PRODUK FITOFARMAKA
DISUSUN OLEH:
1. NANDA SAFITRI
2. NORMAN YOGI DWI SAPUTRA
3. PRAMUDITA ARDANA
4. SABILA MAHARANI
5. SASKIA HARUM MAYSARI
6. SITI NURLAELA
2021/2022
CARA MEMPRODUKSI OBAT TRADISIONAL (FITOFARMAKA)
Fitofarmaka (clinical based herbal medicine) adalah sediaan obat bahan alam
yang keamanan dan khasiatnya telah dibuktikan secara ilmiah melalui uji
praklinik dan uji klinik, serta bahan baku dan produk jadinya telah distandardisasi.
Fitofarmaka harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
2. Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji praklinik dan uji klinik.
3. Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam
produk jadi.
4. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
5. Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian medium dan
tinggi.
Kandungan sediaan fitofarmaka dilarang mengandung:
1. Bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat.
2. Narkotika dan psikotropika.
3. Bahan-bahan yang dilarang seperti: Abri Semen, Aconiti Herba, Adonidis
vernalis Herba, Belladone Herba, Colchici Semen, Datura Semen,
Digitalis Folium, Ephedrae Herba, Hyoscyami Folium, Nerii Folium,
Lobelia Folium, Strophanti Semen, dan lain-lain.
4. Hewan atau tumbuhan yang dilindungi sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
A. Perizinan
1. Alur Pembuatan Izin Usaha
Berdasarkan Permenkes RI No. 1799/Menkes/Per/XII/2010, untuk
memperoleh Izin Usaha Industri Fitofarmaka diperlukan persetujuan
prinsip. Permohonan persetujuan prinsip diajukan secara tertulis kepada
Direktur Jenderal Badan POM. Persetujuan prinsip tersebut diberikan
oleh Dirjend BPOM setelah pemohon memperoleh persetujuan Rencana
Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan POM. Dalam hal
permohonanan persetujuan prinsip telah diberikan, pemohon dapat
langsung melakukan persiapan, pembagunan, pengadaan, pemasangan,
dan instalasi peralatan, termasuk produksi percobaan dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan. Persetujuan
prinsip ini berlaku selama 3 tahun dan dapat diubah berdasarkan
permohonan dari pemohon Izin Industri Farmasi yang bersangkutan.
Izin usaha industri farmasi fitofarmaka diberikan oleh Menteri
Kesehatan dan wewenang pemberian izin dilimpahkan kepada Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Izin ini berlaku seterusnya
selama industri tersebut berproduksi dengan perpanjangan izin setiap 5
tahun.
Tata Cara Permohonan Izin Industri Farmasi:
Pemohon yang telah selesai melaksanakan tahap persetujuan prinsip
dapat mengajukan permohonan Izin Industri Farmasi.
Surat permohonan Izin Industri Farmasi harus ditandatangani oleh
Direktur Utama dan Apoteker Penanggung Jawab, pemastian mutu
diajukan ke Kementrian Kesehatan beserta kelengkapannya.
Pemohon mengajukan surat permohonan ke Kementrian Kesehatan RI
dengan Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat.
Paling lama dalam waktu 20 hari kerja sejak diterimanya tembusan
permohonan, Kepala Badan melakukan audit pemenuhan persyaratan
CPOB.
Paling lama dalam waktu 20 hari kerja sejak diterimanya tembusan
permohonan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi melakukan verifikasi
kelengkapan persyaratan administratif.
Paling lama dalam waktu 10 hari sejak dinyatakan memenuhi
persyaratan CPOB, Kepala Badan mengeluarkan rekomendasi
pemenuhan persyaratan CPOB kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Paling lama dalam waktu 10 hari sejak dinyatakan memenuhi
kelengkapan persyaratan administratif, Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi mengeluarkan rekomendasi pemenuhan persyaratan
administratif kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada
Keapala Badan.
Paling lama dalam waktu 19 hari kerja setelah menerima rekomendasi
serta persyaratan lainnya, Direktur Jenderal menerbitkan Izin Industri
Obat Tradisional.
C. Proses Produksi
Setiap tahapan produksi dilakukan diruangan terpisah untuk
menghindari tercemarnya obat dan bahan serta mencegah terjadinya
kontaminasi silang.
1. Pemilihan bahan baku yang berkualitas dari simplisia nabati, simplisia
hewani, dan bahan baku non simplisia.
2. Dilakukan proses karantina yaitu pemeriksaan kelayakan bahan baku.
3. Proses pencucian untuk menghilangkan tanah dan pencemaran lain
yang melekat pada bahan baku simplisia, dicuci dengan air mengalir
agar kotoran yang terlepas tidak menempel kembali pada simplisia
yang lain.
4. Prose pengeringan supaya simplisia tidak mudah rusak dan dapat
disimpan dalam waktu yang lama.
5. Proses peracikan dilakukan sesuai dengan formulasi yang ditentukan.
6. Proses ekstraksi dilakukan untuk mengambil zat berkhasiat sebagai
bahan baku utama dalam pembuatan produk.
7. Proses pencampuran bahan simplisia sesuai formula dan proses
pengemasan.
F. Pemasaran
1. Berdasarkan pasar sasaran atau targeting.
2. Berdasarkan kebutuhan pelanggan.
3. Berdasarkan pemasaran terintegrasi.
4. Berdasarkan kemampuan menghasilkan laba melalui kepuasan
pelanggan.