Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

OBAT ASLI INDONESIA

(DASAR-DASAR PRODUKSI OBAT TRADISIONAL)

DISUSUN OLEH :

NAMA : RAHMAT.M
KELAS : C1 KONVERSI
NIM : 51623011028

UNIVERSITAS PANCASAKTI MAKASSAR


TAHUN AJARAN
2023/2024
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Obat tradisional merupakan salah satu jenis obat, selain obat sintetik atau modern
yang telah lama dikenal dan digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk tujuan
pengobatan maupun perawatan kesehatan tubuh. Hal ini didukung dengan perkembangan
masyarakat modern, tua maupun muda mempercayakan obat tradisional sebagai obat
yang sudah dipercaya dan dikenal sejak dulu dalam mengobati berbagai macam penyakit.
Berbagai jenis produk obat yang diperdagangakan kepada masyarakat, mulai dari
jamu. Dengan banyaknya jenis obat tradisional menyebabkan semakin meningkatkan
konsumsi masyarakat terhadap produk obat tradisional, dikarenakan kemudahan dalam
mendapatkan produk-produk obat tradisional ini. Oleh sebab itu maka BPOM melakukan
registrasi terhadap obat tradisional yang beredar di Pekanbaru. Registrasi obat tradisional
ini dilakukan guna untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan bahan obat tersebut
karena harus memperhatikan produk obat harus memenuhi persyaratan keamanan, mutu
dan gizi obat yakni memiliki izin edar dari BPOM RI, memiliki keterangan label yang
lengkap, produk tidak kadaluarsa dan kemasannya tidak rusak.
Pihak BPOM kewalahan untuk menindak produsen obat yang menggunakan
bahan berbahaya pada produk obat dan memakan waktu yang lama dalam proses
membuktikannya sehingga perlindungan rasa aman yang diberikan kepada konsumen
tidak maksimal sehingga obat yang mengandung bahan berbahaya tetap beredar di
pasaran dapat merugikan konsumen. Pada umumnya dari hasil temuan banyak didapatkan
obat yang berbahan kimia obat, tidak memiliki izin edar serta melanggar aturan
pencantuman nama penyakit pada kemasan yang digunakan. Produk obat tradisional yang
sering kali mengandung BKO adalah obat diet, obat kuat, obat rematik, dan obat
penghilang rasa sakit. Padahal obat tradisional harusnya herbal, tidak boleh sama sekali
ada bahan kimia.
BPOM masih temukan peredaran obat tradisional, suplemen kesehatan, dan
kosmetika mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) serta bahan dilarang yang berbahaya
bagi kesehatan. Hal ini terungkap berdasarkan hasil sampling dan pengujian selama
periode Oktober 2021 hingga Agustus 2022, sebanyak 41 (empat puluh satu) item obat
tradisional mengandung BKO, serta 16 (enam belas) item kosmetika mengandung bahan
dilarang/bahan berbahaya ditemukan oleh BPOM.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana menjelaskan tata cara perizinan industry kecil obat tradisional ?
2. Bagaimana menjelaskan tatacara perizinan industry obat tradisional ?
3. Bagaimana menjelaskan perlengkapan in proses control (IPC) ?

C. TUJUAN
1. Mahasiswa dapat menjelaskan tata cara perizinan indusri kecil obat tradisional
2. Mahasiswa dapat menjelaskan tata cara perizinan industry obat tradisional
3. Mahasiswa dapat menjelaskan perlengkapan in proses control ( IPC)
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tatacara perizinan industri kecil obat tradisional


1) IOT/IEBA diselenggarakan oleh Pelaku Usaha non perseorangan berupa perseroan
terbatas atau koperasi.
2) Persyaratan untuk memperoleh Izin Usaha IOT/Izin Usaha IEBA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e yaitu Sertifikat Produksi IOT/IEBA.
3) Persyaratan Untuk memperoleh Sertifikat Produksi IOT/IEBA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Rencana Produksi IOT/IEBA; dan
b. memiliki apoteker berkewarganegaraan Indonesia sebagai penanggung jawab
teknis.
4) Persyaratan izin IOT dan izin IEBA terdiri dari:
a) surat permohonan;
b) persetujuan prinsip;
c) daftar peralatan dan mesin-mesin yang digunakan;
d) daftar jumlah tenaga kerja beserta tempat penugasannya;
e) diagram/alur proses produksi masing-masing bentuk sediaan obat tradisional
dan ekstrak yang akan dibuat;
f) fotokopi sertifikat Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup/Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup;
g) rekomendasi pemenuhan CPOTB dari Kepala Badan dengan melampirkan
Berita Acara Pemeriksaan dari Kepala Balai setempat; dan
h) rekomendasi dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
(1) Dalam hal terjadi perubahan data setelah persetujuan prinsip diterbitkan, maka
perubahan data tersebut harus disetujui oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
atau Kepala Badan yang berkaitan dengan Rencana Induk Pembangunan (RIP).
(2) Permohonan izin IOT dan izin IEBA diajukan kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepada Kepala Badan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat
(3) Paling lama dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya tembusan
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Badan melakukan
audit pemenuhan persyaratan CPOTB.
(4) Paling lama dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya tembusan
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi melakukan verifikasi kelengkapan persyaratan administratif.
(5) Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak dinyatakan memenuhi
kelengkapan persyaratan administratif, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
mengeluarkan rekomendasi pemenuhan persyaratan administratif kepada Direktur
Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan pemohon
(6) Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak dinyatakan memenuhi
persyaratan CPOTB, Kepala Badan mengeluarkan rekomendasi pemenuhan
persyaratan CPOTB kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi dan pemohon
(7) Apabila dalam 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah tembusan surat permohonan
diterima oleh Kepala Badan atau Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, pemohon
tidak mendapat tanggapan atas permohonannya, maka pemohon dapat membuat
surat pernyataan siap berproduksi Kepada Direktur Jenderal dengan tembusan
kepada Kepala Badan atau Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat
(8) Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima rekomendasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) serta persyaratan lainnya,
Direktur Jenderal menerbitkan izin IOT dan IEBA
(9) Izin IOT dan izin IEBA diberikan kepada pemohon yang telah memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
(10) Permohonan izin IOT dan izin IEBA:
a) ditolak apabila ternyata tidak sesuai dengan persetujuan sebagaimana
tercantum dalam persetujuan prinsip; atau
b) ditunda apabila belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17.
(11) Dalam hal pemberian izin IOT dan izin IEBA ditunda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 huruf b, kepada pemohon diberi kesempatan untuk melengkapi
persyaratan yang belum dipenuhi paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya
Surat Penundaan.

B. In Proses Control (IPC)

Selain pemeriksaan rutin bahan baku, bahan aktif dan bahan kemas
bagian pengawasan mutu (quality control) juga melakukan pengecekan obat selama
proses yang disebut IPC (In Process Control). IPC merupakan tes pengecekan kualitas
produk obat yang dilakukan selama produksi rutin. Pengecekan dilakukan selama
produksi untuk memastikan kualitasnya sesuai sebelum dikirimkan ke pasien.
Fungsi dari IPC adalah memonitoring dan jika dibutuhkan adaptasi proses
pembuatan untuk memastikan produk sesuai dengan spesifikasinya. Pengecekan ini
termasuk kontrol peralatan dan pengecekan lingkungan produksi.
IPC dilakukan periodik dengan interval waktu tertentu selama proses pembuatan
obat, misal selama pencetakan tablet atau enkapsulasi kapsul. Bisa juga selama proses
granulasi dan pencampuran. Pengecekan dan tes yang dilakukan selama proses dapat
mengidentifikasi pemastian bahwa kualitas terjaga selama proses.

1) Tujuan dilakukan In Process Control (IPC)


a. Meningkatkan proses dan kualitas selama pembuatan obat
b. Memonitor, mengontrol dan meningkatkan efisiensi selama seluruh operasi
pembuatan obat pada setiap tahapan produk obat
c. Inspeksi bahan awal, peralatan, lingkungan pembuatan produk, melakukan
pengetesan terhadap spesifikasi bahan kemas dll
d. Kontrol proses dan kualitas

2) Strukur Organisasi In Process Control (IPC)

Pada beberapa perusahaan farmasi IPC diletakkan dibawah tanggung jawab


Pengawasan Mutu / QC ada juga dibawah produksi. Menurut saya yang benar adalah IPC
diletakkan dibawah QC/QA (cenderung QC) sehingga pengujian dapat dilaksanakan
secara independen. Prosedur untuk pengujian dilakukan atas persetujuan dari bagian
QC/QA. Personil yang melakukan pengujian harus terkualifikasi dan sudah mendapatkan
pelatihan yang memadai. Personil yang melakukan pengujian bebas dari kepentingan
terutama kepentingan dari bagian produksi.

Tugas dan tanggung jawab QC harus dijabarkan tertulis dalam struktur organisasi
secara jelas. Ketika terjadi penyimpangan sudah dijabarkan dalam prosedur cara
penangannya sehingga cepat teratasi untuk menjaga kualitas produk. Bila ada produk
ditolak harus ada penandaan yang jelas serta penanganan berikutnya telah ditetapkan
untuk dilaksanakan.

3) Lokasi In Process Control (IPC)

Lokasi IPC berada di area produksi, terdapat ruangan IPC sendiri bagi personil QC.
Ruangan tersebut berisi alat-alat pemeriksaan produk selama proses. Ruangan tersebut
hanya boleh untuk pemeriksaan tidak boleh digunakan untuk proses pembuatan obat.
Ruangan dirancang tertutup dan tidak ada risiko kontaminasi dari hasil pengujian ke
ruangan produksi

4) Sampling

Sampling produk yang dilakukan harus seragam selama pembuatan batch produk.
Rencana sampling sudah menjabarkan tahapan proses dan lokasi dilakukan sampling.
berikut ini harus sudah ada informasi pada sampling yaitu:

a. Wadah yang digunakan untuk sampel


b. Teknik pengambilan sampel untuk mencegah kontaminasi silang
c. Alat yang digunakan untuk sampling, tipe alat sudah dijelaskan detail
d. Lakukan justifikasi bila dilakukan sampling komposite (beberapa sampling dari lokasi
berbeda dijadikan satu)
e. Mendeskripsikan metode untuk mendapatkan sample yang representative
f. Identifikasi skema sampling seperti nama item, nomor lot, tanggal dan nama
sample. Label sudah harus jelas untuk dilakukan sampling

5) Pengujian

Sampel yang diambil akan dilakukan pengujian untuk melihat apakah sesuai dengan
spesifikasinya atau tidak. Dicek identitas, kadar dan semua parameter sesuai yang ada di
SOP. Hasil pengujian akan didapatkan laporan analisis yang menyatakan sampel
memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat. Biasa data hasil analisis kemudian
dimasukkan ke dalam komputer untuk dapat dicetak laporan analisis sesuai dengan
format perusahaan.

6) Dokumentasi dan evaluasi data

Semua data terkait dengan pegujian termasuk lingkungan juga harus dicatat. Data
lingkungan seperti suhu dan kelembapan ruangan selama perngujian. Dokumentasi ini
harus tercatat pada catatan IPC, inisial personil yang melakukan pengujian dan hasilnya.
Bila ada penyimpangan maka personil yang melakukan persetujuan tanda tangan harus
ada di dokumen pengujian. Setiap ada penyimpangan harus ada justifikasi, tanggal dan
nama yang melakukan otorisasi penyimpangan tersebut. Penyimpangan ini harus
diketahui tertulis oleh bagian QC, Produksi dan QA.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kualitas sediaan farmasi merupakan hal utama untuk menjaga keamanan,
kualitas dan kemanjuran obat. Untuk memenuhi ini adanya penerapan CPOB
secara menyeluruh merupakan suatu keharusan. Dengan adanya IPC ini
mendukung upaya menjaga kualitas produk agar sesuai dengan persyaratan.
Adanya IPC juga mencegah adanya kesalahan lanjutan dan juga mencegah
kerugian perusahaan.

B. SARAN
Dari penulis untuk pembaca, sekiranya makalah ini dapat membantu
menambah wawasan para pembaca tentang dasar dasar produksi obat tradisional.
Penulis juga mengharapkan adanya kritikan dan saran yang membangun bagi
penulis, kiranya ada satu dan dan lain hal yang kurang dari makalah ini,
kedepannya penulis akan lebih memperhatikan. Menyadari bahwa penulis jauh
dari kata sempurna, maka dari itu mohon maaf jika ada kesalahan pengertian
ataupun penggunaan kata dalam makalah.
DAFTAR PUSTAKA

Pertaturan Menteri Kesehatan RI. Nomor 006 Tahun 2012. Tentang industri dan
usaha obat tradisisonal. Jakarta
https://farmasiindustri.com/industri/in-process-control-pada-industri-farmasi.html .
blogspot (di akses pada tanggal 15 november 2023)

Anda mungkin juga menyukai