Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN AKHIR

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)


DI LEMBAGA FARMASI PUSAT KESEHATAN
ANGKATAN DARAT (LAFI PUSKESAD) BANDUNG

Disusun Oleh :
Aulia Ulfa Fiani 2202010
Clara Nabilah 2202011
Listia Ningsih 2202031
Nia Daiatul Isroq 2202036
Siti Nurjanah 2202050
Suci Ramahi 2202052

ANGKATAN VIII
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
PEKANBARU
06 FEBRUARI – 03 MARET 2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan Yaitu keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial
yang menginginkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan konomis.
Industri farmasi merupakan salah satu elemen penting dalam rangka mewujudkan
kesehatan nasional melalui aktivitasnya dalam bidang produksi obat yang berkualitas,
aman dan efektif. Semua industri farmasi harus berupaya agar dapat menghasilkan
produk obat yang memenuhi standar kualitas dipersyratkan.
Industri Farmasi menurut Permenkes No. 1799 tahun 2010 adalah badan usaha
yang memiliki izin dari menteri kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat
atau bahan obat. Pembuatan obat atau bahan obat merupakan tanggung jawab apoteker
terutama di sarana produksi, bidang pengawasan mutu (QC), pemastian mutu (QA) dan
produksi. Sehingga untuk melaksanakan hal tersebut dibutuhkan kompetensi yang sesuai
dengan standar kompetensi apoteker Indonesia. Industri harus menerapkan Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dalam kegiatannya yang telah ditetapkan oleh
pemerintah. Menggunakan CPOB industri farmasi dapat menghasilkan sediaan farmasi
dan alat kesehatan yang memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.
Tersedianya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bermutu tinggi diharapkan dapat
mendorong tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional.
Berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 34 Tahun
2018 pasal 2 ayat 1 Tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik, pedoman
CPOB wajib menjadi acuan bagi industri farmasi dan sarana yang melakukan kegiatan
pembuatan Obat dan Bahan Obat Pedoman CPOB meliputi: sistem mutu industri
farmasi, personalia, bangunan-fasilitas, peralatan, produksi, cara penyimpanan dan
pengiriman obat yang baik, pengawasan mutu, inspeksi diri, keluhan dan penarikan
produk, dokumentasi, kegiatan alih daya, kualifikasi dan validasi, pembuatan produk
steril, pembuatan bahan dan produk biologi untuk penggunaan manusia, pembuatan gas
medisinal, pembuatan inhalasi dosis terukur bertekanan, pembuatan produk darah,
pembuatan obat uji klinik, sistem komputerisasi, cara pembuatan bahan baku aktif obat
yang baik, pembuatan radiofarmaka, penggunaan radiasi pengion dalam pembuatan obat,
sampel pembanding dan sampel pertinggal, pelulusan real time dan pelulusan parametris,
dan manajemen risiko mutu.
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) merupakan salah satu
bagian dari elemen militer bangsa. Aspek kesehatan di lingkungan militer dapat
mempengaruhi kinerja pertahanan serta perlawanan terhadap berbagai bentuk ancaman,
tantangan, hambatan dan gangguan, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri.
Dalam rangka menjamin tersedianya sarana kesehatan yang baik bagi prajurit TNI AD,
Pemerintah kemudian membentuk suatu lembaga yang disebut sebagai Pusat Kesehatan
Angkatan Darat (PUSKESAD) yang mana salah satu bagiannya adalah Lembaga
Farmasi Pusat Kesehatan Angkatan Darat (LAFI PUSKESAD). Adapun Lembaga
Farmasi Pusat Kesehatan Angkatan Darat (LAFI PUSKESAD) adalah tempat
memproduksi obat-obatan yang bermutu, aman dan berkhasiat yang dibutuhkan oleh
seluruh prajurit TNI AD, PNS TNI AD, dan keluarganya di seluruh Indonesia. Sekolah
Tinggi Ilmu Farmasi Riau sebagai salah satu perguruan tinggi yang menghasilkan tenaga
Apoteker, mengadakan kerjasama dalam bentuk praktek kerja dengan Lembaga Farmasi
Pusat Kesehatan Angkatan Darat (LAFI PUSKESAD). Praktek kerja ini dilaksanakan
pada tanggal 06 Februari– 03 Maret 2023. Melalui kegiatan ini, diharapkan calon
Apoteker dapat menambah wawasan dan pengalaman di industri farmasi.
1.2 Tujuan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Tujuan dari PKPA yang diselenggarakan oleh Program Studi Profesi
Apoteker adalah :
1. Meningkatkan pemahaman calon apoteker tentang peran, fungsi, posisi dan
tanggung jawab apoteker dalam industri farmasi.
2. Memberi kesempatan kepada calon apoteker untuk mempelajari prinsip
Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
3. Memberi kesempatan kepada calon apoteker untuk menerapkan prinsip
CPOB.
4. Mempersiapkan calon apoteker dalam memasuki dunia kerja sebagai tenaga
farmasi yang profesional.
1.3 Manfaat Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
1. Mengetahui dan memahami tugas dan tanggung jawab Apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian di industri farmasi.
2. Mendapatkan pengalaman praktis mengenai pekerjaan kefarmasian di industri
farmasi serta meningkatkan rasa percaya diri untuk menjadi Apoteker yang
profesional.
3. Meningkatkan kompetensi calon Apoteker di bidang industri farmasi,
khususnya sebagai penanggung jawab produksi, pengawasan mutu, dan
pemastian mutu dan menerapkan CPOB di industri secara langsung.
4. Meningkatkan kompetensi calon Apoteker dalam bidang industri farmasi seperti
perencanaan, pengadaan, penerimaan, serta produksi sediaan farmasi, QC, dan
QA.

5. Meninjau secara langsung mengenai Cara Pembuatan Obat yang Baik atau CPOB
di industri farmasi Lembaga Farmasi Pusat Kesehatan Angkatan Darat Bandung

6. Meningkatkan kompetensi calon Apoteker dalam bidang industri farmasi seperti


perencanaan, pengadaan, penerimaan, serta produksi sediaan farmasi, QC, dan
QA.
BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 Industri Farmasi


2.1.1 Pengertian Industri Farmasi
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1799/MENKES/PER/XII/2010, industri farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin
dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat
meliputi seluruh tahapan kegiatan dalam menghasilkan obat mulai dari pengadaan
bahan awal dan bahan pengemas, produksi, pengemasan, pengawasan mutu dan
pemastian mutu sampai diperoleh obat untuk di distribusikan.
2.1.2 Persyaratan Industri Farmasi
Pendirian industri farmasi wajib memperoleh izin industri farmasi dari Direktur
Jenderal. Direktur Jenderal yang dimaksud adalah Direktur Jenderal pada kementerian
kesehatan yang bertugas dan bertanggung jawab dalam pembinaan kefarmasian dan
alat kesehatan serta telah memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB) yang dibuktikan dengan sertifikat CPOB yang berlaku selama 5 tahun
sepanjang memenuhi persyaratan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1799/Menkes/PER/XII/2010, untuk memperoleh izin industri farmasi harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas.
b. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat.
c. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
d. Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker warga negara Indonesia
masing-masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan
pengawasan mutu.
e. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung
dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.
f. Industri farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB yang dibuktikan dengan
sertifikat CPOB
g. Pengajuan permohonan persetujuan prinsip untuk pendirian usaha industri farmasi
diajukan kepada Direktur Jenderal. Permohonan persetujuan prinsip dilakukan oleh
industri Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri, harus
memperoleh Surat Persetujuan Penanaman Modal dari instansi yang
menyelenggarakan urusan penanaman modal sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Persetujuan prinsip diberikan setelah pemohon memperoleh
persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari kepala BPOM.
h. Setiap industri farmasi wajib melakukan farmakovigilans. Bila industri farmasi
menemukan obat dan atau bahan obat hasil produksinya yang tidak memenuhi
standar dan atau persyaratan keamanan, khasiat/keamanan dan mutu, industri
farmasi wajib melaporkan hal tersebut kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
Persyaratan pada poin (a) dan (b) tidak diperlukan bagi pemohon izin industri
farmasi milik Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Menteri Kesehatan, 2010). Izin usaha industri farmasi diberikan kepada pemohon
yang telah siap berproduksi sesuai persyaratan CPOB. Izin industri farmasi diberikan
oleh Menteri Kesehatan dan wewenang pemberian izin dilimpahkan kepada Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (Menteri Kesehatan, 2010).
2.1.3 Izin Usaha Industri Farmasi
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010, tata cara
pemberian persetujuan prinsip dan izin usaha industri farmasi mengikuti alur sebagai
berikut :

Gambar 1. Tata Cara Pemberian Persetujuan Prinsip


Permohonan persetujuan prinsip yang diajukan kepada Direktur Jenderal disertakan
dengan tembusan kepada Kepala Badan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Gambar 2. Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi
Izin industri farmasi akan terus berlaku selama industri farmasi tersebut masih
berproduksi dan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika terjadi
perubahan alamat dan pindah lokasi, perubahan penanggung jawab atau nama industri
harus dilakukan perubahan izin.
2.1.4 Pencabutan Izin Usaha Industri Farmasi
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010, tata cara
pemberian persetujuan prinsip dan izin usaha industri farmasi mengikuti alur sebagai
berikut :

Gambar 3. Tata Cara Pemberian Persetujuan Prinsip


Permohonan persetujuan prinsip yang diajukan kepada Direktur Jenderal disertakan
dengan tembusan kepada Kepala Badan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.

Gambar 4. Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi


Izin industri farmasi akan terus berlaku selama industri farmasi tersebut masih
berproduksi dan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika terjadi
perubahan alamat dan pindah lokasi, perubahan penanggung jawab atau nama industri
harus dilakukan perubahan izin.
2.1.4 Pencabutan Izin Usaha Industri Farmasi
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor.
245/MenKes/SK/V/1990, Izin Usaha Industri Farmasi dapat dicabut bila suatu
Industri Farmasi melakukan:
1. Melakukan pemindah tanganan hak milik izin usaha industri farmasi dan
perluasan tanpa memiliki izin.
2. Tidak menyampaikan informasi industri secara berturut-turut 3 (tiga) kali
atau dengan sengaja menyampaikan informasi yang tidak benar.
3. Melakukan pemindahan lokasi usaha industri tanpa persetujuan tertulis
terlebih dahulu dari Menteri.
4. Dengan sengaja memproduksi obat jadi atau bahan baku obat yang tidak
memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku (Obat Palsu).
5. Tidak memenuhi ketentuan dalam izin usaha industri farmasi yang
ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.
245/MenKes/SK/V/1990.
Pencabutan izin tersebut dapat dilakukan setelah dikeluarkan :
1. Peringatan secara tertulis sebanyak tiga kali berturut–turut dengan tenggang
waktu masing-masing 2 (dua) bulan kepada perusahaan Industri Farmasi tersebut.
2. Pembekuan izin usaha industri farmasi berlaku 6 bulan dimulai sejak
dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan usaha industri farmasi.
2.1.5 Pembinaan dan Pengawasan Industri Farmasi
Pembinaan terhadap pengembangan industri farmasi dilakukan oleh
Direktur Jenderal, sedangkan pengawasan dilakukan oleh Kepala Badan. Pelanggaran
terhadap ketentuan dalam Permenkes RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 dapat
dikenakan sanksi administratif berupa:
1. Peringatan secara tertulis.
2. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk
penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat
yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan,
atau mutu.
3. Perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi
persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu.
4. Penghentian sementara kegiatan.
5. Pembekuan izin industri farmasi.
6. Pencabutan izin industri farmasi.
2.2 Peran, Fungsi dan Tugas Apoteker di Industri Farmasi
Peran apoteker di industri seperti yang disarankan oleh Worl Health Organization
(WHO), yaitu Nine Star Pharmachist yang meliputi:
1. Care-Giver (Pemberi Pelayanan)
2. Decision-Maker (Pembuat Keputusan)
3. Communicator (Komunikator)
4. Manager (Manajer)
5. Leader (Pemimpin)
6. Life-Long Learner (Belajar Seumur Hidup)
7. Teacher (Pendidikan)
8. Research (Riset/Penelitian)
9. Entrepreneur (Wirausaha)
Peran tersebut diterapkan di dalam semua aspek CPOB. Menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian
Pasal 9, dimana Industri Farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker sebagai
penanggung jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi dan pengawasan
mutu setiap produksi Sedian Farmasi. Kepala bagian produksi dan kepala Bagian
Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) atau kepala bagian Pengawasan Mutu harus
independen satu terhadap yang lain.
2.2.1 Kepala Bagian Produksi
Tugas dari kepala bagian produksi diantaranya :
a. Kepala bagian produksi hendaklah apoteker yang terdaftar dan terkualifikasi,
memperoleh pelatihan dan sesuai, memiliki pengalaman praktis yang memadai dalam
bidang pembuatan obat dan keterampilan manajerial sehingga memungkinkan untuk
malaksanakan tugas secara profesional. Kepala bagian produksi hendaklah diberi
kewenangan dan tanggung jawab penuh dalam produksi obat, termasuk kepada kepala
bagian manajemen mutu (Pemastian Mutu).
b. Memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan dibagian produksi.
c. Memastikan bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan.
d. Memastikan bahwa obat diproduksi dan disimpan sesuai prosedur agar memenuhi
persyaratan mutu yang ditetapkan.
e. Memberikan persetujuan petunjuk yang terkait dengan produksi dan memastikan
bahwa petunjuk kerja diterapkan secara tepat.
f. Memastikan bahwa catatan produksi telah dievaluasi dan ditanda tangani oleh kepala
bagian produksi sebelum diserahkan.
g. Memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil di
departemennya dilaksanakan dan diterapkan sesuai kebutuhan.
2.2.2 Kepala Bagian Pengawasan Mutu
Kepala bagian pengawasan mutu hendaklah seorang yang terkualifikasi dan lebih
diutamakan seorang Apoteker, memperoleh pelatihan yang sesuai, memiliki pengalaman
praktis yang memadai dan keterampilan manajerial sehingga memungkinkan untuk
melaksanakan tugas secara profesional. Kepala bagian pengawasan mutu hendaklah
diberi kewenangan dan tanggung jawab penuh dalam pengawasan mutu, termasuk :
a. Menyetujui atau menolak bahan awal, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan
dan produk jadi.
b. Memastikan bahwa seluruh pengujian yang diperlukan telah dilaksankan.
c. Memberi persetujuan terhadap spesifikasi, petunjuk kerja, pengambilan contoh,
metode pengujian dan prosedur pengawasan mutu lain.
d. Memberi persetujuan dan memantau semua kontrak analisis.
e. Memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan di bagian pengawasan
mutu.
f. Memastikan bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan.
g. Memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil di
departemennya dilaksanakan dan diterapkan sesuai kebutuhan.
2.2.3 Kepala Bagian Pemastian Mutu
Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) hendaklah seorang apoteker
yang terdaftar dan terkualifikasi memperoleh pelatihan yang sesuai, memilik pengalaman
praktis yang memadai dan keterampilan manajerial sehingga memungkinkan untuk
melaksankan tugas secara profesional. Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian
Mutu) hendaklah diberi kewenangan dan tanggung jawab penuh untuk melaksanakan
tugas yang berhubungan dengan sistem mutu/pemastian mutu, termasuk :
a. Memastikan penerapan (dan bila diperlukan membentuk) sistem mutu.
b. Ikut serta dalam atau memprakarsai pembentukan acuan mutu perusahaan.
c. Memprakarsai dan mengawasi audit internal atau inspeksi diri berkala.
d. Melakukan pengawasan terhadap fungsi bagian pengawasan mutu.
e. Memprakarsai dan berpartisipasi dalam pelaksanaan audit eksternal (audit terhadap
pemasok).
f. Memprakarsai dan berpartisipasi dalam program validasi.
g. Memastikan pemenuhan persyaratan teknik atau peraturan Otoritas Pengawasan Obat
(OPO) yang berkaitan dengan mutu produk jadi.
h. Mengevaluasi/mengkaji catatan bets.
i. Meluluskan atau menolak produk jadi untuk penjualan dengan mempertimbangkan
semua faktor terkait.
2.3 Cara Pembuatan Obat yang Baik CPOB
CPOB bertujuan untuk menjamin obat diproduksi secara konsisten, memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan, dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB
mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu. Pada proses pembuatan obat,
pengendalian menyeluruh adalah sangat penting untuk menjamin bahwa obat yang
bermutu tinggi tidaklah cukup bila produk jadi hanya sekedar lulus dari serangkaian
pengujian, tetapi yang lebih penting adalah bahwa mutu harus dibentuk ke dalam produk
tersebut (to build quality into the product). Mutu obat tergantung pada bahan awal, bahan
pengemas, proses produksi, pengendalian mutu, bangunan, peralatan yang dipakai, serta
personil yang terlibat. CPOB yang terbaru saat ini adalah edisi 2018 yang ruang
lingkupnya meliputi: sistem mutu, personalia, bangunan dan fasilitas, peralatan, sanitasi
dan higiene, produksi, pengawasan mutu, inspeksi diri, audit mutu dan audit &
persetujuan pemasok, penanganan keluhan terhadap produk dan penarikan kembali
produk, dokumentasi, pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak, kualifikasi dan
validasi.
2.3.1 Sistem Mutu Industri Farmasi
Pemegang Izin Industri Farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai
tujuan penggunaan, memenuhi persyaratan Izin Edar atau Persetujuan Uji Klinik, jika
diperlukan, dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan pasien pengguna
disebabkan karena keamanan, mutu atau efektivitas yang tidak memadai. Industri farmasi
harus menetapkan manajemen puncak yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan
atau pabrik dengan kewenangan dan tanggung jawab memobilisasi sumber daya dalam
perusahaan atau pabrik untuk mencapai kepatuhan terhadap regulasi. Manajemen puncak
bertanggung jawab untuk pencapaian sasaran mutu, yang memerlukan partisipasi dan
komitmen dari personel pada semua tingkat di berbagai departemen dalam perusahaan,
juga pemasok dan distributor. Untuk mencapai sasaran mutu yang handal, diperlukan
Sistem Mutu yang didesain secara komprehensif dan diterapkan secara benar serta
mencakup Cara Pembuatan Obat yang Baik dan Manajemen Risiko Mutu. Pelaksanaan
sistem ini hendaklah didokumentasi lengkap dan dimonitor dipantau efektivitasnya.
Semua bagian Sistem Mutu hendaklah didukung ketersediaan personel yang kompeten,
bangunan dan sarana serta peralatan yang cukup dan memadai. Tambahan tanggung
jawab legal diberikan kepada pemegang Izin Industri Farmasi (IIF) dan kepada
Pemastian Mutu. Konsep dasar Manajemen Mutu, Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB) dan Manajemen Risiko Mutu adalah saling terkait. Unsur dasar manajemen
mutu adalah:
a. Suatu infrastruktur atau sistem mutu Industri Farmasi yang tepat mencakup struktur
organisasi, prosedur, proses dan sumber daya dan
b. Tindakan sistematis yang diperlukan untuk mendapatkan kepastian dengan tingkat
kepercayaan yang tinggi, sehingga produk (atau jasa pelayanan) yang dihasilkan
akan selalu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Keseluruhan tindakan
tersebut disebut Pemastian Mutu. Semua bagian Sistem Mutu Industri Farmasi
hendaklah didukung dengan ketersediaan personel yang kompeten, bangunan dan
sarana serta peralatan yang cukup dan memadai. Kepala Bagian Pemastian Mutu
memiliki tambahan tanggung jawab secara hukum.
2.3.2 Personalia
Pembuatan obat yang benar mengandalkan sumber daya manusia. Oleh sebab itu
industri farmasi harus bertanggung jawab untuk menyediakan personel yang
terkualifikasi dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan semua tugas. Tanggung
jawab individual secara jelas dipahami oleh masing-masing dan didokumentasikan.
Seluruh personel hendaklah memahami prinsip CPOB yang menyangkut tugasnya serta
memperoleh pelatihan awal dan berkesinambungan, termasuk instruksi higiene yang
berkaitan dengan pekerjaannya. Personil kunci mencakup kepala bagian Produksi, kepala
bagian Pengawasan Mutu dan kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu). Kepala
Produksi, Pengawasan Mutu dan Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) memiliki tanggung
jawab bersama atau menerapkan bersama, semua aspek yang berkaitan dengan mutu
termasuk khususnya desain, pelaksanaan, pemantauan dan pemeliharaan Sistem Mutu
Industri Farmasi yang efektif. Hal ini termasuk, sesuai dengan peraturan Badan POM:
a. Otorisasi prosedur tertulis dan dokumen lain termasuk amandemen
b. Pemantauan dan pengendalian lingkungan pembuatan
c. Higiene pabrik
d. Validasi proses
e. Pelatihan
f. Persetujuan dan pemantauan pemasok bahan
g. Persetujuan dan pemantauan terhadap industri farmasi pembuat obat kontrak dan
penyedia kegiatan alih daya terkait CPOB lain
h. Penetapan dan pemantauan kondisi penyimpanan bahan dan produk
i. Penyimpanan catatan
j. Pemantauan terhadap kepatuhan persyaratan CPOB
k. Inspeksi, investigasi dan pengambilan sampel untuk pemantauan faktor yang mungkin
berpengaruh terhadap mutu produk
l. Ikut serta dalam pelaksanaan tinjauan manajemen terhadap kinerja proses, mutu
produk dan Sistem Mutu Industri Farmasi dan mendorong perbaikan berkelanjutan
dan
m. Memastikan komunikasi yang tepat waktu dan efektif dan proses eskalasi berjalan
untuk mengangkat permasalahan mutu ke tingkat manajemen yang tepat.
Suatu industri farmasi harus memiliki struktur organisasi yang menguraikan tugas
dan kewenangan masing-masing personil sesuai dengan posisinya. Tugas tersebut boleh
didelegasikan kepada wakil yang ditunjuk dengan syarat wakil tersebut memiliki tingkat
kualifikasi yang memadai. Hendaklah aspek penerapan CPOB tidak ada gap ataupun
tumpang tindih tanggung jawab yang tercantum pada uraian tugas.
2.3.3 Bangunan dan Fasilitas
Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat harus memiliki desain, konstruksi
dan letak yang memadai, serta disesuaikan kondisinya dan dirawat dengan baik untuk
memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus dibuat
sedemikian rupa untuk memperkecil risiko terjadi kekeliruan, pencemaran silang dan
kesalahan lain, serta memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif
untuk menghindarkan pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran, dan dampak
lain yang dapat menurunkan mutu obat.
Letak bangunan hendaklah sedemikian rupa untuk menghindarkan kontaminasi
dari lingkungan sekitar, seperti kontaminasi dari udara, tanah dan air serta dari kegiatan
industri lain yang berdekatan. Apabila letak bangunan tidak sesuai, hendaklah diambil
tindakan pencegahan yang efektif terhadap kontaminasi tersebut. Bangunan-fasilitas
hendaklah didesain, dikonstruksi, dilengkapi dan dipelihara sedemikian agar memperoleh
perlindungan maksimal terhadap pengaruh cuaca, banjir, rembesan dari tanah serta
masuk dan bersarang serangga, burung, binatang pengerat, kutu atau hewan lain.
Hendaklah tersedia prosedur untuk pengendalian binatang pengerat dan hama. Seluruh
bangunan-fasilitas termasuk area produksi, laboratorium, area penyimpanan, koridor dan
lingkungan sekeliling bangunan hendaklah dipelihara dalam kondisi bersih dan rapi.
Kondisi bangunan hendaklah ditinjau secara teratur dan diperbaiki di mana perlu.
Perbaikan serta pemeliharaan bangunan-fasilitas hendaklah dilakukan hati-hati agar
kegiatan tersebut tidak merugikan mutu obat. Desain dan tata letak ruang hendaklah
memastikan :
a. Kompatibilitas dengan kegiatan produksi lain yang mungkin dilakukan di dalam
sarana yang sama atau sarana yang berdampingan dan
b. Pencegahan area produksi dimanfaatkan sebagai jalur lalu lintas umum bagi personil
dan bahan atau produk, atau sebagai tempat penyimpanan bahan atau produk selain
yang sedang diproses.
Tindakan pencegahan hendaklah diambil untuk mencegah personil yang tidak
berkepentingan masuk. Area produksi, area penyimpanan dan area pengawasan mutu
tidak boleh digunakan sebagai jalur lalu lintas bagi personil yang tidak bekerja di area
tersebut. Luas area kerja dan area penyimpanan bahan atau produk yang sedang dalam
proses hendaklah memadai untuk memungkinkan penempatan peralatan dan bahan secara
teratur dan sesuai dengan alur proses, sehingga dapat memperkecil risiko terjadi
kekeliruan antara produk obat atau komponen obat yang berbeda, mencegah pencemaran
silang dan memperkecil risiko terlewat atau salah melaksanakan tahapan proses produksi
atau pengawasan. Permukaan dinding, lantai dan langit-langit bagian dalam ruangan di
mana terdapat bahan baku dan bahan pengemas primer, produk antara atau produk
ruahan yang terpapar ke lingkungan hendaklah halus, bebas retak dan sambungan
terbuka, tidak melepaskan partikulat, serta memung-kinkan pelaksanaan pembersihan
(bila perlu disinfeksi) yang mudah dan efektif. Tingkat kebersihan ruang/area untuk
pembuatan obat hendaklah diklasifikasikan sesuai dengan jumlah maksimum partikulat
udara yang diperbolehkan untuk tiap kelas kebersihan sesuai tabel di bawah ini:
Tabel 1. Klasifikasi Ruangan Berdasarkan Tingkat Kebersihan

Ukuran Partikel
Non Operasional Operasional
Kelas
Jumlah Maksimum Partikel/M yang diperbolehkan
3

> 0,5 μm > 5 μm > 0,5 μm > 5 μm


A 3.520 20 3.520 20
B 3.250 29 352.000 2.900
C 352.000 2.900 3.520.000 29.000
tidak tidak
D 3.520.000 29.000
ditetapkan ditetapkan
tidak tidak
E 3.520.000 29.000
ditetapkan ditetapkan

Catatan:
- Kelas A, B, C dan D adalah kelas kebersihan ruang untuk pembuatan produk
steril.
- Kelas E adalah kelas kebersihan ruang untuk pembuatan produk nonsteril.
- Persyaratan lain untuk pembuatan produk steril dirangkum pada Aneks 1
Pembuatan Produk Steril.
2.3.4 Peralatan
Peralatan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi yang
tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat, agar mutu
obat terjamin sesuai desain serta seragam dari bets ke bets dan untuk memudahkan
pembersihan serta pemeliharaan agar dapat mencegah kontaminasi silang, penumpukan
debu atau kotoran dan, hal-hal yang umumnya berdampak buruk pada mutu produk.
Desain dan konstruksi hendaklah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Peralatan hendaklah didesain, ditempatkan dan di rawat sesuai dengan tujuannya.
b. Permukaan peralatan yang bersentuhan langsung dengan bahan awal, produk antara
atau produk jadi tidak boleh menimbulkan reaksi, adisi atau absorbsi yang dapat
mempengaruhi identitas, mutu atau kemungkinan di luar batas yang ditentukan.
c. Bahan yang diperlukan untuk operasional alat khusus, misalnya pelumas atau
pendingin tidak boleh bersentuhan dengan bahan yang sedang diolah sehingga
tidak mempengaruhi identitas, mutu atau kemurnian bahan awal, produk antara
ataupun produk jadi.
d. Peralatan tidak boleh merusak produk akibat katub bocor, tetesan pelumas dan hal
sejenis atau karena perbaikan, perawatan, modifikasi dan adaptasi yang tidak tepat.
e. Peralatan hendaknya didesain sedemikian rupa agar mudah dibersihkan. Peralatan
tersebut hendaklah dibersihkan sesuai prosedur tertulis yang rinci serta disimpan
dalam keadaan bersih dan kering.
f. Peralatan pencucian dan pembersihan hendaklah dipilih dan digunakan agar tidak
menjadi sumber pencemaran.
g. Peralatan yang digunakan hendaklah tidak berakibat buruk pada produk. Bagian
alat yang bersentuhan langsung dengan produk tidak boleh bersifat reaktif, adiktif
atau absorbtif yang dapat mempengaruhi mutu dan berakibat buruk pada produk.
h. Semua peralatan khusus untuk pengolahan bahan mudah terbakar atau bahan kimia
atau yang ditempatkan di area dimana digunakan bahan mudah terbakar, hendaklah
dilengkapi dengan perlengkapan elektris yang kedap eksplosi serta ditimbun
dengan benar.
i. Hendaklah tersedia alat timbang dan alat ukur dengan rentang dan ketelitian yang
tepat untuk proses produksi dan pengawasan.
j. Peralatan untuk mengukur, menimbang, mencatat, dan mengendalikan hendaklah
dikalibrasi dan diperiksa pada interval waktu tertentu dengan metode yang
ditetapkan. Catatan yang memadai dari pengujian tersebut hendaklah disimpan.
k. Filter cairan yang digunakan untuk proses produksi hendaklah tidak melepaskan
serat ke dalam produk. Filter yang mengandung asbes tidak boleh digunakan
walaupun sesudahnya disaring kembali menggunakan filter khusus yang tidak
melepaskan serat.
2.3.5 Produksi
Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang
telahditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB untuk menjamin produk yang dihasilkan
memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar (registrasi). Produksi hendaklah
dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten karena mutu obattidak hanya
ditentukan oleh hasil analisa terhadap produk akhir, melainkan jugaoleh mutu yang
dibangun selama tahap produksi sampai dengan pengemasan. Prosedur produksi dibuat
oleh penanggung jawab produksi bersama dengan penanggung jawab pengawasan mutu
untuk menjamin obat yang dihasilkan memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan.
Prosedur kerja standar hendaklah tertulis serta mudah dipahami dan dipatuhi oleh
karyawan produksi. Dokumentasi setiap langkah prosedur harus dilakukan dengan
cermat, tepat dan ditangani oleh karyawan yang melaksanakan tugas.
2.3.6 Cara Penyimpanan Dan Pengiriman Obat Yang Baik
Penyimpanan dan pengiriman adalah bagian yang penting dalam kegiatan dan
manajemen rantai pemasokan obat yang terintegrasi. Dokumen ini menetapkan langkah-
langkah yang tepat untuk membantu pemenuhan tanggung jawab bagi semua yang
terlibat dalam kegiatan pengiriman dan penyimpanan produk. Dokumen ini memberikan
pedoman bagi penyimpanan dan pengiriman produk jadi dari Industri Farmasi ke
distributor. Jika gudang industri farmasi bertindak juga sebagai pusat distribusi produk ke
fasilitas distribusi, fasilitas pelayanan kefarmasian dan fasilitas pelayanan kesehatan,
hendaklah industri farmasi juga menerapkan dan memenuhi pedoman Cara Distribusi
Obat yang Baik (CDOB).
2.3.7 Pengawasan Mutu
Pengawasan Mutu mencakup pengambilan sampel, spesifikasi, pengujian serta
termasuk pengaturan, dokumentasi dan prosedur pelulusan yang memastikan bahwa
semua pengujian yang relevan telah dilakukan, dan bahan tidak diluluskan untuk dipakai
atau produk diluluskan untuk dijual, sampai mutunya telah dibuktikan persyaratan.
Pengawasan Mutu tidak terbatas pada kegiatan laboratorium, tapi juga harus terlibat
dalam semua keputusan yang terkait dengan mutu produk. Ketidaktergantungan
Pengawasan Mutu dari Produksi dianggap hal yang fundamental agar Pengawasan Mutu
dapat melakukan kegiatan dengan benar.
Tiap pemegang Izin Industri Farmasi hendaklah mempunyai Bagian Pengawasan
Mutu. Bagian ini harus independen dari bagian lain dan di bawah tanggung jawab dan
wewenang seorang dengan kualifikasi dan pengalaman yang sesuai, yang membawahi
satu atau beberapa laboratorium. Sarana yang memadai hendaklah tersedia untuk
memastikan bahwa segala kegiatan Pengawasan Mutu dilaksanakan dengan efektif dan
dapat diandalkan. Bagian Pengawasan Mutu secara keseluruhan juga mempunyai
tanggung jawab, antara lain adalah membuat, memvalidasi dan menerapkan semua
prosedur pengawasan mutu, mengawasi pengendalian sampel pembanding dan/atau
sampel pertinggal dari bahan dan produk bila perlu, memastikan kebenaran label pada
wadah bahan dan produk, memastikan pelaksanaan pemantauan stabilitas produk, ikut
serta dalam investigasi keluhan yang terkait dengan mutu produk, dll. Semua kegiatan
tersebut hendaklah dilakukan sesuai dengan prosedur tertulis, dan dicatat di mana perlu.
2.3.8 Inspeksi Diri
Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi
dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB. Program inspeksi
diri hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan
untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan. Inspeksi diri hendaklah
dilakukan secara independen dan rinci oleh petugas yang kompeten dari perusahaan yang
dapat mengevaluasi penerapan CPOB secara objektif. Inspeksi diri hendaklah dilakukan
secara rutin dan, di samping itu, pada situasi khusus, misalnya dalam hal terjadi
penarikan kembali obat jadi atau terjadi penolakan yang berulang.Semua saran untuk
tindakan perbaikan supaya dilaksanakan Prosedur dan catatan inspeksi diri hendaklah
didokumentasikan dan dibuat program tindak lanjut yang efektif. Hendaklah dibuat
instruksi tertulis untuk inspeksi diri yang menyajikan standar persyaratan minimal dan
seragam. Daftar ini hendaklah berisi pertanyaan mengenai ketentuan CPOB yang
mencakup antara lain:
- Personel;
- Bangunan-fasilitas termasuk fasilitas untuk personel;
- Pemeliharaan bangunan dan peralatan;
- Penyimpanan bahan awal, bahan pengemas dan obat jadi;
- Peralatan;
- Produksi dan pengawasan selama-proses;
- Pengawasan mutu;
- Dokumentasi;
- Sanitasi dan higiene;
- Program validasi dan revalidasi;
- Kalibrasi alat atau sistem pengukuran;
- Prosedur penarikan obat jadi;
- Penanganan keluhan;
- Pengawasan label; dan
- Hasil inspeksi diri sebelumnya dan tindakan perbaikan.
Aspek-aspek tersebut hendaklah diperiksa secara berkala menurut program yang telah
disusun untuk memverifikasi kepatuhan terhadap prinsip Pemastian Mutu.
Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara indipenden dan rinci oleh personil (-
personil) perusahaan yang kompeten. Manajemen hendaklah membentuk tim inspeksi
diri yang berpengalaman dalam bidangnya masing-masing dan memahami CPOB. Audit
independen oleh pihak ketiga juga dapat bermanfaat. Inspeksi diri dapat dilaksanakan per
bagian sesuai dengan kebutuhan perusahaan, namun inspeksi diri yang menyeluruh
hendaklah dilaksanakan minimal 1 (satu) kali dalam setahun. Frekuensi inspeksi diri
hendaklah tertulis dalam prosedur inspeksi diri. Semua hasil inspeksi diri hendaklah
dicatat. Laporan hendaklah mencakup:
a. Semua hasil pengamatan yang dilakukan selama inspeksi dan, bila memungkinkan,
b. Saran untuk tindakan perbaikan.
Pernyataan dari tindakan yang dilakukan hendaklah dicatat. Hendaklah ada program
penindaklanjutan yang efektif. Manajemen perusahaan hendaklah mengevaluasi baik
laporan inspeksi diri maupun tindakan perbaikan bila diperlukan.
2.3.9 Keluhan dan Penarikan Produk
Untuk melindungi kesehatan masyarakat, suatu sistem dan prosedur yang sesuai
hendaklah tersedia untuk mencatat, menilai, menginvestigasi dan meninjau keluhan
termasuk potensi cacat mutu dan jika perlu, segera melakukan penarikan obat termasuk
obat uji klinik dari jalur distribusi secara efektif. Prinsip-prinsip Manajemen Risiko Mutu
hendaklah diterapkan pada investigasi,penilaian cacat mutu dan proses pengambilan
keputusan terkait dengan tindakan penarikan produk, tindakan perbaikan dan pencegahan
serta tindakan pengurangan-risiko lain. Semua otoritas pengawas obat terkait hendaklah
diberitahu secara tepat waktu jika ada cacat mutu yang terkonfirmasi (kesalahan
pembuatan, kerusakan produk, temuan pemalsuan, ketidakpatuhan terhadap izin edar atau
spesifikasi produk, atau isu mutu serius lain) terhadap obat atau obat uji klinik yang dapat
mengakibatkan penarikan produk atau pembatasan pasokan. Apabila ditemukan produk
yang beredar tidak sesuai dengan izin edarnya, hendaklah dilaporkan kepada Badan POM
dan atau otoritas pengawas obat terkait sesuai dengan ketentuan berlaku.
2.3.10 Dokumentasi
Dokumentasi yang baik merupakan bagian yang esensial dari sistem pemastian
mutu dan merupakan kunci untuk pemenuhan persyaratan CPOB. Berbagai jenis
dokumen dan media yang digunakan hendaklah sepenuhnya ditetapkan dalam Sistem
Mutu Industri Farmasi. Dokumentasi dapat dibuat dalam berbagai bentuk, termasuk
media berbasis kertas, elektronik atau fotografi. Tujuan utama sistem dokumentasi yang
dimanfaatkan haruslah untuk membangun, mengendalikan, memantau dan mencatat
semua kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung berdampak pada semua aspek
kualitas obat. Sistem Mutu Industri Farmasi hendaklah mencakup penjabaran rinci yang
memadai terhadap pemahaman umum mengenai persyaratan, di samping memberikan
pencatatan berbagai proses dan evaluasi setiap pengamatan yang memadai, sehingga
penerapan persyaratan yang berkelanjutan dapat ditunjukkan.
Acuan lebih lanjut terkait penerapan Cara Dokumentasi yang Baik untuk
menjamin integritas dokumen dan catatan dapat mengacu pada Pedoman WHO
Guidance on Good Data and Record Management Practices atau pedoman internasional
lain terkait. Ada dua jenis dokumentasi utama yang digunakan untuk mengelola dan
mencatat pemenuhan CPOB: prosedur/instruksi (petunjuk, persyaratan) dan
catatan/laporan. Pelaksanaan dokumentasi yang tepat hendaklah diterapkan sesuai
dengan jenis dokumen. Pengendalian yang sesuai hendaklah diterapkan untuk
memastikan keakuratan, integritas, ketersediaan dan keterbacaan dokumen. Dokumen
hendaklah bebas dari kesalahan dan tersedia secara tertulis. Istilah 'tertulis' berarti
tercatat, atau terdokumentasi di media tempat data dapat diberikan dalam bentuk yang
mudah terbaca oleh manusia.
2.3.11 Kegiatan Alih Daya
Aktivitas yang tercakup dalam Pedoman CPOB yang dialihdayakan hendaklah
didefinisikan, disetujui dan dikendalikan dengan benar untuk menghindarkan
kesalahpahaman yang dapat menghasilkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang
tidak memuaskan. Hendaklah dibuat kontrak tertulis antara Pemberi Kontrak dan
Penerima Kontrak yang secara jelas menentukan peran dan tanggung jawab masing-
masing pihak. Sistem Mutu Industri Farmasi dari Pemberi Kontrak hendaklah
menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets produk untuk diedarkan yang
menjadi tanggung jawab penuh Kepala Pemastian Mutu.
Hendaklah dibuat kontrak tertulis yang meliputi semua kegiatan alih daya, produk
atau pekerjaan dan semua pengaturan teknis terkait. Semua pengaturan untuk kegiatan
alih daya termasuk usulan perubahan teknis atau perubahan lain hendaklah sesuai dengan
peraturan regulasi dan Izin Edar untuk produk terkait. Jika pemegang Izin Edar dan Izin
Industri Farmasi tidak sama, pengaturan yang tepat hendaklah dibuat dengan
mempertimbangkan semua prinsip. Pembuatan obat alih daya di Indonesia hanya dapat
dilakukan oleh industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB yang berlaku yang
diterbitkan oleh Badan POM.
2.3.12 Kulifikasi dan Validasi
CPOB mempersyaratkan industri farmasi mengendalikan aspek kritis kegiatan
yang dilakukan melalui kualifikasi dan validasi sepanjang siklus hidup produk dan
proses. Tiap perubahan yang direncanakan terhadap fasilitas, peralatan, sarana
penunjang, dan proses, yang dapat memengaruhi mutu produk, hendaklah
didokumentasikan secara formal dan dampak pada status validasi atau strategi
pengendaliannya dinilai. Pendekatan manajemen risiko mutu hendaklah diterapkan
sepanjang siklus hidup obat. Sebagai bagian dari sistem manajemen risiko mutu,
keputusan mengenai cakupan dan luas kualifikasi-validasi fasilitas, peralatan, sarana
penunjang, dan proses hendaklah didasarkan pada penilaian risiko yang dijustifikasi dan
didokumentasikan. Validasi retrospektif tidak lagi dianggap sebagai pendekatan yang
dapat diterima. Data pendukung kualifikasi dan/atau studi validasi yang diperoleh dari
sumber di luar program industri dapat digunakan, dengan syarat pendekatan ini telah
dijustifikasi dan ada jaminan yang memadai bahwa pengendalian telah dilakukan saat
mengambil alih data tersebut.
2.4 Production Planning and Inventory Control (PPIC)
Material management adalah suatu manajemen untuk mancapai tujuan
pengelolaan material (bahan baku, bahan pengemas, produk setengah jadi dan produk
jadi) itu sendiri. Tugas pokok material manajemen adalah mengubah ramalan penjualan
(forecasting) menjadi perencanaan produksi dan kemudian menjadi perencanaan bahan
baku, persediaan akhir, hasil antara, peralatan pengangkutan dan jam kerja. Kegiatan
utama dalam material manajemen adalah Perencanaan Produksi (production planning)
dan pengendalian persediaan (inventory control), bagian ini biasa disebut dengan
departemen Production Planning and Inventory Control (PPIC) PPIC merupakan sebuah
tim yang bertugas membuat perencanaan produksi. Adapun hal yang perlu diperhatikan
dalam Perencanaan Produksi yaitu (Priyambodo, 2007) :
1) Keterbatasan kapasitas atau fasilitas produksi
2) Analisis biaya tambahan (incremental cost) Analisis biaya tambahan diperlukan
karena adanya perubahan periode produksi menjadi lebih singkat sehingga timbul
kenaikan biaya yang disebabkan oleh : biaya lembur, biaya instal (set up) mesin
karena adanya pergantian produk, biaya simpan, biaya kompensasi atas
berkurangnya output, dll.
3) Delivery time
Ditentukan untuk produksi obat-obat tender yang jumlahnya besar dan order datang
mendadak serta tidak dapat diprediksi lebih awal.
2.4.1 Perencanaan Produksi (Production Planning)
Setelah forecast dibuat oleh bagian marketing, selanjutnya disusun perencanaan
produksi serta Rencana Anggaran Belanja Perusahaan (RABP) sebagai acuan untuk
memenuhi permintaan marketing tersebut. Perencanaan produksi terbagi menjadi
Rencana Produksi Tahunan, yang kemudian dipecah kedalam Rencana Periodik misalnya
semester atau triwulan. Selanjutnya Rencana Periodik dipecah lagi menjadi Rencana
Produksi Bulanan, Mingguan dan Harian. Sasaran pokok dari perencanaan produksi
antara lain:
1) Ketepatan waktu dalam memenuhi permintaan pelanggan
2) Kecepatan waktu penyelesaian permintaan pelanggan
3) Berkurangnya biaya produksi
4) New product launching dan divestment (Write Off) produk-produk lama berjalan
lancar (teratur).
Perencanaan produksi dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal (dari
dalam perusahaan itu sendiri) maupun faktor eksternal. Faktor internal antara lain
kapasitas terpasang, kapasitas produksi, jumlah persediaan dan aktifitas lain yang
diperlukan untuk produksi. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi perencanaan
produksi antara lain kebutuhan/permintaan pasar, kondisi perekonomian, ketersediaan
bahan baku/ bahan pengemas, aktifitas kompetitor dan kapasitas eksternal (untuk
kegiatan yang di sub kontrakkan).
2.4.2 Pengendalian Persediaan (Inventory Control)
Pesediaan (inventory) memiliki arti penting operasi bisnis suatu perusahaan, guna
untuk memenuhi kebutuhan produksi dan memberikan kepuasan pada kebutuhan
perusahaan. Tujuan diadakan persediaan antara lain:
1. Untuk memberikan layanan terbaik pada pelanggan
2. Untuk memperlancar proses produksi
3. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kekuarangan persediaan
4. Dan untuk menghadapi fluktuasi harga.
Untuk mencapai tujuan tersebut tentu saja akan menimbulkan konsekuensi bagi
perusahaan, yaitu menanggung biaya atau resiko yang berkaitan dengan keputusan
persediaan. Oleh karena itu, sasaran akhir dari pengendalian persediaan adalah
menghasilkan keputusan tingkat persediaan, yang menyeimbangkan tujuan diadakannya
persediaan dengan biaya yang dikeluarkan.
2.5 Pergudangan
Gudang merupakan sarana pendukung kegiatan produksi dan operasi industri
farmasi yang berfungsi untuk menyimpan bahan baku, bahan kemas dan bahan obat jadi
yang belum didistribusikan. Selain untuk penyimpanan, gudang juga berfungsi untuk
melindungi bahan baku, pengemas, dan obat jadi dari pengaruh luar dan binatang
pengerat, serangga dan melindungi obat dari kerusakan. Agar dapat menjalankan fungsi
tersebut maka harus dilakukan pengelolaan pergudangan secara benar atau yang sering
disebut dengan manajemen pergudangan. Manajemen perundangan memiliki cakupan
antara lain (Priyambodo, 2007):
1. Mengatur orang/petugas (SDM) mengatur penerimaan barang.
2. Mengatur penataan/penyimpanan barang
3. Mengatur pelayanan akan permintaan barang Sasaran pengelolaan gudang adalah:
a. Fasilitas
b. Tenaga kerja
c. Barang Syarat-syarat gudang sesuai dengan c-GMP antara lain (Priyambodo,
2007):
- Harus ada Prosedur Tetap yang mengatur tata cara kerja bagian gudang,
termasuk di dalamnya mencakup tentang tata cara penerimaan bahan,
penyimpanan dan distribusi bahan/produk.
- Gudang harus cukup luas, terang dan dapat menyimpan bahan dalam
keadaan kering, bersuhu sesuai dengan persyaratan, bersih dan teratur.
- Harus terdapat tempat khusus untuk menyimpan bahan yang mudah
terbakar atau mudah meledak (misalnya alkohol atau pelarut organik).
- Tersedia tempat khusus untuk produk atau bahan dalam status
“karantina” dan “ditolak”.
- Tersedia tempat khusus untuk melakukan sampling (sampling room)
dengan kualitas ruangan seperti ruang produksi (Grey Area).
- Pengeluaran bahan harus menggunakan prinsip FIFO (First In First Out)
atau FEFO (First Expired First Out).
2.6 Produksi
Produksi hendaklah dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten.
Penanganan bahan dan produk jadi, seperti penerimaan dan karantina, pengambilan
sampel, penyimpanan, penandaan, penimbangan, pengolahan, pengemasan, dan distribusi
hendaklah dilakukan sesuai dengan prosedur atau instruksi tertulis dan bila perlu dicatat
(Anonim, 2006). Bahan yang diterima dan produk jadi hendaklah dikarantina secara fisik
atau administratif segera setelah diterima atau diolah, sampai dinyatakan lulus untuk
pemakaian atau distribusi. Tiap tahap pengolahan, produk dan bahan hendaklah
dilindungi terhadap pencemaran mikroba atau pencemaran lain (Anonim, 2006).
Adapun ruang lingkup yang termaksud di dalam sistem produksi yaitu
(Priyambodo, 2007):
1. Penimbangan bahan baku dan bahan pengemas
2. Proses pengolahan
3. Validasi proses pengolahan
4. Protap dan dokumen produksi
5. Prosedur tertulis yang telah disetujui (Dokumen Induk Produksi), berisi :
penimbangan, tahapan proses kritis, kebersihan alat/mesin yang digunakan serta
pengawasan dalam proses
6. Kondisi ruangan produksi harus bersih dan terpantau
7. Adanya catatan proses termasuk penyimpangan yang terjadi
8. Terjaminnya prosedur/proses ketelusuran
9. Pemantauan terhadap suhu dan kelembaban ruangan berdasarkan prosedur dan
dilakukan sebelum kegiatan pengolahan dimulai
10. Adanya nomor bets yang merupakan identitas bagi obat jadi
11. Setiap ruangan pengolahan diberi label jenis kegiatan dan nomor bets produk
yang sedang diproses dalam ruangan tersebut
12. Operator yang terlibat dalam proses harus mengenakan pakaian kerja dan sepatu
kerja yang bersih sesuai ketentuan yang berlaku
13. Setiap wadah bahan baku harus diberi identitas yang jelas
14. Pelumas yang digunakan untuk mesin: Food Grade
15. Dilakukan pemantauan kualitas lingkungan kerja (kelas I, II, atau III) secara
periodik.
Prosedur kerja standar hendaklah tertulis, mudah dipahami dan dipatuhi oleh
karyawan produksi. Dokumentasi setiap langkah dilakukan dengan cermat, tepat dan
ditangani oleh karyawan yang melaksanakan tugas (Anonim, 2006).
2.6.1 Bahan Awal
Setiap bahan awal, sebelum dinyatakan lulus untuk digunakan, hendaklah
memenuhi spesifikasi bahan awal yang sudah ditetapkan dan diberi label dengan nama
yang dinyatakan dalam spesifikasi. Persediaan bahan awal hendaklah diperiksa dalam
selang waktu tertentu. Bahan awal yang cenderung rusak atau turun potensinya atau
aktifitasnya selama dalam penyimpanan hendaknya ditandai secara jelas, disimpan
terpisah dan secepatya dimusnahkan atau dikembalikan kepada pemasok.
2.6.2 Validasi Proses
Semua prosedur produksi hendaklah divalidasi dengan tepat. Validasi hendaklah
dilaksanakan menurut prosedur yang telah ditentukan dan catatan hasilnya disimpan
dengan baik. Perubahan penting dalam proses, peralatan atau bahan harus divalidasi
ulang untuk menjamin bahwa perubahan tersebut tetap menghasilkan produk yang
memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan. Macam pendekatan validasi:
1. Validasi Prospektif (Prospective Validation)
Pelaksanaannya berdasarkan protokol yang direncanakan dengan perolehan data
pertama, sebagai contoh yaitu produk baru yang belum beredar.
2. Validasi Konkuren (Concurrent Validation)
Pelaksanaannya berdasarkan data otentik yang diperoleh dan dikumpulkan
melalui proses yang sedang berlaku, sebagai contoh yaitu produk yang sedang
beredar.
3. Validasi Retrospektif (Retrospektif Validation)
Pelaksanaannya berdasarkan data otentik yang diperoleh dan dikumpulkan dari
proses yang sudah (lama) berlaku dan dinilai melalui prinsip statistik, sebagai
contoh yaitu produk yang sudah (lama) beredar.
4. Validasi Ulang (Revalidation)
Dilaksanakan apabila terjadi perubahan dalam komponen validasi, seperti: produk
baru, perubahan bahan awal, perubahan sistem/prosedur, pemindahan peralatan,
dan perbaikan besar.
2.6.3 Sistem Penomoran Bets dan Lot
Sistem ini diperlukan untuk memastikan bahwa produk antara, produk ruahan
atau obat jadi suatu bets atau lot dapat dikenali dengan nomor bets atau lot tertentu dan
tidak digunakan secara berulang.
2.6.4 Penimbangan dan Penyerahan
Penimbangan, atau penghitungan dan penyerahan bahan baku, bahan pengemas,
produk antara dan produk ruahan perlu didokumentasikan secara lengkap.
2.6.5 Pengolahan
Semua bahan dan peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan hendaklah
diperiksa terlebih dahulu. Semua kegiatan pengolahan hendaklah dilaksanakan mengikuti
prosedur tertulis yang telah ditentukan. Bahan yang dapat diolah ulang melalui prosedur
tertentu yang disahkan serta hasilnya memenuhi persyaratan spesifikasi yang ditentukan
dan tidak mempengaruhi mutu dimana semua proses pengolahan ulang hendaklah
disahkan dan didokumentasikan. Pencegahan pencemaran silang dilakukan untuk setiap
pengolahan.
2.6.6 Pengemasan
Kegiatan pengemasan berfungsi membagi-bagi dan mengemas produk ruahan
menjadi obat jadi. Proses pengemasan dilaksanakan dibawah pengawasan ketat untuk
menjaga identitas, keutuhan dan kualitas barang yang sudah dikemas. Obat yang sudah
dikemas hendaklah dikarantina sambil menunggu pelulusan dari bagian pengawasan
mutu.
2.6.7 Obat Kembalian
Obat jadi yang dikembalikan dari gudang pabrik, misal karena label atau kemasan
luar kotor atau rusak dapat diberi label kembali atau diolah ulang ke bets berikutnya
asalkan tidak ada resiko terhadap mutu produk. Obat jadi yang dikembalikan dari
peredaran dan sudah lepas dari pengawasan pabrik pembuat dapat dipertimbangkan
untuk dijual kembali, diberi label kembali atau diolah ulang ke bets berikutnya hanya
setelah dievaluasi secara kritis oleh bagian pengawasan mutu.
2.6.8 Karantina Obat Jadi dan Penyerahan ke Gudang Obat Jadi
Karantina obat jadi merupakan titik akhir pengawasan sebelum obat jadi
diserahkan ke gudang dan siap didistribusikan. Setelah bagian pengawasan bagian
pengawasan mutu meluluskan suatu bets atau lot, obat jadi tersebut hendaklah
dipindahkan dari daerah karantina ke tempat gudang obat jadi.
2.6.9 Pengawasan Distribusi Obat Jadi
Sistem distribusi dirancang dengan tepat sehingga menjamin obat jadi yang
pertama masuk didistribusikan terlebih dahulu.
2.6.10 Penyimpanan Bahan Awal, Produk Antara, Produk Ruahan Dan Obat Jadi
Bahan disimpan rapi dan teratur untuk mencegah risiko tercampur atau
pencemaran serta memudahkan pemeriksaan dan pemeliharaan.
2.6.11 Perjanjian Kontrak
Pembuatan obat berdasarkan kontrak berarti pembuatan sebagian atau
keseluruhan dari suatu obat oleh satu atau lebih pabrik (disebut penerima kontrak) untuk
kepentingan pihak lain (disebut pemberi kontrak). Pemberi kontrak hendaklah
memastikan bahwa penerima kontrak telah memiliki izin operasional dan sertifikat
CPOB yang sesuai dengan bentuk sediaan obat yang akan dikontrakkan.
2.6.12 Pencemaran
Pencemaran kimiawi atau mikroba terhadap suatu obat harus dihindari. Perhatian
khusus diberikan pada masalah pencemaran silang, karena menunjukkan pelaksanaan
pembuatan obat tidak sesuai CPOB.
2.7 Pengemasan
Pengemasan sediaan farmasi dilaksanakan dengan menggunakan bahan
kemasan yang tidak membahayakan kesehatan manusia dan atau dapat mempengaruhi
berubahnya persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sediaan farmasi (Anonim,
2006). Kegiatan pengemasan berfungsi mengemas produk ruahan menjadi produk jadi.
Pengemasan hendaklah dilaksanakan di bawah pengendalian yang ketat untuk menjaga
identitas, keutuhan dan mutu produk akhir yang dikemas. Semua kegiatan pengemasan
hendaklah dilaksanakan sesuai dengan instruksi yang diberikan dan menggunakan bahan
pengemas yang tercantum dalam prosedur pengemasan induk. Rincian pelaksanaan
pengemasan hendaklah dicatat dalam catatan pengemasan bets (Anonim, 2006). Hal-hal
yang perlu diperhatikan pada proses pengemasan: (Anonim, 2006)
1. Memeriksa kebersihan area kerja dan peralatan telah besih dan bebas dari produk
lain, sisa produk lain atau dokumen lain yang tidak diperlukan.
2. Mengawasi proses kodifikasi (no. bets/lots, tanggal daluwarsa, dan informasi lain)
label, karton ataupun bahan pengemas.
3. Melakukan proses pra-kodifikasi bahan pengemas dan bahan cetak lain di area yang
terpisah.
4. Melakukan pemeriksaan secara visual selama proses pengemasan berlangsung.
5. Produk yang penampilannya mirip sebaiknya tidak dikemas pada jalur yang
berdampingan.
6. Nama dan nomor bets produk hendaklah dapat terlihat dengan jelas.
7. Pada proses pengemasan terakhir hendaklah kemasan terakhir diperiksa dengan
cermat untuk memastikan bahwa kemasan produk tersebut sepenuhnya sesuai
dengan Prosedur Pengemasan Induk.
2.8 Distribusi
Pengiriman dan pengangkutan hendaklah hanya dilaksanakan setelah ada order
pengiriman, tanda terima order pengiriman dan pengangkutan bahan hendaklah
didokumentasikan. Prosedur pengiriman dibuat dan didokumentasikan dengan
mempertimbangkan sifat bahan dan obat yang akan dikirim serta tindakan pencegahan
khusus yang mungkin diperlukan. Wadah luar hendaklah memberikan perlindungan yang
cukup terhadap seluruh pengaruh luar serta diberi label yang jelas dan tidak terhapuskan.
Catatan pengiriman hendaklah disimpan dan memuat minimal :
1. Tanggal pengiriman
2. Nama dan alamat pelanggan
3. Uraian tentang produk, misalnya nama, bentuk dan kekuatan sediaan, nomor bets,
jumlah dan
4. Kondisi pengangkutan dan penyimpanan.
2.9 Pengelolaan Limbah, Air dan Udara
2.9.1 Sistem Tata Udara (Air Handling System/AHS)
Salah satu faktor yang menentukan kualitas obat adalah kondisi lingkungan
tempat di mana produk tersebut dibuat/diproduksi. Kondisi lingkungan yang kritis
terhadap kualitas produk, antara lain adalah (Priyambodo, 2007) :
1. Cahaya
2. Suhu
3. Kelembaban Relatif (RH)
4. Kontaminasi mikroba
5. Kontaminasi Partikel Sebagai upaya untuk mengendalikan kondisi lingkungan
tersebut, maka setiap industri farmasi diwajibkan untuk memiliki Sistem Tata Udara
(Air Handling System/AHS).
Sistem tata udara yang digunakan tergantung dari jenis produk yang dibuat dan
tingkat kelas ruang yang digunakan, misalnya ruang produksi steril, β- laktam, non steril,
sefalosporin dan sebagainya. Sesuai dengan fungsinya, AHU merupakan seperangkat alat
yang dapat mengontrol suhu, kelembaban, tekanan udara, tingkat kebersihan (jumlah
partikel/mikroba), pola aliran udara, jumlah pergantian udara dan sebagainya, di ruang
produksi sesuai dengan persyaratan ruangan yang telah ditentukan. Pada dasarnya AHU
terdiri dari (Priyambodo,2007) :
a. Cooling coil atau evaporator Cooling coil (sering pula disebut dengan istilah
evaporator) berfungsi untuk mengontrol suhu atau temperatur dan kelembaban relatif
(Relative Humudity/RH) udara yang didistribusikan ke ruangan-ruangan produksi.
Hal ini dimaksudkan agar dapat dihasilkan output udara sesuai dengan spesifikasi
ruangan yang telah ditetapkan.
b. Static Pressure Fan (blower)
Blower adalah bagian dari AHU yang berfungsi untuk menggerakkan udara di
sepanjang sistem distribusi udara yang terhubung dengannya. Blower yang
digunakan dalam AHU berupa blower radial yang memiliki kisi-kisi penggerak
udara yang terhubung dengan motor penggerak blower. Motor ini berfungsi merubah
energi listrik menjadi energi gerak. Dapat mengatur jumlah udara yang masuk ke
ruang produksi sehingga tekanan dan pola aliran udara yang masuk ke ruang
produksi dapat dikontrol.

c. Filter
Filter merupakan bagian dari AHU yang berfungi untuk mengendalikan dan
mengontrol jumlah partikel dan mikroorganisme (partikel asing) yang dapat
mengkontaminasi udara yang masuk kedalam ruang produksi. Filter yang digunakan
untuk AHU dibagi menjadi Prefilter (efisiensi penyaringan 35%), medium filter
(efisiensi penyaringan 95%), dan HEPA filter (efisiensi penyaringan 99,997%).
d. Ducting
Saluran tertutup tempat mengalirnya udara yang menghubungkan blower dengan
ruangan produksi.Ducting terdiri dari saluran udara yang masuk dan saluran udara
yang keluar dari ruang produksi dan dilapisi insulator untuk menahan penetrasi
panas dari udara luar.Suplai udara dari AHU akan masuk ke dalam ruang grey area
melalui pre filter dengan efisiensi 35% dari medium filter dengan efisiensi 95% dan
HEPA filter (efisiensi penyaringan 99,997%).
e. Dumper
Dumper berfungsi mengatur jumlah (debit) udara yang dipindahkan ke dalam
maupun yang keluar dari produksi. Besar kecilnya debit udara yang dipindahkan
dapat diatur sesuai dengan pengaturan tertentu pada dumper.
2.9.2 Air Untuk Produksi (Water System)
Air merupakan salah satu aspek kritis dalam pelaksanaan c-GMP. Hal tersebut
disebabkan karena air merupakan bahan baku dalam jumlah besar, terutama untuk
produk sirup, obat suntik cair, cairan infus, dan lain-lain. Bila tercemar, beresiko sangat
fatal bagi pemakai (Priyambodo,2007). Kualitas air yang digunakan untuk produksi
tergantung dari persyaratan air yang digunakan produk yang dibuat, misalnya air murni
atau air untuk injeksi. Mekanisme kerja Purified Water System terdiri dari
(Priyambodo,2007):
1. Multimedia Filter Berfungsi untuk menghilangkan lumpur, endapan dan partike-
partikel yangterdapat pada raw water, terdiri dari beberapa filter dengan porositas
yang berbeda-beda, yaitu 6-12 mm; 2,4-4,8 mm; 1,2-2,4 mm; dan 0,6-1,2 mm.
2. Active Carbon Filter Merupakan karbon yang telah diaktifkan dengan
menggunakan uap bertekanan tinggi atau karbon dioksida. Berfungsi sebagai pre-
treatment sebelum proses de-ionisasi untuk menghilangkan chlorine, chloramines,
benzen, pestisida, bahan-bahan organik, warna, bau dan rasa.
3. Water Softener Filter Berisi resin anionik yang berfungsi untuk menghilangkan
dan/atau menurunkan kesadahan.
4. Reverse Osmosis Merupakan teknik pembuatan air murni yang dapat menurunkan
hingga 95% Total Dissolve Solids di dalam air.
a. EDI (Electronic De-Ionization) Merupakan perkembangan dari Ion Exchange
System dimana sebagai pengikat ion (-) dan (+) dipakai juga elektroda
disamping resin. Elektroda ini dihubungkan dengan arus listrik searah
sehingga proses pemurnian air dapat berlangsung terus menerus tanpa perlu
regenerasi.
b. Looping System CPOB terkini mensyaratkan bahwa air yang digunakan
untuk proses produksi harus disirkulasi 24 jam. Untuk itu purified water
system harus dilengkapi dengan looping system.
2.9.3 Pengelolaan Limbah, Air dan Udara
1. Pengelolaan Limbah Padat Pencemaran limbah padat adalah masuknya benda-
benda padat ke dalam lingkungan sehingga menyebabkan kualitas lingkungan
menurun atau membahayakan kehidupan makhluk hidup atau tidak sesuai lagi
dengan peruntukkannya. Limbah padat yang dihasilkan industri farmasi, antara
lain berasal dari: (Priyambodo, 2007)
a. Debu/serbuk obat dari sistem pengendalian debu (dust collector)
b. Obat rusak/kadaluarsa/reject
c. Kertas, karton, plastik bekas, botol dan aluminium foil dan sampah rumah
tangga
d. Lumpur dari proses Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Upaya Pengelolaan :
- Sampah domestik dibuatkan tempat sampah, kemudian dibuang
ketempat pembuangan sampah akhir.
- Sisa-sisa kertas, karton, plastik dan aluminium foil dikumpulkan
kemudian dijual ke pengumpul sampah.
- Debu/sisa serbuk, obat rusak/kadaluarsa serta lumpur IPAL di bakar di
insenerator.
2. Pengelolaan Limbah Cair Pencemaran limbah cair adalah masuknya sesuatu ke
dalam air yang menyebabkan kualitas air tersebut menurun atau tidak sesuai lagi
dengan peruntukkannya. Limbah cair yang dihasilkan industri farmasi, antara lain
berasal dari: (Priyambodo, 2007)
a. Bekas cucian peralatan produksi, laboratorium, laundry dan rumah tangga
b. Kamar mandi dan WC
c. Bekas reagensia di laboratorium
Upaya Pengelolaan:
a. Pembuatan saluran drainase sesuai dengan sumber limbah
1) Saluran air hujan langsung dialirkan ke selokan umum dan dibuat sumur
resapan.
2) Saluran dari kamar mandi/WC dialirkan ke septic tank.
3) Saluran dari tempat pencucian produksi dan laboratorium dialirkan ke
IPAL
b. Membuat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
c. Khusus untuk limbah cair yang berasal dari golongan β-laktam, sebelum
dicampur dengan limbah non β-laktam ditambahkan NaOH untuk memecah
cincin β-laktam.

Anda mungkin juga menyukai