghasilkan glikoprotein mukoid. Kontraksi sel ini membantu
pengosongan getah kelenjar dan berfungsi sebagai bangun penyangga
menahan perubahan tekanan osmotik yang memungkinkan bahaya pada
keutuhan susunan kanalikuli intersel.

Lapisan kulit

Kulit dapat dibedakan menjadi dua lapisan utama yaitu kulit ari
(epidermis) dan kulit jangat (dermis/kutis). Kedua lapisan ini berhubungan
dengan lapisan yang ada di bawahnya dengan perantaraan jaringan ikat bawah
kulit (hipodrmis/subkutis). Dermis atau kulit mempunyai alat tambahan atau
pelengkap kulit yang terdiri dari rambut dan kuku.
a. Edpidermis
Kulit ari atau epidermis adalah lapisan paling luar yang terdiri dari lapisan
epitel gepeng unsur utamanya adalah sel-sel tanduk (keratinosit) dan sel
melanosit. Lapisan epidermis tumbuh terus karena lapisan sel induk yang
berada di lapisan bawah bermitosis terus, lapisan paling luar epidermis
akan terkelupas atau gugur. Epidermis tersusun oleh sel-sel epidermis
terutama serat-serat kolagen dan sedikit serat elastis. Kulit ari (epidermis)
terdiri dari beberapa lapis sel. Sel-sel ini berbeda dalam beberapa tingkat
pembelahan sel secara mitosis. Lapisan permukaan dianggap sebagai akhir
keaktifan sel lapisan tersebut, terdiri dari lima lapis yaitu :
1) Stratum korneum : terdiri dari banyak lapisan sel tanduk (keritinasi),
gepeng, kering, dan tidak berinti. Sitoplasma diisi dengan serat keratin,
makin keluar letak sel makin gepeng seperti sisik lalu terkelupas dari
tubuh, yang terkelupas digantikan oleh sel yang lain. Zat tanduk
merupakan keratin lunak yang susunan kimianya berada dalam sel-sel
keratin keras. Lapisan tanduk hampir tidak mengandung air karena
adanya penguapan air, elastisnya kecil dan sangat efektif untuk
pencegahan penguapan air dari lapisan yang lebih dalam.
2) Stratum lusidum : terdiri dari beberapa lapis sel yang sangat gepeng
dan bening. Sulit melihat membran yang membatasi sel-sel itu
sehingga lapisannya secara keseluruhan tampak seperti kesatuan yan
bening. Lapisan ini ditemukan pada daerah tubuh yang berkulit tebal.
3) Stratum granulosum : terdiri dari 2-3 lapis sel poligonal yang agak
gepeng, inti di tengah, dan sitoplasma berisi butiran granula
keratohialin atau gabungan keratin dengan hialin. Lapisan ini
menghalangi masuknya benda asing, kuman, dan bahan kimia ke
dalam tubuh.
4) Stratum spinosum : terdiri dari banyak lapisan sel berbentuk kubus dan
poligonal, inti terdapat di tengah dan sitoplasmanya berisi berkas-
berkas serat yang terpaut pada desmosom (jembatan sel) seluruh sel
terikat rapat lewat serat-serat itu sehingga secara keseluruhan lapisan
sel-selnya berduri. Lapisan ini untuk menahan gesekan dan tekanan
dari luar, sehingga harus tebal dan terdapat di daerah tubuh yang
banyak bersentuhan atau menahan beban dan tekanan seperti tumit dan
pangkal telapak kaki.
5) Stratum malfighi : unsur-unsur lapis taju yang mempunyai susunan
kimia yang khas, inti bagian basal lapis taju mengandung kolesterol
dan asam-asam amino. Stratum malfighi lapisan terdalam dari
epidermis berbatasan dengan dermis di bawah, terdiri dari selapis sel
berbentuk kubus (batang).

Gabungan stratum malfighi dan stratum spinosum disebut startum


germinatifum. Gabungan ini terletak bergelombang karena lapisan dermis
di bawahnya membentuk tonjolan yang disebut papila. Batas germinatifum
dengan dermis di bawahnya berupa lapisan tipis jaringan pengikat yang
disebut lamina basalis. Pada stratum malfighi, di antara sel epidermis
terdapat melanosit yaitu sel yang berisi pigmen melanin yang berwarna
cokelat dan sedikit kuning. Pada orang berkulit hitam, melanosit
menerobos sampai ke dermis, melanosit ini mempunyai tonjolan banyak,
panjang, dan halus menyelusup di antara sel-sel epidermis stratum
germinatifum.

b. Dermis
Batas dermis (kulit jangat) yang pasti sukar ditentukan karena menyatu
dengan lapisan subkutis (hipodermis). Ketebalannya antara 0,5 – 3 mm.
Beberapa kali lebih tebal dari epidermis dibentuk dari komponen jaringan
pengikat. Derivat (turunan) dermis terdiri dari bulu, kelenjar minyak,
kelenjar lendir, dan kelenjar keringat yang membenam jauh ke dalam
dermis.
Lapisan dermis terdiri dari :
1) Lapisan papila, mengandung lekuk-lekuk papila sehingga stratum
malfighi juga ikut berlekuk. Lapisan ini mengandung lapisan pengikat
pengikat longgar membentuk lapisan bunga karang disebut lapisan
stratum spongeosum. Lapisan papila terdiri dari serat kolagen halus,
alastin, dan retikulin yang tersusun membentuk jaring halus terdapat di
bawah epidermis. Lapisan ini memegang peranan penting dalam
peremajaan dan penggandaan unsur-unsur kulit.
2) Lapisan retikulosa, mengandung jaringan pengikat rapat dan serat
kolagen. Sebagian besar lapisan ini tersusun bergelombang, sedikit
serat retikulin, dan banyak serat elastin. Sesuai dengan arah jalan serat-
serat tersebut terbentuk garis ketegangan kulit. Bahan dasar dermis
merupakan bahan matrik amorf yang membenam pada serat kolagen,
elastin, dan turunan kulit.

Unsur utama sel dermis adalah fibroblas dan makrofag, juga terdapat sel
lemak yang berkelompok. Di samping itu juga sel jaringan ikat bercabang,
berpigmen pada lingkungan epidermis yang banyak mengandung pigmen
(mis. Areola mamae dan sekitar anus).

c. Hipodermis
Lapisan bawah kulit (fasia superfisialis) terdiri dari jaringan pengikat
longgar. Komponennya serat longgar, elastis, dan sel lemak. Pada lapisan
adiposa terdapat susunan lapisan subkutan yang menentukan mobilitas
kulit di atasnya. Bila terdapat lobulus lemak yang merata di hipodermis
membentuk bantalan lemak yang disebut panikulus adiposus. Pada daerah
perut, lapisan ini dapat mencapai ketebalan 3 cm. Pada kelopak mata,
penis, dan skrotum lapisan subkutan tidak mengandun lemak. Bagian
superfisial hipodermis mengandung kelenjar keringat dan folikel rambut.
Dalam lapisan hipodermis terdapat anyaman pembuluh arteri, pembuluh
vena, anyaman saraf yang berjalan sejajar dengan permukaan kulit di
bawah dermis. Lapisan ini mempunyai ketebalan bervariasi dan mengikat
kulit secara longgar terhadap jaringan di bawahnya.
D. Etiologi

Hampir semua kasus SJS disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat,
terutama antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin)
dan obat antinyeri, termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait
HIV, penyebab SJS yang paling umum adalah nevirapine (hingga 1,5%
penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang). Reaksi ini dialami segera setelah
mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu. Walaupun abacavir dapat
menyebabkan reaksi gawat pada kulit, reaksi ini tidak terkait dengan SJS.
Eritema multiforme dapat disebabkan oleh herpes simpleks (Lembaran
Informasi (LI) 519), tetapi penyakit ini jarang menjadi gawat.

Beberapa penyebab Sindrom Stevens Johnson :

1) Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes


simpleks, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus Epstein-
Barr, atau sejenisnya).
2) Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole,
valdecoxib, sitagliptin, penicillin, barbiturat, sulfanomide, fenitoin,
azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, ethosuximide,
carbamazepin).
3) Keganasan (karsinoma dan limfoma).
4) Faktor idiopatik (hingga 50%).
5) Sindrom Stevens Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai
efek samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung
ginseng. Sindrom Steven Johnson juga mungkin disebabkan oleh
karena penggunaan kokain.
6) Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau
reaksi alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya
karena penggunaan antibiotic dan sulfametoksazole. Pengobatan yang
secara turun menurun diketahui menyebabkan SJS, eritem multiformis,
sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya
sulfanomide (antibiotik), penisilin (antibiotic), berbiturate (sedative),
lamotrigin (antikonvulsan), fenitoin-dilantin (antikonvulsan).
Kombinasi lamotrigin dengan asam valproat meningkatkan resiko dari
terjadinya SJS.

E. Manifestasi Klinis

Perjalanan penyakit sangat akut dan mendadak dapat disertai gejala


prodormal berupa demam tinggi (30ºC - 40ºC), mulai nyeri kepala, batuk,
pilek dan nyeri tenggorokan yang dapat berlangsung 2 minggu. Gejala-gejala
ini dengan segera akan menjadi berat yang ditandai meningkatnya kecepatan
nadi dan pernafasan, denyut nadi melemah, kelemahan yang hebat serta
menurunnya kesadaran, soporous sampai koma.

Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk,
koriza, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat
bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kulit berupa
eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh.
Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna
merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada
membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal,
dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan
gambaran utama.

Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis,


kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan
perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler
merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial
pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang
menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya
ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31
tahun.

Pada sindroma ini terlihat adanya trias kelainan berupa :

1) Kelainan kulit
Kelainan pada kulit dapat berupa eritema, vesikal, dan bulla. Eritema
berbentuk cincin (pinggir eritema tengahnya relatif hiperpigmentasi)
yang berkembang menjadi urtikari atau lesipapuler berbentuk target
dengan pusat ungu atau lesi sejenis dengan vesikel kecil. Vesikel kecil
dan bulla kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas.
Disamping itu dapat juga terjadi erupsi hemorrhagis berupa ptechiae
atau purpura. Bila disertai purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk.
Pada keadaan yang berat kelainannya menjadi Generalisata.
2) Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering ialah pada mukosa
mulut/bibir (100%), kemudian disusul dengan kelainan di lubang alat
genetalia (50%), sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-
masing 8% - 4%). Kelainan yang terjadi berupa stomatitis dengan
vesikel pada bibir, lidah, mukosa mulut bagian buccal stomatitis
merupakan gejala yang dini dan menyolok. Stomatitis ini kemudian
menjadi lebih berat dengan pecahnya vesikel dan bulla sehingga
terjadi erosi, excoriasi, pendarahan, ulcerasi dan berbentuk krusta
kehitaman. Juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan
yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Adanya
stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar menelan. Kelainan di
mukosa dapat juga terjadi di faring, traktus respiratorius bagian atas
dan esophagus. Terbentuknya pseudomembran di faring dapat
memberikan keluhan sukar bernafas dan penderita tidak dapat makan
dan minum.
3) Kelainan mata
Kelainan pada mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang
sering terjadi ialah conjunctivitis kataralis. Selain itu dapat terjadi
conjunctivities purulen, pendarahan, simblefaron, ulcus kornea,
iritis/iridosiklitis yang pada akhirnya dapat terjadi kebutaan sehingga
dikenal trias yaitu stomatitis, conjunctivities, balantis uretritis.

F. Patofisilogi

Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan
IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen antibodi yang
membentuk mikropresitipasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi
akibat limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang
sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.

Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan
IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.
Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus,
partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas
faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan
terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun
beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan
kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang
terjadi.Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta
mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai
kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik
akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya.Adanya reaksi imun
sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya
menyebabkan kerusakan epidermis

Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respon imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.
Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus,
partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas
faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan
terbebas akibat infeksi, inflamasi atau proses metabolik).Circulating immune
complex (CIM) dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta
menimbulkan kerusaan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi
inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas
sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat
sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala
sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya
reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang
akhirnya menyebabkan kerusakan epidermisKerusakan epidermis membawa
beberapa implikasi, yaitu kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan terjadinya
kehilangan cairan tubuh, kegagalan termoregulasi, dan meningkatkan risiko
infeksi.

Obat-obatan, infeksi virus, Kelainan hipersensitifitas


keganasan

Hipersensitifitas tipe IV Hipersensitifitas tipe III

Limfosit T tersintesisasi Antigen antibody terbentuk


terperangkap dalam jaringan
kapiler
Pengaktifan sel T

Melepaskan limfokin/ Aktivasi S. komplemen


sitotoksik
Degranulasi sel mast
Penghancuran sel-sel
Akumulasi netrofil
memfagositosis sel rusak
Reaksi peradangan

Melepas sel yang rusak


Nyeri Hipertermi

Kerusakan jaringan

Triase gangguan pada kulit,


mukosa dan mata

Kerusakan integritas jaringan

Respon lokal : eritema, vesikel Respon inflamasi sistemik Respon psikologis


dan bula
Respon inflamasi sistemik Kondisi kerusakan jaringan
Port de entree kulit
Gangguan gastrointestinal
Resiko infeksi demam, malaise Ansietas

- Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh
- Deficit perawatan diri
G. Komplikasi Steven Johnson Sindrom

Sindrom Steven Johnsons sering sering menimbulkan komplikasi, antara


lain :

 Kehilangan cairan dan darah.


 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, shock.
 Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis,
kebutaan.
 Gastroenterologi – Esophageal strictures.
 Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring,
stenosis vagina.
 Pulmonari – pneumonia, bronchopneumonia.
 Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen,
infeksi kulit sekunder.
 Infeksi sitemik, sepsis

H. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium : biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila
disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2) Histopatologi : kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan
ekstravasasi sel darah merah, degenarasi lapisan basalis. Nekrosis sel
epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
3) Imunologi : dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal
superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM,
IgA.

I. Penatalaksanaan penyakit sindrom steven Johnson


A. Penatalaksanaan Umum
1) Penghentian Obat Penyebab
Diagnosis dini dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari
segala obat-obatan yang diduga menjadi penyebab sangat menentukan
hasil akhir. Morbiditas dan mortalitas meningkat jika obat-obatan
yang menjadi penyebab terlambat dihentikan. Ignacio Garcia dkk
melakukan penelitian untuk menentukan apakah waktu penghentian
obat berhubungan dengan prognosis pasien NET atau SSJ. Hasil
penelitian menunujukkan bahwa angka kematian lebih rendah apabila
obat penyebab dengan waktu paruh eliminasi yang pendek dihentikan
tidak lebih dari 1 hari ketika bula atau erosi muncul. Pasien yang
mengkonsumsi obat penyebab dengan waktu paruh yang panjang,
memiliki resiko kematian yang lebih tinggi.
2) Antibiotika
Antibiotik profilaksis bukan merupakan indikasi, malah mungkin dapat
menyebabkan resistensi organisme dan meningkatnya mortalitas.
Pasien diberikan antibiotik apabila terdapat tanda-tanda klinis infeksi.
Tanda-tanda tersebut antara lain perubahan status mental, mengigil,
hipoterimia, menurunnya pengeluaran urin dan penurunan kondisi
klinis. Selain itu juga terdapat peningkatan bakteri pada kultur kulit.
Kultur rutin dari kulit, darah, urin, dan kanula intravascular sangat
disarankan. Penyebab utama dari sepsis pada pasien SSJ/NET adalah
Staphylococus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Spesies
Staphylococus yang dikultur dari darah biasanya sama dengan yang
dikultur dari kulit.
Penggunaan antibiotika dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
infeksi akibat efek imunosupresif kortikosteroid yang dipakai pada
dosis tinnggi. Antibiotika yang dipilih hendaknya yang jarang
menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakterisidal.
Dahulu biasa digunakan gentamisin dengan dosis 2 x 60-80 mg/hari.
Sekarang dipakai netilmisin sulfat dengan dosis 6 mg/kg BB/hari,
dosis dibagi dua. Alasan menggunakan obat ini karena pada beberapa
kasus mulai resisten terhadap gentamisin, selain itu efek sampingnya
lebih kecil dibandingkan gentamisin.
Mekanisme kerja gentamisin : obat ini bekerja dengan cara menggangu
proses produksiprotein yang di butuhkan untuk membangun dinding
sel bakteri. Dengan begitu dinding sel bakteri menjadi rusak dan
bakteri akan mati.
Mekanisme kerja netilmisin sulfat : obat ini bekerja dengan cara
mengikat secara irreversible sub unit 30s dari ribosom prokariotik
bakteri sehingga menghambat sintesa protein yang pada akhirnya
menhambat pertumbuhan bakteri itu, netilmicin hanya di gunakan
untuk infeksi yang serius terutama untuk kuman kuman yang resisten
terhadap gentamicin.
3) Menjaga Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Nutrisi
Hal ini perlu diperhatikan karena penderita mengalami kesukaran atau
bahkan tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan ditenggorokan
serta kesadaran yang menurun. Untuk ini dapat diberikan infus yang
berupa glukosa 5% atau larutan darrow. Pada pemberian kortikosteroid
terjadi retensi natrium , kehilangan kalium dan efek katabolik. Untuk
mengurangi efek samping ini perlu diberikan diet tinggi protein dan
rendah garam, KCl 3x500mg/hari dan obat-obat anabolik. Untuk
mencegah penekanan korteks kelenjar adrenal diberikan ACTH
(Synacthen depot) dengan dosis 1mg/hari setiap minggu dimulai
setelah pemberian kortikosteroid.

4) Transfusi Darah
Bila dengan terapi di atas belum tampak tanda-tanda perbaikan dalam
2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300-500 cc
setiap hari selama 2 hari berturut-turut. Tujuan pemberian darah ini
untuk memperbaiki keadaan umum dan menggantikan kehilangan
darah pada kasus dengan purpura yang luas. Pada kasus purpura yang
luas dapat ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari
intravena dan obat-obat hemostatic
5) Perawatan Luka
Pembersihan luka (debridement) nekrosis epidermis yang ekstensif dan
agresif tidak direkomendasikan pada kasus NE karena nekrosis
permukaan bukanlah halangan untuk reepitelisasi, dan justru dapat
mempercepat proliferasi sel-sel stem berkenaan dengan sitokin
peradangan.25 Pengobatan topikal diberikan untuk mengurangi
kehilangan cairan, elektrolit, dan mencegah terjadinya infeksi.
Debridement dilakukan dengan pemberian analgetik dengan derivat
morfin sebelumnya. Kulit dibersihkan dengan antiseptic yang ringan
dan solusio antibiotik seperti sabun povidone iodine, chlorhexidine,
silver nitrate untuk mengurangi pertumbuhan bakteri.
6) Perawatan Mata dan Mulut
Komplikasi oftalmik adalah satu dari permasalahan tersering terhadap
SSJ/NET. Sekitar 80% pasien yang dihospitalisasi mengalami
komplikasi ocular akut yang sama pada SSJ maupun NET dengan
keterlibatan berat sebesar 25%. Gejala sisa kronis terjadi pada sekitar
35% pasien, biasanya disebabkan oleh skar konjungtiva.
Permasalahan residual pada mata yang paling sering dilaporkan adalah
fotosensitivitas kronis dan mata kering. Namun pada beberapa pasien
penyakit ocular kronis bermanifestasi sebagai kegagalan permukaan
mata, inflamasi episodik rekuren, skleritis, atau sikatriks konjungtiva
progresif yang menyerupai pemfigoid membran mukosa. Perawatan
mata meliputi pembersihan kelopak mata dan memberi pelumas setiap
hari dengan obat tetes atau salep mata. Mulut harus dibersihkan
beberapa kali dalam sehari untuk menjaga kebersihan rongga mulut,
berulang-ulang kumur-kumur dengan antiseptik dan mengoleskan
topikal anestesi seperti xylocaine, lignocaine sebelum makan sehingga
dapat mengurangi sakit waktu menelan. Tindakan ini hanya
direkomendasikan bila penderita tidak mengalami
pharyngealdysphagia. Hindari makanan yang terlalu panas atau
dingin, makanan yang asam dan kasar. Sebaiknya makanan yang halus
dan basah sehingga tidak mengiritasi lesi pada mulut. Kadang-kadang
diberikan obat anti fungal seperti mikostatin, obat kumur-kumur soda
bikarbonat, hydrogen peroksida dengan konsentrasi ringan. Pemberian
topikal pada bibir seperti vaselin, lanolin.
7) Perawatan vulvovaginal
Pencegahan pada vulvovaginal dengan memeriksakan ginekologi dini
harus dilakukan pada semua pasien wanita penderita SJS/NET. Tujuan
dari pengobatan ini untuk mencegah keterlibatan vagina yang
membentuk adhesi dan aglutinasi labial serta mencegah adenosis
vagina ( bila dijumpai keterlibatan metaplastik serviks / endometrium,
epitel kelenjar divulva atau vagina ). Pencegahan dengan memberikan
kortikosteroid intravaginal diterapkan dua kali sehari pada pasien
dengan lesi ulseratif sampai resolusi fase akut penyakit. Pemberian
kortikosteroid topical ini disertai dengan krim antijamur topical untuk
mencegah kandidiasis vagina.

B. Penatalaksanaan Spesifik
1) Kortikosteroid Sistemik
Pemakaian kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Beberapa studi
menemukan bahwa pemberian kortikosteroid dapat mencegah
perluasan penyakit bila diberikan pada fase awal. Studi lain
menyebutkan bahwa steroid tidak menghentikan perkembangan
penyakit dan bahkan dihubungkan dengan kenaikan mortalitas dan
efek samping, khususnya sepsis. Selanjutnya, banyak kasus telah
dilaporkan yang telah diobati dengan kortikosteroid, akan
meningkatkan resiko SSJ/NET. Jadi, kortikosteroid sistemik tidak
dapat direkomendasikan sebagai pedoman utama pengobatan
SSJ/NET. Kortikosteroid dapat diberikan dalam 72 jam pertama
setelah onset untuk mencegah penyebaran yang lebih luas, dapat
diberikan selama 3-5 hari diikuti penurunan secara bertahap (tapering
off). Dosis yang dapat diberikan adalah 30-40 mg sehari. Dapat
digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6
x 5 mg sehari. Tapering off hendaknya cepat dilakukan karena pada
umumnya penyebab SSJ/NET adalah eksogen (alergi). Pada SSJ/NET,
kortikosteroid berperan sebagai anti inflamasi, imunosupresif dan anti
apoptosis. Kortikosteroid juga mempunyai efek anti-apoptosis pada
banyak jaringan termasuk kulit dengan menghambat aktivitas FasL.
Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-saving. Pada
sindrom stevens johnson yang ringan cukup diobati dengan prednison
dengan dosis 30 - 40 mg/hari. Pada bentuk yang berat, ditandai dengan
kesadaran yang menurun dan kelainan yang menyeluruh, digunakan
dexametason intravena dengan dosis awal 4 – 6 x 5mg/hari. Setelah
beberapa hari (2-3 hari) biasanya mulai tampak perbaikan (masa kritis
telah teratasi), ditandai dengan keadaan umum yang membaik, lesi
kulit yang baru tidak timbul sedangkan lesi yang lama mengalami
involusi. Pada saat ini dosis dexametason diturunkan secara cepat,
setiap hari diturunkan sebanyak 5mg. Setelah dosis mencapai 5mg
sehari lalu diganti dengan tablet prednison yang diberikan pada
keesokan harinya dengan dosis 20mg sehari. Pada hari berikutnya
dosis diturunkan menjadi 10mg, kemudian obat tersebut dihentikan.
Jadi lama pengobtan kira-kira 10 hari.
Mekanisme kerja : kortikosteroid bekerja dengan mengaktifkan
reseptor glukokortikoid yang berinteraksi dengan transkripsi factor
factor inflamasi sehingga menekan molekul-molekul proinflamasi.
Jumlah selsel radang seperti eosinophil, lifosit T, sel mast dan sel
dendritik akan berkurang dengan kortikosteroid. Obat di metabolism di
hati dan di ekskresi di ginjal.

2) Immunoglobulin Intravena (IVIG)


Anjuran pemakaian immunoglobulin intravena dosis tinggi didasarkan
pada demonstrasi bahwa kematian sel yang diperantarai Fas dapat
dibatalkan oleh aktivitas anti- Fas yang ada dalam sejumlah
immunoglobulin manusia normal. Keuntungan telah ditegaskan oleh
beberapa studi dan laporan kasus tetapi disangkal oleh beberapa yang
lainnya.33,34 IVIG mengandung antibodi imun yang mengganggu
jalur apoptosis yang diperantarai oleh FasL dan reseptor. Secara
teoritis, yang paling baik pemberian IVIG pada awal (24-72 jam
setelah munculnya bulla pertama), sebelum Fas-L dan reseptor
berikatan, walaupun masih efektif jika bulla yang baru muncul. Pasien
dengan defisiensi Ig A akan terjadi anafilaksis akibat IVIG. Sangat
baik dilakukan pemeriksaan tingkat IgA sebelum pemberian namun
menunggu hasilnya dapat menyebabkan keterlambatan pengobatan.
Hasil studi dari IVIG pada SSJ dan NET masih diperdebatkan, dan
IVIG tidak disarankan sebagai pengobatan rutin. Namun jika
diputuskan untuk menggunakan IVIG dengan penyakit berat diberikan
dosis 1 gr/kgBB perhari selama 3 hari berturut – turut ) pada fase awal
penyakit yaitu dalam waktu 24-48 jam dari onset gejala. Efek samping
IVIG termasuk ginjal , hematologi dan komplikasi trombotik. Resiko
komplikasi yang serius meningkat pada pasien usia tua yang menerima
dosis tinggi IVIG serta pada penderita gangguan ginjal dan jantung.
Telah dilaporkan hemolysis berat dan nefropati pada pasien SJS/NET
yang diobati dengan IVIG.
3) Siklosporin A
Siklosporin merupakan suatu agen imunosupresif yang penuh kekuatan
dihubungkan dengan efek biologik yang secara teoritis berguna dalam
pengobatan SSJ/NET. Dalam sebuah serial kasus retrospektif, 11
pasien NET diterapi dengan siklosporin A (3 mg/kg/hari), terapi
siklosporin A menyebabkan reepitelisasi yang cepat dan angka
mortalitas yang rendah bila dibandingkan dengan siklofosfamid dan
kortikosteroid (0% vs 50%). Berbagai laporan kasus individual yang
menggunakan dosis 3 hingga 5 mg/kg/hari secara intravena atau oral
juga telah dipublikasikan memperlambat perkembangan SJS/NET
tanpa toksisitas yang signifikan. Durasi pengobatan bervariasi mulai
dari 8 hingga 24 hari, biasanya hingga pasien mengalami reepitelisasi.
Efek samping termasuk peningkatan ringan dari serum kreatinin,
hipertensi dan infeksi. Siklofosfamid sebagai bahan tunggal telah
digunakan meskipun saat ini tidak digunakan di kebanyakan sentra.
4) Agen TNF-α
Dalam beberapa laporan kasus dengan pemberian infus tunggal 5
mg/kgbb TNF- α menghentikan perluasan dan perkembangan dari
SJS/NET dan memicu epitelisasi. Pemberian etanercept 50 mg inj
subkutan telah berhasil digunakan dalam sejumlah kecil pasien.34 E.
Plasmafaresis atau Hemodialisis Dasar pemikiran untuk memakai
plasmafaresis atau hemodialisis adalah mendorong perpindahan obat
yang salah, metabolitnya, atau mediator peradangan seperti sitokin.
Sebuah laporan kasus kecil melaporkan efikasi dan keamanannya
dalam penatalaksanaan. Bagaimanapun, mempertimbangkan tidak
adanya dasar dan adanya resiko yang dihubungkan dengan
pemasangan kateter intravaskular, penatalaksanaan ini tidak
direkomendasikan.

J. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis diferensial utama dari SJS / TEN adalah penyakit autoimun
blistering, termasuk linear IgA dermatosis dan pemfigus paraneoplastic
tetapi juga vulgaris pemfigus dan pemfigoid bulosa, exanthematous umum
akut pustulosis (AGEP), disebarluaskan obat bulosa tetap erupsi dan
scalded skin syndrome staphyloccocal (SSSS). SSSS adalah salah
diferensial yang paling penting diagnosa di masa lalu, tapi kejadian yang
saat ini sangat rendah dengan 0,09 dan 0,13 kasus per satu juta penduduk
per tahun.8
1. Eritema multiformis (EM) Bagian tubuh yang terkena EM ialah kulit dan
kadang-kadang selaput lendir. Penyebabnya belum diketahui secara pasti.
Yang dapat membedakan EM dengan SJS ialah luas permukaan tubuh
yang terkena. Pada EM ialah 30%.
2. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) Penyakit ini sangat mirip dengan
Sindrom Stevens- Johnson. Epidemolisis (Epidermis terlepas dari
dasarnya) yang menyeluruh dan keadaan umum penderita biasanya lebih
buruk/berat.

3. Eritroderma dan erupsi obat eritematosa Eritema makulopapular yang


umum dan simetris dari erupsi obat dapat meniru awal SJS/NET. Namun,
pada erupsi obat eritematosa keterlibatan mukosa kurang tapi nyeri kulit
pada TEN menonjol.

4. Erupsi Pustural Obat Reaksi obat pustular, termasuk acute generalized


exanthematous pustulosis (AGEP), juga bisa menjadi berat dan mirip
dengan gejala awal SJS/NET. AGEP merupakan erupsi yang terdiri dari
non-follicularly centered pustules yang sering dimulai di leher dan daerah
intertriginosa.
5. Erupsi Fototoksik Erupsi fototoksik disebabkan oleh interaksi langsung
bahan kimia dengan sinar matahari yang dapat menjadi racun untuk kulit.
Reaksi fototoksik paling umum yang dibingungkan dengan SJS/NET
adalah reaksi fototoksik yang terjadi akibat pemakaian oral. Sebagai
contoh, fluoroquinolones dapat menghasilkan reaksi fototoksik, yang dapat
menyebabkan pengelupasan epidermis luas.

6. Toxic shock syndrome (TSS) yang klasik disebabkan oleh Staphylococcus


aureus, meskipun gangguan yang sama dapat disebabkan oleh racun rantai
elaborasi dari Grup A streptokokus. Dibandingkan dengan SJS/NET, TSS
hadiah dengan keterlibatan lebih menonjol dari beberapa sistem organ.
7. Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) dibedakan secara klinis dari
SJS/NET terutama oleh epidemiologi dan dari selaput lendir. Diagnosis
didukung oleh pemeriksaan histologis, yang mengungkapkan peluruhan
hanya lapisan atas epidermis.

K. Masalah yang Lazim Muncul


1) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi).
2) Nyeri akut berhubungan dengan adanya bula.
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake nutrisi kurang, gangguan gastrointestinal, disfagia.
4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan nyeri pada jaringan kulit,
mukosa dan mata.
5) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan bula yang mudah
pecah.
6) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi.
7) Resiko infeksi berhubungan dengan efek samping terpasangnya infus
dan terapis steroid.
8) Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status kesehatan, pola
interaksi (kondisi kerusakan jaringan kulit /muncul kelainan pada
kulit)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syndrome Steven Johnson atau biasa disingkat SSJ yaitu syndrom
kelainan pada kulit, selaput lendir orifisium dan mata atau dengan kata
lain, reaksi yang melibatkan kulit & mukosa (selaput lendir) yang berat &
mengancam jiwa ditandai dengan pelepasan epidermis, bintil berisi air &
erosi/pengelupasan dari selaput lendir.
Penyakit ini menyerang selaput lendir, meliputi selaput bening
mata, bibir bidang dalam & rongga mulut, genital & anus. Gejala awalnya
berupa demam, kesukaran diwaktu menelan, pegal-pegal atau nyeri di
tubuh, sakit kepala, & sesak napas, dan ada tanda kemerahan atau ruam
merah kepada kulit, munculnya bintil berisi air (seperti cacar) yang terasa
sakit bahkan sampai menyebabkan kulit mengelupas & melepuh.
Penyebabnya yaitu dikarenakan infeksi virus, bakteri dan jamur, atau
alergi obat-obat tertentu, umumnya yakni pemakaian obat antibiotik.

B.SARAN

Dari penulis untuk pembaca, sekiranya makalah ini dapat


membantu menambah wawasan para pembaca tentang sindrom stevens
johnson. Penulis juga mengharapkan adanya kritikan dan saran yang
membangun bagi penulis, kiranya ada satu dan dan lain hal yang kurang
dari makalah ini, kedepannya penulis akan lebih memperhatikan.
Menyadari bahwa penulis jauh dari kata sempurna, maka dari itu mohon
maaf jika ada kesalahan pengertian ataupun penggunaan kata dalam
makalah
DAFTAR PUSTAKA

Syaifuddin. 2011. Anatomi Fisiologi Edisi 4. Jakarta : EGC


Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. JIPMER. 2006;2(1). India.
Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2007
Djuanda A.:”Sindroma Stevens-Johnson”,MDK,vol.9 no.4, Mei 190,halaman 50.
Fitrany Julia,fajri aratsada.2019. Jurnal Avverhous Vol.5 No.1. Stevens Johnson
Syidrome. Universitas Malikusaleh.Aceh

Anda mungkin juga menyukai