Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH 

FARMASI INDUSTRI DAN CPOB

Dosen Pembimbing :
Apt. Yulius Evan C, S.Farm., M.Farm

Oleh :
Kelompok 8
Alodia Jeconiah 2243700320
Shafira Anggia Dini 2243700413
lham Mubaraq 2243700244
Feby Rizki Angkasa Putri Arma 2243700420
Ni Adek Ari Pridayanti 2243700431
Paula M.A Perada Aran 2243700385
Alstrid Meilin Bandai 2243700371
Nur Afifatul Lailah 2243700467

Program Studi Apoteker 


Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
Jakarta
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang

Definisi Industri Farmasi berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 26 Tahun 2018 adalah perusahaan berbentuk badan hukum
yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan produksi atau pemanfaatan sumber
daya produksi, penyaluran obat, bahan obat, dan fitofarmaka, melaksanakan
pendidikan dan pelatihan, dan atau penelitian dan pengembangan. Sedangkan
berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 34
Tahun 2018, Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melakukan kegiatan
pembuatan obat atau bahan obat. Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2018
adalah cara pembuatan obat yang bertujuan untuk memastikan agar mutu obat
yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan dan tujuan penggunaannya. 

Pedoman CPOB wajib menjadi acuan bagi industri farmasi dan sarana yang
melakukan kegiatan pembuatan Obat dan Bahan Obat agar dapat menjamin dan
menghasilkan produk yang bermutu. CPOB mencakup seluruh aspek produksi
dan pengendalian mutu. CPOB meliputi semua aspek produksi mulai dari bahan
awal, bangunan dan peralatan/mesin sampai ke pelatihan personil serta sanitasi-
higiene personil. Prosedur tertulis yang detail merupakan hal yang utama dan
penting untuk setiap proses yang dapat berdampak pada kualitas produk jadi obat.
Dalam penerapannya CPOB harus dalam bentuk sistem yang menyediakan bukti
tertulis bahwa prosedur benar-benar dijalankan secara konsisten dan mengikuti
setiap tahapan dalam produksi obat. CPOB adalah bagian dari Sistem Mutu yang
memastikan obat dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai
standar mutu yang sesuai dengan tujuan penggunaan dan persyaratan izin edar,
persetujuan uji klinik atau spesifikasi produk. Peraturan tentang wajib
menerapkan CPOB bagi industri farmasi awalnya didasarkan atas Surat
Keputusan Menteri Kesehatan RI No.43/Menkes/SK/VII/1989 tentang Cara
Pembuatan Obat yang Baik, yang kemudian mengalami banyak perubahan dan
perkembangan seiring dengan berjalannya waktu. CPOB terbaru saat ini adalah
CPOB 2018 berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
Nomor 34 Tahun 2018 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik.

1.2   Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari makalah sebagai berikut :
1. Bagaimana mahasiswa apoteker mampu mengetahui sejarah perkembangan
Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) di Indonesia?
2. Bagaimana pemahaman apoteker tentang peran, dan tanggung jawab apoteker
dalam industri farmasi?
3. Bagaimana mengetahui dan memahami hal-hal yang dapat mempengaruhi
penerapan sistem CPOB oleh industi farmasi di Indonesia?

1.3      Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini sebagai berikut:

1. Mahasiswa apoteker mampu mengetahui sejarah perkembangan Cara


Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) di Indonesia
2. Meningkatkan apoteker tentang peran, dan tanggung jawab apoteker dalam
industri farmasi.
3. Mengetahui dan memahami hal-hal yang dapat mempengaruhi penerapan
sistem CPOB oleh industi farmasi di indonesia.

1.4       Manfaat

1. Mengetahui  sejarah perkembangan Cara Pembuatan Obat yang Baik dan Benar
(CPOB).
2. Memahami hal-hal yang dapat mempengaruhi penerapan sistem CPOB dan
tanggung jawab apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian di industry
farmasi.
3. Mahasiswa mengetahui tujuan dari suatu aspek pada proses produksi sediaan
obat dalam cara pembuatan obat yang baik.  
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Obat adalah suatu zat yang dimaksudkan untuk dipakai dalam


diagnosis,mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit. Salah satu
upaya yang dilakukan pemerintah untuk menjamin tersedianya obat yang bermutu, aman
dan berkhasiat yaitu dengan mengharuskan setiap industri untuk menerapkan Cara
Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB).

Industri farmasi saat ini sudah berkembang pesat dalam rangka memenuhi obat-
obatan secara nasional. Perusahaan farmasi sebagai perusahaan pada umumnya
melakukan kegiatan usaha yang meliputi proses menghasilkan barang yaitu obat-obatan.
CPOB merupakan suatu konsep dalam industri farmasi mengenai prosedur atau langkah-
langkah yang dilakukan dalam suatu industri farmasi untuk menjamin mutu obat jadi,
yang diproduksi dengan menerapkan “Good Manufacturing Practices” dalam seluruh
aspek dan rangkaian kegiatan produksi sehingga obat yang dihasilkan senantiasa
memenuhi  persyaratan mutu yang ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya.
CPOB bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten memenuhi  persyaratan
yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB mencakup seluruh
aspek produksi dan pengendalian mutu.

2.1 Aspek CPOB

Dalam produksi obat, jika produk jadi semata-mata lulus saja dalam angkaian uji itu
tidak cukup, namun yang sangat berpengaruh adalah kualitas yang wajib terbentuk
didalam suatu produk. Kualitas produk bergantung oleh bahan pengemas, bahan awal,
pengendalian mutu, dan proses produksi, bangunan, personalian yang turut terlibat dan
peralatan yang digunakan.

2.1.1 Manajemen Mutu

Dalam pemenuhan ketentuan yang ditetapkan pada registrasi (dokumen izin edar),
Industri farmasi diwajibkan memproduksi obat sesuai dengan tujuan keguanaannya serta
meminimalisir risiko yang berbahaya bagi pengguna sebab tidak efektif, tidak terjamin
ataupun kualitas rendah. Aspek dasar manajemen kualitas yaitu prasarana atau sistem
kualitas merupakan sistem organisasi, prosedur, proses dan sumber daya. Gerakan
terorganisir perlu dilaksanakan agar memperoleh pemastian dengan tingkat kepercayaan
tinggi, maka produk (atapun pelayanan jasa) hasilnya senantiasa memenuhi syarat yang
sudah ditentukan.

2.1.2 Personalia

Kewajiban industri farmasi dalam menyediakan personil yang memiliki kualifikasi


serta jumlah yang memadai dalam pelaksanakan tanggung jawab serta peran masing-
masing berbeda sesuai dengan porsinya. Tugas khusus serta wewenang dari personil
yang menjabat sebagai penanggung jawab sebaiknya dicantumkan pada rincian tugas
yang ditulis, Semua personilia sebaiknya paham mengenai aspek CPOB wajib diberi
training. Cakupan key person (personil kunci) adalah pemimpin departemen Produksi,
pemimpin departemen Pengawasan Mutu dan pemimpin departemen Manajemen
Mutu (Pemastian Mutu) specific training sebaiknya disediakan untuk karyawan yang
melaksanakan kerja pada bagian cemaran yang berbahaya.

2.1.3 Bangunan dan Fasilitas

Konstruksi serta sarana dalam produksi obat sebaiknya mempunyai struktur,


bangunan serta posisi yang layak, dan menyesuaikan keadaannya serta dipelihara
dengan baik untuk mempermudah penerapan kegiatan yang teratur. Posisi serta skema
ruangan wajib terbuat semirip mungkin agar meminimalisir risiko terbentuknya
kesalahan, cemaran silang serta kekeliruan lainnya, mempermudah bersih-bersih,
sanitasi serta pemeliharaan yang efisien buat menjauhi penimbunan debu ataupun
kotoran, serta akibat lain yang bisa merendahkan kualitas obat. Aktivitas penerimaan
bahan, karantina barang datang, penyimpanan bahan awal serta bahan pengemas,
penimbangan serta penyerahan bahan ataupun produk, pengolahan, pencucian
perlengkapan, penyimpanan perlengkapan, penyimpanan produk ruahan, pengemasan,
karantina produk jadi saat sebelum mendapatkan pelulusan akhir, pengiriman produk,
serta laboratorium pengawasan kualitas sebaiknya dicoba di bagian tertentu.

2.1.4 Peralatan

Peralatan yang dipakai untuk produksi obat harus memiliki konstruksi dan struktur
yang benar, skala dan posisi penempatan yang sesuai, serta memenuhi syarat untuk
memastikan bahwa mutu obat terjamin sesuai dengan keseragaman desain dan batch,
serta mudah dibersihkan dan dirawat.
2.1.5 Sanitasi dan hygiene

Aspek yang tercakup dalam sanitasi dan higiene yaitu personel, sarana dan
prasarana, peralatan dan perlengkapan, bahan produksi dan wadah, serta zat apapun yang
dapat menyebabkan kontaminasi produk. Setiap prosedur sanitasi harus ditulis.

2.1.6 Produksi

Aktivitas produksi harus mengikuti langkah-langkah yang ditentukan dan sudah


penuhi ketentuan CPOB untuk memastikan bahwa CPOB terus memberikan produk yang
telah penuhi ketentuan kualitas dan penuhi persyaratan izin produksi dan izin edar
(registrasi). aturan produksi yang diatur oleh CPOB meliputi pembelian bahan baku yaitu
bahan baku dan bahan pengemas, dan verifikasi proses, pencegahan kontaminasi silang,
sistem penomoran batch / batch, penimbangan dan pengolahan; Tindakan terhadap bahan
dan produk yang dipulangkan; karantina dan pengiriman produk jadi, catatan
pengendalian pengiriman obat; penyimpanan bahan prematur, bahan pengemas, produk
antara, produk curah dan produk jadi, serta transportasi dan transportasi. Klasifikasi
Kebersihan Ruang Pembuatan Obat Kelas A, B, C, dan D adalah tingkat kebersihan
ruangan yang digunakan untuk menghasilkan produk steril. Kelas E adalah kelas ruangan
bersih yang digunakan untuk pembuatan produk nonsteril.

2.1.7 Pengawasan  Mutu

Quality Control adalah area yang khusus dari CPOB agar pemastian obat
dihasilkan selalu memiliki kualitas yang sesuai dengan tujuan penggunaan. Keterlibatan
dan komitmen semua pihak yang berkepentingan dalam seluruh rangkaian pembuatan
adalah mutlak untuk mencapai sasaran mutu yang ditetapkan mulai dari awal pembuatan
sampai distribusi obat jadi. Pengawasan Mutu mencakup pengambilan sampel,
spesifikasi, pengujian serta 13 termasuk pengaturan, dokumentasi dan prosedur pelulusan
yang memastikan bahwa semua pengujian yang relevan telah dilakukan, dan bahan tidak
diluluskan untuk dipakai atau produk diluluskan untuk dijual, sampai mutunya telah
dibuktikan memenuhi persyaratan. Pengendalian kualitas tidak hanya pada kegiatan
pengujian, tetapi juga harus ikut serta dalam semua keputusan yang berkaitan dengan
mutu produk. Kontrol kualitas harus mencakup semua aktivitas analitis.
Ketidaktergantungan Pengawasan Mutu dari Produksi dianggap hal yang fundamental
agar Pengawasan Mutu dapat melakukan kegiatan dengan memuaskan.
2.1.8 Inspeksi Diri, Audit Mutu, dan Audit & Persetujuan Pemasok

Sebagai penilaian diseluruh bagian produksi dan kendali mutu di perusahaan obat
yang telah penuhi persyaratan CPOB yang ditetapkan merupakan tujuan dari inspeksi
mandiri. Prosedur investigasi mandiri harus di desain untuk menemukan kekurangan
didalam implementasi CPOB serta menentukan perlakuan korektif yang dibutuhkan.
Investigasi diri harus dilaksanakan dengan mandiri oleh supervisor perusahaan, serta
instruksi secara detail harus diberikan. Pemeriksaan mandiri harus dilakukan didalam
kondisi khusus rutin, seperti pengembalian produk ataupun produk yang ditolak
berulang. Catatan serta prosedur inspeksi diri harus dicatat, serta rencana kegiatan
kelanjutan yang efisien harus ditetapkan. Penyelenggaraan audit mutu berguna sebagai
pelengkap inspeksi diri. Audit mutu mencakup inspeksi dan evaluasi terhadap seluruh
ataupun beberapa bagian manajemen, dan tujuannya khusus adalah menaikkan kualitas.
Audit kualitas biasanya dilakukan oleh pakar eksternal, pakar mandiri, ataupun team
yang berpengaruh di bentuk dari manajemen perusahaan untuk tujuan ini.

2.1.9 Penanganan Keluhan Terhadap Obat, Penarikan Kembali, dan Obat Kembalian

        Seluruh masalah serta informasi lain berhubungan dengan adanya kerusakan produk
harus di tinjau ulang dan di cermati disesuaikan dengan prosedur yang tertulis. Untuk
dapat menyelesaikan seluruh keadaan darurat, sistem harus dibuat, Bila perlu mencakup
penarikan kembali produk yang diketahui atau diduga cacat dari peredaran secara cepat
dan efektif. Pengembalian obat bisa dalam bentuk satu ataupun lebih bets, ataupun semua
bets obat tertentu di semua peredaran pendistribusi. Prosedur tertulis harus ditetapkan
dan inspeksi berkala harus dilakukan untuk mengontrol tindakan penarikan kembali.
Tindakan penarikan kembali produk hendaklah dilakukan segera setelah diketahui ada
produk yang cacat mutu atau diterima laporan mengenai reaksi yang merugikan.
Dokumentasi dan tulisan laporan pengembalian obat harus dicatat dengan benar.

 2.1.10 Dokumentasi

Suatu hal penting dari sistem jaminan kualitas serta kiat agar memenuhi
persyaratan CPOB yaitu pendokumentasi yang sahih. Bermacam dokumentasi serta hal
lain yang dipakai harus seluruhnya ditentukan didalam manajemen mutu. Bentuk
dokumen bisa bermacam-macam, termasuk lembar kertas, elektronik ataumedia
fotografi. Tujuan utama dari sistem dokumen yang digunakan adalah untuk menetapkan,
mengontrol, memeriksa, serta menulis semua aktivitas secara direct maupun indirectly
mempengaruhi seluruh aspek mutu produk. Manajemen mutu perusahaan obat harus
menjelaskan secara detail tentang pengertian dasarketentuan, dan menyediakan catatan
proses dan evaluasi yang memadai dari setiap hasil pengamatan sehingga penerapan
persyaratan secara terus menerus dapat ditunjukkan. Untuk referensi lain tentang
penerapan praktik pendokumentasian yang apik, agar dapat memastikan kepercayaan
pada dokumen serta tulisan, merujuk ke "Guidance on Good Data and Record
Management Practices" WHO atau standar internasional lain yang relevan.

2.1.11 Kualifikasi Dan Validasi

Salah satu hal yang berpengaruh dalam sistem jaminan kualitas terdaftar pada
ketentuan dalam CPOB untuk perusahaan obat yaitu kualifikasi dan validasi. Pada CPOB
mewajibkan perusahaan obat agar menentukan validasi dibutuhkan untuk membuktikan
pengendalian atas aspek-aspek kunci dari proses telah dilaksanakan. Fasilitas utama,
peralatan serta perubahan kegiatan yang bisa mempengaruhi kualitas obat harus
diverifikasi. Metode evaluasi risiko hendaknya diaplikasikan agar bisa mengetahui ruang
lingkup validasi. Semua kegiatan harus direncanakan. Isi utama dari rencana validasi
harus didefinisikan dengan jelas dan dicatat dalam rencana validasi induk (RIV) atau
dokumen yang setara. RIV harus merupakan dokumen yang ringkas, akurat dan jelas.
RIV hendaklah mencakup sekurang-kurangnya data sebagai berikut: kebijakan validasi,
struktur organisasi kegiatanvalidasi, ringkasan fasilitas, sistem, peralatan dan proses yang
akan divalidasi, format dokumen, format protokol dan laporan validasi, perencanaan dan
jadwal pelaksanaan pengendalian perubahan, dan acuan dokumen yang digunakan.
Validasi diklasifikasikan menjadi tiga, yakni validasi pembersihan, validasi metode
analisis dan validasi proses. Kualifikasi diklasifikasikan menjadi empat, yaitu kualifikasi
desain, kualifikasi instalasi, kualifikasi operasional dan kualifikasi kinerja.

2.1.12 Sejarah CPOB di Luar Negeri

Industri farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan
untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Tujuan utama industri
farmasi adalah untuk menghasilkan obat yang aman dan efektif untuk digunakan dalam
terapi (efficary, safety, toxicity) dan untuk kepentingan ekonomi suatu negara. Industri
farmasi juga bertujuan untuk daya tahan setiap negara. Industri farmasi di negara maju
biasanya berbasis riset dengan cara mencari dan menemukan bioaktif baru, menghasilkan
obat atau bahan baku hasil penelitian sendiri kemudian mempatenkannya selama periode
waktu tertentu. Di negara maju, berkembang industri sintetis atau fermentasi farmasi,
industri manufaktur yang merakit obat jadi dari bahan baku yang dihasilkan oleh industri
farmasi lainnya, industri farmasi bahan alam yang menghasilkan produksi berasal dari
alam dalam berbagai bentuk dan dibakukan menurut ketentuan yang berlaku. Selain itu
berkembang pula industri jasa farmasi yang memberikan jasa berupa penelitian, sintesis,
formulasi, studi tentang pasar dan kecenderungan permintaan atau penggunaan obat,
membuat perkiraan perkembangan masa datang yang diperlukan untuk mengambil
keputusan. Ada juga industri farmasi produk biologi yang produknya berupa vaksin,
serum dan sebagainya. Industri farmasi memiliki kekhususan dibanding industri lainnya.
Selain mempunyai potensi strategis berupa potensi ekonomi dan teknologi, potensi
strategis industri farmasi yang lain adalah potensi sosietal. Industri farmasi berperan
dalam menjamin dan memperbaiki kesehatan masyarakat, menghasilkan obat untuk
mengatasi berbagai penyakit, meminimalisasi risiko kesehatan dan menjamin pelayanan
kesehatan yang sustainable bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.
Dalam menjamin ketersediaan produk obat di masyarakat, industri farmasi harus mampu
menyediakan obat yang berkualitas bagi masyarakat. Obat tersebut harus memenuhi
nilai-nilai parameter kualitas secara konstan, seperti identitas (identity), kekuatan
(strength), kemurnian (purity), dan karakteristik lainnya. Kriteria persyaratan obat
berkualitas menunjukkan bahwa produk farmasi diatur secara ketat (highly regulated),
baik oleh industri farmasi sendiri maupun pemerintah yang berwenang. Pengaturan ini
ada yang bersifat nasional di masing-masing negara regional misalnya di Uni Eropa,
ASEAN, PIC/S maupun internasional melalui Organisasi Kesehatan Dunia (World
Health Organization).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Sejarah CPOB di Indonesia


Pada tahun 1984, menteri kesehatan RI mengeluarkan KEPMENKES RI No
1195/A/SK/IV/1984 tentang Pembentukan Panitia Penyusunan Pedoman CPOB, serta
tahun1986 mengeluarkan KEPMENKES RI No 2787/SK/IX/86 tentang Pembentukan
Panitia Penyusunan Panduan Operasional CPOB. Pada tahun 1988, diterbitkan
KEPMENKES RI No 43/MENKES/SK/II/1988 mengenai Pedoman Cara Pembuatan Obat
yang Baik (CPOB) Edisi 1. Pedoman tersebut mengacu pada ASEAN Guidelines.
Kemudian pada tahun 1989 dikeluarkan Keputusan Dirjen POM No 05411/A/SK/XII/89
mengenai Petunjuk Operasional Penerapan CPOB pada industri farmasi. Isi dari Petunjuk
Operasional Penerapan CPOB yaitu memberikan penjabaran penerapan secara lengkap di
industri farmasi. 1,2

Namun, seiring dengan berjalannya ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di


bidang farmasi maka Pedoman CPOB Edisi 1 dan Penerapan CPOB direvisi pada tahun
2001. Hasil dari revisi Pedoman CPOB Edisi 1 menghasilkan Pedoman CPOB Edisi 2.
Pedoman CPOB Edisi 2 mencakup 10 aspek yaitu ketentuan umum, personalia, bangunan
dan fasilitas, peralatan, sanitasi dan higiene, produksi, pengawasan mutu, inspeksi diri,
penanganan keluhan terhadap obat, penarikan kembali obat, obat kembalian dan
dokumentasi. 1,2

CPOB merupakan dokumen yang bersifat dinamis dan akan berubah mengikuti
perkembangan teknologi dalam bidang farmasi. Dalam perkembangannya, CPOB 1988
direvisi pada 2001. Karena kedinamisan itu CPOB tahun 2001 pun kembali direvisi di
tahun 2006. CPOB yang sekarang merupakan adaptasi dari CPOB versi WHO dan versi
PIC/S juga “International Codess of GMP” lain akan tetapi, sebelum dikeluarkannya
CPOB pertama tahun 1988, prinsip-prinsip dan aturan-aturan dalam membuat obat dengan
baik telah diatur dan dituangkan dalam undang-undang. Pemerintah menyadari perlunya
suatu hukum yang mengatur permasalahan kesehatan dan halyang terkait dengan
kesehatan.
Berikut undang-undang yang sedikit banyak berkaitan dengancara pembuatan obat :
1. Undang-undang No 11 tahun 1962 tentang Higiene untuk usaha-usaha bagi umum.
2. Surat keputusan Menteri Kesehatan RI No. 950/Ph/65/b Tahun 1965 Peraturan
Tentang Pemeriksaan dan Pengawasan Produksi dan Distribusi Obat-Obat Pasal (2) :
Pabrik farmasi yang membuat obat berkewajiban :
 Membuat/meracik obat berasal dari bahan obat yang murni dan bermutu tinggi
dan atau memenuhi syarat Farmakope Indonesia dan atau Farmakope lain
apabila monografinya tidak terdapat di Farmakope Indonesia.
 Mengadakan pemeriksaan mutu dan kemurninaan bahan obat terlebih dahulu
sebelum mengerjakan pembuatan/peracikan.
 Membuat/meracik obat menurut syarat-syarat kuantitatif dan kualitatif
menurut ketentuan-ketentuan Direktorat Urusan Farmasi Departemen
Kesehatan.

3. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 90/Kab/B.VII/71 tahun 1971 Peraturan


Tentang Produksi Obat, Kelengkapan dan Perlengkapan Pabrik Farmasi.

 Pabrik harus mempunyai ruangan-ruangan yang cukup sesuai dengan jumlah


jenis dan sifat obat yang diproduksi dan jumlah orang yang bekerja. 
 Pabrik harus mempunyai ruangan terpisah untuk keperluan produksi cairan
bukan suntikan, serbuk, kapsul, granul, tablet, pil, salep, cream, suppositorium
dan ovula, obat suntik, dan tetes atau cairan untuk mata, ruangan lain yang
memerlukan kondisi steril, beserta persyaratan dan perlengkapan yang
ditetapkan oleh menteri kesehatan.
 Ruangan-ruangan untuk produksi, penyimpanan dan pemeriksaan harus
memenuhi persyaratan standard hygiene tentang udara, cahaya, ventilasi, air
minum, instalasi sanitasi dan drainage.

Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 4234/A/SK/71 tahun 1971 tentang


lampiran “Dasar -dasar dari Pengawasan atas mutu Obat-obat” dan “Cara-cara yang baik
dalam Pengawasan Produksi dan Mutu Obat-obat” sebagai pedoman dalam bidang
produksi dan pengawasan mutu obat. Dalam cara-cara yang baik dalam pengawasan
produksi dan mutu obat-obat diatur:

 Personil, tenaga ahli yang bertanggungjawab atas pengawasan produksi dan


pengawasan obat-obatan mempunyai kualifikasi pendidikan ilmiah.
 Gedung
   Obat-obatan diproduksi, diolah, dibungkus dalam ruang terpisah. Ruangan
terang dan udara cukup. Kontruksi ruangan harus baik, dapat dibersihkan, dan
ruangan cukup.
 Peralatan mudah dibersihkan dan menjauhkan dari kontaminasi
 Bahan baku diidentifikasi, disimpan dengan baik, pengambilan sampel,
pemerikasaan, karantina dibebaskan dari pengontrol mutu.
 Mengatur juga tentang kebersihan, kontaminasi, instruksi-instruksi tertulis,
catatan-catatan batch, pemeliharaan catatan batch.
 Keluhan-keluhan dan laporan-laporan tentang gejala (reaksi) yang merugikan.

Kemudian agar dapat berjalan secara berkesinambungan dalam era globalisasi di


bidang farmasi serta pemenuhan persyaratan terhadap standar produk farmasi sehingga
dapat sesuai dengan standar internasional. Oleh karena itu, Pedoman CPOB Edisi 2
direvisi pada tahun 2006. Hasil dari revisi Pedoman CPOB Edisi 2 menghasilkan
Pedoman CPOB Edisi 3. Pedoman CPOB Edisi 3 mengacu pada WHO TRS 902/2002
Aneks 6,  908/2003 Aneks 4, 929/2005 Aneks 2, 3 dan 4, 937/2006 Aneks 2 dan 4 dan
PIC/S GMP 2006. Pedoman CPOB Edisi 3 memiliki perubahan pada Bab Sistem
Manajemen Mutu. Kemudian juga penambahan Bab dan Aneks. Penambahan Bab terdiri
dari Kualifikasi dan Validasi serta Pembuatan Analis Obat berdasarkan kontrak.
Sedangkan penambahan Aneks pada Pembuatan Produk Steril, Pembuatan Produk
Darah, Sistem Komputerisasi, Pembuatan Produk Investigasi untuk Uji Klinis. 1

Perkembangan yang sangat pesat dalam teknologi farmasi dewasa ini mengakibatkan
perubahan-perubahan yang sangat cepat pula dalam konsep serta persyaratan CPOB.
Konsep CPOB yang bersifat dinamis memerlukan penyesuaian dari waktu ke waktu
mengikuti perkembangan atau teknologi dalam bidang farmasi. Demikian pula
perkembangan penerapan CPOB di Indonesia. Terkait dengan telah ditanda-tanganinya
Harmonisasi pasar ASEAN 2008 oleh ke-11 pemimpin negara ASEAN, di mana
kesehatan/produk farmasi, merupakan salah satu komoditi yang ikut serta dalam
harmonisasi pasar ASEAN. Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan
industri farmasi nasional, Badan POM Republik Indonesia selaku regulator industri
farmasi nasional, telah mencanangkan penerapan CPOB edisi tahun 2006 (CPOB
Terkini) bagi industri farmasi di Indonesia mulai 1Januari 2007 dengan surat keputusan
Kepala Badan POM Nomor HK.00.053.0027 tahun 2006. Ada empat landasan umum
dalam CPOB 2006 yaitu :

1. Pada pembuatan obat pengawasan secara menyeluruh adalah sangat essensial


untukmenjamin bahwa konsumen menerima obat yang bermutu tinggi.
Pembuatan obatsecara sembarangan tidak dibenarkan bagi obat yang akan
digunakan sebagaipenyelamat jiwa atau memulihkan atau memelihara
kesehatan.
2. Tidaklah cukup apabila obat jadi hanya sekedar lulus dari serangkaian
pengujian,tetapi yang menjadi sangat penting adalah mutu harus dibentuk ke
dalam produk.Mutu obat tergantung pada bahan awal, proses pembuatan dan
pengawasan mutu,bangunan, peralatan yang dipakai, dan personalia yang
terlibat dalam pembuatan obat.
3. Untuk menjamin mutu suatu obat jadi tidak boleh hanya mengandalkan hanya 
pada pengujian tertentu saja. Semua obat hendaklah dibuat dalam kondisi
yangdikendalikan dan dipantau dengan cermat.
4. CPOB merupakan pedoman yang bertujuan untuk memastikan agar sifat dan
mutuobat yang dihasilkan sesuai dengan yang dikehendaki. Aspek CPOB
adalah manajemen mutu , personalia, bangunan dan fasilitas,peralatan, sanitasi
dan hygiene, produksi, pengawasan mutu, inspeksi diri dan auditmutu,
penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali produk dan
produkkembalian, pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak, dokumentasi,
pembuatan dananalisis berdasarkan kontrak, dan kualifikasi dan validasi

Perbedaan antara CPOB versi 2001 dan versi 2006 antara lain ada penambahan
pokok bahasan mengenai kualifikasi dan validasi, pembuatan dan analisis obat
berdasarkan kontrak atau lebih dikenal sebagai toll manufacturing, pembuatan obat steril
terdapat beberapa perubahan persyaratan bangunannya, terutama dalam sistem tata udara
(air handling unit). Selain itu terdapat tambahan beberapa aneks yang tidak ada di CPOB
versi 2001, seperti manajemen mutu, pembuatan produk darah, system komputerisasi,
dan pembuatan obat investigasi untuk uji klinis. Perubahan CPOB dari versi 2001 ke
versi 2006 sangat dibutuhkan dalam menghadapi globalisasi, terutama Harmonisasi
ASEAN pada awal 2008.
 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan HK 00.05.3.02147 tanggal
11 Juli 2001 tentang Tim Revisi Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik.
 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No HK.00.05.3.02152 tahun
2002 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik Plus lampiran
Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik.
 Keputusan  Kepala Badan  Pengawas Obat dan Makanan RI No HK.00.06.0511
tahun 2006 tentang Pembentukan Tim Revisi Buku Pedoman CPOB dan Petunjuk
Operasional CPOB.
 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI no HK 00.05.3.0027
tahun 2006 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik.
 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI no HK.03.1.33.12.12.8
195 tahun 2012 tanteng Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik.
Selanjutnya pada tahun 2012 diterbitkan Pedoman CPOB Edisi 4, dimana pada Edisi
IV mengacu pada PIC/S GMP PE 009-9 (September 2009) dan WHO  TRS 981/2012
Aneks 2, 986/2013 Aneks 5, 992/2014 Aneks 3 dan 5, 996/2015 Aneks 5 dan 999/2016
Aneks 2. Pedoman CPOB 2012 terdiri 12 Bab dan 14 Aneks, dengan penambahan Aneks
14, yaitu Manajemen  Resiko Mutu (Quality Risk Management/QRM). Pedoman CPOB
2012 merupakan gabungan Pedoman CPOB 2006 dan Suplemen I CPOB Tahun 2009.
Secara umum, bila dibandingkan dengan Pedoman CPOB 2006, tidak banyak perubahan
yang berlaku. Perubahan hanya memperjelas secara khusus, dan tidak memengaruhi
persyaratan fisik fasilitas industri sehingga tidak menyebabkan dampak yang berarti
terhadap industri farmasi. Satu-satunya “perubahan yang significant” adalah persyaratan
pembuatan produk Salep Mata (non-aseptis). Jika pada CPOB sebelumnya, proses
pembuatan sediaan salep mata (non aseptis) bisa dilakukan di ruang kelas D yang
kemudian dilakukan proses sterilisasi akhir (biasanya menggunakan sinar gamma), maka
sesuai dengan Pedoman CPOB 2012, hanya boleh dilakukan di ruang kelas C. Pedoman
CPOB Edisi 4 memiliki perbaikan pada Bab Manajemen Mutu dan Produksi serta Aneks
Pembuatan Produk Steril. Lalu juga penambahan Aneks CPBBAOB, Pembuatan
Radiofarmaka, Penggunaan Radiasi Pengion dalam Pembuatan Obat, Sampel Perbanding
dan Sampel Pertinggal, Cara Penyimpanan dan Pengiriman Obat yang Baik, Pelulusan
Parametris dan Manajemen Resiko Mutu. Kemudian pada tahun 2013 diterbitkan
Petunjuk Operasional Penerapan CPOB ke-4.Selain buku Pedoman CPOB 2012, Badan
POM juga menerbitkan Petunjuk Operasional Penerapan Pedoman (POPP) CPOB  dan
Petunjuk Tehnis Sarana Penunjang Kritis Industri Farmasi. Saat ini POPP CPOB sedang
dalam proses penyusunan oleh Team Ahli CPOB BPOM, yang sudah dipublikasi adalah
POPP CPOB Suplemen 1 (pembuatan obat steril).
Kemudian pada bulan November tahun 2018 diterbitkan Pedoman CPOB Edisi 5
atau yang disebut juga CPOB 2018. CPOB 2018 merupakan edisi yang diterapkan
hingga sekarang. Acuan Pedoman CPOB Edisi 5 mengacu pada PIC/S GMP PE 009-14
(Juli 2018) dan WHO  TRS 981/2012 Aneks 2, 986/2013 Aneks 5, 992/2014 Aneks 3
dan 5, 996/2015 Aneks 5 dan 999/2016 Aneks 2. Pedoman CPOB Edisi 5 memiliki
perubahan pada Bab Sistem Mutu Industri Farmasi, Personalia, Bangunan dan Fasilitas,
Peralatan, Produksi, Pengawasan Mutu, Keluhan dan Penarikan Produk Dokumentasi,
Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak, Kualifikasi dan Validasi.  Kemudian juga
terdapat perubahan Aneks Pembuatan Gas Medicinal, Pembuatan Obat Uji Klinik,
Sistem Komputerisasi dan Uji Pelulusan Real Time dan Pelulusan Parametis.
Jika mengulik antara CPOB 2012 dan CPOB 2018 terdapat beberapa perubahan
yang mendasar. Tidak hanya membahas terkait penerapan GMP (Good Manufacturing
Practices), tetapi juga adanya aturan-aturan yang diambil dari ICH Q8 mengenai
“Pharmaceutical Development”, ICH Q9 mengenai “Quality Risk Management” dan
ICH Q10 mengenai “Pharmaceutical Quality System”.  Sebagai akibatnya terdapat
beberapa penyesuaian di Bab-bab berikutnya, tidak hanya perubahan pada istilah,
Misalnya pada Bab 1, yang sebelumnya berjudul “Manajemen Mutu” sekarang berubah
menjadi “Sistem Mutu Industri Farmasi”, tetapi juga beberapa perubahan mendasar yang
lainnya.
Banyak perubahan dalam pedoman CPOB, baik sebagian kecil maupun beberapa hal
lainnya. Perubahan yang terus dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia ini didasarkan pada pertimbangan untuk menjadikan industri obat
dan makanan menjadi lebih baik lagi.  Sebelumnya perubahan terbesar di CPOB 2018
yaitu adanya manajemen Puncak yang ikut bertanggung jawab dalam penerapan CPOB.
Sebelumnya di CPOB 2012 penanggung jawab mengenai pelaksanaan CPOB “hanya”
pada penanggung jawab Quality Assurance (QA). Fakta di lapangannya mananjemen
puncak (pemilik perusahaan, direktur utama) seolah-olah menyerahkan semua hal
tentang CPOB ke bagian QA. Masalah yang di dapat penanggung jawab QA tidak bisa
berbuat banyak bila tidak ada dukungan kuat dari manajemen puncak
(finansial/keuangan). Kontaminasi etilen glikol merupakan penyebab dari gagal ginjal
ratusan anak dan merupakan salah satu insiden terkait produksi obat di Indonesia akhir-
akhir ini.Data final menyatakan 195 anak meninggal diduga kuat akibat keracunan obat
syrup.Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencabut uzun edal tiga perusahaan
farmasi : PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries, dan PT Afi
Farma. Mengacu pada kasus di atas sedikit perubahan atau masukan yang bisa di perbaiki dari
CPOB 2018
Konsep pengawasan mutu
Pengawasan mutu merupakan fungsi penting yang harus dimiliki oleh setiap
perusahaan farmasi di Indonesia. Bagian pengawasan mutu bertujuan memastikan bahwa
setiap bahan yang dipasok dan digunakan serta produk yang akan dijual memenuhi
persyaratan kualitas dan standar mutu, memenuhi klaim pada label, dan memenuhi
seluruh aspek hukum. Proses pengawasan mutu berkaitan dengan pengambilan sampel,
pengujian dan pemenuhan spesifikasi yang ditetapkan, kegiatan dokumentasi, dan
pelaksanaan prosedur pelulusan. Bagian pengawasan mutu akan memeriksa untuk setiap
bahan yang diterima dan digunakan untuk produksi dan untuk setiap batch produksi, baik
produk baru ataupun produk yang pernah ada sebelumnya. Bagian pengawasan mutu
juga bertanggung jawab untuk memeriksa dan mengambil keputusan pelulusan produk
akhir sebelum didistribusikan.
Akan tetapi, pengawasan mutu saja tidak dapat memenuhi seluruh fungsi jaminan
keamanan dan mutu produk. Oleh sebab itu, dikenal konsep Cara Pembuatan Obat yang
Baik (CPOB) yang menetapkan keamanan dan kualitas setiap produk tidak hanya
‘teruji’ namun harus ‘dibangun’ dengan konsisten. Untuk itu, selain pengawasan mutu,
CPOB juga mengharuskan perusahaan farmasi memiliki sistem manajemen mutu,
memastikan personil yang terlibat harus terkualifikasi, terlatih, dan terawasi. Selain itu,
peralatan dan gedung yang digunakan memenuhi persyaratan dari segi lokasi, desain,
konstruksi, dan terpelihara secara berkala. Dokumentasi lengkap, tersedia dan runut
untuk setiap batch pembuatan, setiap kegiatan dilakukan sesuai dengan prosedur standar,
pemenuhan persyaratan jika produk dibuat atas dasar kontrak, penanganan komplain dan
penarikan produk, serta audit internal. Pada dasarnya aturan pengawasan mutu dapat dan
harus terus diperbaharui dan publikasi dokumen pedoman dalam proses pengawasan
mutu akan terus direvisi.
Penarikan Obat
Penarikan obat merupakan proses meniadakan produk obat yang rusak akibat
produksi atau berpotensi membahayakan. Proses ini hampir terjadi dan cenderung naik
setiap tahun. Langkah ini tentu saja mempengaruhi industri farmasi, ketersediaan obat di
masyarakat, dan berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat dalam menggunakan
produk farmasi. Penarikan obat merupakan salah satu cara industri farmasi untuk
menjaga kualitas produk dan pengendalian risiko dengan menarik produk yang
bermasalah dari pasaran. Penarikan dapat terjadi akibat temuan produsen sendiri, keluhan
dari pasien, atau perintah BPOM dan dilakukan oleh industri yang mengeluarkan
produk.Istilah penarikan (recall) dalam industri farmasi tidak termasuk untuk produk
yang ditarik dari pasaran akibat masalah minor yang tidak berhubungan dengan regulasi.
Misalnya, penarikan karena kelebihan stok, atau karena kemasan karton terluar harus
diperbaiki.
BPOM mengkategorikan penarikan obat di tiga kelas :
Penarikan kelas I. Penarikan obat akibat potensi bahaya kesehatan yang ditimbulkannya
yakni dapat mengakibatkan kematian, cacat permanen, cacat janin, atau efek yang serius
terhadap kesehatan
Penarikan kelas II. Penarikan obat yang jika obatnya digunakan dapat mengakibatkan
penyakit atau kekeliruan pengobatan yang menimbulkan efek sementara bagi kesehatan
dan dapat pulih kembali
Penarikan kelas III. Penarikan obat yang tidak menimbulkan bahaya signifikan
terhadap kesehatan.
Penarikan obat terkontaminasi etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang
melebihi atas aman kali ini merupakan contoh penarikan kelas I.
Penarikan obat obat harus dilakukan dengan langkah terencana dengan memperhatikan
identitas produk (misalnya nomor batch) dan jumlah produk terdistribusi.
Farmakovigilans: pengawasan post market
Pada Juli 2022 BPOM mengeluarkan peraturan tentang kewajiban industri farmasi
dalam menerapkan farmakovigilans untuk menjamin keamanan obat yang beredar.
Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan yang terkait dengan pendeteksian, penilaian,
pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan
penggunaan obat. Farmakovigilans tidak hanya mencakup penggunaan obat
konvensional, namun juga herbal, obat tradisional, dan produk biologis seperti
komponen darah dan vaksin. Di dunia internasional, farmakovigilans merupakan suatu
istilah yang berevolusi baru-baru ini yang juga sudah dipraktikkan sebagai respons akibat
laporan terkait obat sejak 170 tahun lalu. Farmakovigilans merupakan aktivitas
terstruktur melibatkan seluruh profesi kesehatan dalam memantau manfaat dan risiko
obat, menjaga keselamatan pasien serta memperbaiki kualitas hidup pasien.
Industri farmasi rutin melapor farmakovigilans ke BPOM
Farmakovigilans/MESO Nasional dapat berupa pelaporan spontan, berkala pasca
pemasaran, studi keamanan dan pelaporan publikasi atau literatur. Pelaporan berkala dari
industri farmasi pasca pemasaran farmakovigilans kepada Pusat Farmakovigilans/MESO
Nasional BPOM dilakukan setiap enam bulan sekali selama dua tahun pertama setelah
perolehan izin edar. Lalu pelaporan satu tahun sekali untuk tahun ketiga hingga tahun
kelima setelah perolehan izin edar. Pelaporan ini termasuk untuk obat yang mengalami
perubahan yang dapat mempengaruhi keamanan. Pada prinsipnya regulasi mengenai
pengawasan keamanan dan mutu harus terus diperbaharui dan dokumen pedoman dalam
pengawasan keamanan dan mutu akan terus direvisi. Tidak dimungkiri insiden terkait
obat di masyarakat selalu menjadi pemicu untuk evaluasi regulasi yang selama ini ada
dan dijalankan. Bagaimana standar dan regulasi obat ditetapkan oleh BPOM dan
Kementerian Kesehatan dan bagaimana regulasi dijalankan oleh industri farmasi sangat
menentukan derajat dan kualitas pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat.
(Azhoma Gumala,Universitas Andalas 2022)
Farmakovigilans ini yang utama dapat di tambahkan dalam CPOB
Apakah perbedaan antara Farmakogivilans dengan Monitoring Efek Samping Obat
(MESO)? Sesuai Ketentuan Umum pada Peraturan Kepala Badan POM RI No.
HK.03.1.23.12.11.10690 Tahun 2011, yang dimaksud dengan farmakovigilans adalah
seluruh kegiatan tentang pendeteksian, penilaian (assessment), pemahaman, dan
pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat.
Sedangkan pengertian Monitoring Efek Samping Obat atau lebih dikenal dengan MESO,
adalah suatu kegiatan pendeteksian efek samping atau masalah lainnya terkait
penggunaan obat. Jadi MESO merupakan bagian dari kegiatan Farmakovigilans. (apt. M.
Fithrul Mubarok, M.Farm.)
 
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah sejarah CPOB ini yaitu antara lain :
1. Sejarah CPOB di Indonesia telah ada sejak tahun 1984 berkembang menjadi
CPOB Edisi 1, lalu pada tahun 2001 direvisi menjadi pedoman CPOB Edisi 2,
lalu direvisi Kembali menjadi CPOB 2006 atau disebut juga CPOB edisi 3
dengan penambahan bab dan aneks. Dialnjutkan revisi kembali di tahun 2012
yaitu CPOB edisi 4 serta mnerbitkan PPOB. Selanjutnmya edisi 5 diterbitkan
dan digunakan hingga kini.
2. Apoteker berperan dan bertanggung jawab sebagai pengembangan dan

penemuan obat-obatan baru bagi berbagai penyakit. selain itu apoteker


berfungsi dan bertanggung jawab atas pengendalian mutu, pemastian mutu,
dan produksi obat.
3. CPOB selalu mengalami pengkajian ulang dan mengalami revisi hal tersebut
bertujan untuk meningkatkan mutu produk farmasi/obat secara terus menerus
serta memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap kesehatan
masyarakat. Akhirnya akan menjadi langkah progresif terhadap perkembangan
industri farmasi di Indonesia sehingga mutu obat mendapat pengakuan dan
kepercayaan internasional.

4.2 Saran
Berdasarkan makalah sejarah CPOB maka penulis bermaksud memberikan saran
yang dapat bermanfaat bagi pihak pengkaji CPOB maupun bagi penulis selanjutnya
yaitu sebagai berikut :
1. Bagi Pengkaji CPOB
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa pedoman CPOB selalu melakukan
evaluasi dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Dengan demikian
diharapkan untuk terus melakukan pengkajian secara berkala serta terus
mengikuti perkembangan teknologi dan informasi yang tersedia secara
internasional.

2. Bagi penulis
Adapun saran bagi penulis selanjutnya yaitu diharapkan dapat mengeksplore
lebih spesifik mengenai sejarah CPOB sediaan farmasi, misalnya sejarah
CPOB sediaan solid, semisolid dan liquid,
Daftar Pustaka Sejarah

1. Peraturan BPOM No 34 Tahun 2018


2. https://www.pom.go.id/new/files/pedoman/Pedoman_CPOB_6.pdf
3. https://priyambodo1971.wordpress.com/cpob/pedoman-cpob-2012/ 
4. BPOM RI. 2013. Petunjuk Operasional Penerapan Pedoman CPOB 2012 Jilid I.
Jakarta. 
5. BPOM RI. 2006. Pedoman CPOB 2006. Jakarta
6. https://id.gmp-platform.com/cpob-2012-vs-cpob-2018-edisi-desember-2018/ 
7. https://theconversation.com/kasus-obat-sirup-beracun-apa-kewajiban-industri-
farmasi-dalam-produksi-obat-aman-dan-bagaimana-praktiknya-194047
8. https://farmasiindustri.com/cpob/apa-itu-farmakovigilans.html

Anda mungkin juga menyukai