Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MAKALAH KRIMINOLOGI

“Serologi Forensik”

Disusun oleh :

Wahyu Alamsyah (F1G018006)


Bagas Ramadhamas (F1G018007)
Feby Rizki Angkas P.A (F1G018008)
Vianatha Syaqila N. (F1G018010)
Andi Liza Azzahra (F1G018014)
Aulia Andriahasti (F1G018023)
Hidayati Fitria (F1G018026)
Miftah Violina Aniza (F1G018029)
Sasra Sabila 1(F1G018032)

Dosen Pengampu : Agung Giri Samudra, S.Farm., M.Farm., Apt

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BENGKULU
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah

yang berjudul Serologi Forensik.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami tugas yang di
berikan bapak Agung Giri Samudra S.Farm., M.Farm., Apt. Pada mata kuliah kriminologi.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak yang telah memebrikan tugas ini sehingga
menambah pengetahuan dan wawasan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu dalam
penyelesaiaan tugas ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini jauh dari kata
sempurna. Oleh karna itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan. Kami
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata dan penulisan kami ucapkan terimakasih.

Bengkulu, 21 Februari 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul ....................................................................................................................... 1

Kata pengantar....................................................................................................................... 2

Daftar Isi ................................................................................................................................. 3

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................... 4


1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................................. 5
1.3 Tujuan ................................................................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN
2.1
2.2
2.3
2.4

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ...................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 15

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kata “forensik” berarti “berhubungan dengan ruang sidang”. Forensik merupakan
aplikasi dari disiplin ilmu kedokteran maupun ilmu-ilmu lain yang terkait dalam suatu
penyelidikan untuk memperoleh data-data dalam mengungkap kasus kriminal baik itu data
post mortem berdasar pemeriksaan mayat maupun data dari pemeriksaan kasus hidup seperti
perkosaan, pelecehan seksual dan/ atau kekerasan dalam rumah tangga. Ilmu forensik
merupakan terapan berbagai ranah keilmuan (multi disiplin) yang penting untuk menentukan
identitas korban maupun pelaku, tanda, sebab dan cara kematian, serta perkiraan waktu
kematian. Produk yang dihasilkan merupakan bukti autentik dalam suatu proses peradilan
hukum demi menegakkan kebenaran. Produk tersebut dapat berupa laporan tertulis atau
dalam bentuk pengakuan lisan para ahli yang akan diberikan di pengadilan pada tindak
kriminal.
Kasus non kriminal, aplikasi forensik sangat diperlukan terutama untuk mengungkap
identitas korban musibah masal seperti bencana alam, jatuhnya pesawat, tenggelamnya kapal,
kecelakaan kereta dan kebakaran (Kartika dan Evy, 2011). Seringkali kita mendengar kabar
temuan mayat tanpa identitas dan hanya berselang kurang dari sebulan bahkan kurang dari
seminggu pihak kepolisian sudah mampu mengungkap identitasnya yang akan mengarahkan
penyelidikan pada sebab, waktu, serta perkiraan cara kematian. Paling penting dapat
digunakan sebagai petunjuk untuk mencari pelakunya jika itu merupakan suatu tindak
kriminal.
Semakin pesatnya perkembangan teknologi memungkinkan polisi mampu
memecahkan suatu kasus lebih cepat, ini dikarenakan 4penerapan teknologi DNA atau
deoxyribonucleic acid merupakan asam nukleat yang menyusun informasi genetis pada
makhluk hidup. DNA terdapat sebagai rantai ganda (double helix) yang sangat panjang,
mengandung potonganpotongan gen sebagai satuan terkecil pengendali sifat dan ciri
morfologi seperti warna kulit, jenis rambut, bentuk jari dan sifat-sifat khusus pada manusia.
Forensik serologi adalah studi dan pemeriksaan yang bertujuan untuk menganalisis darah dan
cairan tubuh lainnya dalam berbagai tindak pidana. Serologi forensik melibatkan identifikasi
dari berbagai tipe cairan tubuh. Salah satu jenis pemeriksaan serologi adalah identifikasi
golongan darah korban dan pelaku yang dapat dideteksi melalui suatu barang bukti seperti
bercak darah ataupun darah kering pada kasus perlukaan, semen pada kasus pemerkosaan
ataupun saliva pada kasus gigitan.
Perbandingan dari antigen-antigen yang ditemukan pada sel-sel darah dan cairan
tubuh manusia merupakan suatu bukti yang eksklusif yang dapat ditemukan untuk
mengidentifikasi seseorang. Bukti macam ini digunakan untuk mengesampingkan seseorang
dari suatu kasus jika ditemukan hasil yang negatif. Hasil positif sendiri hanya terbatas untuk
menempatkan seseorang masuk dalam populasi individu yang memiliki antigen serologik
yang sama, namun belum tentu sifatnya spesifik.
Sejak awal perkembanganya pemanfaatan serologi / biologi molekuler dalam bidang
forensik lebih banyak untuk keperluan identifikasi personal (perunutan identitas
individu) baik pelaku atau korban. Sistem penggolongan darah (sistem ABO) pertama kali
dikembangkan untuk keperluan penyidikan (merunut asal dan sumber bercak darah pada
tempat kejadian). Belakangan dengan pesatnya perkembangan ilmu genetika (analisi DNA)
telah membuktikan, bahwa setiap individu memiliki kekhasan sidik DNA, sehingga kedepan
sidik DNA dapat digunakan untuk menggantikan peran sidik jari, pada kasus dimana
sidik jari sudah tidak mungkin bisa diperoleh.

1.2 Rumusan Masalah:

1. Bagaimana definisi serologi forensik?


2. Bagaimana serologi forensik dengan identifikasi darah?
3. Bagaimana pewarnaan darah?
4. Bagaimana pemeriksaan darah untuk kasus kriminal?
5. Bagaimana serologi forensik dengan identifikasi darah?

1.3 Tujuan:
5
1. Mengetahui definisi dari serologi forensik
2. Mengetahui serologi forensik dengan identifikasi darah
3. Mengetahui pewarnaan darah
4. Mengetahui pemeriksaan darah untuk kasus kriminal
5. Mengetahui serologi forensik dengan identifikasi darah
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Serologi Forensik


Forensik serologi adalah studi dan pemeriksaan yang bertujuan untuk menganalisis darah
dan cairan tubuh lainnya dalam berbagai tindak pidana. Serologi forensik melibatkan
identifikasi dari berbagai tipe cairan tubuh. Salah satu jenis pemeriksaan serologi adalah
identifikasi golongan darah korban dan pelaku yang dapat dideteksi melalui suatu barang
bukti seperti bercak darah ataupun darah kering pada kasus perlukaan, semen pada kasus
pemerkosaan ataupun saliva pada kasus gigitan. Perbandingan dari antigen-antigen yang
ditemukan pada sel-sel darah dan cairan tubuh manusia merupakan suatu bukti yang eksklusif
yang dapat ditemukan untuk mengidentifikasi seseorang. Bukti macam ini digunakan untuk
mengesampingkan seseorang dari suatu kasus jika ditemukan hasil yang negatif. Hasil positif
sendiri hanya terbatas untuk menempatkan seseorang masuk dalam populasi individu yang
memiliki antigen serologik yang sama, namun belum tentu sifatnya spesifik.
Sejak awal perkembanganya pemanfaatan serologi / biologi molekuler dalam bidang
forensik lebih banyak untuk keperluan identifikasi personal (perunutan identitas individu)
baik pelaku atau korban. Sistem penggolongan darah (sistem ABO) pertama kali
dikembangkan untuk keperluan penyidikan (merunut asal dan sumber bercak darah pada
tempat kejadian). Belakangan dengan pesatnya perkembangan ilmu genetika (analisi DNA)
telah membuktikan, bahwa setiap individu memiliki kekhasan sidik DNA, sehingga kedepan
sidik DNA dapat digunakan untuk menggantikan peran sidik jari, pada kasus dimana sidik
jari sudah tidak mungkin bisa diperoleh. Di lain hal, analisa DNA sangat diperlukan pada
penyidikan kasus pembunuhan mutilasi (mayat terpotong potong),penelusuran paternitas
(bapak biologis). Analisa serologi dalam bidang forensik bertujuan untuk:
- Uji darah untuk menentukan sumbernya (darah manusia atau hewan, atau warna dari
getah tumbuhan, darah pelaku atau korban, atau orang yang tidak terlibat dalam
tindak kejahatan tersebut).
- Uji cairan tubuh lainnya (seperti: air liur, semen vagina atau sperma) untuk
menentukan sumbernya. - Uji imonologi atau DNA individu untuk mencari identitas
seseorang. 6

2.2. Penggolongan Darah

Darah adalah kendaraan untuk transport masal jarak jauh dalam tubuh untuk berbagai
bahan antara sel dan lingkungan eksternal antara sel-sel itu sendiri. Darah terdiri dari cairan
kompleks plasma tempat elemen selular diantaranya eritrosit, leukosit, dan trombosit.
Eritrosit (sel darah merah) pada hakikatnya adalah kantung hemogoblin terbungkus membran
plasma yang mengangkut O2 dalam darah. Leukosit (sel darah putih) satuan pertahanan
sistem imun, diangkut dalam darah tempat cedera atau tempat invasi mikro organisme
penyebab penyakit. Trombosit penting dalam homeostasis, penghentian pendarahan dari
pembuluh yang cedera [5]. Jika darah mengalami gangguan, maka segala proses metabolisme
tubuh akan terganggu pula.
Golongan darah adalah pengklasifikasian darah dari suatu individu berdasarkan ada
tidaknya zat antigen warisan paada permukaan membran sel darah merah. Hal ini disebabkan
karena adanya perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran sel darah
merah tersebut. Dua jenis penggolongan darah yang paling sering digunakan adalah
penggolongan ABO dan Rhesus. Secara manual, pengenalan golongan darah dilakukan
dengan cara mengambil dua tetes darah yang akan diindetifikasi. Darah tersebut akan
diletakkan pada sebuah preparat dan dibagi dalam 2 bagian. Masingmasing bagian darah akan
ditetesi serum anti A dan anti B. Setelah di campur, akan dilakukan pengamatan secara
langsung dengan mata telanjang terhadap reaksi yang terjadi pada darah yang telah ditetesi
serum. Dari hasil pengamatan ini akan ditentukan darah tersebut masuk dalam golongan A,
B, AB atau O. Secara komputerisasi, golongan darah dapat dikenali melalui pola dari citra
darah yang telah telah ditetesi serum anti A dan anti B. Setelah melalui beberapa tahap
pengolahan citra, sistem akan melakukan proses klasifikasi untuk menentukan jenis golongan
darah dari citra darah tersebut.
Sistem penggolongan darah ABO pertama kali ditemukan oleh Karl Landsteiner pada
tahun 1900 dengan mencampur eritrosit dan serum darah para stafnya. Landsteiner, dari
percobaantersebut menemukan 3 dari 4 jenis golongan darah dalam sistem ABO, yaitu A, B,
dan O. Golongan darah yang keempat, yaitu AB ditemukan pada tahun 1901 (Farhud et al,
2013). Golongan darah penting untuk diketahui, untuk kepentingan transfusi, donor yang
tepat serta identifikasi pada kasus kedokteran forensik seperti identifikasi pada beberapa
kasus kriminal (Azmielvita, 2009). Pemeriksaan golongan darah ABO pada umumnya
dengan menggunakan metode slide, dilakukan untuk menentukan jenis golongan darah pada
manusia. Metode slide merupakan salah satu metode yang sederhana, cepat dan mudah untuk
pemeriksaan golongan darah (Chandra, 2008).
Pemeriksaan golongan darah untuk mendeteksi keberadaan antigen dipermukaan
membran sel darah merah dengan cara mereaksikan darah manusia dengan antisera A dan
antisera B (Yuniar et al, 2014). Penggunaan serum untuk pemeriksaan golongan darah
sebenarnya jarang dilakukan, karena biasanya pemeriksaan golongan darah sistem ABO
menggunakan reagen antisera. Prinsip pemeriksaan golongan darah yaitu reaksi antigen yang
terdapat pada permukaan eritrosit dengan antibodi yang sama shingga terbentuk aglutinasi.
Golongan darah ABO pada manusia ditentukan berdasarkan 7 jenis antigen dan antibodi yang
terkandung dalam darahnya, yaitu golongan darah A memiliki sel darah merah dengan
antigen A dipermukaan eritrositnya dan menghasilkan antibodi terhadap antigen B dalam
serum darahnya. Golongan darah B memiliki antigen B di permukaan eritrositnya dan
menghasilkan antibodi terhadap antigen A dalam serum darahnya. Golongan darah AB
memiliki sel darah merah dengan antigen A dan B di permukaan eritrositnya serta tidak
menghasilkan antibodi terhadap antigen A maupun antigen B dalam serum darahnya.
Sedangkan golongan darah O memiliki sel darah tanpa antigen, tetapi dalam serumnya
terdapat antibodi terhadap antigen A dan B. (Nadia et al,2010). Prinsip pemeriksaan golongan
darah adalah reaksi antara antigen yang terdapat pada permukaan eritrosit dengan reagen anti-
sera anti A dan anti B ataupun dengan serum anti A ataupun anti B.
2.3. Sistem Faktor Rhesus
Golongan darah merupakan informasi penting bagi setiap individu, karena golongan
darah merupakan hal yang sangat penting dalam urusan di dunia kesehatan (medis),
keberhasilan tindakan medis terutama transfusi, transplantasi organ dan kehamilan sangat di
tentukan oleh kompatibilitas golongan darah, inkompatibilitas juga dapat menyebabkan
(HDN) Haemolytic Disease of the Fetus and Newborn (Daniels, 2013). sistem antigen rhesus
(Rh) ditemukan oleh Levine dan Stetson pada 1939. Kedua sistem ini menjadi dasar penting
bagi transfusi darah. Dinamakan rhesus karena dalam penelitian mereka menggunakan darah
Kera Rhesus (Macaca mulatta).
Sistem rhesus terdiri atas dua jenis yaitu rhesus positif (Rh+) dan rhesus negatif (Rh-)
berdasarkan ada tidaknya antigen rhesus pada dinding sel darah merah seseorang. Rh+ dalam
darahnya memiliki antigen rhesus yang ditunjukkan dengan reaksi positif atau dijumpai
adanya gumpalan sel darah merah pada waktu dilakukan tes dengan antibodi Rh. Sedangkan
Rh- dalam darahnya tidak memiliki antigen rhesus yang menunjukkan reaksi negatif atau
tidak dijumpai penggumpalan saat dilakukan tes dengan antibodi Rh. Dalam penulisannya,
jenis penggolongan rhesus ini digabungkan dengan penggolongan ABO yaitu berupa A+ dan
A-, B+ dan B-, O+ dan O- serta AB+ dan AB-.
Golongan Rh- merupakan golongan darah yang termasuk langka. Langkanya
golongan darah ini disebabkan karena sifat alelnya yang resesif, sehingga Rh- baru akan
muncul apabila alel resesif bertemu dengan alel resesif. Sebanyak 85% penduduk di dunia
memiliki Rh+, dan hanya 15% yang memiliki Rh-. Jumlah terbanyak rhesus negatif adalah
pada ras kulit putih non hispanik dan yang paling sedikit adalah penduduk Asia. Dari 15%
Rh- di dunia, jumlah terbanyak adalah O negatif (6%), A negatif (6%), selanjutnya B negatif
(2%) dan yang paling sedikit adalah AB negatif hanya 1%.
Di Indonesia, pemilik Rh- hanya berjumlah 1% dari total seluruh penduduk Indonesia dan
tersebar luas di seluruh tanah air. Di Aceh khususnya, saat ini data yang sudah terkumpul
jumlah pemilik rhesus negatif, yaitu sekitar 139 orang atau 0,0026% dari total penduduk
Aceh. Sungguh angka perbandingan yang sangat jauh. Hal ini selain disebabkan karena
memang langkanya jumlah pemilik Rh-, juga faktor tidak diketahuinya rhesus seseorang juga
merupakan faktornya.
Selain itu, ada sistem rhesus yang membagi darah berdasarkan pada ada-tidaknya
protein antigen D (faktor rhesus/Rh) di permukaan sel darah merah. Mereka yang memiliki
faktor Rh pada permukaan sel darah merahnya disebut memiliki golongan darah Rh+ (rhesus
positif). Yang tidak memiliki faktor Rh di permukaan sel darah merahnya disebut memiliki
8
golongan darah Rh- (rhesus negatif). Sebanyak 85% penduduk di Indonesia memiliki faktor
rhesus positif (Rh+) dan 15% lainnya memiliki faktor rhesus negatif (Rh-). Karena itulah,
darah Rh- sering disebut dengan darah langka. Rhesus negatif biasanya sering dijumpai pada
orang-orang dengan ras kulit putih. Di Indonesia, berdasarkan data Biro Pusat Statistik 2010,
jumlah pemilik rhesus negatif kurang dari 1% penduduk (sekitar 1,2 juta orang).
2.4 Transfusi Darah
Transfusi darah adalah prosedur yang ditujukan untuk menambah atau menggantikan
komponen darah yang tidak mencukupi untuk mencegah terjadinya dampak dari kurangnya
komponen darah tersebut. Pelaksanaan transfusi secara rasional mencakup pemberian
komponen darah tertentu sesuai kebutuhan dan berdasarkan pedoman yang berlaku.
indikasi dari transfusi darah :
1. Pasien dengan kehilangan darah dalam jumlah besar (operasi besar, perdarahan
postpartum, kecelakaan, luka bakar hebat, penyakit kekurangan kadar Hb atau
penyakit kelaianan darah).
2. Pasien dengan syok hemoragi
3. Pasien dengan sepsis yang tidak berespon dengan antibody (khususnya untuk pasien
dengan kultur darah positif, demam persisten/ 38,3o C dan granulositopenia).
4. Pasien dengan penekanan system imun (imunokompromise)
5. Pasien dengan defisiensi faktor koagulasi yang tidak bisa ditentukan.
6. Klien dengan penyakit hati dan mengalami defisiensi faktor pembekuan.

Transfusi darah juga dapat digunakan untuk mengobati anemia berat atau trombositopenia
yang disebabkan oleh penyakit darah. Orang yang menderita hemophilia atau penyakit sel
sabit mungkin memerlukan transfusi darah sering. Awal transfusi darah secara keseluruhan
digunakan, tetapi praktek medis modern umumnya hanya menggunakan komponen darah.
Kontraindikasi dari transfusi darah :
1. Hb dan jumlah eritrosit dan leukosit pasien yang tidak normal
2. Pasien yang bertekanan darah rendah
3. Transfuse darah dengan golongan darah yang berbeda
4. Transfuse dengan darah yang mengandung penyakit seperti HIV/AIDS, Hepatitis B.
Tujuan transfusi darah yaitu :
1. Meningkatkan volume darah sirkulasi (setelah pembedahan, trauma, atau perdarahan).
2. Meningkatkan jumlah sel darah merah dan untuk mempertahankan kadar hemoglobin
pada klien anemia berat
3. Memberikan komponen selular tertentu sebagai terapi sulih (misal faktor pembekuan
untuk membantu mengontrol perdarahan pada pasien9 hemophilia).
Manfaat dari transfusi darah adalah :
1. Dapat mengetahui golongan darah
2. Dapat menambah cairan darah yang hilang dalam tubuh
3. Dapat menyelamatkan jiwa pasien
Darah lengkap/whole blood (WB) Pemberian transfusi WB pada umumnya dilakukan
sebagai pengganti sel darah merah pada keadaan perdarahan akut atau masif yang disertai
dengan hipovolemia, atau pada pelaksanaan transfusi tukar. Di dalam WB, masih terdapat
seluruh komponen darah manusia, termasuk faktor pembekuan, sehingga dapat digunakan
pada kasus perdarahan masif.1 Transfusi sel darah merah pekat/packed red cells (PRC)
Secara umum, transfusi PRC hampir selalu diindikasikan pada kadar Hb 10,0 g/dL kecuali
terdapat indikasi tertentu, seperti penyakit yang membutuhkan kapasitas transpor oksigen
lebih tinggi. Sebagai contoh, pada anak dengan anemia defisiensi besi, transfusi pada
umumnya tidak dilakukan jika tidak terdapat keluhan dan anak dalam kondisi klinis baik.
Beberapa jenis transfuse :
1. Transfusi trombosit konsentrat/thrombocyte concentrate (TC)
Transfusi TC dapat diberikan pada pasien yang mengalami perdarahan akibat
trombositopenia, atau sebagai profilaksis pada keadaan tertentu. Pada pasien dengan
trombositopenia, transfusi TC profilaksis dapat diberikan pada kadar trombosit.
2. Transfusi granulosit/buffy coat
Buffy coat adalah suspensi leukosit konsentrat, yang mengandung komponen sel
darah putih dan trombosit dari suatu sampel darah.13 Indikasi transfusi granulosit
pada pasien dengan neutropenia, leukemia, penyakit keganasan lain, serta anemia
aplastik dengan jumlah hitung leukosit 39,0°C.

2.5 Penyidikan Darah Dengan Polimorfisme


Pada tahun 1980, Alec Jeffreys dengan teknologi DNA berhasil
mendemonstrasikan bahwa DNA memiliki bagian-bagian pengulangan (sekuen) yang
bervariasi. Hal ini dinamakan polimorfisme, yang dapat digunakan sebagai sarana
identifikasi spesifik (individual) dari seseorang. Perbedaan sidik DNA setiap orang
atau individu layaknya sidik jari, sidik DNA ini juga bisa dibaca. Tidak seperti sidik
jari pada ujung jari seseorang yang dapat diubah dengan operasi, sidik DNA tidak
dapat dirubah oleh siapapun dan dengan alat apapun. Bahkan, sidik DNA mempunyai
kesamaan pada setiap sel, jaringan dan organ pada setiap individu. Oleh karena itu
sidik DNA menjadi suatu metode identifikasi yang sangat akurat (Lutfig and Richey,
2000). Hanya sekitar 3 juta basa DNA yang berbeda antara satu orang dengan orang
lain. Para ahli menggunakan daerah yang berbeda ini untuk menghasilkan profil DNA
dari seseorang individu, menggunakan sampel dari darah, tulang, rambut atau jaringan
tubuh yang lain. Pada kasus kriminal, biasanya melibatkan sampel dari barang bukti
dan tersangka, mengekstrak DNAnya, dan menganalisanya untuk melihat suatu
daerah khusus pada DNA (marker). Para ilmuwan telah menemukan marker di dalam
sampel DNA dengan mendesain sepotong kecil DNA (probe) yang masing-masing
akan mencari dan berikatan dengan sekuen DNA pasangan/komplementernya pada
sampel DNA. Satu seri probe akan berikatan dengan DNA sampel dan menghasilkan
pola yang berbeda antara satu individu dengan individu
1 yang lain. Para ahli forensik
membandingkan profil DNA ini untuk menentukan apakah sampel dari tersangka
0
cocok dengan sampel pada bukti. Marker sendiri biasanya tidak bersifat khusus untuk
setiap individu, jika dua sampel DNA mirip pada empat atau lima daerah, sampel
tersebut mungkin berasal dari individu yang sama. jika profil sampel tidak sama,
berarti seseorang tersebut bukan pemilik DNA yang ditemukan pada lokasi
kriminalitas. Jika pola yang ditemukan sama, tersangka tersebut kemungkinan
memiliki DNA pada sampel bukti (Marks dkk, 1996). DNA yang biasa digunakan
dalam tes adalah DNA mitokondria dan DNA inti sel. DNA yang paling akurat untuk
tes adalah DNA inti sel karena inti sel tidak bisa berubah sedangkan DNA dalam
mitokondria dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu, yang dapat
berubah seiring dengan perkawinan keturunannya. Kasus-kasus kriminal, penggunaan
kedua tes DNA di atas, bergantung pada barang bukti apa yang ditemukan di Tempat
Kejadian Perkara (TKP). Seperti jika ditemukan puntung rokok, maka yang diperiksa
adalah DNA inti sel yang terdapat dalam epitel bibir karena ketika rokok dihisap
dalam mulut, epitel dalam bibir ada yang tertinggal di puntung rokok. Epitel ini masih
menggandung unsur DNA yang dapat dilacak. Misalnya dalam kasus korban ledakan
bom, serpihan tubuh para korban yang sulit dikenali diambil sekuens genetikanya.
Bentuk sidik DNA berupa garis-garis yang mirip seperti bar-code di kemasan
makanan atau minuman. Membandingkan kode garis-garis DNA, antara 30 sampai
100 sekuens rantai kode genetika, dengan DNA anggota keluarga terdekatnya,
biasanya ayah atau saudara kandungnya, maka identifikasi korban forensik atau
kecelakaan yang hancur masih dapat dilacak. Untuk kasus pemerkosaan diperiksa
spermanya tetapi yang lebih utama adalah kepala spermatozoanya yang terdapat DNA
inti sel di dalamnya. Jika di TKP ditemukan satu helai rambut maka sampel ini dapat
diperiksa asal ada akarnya. Namun untuk DNA mitokondria tidak harus ada akar,
cukup potongan rambut karena diketahui bahwa pada ujung rambut terdapat DNA
mitokondria sedangkan akar rambut terdapat DNA inti sel (Lutfig and Richey, 2000).
Teknologi DNA memiliki keunggulan mencolok dalam hal potensi diskriminasinya
dan sensitifitasnya maka tes sidik DNA menjadi pilihan dalam penyelidikan kasus-
kasus forensik dibanding teknologi konvensional seperti serologi dan elektroforesis.
Kedua tes ini hanya mampu menganalisis perbedaan ekspresi protein dan
membutuhkan sampel dengan jumlah relatif besar. Tes sidik DNA sebaliknya hanya
membutuhkan sampel yang relatif sedikit. Metode Southern Blots misalnya sudah
mampu menedeteksi loki polimorfisme dengan materi DNA sekecil 60 nanogram,
sedangkan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) hanya memerlukan DNA
sejumlah beberapa nanogram saja. Pada kasus kriminal dengan jumlah sampel barang
bukti yang diambil di TKP sangat kecil dan kemungkinan mengalami degradasi maka
metode yang cocok dan sensitif adalah PCR (Marks dkk. 1996).

a) Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)


Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) RFLP adalah salah satu
aplikasi analisis DNA asli pada penelitian forensik. Dengan perkembangan dan
adanya teknik analisis DNA yang lebih baru dan lebih efisien, RFLP tidak lagi
digunakan karena membutuhkan sampel DNA yang1 relatif banyak. Selain itu sampel
1
yang bisanya diperoleh juga biasanya sudah terdegradasi oleh faktor lingkungan,
seperti kotoran atau jamur, tidak dapat digunakan untuk RFLP. RFLP merupakan
teknik sidik DNA berdasarkan deteksi fragmen DNA dengan panjang yang bervariasi.
Awalnya DNA diisolasi dari sampel yang kemudian dipotong dengan enzim khusus
restriction endonuclease. Enzim ini memotong DNA pada pola sekuen tertentu yang
disebut restriction endonuclease recognition site (sisi yang dikenali oleh enzim
restriksi). Ada atau tidaknya sisi yang dikenali ini di dalam sampel DNA
menghasilkan fragmen DNA dengan panjang yang bervariasi. Selanjutnya potongan
fragmen tersebut akan dipisahkan dengan elektroforesis pada gel agarose 0,5%.
Fragmen DNA kemudian dipindahkan dan difiksasi pada pada membran nilon dan
dihibridisasi spesifik dengan pelacak (probe) DNA berlabel radioaktif yang akan
berikatan dengan sekuen DNA komplementernya pada sampel. Metode ini akhirnya
muncullah pita-pita yang unik untuk setiap individu (Marks dkk., 1996).
b) Analisis Polymerase chain reaction (PCR) Polymerase chain reaction (PCR)
Analisis Polymerase chain reaction (PCR) Polymerase chain reaction (PCR)
digunakan untuk membuat jutaan kopi DNA dari sampel biologis. Amplifikasi DNA
dengan menggunakan PCR menyebabkan analisis DNA pada sampel biologis hanya
membutuhkan sedikit sampel dan dapat diperoleh dari sampel yang halus seperti
rambut. Kemampuan PCR untuk mengamplifikasi sejumlah kecil DNA
memungkinkan untuk menganalisa sampel yang sudah terdegradasi sekalipun.
Namun, tetap saja harus dicegah kontaminasi dengan materi biologis yang lain selama
melakukan identifikasi, koleksi dan menyiapkan sampelnya (Marks dkk., 1996). Tes
DNA dilakukan dengan cara mengambil DNA dari kromosom sel tubuh (autosom)
yang mengandung area STR (short tandem repeats), suatu area ini tidak memberi
kode untuk melakukan sesuatu. STR inilah yang bersifat unik karena berbeda pada
setiap orang. Perbedaannya terletak pada urutan pasang basa yang dihasilkan dan
urutan pengulangan STR. Pola STR ini diwariskan dari orang tua.Aplikasi teknik ini
misalnya pada tes DNA untuk paternalitas (pembuktian anak kandung) yaitu tes DNA
untuk membuktikan apakah seorang anak benar-benar adalah anak kandung dari
sepasang suami dan istri. Cara memeriksa tes DNA dilakukan dengan cara mengambil
STR dari anak. Selanjutnya, di laboratorium akan dianalisa urutan untaian STR ini
apakah urutannya sama dengan seseorang yang dijadikan pola dari seorang anak.
Urutan tidak hanya satu-satunya karena pemeriksaan dilanjutkan dengan melihat
nomor kromosom.

c) Analisis Mitochondrial DNA


Analisis DNA mitokondria (mtDNA) dapat digunakan untuk menentukan DNA
di sampel yang tidak dapat dianalisa dengan menggunakan RFLP atau STR. Jika
DNA pada inti sel (nukleus) harus diekstrak dari sampel untuk dianalisis dengan
menggunakan RFLP, PCR, dan STR; maka tes sidik DNA dapat dilakukan dengan
menggunakan ekstrak DNA dari organela sel yang lain, yaitu mitokondria. Contohnya
pada sampel biologis yang sudah berumur tua sehingga tidak memiliki materi
1
nukleus, seperti rambut, tulang dan gigi, maka karena sampel tersebut tidak dapat
2
dianalisa dengan STR dan RFLP, sampel tersebut dapat dianalisa dengan
menggunakan mtDNA. Pada investigasi kasus yang sudah sangat lama tidak
terselesaikan penggunaan mtDNA sangatlah dibutuhkan (Marks dkk., 1996). Semua
ibu memiliki DNA mitokondria yang sama dengan anak perempuannya karena
mitokondria pada masing-masing embrio yang baru berasal dari sel telur ibunya.
Sperma ayah hanya berkontribusi memberikan DNA inti sel (nukleus).
Membandingkan profil mtDNA dari seseorang yang tidak teridentifikasi dengan profil
seseorang yang kemungkinan adalah ibunya merupakan teknik yang penting dalam
investigasi orang hilang atau temuan kerangka yang sudah berusia puluhan tahun
(Lutfig and Richey, 2000).
2.6 Pewarnaan Darah
Untuk menentukan tipe dan karakterisasi darah, tes darah, uji pewarnaan darah dan
penyiapan tanda bukti adalah merupakan hal yang penting dalam serologi forensic. Hal
terebut juga perlu dilakukan untuk menganalisis semen, saliva atau cairan tubuh lainnya baik
yang melibatkan tipe DNA maupun tidak. Proses pewarnaan darah mengikuti beberapa
tahapan yang tujuannya untuk mengetahui :
1. Apakah sampelnya benar darah ?
2. Apakah darahnya dari darah hewan?
3. Jika darah hewan, hewan apa?
4. Jika darah manusia, golongan/ tipenya apa?
5. Apakah dapat ditentukan jenis kelamin, umur, rasnya
Untuk menjawab pertanyaan nomer 1 : Analisis menggunakan pewarnaan atu uji
crystalin. Kemudian tes benzidin diperkenalkan dan menjadi popular sampai ditemukan
bahwa bahan tersebut adalah karsinogenik. Kemudian diganti dengan uji “Kastle-Meyer”,
yang digunakan dengan bahan kimia phenolphtalin. Bila berkontak dengan haemoglobin
phenolphtalin membebaskan enzim peroksidase yang menyebabkan terjadinya perubahan
warna menjadi warna pink terang. Untuk mendeteksi warna darah yang hilang, “luminol tes”
digunakan, dimana bahan kimia yang disemprotkan pada karpet atau furniture akan terlihat
sinar phosphorescent ditempat gelap bila bahan tersebut terkena noda darah. Darah yang
mongering pada waktu yang lama akan cenderung mengkristal, atau dapat dibuat menjadi
kristal dengan beberapa perlakuan yaitu dengan campuran garam, dimana uji kristal
dinamakan “tes Teichman, tes Takayama dan Wgenhaar tes”.
Untuk menjawab Pertanyaan 2 dan 3 : Ahli forensic menggunakan anti serum atau
uji gel presipitasi. Standar yang disebut presipitin diperoleh dengan menginjeksikan darah
manusia pada hewan percobaan (biasanya kelinci). Tubuh hewan tersebut akan memproduksi
antibody anti-human, yang kemudian diekstraksi dari serum hewan tersebut, serum tersebut
akan membentuk klot bila dicampur dengan darah manusia. Tetapi antiserum tersebut
biasanya telah dijual secara komersiil.
Untuk menjawab pertanyaan 4 : Ahli forensic harus mengidentifikasi apakah mereka
mempunyai sample yang cukup kualitasnya. Bila cukup langsung 1 dilakukan typing dengan
3
menggunakan system A,B,O. Pemeriksaan golongan darah secara tidak langsung (indirect
typing) dilakukan pada pewarnaan sample darah kering dengan teknik yang sering digunakan
yaitu “absorption-elution test”. Dikerjakan dengan penambahan antibodi-antiserum yang
cocok ke dalam sample yang dianalisis, kemudian dipanaskan untuk memisahkan ikatan
antigen-antibodi, lalu ditambahkan pada sel darah standar (yang sudah diketahui golongan
darahnya) dan dilihat terjadinya koagulasi.
Untuk menjawab pertanyaan 5 : Ahli forensic menggunakan beberapa pewarnaan
dan tes nitrat untuk memperkirakan umur, jenis kelamin, dan ras. Uji ini tidak dapat
ditentukan secara pasti, tetapi pada kloting dan kristalisasi dapat membantu memperkirakan
umur, testosteron dan kromosom tes mengarahkan perbedaan jenis kelamin dan ras genetic
yang melibatkan analisis protein dan enzim yang dapat membantu mengidentifikasi ras.
Sebagai pengetahuan tambahan, diperkirakan 80 % populasi adalah sebagai “secretor”
ini artinya cairan tubuh (saliva, sperma, keringat cairan lambung, dan sebagainya) dari suatu
individu mengandung antigen, antibody, dan enzim polymorphisme seperti yang terkandung
didalam darahnya. Sehingga cairan dari orang yang termasuk golongan secretor (80% dari
populasi penduduk dunia) akan dapat identifikasi golongan darahnya sama seperti didalam
darah dari orang yang bersangkutan. Sebaliknya yang bukan secretor tidak dapat dilakukan
identifikasi golongan darah dari analisis cairan tubuhnya. Pada kenyataannya, pada kelompok
secretor, saliva, dan semen dari seseseorang mempunyai konsentrasi antigen A atau B lebih
tinggi daripada didalam darahnya, sehingga ahli forensic akan lebih suka menganalisis cairan
tubuh tersebut.

7. Pemeriksaan Darah untuk Kasus Kriminal


Bercak darah yang ditemukan di TKP pada obyek-obyek tertentu (lantai, meja, kursi,
karpet, senjata dan sebagainya), manusia dan pakaiannya dapat membantu identifikasi dengan
dilakukan pemeriksaan darah forensik.
Pemeriksaan bercak darah merupakan salah satu pemeriksaan yang sering dilakukan
pada laboratorium forensik karena darah mudah sekali menetes pada hampir semua bentuk
tindakan kekerasan, penyelidikan terhadap bercak darah ini sangat berguna untuk
mengungkapkan suatu tindakan kriminal. Dalam bidang forensik untuk menentukan apakah
noda atau bercak berwarna merah menyerupai darah yang ditemukan di TKP sebenarnya
darah atau noda lain yang memiliki kemiripan sama, perlu dilakukan beberapa tes
pemeriksaan bercak darah, yang terdiri dari tes presumptif, tes konfirmatif, dan tes spesifik
dengan pemeriksaan DNA. Tes konfirmatif ini salah satunya adalah tes Teichmann dan tes
Takayama. Kedua tes ini dapat membantu membuktikan adanya pembentukan kristal
hemoglobin atau membuktikan suatu bercak darah yang ditemukan di TKP adalah benar
suatu bercak darah.
Tes Teichmann memanfaatkan prinsip reaksi antara gugus heme dengan glacial acid
dan halida (chloride) pada suhu tertentu yang menghasilkan ferriprotoporphyin chloride
(kristal hemin/hematin), tes ini juga sangat tergantung pada suhu temperatur lingkungan saat
melakukan reaksi. Sedangkan tes Takayama memanfaatkan reaksi antara glukosa dengan
gugus pyridine pada heme dalam kondisi alkali dan suhu tertentu yang menghasilkan pyridine
ferriprotoporphyrin atau hemokromogen yang dapat dilihat melalui mikroskop. Kedua tes ini
lebih spesifik terhadap darah dan dapat mendeteksi darah 1dengan jumlah yang sangat kecil
serta pada bercak darah yang telah lama mengering. 4
Para pelaku kriminal telah mencoba banyak hal untuk menghilangkan jejak dengan cara
menyembunyikan, membersihkan dan menghapus noda darah sebagai barang bukti di TKP
sehingga bercak darah yang ditemukan sudah tidak lagi utuh, misalnya pelaku membersihkan
atau menghilangkan tanda bukti bercak darah yang menempel pada tubuh atau kulitnya
menggunakan agen pembersih. Penghapusan bercak darah menggunakan agen pembersih
atau pemutih akan berpotensi sebagai kontaminasi dan merusak deoksiribonukleat (DNA)
dari darah sehingga menghasilkan interpretasi yang berbeda saat pemeriksaan.
Salah satu zat pembersih yang dapat digunakan pelaku untuk menghilangkan bercak
darah pada tangan adalah gel pembersih tangan antiseptik berbasis alkohol yaitu berupa gel
handsanitizer. Gel pembersih tangan ini sering digunakan banyak orang dalam kehidupan
sehari-hari karena memberikan solusi cepat, praktis dan efektif dalam memenuhi kebutuhan,
diantaranya mudah didapat serta mudah untuk dibawa juga tidak membutuhkan air dan
sabun. Gel ini berasal dari bahan alkohol atau etanol yang memiliki kemampuan sebagai
antibakeri dalam menghambat hingga membunuh bakteri, alkohol banyak digunakan sebagai
antiseptik/desinfektan untuk desinfeksi permukaan dan kulit yang bersih. Alkohol juga
merupakan pelarut organik sehingga dapat melarutkan lapisan lemak dan sebum pada kulit.
Menurut Elpia, Asni, dan Indrayana (2016) telah melakukan penelitian dengan hasil
pemeriksaan Teichmann pada bercak darah yang terpapar dengan beberapa gel pembersih
tangan antiseptik berbasis alkohol masih menunjukkan adanya kristal hemoglobin, yaitu
kristal hemin berbentuk belah ketupat berwarna kecoklatan. Dan hasil pemeriksaan
Takayama pada bercak darah yang terpapar dengan beberapa gel pembersih tangan antiseptik
berbasis alkohol masih menunjukkan adanya kristal hemoglobin, yaitu kristal hemokromogen
berbentuk jarum berwarna merah muda.

1
5
DAFTAR PUSTAKA

Kartika R.P., dan Evy Y. 2011. Pengembangan Modul Pengayaan OSN SMP Materi
Forensik. Laporan Penelitian. FMIPA UNY

1
6

Anda mungkin juga menyukai