Anda di halaman 1dari 23

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2022


UNIVERSITAS HASANUDDIN

CAISON DISEASE

DISUSUN OLEH:
Albert Tan C014212035
Nurvira Idrus C014212137
Tasya Nursahadah R.I C014212167
Rahmawati Putri Rezki C014212142

RESIDEN PEMBIMBING
dr. Regina Amalia Haeruddin
dr. Melfa Irfaliza

SUPERVISOR
dr. Muhammad Yunus Amran, Ph.D, Sp.S(K), FIPM, FINR, FINA

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Albert Tan
NIM : C014212035
Nama : Nurvira Idrus
NIM : C014212137
Nama : Tasya Nursahadah Ramadhani Irwan
NIM : C014212167
Nama : Rahmawati Putri Rezki
NIM : C014212142
Judul Refarat : Caison Disease

Adalah benar telah menyelesaikan tugas referat yang berjudul “Caison Disease” dan
telah disetujui serta telah dibacakan di hadapan pembimbing dan supervisor dalam
rangka Kepaniteraan Klinik pada Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makassar.

Makassar, Agustus 2022


Mengetahui,

Residen Pembimbing 1 Residen Pembimbing 2

dr. Regina Amalia dr. Melfa Irfaliza

Supervisor

dr. Muhammad Yunus Amran, Ph.D,


Sp.S(K), FIPM, FINR, FINA

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................2
2.1. Definisi ..............................................................................................................2
2.2. Epidemiologi .....................................................................................................2
2.3. Etiologi ..............................................................................................................2
2.4. Patogenesis ........................................................................................................3
2.5. Manifestasi Klinis .............................................................................................6
2.6. Diagnosis .........................................................................................................10
2.7. Diferensial Diagnosis ......................................................................................10
2.8. Tatalaksana.....................................................................................................12
2.9. Pencegahan .....................................................................................................15
2.10. Komplikasi ..................................................................................................16
2.11. Prognosis .....................................................................................................16
BAB III KESIMPULAN ................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................18

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat
yang berjudul “Caison Disease” tepat pada waktunya. Referat ini disusun dalam
rangka melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Muhammad Yunus Amran,
Ph.D, Sp.S(K), FIPM, FINR, FINA selaku dokter supervisor pembimbing yang
telah membimbing penulis dalam melaksanakan kepaniteraan klinik Departemen
Ilmu Penyakit Saraf dan dalam menyusun referat ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dalam penyusunan
referat ini baik isi maupun format referat ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca dalam penyusunan referat selanjutnya.
Akhir kata penulis berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan
sejawat serta seluruh pihak yang ingin mengetahui dan mempelajari materi terkait
“Caison Disease”.

Makassar, Agustus 2022

Penulis

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu penyakit emergensi dalam neurologi yang erat kaitannya dengan
penyelam adalah penyakit dekompresi (caisson disease). Caisson disease adalah
sindrom yang berhubungan dengan pembentukan dan peningkatan ukuran
gelembung ketika tekanan parsial gas nitrogen dalam darah dan jaringan melebihi
tekanan disekitarnya. Decompression sickness terjadi karena saat menyelam, terjadi
peningkatan tekanan, sehingga udara yang kita hirup (oksigen dan nitrogen) lebih
banyak dari biasanya. Gas nitrogen akan terakumulasi di dalam tubuh peselam
sesuai dengan proporsi, durasi menyelam dan kedalaman penyelaman.
Di Eropa, diperkirakan terdapat 10-100 orang penyelam per-tahun yang
mengalami cedera dan membutuhkan penanganan rekompresi akibat penyakit
dekompresi yang dialami. Di Indonesia, prevalensi terjadinya penyakit dekompresi
belum diketahui secara pasti. Perhimpunan Kesehatan Hiperbarik Indonesia di
dunia menyatakan bahwa 5-6 orang dari tiap 100.000 orang meninggal akibat
tenggelam setiap tahunnya.
Gejala yang muncul pada penyakit dekompresi bervariasi dari gejala ringan
hingga fatal. Gejala yang ringan dapat berupa nyeri akibat gangguan mekanik yang
ditimbulkan oleh gelembung udara ekstravaskular. Secara umum gejala penyakit
dekompresi terbagi menjadi 2 kelompok yaitu gejala tipe 1 dan tipe 2. Pada gejala
tipe 1 terdiri dari nyeri otot dan sendi, kelelahan, dan adanya gejala pada kulit.
Gejala tipe 2 mencakup gejala-gejala pada sistem syaraf pusat, sistem pernapasan,
hingga sistem kardiovaskular.
Diagnosis penyakit dekompresi ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Prinsip penanganan basic dan advance life support digunakan
sebagai tatalaksana awal penyakit ini. Tatalaksana definitif dan efektif adalah terapi
rekompresi. Untuk mencegah penyakit ini, penyelam harus membatasi
kecepatannya ketika naik ke permukaan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Decompression sickness (caisson disease) adalah sindrom yang
berhubungan dengan pembentukan dan peningkatan ukuran gelembung ketika
tekanan parsial gas nitrogen dalam darah dan jaringan melebihi tekanan di
sekitarnya.(1)

2.2. Epidemiologi
Insiden penyakit dekompresi jarang terjadi. Estimasi kejadian ini adalah
3 per 10.0000 penyelaman.(2)Di Eropa, diperkirakan terdapat 10-100 orang
penyelam per-tahun yang mengalami cedera dan membutuhkan penanganan
rekompresi akibat penyakit dekompresi yang dialami.(3) Angka kejadian
Caisson Disease (CD) di Amerika Serikat untuk tipe II yaitu 2.28 kasus per
10.000 penyelaman, tipe I tidak diketahui karena banyak penyelam yang tidak
mencari pengobatan.(4)
Di Indonesia, prevalensi terjadinya penyakit dekompresi belum
diketahui secara pasti. Perhimpunan Kesehatan Hiperbarik Indonesia di dunia
menyatakan bahwa 5-6 orang dari tiap 100.000 orang meninggal akibat
tenggelam setiap tahunnya.(4)
2.3. Etiologi
Penyakit dekompresi terjadi karena pembentukan dan pengembangan
gelembung gas yang disebabkan oleh pengurangan tekanan sekitar yang
menghasilkan gas inert (biasanya nitrogen) yang dari fase larut dalam darah atau
di dalam jaringan tubuh.(5)
Beberapa faktor risiko yang diyakini dapat meningkatkan insidensi
penyakit dekompresi:
1. Lemak tubuh

2
Terdapat teori bahwa nitrogen dapat tereabsorpsi dengan mudah ke
dalam jaringan lemak, jadi penyelam yang memiliki berat badan berlebih
memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami penyakit dekompresi.
2. Aktivitas
Sangat menarik bahwa aktivitas memiliki efek positif dan negatif.
Aktivitas fisik setidaknya 12 jam sebelum menyelam dapat memproduksi
protein yang melindungi tubuh dan menurunkan risiko penyakit
dekompresi. Di sisi lain, aktivitas fisik kurang dari 12 jam sebelum
penyelaman dapat meningkatkan sejumlah gas mikronuklei di mana dapat
membentuk gelembung dan meningkatkan insidensi penyakit dekompresi.
Melakukan aktivitas fisik sesaat setelah menyelam dapat meningkatkan
risiko pembentukan gelembung karena tekanan darah meningkat dan
gelembung dapat dengan mudah ditransfer dari vena ke arteri dalam sistem
sirkulasi.
3. Jenis kelamin
Secara teori, wanita memiliki risiko tinggi mengalami penyakit
dekompresi karena wanita secara khusus memiliki massa lemak tubuh yang
lebih tinggi. Tetapi belum ada penelitian yang dapat membuktikan hal ini.
4. Usia
Secara umum, orang dengan usia tua memiliki risiko tinggi terkena
penyakit dekompresi. (6)

2.4.Patogenesis
Penyakit dekompresi disebabkan karena masuknya udara ke dalam
sirkulasi darah atau jaringan setelah atau selama terjadinya penurunan tekanan
di lingkungan sekitar. Udara tersebut berasal dari gas mulia (umumnya gas
nitrogen) yang secara normal terlarut di dalam carian tubuh dan jaringan. Gas
tersebut kemudian terlepas dari cairan fisiologis dan membentuk gelembung
udara pada lingkungan dengan tekanan rendah. Berdasarkan hukum Henry,
ketika tekanan gas pada cairan berkurang maka gas yang terlarut dalam cairan

3
tersebut juga berkurang. Sedangkan apabila tekanan gas pada cairan meningkat,
maka gas yang terlarut dalam cairan juga meningkat.(7),(8)

Gambar 1. Hukum Henry

Hal ini yang terjadi di dalam tubuh manusia. Nitrogen merupakan gas
mulia yang secara normal tersimpan di dalam jaringan dan cairan tubuh
manusia. Peningkatan tekanan yang terjadi saat menyelam menyebabkan
jumlah nitrogen yang terlarut dalam cairan dan jaringan tubuh juga meningkat.
Saat penyelam naik ke permukaan terlalu cepat, hal tersebut menyebabkan
nitrogen yang terlarut kembali ke dalam bentuk gas saat masih berada di cairan
dan jaringan tubuh yang menimbulkan terbentuknya gelembung udara. Penyakit
dekompresi dimulai dengan terbentuknya gelembung ekstravaskular dan
intravaskular yang semakin membesar ketika akumulasi tekanan gas terlarut
(oksigen, karbon dioksida, nitrogen, dan helium) dan uap air melebihi tekanan
absolut lokal. Emboli udara pada penyakit dekompresi dapat terjadi pada
pembuluh darah arteri maupun vena. Pada umumnya emboli pembuluh darah
arteri disebabkan oleh pendakian yang cepat, naik ke atas permukaan dengan
cepat setelah menyelam, menahan napas, dan adanya riwayat penyakit paru
(seperti asma). Faktor - faktor yang memengaruhi terjadinya penyakit

4
dekompresi antara lain ialah kondisi lingkungan yang hangat atau dingin,
aktivitas menyelam, latihan fisik atau pemanasan, dan suhu lingkungan. (7),(8)

Gambar 2. Barotrauma Pulmonal Pada Penyelam

Ketika dibawah tekanan maka aktivitas menyelam, latihan fisik, atau


kondisi lingkungan yang panas akan meningkatkan penyerapan gas inert
sehingga risiko penyakit dekompresi akan meningkat. Selama proses
dekompresi (proses naik ke permukaan setelah menyelam) faktor-faktor
tersebut akan meningkatkan eliminasi gas inert sehingga risiko penyakit
dekompresi akan menurun.Hal yang sebaliknya terjadi apabila seorang
penyelam sedang beristirahat pada kondisi lingkungan yang dingin maka risiko
penyakit dekompresi akan berkurang. Risiko penyakit dekompresi akan
meningkat jika selama proses dekompresi penderita beristirahat atau proses
dekompresi dilakukan pada kondisi lingkungan yang dingin. (7),(8)

Tidak ada kedalaman spesifik yang menjadi batas minimal absolut untuk
terjadinya penyakit dekompresi. Semakin dalam kedalaman yang dicapai maka
risiko penyakit dekompresi akan semakin besar. Pajanan berulang atau
penyelaman berulang dalam kurun waktu yang singkat meningkatkan risiko
terjadinya penyakit dekompresi. Selain itu, semakin cepat terjadinya perubahan
ketinggian, yaitu semakin singkat waktu yang diperlukan untuk naik ke
5
permukaan, maka risiko terjadinya penyakit dekompresi juga akan semakin
besar. Risiko penyakit dekompresi akan sangat meningkat jika penyelam naik
ke permukaan dengan kecepatan >19 meter/menit. Pada penyelam scuba,
penyelam diharuskan bernapas pada kondisi tekanan yang tinggi.

Pada kondisi ini akan terjadi peningkatan kadar nitrogen yang terlarut di
dalam tubuh. Semakin dalam menyelam maka laju saturasi nitrogen akan
semakin besar, sehingga jika setelah menyelam waktu yang diberikan untuk
eliminasi nitrogen terlalu singkat atau dengan kata lain penyelam secara cepat
naik ke permukaan setelah menyelam maka risiko penyakit dekompresi menjadi
sangat besar. Waktu juga memengaruhi terjadinya penyakit dekompresi.
Semakin lama durasi pajanan pada wilayah bertekanan rendah maka risiko
terjadinya penyakit dekompresi akan semakin besar. Faktor risiko lain adalah
usia, semakin tua usia maka risiko terjadinya penyakit dekompresi akan
semakin besar. Seseorang dengan komposisi lemak tubuh yang besar juga
berisiko untuk mengalami penyakit dekompresi. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya nitrogen yang tersimpan di dalam jaringan lemak. (7),(8)

2.5. Manifestasi Klinis


Gejala yang muncul pada penyakit dekompresi bervariasi dari gejala
ringan hingga fatal. Gejala yang muncul terjadi akibat iskemia jaringan yang
disebabkan oleh emboli udara yang menghambat aliran darah pada arteri dan
vena.Selama atau setelah menyelam gelembung udara akan dilepaskan melalui
ekspansi terus menerus gas mulia di dalam jaringan perifer. Gejala yang ringan
dapat berupa nyeri akibat gangguan mekanik yang ditimbulkan oleh gelembung
udara ekstravaskular.

Secara umum gejala penyakit dekompresi terbagi menjadi 2 kelompok


yaitu gejala tipe 1 dan tipe 2. Pada gejala tipe 1 terdiri dari nyeri otot dan sendi,
kelelahan, dan adanya gejala pada kulit. Gejala tipe 2 mencakup gejala-gejala
pada sistem syaraf pusat, sistem pernapasan, hingga sistem kardiovaskular.
Gelembung udara juga dapat menyebabkan obstruksi pada vaskular sehingga
muncul gejala stroke. Selain menyebabkan obstruksi, gelembung udara
6
intravaskular dapat menyebabkan kebocoran kapiler, ekstravasasi plasma, dan
hemokonsentrasi. (7),(8)

Emboli udara yang terjadi pada pembuluh arteri pada umumnya


memengaruhi otak, namun beberapa kasus ditemukan ada pula yang
menyebabkan dampak pada jantung dan organ tubuh lainnya. Emboli udara
pada pembuluh darah arteri terjadi ketika gas di dalam alveolus mengembang
dan menyebabkan bocornya kapiler pada alveolus sehingga menyebabkan udara
masuk ke dalam sirkulasi arteri. Selain emboli pada pembuluh arteri, emboli
udara juga dapat terjadi pada pembuluh vena. Sebagian besar emboli vena tidak
menimbulkan gejala karena udara secara efektif telah terfiltrasi oleh sirkulasi
pulmonal. Namun volume udara vena yang besar dapat menyebabkan batuk,
sesak napas, dan edema paru. Selain itu, emboli udara pada pembuluh vena juga
dapat berpindah ke pembuluh darah arteri sehingga menimbulkan gejala-gejala
seperti pada emboli arteri. (7),(8)

Berdasarkan data Divers Alert Network tahun 1998-2004 gejala yang


paling sering muncul pada penyakit dekompresi ialah nyeri (68%). Nyeri yang
paling sering muncul adalah nyeri sendi sebanyak 58%, nyeri otot sebanyak
35%, dan nyeri pinggang sebanyak 7%. Meskipun gelembung udara dapat
terbentuk di berbagai tempat di dalam tubuh, lokasi anatomik yang paling sering
terkena dampaknya adalah bahu, siku, lutut, dan pergelangan kaki. Bahu
merupakan lokasi tersering yang terkena dampak dari penyakit dekompresi.
Gejala kedua terbanyak yang sering muncul akibat penyakit dekompresi ialah
kesemutan atau parestesia sebanyak 63,4%.

Gejala konstitusional yang muncul akibat penyakit dekompresi ialah


sakit kepala, lelah, malaise, mual atau muntah, dan anoreksia. Kaku sendi, kram,
dan spasme juga dapat menjadi tanda sindrom dekompresi. Secara umum
gejala-gejala yang timbul setelah terjadinya dekompresi pada ketinggian
tertentu dan dalam kurun waktu tertentu merupakan suatu penyakit dekompresi.
Gejala-gejala tersebut dapat muncul segera setelah berhenti menyelam, selama
melakukan pendakian, beberapa jam setelah menyelam atau mendaki, hingga
7
beberapa hari setelahnya. Bentuk yang paling berat dari penyakit dekompresi
adalah emboli gas pada pembuluh arteri. (7),(8)

Penyakit dekompresi juga dapat menyebabkan terjadinya


trombositopenia. Hal ini disebabkan oleh trombosit yang menempel pada
gelembung gas nitrogen selama terjadinya penyakit dekompresi. Penyakit
dekompresi juga dapat menyebabkan defisit neurologis. Spektrum defisit
neurologis yang muncul akibat penyakit dekompresi ini bervariasi dari disfungsi
kognitif, lesi nervus kranialis, hingga disfungsi korda spinalis akibat
barotrauma. Kerusakan korda spinalis berupa hancurnya white matter akibat
barotrauma atau akibat dari terbentuknya mikrotrombus pada sirkulasi spinal.
Gejala lain yang dapat muncul akibat penyakit dekompresi adalah tuli sensori
neural yang bersifat simetris bilateral maupun asimetris unilateral. Gangguan
pendengaran ini terjadi akibat adanya barotrauma. Manifestasi lain yang dapat
muncul pada gangguan pendengaran dapat berupa tinnitus dan vertigo. (7),(8)

Penyakit dekompresi dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok yakni


penyakit dekompresi tipe 1 dan penyakit dekompresi tipe 2 dimana gejala-
gejalanya dapat dibedakan sebagai berikut : (7),(8)

A. Penyakit dekompresi tipe 1


• Nyeri badan atau sendi :
- Timbul saat dekompresi atau di permukaan (paling lama 24 jam
setelah menyelam)
- Mula-mula rasa kaku kemudian nyeri
- Kekuatan otot menurun
- Bengkak kemerahan
- Kasus ringan, nyeri hilang 3 – 7 hari
• Gatal
- Tubuh, kedua telinga, pergelangan tangan & tangan oleh karena
kontak langsung gas nitrogen dimana terjadi absorbsi gas dalam
kelenjar keringat & pori-pori kulit. Dapat menghilang tanpa
pengobatan.
8
- Berat dapat terjadi gatal-gatal hebat, vasodilatasi, bintik-bintik
kemerahan oleh karena adanya statis vaskuler.
- Gambaran Khas yang dapat ditemukan adalah lingkaran-lingkaran
pucat mengelilingi daerah kebiruan, putih bila ditekan (cutis
marmorata marbeisation). Ini merupakan awal dari penyakit
dekompresi yang serius.
B. Penyakit dekompresi tipe 2
• Gangguan sistem saraf pusat (paling sering)
- Lesi pada otak :
✓ Gejala seperti stroke
✓ Gangguan penglihatan/lapangan penglihatan
✓ Gangguan motorik
✓ Gangguan sensorik
✓ Gangguan saraf kranial
✓ Sakit kepala, kejang, gangguan kesadaran.
- Lesi pada cerebellum :
✓ Ataksia
✓ Nistagmus
✓ Hipotoni
✓ Gangguan koordinasi
- Lesi medulla spinalis :
✓ Mula-mula nyeri menjalar
✓ Parestesi/hipestesi/anestesi
✓ Paresis / plegi
• Gangguan telinga dalam
✓ Timbul karena robeknya membran dalam kanalis semisirkularis atau
fraktur os petrosus.
✓ Rusaknya kohlea (Tinitus, tuli sensorineural)
✓ Gangguan vestibuler (vertigo, mula, muntah)
• Gangguan jantung paru
✓ Sangat berat dan jarang
9
✓ Timbul karena penyelam naik ke permukaan dengan sangat cepat
✓ Gelembung gas terperangkap dalam kapiler paru memberi gejala
chokes : Nyeri substernal (inspirasi atau ekspirasi), sesak, batuk,
edema paru dan payah jantung kanan.

2.6. Diagnosis
Diagnosis penyakit dekompresi ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Tidak ada pemeriksaan penunjang spesifik yang dapat
dilakukan untuk mendeteksi penyakit dekompresi. Magnetic Resonance
Imaging (MRI) dapat dilakukan namun memiliki spesifisitas dan sensitivitas
yang rendah. Perubahan radiologi dapat terjadi pada fase awal penyakit
dekompresi. Emboli udara pada pembuluh arteri harus dicurigai pada penyelam
yang menunjukkan gejala penurunan kesadaran, adanya gangguan neurologis
fokal, atau kejang dalam beberapa menit setelah selesai menyelam. Jika
penyelam melakukan penyelaman dalam kurun waktu yang cukup lama dan
menghirup gas inert maka penyakit dekompresi akan terjadi bersamaan dengan
emboli udara pada pembuluh arteri. Jika hal tersebut terjadi maka gejala utama
yang akan muncul adalah gangguan pada tulang belakang. Penyakit dekompresi
hampir tidak pernah terjadi setelah penyelaman pada kedalaman kurang dari 6
meter. (7),(8)

2.7. Diferensial Diagnosis


Diferensial diagnosis dari penyakit Caisson sangat luas dan beragam
tergantung gejala dan tanda yang muncul pada pasien. Kondisi-kondisi umum
yang memiliki gejala dan tanda yang sama dengan penyakit dekompresi ini
termasuk :
1. Emboli Gas Arteri
AGE adalah gangguan menyelam yang paling berbahaya, dan bisa
terjadi ketika penyelam naik ke permukaan dengan cepat, menahan napas,
atau adanya penyakit paru-paru. AGE terjadi dalam dua cara yang berbeda,
satu karena barotrauma pulmonal, sedangkan yang lainnya disebabkan oleh

10
cardiac decompression syndrome . AGE karena barotrauma pulmonal
muncul ketika gas yang mengembang meregang dan menyebabkan
pecahnya kapiler alveolus sehingga memungkinkan gas alveolus masuk ke
sirkulasi darah. Sindrom ini dapat disebabkan oleh karena terperangkapnya
gas didalam tubuh sebagai akibat dari obstruksi saluran udara pada
gangguan seperti asma atau pada pulmonary blebs, kista, atau bula. AGE
paling sering mempengaruhi otak tetapi kadang-kadang bisa mempengaruhi
jantung dan organ lainnya.
Emboli udara arteri biasanya melibatkan pembuluh darah
intrakranial dan mengakibatkan bencana neurologis darurat. Fitur klinis
termasuk: gejala seperti stroke (tidak sadar, perubahan motorik dan
sensorik, kejang) selama pendakian atau dalam beberapa menit setelah
muncul dari penyelaman gas terkompresi, gejala sistem organ lainnya,
seperti jantung, juga dapat terpengaruh, tetapi diagnosis klinis AGE tidak
dapat ditegakkan tanpa manifestasi SSP. Sebagian besar kasus membaik
sebagian atau sepenuhnya dalam waktu singkat saat aliran darah pulih
kembali, tetapi kekambuhan sering terjadi selama beberapa jam setelah
embolisasi ulang. (9)

2. Barotrauma
Barotrauma didefinisikan sebagai kerusakan jaringan akibat efek
mekanis dari tekanan. Selama penyelam naik ke permukaan dan turun ke
kedalaman laut, akan terjadi perubahan tekanan ambien. Barotrauma dapat
dibagi menjadi barotrauma telinga yang terdiri dari barotrauma telinga luar,
barotrauma telinga tengah, dan barotrauma telinga dalam. Yang paling
sering terkena pada penyelam adalah barotrauma telinga tengah, muncul
pada sekitar 30% penyelam pemula dan sekitar 10% pada penyelam yang
telah berpengalaman.

Hal ini terjadi karena keseimbangan tekanan yang tidak adekuat


antara telinga tengah dan lingkungan luar. Sering terjadi ketika penyelam
turun masuk ke dalam laut dan muncul karena gagalnya tuba eustachius
11
untuk membuka. Jika penyelam gagal mengekualifikasi, tekanan hidrostatik
akan mendorong membran timpani kedalam, meregankannya, dan
menyebabkan nyeri. Pada waktu yang sama, volume gas yang berkurang
pada telinga tengah dikompensasikan dengan meningkatnya darah dan
cairan jaringan, menyebabkan edema dari mikosa telinga tengah. Pada
akhirnya, pembuluh darah akan menjadi sangat teregang dan ruptur,
menyebabkan perdarahan ke dalam membran timpani dan ruangan telinga
tengah. (10)

2.8. Tatalaksana
Bergantung pada jumlah dan lokasi dari gas intrakorporeal yang
berlebihan, pada beberapa kasus gejala dari penyakit caisson dapat menghilang
dengan sendirinya. Namun, beberapa pasien akan mengalami deteriorasi
setelahnya yang sering berkembang menjadi lebih buruk dari gejala awal,
sebagai akibat dari kerusakan jaringan yang progresif. Sehingga, pasien yang
mengalami penyakit caisson harus mendapatkan tatalaksana adekuat. Prinsip
penanganan basic dan advance life support digunakan sebagai tatalaksana awal
penyakit ini. sebagai tambahan, administrasi oksigen 100% juga merupakan
suatu prioritas. Oksigen tidak hanya menangani hipoxemia arteri tetapi juga
meningkatkan kecepatan pengeluaran gas inert dan eliminasi dari gelembung-
gelembung udara. Meskipun posisi kepala berada dibawah tidak lagi secara
rutin direkomendasikan karena dapat mencetuskan edema cerebral, posisi
supine memiliki keuntungan yang lebih daripada posisi tegas karena dapat
menegah hipotensi postural dan meningkatkan pengeluaran gas inert.

1. Tatalaksana di lokasi kejadian


Keterlambatan tatalaksana yang signifikan, kesulitan mendapatkan
transportasi, ataupun keterbatasan fasilitas dan pengalaman yang terbatas
dapat memperburuk progresif penyakit, sehingga perlu dipertimbangkan
tatalaksana di tempat. Oksigen permukaan sebagai tatalaksana awal
membuktikan adanya peningkatan efikasi dari rekompresi dan penurunan
12
jumlah tatalaksana rekompresi jika diberikan kurang dari empat jam setelah
menyelam. In-water recompression (IWR) hingga mencapai kedalaman 9
meter, disertai terapi oksigen merupakan salah satu opsi tatalaksana di
lapangan yang telah menunjukkan kesuksesan dalam terapi selama beberapa
tahun ini. In-water recompression (IWR) didefinisikan sebagai tatalaksana
dari penyakit dekompresi melalui rekompresi segera didalam air setelah
onset gejala yang dilakukan pada daerah daerah terpencil dimana tidak
tersedianya hyperbaric chambers. Teknik ini menggunakan pure oxygen
breathing dalam periode jangka panjang pada kedalaman 9 m dibawah
permukaan air. Karena kondisi lingkungan, risiko yang paling sering terjadi
jika dilakukan metode ini ialah tenggelam dan hipotermia, selain itu pure
oxygen breathing juga dapat berisiko terpapar toksisitas oksigen akut.(11)
Keterlambatan tatalaksana yang signifikan, kesulitan mendapatkan
transportasi, ataupun keterbatasan fasilitas dan pengalaman yang terbatas
dapat memperburuk progresif penyakit, sehingga perlu dipertimbangkan
tatalaksana di tempat. Oksigen permukaan sebagai tatalaksana awal
membuktikan adanya peningkatan efikasi dari rekompresi dan penurunan
jumlah tatalaksana rekompresi jika diberikan kurang dari empat jam setelah
menyelam. In-water recompression (IWR) hingga mencapai kedalaman 9
meter, disertai terapi oksigen merupakan salah satu opsi tatalaksana di
lapangan yang telah menunjukkan kesuksesan dalam terapi selama beberapa
tahun ini. In-water recompression (IWR) didefinisikan sebagai tatalaksana
dari penyakit dekompresi melalui rekompresi segera didalam air setelah
onset gejala yang dilakukan pada daerah daerah terpencil dimana tidak
tersedianya hyperbaric chambers. (11)
Teknik ini menggunakan pure oxygen breathing dalam periode
jangka panjang pada kedalaman 9 m dibawah permukaan air. Karena
kondisi lingkungan, risiko yang paling sering terjadi jika dilakukan metode
ini ialah tenggelam dan hipotermia, selain itu pure oxygen breathing juga
dapat berisiko terpapar toksisitas oksigen akut. (11)

13
2. Tatalaksana utama
Tatalaksana definitif dan efektif adalah terapi rekompresi. Kompresi
secara fisik mengurangi volume gelembung udara sesuai dengan hukum
Boyle, sehingga dapat mengurangi gejala penyakit Caisson. Penggunaan
oksigen konsentrasi 100% sebagai gas pernapasan selama proses
rekompresi bersifat terapeutik melalui beberapa mekanisme termasuk
eliminasi cepat dari gas inter, oksigenasi maksimal dari jaringan iskemik,
mereduksi edema, dan menginhibisi inflamasi sekunder dan juga
mereperfusi trauma yang terjadi. Rekompresi harus dilakukan secepat
mungkin untuk menghindari rekurensi lambat dari penyakit ini dan juga
menghindari bertambah parahnya penyakit, kecuali didapatkan etiologi lain
yang nyata dari penyakit ini.terapi rekompresi biasanya tetap disarankan
meskipun manifestasi klinik menghilang dengan tatalaksana pertama,
mengingat penyakit caisson yang tidak ditangani dapat muncul kembali
beberapa hari sejak onset pertama kali penyakit.(12)

Gambar 3. Recompression Chamber.(1)

Jadwal rekompresi terdiri dari rapid recompression hingga tekanan


spesifik tertentu dengan pernapasan oksigen yang diinterupsi secara
periodik oleh “air breaks” dan berlanjut selama dekompresi lambat dan
bertahap berikutnya. Jadwal rekompresi yang paling umum digunakan
adalah US Navy Treatment 6 yang terdiri dari siklus pernapasan oksigen
pada 60 fsw dan 30 fsw dengan total waktu rekompresi sekitar 4 jam 45
menit. Jika gejala tidak menghilang seluruhnya, rekompresi diulang 1 atau
2 kali sehari, hingga gejala hilang atau peningkatan plateau didapatkan. (12)
14
Gambar 4. US Navy Treatment 6.(1)

2.9. Pencegahan
Untuk mencegah penyakit Caisson, penyelam harus membatasi
kecepatannya ketika naik ke permukaan. Kecepatan yang direkomendasikan
ketika penyelam hendak naik ke permukaan tidak melebihi 2 meter/menit, dan
dianjurkan untuk naik dengan metode zig-zag atau spiral. Selain itu, penyelam
juga dianjurkan untuk menghindari konsumsi alkohol 24 jam sebelum dan
setelah menyelam. Hindari menyelam kembali 2 minggu hingga 1 bulan jika
telah mengalami gejala-gejala ringan dari penyakit Caisson. Jika telah
mengalami gejala berat, maka dianjurkan untuk tidak menyelam kembali. Selain
itu hendaknya menghindari beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan
kerentanan untuk terkena penyakit ini yaitu (13):

1. Menyelam melebihi tabel rekomendasi penyelaman


2. Terbang dalam 18 jam setelah menyelam
3. Menyelam di air dingin
4. Obesitas (karena nitrogen bersifat larut lemak)
5. Dehidrasi
6. Intoksikasi alkohol
7. Mengerahkan tenaga yang berat ketika menyelam
8. Menyelam berulang-ulang kali
9. Olahraga berat dalam 6 jam setelah menyelam

15
2.10. Komplikasi
Penyakit dekompresi dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang.
Lesi sistem saraf pusat di tulang belakang dan otak dapat terjadi. Dampak
yang paling fatal dari penyakit dekompresi adalah kelumpuhan pada
peselam hingga mengakibatkan penurunan produktifitas secara massal dan
tak jarang berlanjut pada kematian. Untuk menghindari penyakit
dekompresi saat seorang peselam pada kedalaman yang sangat dalam
sebaiknya untuk naik ke permukaan harus dilakukan secara perlahan-lahan.
Apabila naik dengan cepat dan tergesa-gesa dapat memberikan tekanan
udara yang sangat besar terhadap pembuluh darah sehingga menimbulkan
penyakit dekompresi. Selain itu frekuensi menyelam maksimal dua kali saja
sehari. (14)

2.11. Prognosis
Seseorang yang memiliki penyakit dekompresi dapat menempatkan
pasien pada peningkatan risiko untuk kejadian serupa di masa depan.
Prognosis tergantung pada tingkat keparahan dan juga tergantung pada
faktor-faktor seperti waktu untuk rekompresi, ketersediaan dan waktu untuk
mendapatkan oksigen, dan perawatan suportif. Namun, jika tidak diterapi
dengan baik seseorang yang mengalami penyakit dekompresi akan
mengalami morbiditas berat dan cacat seumur hidup bahkan dapat
menyebabkan kematian. (14)

16
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit caisson/penyakit BENDS/penyakit dekompresi adalah suatu


penyakit atau kelainan yang disebabkan oleh pelepasan dan pengembangan
gelembung-gelembung gas dari fase larut dalam darah/jaringan akibat penurunan
tekanan sekitar. Berdasarkan berat ringannya gejala penyakit ini diklasifikasikan
menjadi penyakit dekompresi tipe I (pain only bends) dan penyakit dekompresi tipe
II (serious decompression sickness). Penyakit dekompresi tipe l manifestasinya
adalah nyeri sendi, sendi bengkak kemerahan, dan gatal. Sedangkan, penyakit
dekompresi tjpe II manifestasinya yaitu berupa gangguan SSP, gangguan telinga
dalam, serta dapat memberikan gejala gangguan jantung-paru.

Patogenesis dari penyakit ini diawali dengan meningkatnya tekanan parsial


nitrogen ketika penyelam turun ke kedalam laut yang menyebabkan nitrogen yang
awalnya tidak larut dalam darah dan jaringan, berubah menjadi larut. Apabila
penyelam naik ke permukaan secara cepat, gelembung gas yang berada dalam
jaringan dan darah tidak dapat keluar dengan cepat dan teratur sehingga
meninggalkan gelembung gas dalam darah dan jaringan, karena tidak cukup waktu
bagi paru-paru untuk mengeluarkan gas tersebut.

Tatalaksana utama dari penyakit ini ialah melakukan rekompresi dan


oksigenasi. Rekompresi dilakukan dengan hyperbaric chamber. Pada daerah yang
tidak memiliki fasilitas ini, dapat dilakukan tatalaksana di tempat kejadian yaitu in-
water recompression (IWR) dengan menurunkan pasien ke kedalaman 9 meter
dibawah permukaan air kemudian memberikan oksigen 100%. Pencegahan utama
dari penyakit ini ialah penyelam hendaknya ketika hendak naik ke permukaan air
menyesuaikan kecepatannya dengan tifak melebihi 2 meter per menit dan dengan
cara zigzag atau spiral.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Lee Y Il, Ye BJ. Underwater and Hyperbaric Medicine as a Branch of


Occupational and Environmental Medicine. Ann Occup Environ Med.
2013;25(1):1–9.

2. Pollock NW, Buteau D. Updates in Decompression Illness. Emerg Med


Clin North Am. 2017 May;35(2):301–19.

3. Kot J, Sićko Z, Michałkiewicz M, Lizak E, Góralczyk P. Recompression


treatment for decompression illness: 5-year report (2003-2007) from
National Centre for Hyperbaric Medicine in Poland. Int Marit Health.
2008;59(1–4):69–80.

4. Duke HI, Hadisaputro S, Chasani S, Anies A, Munasik M. Beberapa Faktor


yang Berpengaruh terhadap Kejadian Penyakit Dekompresi pada Penyelam
Tradisional (Studi Kasus di Karimunjawa). J Epidemiol Kesehat
Komunitas. 2016;1(1):9–14.

5. Livingstone DM, Smith KA, Lange B. Scuba diving and otology: a


systematic review with recommendations on diagnosis, treatment and post-
operative care. Diving Hyperb Med. 2017 Jun;47(2):97–109.

6. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Bahan Ajar Penyakit


Dekompresi. 2016;1.

7. Phatak UA, David EJ, Kulkarni PM. Decompression syndrome (Caisson


disease) in an Indian diver. Ann Indian Acad Neurol. 2010 Sep;13(3):202.

8. Linggayani NMA, Ramadhian MR. Penyakit Caisson pada Penyelam.


Agromed Unilla. 2017;4.

9. Dunford R. Decompression sickness and arterial gas embolism. Emerg Care


Q. 2022 Mar;4(3):39–45.

10. Siewiera J, Szałañski P, Tomaszewski D, Kot J. High-altitude

18
decompression sickness treated with hyperbaric therapy and extracorporeal
oxygenation. Aerosp Med Hum Perform. 2020 Feb;91(2):106–9.

11. Blatteau JE1, Jean F, Pontier JM, Blanche E, Bompar JM, Meaudre E EJ.
Decompression sickness accident management in remote areas. Use of
immediate in-water recompression therapy. Review and elaboration of a
new protocol targeted for a mission at Clipperton atoll. Ann Fr Anesth
Reanim. 2006;874–83.

12. Moon RE SP. Guidelines for treatment of decompression illness. Aviat Sp


Env Med. 2019;68:234–243.

13. Scott D. Fell D. The Bends: Prevention, Symptoms & Treatment.


eMedicinehealth. 2022.

14. HCooper JS, Hanson KC. Decompression Sickness. [Updated 2022 Jun 21].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022
Jan

19

Anda mungkin juga menyukai