Anda di halaman 1dari 74

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Swamedikasi menurut World Health Organization (WHO) adalah

pemilihan obat modern, herbal, maupun obat tradisional oleh seorang individu

untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit, terdapat sebanyak 80%

masyarakat dibeberapa negara melakukan swamedikasi (WHO, 1998).

Menurut Permenkes No. 99/MENKES/PER/1993, secara sederhana

swamedikasi adalah upaya seseorang mengobati gejala sakit atau penyakit tanpa

berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Swamedikasi boleh dilakukan untuk

kondisi penyakit yang ringan, umum dan tidak akut (Depkes, RI 2011)

Sesuai dengan data Riset Dasar Kesehatan Nasional Tahun 2013,

Sejumlah 103.860 atau 35,2 persen dari 294.959 rumah tangga di Indonesia

menyimpan obat untuk swamedikasi, dengan proporsi tertinggi rumah tangga di

DKI Jakarta (56,4%) dan terendah di Nusa Tenggara Timur (17,2%). Rerata

sediaan obat yang disimpan hampir 3 macam. Dari 35,2 persen RT yang

menyimpan obat, proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras 35,7 persen

dan antibiotika 27,8 persen. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi

menunjukkan penggunaan obat yang tidak rasional. Terdapat 81,9 persen rumah

tangga menyimpan obat keras dan 86,1 persen rumah tangga menyimpan

antibiotika yang diperoleh tanpa resep (Riskesdas, 2013).

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa

terdapat 79,49% di Kabupaten Agam, 80,04% di Sumatera Barat dan 90,54% di

Indonesia orang sakit melakukan swamedikasi. Angka ini lebih tinggi

1
dibandingkan persentase penduduk yang berobat jalan ke dokter yakni sebesar

34% (BPS, 2018).

Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan

penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing,

batuk, influenza, sakit maag, kecacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain

(Depkes RI, 2006). Salah satu penyebab tingginya tingkat swamedikasi adalah

perkembangan teknologi informasi via internet. Alasan lain adalah karena

semakin mahalnya biaya pengobatan ke dokter, tidak cukupnya waktu yang

dimiliki untuk berobat, atau kurangnya akses ke fasilitas–fasilitas kesehatan

(Gupta, et al., 2011; Hermawati, 2012).

Swamedikasi harus dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami,

pelaksanaannya sedapat mungkin harus memenuhi kriteria penggunaan obat yang

rasional. Kriteria obat rasional antara lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan

dosis obat, tidak adanya efek samping, tidak adanya kontraindikasi, tidak adanya

interaksi obat dan tidak adanya polifarmasi (Muharni, 2015).

Keuntungan pengobatan sendiri menggunakan obat bebas dan obat bebas

terbatas antara lain aman bila digunakan sesuai dengan aturan, efektif untuk

menghilangkan keluhan (karena 80% keluhan sakit bersifat selflimiting), efisiensi

biaya, efisiensi waktu, bisa ikut berperan dalam mengambil keputusan terapi, dan

meringankan beban pemerintah dalam keterbatasan jumlah tenaga dan sarana

kesehatan dimasyarakat (Kristina, S. A, Prabandi, Y. S., & Sudjaswardi, R. 2012).

Adapun kekurangan pengobatan sendiri adalah obat dapat membahayakan

kesehatan apabila tidak diguanakan sesuai dengan aturan, pemborosan biaya dan

waktu apabila salah menggunakan obat. Sisanya kemungkinan timbulnya reaksi

2
obat yang tidak diinginkan, misalnya sensitifitas, efek samping atau resistensi,

penggunaan obat yang salah diagnosis dan pemilihan obat, dan sulit berpikir dan

bertindak objektif karena pemilihan obat dipengaruhi oleh pengalaman

menggunakan obat di masa lalu dan lingkungan sosialnya (Supardi dan Susyanty,

2007)

Sampai saat ini di tengah masyarakat seringkali dijumpai berbagai

masalah dalam penggunaan obat. Diantaranya ialah kurangnya pemahaman

tentang penggunaan obat tepat dan rasional, penggunaan obat bebas secara

berlebihan, serta kurangnya pemahaman tentang cara menyimpan dan membuang

obat dengan benar. Sedangkan tenaga kesehatan masih dirasakan kurang

memberikan informasi yang memadai tentang penggunaan obat (Depkes RI,

2014). Oleh karena itu, sebagai pelaku self-medication harus mampu mengetahui

jenis obat yang diperlukan, kegunaan dari tiap obat, menggunakan obat dengan

benar (cara, aturan pakai, lama pemakaian), mengetahui efek samping obat yang

digunakan dan siapa yang tidak boleh menggunakan obat tersebut (Depkes RI,

2008).

Beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap tingkat pengetahuan

dan rasionalitas penggunaan obat swamedikasi menunjukkan bahwa tingkat

pengetahuan masyarakat tentang swamedikasi tergolong sedang dan rasionalitas

penggunaan obat swamedikasi tergolong rasional (Hermawati, 2012). Sedangkan

penelitian yang dilakukan oleh Harahap (2015) menunjukkan bahwa tingkat

pengetahuan masyarakat tentang swamedikasi tergolong sedang dan pada

penelitian yang dilakukan oleh Mellina (2016) tergolong buruk. Faktor

sosiodemografi (jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan dan pekerjaan) tidak

3
berhubungan dengan tingkat pengetahuan dan rasionalitas penggunaan obat

swamedikasi (Hermawati, 2012). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh

Harahap (2015) dan Mellina (2016) menunjukkan bahwa faktor sosiodemografi

berhubungan dengan tingkat pengetahuan dan rasionalitas penggunaan obat

swamedikasi tidak berhubungan dengan faktor sosiodemografi.

Berdasarkan latar belakang di atas serta belum ada penelitian mengenai

hubungan pengetahuan masyarakat terhadap rasionalitas swamedikasi di

Kecamatan Lubuk Basung, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tersebut dengan harapan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi

swamedikasi pada sebagian besar masyarakat Kecamatan Lubuk Basung.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diambil rumusan masalah

pada penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran karakteristik sosiodemografi swamedikasi ?

2. Bagaimana pengetahuan responden tentang swamedikasi ?

3. Bagaimana rasionalitas penggunaan obat swamedikasi ?

4. Apakah ada hubungan pengetahuan pasien dengan rasionalitas swamedikasi ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk:

1. Mengetahui gambaran karakteristik sosiodemografi swamedikasi

2. Mengetahui pengetahuan responden tentang swamedikasi

3. Mengetahui rasionalitas penggunaan obat swamedikasi

4. Mengetahui hubungan pengetahuan pasien dengan rasionalitas swamedikasi.

4
1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini sebagai berikut:

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran pengetahuan pasien

dan rasionalitas swamedikasi di Apotek.

2. Hasil penelitian dapat menjadi pedoman bagi pemerintah daerah khususnya

Dinas Kesehatan dan Instansi terkait dalam rangka meningkatkan kualitas

kesehatan.

3. Hasil dari penelitian dapat menjadi acuan untuk peneliti-peneliti selanjutnya.

5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Swamedikasi

2.1.1 Pengertian Swamedikasi

Swamedikasi atau pengobatan sendiri adalah pengobatan yang dilakukan

secara mandiri dengan pemilihan obat tradisional oleh seseorang untuk mengobati

keluhan sakit atau gejala yang dapat dikenali sendiri dan beberapa kondisi kronis

yang pernah didiagnosis oleh dokter (WHO, 2012).

Swamedikasi dapat diartikan secara sederhana sebagai upaya seseorang

untuk mengobati dirinya sendiri (Kartajaya, 2011). Secara lebih lengkap,

swamedikasi adalah pengobatan untuk masalah kesehatan yang umum terjadi

menggunakan obat yang dapat digunakan tanpa pengawasan dari tenaga

kesehatan, serta aman dan efektif untuk penggunaan sendiri (WHO, 1998).

Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan ringan yang

sering dialami oleh banyak orang, seperti pusing, demam, maag (BPOM, 2014).

Swamedikasi menjadi sulit jika tidak memiliki pengetahuan yang luas.

Kemudahan bukanlah hal utama, yang terpenting adalah cara melakukan

swamedikasi dengan benar (BPOM, 2014).

2.1.2 Faktor Penyebab Swamedikasi

Menurut WHO, peningkatan kesadaran untuk pengobatan sendiri

(swamedikasi) diakibatkan oleh beberapa faktor berikut (Manan, 2014):

a. Faktor Sosial Ekonomi

Dengan meningkatnya pemberdayaan pada masyarakat, dapat

mengakibatkan semakin tingginya tingkat pendidikan dan semakin mudah akses

untuk mendapatkan informasi. Sehingga muncul ketertarikan individu terhadap

6
masalah kesehatan yang dapat mengakibatkan partisipasi langsung dari individu

terhadap pengambilan keputusan dalam masalah kesehatan.

b. Gaya Hidup

Kesadaran dengan adanya gaya hidup yang dapat berakibat pada

kesehatan, membuat semakin banyak orang lebih peduli untuk menjaga kesehatan

dan mencegah penyakit daripada harus mengobati misalnya seperti menghindari

merokok dan menjaga diet yang seimbang.

c. Kemudahan Memperoleh Produk Obat

Adanya kemudahan memperoleh produk obat membuat pasien lebih

merasa nyaman jika membeli obat yang bisa diperoleh dimana saja daripada harus

menunggu lama di rumah sakit atau pusat kesehatan lainnya.

d. Faktor Kesehatan Lingkungan

Adanya praktik sanitasi yang baik, pemilihan nutrisi yang tepat, dan

lingkungan perumahan yang sehat dapat meningkatkan kemampuan masyarakat

untuk menjaga dan mempertahankan kesehatan serta mencegah dari penyakit.

e. Ketersediaan Produk Baru

Pilihan produk obat untuk swamedikasi saat ini semakin banyak. Hal

tersebut dikarenakan semakin banyak tersedia produk obat baru yang lebih sesuai,

dan ada juga beberapa produk obat yang telah dikenal sejak lama serta

mempunyai indeks keamanan yang baik dan dimasukkan ke dalam kategori obat

bebas.

Dengan semakin banyaknya masyarakat yang melakukan swamedikasi,

maka diperlukan informasi mengenai obat yang tepat dan sesuai dengan

7
kebutuhan. Oleh sebab itu, peran apoteker sangat diperlukan untuk memberikan

informasi yang tepat tentang obat kepada pasien atau konsumen (Manan, 2014).

2.1.3 Risiko Swamedikasi

Dalam melakukan swamedikasi, beberapa risiko muncul diakibatkan

karena tidak mengenali keseriusan gangguan dan penggunaan obat yang kurang

tepat. Risiko yang disebabkan karena penggunaan obat kurang tepat dapat terjadi

karena salah memilih obat, dan dalam takaran yang terlalu besar (Tjay dan

Rahardja, 2010).

Agar tidak berisiko munculnya keluhan lain yang diakibatkan karena

penggunaan obat yang tidak tepat, maka dalam melakukan swamedikasi dengan

benar, masyarakat perlu megetahui informasi yang jelas dan terpercaya. Hal-hal

yang perlu diperhatikan untuk melakukan swamedikasi yaitu mengenali kondisi,

memahami kemungkinan adanya interaksi obat, mengetahui obat-obat yang dapat

digunakan untuk swamedikasi, mewaspadai efek samping, meneliti obat yang

akan dibeli, mengetahui cara penggunaan dan cara penyimpanan obat (BPOM,

2014).

2.2 Penggolongan Obat Swamedikasi

Obat adalah zat kimia yang bersifat racun, namun dalam jumlah tertentu

dapat memberikan efek dalam mengobati penyakit (Depkes RI, 2008). Dalam

melakukan swamedikasi terhadap suatu penyakit dapat dilakukan dengan

menggunakan obat-obat bebas dan obat wajib apotek (BPOM, 2004).

Obat bebas dan obat bebas terbatas merupakan sejenis obat yang boleh

diperjualbelikan secara bebas tanpa menggunakan resep dokter. Dalam

8
penangannannya bisa dilakukan sendiri oleh penderita yang disebut dengan

swamedikasi atau pengobatan sendiri (Zeenot, 2013).

Obat keras merupakan sejenis obat yang tidak dapat diperjual belikan

secara bebas dan hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter (Depkes RI,

2008). Obat keras yang masuk dalam daftar obat wajib apotek dapat diperoleh

tanpa menggunakan resep dokter namun harus diserahkan langsung oleh apoteker

di apotek (BPOM, 2004).

2.2.1 Obat Bebas

Gambar 1. Logo Obat Bebas (Depkes RI, 2007).

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa

resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran

hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh obat golongan obat bebas adalah

parasetamol, promag, vitamin c dan lainnya.

2.2.2 Obat Bebas Terbatas

Gambar 2. Logo Obat Bebas Terbatas (Depkes RI, 2007).

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras

tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan

tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas

9
adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh obat golongan

obat bebas terbatas adalah bromhexin, procold, panadol dan lainnya. Tanda

peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa empat

persegi panjang berwarna hitam, dan memuat pemberitahuan berwarna putih

sebagai berikut:

Gambar 3. Tanda peringatan nomor 1 - 6 untuk obat bebas terbatas (Depkes RI,

2007).

2.2.3 Obat Wajib Apotek

Obat Wajib Apotek (OWA) merupakan sejenis obat keras yang dapat

diperjualbelikan di apotek tanpa menggunakan resep dokter, namun harus

diserahkan oleh apoteker di apotek. Peraturan mengenai Daftar Obat Wajib

Apotek tercantum dalam (BPOM, 2004):

1. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 347/Menkes/SK/VII/1990 tentang Obat

Wajib Apotek, berisi Daftar Obat Wajib Apotek No.1

2. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 924/Menkes/per/X/1993 tentang Daftar

Obat Wajib Apotek No.2

3. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang

Daftar Obat Wajib Apotek No.3


10
Dalam melakukan swamedikasi hendaknya mengetahui cara penggunaan

Obat yang baik yaitu obat tidak digunakan secara terus-menerus, digunakan sesuai

dengan anjuran yang tertera pada etiket dan brosur, apabila obat yang digunakan

menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, maka hentikan penggunaan dan

pemilihan obat yang tepat dan informasi yang lengkap, tanyakan kepada apoteker

(Depkes RI, 2006).

2.3 Penyakit dan Pilihan Obat Swamedikasi

Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan

penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing,

batuk, influenza, sakit maag, cacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain (Depkes

RI, 2008).

2.3.1 Demam

Demam bukan merupakan suatu penyakit, tetapi hanyalah merupakan

gejala dari suatu penyakit. Suhu tubuh normal adalah 370C. Demam adalah suatu

keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 37,20C pada pagi hari dan lebih dari 37,70C

pada sore hari. Demam umumnya disebabkan oleh infeksi dan non infeksi.

Penyebab infeksi antara lain kuman, virus, parasit, atau mikroorganisme lain.

Contoh: radang tenggorokan, cacar air, campak, flu dan lain-lain (Depkes RI,

2007).

Gejala demam dihasilkan oleh kerja sitokin yang menyebabkan

peningkatan titik patokan suhu pada pusat pengaturan suhu dihipotalamus.

Sitokin, sebagai suatu pirogen endogen (penghasil panas), dapat menyebabkan

demam dengan merangsang pengeluaran prostaglandin yang kemudian

meningkatkan ambang batas termoregulasi hipotalamus. Dengan peningkatan

11
ambang batas tersebut, maka hipotalamus mengirim sinyal untuk meningkatkan

suhu tubuh (Wilson, 2006).

Pilihan obat untuk mengatasi demam pada swamedikasi adalah obat dari

golongan antipiretik-analgetik atau antiinflamasi non-steroid (AINS), seperti

parasetamol dan asetosal. Kedua jenis obat tersebut, selain mempunyai efek

penurunan panas, juga mempunyai efek pereda nyeri yang setara. Selain kedua

obat tersebut, juga dapat digunakan obat AINS lainnya, yaitu ibuprofen (Depkes

RI, 2006).

Dosis pemakaian obat penurunan panas untuk dewasa umumnya adalah

tiga hingga empat kali sehari. Lama pemakaian obat penurun panas pada

swamedikasi tidak lebih dari dua hari. Obat penurun panas jangan diminum

bersamaan dengan obat flu karena umumnya obat flu sudah mengandung obat

tersebut. Jika menggunakan asetosal, sebaiknya minum setelah makan atau

bersama dengan makanan karena obat tersebut beresiko untuk mengiritasi

lambung (Depkes RI, 2006).

2.3.2 Batuk

Batuk merupakan refleks yang terangsang oleh iritasi paru-paru atau

saluran pernapasan. Bila terdapat benda asing selain udara yang masuk atau

merangsang saluran pernapasan, otomatis akan batuk untuk mengeluarkan atau

menghilangkan benda tersebut. Batuk biasanya merupakan gejala infeksi saluran

pernapasan atas (misalnya batuk-pilek, flu) dimana sekresi hidung dan dahak

merangsang saluran pernapasan. Batuk juga merupakan cara untuk menjaga jalan

pernapasan tetap bersih. Ada dua jenis batuk yaitu batuk berdahak dan batuk

kering. Batuk berdahak adalah batuk yang disertai dengan keluarnya dahak dari

12
batang tenggorokan. Batuk kering adalah batuk yang tidak disertai keluarnya

dahak. Obat yang dapat digunakan untuk meringankan batuk dibagi menjadi tiga

jenis sesuai dengan jenis batuknya yaitu mukolitik (pengencer dahak),

ekspektoran (perangsang pengeluran dahak), dan antitusif (penekan batuk)

(Depkes RI, 2007).

Mukolitik adalah obat yang dapat mengencerkan secret saluran napas

dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari

sputum. Beberapa contoh mukolitik yang dapat digunakan pada swamedikasi,

antara lain bromheksin dan asetilsistein (Estuningtyas dan Azali 2007).

Ekspektoran adalah obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak dari

saluran napas. Obat ini diduga bekerja secara refleks merangsang sekresi kelenjar

saluran napas, sehingga dapat menurunkan viskositas dan mempermudah

pengeluaran dahak (Estuningtyas dan Azali 2007).

Antitusif adalah obat batuk yang digunakan untuk batuk tidak berdahak

atau batuk kering. Obat ini bekerja secara sentral pada susunan saraf pusat dengan

menekan pusat batuk dan menaikkan ambang rangsang batuk. Antitusif yang

dapat digunakan pada swamedikasi, antara lain dekstrometorfan HBr dan

noskapin (Depkes RI, 2007).

2.3.3 Flu

Flu adalah penyakit menyerang bagian hidung, tenggorokan, dan paruparu,

disebabkan oleh infeksi virus influenza. Penyakit ini dapat menyebar dengan

mudah dari satu orang ke orang lain. Umumnya penyebaran terjadi melalui udara,

dari batuk atau bersin. Virus flu juga dapat disebarkan melalui tangan seseorang

yang mengalami flu atau dari kontak benda-benda yang terdapat di lingkungan

13
sekitar (WHO, 2012). Gejala yang dirasakan saat flu antara lain demam, sakit

kepala, nyeri otot, mata berair, batuk, bersin, hidung berair, sakit tenggorokan.

Orang dengan daya tahan tubuh yang tinggi biasanya sembuh sendiri tanpa obat.

Pada anak-anak, lanjut usia dan orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah

lebih cenderung menderita komplikasi seperti infeksi bakteri sekunder (Depkes

RI, 2007).

Obat flu hanya dapat meringankan keluhan dan gejala saja, tetapi tidak

dapat menyembuhkan. Obat flu yang dapat diperoleh tanpa resep dokter

umumnya merupakan kombinasi dari beberapa zat berkhasiat, yaitu (Depkes RI,

2006):

1. Antipiretik - analgetik, untuk menghilangkan rasa sakit dan menurunkan

demam. Contoh obatnya, antara lain parasetamol.

2. Antihistamin, untuk mengurangi rasa gatal di tenggorokan atau reaksi alergi

lain yang menyertai flu. Bekerja dengan menghambat efek histamine yang

dapat menyebabkan alergi. Contoh obatnya antara lain klorfeniramin maleat

(CTM®) dan difenhidramin HCl.

3. Dekongestan, untuk meredakan hidung tersumbat. Contoh obat, antara lain

fenilpropanolamin, fenilefrin, pseudoefedrin, dan efedrin.

4. Antitusif, ekspektoran, atau mukolitik, untuk meredakan batuk yang

menyertai flu.

Obat flu dengan berbagai merk dagang dapat mengandung kombinasi yang

sama, sehingga tidak dianjurkan menggunakan berbagai merk obat flu pada saat

bersamaan. Dosis pemakaian untuk dewasa umumnya tiga kali sehari. Batas

14
waktu penggunaan obat flu pada swmedikasi tidak lebih dari tiga hari (Depkes RI,

1997).

2.3.4 Nyeri

Menurut IASP (Internastional Assosiation for the Study of Pain) nyeri

adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat

kerusakan jaringan atau potensial terjadinya kerusakan jaringan. Nyeri merupakan

suatu gejala yang menunjukkan adanya gangguangangguan di tubuh seperti

peradangan, infeksi dan kejang otot. Rasa nyeri disebabkan oleh rangsangan pada

ujung syaraf karena kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan antara lain trauma,

misalnya karena benda tajam, benda tumpul, bahan kimia, proses infeksi atau

peradangan dan lain-lain (Depkes RI, 2007).

Reaksi seseorang terhadap rasa nyeri dapat berbeda-beda antara satu

individu dengan individu lain, bahkan dapat berbeda pula reaksi pada satu

individu di waktu yang berbeda. Nyeri timbul sebagai efek persepsi dari nosisepsi,

yaitu dari kejadian neurologis dan respon refleks yang disebabkan oleh adanya

kejadian yang merusak jaringan tubuh, seperti trauma atau infeksi. Nosisepsi

dihasilkan dari stimulasi pada reseptor nyeri (nosiseptor) yang melekat didalam

kulit atau dinding bagian dalam organ dalam tubuh (Corwin, 2009).

Nosiseptor dapat berespons terhadap berbagai stimulus, termasuk tekanan

mekanis, deformasi, suhu yang ekstrem, dan berbagai zat kimia. Beberapa zat

kimia yang dapat menyebabkan atau memperparah nyeri, antara lain histamin,

bradikinin, serotin, asetilkolin, leukotrien, serta prostaglandin. Masing-masing zat

tersebut tertimbun di tempat sel yang cedera atau mati dan mewaspadakan

individu terhadap kejadian tersebut (Corwin, 2009). Berdasarkan lama (durasi)

15
terjadinya, nyeri dapat dibedakan menjadi dua jenis antara lain: (Depkes RI,

2006).

a. Nyeri akut

Nyeri akut adalah nyeri yang muncul secara tiba-tiba dan berlangsung

selama beberapa hari hingga beberapa minggu. Durasi nyeri berlangsung selama

kurang dari 6 bulan dan dapat segera hilang jika penyebabnya telah diatasi atau

diberikan obat penghilang rasa nyeri. Jenis nyeri ini dapat bermanfaat karena

berfungsi mewaspadakan individu terhadap bahaya pada tubuh. Beberapa contoh

nyeri akut yang sering menjadi penyebab dilakukannya swamedikasi, antara lain

nyeri kepala, nyeri haid, nyeri otot, dan nyeri karena sakit gigi.

b. Nyeri kronis

Nyeri dikatakan kronis jika berlangsung lebih lama dibandingkan waktu

normal yang diperlukan untuk penyembuhan luka atau penyakit penyebabnya.

Durasi nyeri dapat berlangsung lebih dari 6 bulan dan dapat berlanjut hingga

sepanjang hidup penderitanya. Pengobatan dengan obat penghilang rasa nyeri saja

hampir tidak pernah efektif. Tidak seperti nyeri akut, nyeri kronis tidak pernah

bermanfaat. Obat nyeri adalah obat yang dapat mengurangi rasa nyeri tanpa

menghilangkan kesadaran. Beberapa obat nyeri yang dapat digunakan pada

swamedikasi merupakan obat golongan AINS atau analgetik- antipiretik, antara

lain ibuprofen, asetosal, dan parasetamol. Obat-obatan tersebut juga dapat

digunakan untuk meredakan demam. Ibuprofen memiliki efek terapi anti radang

lebih tinggi dibandingkan dengan efek antidemamnya, sedangkan asetosal dan

parasetamol efek terapi anti piretiknya lebih tinggi dibandingkan efek anti nyeri

atau anti radangnya (Depkes RI, 2006).

16
Dosis pemakaian untuk dewasa umumnya tiga hingga empat kali sehari.

Batas waktu penggunaan obat nyeri pada swamedikasi tidak lebih dari lima hari

(Depkes RI, 1997).

2.3.5 Diare

Diare didefenisikan sebagai buang air besar dengan feses yang lebih tidak

padat atau cair sebanyak tiga kali atau lebih dalam sehari (atau lebih sering

dibandingkan frekuensi buang air besar normal). Diare ditandai dengan terjadinya

peningkatan keenceran dan frekuensi feses. Umumnya, diare merupakan gejala

dari adanya infeksi dari saluran cerna, yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau

organisme parasit lainnya (Corwin, 2009).

Penyebab diare dapat bermacam-macam, diantaranya ansietas/cemas,

keracunan makanan, infeksi atau peradangan di usus akibat bakteri dan virus,

alergi terhadap makanan tertentu seperti tidak tahan susu pada orang-orang yang

tidak mempunyai enzim laktase yang berfungsi untuk mencernakan susu,

peradangan usus, kekurangan gizi dan lainnya (Depkes RI, 2007).

Pencegahan awal yang dilakukan untuk penanganan diare adalah dengan

minum banyak cairan (air, sari buah, sup bening), hindari alkohol, kopi/teh, susu,

makanan padat atau makanlah makanan yang tidak berasa (bubur, roti, pisang)

selama 1 – 2 hari. Kemudian minum cairan rehidrasi oral-oralit/larutan gula

garam. Salanjutnya dilakukan pengobatan (Depkes RI, 2007).

Tipe-tipe diare secara klinis dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu

(Depkes RI, 2007):

a. Diare akut, disebabkan oleh infeksi usus, infeksi bakteri, obat-obat tertentu

atau penyakit lain. Gejala diare akut adalah tinja cair, terjadi mendadak,

17
badan lemas kadang demam dan muntah, berlangsung beberapa jam sampai

beberapa hari.

b. Diare kronik, yaitu diare yang menetap atau berulang dalam jangka waktu

lama, berlangsung selama 2 minggu atau lebih.

c. Disentri adalah diare disertai dengan darah dan lendir Diare yang hanya

sekali-sekali tidak berbahaya dan biasanya sembuh sendiri. Tetapi diare yang

berat bisa menyebabkan dehidrasi dan bisa membahayakan jiwa.

Dehidrasi adalah suatu keadaan dimana tubuh kekurangan cairan tubuh

yang dapat berakibat kematian, terutama pada anak/bayi jika tidak segera diatasi.

Bila penderita diare banyak sekali kehilangan cairan tubuh maka hal ini dapat

menyebabkan kematian, terutama pada bayi dan anak-anak di bawah umur lima

tahun. Pada kasus yang jarang, diare yang terus-menerus mungkin merupakan

gejala penyakit berat seperti tipus, cholera atau kanker usus (Depkes RI, 2007).

Adapun pilihan obat yang digunakan untuk pengobatan diare secara

swamedikasi adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2007):

a. Oralit

b. Oralit tidak menghentikan diare namun berfungsi untuk mencegah

kekurangan cairan tubuh yang keluar bersama tinja. Oralit adalah campuran

gula, garam natrium dan kalium.

c. Adsorben dan Obat Pembentuk Massa

Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Norit (karbo adsorben), kombinasi

kaolin-pektin dan attapulgit. Kegunaan obat adalah untuk mengurangi frekuensi

buang air besar, memadatkan tinja, menyerap racun pada penderita diare.

18
2.3.5 Maag

Sakit maag adalah peningkatan produksi asam lambung sehingga terjadi

iritasi lambung. Maag atau sakit lambung memiliki gejala khas berupa rasa nyeri

atau pedih pada ulu hati meskipun baru saja selesai makan. Namun kalau rasa

pedih hanya terjadi sebelum makan atau di waktu lapar dan hilang setelah makan,

biasanya karena produksi asam lambung berlebihan dan belum menderita sakit

maag (Depkes RI, 2007).

Penyakit maag akut umumnya lebih mudah ditangani daripada maag

kronis. Pada maag akut biasanya belum ada gejala kerusakan yang jelas pada

dinding lambung. Mungkin hanya disebabkan oleh berlebihnya produksi asam

lambung atau akibat makanan yang merangsang terlalu banyak produksi asam

lambung. Sedangkan pada maag kronis penderita bisa mengalami pembengkakan

atau radang pada dinding lambung, luka sampai perdarahan (Depkes RI, 2007).

Adapun penyebab peningkatan produksi asam lambung dapat terjadi

karena:

a. Makanan atau minuman yang merangsang lambung yaitu makanan yang

pedas atau asam, kopi, alkohol, bakmi yang mengandung air abu

b. Faktor stres baik stres fisik seperti setelah pembedahan, penyakit berat, luka

bakar maupun stres mental.

c. Obat-obat tertentu yang digunakan dalam jangka waktu lama (misal obat

rematik, anti inflamasi).

d. Jadwal makan yang tidak teratur.

Antasida adalah obat yang berfungsi menetralkan asam lambung, sehingga

berguna untuk menghilangkan nyeri pada maag (Estuningtyas dan Azali, 2007).

19
Antasida yang dapat digunakan pada swamedikasi, antara lain senyawa

aluminium (aluminium hidroksida), kalsium karbonat, senyawa magnesium

(magnesium oksida, magnesium karbonat, dan magnesium trisilikat). Selain itu,

kadang-kadang antasida juga mengandung simetikon yang berkhasiat membantu

pengeluaran gas yang berlebihan dari dalam saluran cerna. Antasida biasanya

berbentuk tablet kunyah dan diminum satu jam sebelum makan. Penggunaan

terbaiknya adalah saat gejala timbul pada waktu lambungkosong dan menjelang

tidur malam (Depkes RI, 1997).

Dosis pemakaian antasida untuk dewasa umumnya adalah tiga hingga

empat kali sehari. Batas lama pemakain antasida pada swamedikasi tidak boleh

lebih dari satu minggu, kecuali atas saran dokter. Jika menggunakan obat lain beri

jarak minimal satu jam (Depkes RI, 2006).

2.4 Hal-Hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan Swamedikasi

Berikut ini merupakan beberapa hal yang penting untuk diketahui

masyarakat ketika akan melakukan swamedikasi:

1. Mengenali kondisi ketika akan melakukan swamedikasi Sebelum melakukan

swamedikasi kita harus memperhatikan kondisi orang yang akan diobati.

Beberapa kondisi yang harus diperhatikan adalah kehamilan, berencana untuk

hamil, menyusui, umur (balita atau lansia), sedang dalam diet khusus seperti

misalnya diet gula, sedang atau baru saja berhenti mengkonsumsi obat lain atau

suplemen makanan, serta mempunyai masalah kesehatan baru selain penyakit

yang selama ini diderita dan sudah mendapatkan pengobatan dari dokter

(BPOM, 2014).

20
2. Memahami bahwa ada kemungkinan interaksi obat Banyak obat dapat

berinteraksi dengan obat lainnya atau berinteraksi dengan makanan dan

minuman. Kenali nama obat atau nama zat berkhasiat yang terkandung dalam

obat yang sedang anda konsumsi atau hendak digunakan sebagai swamedikasi.

Tanyakan kepada Apoteker di Apotik mengenai ada tidaknya interaksi dari

obat-obat tersebut. Untuk menghindari masalah yang mungkin terjadi, bacalah

aturan pakai yang tercantum pada label kemasan obat (BPOM, 2014).

3. Mengetahui obat-obat yang dapat digunakan untuk swamedikasi . Tidak semua

obat dapat digunakan untuk swamedikasi. Telah dijelaskan diatas bahwa obat

yang digunakan untuk swamedikasi adalah obat yang relatif aman, yaitu obat

golongan obat bebas, obat bebas terbatas dan obat golongan yang masuk ke

dalam DOWA (BPOM, 2014).

4. Mewaspadai efek samping yang mungkin muncul Selain dapat mengatasi

penyakit/gejala penyakit, obat juga dapat menyebabkan efek yang tidak

diinginkan. Efek samping yang terjadi tidak selalu memerlukan tindakan medis

untuk mengatasinya, namun demikian beberapa efek samping yang mungkin

memerlukan perhatian lebih dalam penanganannya (BPOM, 2014).

5. Meneliti obat yang akan dibeli Pada saat akan membeli obat, pertimbangkan

bentuk sediaannya (tablet, sirup, kapsul, krim, dan lain-lain) dan pastikan

bahwa kemasan tidak rusak. Lihatlah dengan teliti kemasan luar maupun

kemasan dalam produk obat. Jangan mengambil obat yang menunjukkan

adanya kerusakan walaupun kecil. Selain kemasan, perhatikan juga bentuk

fisik sediaan. Untuk yang bentuk sirup, hal yang harus diperhatikan adalah

warna dan kekentalannya. Pastikan tidak ada partikelpartikel kecil di bagian

21
bawah botol atau mengapung dalam sirup dan jika berbentuk suspensi,

suspensi dapat tercampur rata setelah dikocok dan tidak terlihat ada bagian

yang memisah. Pada tablet, bentuk harus benar-benar utuh dan tidak ada

satupun yang pecah atau rusak. Jika pada tablet memiliki cetakan/tulisan,

pastikan bahwa semua tablet memiliki cetakan/tulisan yang sama (BPOM,

2014).

6. Mengetahui cara penggunaan obat yang benar Bacalah aturan pakai obat sesuai

dengan petunjuk yang tertera pada label. Obat yang digunakan sesuai dengan

petunjuk penggunaan, pada saat yang tepat dan jangka waktu terapi sesuai

anjuran akan memberikan efek yang baik. Jangan membuang label ataupun

bagian kemasan yang memberikan informasi mengenai penggunaan obat

tersebut agar tidak terjadi kesalahan bila anda menggunakan obat itu kembali.

Apabila merasa obat yang sedang digunakan tidak memberikan efek yang

diinginkan setelah jangka waktu penggunaan yang dianjurkan, maka segeralah

untuk berkonsultasi tenaga kesehatan (BPOM, 2014).

7. Mengetahui cara penyimpanan obat yang baik. Penyimpanan obat dapat

mempengaruhi potensi dari obatnya. Obat dalam bentuk sediaan oral seperti

tablet, kapsul dan serbuk tidak boleh disimpan di dalam tempat yang lembab

karena bakteri dan jamur dapat tumbuh baik di lingkungan lembab sehingga

dapat merusak obat. Begitu pula dengan bentuk sediaan cair. Obat yang

mengandung cairan biasanya mudah terurai oleh cahaya sehingga harus di

simpan pada wadah aslinya yang terlindung dari cahaya atau sinar matahari

langsung dan tidak disimpan di dalam tempat yang lembab. Meskipun pada

obat-obat biasanya terdapat kandungan zat pengawet yang dapat menghambat

22
pertumbuhan kuman dan jamur, akan tetapi bila wadah sudah dibuka maka zat

pengawet pun tidak dapat mencegah rusaknya obat secara keseluruhan (BPOM,

2014).

2.5 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan terjadi setelah seseorang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang

karena dari pengalaman dan penelitian, ternyata perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih melekat daripada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif memiliki enam

tingkatan yaitu (Notoatmodjo, 2003):

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya, yang termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari

atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ‘tahu’ merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut

secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat

menjelaskan dan menyebutkan objek yang dipelajari.

23
3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke

dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi

tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru

dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan

suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteriakriteria yang

telah ada.

2.5.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya

perilaku terbuka (over behavior) perilaku yang didasari pengetahuan bersifat

langgeng. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat (Sukanto, 2005) yaitu:

1. Tingkat pendidikan

Pendidikan adalah upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi

perubahan perilaku positif yang meningkat.

24
2. Informasi

Seseorang yang mempunyai sumber informasi lebih akan mempunyai

pengetahuan lebih luas. Kemudian memperoleh informasi dapat membantu

mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru.

3. Budaya

Tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi

kebutuhan yang meliputi sikap dan kepercayaan. Jika kebudayaan lingkungan

sekitar, apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk menjaga

kebersihan lingkungan maka sangat mungkin masyarakat sekitarnya mempunyai

sikap untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan.

4. Pengalaman

Sesuatu yang pernah dialami seseorang akan menambah pengetahuan

tentang sesuatu yang bersifat informasi. Ada kecendrungan pengalaman yang

buruk seseorang akan melupakan. Namun jika pengalaman tersebut

menyenangkan maka secara psikologis akan timbul kesan yang membekas dalam

emosi sehingga menimbulkan sikap positif.

5. Sosial ekonomi

Tingkat kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin

tinggi, tingkat sosial ekonomi akan menambah tingkat pengetahuan. Hal ini

disebabkan oleh sarana prasarana serta biaya yang dimiliki untuk mencari ilmu

pengetahuan terpenuhi.

25
2.6 Penggunaan Obat yang Rasional

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 1985 penggunaan obat

rasional bila pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhannya, periode

waktu yang adekuat dan dengan harga yang paling murah untuk pasien dan

masyarakat terjangkau (Depkes RI, 2008).

Batasan penggunaan obat rasional adalah bila memenuhi beberapa kriteria,

antara lain (Depkes RI, 2008):

a. Tepat diagnosis.

b. Tepat indikasi penyakit.

c. Tepat pemilihan obat.

d. Tepat dosis.

e. Tepat penilaian kondisi pasien .

f. Waspada terhadap efek samping.

g. Efektif, aman, mutu terjamin, tersedia setiap saat, dan harga terjangkau.

h. Tepat tindak lanjut (follow up).

i. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang diberikan.

2.7 Apotek

Berdasarkan Permenkes RI No.9 Tahun 2017, apotek adalah sarana

pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker.

Berdasarkan PP No.51 Tahun 2009, tugas dan fungsi apotek antara lain :

1. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah

jabatan apoteker.

2. Sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.

26
3. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan mendistribusikan sediaan

farmasi, antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetik.

4. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat,

pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,

serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional (Bogadenta, 2012).

Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung

jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud

mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Sejalan

dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di bidang kefarmasian

telah terjadi pergeseran orientasi pelayanan kefarmasian dari pengelolaan obat

sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care)

dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang

lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung

penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk

mengetahui tujuan akhir, serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan

(Menkes RI, 2016).

Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya

kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan dan

mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah terkait obat (drug related

problems), masalah farmakoekonomi, dan farmasi sosial (socio

pharmacoeconomy). Untuk menghindari hal tersebut, apoteker harus menjalankan

praktik sesuai standar pelayanan, mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan

lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang

27
rasional. Dalam melakukan praktik tersebut, apoteker juga dituntut untuk

melakukan monitoring penggunaan obat, melakukan evaluasi serta

mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya. Untuk melaksanakan semua

kegiatan itu, diperlukan standar pelayanan kefarmasian (Menkes RI, 2016).

Standar pelayanan kefarmasian di apotek meliputi:

1 Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai,

meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan,

pengendalian, serta pencatatan dan pelaporan.

2 Pelayanan farmasi klinik, meliputi pengkajian resep, dispensing, Pelayanan

Informasi Obat (PIO), konseling, pelayanan kefarmasian di rumah (home

pharmacy care), Pemantauan Terapi Obat (PTO), Monitoring Efek Samping

Obat (MESO) (Menkes RI, 2016).

28
BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

3.1.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari-Maret 2019.

3.1.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di tiga Apotek yang berada di Kecamatan

Lubuk Basung, Kabupaten Agam. Apotek dipilih berdasarkan lokasi yang

strategis dan pemilik apotek yang bersedia memberikan izin untuk dilakukannya

penelitian.

3.2 Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan model penelitian

survei yang menggunakan pendekatan cross sectional (Swarjana, 2012).

Mendeskripsikan secara faktual, akurat dan sistematis mengenai pengetahuan

pasien terhadap swamedikasi di beberapa Apotek di Kecamatan Lubuk Basung.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Seluruh pasien swamedikasi yang berusia lebih dari usia 23 tahun keatas

yang berlangsung pada Apotek di Kecamatan Lubuk Basung.

3.3.2 Sampel

Sebagian pasien swamedikasi yang berusia lebih 23 tahun keatas di

Apotek yang berada di Kecamatan Lubuk Basung yang memenuhi kriteria inklusi

dan ekslusi.

29
3.3.3 Jumlah Sampel

Sampel adalah bagian yang diambil dari keseluruhan obyek yang diteliti

dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo.S, 2010). Karena jumlah

populasi diketahui maka dalam penentuan jumlah minimal sampel, peneliti

menggunakan rumus Slovin sebagai berikut (Sugiyono, 2006) :

N
n =
1 + Ne²

Dimana :

n = Number of samples (jumlah sampel)

N = Total population (jumlah seluruh anggota populasi)

e = Error tolerance (toleransi terjadinya galat; taraf signifikansi; yaitu 10%).

Berdasarkan hasil survei awal jumlah pasien swamedikasi perbulan pada

Apotek A didapat ± 140 orang, Apotek B didapat ± 235, dan Apotek C didapat ±

185 orang yang berkunjung ke Apotek

Berdasarkan rumus Slovin maka dapat dihitung jumlah sampel untuk masing-

masing Apotek sebagai berikut :

140
Sampel di Apotek A =

1 + 140 x 0,1²

= 58,33 ~ 58

30
235
Sampel di Apotek B =

1 + 235x 0,1²

= 70,14 ~ 70
185
Sampel di Apotek C =
1 + 185 x 0,1²

= 64,91 ~ 65

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, jumlah responden yang dibutuhkan

untuk penelitian ini pada Apotek A adalah 58 orang, Apotek B adalah70

orang,dan pada Apotek C 65 orang.

3.4 Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling sampai

jumlah sampel yang dibutuhkan terpenuhi serta berdasarkan waktu pengumpulan

data yang tersedia (Swarjana, 2012).

a. Kriteria Inklusi

1. Pasien dengan usia lebih dari 23 tahun dan melakukan swamedikasi di

apotek.

2. Pasien yang bersedia bekerja sama dengan peneliti dan mengisi data

informent conset.

b. Kriteria Ekslusi

Pasien yang salah satu anggota keluarganya bekerja di bidang kesehatan

atau sedang menempuh pendidikan dibidang kesehatan.

31
3.5 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.

Kuesioner terdiri dari dua bagian yaitu :

1 Kuesioner bagian I, berupa pertanyaan tentang demografi. Pertanyaan

tersebut mengenai usia, jenis kelamin, pekerjaan, jumlah penghasilan.

2 Kuesioner bagian II, berupa pertanyaan tentang apakah pasien pernah

menggunakan obat swamedikasi, dimana mengetahui pengetahuan pasien

tentang swamedikasi dan rasionalitas swamedikasi.

Sebelum kuesioner tersebut diberikan pada responden, terlebih dahulu

diminta persetujuan responden dengan menandatangani lembar persetujuan

responden/Informent Consent dan kuesioner yang digunakan sebelumnya

dilakukan uji validitas dan reliabilitas.

3.6 Definisi dan Batasan Operasional

Agar tidak terjadi kesalahpahaman atau perbedaan pandangan dalam

memberikan definisi atau pengertian pada variabel-variabel yang dianalisis, maka

perlu didefinisikan defisi operasionalnya sebagai berikut :

1 Pengetahuan tentang pengobatan swamedikasi didefinisikan berdasarkan

kemampuan untuk menjawab pertanyaan mengenai pengertian swamedikasi,

tanda golongan obat, pemilihan obat, aturan pakai obat, efek samping obat.

2 Rasionalitas penggunaan obat swamedikasi didefinisikan berdasarkan

Penggunaan obat swamedikasi yang memenuhi 6 kriteria penggunaan obat

rasional, antara lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis obat, tidak

adanya efek samping obat, tidak adanya kontraindikasi, tidak adanya interaksi

32
obat, dan tidak adanya polifaramsi atau penggunaan dua atau lebih jenis obat

yang memiliki indikasi sama

3.7 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

3.7.1 Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder.Data primer yaitu data yang diambil dari responden langsung atau

sampel penelitian . Data dapat berupa wawancara langsung dan kuesioner yang

diberikan pada responden. Sedangkan data sekunder yaitu data yang diperoleh

secara tidak langsung, kaitannya dalam hal ini yaitu pasien swamedikasi, buku-

buku, tulisan atau esai di internet atau dokumen yang berkaitan dengan penelitian

pelayanan kefarmasian di puskesmas bagi masyarakat.

3.7.2 Pengumpulan Data

a. Observasi, yang dalam metode ilmiah biasa diartikan sebagai pengamatan dan

pencatatan secara sistematik fenomena yang diselidiki. Sedangkan dalam arti

luas tidak hanya sebatas pada pengamatan langsung dan tidak langsung,

termasuk dalam pengamatan tidak langsung adalah kuesioner dan test. Peneliti

mengobservasi bagaimana hubungan pengetahuan pasien dengan rasionalitas

swamedikasi di Apotek yang berada di wilayah Lubuk Basung.

b. Angket/ kuesioner, yaitu dengan cara memberikan beberapa pertanyaan kepada

masyarakat atau pasien di apotek berupa kertas untuk dijawab mengenai

hubungan pengetahuan pasien dengan rasionalitas swamedikasi di Apotek yang

berada di wilayah Lubuk Basung.

c. Dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data-data mengenai hal-hal yang

diteliti dan juga berhubungan dengan objek penelitian.

33
3.8 Uji Validitas dan Reliabilitas

3.8.1 Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau tidaknya suatu kuesioner

(Arikunto, 2002). Suatu kuesioner dinyatakan valid jika pertanyaan pada

kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner

tersebut. Masing-masing item dikatakan valid apabila r hitung > r tabel (Ghozali,

2005). Uji signifikasi ini membandingkan korelasi antara nilai masing-masing

nilai pertanyaan dengan nilai total. Apabila besar nilai total koefisien item

pertanyaan masing-masing variabel melebihi nilai signifikan, maka pertanyaan

tersebut dinilai tidak valid. Validitas menunjukkan sejauh mana ketepatan dan

kecermatan sebuah alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Perhitungan akan

dilakukan dengan bantuan komputerisasi. Dimana kuesioner itu di berikan kepada

30 responden, dan hitung nilai r nya.

3.8.2 Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan

indikator dari variabel. Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika

jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil diukur sekali

saja. Untuk mengetahui apakah suatu varibel reliabel atau tidak digunakan uji

Alpha Cronbach. Jika nilai alphanya mendekati angka satu maka nilai relibelitas

datanya semakin terpercaya. Perhitungan tersebut akan dilakukan dengan bantuan

komputerisasi. Nilai cronbach alpha pada penelitian ini adalah 0,6 dengan asumsi

bahwa daftar pertanyaan yang diujji akan dikatakan reliabel bila nilai Cronbach

alpha > 0,6. Syarat suatu alat ukur merupakan kehandalan yang semakin tinggi

34
adalah apabila koefisien reliabilitasnya mendekati angka satu. Apabila koefisien

alpha > 0,6 maka alat ukur dianggap handal (Ghozali, 2005).

3.9 Analisa Data

3.9.1 Analisis Bivariat

Setelah diketahui karakteristik masing-masing variabel dapat diteruskan

analisis lebih lanjut. Apabila diinginkan analisis hubungan antar dua variabel,

maka analisis dilanjutkan pada tingkat bivariat. Untuk mengetahui hubungan dua

variabel tersebut biasanya digunakan pengujian statistik. Jenis uji statistik yang

digunakan sangat tergantung jenis data/variabel yang dihubungkan (Hastono,

2006).

Penelitian secara deskriptif. Dalam analisis data berkaitan dengan

perhitungan untuk menjawab rumusan masalah dan pengujian hipotesis yang

diajukan (Riduwan, 2011).

Data yang akan dianalisis dalam penelitian ini berbentuk kategori

kualitatif sehingga uji statistik yang sesuai dengan jenis data ini adalah Chi-

Square Test. Uji ini digunakan untuk menganalisis hubungan karakteristik pasien

terhadap pengetahuan dan rasionalitas swamedikasi.

3.10 Penilaian Kuesioner

Data yang diperoleh dari hasil pengisian kuesioner dikumpulkan dan

dianalisis secara deskriptif dengan cara memeriksa dan melihat apakah semua

jawaban sudah terisi. Kemudian dilakukan pengkodean pada setiap jawaban

dengan memberi skor atau nilai tertentu. Pada kuesioner bagian pengetahuan

swamedikasi, setiap jawaban yang “benar” diberi nilai 1,dan jawaban “salah”

diberi nilai 0, Sedangkan pada bagian rasionalitas swamedikasi, pada setiap

35
jawaban yang “tepat, tidak ada efek samping obat” diberi nilai 1 dan jawaban

yang “tidak tepat, terdapat efek samping obat“ diberi nilai 0. Kemudian data

dikelompokkan sesuai dengan karakteristik masing-masing dan ditampilkan

dalam bentuk tabel.

Kategori nilai pengetahuan pasien terhadap swamedikasi berdasarkan

kemampuan responden untuk menjawab 15 pertanyaan :

1. Buruk : Skor < 60%

2. Sedang : Skor 60% - 80%

3. Baik : Skor > 80%

Kategori nilai rasionalitas penggunaan obat swamedikasi yang memenuhi

6 kriteria penggunaan obat rasional, antara lain ketepatan pemilihan obat,

ketepatan dosis obat, efek samping obat, tidak adanya kontraindikasi, tidak

adanya interakasi obat, dan tidak adanya polifarmasi (Depkes RI, 2008;

Hermawati, 2012; Muharni, 2015) :

1. Tidak rasional, bila nilai < 6, yang berarti tidak semua kriteria kerasionalan

penggunaan obat terpenuhi

2. Rasional,bila nilai 6, berarti semua kriteria kerasionalan penggunaan obat

terpenuhi (Depkes RI, 2008).

3.11 Uji Kode Etik

Pada penelitian ini uji kode etik dilakukan di Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas pada bulan Maret 2019.Kode etik adalah suatu instrument

untuk mengukur keberterimaan secara etik suatu rangkaian proses penelitian.

Semua penelitian yang melibatkan manusia tidak boleh melanggar standar etik

yang berlaku universal, tetapi juga harus memperhatikan berbagai aspek sosial

36
budaya masyarakat yang teliti. Tujuan utama melakukan kode etik adalah

melindungi subyek penelitian atau responden dari bahaya secara fisik (ancaman),

psikis (tertekan, penyesalan), sosial (stigma, diasingkan dari masyarakat) dan

konsekuensi hukum (dituntut) sebagai akibat turut berpatisipasi dalam suatu

penelitian (CIOMS, 2002).

37
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Setelah dilakukan penelitian dari Januari sampai Februari 2019 di

beberapa Apotek di Kecamatan Lubuk Basung, diperoleh hasil dari 193 responden

sebagai berikut :

1 Uji validitas keusioner dilakukan pada 30 orang responden yang berdomisili di

Kecamatan Ampek Nagari. Pada variabel pengetahuan dalam swamedikasi

dengan 15 item pertanyaan diperoleh nilai r hitung > nilai r tabel (Tabel 1).

Dengan demikian kuesioner bagian ini dapat dinyatakan valid.Pengujian

reliabilitas pada pertanyaan yang dinyatakan valid diperoleh nilai alpha

cronbach > 0.600 (Tabel 2).

2 Karakteristik Sosiodemografi responden yang terlibat dalam penelitian ini

sebanyak 193 orang. Untuk jenis kelamin didominasi oleh perempuan (58%),

sedangkan golongan umur didominasi responden dengan umur 31 – 40 tahun

(27.5%). Pendidikan terakhir mayoritas SMK/SMA (49.2%) dan pekerjaan

didominasi dengan ibu rumah tangga (28.5%). Untuk penghasilan didominasi

Rp. 1.000.000 - Rp.2.000.000 ,- (43.5%) (Tabel 3).

3 Pengetahuan penggunaan obat swamedikasi dapat diketahui bahwa mayoritas

tingkat pengetahuan responden di beberapa apotek kecamatan Lubuk Basung

tergolong baik (43%) (Tabel 4).

4. Rasionalitas penggunaan obat dalam swamedikasi berdasarkan hasil penilaian

mengenai rasionalitas penggunaan obat, dapat disimpulkan bahwa mayoritas

responden yang melakukan swamedikasi di beberapa apotek Kecamatan Lubuk

Basung menggunakan obat secara rasional (77.2%) ( Tabel 6).

38
5. Hubungan pengetahuan terhadap rasionalitas penggunaan obat oleh responden

berdasarkan hasil uji Chi-Square Test antara tingkat pengetahuan dan

rasionalitas diperoleh hasil yaitu 0.924 .Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak

memiliki hubungan terhadap rasionalitas (Tabel 11).

4.2 Pembahasan

4.2.1 Validasi dan Reliabelitas Kuesinoner

Kuesioner yang digunakan untuk penelitian telah dilakukan uji validasi

dan reabilitas. Dimana uji validitas menggunakan uji Product Moment Pearson

Correlation.

Tabel 1.Uji Validitas pengetahuan dalam swamedikasi

R Tabel Signifikan
NO No Butir Pertanyaan R Hitung
( N=30 )
1 Soal 1 0.351
2 Soal 2 0.351
3 Soal 3 0.473
4 Soal 4 0.312
5 Soal 5 0.312
6 Soal 6 0.523
7 Soal 7 0.473
8 Soal 8 0.480 0.296
9 Soal 9 0.312
10 Soal 10 0.437
11 Soal 11 0.351
12 Soal 12 0.473
13 Soal 13 0.351
14 Soal 14 0.351
15 Soal 15 1

39
Keseluruhan butir soal telah memiliki r hitung > r tabel. Dengan demikian,

kuesioner ini dapat dinyatakan valid. Sedangkan uji reabilitas menggunakan uji

Cronbach’s Alpha.

Tabel 2. Data hasil output nilai Cronbach's Alpha uji reliabelitas

No Variabel Nilai alpha cronbach Keterangan

1 Pengetahuan 0.792 Reliabel

4.2.2 Karakteristik Responden


Karakteristik responden, sebanyak 193 responden yang terlibat dalam

penelitian ini, 58 responden berasal dari apotek A, 70 responden berasal dari

apotek B, 65 responden berasal dari apotek C. Berdasarkan hasil penelitian ini

didominasi oleh perempuan (58%), sedangkan golongan umur didominasi

responden dengan umur 31– 40 tahun (27.5%). Pendidikan terakhir mayoritas

SMK/SMA (49.2%) dan pekerjaan didominasi dengan ibu rumah tangga (28.5%).

Untuk penghasilan didominasi Rp.1.000.000-Rp.2.000.000,- (43.5%).

Karakteristik responden bisa dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Analisa karakteristik sosiodemografi responden

KARAKTERISTIK JUMLAH
NO PERSENTASE %
SOSIODEMOGRAFI N= 193

Usia

a. 23-30 Tahun 39 20.2

b. 31-40 Tahun 53 27.5


1
c. 40-50 Tahun 51 26.4

d. 51-60 Tahun 29 15.0

e. > 60 Tahun 21 10.9

40
Jenis Kelamin
81 42.0
2 a. laki-laki
112 58.0
b. perempuan

Pendidikan
15 7.8
a. SD
25 13.0
b. SMP
3 95 49.2
c. SMA
57 29.5
d.Perguruan Tinggi
1 0.5
e. Lain-lainnya

Pekerjaan
25 13.0
a. Pegawai negeri
29 15.0
b. Pegawai Swasta
4 50 25.9
c. Wiraswasta
55 28.5
d. Rumah Tangga
34 17.6
e. Lainnya

Penghasilan

a. < 1.000.000 bulan 26 13.5

5 b. > 1.000.000 - 2.000.000 bulan 84 43.5

c. > 2.000.000 – 3.000.000 bulan 56 29.0

d. > 3.000.000 27 14.0

Kunjungan ke apotek 3 bulan terakhir

a. 1 kali 14 7.3

b. 2 kali 66 34.2
6
c. 3 kali 81 42.0

d. 4 kali 14 7.3

e. 5 kali 18 9.3

41
Tujuan ke Apotek

a. tembusan resep dokter - -

7 b.beli obat bebas 89 46.1

c. beli obat bebas terbatas 77 39.9

d. beli obat keras 27 14.0

Konsultasi
44 22.8
8 a. Apoteker
149 77.2
b. asisten apoteker

TOTAL 193

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Mellina (2016) di Kecamatan Medan Marelan yang mengatakan bahwa

masyarakat produktif dengan tingkat umur 29-39 tahun, lebih memilih pengobatan

pengobatan sendiri untuk penyakit ringan daripada berobat ke dokter.

Berdasarkan karakteristik umur menunjukkan bahwa golongan umur 29-

39 tahun merupakan kategori umur yang paling banyak menjadi responden

penelitian. Rentang umur tersebut termasuk ke dalam kategori usia prima yang

idealnya telah bekerja. Oleh karena itu, obat-obat bebas lebih dipilih sebagai

pengobatan untuk mengatasi penyakit ringan yang dialami di sela-sela

aktivitasnya karena obat bebas mudah diperoleh (Hermawati, 2012).

Berdasarkan karakteristik jenis kelamin menunjukkan bahwa perempuan

lebih cenderung melakukan swamedikasi dibandingkan laki-laki, hal ini

dikarenakan lebih banyaknya pengunjung perempuan yang melakukan

swamedikasi dan bersedia untuk diwawancara dibandingkan pengunjung laki-laki.

42
Berdasarkan karakteristik tingkat pendidikan menunjukkan bahwa

masyarakat yang berpendidikan rendah cenderung memiliki pengetahuan yang

rendah terhadap swamedikasi sehingga memilih berobat ke dokter, sedangkan

semakin tinggi tingkat pendidikan maka memungkinkan semakin baik pula

pengetahuan masyarakat dalam swamedikasi, sehingga lebih cenderung

melakukan swamedikasi dan terlebih dahulu mencari informasi tentang obat yang

digunakan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter.

Berdasarkan karakteristik pekerjaan menunjukkan bahwa ibu rumah

tangga lebih banyak melakukan swamedikasi, hal ini dikarenakan ibu rumah

tangga dianggap lebih mengetahui kondisi kesehatan anggota keluarganya,

memiliki kepekaan yang lebih besar dalam melakukan pencarian pengobatan,

serta karena umumnya tidak memiliki penghasilan sendiri kebanyakan dari

mereka melakukan pengobatan sendiri sebab dianggap lebih murah dan praktis

tanpa perlu ke dokter.

4.2.3 Tingkat Pengetahuan Swamedikasi

Tingkat pengetahuan dalam swamedikasi dalam penelitian ini tergolong

baik yaitu 43%. Berdasarkan tingkat pengetahuan masing-masing, responden

dalam penelitian ini di bagi dalam 3 kategori yaitu kategori baik (43%), kategori

sedang(38.3%), dan buruk (18.7%). Data distribusi frekuensi tingkat pengetahuan

seluruh responden dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 4.

Tabel 4. Distribusi frekuensi pengetahuan responden

NO Kategori Jumlah Persentase (%)

1 Buruk 36 18.7

2 Sedang 74 38.3

43
3 Baik 83 43.0

TOTAL 193 100

Berdasarkan data yang diperoleh sebagian besar pertanyaan pada

kuesioner bagian pengetahuan dapat dijawab dengan benar. Data lengkap

distribusi jawaban dari responden dapat dilihat pada Tabel 5 .

Tabel 5. Persentase Jawaban Pertanyaan Responden.

No Pernyataan Ya Tidak

mengetahui tentang swamedikasi/pengobatan sendiri (75.6%)


1 (24.4% )
tanpa resep dokter

mengetahui cara melakukan swamedikasi/pengobatan


2 (84.5%) (15.5%)
sendiri

pembelian obat tanpa resep dokter diperbolehkan untuk


3 (88.6%) (11.4 %)
ibu yang sedang hamil

mengetahui obat golongan apa yang boleh dibeli sendiri


4 (36.7%) (63.7%)
ke apotek

mengetahui obat golongan apa yang harus dibeli dengan


5 (46.1%) (53.9%)
resep dokter

6 mengetahui cara penyimpanan obat yang benar (94.8%) (5.2%)

mengetahui bahwa membeli obat ke apotek tanpa resep

7 dokter dianjurkan untuk meminta saran apoteker terlebih (86.5%) (13.5%)

dahulu

mengetahui bahwa ada obat-obat yang digunakan saat


8 (87%) ( 13%)
perlu saja dan dihentikan saat gejala hilang

44
mengetahui bahwa ada obat yang tidak boleh distop secara
9 (78.8%) (21.2%)
mendadak tapi harus diturunkan dosisnya secara perlahan

mengetahui bahwa khasiat obat bisa dibaca pada kemasan


10 (94.8%) (5.2%)
/ label

11 perbedaan dosis obat antara orang dewasa dan anak-anak (96.9%) (3.1%)

12 mengetahui tentang aturan pakai obat (99.0%) (1%)

mengetahui bahwa aturan pakai obat 3 kali sehari berarti


13 (68.4%) (31.6%)
obat diminum setiap 8 jam

jika suatu obat memiliki lambang seperti pada gambar,

maka obat tersebut dapat dibeli secara bebas tanpa resep

dokter
14 (36.8%) (63.2%)

( bagian tengah warna hijau dan garis tepi warna hitam)

15 obat memiliki efek samping (97.9%) (2.1%)

Rata-rata lebih dari 65% responden dapat menjawab dengan benar

pertanyaan dengan benar, namun terdapat tiga pertanyaan yang jawabannya

benarnya kurang dari 50% responden yaitu pertanyaan mengenai golongan obat

apa yang dibeli sendiri ke apotek(36.7%), golongan apa yang harus dibeli dengan

resep dokter(46.1%) dan mengetahui logo lambang obat bebas(36.8%). Maka

dapat dapat disimpulkan sebagian besar responden dalam penelitian ini belum

paham tentang golongan obat apa yang dibeli sendiri ke apotek, golongan apa

45
yang harus dibeli dengan resep dokter dan mengetahui logo lambang obat bebas.

Hal ini dapat menyebabkan terjadi kesalahan pada swamedikasi. Apabila

kesalahan ini terjadi secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama,

dikhawatirkan dapat menimbulkan resiko pada kesehatan pada responden

(Depkes, 2007).

4.2.4 Rasionalitas Penggunaan Obat

Berbagai kriteria telah ditetapkan untuk menentukan kerasionalan

penggunaan suatu obat. Rasionalitas penggunaan obat dalam swamedikasi

berdasarkan hasil penilaian mengenai rasionalitas penggunaan obat, dapat

disimpulkan bahwa mayoritas responden di tiga apotek menggunakan obat secara

rasional (77.2%) dapat dilihat pada Tabel 6. Menurut WHO, penggunaan obat

yang rasional merujuk pada penggunaan obat yang benar, sesuai dan tepat.

Penggunaan obat di sarana pelayanan kesehatan umum nya belum rasional. Oleh

karena itu, diperlukan adanya promosi penggunaan obat yang rasiona dalam

bentuk komunikasi, informasi dan edukasi yang efektif dan terus-menerus yang

diberikan kepada tenaga kesehatan dan masyarakat melalui berbagai media (

WHO, 2010).

Tabel 6. Distribusi frekuensi rasionalitas penggunaan obat responden

NO Kategori Jumlah Persentase

1 Rasional 149 77.2

2 Tidak Rasional 44 22.8

Total 193 100

Penggunaan obat dikategorikan tidak rasional jika ada kriteria rasionalitas

penggunaan obat yang tidak terpenuhi. Obat dikatakaan rasional bila semua
46
kriteria rasional dapat terpenuhi. Penggunaan obat yang tidak rasional paling

banyak disebabkan oleh efek samping obat(15.5%), lebih jelasnya dapat dilihat

pada Tabel 7. Efek samping yang nilai tidak rasional adalah efek samping yang

terjadi tidak wajar, sangat mengganggu aktifitas harian dan cenderung

membahayakan diri responden, efek samping yang memdominasi yaitu

mengantuk dari obat flu tidak dianggap sebagai suatu ketidakrasionalan.

Tabel 7. Distribusi status penilaian untuk setiap kriteria rasionalitas

Persentase
NO Kriteria Status
(%)

1 Ketepatan Pemilihan Obat Tepat 100

Tidak Tepat -

2 Ketepatan Pemilihan Dosis Tepat 93.3

Tidak Tepat 6.7

3 Efek Samping Obat Ada 15.5

Tidak Ada 84.5

4 Kontra Indikasi Ada -

Tidak Ada 100

5 Interaksi Obat Ada 0

Tidak Ada 100

6 Polifarmasi dengan indikasi sama Ada 1.6

Tidak Ada 98.4

Sejalan dengan keluhan yang didapati pada penelitian ini, maka pemilihan

subkelas farmakologi obat yang digunakan didominasi oleh golongan obat

Antipiretik dan Analgetik (obat demam dan penghilang nyeri), lalu diikuti dengan

47
golongan obat flu, batuk pilek, batuk dan golongan obat lainya seperti vitamin.

hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukan kelas

yang paling umum digunakan pada pengobatan sendiri adalah golongan

antipiretik dan analgetik (Lubis, 2014) (Harapap, 2015). Data lengkap dapat

dilihat dari Tabel 8.

Ketidaktepatan dosis obat dalam penelitian ini meliputi dosis sekali pakai

dan cara penggunaan obat. Hal ini dapat disebabkan karena responden hanya

fokus pada pengalaman pribadi/keluarga dan mengesampingkan informasi yang

ada tentang pengobatan. Kasus lain responden menggunakan antibiotik tidak

sampai habis, hal ini dapat menimbulkan masalah obat tidak manjur, kepekaan

berlebihan setelah digunakan secara lokal, resistensi (bakteri menjadi kebal dan

tidak dapat dibunuh lagi dengan obat tersebut), terjadi infeksi lain (sekunder)

(Widodo, 2004).

Tabel 8. Jenis obat yang digunakan Responden

Jenis Obat %
Analgesik- Antipiretik 38.3
AINS 4.7
Batuk- Pilek 21.2
Antidiare 4.7
Antasida 5.7
Antimalaria 0.5
Antibiotik 2.6
Kecacingan 2.1
Lainnya 20.2
Total 100

48
Sejalan dengan mayoritas keluhan yang dialami, jenis obat yang paling

banyak digunakan responden untuk pengobatan swamedikasi adalah golongan

analgetik-antipiretik (38.3%). Pada penelitian ini responden juga masih

menggunakan antibiotik yang tidak dibeli dengan resep dokter. Hasil penelitian

ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa kelas obat yang

paling umum digunakan pada pengobatan sendiri adalah golongan analgetik-

antipiretik (Harahap, 2015).

Mayoritas responden menggunakan obat bebas dan obat bebas terbatas,

dan sisanya 2.1% menggunakan obat obat dalam Daftar Obat Wajib Apotek

(DOWA). Maka dapat disimpulkan obat-obat yang digunakan responden dalam

penelitian ini masih golongan obat yang diboleh untuk digunakan untuk

swamedikasi (Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas dan obat-obat dalam Daftar Obat

Wajib Apotek atau DOWA).

4.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi sosiodemografi terhadap


pengetahuan dan rasionalitas

Dalam penelitian ini juga dapat diketahui pengaruh faktor-faktor

sosiodemografi terhadap pengetahuan swamedikasi responden. Berdasarkan Chi-

Square Test suatu variable dinyatakan mempunyai pengaruh terhadap variabel

lain bila diperoleh hasil dimana Level of Significance ( nilai p value ) < alpha

(0.05). Setelah dilakukan pengujian diperoleh hasil dimana usia, jenis kelamin dan

pekerjaan yang memiliki nilai p < (0.05), sedangkan pendidikan terakhir dan

penghasilan memiliki nilai p value > alpha (0.05). Sementara dapat disimpulkan

usia, jenis kelamin dan pekerjaan mempengaruhi tingkat pengetahuan dari

responden, sedangkan pendidikan dan penghasilan tidak mempengaruhi tingkat

pengetahuan responden. Data lebih lengkap dapat dilihat dari Tabel 9.

49
Nilai p value < alpha (0.05) paling rendah adalah jenis kelamin (0.002) dan

diikuti oleh pekerjaan (0.014) dan usia (0.038). Selanjutnya dapat disimpulkan

jenis kelamin memiliki pengaruh besar terhadap tingkat pengetahuan responden.

Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya (Lubis, 2014) dimana hanya

pendidikan yang mempengaruhi tingkat pengetahuan sedangkan yang lain tidak.

Penelitian lain (Hermawati, 2013) juga menyatakan tidak ada faktor

sosiodemografi yang mempengaruhi tingkat pengetahuan.Sedangkan (Harapap,

2015) yang diketahu bahwa tingkat pengetahuan mempunyai hubungan dengan

pendidikan terakhir dan pekerjaan.

Tabel 9. Analisa Chi-Square Tes karakteristik sosiodemografi terhadap


tingkat pengetahuan responden
Tingkat Pengetahuan
Usia Jumlah Responden P
Baik Sedang Buruk

23-30 Tahun 39 19 12 8

31-40 Tahun 53 28 23 2

40-50 Tahun 51 19 19 13
0.038
51-60 Tahun 29 13 9 7

> 60 Tahun 21 4 11 6

TOTAL 193 83 74 36

Tingkat Pengetahuan
Jenis Kelamin Jumlah Responden P
Baik Sedang Buruk

Laki-laki 81 26 31 24

Perempuan 112 57 43 12 0.002

TOTAL 193 83 74 36

Tingkat Pengetahuan
Pendidikan Jumlah Responden P
Baik Sedang Buruk

50
SD 15 8 5 2

SMP 25 10 11 4

SMA 95 42 37 16
0.862
Perguruan Tinggi 57 22 21 14

Lainnya 1 1 0 0

TOTAL 193 83 74 36

Tingkat Pengetahuan
Pekerjaan Jumlah Responden P
Baik Sedang Buruk

Pegawai Negeri 25 15 10 0
0.014
Pegawai swasta 29 17 8 4

Wiraswasta 50 16 20 14

Rumah Tangga 55 25 23 7

Lainnya 34 10 13 11

TOTAL 193 83 74 36

Tingkat Pengetahuan
Penghasilan Jumlah Responden P
Baik Sedang Buruk

< 1.000.000 /Bulan 26 8 12 6

>1.000.000- 84
32 33 19
2.000.000 /Bulan

>2.000.000- 56 0.389
28 21 7
3.000.000 / Bulan

>3.000.000/Bulan 27 15 8 4

TOTAL 193 83 74 36

Pengaruh faktor sosiodemografi dengan rasionalitas penggunaan obat oleh

responden dapat dilihat dari hasil uji Chi-Square Test pada Sosiodemografi dan

51
Rasionalitas penggunaan obat diperoleh hasil dimana hanya pendidikan (0.027)

yang memiliki nilai p < alpha (0,05) sedangkan jenis kelamin, umur, pekerjaan

dan penghasilan memiliki nilai p > alpha (0,05) maka dapat disimpulkan hanya

pendidikan yang mempengaruhi rasionalitas penggunaan obat pada responden.

Data lebih lengkap dapat dilihat dari Tabel 10.

Tabel 10. Analisis Chi-Square Test sosiodemografi terhadap rasionalitas

penggunaan obat responden

Rasionalitas
Usia Jumlah Responden P
Rasional Tidak Rasional

23-30 Tahun 39 33 6

31-40 Tahun 53 38 15

40-50 Tahun 51 36 15
0.298
51-60 Tahun 29 25 4

> 60 Tahun 21 17 4

TOTAL 193 149 44

Rasionalitas
Jenis Kelamin Jumlah Responden P
Rasional Tidak Rasional

Laki-laki 81 67 14

Perempuan 112 82 30 0.120

TOTAL 193 149

Rasionalitas P
Pendidikan Jumlah Responden
Rasional Tidak Rasional

SD 15 8 7

SMP 25 20 5 0.027

SMA 95 72 23

52
Perguruan Tinggi 57 49 8

Lainnya 1 0 1

TOTAL 193 149 44

Rasionalitas
Pekerjaan Jumlah Responden P
Rasional Tidak Rasional

Pegawai Negeri 25 20 5

Pegawai swasta 29 20 9

Wiraswasta 50 41 9
0.178
Rumah Tangga 55 38 17

Lainnya 34 30 4

TOTAL 193 149 44

Rasionalitas
Penghasilan Jumlah Responden P
Rasional Tidak Rasional

< 1.000.000 /Bulan 26 18 8

>1.000.000- 84
65 19
2.000.000 /Bulan

>2.000.000- 56 0.738
45 11
3.000.000 / Bulan

>3.000.000/Bulan 27 21 6

TOTAL 193 149 44

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di

Kota Panyabungan dan Kecamatan Medan Marelan yang menyatakan bahwa

rasionalitas penggunaan obat pada pengobatan sendiri tidak dipengaruhi oleh

semua faktor sosiodemografi responden (Harahap, 2015; Mellina, 2016). Namun

penelitian ini serupa dengan penelitian Kristina (2008) yang menyatakan bahwa

53
umur merupakan salah satu faktor sosiodemografi yang mempengaruhi

rasionalitas swamedikasi. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya pengaruh

kondisi masyarakat dan lingkungan tempat dilakukannya penelitian.

4.2.6 Hubungan Pengetahuan terhadap Rasionalitas Obat

Hubungan tingkat pengetahuan terhadap rasionalitas penggunaan obat oleh

responden. Berdasarkan hasil uji Chi-Square Test antara tingkat pengetahuan dan

rasionalitas diperoleh hasil dimana nilai p > alpha (0,05) yaitu 0.924. Nilai ini

sangat besar . Hal ini dapat disimpulkan bahwa Tingkat Pengetahuan tidak

memiliki pengaruh besar terhadap rasionalitas. Data lebih lengkap dapat dilihat

dari Tabel 11. dibawah ini.

Tabel 11. Analisis Chi-Square Test tingkat pengetahuan terhadap rasionalitas

penggunaan obat responden

Rasionalitas
Tingkat Jumlah
Tidak P
Pengetahuan Responden Rasional
Rasional

Baik 83 64 19

Sedang 74 58 16 0.924

Buruk 36 27 9

Keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang obat dan penggunaannya

penyebab terjadi keselahan pengobatan dalam swamedikasi (Depkes RI, 2006).

Keterbatasan tersebut menyebabkan rentannya masyarakat terhadap informasi

komersial obat, sehingga dikhawatirkan penggunaan obat untuk swamedikasilebih

banyak karena mengikuti klaim promosi yang memungkinkan terjadinya

54
pengobatan yang tidak rasional jika tidak diimbangi dengan pemberian informasi

yang benar (Utaminingrum, Lestari, & Kusuma, 2015).

Apoteker memiliki peran peting dalam upaya meningkatkan pengetahuan

masyarakat dalam melakukan swamedikasi. Apoteker sebagai salah satu profesi

kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai pemberi informasi (drug informer)

khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam swamedikasi. Sebagai seorang

profesional kesehatan dalam bidang kefarmasian, Apoteker mempunyai peran

yang sangat penting dalam memberikan bantuan, nasehat dan petunjuk kepada

masyarakat yang ingin melakukan swamedikasi, agar dapat melakukannya secara

bertanggung jawab. Apoteker harus dapat menekankan kepada pasien, bahwa

walaupun dapat diperoleh tanpa resep dokter, namun penggunaan obat bebas dan

obat bebas terbatas tetap dapat menimbulkan bahaya dan efek samping yang tidak

dikehendaki jika dipergunakan secara tidak semestinya (Depkes RI, 2007).

55
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian hubungan pengetahuan pasien terhadap

rasionalitas swamedikasi di beberapa apotek Kecamatan Lubuk Basung dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Gambaran karakteristik sosiodemografi responden usia 31-40 tahun(27.5%),

jenis kelamin paling banyak perempuan (58.0%), pendidikan tertinggi

SMA(49.2%), pekerjaan paling banyak ibu rumah tangga (28.5%), penghasilan

tertinggi Rp.1.000.000-2.000.000/bulan (43.5%).

2. Tingkat pengetahuan responden yang melakukan swamedikasi di beberapa

apotek Kecamatan Lubuk Basung tergolong baik 43.0%.

3. Rasionalitas penggunaan obat secara swamedikasi di beberapa apotek

Kecamatan Lubuk Basung tergolong rasional 77.2% dan yang tidak rasional

22.8%.

4. Tidak terdapat hubungan antara pengetahuan dengan rasionalitas swamedikasi

yang memiliki nilai p value 0.924.

5.2 Saran

1. Dinas Kesehatan Kabupaten Agam perlu memberikan promosi mengenai cara

memilih dan menggunakan obat dengan benar dan tepat.

2. Diharapkan kepada mahasiswa farmasi ataupun tenaga kesehatan lainnya agar

lebih aktif dalam melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang

pengetahuan swamedikasi.

3. Diharapkan kepada masyarakat agar lebih mencari informasi tentang obat-

obatan dari sumber yang dapat dipercaya khususnya petugas kesehatan.

56
DAFTAR PUSTAKA

Adhikary, M., Tiwari, P., Singh, S., & Karoo, C. 2014. Study of Self-Medication
Practices and its Determinant Among College Students of Delhi University
North Campus, New Delhi, India. International Journal of Medical Science
and Public Health;3(4):406-409.

Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2014. Menuju Swamedikasi yang Aman.
Majalah Info POM;15(1):1-12.

Badan Pusat Statistik. Presentase Penduduk yang Mengobati Sendiri Selama


Sebulan Terakhir Menurut Provinsi dan Jenis Obat yang digunakan dalam
tahun 2000-2004. Diakses 25 Oktober 2018 dari https://sumbar.bps.go.id.

Corwin E.J. 2009. Buku Saku patofisiologi Edisi Kedua. Jakarta: EGC

Council For Internasional Organization Of Medical Sciences (CIOMS). 2002


Internasional Ethical Guidelines For Health-Related Research Involving
Humans, CIOMS3-11

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1997. Kompendia Obat Bebas Edisi


II. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Petunjuk Teknis Pelaksanaan


Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Penggunaan Obat


Bebas Dan Bebas Terbatas. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.

Depkes RI. 2007. Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas.
Jakarta: DepKes RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Materi Pelatihan Peningkatan


Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat Bagi Tenaga Kesehatan.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI. 2011. Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta: Kementrian


Kesehatan RI.

Depkes RI. 2014. Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta: Departemen


Kesehatan Republik Indonesia

57
Estuningtyas A, dan Azalia A. 2007. Obat lokal. Didalam S. G. Gunawan, R.
Setiabudy, Nafrialdi, dan Elysabeth. Farmakologi dan Terapi; Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, Edisi kedua. Hal. 367-368, 373-374.

Gupta P, Bobhate P, Shrivastava S. 2011. Determinants of Self Medication


Practices in an Urban Slum Community. Asian Journal Pharmaceutical and
Clinical Research; 4(3): 54-57.

Harahap NA. 2015. Tingkat Pengetahuan dan Rasionalitas Swamedikasi di Tiga


Apotek Kota Panyabungan. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi Universitas
Sumatera Utara.

Hastono SP. 2006. Analisis Data. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat


Universitas Indonesia..

Hermawati D. 2012. Pengaruh Edukasi Terhadap Tingkat Pengetahuan dan


Rasionalitas Penggunaan Obat Swamedikasi Pengunjung di Dua Apotek
Kecamatan Simanggis, Depok. Skripsi. Depok: Departemen Farmasi,
Universitas Indonesia;1(1):10, 60, 61, 68.

Kartajaya H. 2011. Self Medication, Who Benefits and Who is At Loss. Indonesia:
MarkPlus Insight..

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013


Jakarta: Kemenkes RI..

Kristina S, Prabandari Y, Sudjaswadi R. 2008. Prilaku Pengobatan sendiri yang


rasional pada masyarakat Kecamatan Depok dan Cangkringan Kabupaten
Sleman. Majalah Farmasi Indonesia; 19(1): 287.

Lubis A.A. 2014. Tingkat Pengetahuan dan Rasionalitas Pasien Swamedikasi


Yang Membeli Obat di Apotik Kimia Farma 106 Kota Medan. Skripsi.
Medan: Fakultas Farmasi USU.

Manan E. 2014. Buku Pintar Swamedikasi. Yogyakarta: Saufa.

Mellina I. 2016. Tingkat Pengetahuan Pasien dan Rasionalitas Swamedikasi di


Empat Apotek Kecamatan Medan Marelan. Skripsi. Medan: Fakultas
Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Muharni S, Fina A, Maysharah, M. 2015. Gambaran Tenaga Kefarmasian dalam


Memberikan Informasi Kepada Pelaku Swamedikasi di Apotek-Apotek
Kecamatan Tampan, Pekanbaru. Jurnal Sains Farmasi & Klinis; 2(1): 47-
53.

Notoatmodjo S. 2003. Metodologi Penelitan Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

58
Notoatmodjo S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-prinsip Dasar.
Jakarta: PT Rineka Cipta.

Menkes RI. 1993. Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 919/MenKes/Per/X/1993


tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep. Pasal 2.

Riduwan. 2011. Dasar-dasar Statistika. Bandung: Alfabeta.

Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia.

Supardi S dan Susyanty A.L. 2007. Penggunaan Obat Traditional Dalam Upaya
Pengobatan Sendiri di Indonesia (Analisis Data Susenas Tahun 2007).
Buletin Peneliti Kesehatan; 38(1): 81.

Swarjana IK. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: CV Andi


Offset

Tjay TH, Rahardja K. 2010. Obat-Obat Sederhana untuk Gangguan Sehari-hari.


Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Utaminingrum W, Jessy EL, Anjar MK. 2015. Pengaruh Faktor-Faktor


Sosiodemografi Terhadap Rasionalitas Penggunaan Obat Dalam Pengobatan
Sendiri Pada Pasien Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis).
Farmasisains Journal;2(6):285-288.

WHO. 1998. The Role of the Pharmacist in Self-Care and Self-Medication,


Netherland: Department of Essencial Drugs and Other Medicines World
Health Organization.

WHO. 2012. Promoting Rational Use of Medicines: Core Components. Geneva:


World Health Organization:1-2.

Wilson LM. 2006. Tanda dan gejala penting pada penyakit pernapasan. Dalam: S.
A. Price, dan L. M. Wilson, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
penyakit. Jakarta: EGC. Hal. 773-774.

Widodo R. 2004. Panduan Keluarga Memilih dan Menggunakan Obat.


Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta: 18-20.

World Health Organization. Rational Use of Medication. Diakses tanggal tanggal


23 Oktober 2018 http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs338/en/ind-
ex.html.

World Self-Medication Industry. 2009. Switch: Prescription to nonprescription


medicines switch. Prancis: WSMI.

59
Zeenot S. 2013. Pengelolaan dan Penggunaan Obat Wajib Apotek. Yogyakarta:
D-Medika.

60
Lampiran 1. Kerangka Teori

Masyarakat

Sakit
Sehat

Berobat ke Pelayanan Swamedikasi

Kesehatan

Obat bebas Obat Bebas Terbatas Obat Wajib Apotek

Analisa

61
Lampiran 2 Kerangka Konsep

Swamedikasi

Variabel Bebas Variabel Terikat

Karakteristik Pasien Tingkat Pengetahuan


Masyarakat Tentang
- Umur Swamedikasi

- Jenis Kelamin

- Pendidikan Rasionalitas Penggunaan


- Pekerjaan Obat Swamedikasi

62
Lampiran 3. Skema Kerja Penelitian

Permohonan rekomendasi penelitian kepada koordinasi STIFI YP ke Apotek

Validasi dan Reliabelitas Kuesioner

Pengambilan data masyarakat yang melakukan swamedikasi

Catat dan data pasien yang sedang membeli obat di apotek ( nama pasien,umur
pasien, alamat pasien.

Lembar Pengumpulan Data

Data Primer Data Sekunder

Wawancara langsung kepada  Buku-buku


pasien yaitu dengan melakukan  Tulisan/essai di
pengisian kuesioner internet

Data yang di peroleh diolah menggunakan SPSS ( Statistical Program for


Social Sciences)

63
Lampiran 4. Surat Izin Apotek

Gambar 4. Surat Izin dari Apotek Zita Farma Kecamatan Lubuk Basung

64
Gambar 5. Surat Izin dari Apotek Hasanah Kecamatan Lubuk Basung

65
Gambar 6.Surat Izin dari Apotek Satria Kecamatan Lubuk Basung

66
Lampiran 5. Surat Ketarangan Kaji Etik

Gambar 7. Surat Ketarangan Kaji Etik

Lampiran 6. Kuesioner Responden

67
68
69
70
71
72
Lampiran 8. Daftar Tabel r Product Moment

73
Lampiran 9. Dokumentasi Penelitian

Gambar 8. Pengisian Kuesioner Oleh Responden di Apotek

74

Anda mungkin juga menyukai