Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

“GANGGUAN KESEHATAN PENYAKIT DEKOMPRESI DAN


DYSBARIC OSTEONECROSIS”

Mata Kuliah Kesehatan Matra Laut

Dosen Pembimbing : Soni Hendra Sitindaon, S. Kep, Ns, M. Kep

Disusun Oleh:
Kelompok 2
1. Nilam (162212069)
3. Sri Laras Puspitha (142011040)
5. Yolanda Putri Jotama (142011034)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH TANJUNGPINANG
T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat-Nya


sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Gangguan
Kesehatan Penyakit Dekompresi”. Penyusunan makalah ini merupakan salah satu
tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas Mata Kuliah Kesehatan Matra Laut
di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hang Tuah Tanjungpinang.

Dalam penyusunan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan


baik pada teknis penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
penulis harapkan, demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini, khususnya kepada :

1. Soni Hendra Sitindaon, S. Kep, Ns, M. Kep selaku Dosen Pembimbing Mata
Kuliah Kesehatan Matra Laut di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hang Tuah
Tanjungpinang
2. Rekan-rekan S1 Reguler dan Non reguler.
3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
para pembaca pada umumnya dalam memajukan pendidikan. Semoga Allah SWT selalu
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita, amin.

Tanjungpinang, 31 Agustus 2022

Penulis,

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi i


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB 1..................................................................................................................................1

PENDAHULUAN..............................................................................................................1

A. Latar Belakang..........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah....................................................................................................2

C. Tujuan.......................................................................................................................2

BAB II.................................................................................................................................3

PEMBAHASAAN..............................................................................................................3

A. Penyakit Dekompresi.............................................................................................3

1. Pengertian Penyakit Dekompresi..........................................................................3

2. Patogenesis............................................................................................................3

3. Gambaran Klinis...................................................................................................6

4. Pengobatan..........................................................................................................10

5. Pencegahan.........................................................................................................14

B. Dysbaric Osteonecrosis........................................................................................15

1. Pengertian Dysbaric osteonecrosis.....................................................................15

2. Etiologi................................................................................................................16

3. Patofisiologi........................................................................................................17

4. Gambaran Klinis.................................................................................................18

5. Pemeriksaan Radiologis......................................................................................18

6. Pencegahan.........................................................................................................20

7. Terapi..................................................................................................................22

BAB III.............................................................................................................................23

PENUTUP........................................................................................................................23

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi ii


A. Kesimpulan.............................................................................................................23

B. Saran.......................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................24

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi iii


BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit dekompresi merupakan suatu kondisi dimana gejala yang
ditimbulkan dpat mengakibatkan penurunan tekanan udara dibawah air laut pada
saat aktivitas menyelam dilakukan. Penyakit dekompresi terjadi akibat
peningkatan tekanan yang cukup besar dibawah air laut. Penyakit dekompresi
adalah cedera yang menjadi pehatian bagi penyelam scuba, pekerja udara,
terkompresi, astronot, penerbang dan personel lainnya yag terpapar pada
lingkungan hiperbarik atau hopobarik. (Howle, et al, 2017)

Penyakit ini disebabakan oleh pelepasan gelembung-gelembung gas dalam


darah atau jaringan tubuh akibat penurunan tekanan dibawah air laut yang dapat
berlangsung cepat ( mede, N dalam Embuai, Y 2020). Penyakit dekompresi
(decompression sickness) atau juga biasa disebut caisson disease merupakan suatu
penyakit yang disebabkan oleh pembentukan dan peningkatan ukuran gelombang
Ketika tekanan persial gas inert dalam darah dan jaringan melebihi tekanan
ambient (Lee an Ye, 2013 dalam Wijaya, 2018) pembentukan gelembung udara
akan menyumbat aliran darah serta sistem saraf sehinngga akan menimbulkan
gejala seperti rsa sakit di persendian, sakit kepala, gatal-gatal, mati rasa,
kelumpuhan ( paralysis ) bahkan dapat menyebabkan kematian ( Wijaya, 2018 )

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.504


pulau dan 2/3 diataranya adalah wilayah laut. Laut merupakan sumber daya alam
yang digunakan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Kemajuan ilmu dan
teknologi memungkinkan pekerjaan dilaut dan dibawah air berkembang secara
cepat, terutama dalam era pembangunan untuk menggali kekeayaan sumber daya
alam dilaut ( Depkes RI, 2009 dalam novaria,2018). Secara geografis Indonesia
membentang dari 6 LU sampai 11 LS dan 92 sampai 142 BT, terdiri darii pulau-
pulau besar dan kecil yang jumlahnya kurang lebih 17.504 pulau.

Tiga perempat wilahnya adalah laut ( 5,9 juta km ) dengan Panjang garis
pantai 95.161 km, terpanjang kedua setelah kanada 80 persen dari Kawasan ini
adalah laut. Luas wilayah perairan Indonesia kurang lebih 5,8 juta kilometer
ppersegi dan jumlah nelayan diindonesia hingga tahun 2009 tercatat 2.752.490

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 1


orang. Dari jumlah nelayan tersebut 90% nya merupakan nelayan kecil
( retnowati,2011 dalam rahmadayanti 2017 ).

Diindonesia penyakit dekompresi sering dialami oleh nelayan penyelam


dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan data dari sub direktur
jenderal surveilans epidemiologi,imunisasi dan Kesehatan matra hingga tahun
2008 dari 1026 nelayan penyelam diindonesia ditemukan 93,9% penyelam
pernah menderita gejala awal akibat penyelaman diantaranya 29,8 % menderita
nyeri sendi. Berdasarkan laporan divers alert network dan tingkat kejadian
penyakit dekompresi (DCS) dalam penyelaman komersial dilaporkan sebesar 35,3
per 10.000 penyelaman (pollock dan buteau,2017 dalam Wijaya, 2018) selain itu,
diamerika serikat insiden kejadian caisson disease untuk tipe II ( berat ) sebesar
2,28 kasus per 10.000 penyelam. Sedangkan untuk tipe 1 ( ringan ) tidak
diketahui jumlah kasus nya dikarenakan banyak penyelam yang tidak mencari
pengobatan (Duke et al, 2017.)

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian penyakit Dekompresi?
2. Apa gambaran-gambaran klinis penyakit dekompresi?
3. Apa pengobatan dan pencegahan penyakit klinis dekompresi?
4. Apa pengertian Disbaric Osteonecrosis?
5. Apa gejala-gelaja terjadinya Disbaric Osteonecrosis?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian penyakit Dekompresi


2. Untuk mengetahui gambaran-gambaran klinis penyakit dekompresi
3. Untuk mengetahui pengobatan dan pencegahan penyakit klinis dekompresi
4. Untuk mengetahui pengertian Disbaric Osteonecrosis
5. Untuk mengetahui gejala-gelaja terjadinya Disbaric Osteonecrosis
1.

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 2


BAB II

PEMBAHASAAN

A. Penyakit Dekompresi

1. Pengertian Penyakit Dekompresi

Penyakit dekompresi adalah suatu penyakit atau kelainan kelainan yang


disebabkan oleh pelepasan dan mengembangnya gelembung - gelembung gas
dari fase larut dalam darah atau jaringan akibat penurunan tekanan di
sekitarnya
Gejala - gejala yang ditimbulkan bisa berupa rasa nyeri seluruh tubuh,
kelelahan , nyeri periartikuler , gejala neurologis , gejala gangguan pernafasan
maupun gangguan jantung setelah menyelam Ini berhubungan dengan
kecepatan lepasnya gas nitrogen dari fase larut menjadi tidak larut dalam
bentuk gelembung gas (bubbles) waktu proses dekompresi berlangsung

2. Patogenesis

Otopsi pada manusia dan binatang dalam kasus - kasus penyakit


dekompresi yang berat , menunjukkan adanya gelembung gelembung gas
dalam pembuluh darah dan jaringan ekstravaskuler Timbulnya gelembung -
gelembung gas tadi berhubungan dengan timbulnya peristiwa supersaturasi
gas dalam darah ataupun jaringan tubuh pada waktu proses penurunan
tekanan di sekitar tubuh ( dekompresi )
Kondisi supersaturasi gas dalam darah dan jaringan sampai suatu batas
tertentu masih bisa ditoleransi , dalam arti masih mernberi kesempatan gas
untuk berdifusi keluar dari jaringan dan larut dalam darah , kemudian ke
alveoli paru dan diekshalasi keluar tubuh Setelah melewati suatu batas kritis
tertentu ( supersaturation critique ) , kondisi supersaturasi akan menyebabkan
gas lepas lebih cepat dari jaringan atau darah dalam bentuk tidak larut , yaitu
berupa gelembung gas Gelembung - gelembung gas ada yang terbentuk
( intraseluler ) . dalam darah ( intravaskuler ) , jaringan ( ekstravaskuler ) dan
dalam sel ( intraseluler )

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 3


Setelah suatu penyelaman mungkin dapat dideteksi dengan doppler
detector adanya gelembung - gelembung gas dalam darah , walaupun tidak
ada gejala penyakit dekompresi ( silent bubbles ) . Dengan adanya fenomena
seperti di atas , maka pengertian batas kritis supersaturasi gas yang berbahaya
untuk menimbulkan gejala penyakit dekompresi sebetulnya tidak lagi terletak
pada kapan mulai timbul gelembung gas nitrogen ( teori Haldane ) ,
melainkan pada kapan gelembung gas nitrogen tersebut membesar volume
dan jumlahnya. Ada korelasi antara jumlah gelembung gas yang terbentuk
dengan kemungkinan timbulnya atau berat ringannya penyakit dekompresi.
Gelembung gas ekstravaskuler menimbulkan distorsi jaringan dan
kemungkinan kerusakan sel - sel di sekitamya Ini bisa mengakibatkan gejala
- gejala neurologis maupun gejala nyen periartikuler. Terbentuknya
gelembung gas ekstravaskuler secara teoritis karena aliran darah vena di
jaringan tersebut yang relat lambat sehingga menghambat kecepatan
eliminasi gas dan jaringan.
Gelembung - gelembung gas intravaskuler akan menimbulkan 2 akibat ,
yaitu:
1) Akibat langsung atau akibat mekanis sumbatan menimbulkan iskemia
atau kerusakan jaringan sampai infark jaringan
2) Akibat tidak langsung atau akibat sekunder dari adanya gelembung
gas dalam darah ( dikenal dengan secondary blood bubble interface
reactions ) bertanggung jawab atas terjadinya fenomena hipoksia
seluler pada penyakit dekompresi
Ada 2 macam gelembung gas intravaskuler , yaitu:
a. Gelembung yang stationer
b. Gelembung yang ikut sirkulasi
Gelembung gas intravaskuler yang stationer selain menimbulkan efek
sumbatan juga menimbulkan gangguan lewat proses biokimia dan bisa
menimbulkan gejala nyeri periartikuler maupun gejala gejala neurologis
perifer Gelembung gas intravaskuler yang ikut sirkulasi bila tidak banyak
jumlahnya , akan difiltrasi lewat paru ( silent bubbles ) Bila jumlahnya
banyak akan menimbulkan :
1) Sumbatan - sumbatan pada sirkulasi pulmoner
2) Masuk ke dalam sistem arterial lewat shunts di paru

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 4


Sumbatan pada sirkulasi pulmoner bisa berakibat
a. Gangguan pernafasan ( chokes )
b. Gangguan fungsi jantung kanan
c. Gangguan sirkulasi sistem vena akibat efek retrograd
Gelembung gas yang masuk ke sistem arterial akan menimbulkan
gangguan perfusi mikrovaskuler organ-organ, yang selanjutnya
mengakibatkan terjadinya iskemia lokal , kerusakan jaringan dan infark .
Kelainan ini bisa memberi gejala neurologis , kardiovaskuler dan
nyeri .Gelembung gas intravaskuler menimbulkan agregasi trombosit pada
permukaan antara gelembung gas dan plasma , yang diikuti serangkaian
proses reaksi biokimia yang komplek berupa pelepasan zat - zat seperti
katekolamin , SMAF ( Smooth Muscle Activating Factor ) , ACTH dan
faktor - faktor humoral lain . Faktor stres akibat dekompresi diperkirakan
juga berperan dalam reaksi yang menimbulkan berbagai perubahan yang
terjadi pada penyakit dekompresi
Perubahan perubahan yang diakibatkan oleh rangkaian proses biokimia
yang terjadi pada penyakit dekompresi adalah
1) Terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler dengan akibat
a. Hemokonsentrasi dan hipovolemia
b. Oedema paru
2) Stasis pada kapiler - kapiler karena adanya hemokonsentrasi
3) Hiperkoagubilitas dalam darah
4) Gangguan difusi gas - gas dalam alveoli

Semua perubahan di atas pada dasamya akan menjurus pada


timbulnya hipoksia seluler pada penyakit dekompresi . Jaringan tubuh
manusia sangat heterogen dihubungkan dengan masalah kemampuan
menyerap atau melepaskan gas nitrogeni , ada jaringan yang cepat dan ada
yang lambat dalam mencapai saturasi ( kejenuhan ) nitrogen , tergantung
pada faktor – factor:

1) Kecepatan aliran darah ke jaringan


2) Daya larut nitrogen dalam jaringan

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 5


Darah adalah cairan tubuh yang tercepat menerima dan
melepaskan nitrogen. Darah menerimanitrogen dari paru dan mencapai
kejenuhan nitrogen dalam waktu beberapa menit. Otak termasuk jaringan
yang cepat karena mempunyai banyak suplai darah. Tulang rawan pada
permukaan sendi mempunyai suplai darah yang kurang, sehingga
memerlukan waktu yang lebih lama (sampai beberapa jam) untuk
mencapai kejenuhan nitrogen. Nitrogen mempunyai daya larut yang baik
dalam jaringan lemak, sehingga jaringan lemak melarutkan nitrogen lebih
banyak daripada jaringan-jaringan lainnya.

Konsep jaringan cepat dan lambat penting untuk memahami


bentuk-bentuk klinis penyakit dekompresi yang mungkin timbul .
Penyelaman singkat dan dalam akan menghasilkan pembebanan nitrogen
yang tinggi pada jaringan - jaringan cepat , tetapi tidak cukup waktu untuk
pembebanan tinggi pada jaringan - jaringan lambat . Dekompresi yang
inadekuat memungkinkan pembentukan gelembung nitrogen di dalam
darah yang bisa mengakibatkan gangguan pernafasan ( chokes ) atau
gejala neurologis

Penyelaman yang relatif dangkal tapi lama akan memberikan


pembebanan nitrogen yang kurang lebih sama antara jaringan cepat dan
jaringan yang lebih lambat . Perbedaan tekanan yang tidak terlampau
besar antara kedalaman dan permukaan menyebabkan darah lebih mampu
mentolerir kelebihan nitrogen tersebut , karena darah sebagai jaringan
cepat bisa mengeliminasi nitrogen lebih cepat lewat alveoli paru
sedangkan jaringan lambat tidak bisa Penyelaman seperti ini cenderung
menimbulkan nyeri pada persendian ( bends ) , karena sendi adalah
jaringan lambat dan tidak dapat melepas nitrogen dengan cepat lewat
darah

3. Gambaran Klinis

Penyakit dekompresi umumnya disebabkan oleh dekompresi yang salah


atau inadekuat . Bisa muncul dalam bentuk akut atau kronis
Bentuk akut:
1) Kelainan neurologis ( 68 % )

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 6


2) Kelainan osteoartikuler / bends ( 29 % )
3) Kelainan bentuk lain seperti gangguan pernafasan / chokes , gangguan
koroner dsb (3 %)
Bentuk kronis (delayed manifestation) berupa dysbaric Bentuk
osteonecrosis ( aseptic osteonecrosis ). Selain pembagian di atas ,penyakit
dekompresi dapat dibagi menjadi 2 tipe berdasarkan gejala - gejala klinisnya ,
yaitu :
1) Tipe I
Disebut juga pain only bends karena gejala utamanya adalah
nyeri , terutama di daerah persendian dan otot - otot di sekitarnya .
Bisa timbul mendadak atau berangsur - angsur . Nyeri periartikuler ini
mulanya hanya berupa rasa kaku atau tidak enak yang sukar
dilukiskan. Gerakan - gerakan anggota tubuh mungkin dapat
meringankan sakitnya pada fase permulaan , namun pada jam jam
berikutnya akan berdenyut- denyut . Rasa sakit sering bertambah
setelah 24 jam tanpa terapi, biasanya akan reda dalam waktu 3-7 hari
dan berubah jadi rasa nyeri tumpul Bisa tampak hiperemi dan
pembengkakan di sekitar sendi yang bisa dikelirukan dengan radang
sendi Yang paling sering terkena adalah sendi bahu ( 1/3 dan kasus -
kasus bends ) Sendi lain yang juga bisa terserang adalah sendi siku ,
pergelangan tangan , sendi paha , sendi lutut dan pergelangan kaki .
Bisa terserang 2 sendi atau lebih tetapi jarang simetris
Tipe I dapat memberikan gejala - gejala lain seperti:
a. Kelelahan yang berlebihan setelah menyelam
b. Mengantuk atau pusing ringan
c. Gatal - gatal pada kulit ( skin bends )
2) Tipe II
Tipe ini adalah penyakit dekompresi yang serius , dimana yang
terserang sistem saraf pusat atau sistem kardiopulmoner . Gejala -
gejala klinis dapat berupa:
a. Gejala - gejala neurologis
Berbagai bagian dari susunan saraf dapat terserang
Umumnya gejala - gejala ini merupakan manifestasi yang

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 7


berat dari penyakit dekompresi Gejala neurologis tergantung
pada bagian mana yang terserang
 Lesi pada otak
Biasanya karena emboli arterial atau timbul
gelembung gas langsung dalam jaringan otak . Efeknya
sama dengan gejala stroke , tergantung pada pembuluh
darah mana yang mengalarni sumbatan , contoh:
a) Penglihatan kabur
b) Titik - titik buta
c) Hemiplegia / hemiparesis
d) Apaksia motorik / sensorik
e) Confusion , kehilangan kesadaran dan atau
konvulsi Resiko kematian besar bilamana tidak
mendapat pengobatan segera dan tepat .
 Lesi pada serebelum
Lesi di sini memberi gejala penyelam jalannya
terhuyung - huyung ( staggering ) . Bisa juga terjadi
kesulitan bicara atau tremor
 Lesi pada medulla spinalis
Yang sering terserang adalah daerah lumbal .
Gangguan bisa berupa gangguan sensorik dan atau
motorik yang menyerang bagian bawah tubuh dan
kedua ekstremitas inferior . Segera setelah tiba di
permukaan mungkin gejala pertama adalah transient
back pain yang menjalar ke perut , ada rasa parestesi
dan hipestesi pada tungkai , selanjutnya tungkai jadi
lemah dan terlihat ataksia . Akhirnya terjadi paralisa di
bawah pinggang Gejala lain bisa berupa gangguan
buang air kecil , nyeri di kolumna vertebralis dan
gangguan buang air besar . Timbulnya penyakit
dekompresi bentuk ini karena lambatnya aliran dalam
vena - vena epidural Makin lambat aliran vena makin
menghambat eliminasi gas nitrogen dari jaringan

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 8


medulla . Konsekuensinya , seandainya terjadi stasis
dalam vena - vena tersebut oleh gelembung -
gelembung gas atau bekuan darah , vena vena bisa
berdilatasi dan menekan jaringan sumsum tulang atau
bahkan terjadi pembentukan gelembung nitrogen
langsung dalam jaringan sumsum tulang
 Lesi pada organ vestibuler
Gejala - gejala klinis bisa berupa vertigo , tinitus ,
gangguan pendengaran atau staggering . Bisa terjadi
juga mual atau muntah .
b. Gejala - gejala dari paru dan jantung
Sumbatan gelembung - gelembung gas dalam jumlah besar
pada sirkulasi pulmoner akan memberikan gejala gangguan
pernafasan berupa sesak nafas , batuk - batuk non produktif
dan nyeri dada . Ini dikenal dengan istilah chokes ( hanya 2 %
dari penyakit dekompresi tipe II ).
Sumbatan pada sirkulasi pulmoner bisa menimbulkan
gejala payah jantung kanan . Gejala iskemia otot jantung bisa
timbul bilamana ada emboli arterial yang masuk pembuluh
darah koroner.
c. Gejala - gejala gastrointestinal
Usus dapat dirusak oleh gelembung - gelembung gas atau
pembuluh darah sehingga dalam dinding usus menyebabkan
rasa mual , kehilangan nafsu makan , muntah , kejang usus
dan diare . Kasus yang lebih berat dapat menimbulkan muntah
darah atau berak darah.
d. Bends shock
Syok karena penyakit dekompresi jarang terjadi .
Mekanisme terjadinya syok pada penyakit dekompresi belum
jelas . Faktor - faktor yang berperanan antara lain :
 Kehilangan plasma volume
 Kegagalan jantung kanan akut
 Decompensatio cordis

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 9


 Hilangnya tonus vasomotor perifer karena lesi di
medulla spinalis
 Skin bends
Diagnosis penyakit dekompresi banyak ditegakkan lewat
evaluasi riwayat penyelaman sebelumnya dan dihubungkan
dengan gejala gejala klinis yang timbul
Menurut data US Navy Diving Manual 1996 , waktu
timbulnya gejala ( onset ) setelah sampai di permukaan
adalah:
 42 % kasus dalam 1 jam
 60 % kasus dalam 3 jam
 83 % kasus dalam 8 jam
 98 % kasus dalam 24 jam
Bila dihitung dari waktu timbul setelah 48 jam , maka
umumnya tidak akan didiagnosis sebagai penyakit dekompresi
dulu. Pemeriksaan laboratorium pada darah bisa dijumpai
perubahan
a) Hemokonsentrasi
b) Hiperkoagulasi
c) Penggerombolan eritrosit ( rouleaux )
d) Penurunan jumlah trombosit
e) Lekositosis
Perubahan - perubahan di atas merupakan akibat tidak
langsung dari adanya gelembung - gelembung gas dalam
darah

4. Pengobatan

Tujuan pengobatan penyakit dekompresi adalah melawan efek hipoksia


pada jaringan . Pengobatan terdiri dari 3 tindakan gabungan yang saling
melengkapi , yaitu :
1) Oksigenasi ( hiperbarik atau normobarik )
Oksigenasi mempunyai keuntungan :
a. Melawan hipoksia jaringan

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 10


b. Mengurangi tekanan nitrogen yang terlarut dalam plasma atau
jaringan ( mempercepat larutnya kembali gelembung
gelembung gas nitrogen )
2) Rekompresi
Rekompresi merupakan tindakan darurat dan harus dilakukan
secepatnya . Tujuan pengobatan dengan rekompresi adalah :
a. Memperkecil ukuran gelembung gas
b. Melarutkan kembali gelembung - gelembung gas nitrogen ke
dalam darah atau jaringan
Menggabungkan oksigenasi dan rekompresi ( terapi oksigen
keuntungan - keuntungan dari masing - masing terapi . Oksigen
hiperbarik ) adalah paling baik karena menggabungkan tekanan tinggi
bisa berdifusi ke dalam jaringan tanpa lewat darah sehingga langsung
dapat memerangi gelembung gas . Dapat dipilih tabel 5 atau tabel 6
US Navy . Tabel 5 dipakai gejala menghilang seluruhnya dalam
waktu 10 menit.
Tabel 6 dipakai untuk mengobati penyakit dekompresi dengan
gejala lebih serius namun tidak memburuk dan tak memerlukan
rekompresi lebih dalam
Kadang - kadang bisa dipakai terapi darurat oksigenasi dan
rekompresi dalam air dengan kedalaman 9 meter . Teknik ini
mungkin dapat digunakan pada tempat penyelaman yang jauh dari
fasilitas pengobatan hiperbarik . Oksigen 100 % diberikan dari
permukaan ke kedalaman 9 meter lewat full face mask kepada
penderita selama 30 sampai 120 menit . Kecepatan naik ke
permukaan 1 meter / 12 menit . Proses naik ( ascent ) boleh
dihentikan bilamana perbaikan klinis kurang . Sesudah sampai ke
permukaan oksigen tetap diberikan secara intermiten.
3) Medikamentosa terhadap perubahan - perubahan biohumoral yang
terjadi pada penyakit dekompresi
Terapi oksigenasi hiperbarik saja kadang - kadang tidak memberi
hasil yang memuaskan . Dibutuhkan terapi tambahan dengan obat -
obatan untuk mendapatkan hasil yang lebih memuaskan . Tujuan
terapi medikamentosa terutama untuk menanggulangi perubahan -

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 11


perubahan sekunder atau kerusakan yang ditimbulkan akibat adanya
gelembung gas nitrogen dalam pembuluh darah dan jaringan -
jaringan tubuh
a. Cairan dan elektrolit
Tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti volume yang
hilang ,menormalkan kembali hemokonsentrasi, mencegah
stasis aliran darah dan memperbaiki perfusi jaringan . Bisa
digunakan normal saline , ringer laktat atau dextrose . Bila
rehidrasi tidak memuaskan bisa ditambah plasma atau
ekspander rendah Dextron dengan berat molekul rendah
( Dextran 40 atau Dextran 70 ).
b. Anti Platelet Agregation
Teoritis aspirin akan sangat berguna sebab aspirin
mencegah proses agregasi trombosit . Namun hendaknya
diingat , sekali terjadi proses agregasi trombosit secara
lengkap dan sudah menimbulkan sumbatan vaskuler , maka
aspirin tidak ada lagi gunanya . Oleh karena itu , agar aspirin
bisa bermanfaat harus diberikan segera setelah ada gejala yang
paling dini dari penyakit dekompresi . Tidak ada data data
eksperimental yang jelas tentang kegunaan aspirin sebagai
profilaksis seandainya diberikan sebelum proses dekompresi .
c. Steroid
Steroid tetap diberikan, khususnya pada penyakit
dekompresi yang serius menyerang otak dan medulla spinalis
karena mempunyai efek menstabilisir endotelium vaskuler dan
anti oedema . Dosis yang dianjurkan adalah 1 gram
hydrocortison succinate (i.v) secara bolus disertai 4 mg
dexamethason Dexamethason 21-phosphate (i.m).
Dexamethason 8 mg (i.m) tiap 6 jam selama 2-3 hari.
d. Gliserol
Untuk mengobati cerebral oedema , gliserol diberikan per
oral 0.8 ml / kgBB dalam bentuk larutan dalam air 50 % yang
diberi rasa ( flavour ) agar bisa diterima Gliserol dianggap
lebih superior dari obat - obat anti oedema yang lain . Efek

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 12


maksimal dicapai dalam waktu 1 jam dengan durasi efek
sampai 6 jam . Gliserol juga tidak menimbulkan peristiwa
rebound oedema Bisa diberikan oleh petugas non medis .
Kerugiannya hanya rasanya tidak enak , sehingga bisa
menimbulkan mual dan muntah . Ini bisa diatasi dengan
pemberian lewat nasogastric tube .
e. Anti konvulsi
Diazepam dianggap sebagai pilihan utama untuk konvulsi
karena kerusakan CNS . Diazepam bisa diberikan intra venous
10 mg / kali dibutuhkan . Diazepam juga berguna sebagai
sedatif untuk pasien - pasien yang gelisah sekali sehingga
membutuhkan sedasi selama trasportasi , dosis sedatif sama
dengan dosis anti konvulsi .
Respon terhadap terapi dapat bervariasi , dipengaruhi oleh
faktor faktor .
1) Berat ringannya proses patologis dan target organ yang
terkena Makin besar kesalahan prosedur dekompresi
makin besar pula volume gas yang dilepaskan dari
jaringan tubuh . Bends pada kaki tanpa kelainan
neurologis lain lebih mudah disembuhkan daripada
emboli gas arterial masif pada arteri cerebral .
2) Interval waktu antara mulai timbulnya gejala dan terapi
rekompresi . Makin lama interval makin merugikan untuk
penyembuhan sebab iskemia yang lama akan
menimbulkan lesi yang permanen .
3) Baik atau tidaknya perawatan selama transpor ke fasilitas
rekompresi
4) Ketepatan terapi rekompresi yang diberikan dan
perawatan intensif sesudahnya.
Khusus bagi perawatan selama transpor dianjurkan hal - hal
sebagai berikut
1) Tidak boleh menunda transportasi ke fasilitas rekompresi
terdekat, kecuali bila dibutuhkan tindakan - tindakan life
saving dulu dulu

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 13


2) Resusitasi kardiopulmoner bila dibutuhkan
3) Transpor dengan posisi penderita horisontal , pada pasien
tak sadar boleh miring ke sisi kiri / kanan untuk mencegah
aspirasi Pasien dijaga tetap hangat sambil memonitor
tanda vital
4) Pasien dijaga tetap hangan sambil memonitor tanda vital.
5) Inhalasi oksigen 100 % sampai mencapai fasilitas
rekompresi (dengan masker oksigen atau lewat
endotracheal tube)
6) Rehidrasi Bagi penderita sadar , rehidrasi peroral bisa
dilakukan ( minimal 1 liter untuk 1 jam pertama ) . Bagi
penderita dengan gejala serius pemberian cairan
intravenous lebih baik . Produksi urine hendaknya
dipertahankan 1-2 ml / kgBB / jam .
7) Bila ada gejala - gejala neurologis , beri steroid
(hydrocortison 1 mg i.v atau dexamethason 20-30 mg i.v)
8) Untuk anti agregasi trombosit dapat diberikan 0.1-5.0
gram aspirin peroral walaupun masih ada perdebatan
tentang kegunaannya
9) Kontak secepatnya dengan fasilitas rekompresi yang
dituju agar fasilitas tersebut siap menerima penderita
10) Pemilihan metode transportasi Bila jarak yang ditempuh
terlalu jauh untuk angkutan darat , terpaksa harus
menggunakan angkutan udara Helikopter sebaiknya
terbang tidak lebih tinggi dari 240-300 meter . Selama
terbang , inhalasi oksigen 100 % dan terapi cairan harus
tetap dipertahankan .

5. Pencegahan

Pencegahan terhadap penyakit dekompresi bisa dilakukan dengan


memahami tabel dan teknik dekompresi secara benar . Hal ini harus dipatuhi
dengan seksama . Ada kemungkinan 1-3 % untuk mengalami penyakit
dekompresi , walaupun tabel telah diikuti dengan seksama . Tabel tersebut
kurang dapat dipercaya bila penyelaman semakin lama dan semakin dalam .

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 14


Perlu pula diingat bahwa tabel itu pada dasarnya disusun secara empiris .
Pencegahan lain adalah menghindari faktor - faktor predisposisi:
1) Latihan berat selama atau sesudah menyelam
2) Menggigil selama atau sesudah menyelam
3) Kurang tidur
4) Minum alkohol
5) Kegemukan
6) Usia lebih dari 40 tahun
7) Dehidrasi
8) Udara yang dihirup banyak mengandung CO₂
9) Riwayat pernah bends
10) Riwayat cedera yang baru terjadi ( segala jenis )
Penyelam yang pemah mengalami penyakit dekompresi tidak boleh
menyelam lagi minimal 3-4 minggu , jangka waktu ini dapat diperpanjang ,
atau sama sekali tidak diijinkan lagi menyelam setelah kasus - kasus penyakit
dekompresi yang berat
Pada kegiatan selam yang berulang ( repetitive dive ) , harus diwaspadai
bahwa tabel dekompresi untuk ini mempunyai faktor Kesalahan membaca
atau kegagalan yang lebih besar . menginterpretasikan akan menambah
kefatalan . Kecepatan naik ke permukaan juga harus diperhatikan Kecepatan
naik yang diijinkan biasanya tidak lebih dari 20 meter / menit . Dalam
beberapa hal kecepatan naik 8-10 meter / menit lebih aman.

B. Dysbaric Osteonecrosis

1. Pengertian Dysbaric osteonecrosis

Nekrosis jaringan tulang dapat terjadi oleh banyak sebab Nekrosis


jaringan tulang yang disebabkan oleh lingkungan hiperbarik disebut dysbaric
osteonecrosis .Sebutan lain dari dysbaric osteonecrosis adalah Aseptic Bone
Necrosis , Avascular Necrosis of the Bone atau Caisson Disease of the Bone.
Pengetahuan tentang penyakit ini baru berkembang setelah masuknya ilmu
radiologi ke dalam dunia kedokteran . Bassoe ( 1911 ) melaporkan tentang
adanya nyeri dan kekakuan yang kronis pada sendi diantara para pekerja
caisson yang ditelitinya

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 15


Bornstein dan Plate ( 1912 ) melaporkan adanya kasus - kasus penyakit
pada persendian diantara pekerja caisson di Hamburg dan melakukan
pemeriksaan radiologis yang sistematis pada tulang tulang penderita penyakit
dekompresi . Insiden penyakit ini pada penyelam - penyelam sangat
bervariasi , berkisar 5-80 %. Sedangkan insiden nekrosis avaskuler tulang
yang bukan disebabkan oleh lingkungan hiperbarik dalam populasi umum
tidak diketahui . Bila terjadi secara idiopatik disebut Chandler's Disease.

2. Etiologi

Dysbaric osteonecrosis dianggap sebagai manifestasi lambat (delayed


manifestation) dari penyakit dekompresi. Ada hubungan Dysbaric
osteonecrosis dianggap sebagai manifestasi lambat yang pasti antara dysbaric
osteonecrosis dengan peristiwa dekompresi yang inadekuat atau penyakit
dekompresi . Namun mekanisme hubungan sebab akibat yang langsung
belum pernah bisa dibuktikan .
1) Teori emboli arterial
Gas, trombosit, lipid dan lainnya dapat menimbulkan infark
jaringan tulang . Teori emboli gas dikatakan telah dibuktikan pada
eksperimen dengan kelinci yang diberi injeksi gelembung gas intra
arterial . Dengan percobaan seperti itu dapat ditemukan lesi di kaput
femoris mirip seperti yang dijumpai pada manusia
2) Teori pelepasan inert gas
Pembentukan gelembung gas di daerah ujung - ujung tulang
panjang akan menimbulkan lesi nekrotik di daerah tersebut , karena
suplai darah yang relatif kurang . Teori ini tidak bisa menjelaskan
penyebab lesi yang timbul di daerah shaft tulang yang memiliki suplai
darah relatif lebih banyak daripada ujung lang ujung tulang .
Pelepasan gas inert bisa terjadi juga di daerah medulla tulang ,
karena sirkulasi di daerah sumsum tulang dikatakan cukup lambat
sehingga gas inert tidak bisa dikuras dengan cepat . Hal ini bisa
menimbulkan nyeri akibat dari obstruksi aliran vena oleh gelembung
gas dan bisa menimbulkan distorsi jaringan . Gelembung gas juga
bisa timbul di bawah periosteum tulang.
3) Teori oxygen toxicity

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 16


Ada 2 mekanisme dalam teori ini . Pertama , reaksi vasospasme
akibat pengaruh oksigen tekanan tinggi dan kedua perubahan jaringan
kolagen yang akan mengganggu sirkulasi dan nutrisi ke dalam
jaringan tulang .
4) Teori pengaruh osmose
Teori ini mengatakan pada waktu kompresi terjadi kenaikan
tekananı parsial gas - gas dalam ruang intravaskuler . Air akan
berosmose ke ruang intravaskular dan pergerakan air semacam itu
dalam struktur jaringan tulang akan menimbulkan iskemia lokal pada
tulang
Karena mekanisme hubungan sebab akibat yang jelas masih sulit
diterangkan , maka sampai sekarang masih perlu diteliti lebih lanjut
tentang apa sebenarnya penyebab dysbaric osteonecrosis , bagaimana
patogenesisnya yang pasti , apa yang menentukan lokasi terjadinya
lesi,faktor faktor apa yang menyebabkan suatu lesi akan berkembang
progresif dan lain lain yang belum jelas.

3. Patofisiologi

Infark pada jaringan tulang akan diikuti kematian dari osteosit osteosit dan
autolysis sumsum tulang dalam waktu 2-3 minggu . Revaskularisasi akan
timbul dari daerah tulang yang masih hidup , membentuk jaringan granulasi
vaskuler yang memasuki daerah yang infark .
Trabekulae tulang yang nekrotik di daerah infark akan diperkuat oleh
jaringan baru tadi , sehingga tulang masih bisa bertahan terhadap beban
( tidak terjadi kolaps trabekulae ) . Sampai dengan fase ini mungkin belum
ada gejala - gejala klinis . Tapi bila proses osifikasi dan revaskularisasi
terhambat oleh suatu sebab , trabekulae tulang yang nekrotik tidak akan bisa
diperkuat dan mudah kolaps dengan pembebanan . Pada fase ini gejala klinis
mungkin akan timbul.
Lesi yang lokasinya dekat tulang rawan permukaan sendi akan
menyebabkan penipisan permukaan sendi dan bila stres beban terus berlanjut
dapat timbul fisura pada permukaan sendi tadi. Nekrosis bisa menyebabkan
terlepasnya permukaan sendi yang progresif dari dasarnya . Proses ini mirip

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 17


kolaps segmental pada nekrosis iskemik fase lanjut yang terjadi pada kolum
femoris . Klinis juga bisa timbul degenerative osteoarthritis pada sendi yang
terkena.

4. Gambaran Klinis

Nekrosis tulang pada penyelam atau pekerja caisson mulanya asimtomatik


dan hanya bisa dideteksi secara radiologis Khas timbulnya pada tulang -
tulang panjang seperti humerus , femur dan tibia . Kelainan ini bisa terjadi
tanpa riwayat penyakit dekompresi sebelumnya atau akibat berada di
lingkungan hiperbarik sekali saja. Ada 2 tempat utama lesi ini :
1) Lesi juxta articular ( lesi di dekat permukaan sendi )
Lesi ini biasanya menimbulkan gejala - gejala klinis nyeri pada
sendi , kekakuan sendi dan limitasi gerakan sendi sebagai akibat dari
fraktur dan kolapsnya trabekulae pada daerah penahan sendi .
Berikutnya dapat terjadi degenerative osteoarthritis dan beban atau
adanya sekuesterasi pada sebagian dari kaput menimbulkan cacat .
Umumnya yang terkena adalah sendi - sendi besar yang menahan
tekanan beban secara tetap , yaitu sering pada sendi femur , humerus
dan genu . Lesi sering bilateral sehingga cacat yang timbul bisa berat .
Khususnya pada sendi femur bila disertai kolaps dari kedua kaput
sendi. Bila hanya permukaan sendi humerus yang terkena , fungsi
sendi masih bisa bertahan walaupun gerakan jadi terbatas ( gangguan
abduksi lemah ) dan nyeri . Perbandingan insiden lesi antara sendi
femur dengan sendi humerus 2 : 3. Lamanya proses penyakit dari
gejala radiologis sampai terjadinya lesi klinis pada permukaan sendi
sukar dipastikan , bisa beberapa bulan sampai bertahun - tahun .
2) Lesi di daerah kaput , kolum dan shaft
Lesi di daerah ini biasanya asimtomatik dan praktis tidak pernah
menimbulkan cacat . Paling sering terjadi pada shaft dari femur atau
humerus . Bisa terjadi pertumbuhan jaringan tulang baru pada lesi
ini . Juga dikatakan jarang terjadi fraktur patologis karena lesi ini .

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 18


5. Pemeriksaan Radiologis

Kelainan radiologis yang bisa ditemukan pada lesi juxta articular :


1) Daerah - daerah padat dengan korteks yang masih intak ( biasanya
pada kaput humeri )
2) Spherical opacities
3) Linear opacities ( biasanya pada kaput humeri )
4) Pola tekstur tulang yang rusak tampak sebagai subcortical bands yang
translusen ( khususnya pada kaput femoris dan humerus ) dan sering
pula ditemui gambaran articular cortex yang kolaps dengan
sekuesterasi .
5) Degenerative arthritis sekunder dengan pembentukan osteofit ,
biasanya tidak ada penyempitan joint space kecuali pada fase lanjut
nantinya .
Kelainan radiologis pada lesi di kaput , kolum dan shaft :
a) Daerah - daerah padat yang biasanya multipel dan bilateral sering di
kolum dan proksimal shaft femoris atau humerus
b) Daerah - daerah kalsifikasi yang ireguler di medulla . Biasanya sering
di bagian distal femur , proksimal tibia dan proksimal humerus serta
dijumpai bilateral .
c) Daerah - daerah atau kista - kista translusen pada kaput dan kolum
humerus serta femur , lebih jelas dengan tomografi.
d) Penebalan korteks
Pemeriksaan radiologis membutuhkan teknik - teknik khusus dan
Interpretasi yang berpengalaman Observasi perubahan - perubahan pada
struktur trabekulae yang halus dengan pemeriksaan radiologis berkualitas
tinggi sangat penting untuk diagnosis dini . Berikut hal - hal yang perlu
diperhatikan dalam teknis radiologis
1) Harus memberi gambaran yang jelas dari struktur trabekulae tulang -
tulang
2) Jaringan reproduksi ( gonad ) pada penyelam muda harus dilindungi dari
radiasi dengan pelindung timah
3) Proyeksi yang harus dibuat

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 19


a) Anteroposterior projection pada setiap sendi humerus . Ukuran film
30x25 cm . Harus bisa memberikan gambaran yang jelas dari space
dan acromion , tidak boleh overlap dengan kaput humeri
b) Anteroposterior projection pada setiap sendi femur . Ukuran film
30x25 cm . Harus diperhatikan tepi dari femur tapi tidak boleh
menutupinya .
c) Anteroposterior dan lateral projection pada setiap sendi genu Ukuran
film 18x43 cm . Gambar harus mencakup 1/3 distal fernur , 1/3
proksimal tibia dan fibula .

6. Pencegahan

Diagnosis dini sangat penting Dianjurkan pemeriksaan rutin yang harus


dijalani oleh para penyelam:
1) Pemeriksaan radiologis tulang - tulang panjang 2 kali setahun Yang
pertama kali dilakukan sebelum menjadi penyelam .
2) Harus diadakan penelitian radiologis pada setiap keluhan arthralgia
ringan atau bursitis
3) Pemeriksaan radiologis tulang - tulang panjang segera setelah terjadi
penyakit dekompresi dan 4 bulan kemudian .
Bila dijumpai lesi di daerah shaft biasanya tidak dibutuhkan terapi .
Masalahnya , apakah penderita boleh meneruskan aktivitas selamanya ?
Tidak ada bukti yang jelas bahwa seseorang dengan gambaran x - ray lesi di
daerah shaft akan menderita kerusakanı jaringan tulang lebih lanjut bila
meneruskan aktivitas selamnya . Tapi penderita harus diberi tahu tentang
akibat atau kemungkinan bila terus bekerja dalam lingkungan hiperbarik
sehingga ia ikut bertanggung jawab dan ikut aktif mengambil keputusan
dalam masalah kesehatan dan pekerjaan demi masa depannya.
Ada pendapat yang masih mengijinkan bagi penderita seperti ini untuk
meneruskan aktivitas selam dengan udara , tetapi tidak boleh diikutkan dalam
selam eksperimental . Lebih tegas lagi pada Royal Australian Navy , grup
penderita ini hanya diijinkan selam tanpa dekompresi dengan maksimum
kedalaman 20 meter dan kecepatan naik ke permukaan lebih lambat .
Dekompresi bertahap selam eksperimental atau selam dengan helium harus
dihindari . Bila dijumpai lesi juxta articular yang memberikan gejala klinis ,

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 20


segala kegiatan dengan lingkungan hiperbarik harus dihentikan dan penderita
harus bisa menerima nasehat berhenti menyelam atau bekerja dalam
lingkungan hiperbarik
Pada kasus lesi osteonekrosis juxta articular yang masih belum
memberikan gejala klinis , seharusnya juga disarankan pada penderita untuk
menghidari selam atau lingkungan hiperbarik lebih lanjut . Saran ini
diberikan dengan mengingat lesi juxta articular di femur atau humerus
mempunyai kemungkinan akan menimbulkan gejala klinis suatu saat
kemudian .
Kalau terkena bilateral , penderita bisa cacat total dan tidak mungkin
bekerja lagi . Namun ada yang masih mengijinkan pekerja caisson kelompok
ini bekerja pada tekanan kurang dari 18 Psig , karena pada tekanan tersebut
resiko terjadinya dysbaric osteonecrosis dianggap nihil . Untuk penyelam
harus dibatasi menyelam dengan oksigen 100 % saja , karena dianggap resiko
kerusakan jaringan tulang pada penyelaman tersebut adalah kecil.
Ada pendapat lain yang tidak membedakan lagi lesi juxta articular
simtomatik dan asimtomatik . Bila ada lesi juxta articular maka segala
kegiatan dalam lingkungan hiperbarik harus dihentikan . Penderita juga harus
menghindari kerja berat atau aktivitas olahraga yang menimbulkan stres yang
berlebihan pada persendian.
Pendapat lain , bila fasilitas radiologis memungkinkan dianjurkan
dilakukan pemeriksaan scientigrafi tulang pada semua proyeksi radiologis
yang mungkin diinterpretasikan sebagai dysbaric osteonecrosis . Bila
hasilnya positif sebagai dysbaric osteonecrosis , kegiatan selam harus
dihentikan dulu selama 6 bulan . Setelah 6 bulan dievaluasi lagi untuk
menentukan apakah kegiatan selam boleh diteruskan atau dihentikan untuk
seterusnya.
Bila gejala klinis ada namun pemeriksaan radiologis normal , harus
diusahakan teknik radiologis khusus misalnya tomografi / xeroradiografi /
venografi / radioactive scanning . Cara - cara tersebut mungkin bisa
menunjukkan adanya lesi osteonekrosis yang tak tampak pada pemeriksaan
radiologis biasa . Apapun teknik yang dipakai , tujuan utama di sini adalah
harus bisa memberi jawaban definitif bagi penderita , apakah menderita
osteonekrosis karena dysbarism atau tidak.

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 21


Salah satu aspek yang harus diingat dari osteonekrosis adalah tidak
mungkin meramalkan dari 1 film tunggal , apakah suatu lesi itu akan
berkembang jadi lebih berat atau tetap saja nantinya . Tidak ada korelasi yang
baik kemungkinan perkembangan klinisnya

7. Terapi

Lesi di daerah shaft biasanya tidak menimbulkan gejala klinis atau cacat
dan tidak membutuhkan terapi .Terapi aseptic bone necrosis di daerah juxta
articular dalam arti mengembalikan ( restorasi ) fungsi persendian belum
memuaskan
Prinsip umum terapi konservatif terhadap sendi yang akan rusak adalah
mengurangi beban semaksimal mungkin pada sendi yang menanggung berat
dengan maksud memberikar kesempatan pada jaringan tulang yang rusak
agar kembali normal . Idealnya hal ini harus dilaksanakan sebelum terjadi
kerusakan di daerah permukaan sendi atau sebelum terjadi onset gejala nyeri
dan limitasi pergerakan . Kesulitannya adalah tidak dapat antara gambaran
radiologis dan menentukan lesi juxta articular mana yang akan berkembang
menjadi kerusakan sendi yang lebih berat . Sedangkan pengurangan beban
pada sendi akan berarti mengharuskan penyelam tirah baring lama sampai
beberapa bulan . Maka secara umum dikatakan bahwa terapi konservatif
tidak memuaskan .
Terapi terhadap lesi juxta articular yang lebih berat dimana permukaan
sendi sudah terkoyak atau sudah ada gangguan fungsi yang berat dari sendi
adalah dengan tindakan chirurgis. Terapi chirurgis antara lain :
1) Memasukkan autogenous bone graft melalui lubang yang dibuat
melewati jaringan tulang yang hidup sampai ke daerah jaringan tulang
yang mati , untuk membuat jalur vaskularisasi . Segala stres beban
harus dihindari benar - benar paling tidak untuk 12 bulan sesudah
pembedahan
2) Membuang semua jaringan tulang yang nekrotik di bawah tulang
rawan sendi dan mengisi kembali rongga yang ditimbulkan dengan
cancellous bone chips
3) Osteotomi untuk merubah garis beban pada tulang

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 22


4) Terapi chirurgis yang paling baik untuk rehabilitasi terhadap
kerusakan permukaan sendi yang berat adalah arthrodese atau
arthroplasty . Arthroplasty sangat berguna untuk rehabilitasi lesi
bilateral dari kaput femoris

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 23


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyakit dekompresi adalah suatu penyakit atau kelainan kelainan yang


disebabkan oleh pelepasan dan mengembangnya gelembung - gelembung gas dari
fase larut dalam darah atau jaringan akibat penurunan tekanan di sekitarnya.
Gejala -gejala yang ditimbulkan bisa berupa rasa nyeri seluruh tubuh, kelelahan ,
nyeri periartikuler , gejala neurologis , gejala gangguan pernafasan maupun
gangguan jantung setelah menyelam Ini berhubungan dengan kecepatan lepasnya
gas nitrogen dari fase larut menjadi tidak larut dalam bentuk gelembung gas
(bubbles) waktu proses dekompresi berlangsung

Dysbaric osteonecrosis dianggap sebagai manifestasi lambat (delayed


manifestation) dari penyakit dekompresi. Ada hubungan Dysbaric osteonecrosis
dianggap sebagai manifestasi lambat yang pasti antara dysbaric osteonecrosis
dengan peristiwa dekompresi yang inadekuat atau penyakit dekompresi . Namun
mekanisme hubungan sebab akibat yang langsung belum pernah bisa dibuktikan

B. Saran
Pembaca sebaiknya tidak hanya membaca dari materi makalah ini saja
karena masih banyak referensi yang lebih lengkap yang membahas
materi dari makalah ini. Oleh karena itu, pembaca sebaiknya membaca dari
referensi dan literatur lain untuk menambah wawasan yang lebih luas tentang
materi ini.

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 24


DAFTAR PUSTAKA

Mahdi, Hariyanto dkk. 2018. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik.
Surabaya: Rumeksa Jala Putra Lakesla Diskesal
Daftar pustaka yang didapat referensi dari buku tersebut yaitu:

1. Bennett P. B & Elliott D. H. The Physiology and Medicine of Diving and


Compressed Air Work . Bailliere Tindall , London . Second edition , 1975 .
2. Bihlmann A. A. Decompression Sickness Springer Verlag . Berlin , 1984 .
3. Davus C. Workshop Conclusion in Treatment of Serious Decompression Sickness
and Arterial Gas Embolism Workshop . UMS , Inc. Bethesda . Maryland , 1979 .
4. Djonhar D. Terapi Obat - Obatan pada Penyakit Dekompresi . Kumpulan
Makalah pada Kongres Nasional | PKHI dan Pertemuan Ilmiah ke - 5 Kesehatan
Udara Bertekanan Tinggi . Surabaya , 1983 .
5. Edmonds C , Lowry C and Pennefather J. Diving and Subaquatic Medicine .
Diving Medicine Centre Publication . Mosman , NSW , 1976 .
6. Flynn E. T , Catron P. W and Bayne C.G. Diving Medical Officer , Naval
Technical Training Command . Panama City , Florida , 1981 .
7. Fructus X. Treatment of Serious Decompression Sickness and Arterial Gas
Embolism Workshop . UMS , Inc. Bethesda . Maryland , 1979 .
8. Kindwall E. P. Adjunctive Treatment Methods in Treatment of Serious
Decompression Sickness and Arterial Gas Embolism Workshop . UMS , Inc.
Bethesda , Maryland , 1979
9. Sasongko . Penyakit Dekompresi . Kumpulan Makalah Kongres PKHI II , Kursus
Sehari dan Seminar Kesehatan Hiperbarik . Jakarta , 1987 . 10. US Navy Diving
Manual . Volume 1. Air diving . Navy Departement . Washington DC , 1978 .

Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 25


Gangguan Kesehatan Penyakit Dekompresi 26

Anda mungkin juga menyukai