0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
52 tayangan34 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang latar belakang perkembangan ilmu kesehatan bawah air dan hiperbarik di Indonesia, rumusan masalah penelitian tentang penyakit akibat kerja karena pajanan hiperbarik dan penyelaman, serta tinjauan pustaka tentang peraturan kesehatan matra dan faktor risiko kesehatan.
Dokumen tersebut membahas tentang latar belakang perkembangan ilmu kesehatan bawah air dan hiperbarik di Indonesia, rumusan masalah penelitian tentang penyakit akibat kerja karena pajanan hiperbarik dan penyelaman, serta tinjauan pustaka tentang peraturan kesehatan matra dan faktor risiko kesehatan.
Dokumen tersebut membahas tentang latar belakang perkembangan ilmu kesehatan bawah air dan hiperbarik di Indonesia, rumusan masalah penelitian tentang penyakit akibat kerja karena pajanan hiperbarik dan penyelaman, serta tinjauan pustaka tentang peraturan kesehatan matra dan faktor risiko kesehatan.
Sejak zaman portugis di Indonesia telah mulai dilakukan penyelaman mutiara oleh penyelam-penyelam alam. Kemudian pada zaman perang kemerdekaan sebelum perang dunia II, telah dilakukan kegiatan penyelaman, kapal selam dan lain- lain di Indonesia. Selanjutnya pada zaman kemerdekaan setelah penyerahan kedaulatan, Kesehatan Bawah Air mulai maju pesat. Dalam upaya bangsa Indonesia mewujudukan tujuan nasional yang meliputi aspek keamanan dan aspek kesejahteraan, telah dilaksanakan rangkaian pembangunan nasional yang terencana, bertahap, dan terpadu. Pelaksanaan pembangunan nasional bagi suatu negara kepulauan terdiri atas 13.677 pulau besar dan kecil, dimana 2/3 wilayahnya adalah laut mengharuskan pula tersedianya tenaga kerja matra laut. Tenaga kerja matra laut di masa kini dan mendatang harus dapat mengawaki lapangan pekerjaan di laut yang makin bertambah luas dan besar. Apalagi telah diumumkan berlakunya ketentuan zona ekonomi eksklusif 200 mil oleh pemerintah dimana bangsa Indonesia berdaulat atas sumber-sumber kekayaan alam yang terdapat di wilayah tersebut. Di lain pihak, kepentingan bangsa Indonesia di laut nusantara adalah pemanfaatan laut nusantara sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan keamanan bangsa Indonesia. Pemanfaatan ini telah terlihat dengan laju pembangunan ekonomi dewasa ini yang memungkinkan berkembangnya dengan pesat kegiatan eksplorasi kekayaan laut, termasuk penambangan kekayaan alam di dasar laut dan pemanfaatan teknologi bawah air. Teknologi bawah air atau kemampuan kerja di bawah air yang merupakan salah satu teknologi matra laut, belum banyak berkembang. Kalau hal ini dikaitkan dengan penambangan atau pemasangan pipa dan kabel di lepas pantai di dasar laut dalam lebih lagi di landas kontinen atau di laut ZEE dengan kedalaman lebih dari 100 meter, maka diperlukan adalah teknologi penyelaman dalam. Saat ini dukungan teknologi bawah air dan teknologi laut dalam masih didominasi pihak asing, karena penguasaan pengetahuan dan ketrampilan bangsa Indonesia dalam bidang ini masih kurang. Mengingat laut sangat vital bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia, maka teknologi laut dalam ini perlu dikembangkan bangsa Indonesia. Pengembangsan teknologi laut dalam harus dibarengi dengan pengembangan ilmu kesehatan bawah air. Pengembangan ilmu ini mencakup bagaimana penyiapan tenaga kerja matra laut yang mengawaki lapangan pekerjaan di laut dan fasilitas yang akan digunakan untuk bekerja di bawah permukaan air. Selanjutnya harus dikembangkan fasilitas untuk penanggulangan keadaan darurat yang sewaktu-waktu dapat menimpa tenaga kerja matra laut. Pengembangan ilmu kesehatan bawah air atau kesehatan udara bertekanan tinggi sangat erat hubungannya dengan tenaga kerja matra laut, khususnya dengan pekerja-pekerja bawah air baik para penyelam maupun awak kapal selam. Dengan kata lain, kesehatan udara bertekanan tinggi digunakan pada pengobatan penyakit akibat bekerja di bawah air atau tekanan tinggi. Tenaga kerja matra laut yang mengawaki lapangan pekerjaan di laut sangat berkepentingan dengan teknologi bawah air atau teknologi laut dalam. Semuanya adalah demi pemanfaatan laut nusantara baik untuk aspek kesejahteraan maupun keamanan dalam rangka mewujudkan tujuan nasional bangsa Indonesia. Depkes RI dan TNI AL mengadakan kesepakatan untuk penataran dan pelatihan serta penanggulangan kecelakaan akibat tenggelam dan penyelaman yang sasaran subjeknya adalah tenaga medis dan paramedis puskesmas di wilayah pesisir. Kerjasama ini telah memberikan bekal ketrampilan kepada tenaga medis dan paramedis untuk dapat menangani korban akibat tenggelam dan penyelaman sedini mungkin secara cermat dan tepat, dimana untuk pusat rujukan terakhir penderita dengan kondisi paska kecelakaan penyelaman adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas RUBT. TNI AL sendiri telah mengirimkan perwira kesehatannya untuk menempuh studi ilmu kesehatan hiperbarik pada jenjang paska sarjana bahkan doktoral dalam rangka mengantisipasi perkembangan ilmu kesehatan hiperbarik ke depan dengan mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. TNI AL juga mempunyai sarana RUBT di beberapa fasilitas kesehatan yang berguna untuk megobati penderita, baik akibat kecelakaan penyelaman maupun penyakit klinis lain yang bisa dibantu penyembuhannya dengan RUBT Teknologi dalam bidang ilmu kedokteran semakin dituntut kemajuannya. Karena kesehatan adalah “harta” terbesar bagi setiap individu.Untuk itu berbagai macam penelitian lebih lanjut dilakukan guna memajukan tingkat kesehatan makhluk hidup, khususnya manusia.Selain obat-obatan kimia, perkembangan pada peralatan medis juga diperlukan untuk kemajuan pada ilmu kedokteran.Bidang engineering juga mengambil bagian penting dalam upaya pengembangan peralatan medis untuk menyembuhkan penyakit.Salah satu peralatan medis yang dapat dikembangkan dari sisi engineeringnya adalah ruang udara bertekanan tinggi atau yang sering disebut ruangan hiperbarik (Hyperbaric Chamber).Ruangan hiperbarik digunakan untuk tempat dilakukannya terapi oksigen hiperbarik atau disebut Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT).Terapi oksigen hiperbarik ini merupakan penggunaan oksigen pada tingkat tekanan yang lebih tinggi.Rata-rata tekanan terapi oksigen hiperbarik dilakukan mencapai tekanan 3 ATA. Terapi oksigen hiperbarik bisa menjadi terapi perawatan utama maupun perawatan alternatif untuk menyembukan berbagai macam penyakit, baik penyakit yang bersifat serius maupun pernyakit ringan yang dapat disembuhkan dengan lebih cepat.Penggunaan terapi ini sangat bervariasi pada tekanannya.Hingga saat ini telah banyak penelitian yang dilakukan terhadap metode perawatan ini dalam bidang medis. Terapi oksigen hiperbarik bertujuan untuk meningkatkan jumlah molekul oksigen yang masuk ke dalam tubuh melaui pernafasan maupun pori-pori atau jaringan luar tubuh.Dengan meningkatnya oksigen yang dihirup, maka jumlah oksigen yang terlarut di dalam darah semakin meningkat.Oksigen diangkut oleh darah ke seluruh sel-sel dan jaringan-jaringan tubuh. Banyak fungsi-fungsi sel dan jaringan tubuh yang bergantung pada oksigen, sehingga meningkatkan kemampuan sel-sel dan jaringan-jaringan tubuh untuk membelah atau beregenerasi, membunuh kuman penyakit, dan masih banyak lagi..Indikasi-indikasi pada terapi oksigen hiperbarik dibahas pada landasan teori. Ruangan hiperbarik adalah ruangan tempat dimana dilakutan terapi oksigen hiperbarik.Ruangan ini dibangun untuk menahan kenaikan tekanan internal ketika udara ataupun oksigen dikompresikan langsung ke dalam ruangan hiperbarik hingga mencapai tekanan tertentu di atas tekanan atmosfir normal pada durasi waktu tertentu.Biasanya ruangan hiperbarik berbentuk silindris, bulat, ataupun persegi panjang.Di dalam ruangan ini, pasien menghirup oksigen murni (O2 100%) yang bertekanan selama menjalani terapi. Biasanya terapi oksigen hiperbarik diberikan pada 2,4 hingga 2,8 ATA dalam durasi 60 hingga 90 menit. Ada dua tipe utama ruangan hiperbarik: ruangan hiperbarik monoplace dan ruangan hiperbarik multiplace. Ruangan hiperbarik monoplace adalah ruangan terapi hanya untuk satu orang, sedangkan ruangan hiperbarik multiplace adalah ruangan terapi untuk dua orang atau lebih.Namun sebenarnya banyak sekali jenis terapi hiperbarik yang disebabkan karena variasi penggunaannya sangat banyak. Di samping sebagai pengobatan utama untuk penyakit akibat penyelaman, saat ini hiperbarik juga telah digunakan di Indonesia sebagai pengoabtan tambahan dan pengobatan pilihan lain dalam terapi untuk membantu penyembuhan berbagai penyakit klinis seperti penyembuhan luka infeksi, luka bakar, membantu penyembuhan komplikasi diabetes melitus, serta untuk kesehatan dan kebugaran, terutama untuk pasien lanjut usia. Namun pada tanggal 14 Maret 2016 terjadi kecelakaan dimana terjadi kebakaran pada ruang udara bertekanan tinggi di RSAL Mintoharjo Jakarta. Peristiwa tersebut terjadi pada saat terapi oksigen hiperbarik sedang berlangsung sehingga 4 orang yang sedang berada di dalamnya pun meninggal dunia. Akibat kejadian tersebut, berbagai pihak mendesak Kementerian Kesehatan dan pemerintah untuk melakukan investigasi terhadap kejadian tersebut. Disamping itu juga perlu melakukan pembenahan dan menegakkan ketentuan dalam Undang-undang nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan KUHP, serta merevisi Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 120 Tahun 2008 tentang standar pelayanan medik hiperbarik.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah penyakit akibat kerja karena pajanan hiperbarik dan penyakit lain akibat penyelaman? 2. Bagaimana talaksana penyakit akibat kerja karena pajanan hiperbarik dan penyakit lain akibat penyelaman BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Permenkes RI No 61 Tahun 2013 Tentang Kesehatan Matra
Kesehatan Kelautan dan Bawah Air adalah kesehatan matra yang berhubungan dengan pekerjaan atau kegiatan di laut dan berhubungan dengan keadaan lingkungan yang bertekanan tinggi (hiperbarik). Kesehatan Matra adalah upaya kesehatan dalam bentuk khusus yang diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan fisik dan mental guna menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang serba berubah secara bermakna, baik di lingkungan darat, laut, maupun udara.
Matra adalah dimensi lingkungan/wahana/media tempat seseorang atau
sekelompok orang melangsungkan hidup serta melaksanakan kegiatan. Faktor Risiko Kesehatan adalah probabilitas atau kemungkinan semua variabel/faktor yang berperan dalam proses kejadian timbulnya penyakit dan/atau gangguan kesehatan. Risiko Kesehatan adalah potensi kerugian yang ditimbulkan oleh kondisi matra pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu, dapat berupa kematian, kesakitan, kecatatan, jiwa yang terancam, hilangnya rasa aman, dan pengungsian. Jenis Kesehatan Matra meliputi: a. Kesehatan Lapangan; b. Kesehatan Kelautan dan Bawah Air; dan c. Kesehatan Kedirgantaraan. Kesehatan Kelautan dan Bawah Air terdiri atas: a. kesehatan penyelaman; b. kesehatan pelayaran dan lepas pantai; dan c. kesehatan dalam tugas operasi dan latihan militer di laut. Lingkup penyelenggaraan Kesehatan Matra meliputi : a. pengurangan potensi Risiko Kesehatan; b. peningkatan kemampuan adaptasi; dan c. pengendalian Risiko Kesehatan. Pengurangan potensi Risiko Kesehatan merupakan upaya yang dilakukan terhadap semua variabel atau faktor untuk mencegah dan mengurangi Risiko Kesehatan. Peningkatan kemampuan adaptasi merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri dengan Kondisi Matra agar tidak menimbulkan Risiko Kesehatan. Pengendalian Risiko Kesehatan merupakan upaya yang dilakukan untuk menurunkan dan menghilangkan variabel atau faktor dalam rangka mencegah terjadinya penyakit, kecacatan, dan/atau gangguan kesehatan serta melakukan pengobatan. Penyelenggaraan Kesehatan Matra dilakukan dengan memenuhi standar dan persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Kesehatan penyelaman merupakan Kesehatan Matra yang dilakukan terhadap masyarakat yang melakukan aktivitas di lingkungan bertekanan lebih dari satu atmosfer absolut, yang diselenggarakan pada saat: a. persiapan sebelum kegiatan dilaksanakan; b. kegiatan operasional penyelaman; dan c. setelah kegiatan operasional sampai dengan 24 jam. Kegiatan pada saat persiapan sebelum kegiatan dilaksanakan meliputi: a. kesiapan bagi peselam; b. kesiapan bagi pemberi kerja dan/atau penyelenggara kegiatan; dan c. kesiapan bagi pelayanan kesehatan. Kesiapan bagi peselam paling sedikit terdiri atas: a. kesehatan fisik dan mental; b. pemahaman situasi dan kondisi lingkungan penyelaman; c. keterampilan dan kemampuan antisipasi perubahan situasi di lingkungan penyelaman; d. perbekalan dan peralatan keselamatan penyelaman; dan e. pemahaman dampak penyelaman bagi kesehatan. Kesiapan bagi pemberi kerja dan/atau penyelenggara kegiatan paling sedikit terdiri atas: a. penyuluhan kesehatan dan keselamatan; b. penyediaan peralatan keselamatan; c. petugas pengawas dan pendamping; d. sistem rujukan kesehatan; e. jejaring keselamatan dan kesehatan; f. komunikasi dan informasi; dan g. penyediaan sarana pelayanan kesehatan.
Kesiapan bagi pelayanan kesehatan paling sedikit terdiri atas:
a. penyuluhan kesehatan; b. pemetaan lokasi dan persebaran peselam; c. pendataan demografis peselam; d. pemeriksaan kesehatan peselam; e. penyediaan pelayanan kesehatan penyelaman dan ruang hiperbarik; f. pelatihan kesehatan menghadapi situasi kerja di laut dan bawah air; g. kesiapan jejaring pelayanan kesehatan dan sistem rujukan; h. perencanaan kontinjensi kedaruratan kesehatan kelautan dan bawah air; i. simulasi kedaruratan kesehatan. Kegiatan operasional penyelaman paling sedikit terdiri atas: a. penyuluhan kesehatan; b. pemeriksaan kesehatan; c. penemuan kasus; d. pelayanan kesehatan primer; dan e. Surveilans Kesehatan. Kegiatan pada saat setelah kegiatan operasional sampai dengan 24 jam paling sedikit terdiri atas: a. penemuan kasus; b. pelayanan kesehatan primer; c. Surveilans Kesehatan; dan d. pemulihan kesehatan. Dalam hal terjadi kedaruratan medik dan/atau kejiwaan pada kegiatan kesehatan dapat dilakukan: a. pelayanan kegawatdaruratan dan rujukan; dan/atau b. pelayanan kesehatan jiwa. 2.2. Perundang-undangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perundang-undangan K3 ialah salah satu alat kerja yang penting bagi para Ahli K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) guna menerapkan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) di tempat kerja. Kumpulan perundang-undangan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) Republik Indonesia tersebut antara lain : 2.2.1. Undang-Undang yang Mengatur Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Undang-undang adalah ketentuan dan peraturan negara yang dibuat pemerintah (menteri, badan eksekutif, dan sebagainya), disahkan oleh parlemen (dewan perwakilan rakyat, badan legislatif, dan sebagainya), ditandatanganin oleh kepala negara (presiden, pemerintah, raja) dan mempunyai kekuatan mengikat. Undang-undang yang mengatur tentang keselamatan dan kesehatan kerja di negara Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Undang-undang uap tahun 1930 (stoom ordonantie). 2. Undang-undang no 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja. 3. Undang-undang republik Indonesia no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. 2.2.2. Peraturan Pemerintah Terkait Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja 1. Peraturan uap tahun 1930 (stoom verordening). 2. Peraturan pemerintah no 7 tahun 1973 tentang pengawasan atas peredaran, penyimpanan pestisida. 3. Peraturan pemerintah no 19 tahun 1973 tentang pengaturan dan pengawasan keselamatan kerja dibidang pertambangan. 2.2.3. Peraturan menteri terkait tentang keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut : 1. Permenakertrans RI no 1 tahun 1976 tentang kewajiban latihan hiperkes bagi dokter perusahaan. 2. Permenakertrans RI no 3 tahun 1978 tentang penunjukan dan wewenang serta kewajiban pegawai pengawas keselamatan dan kesehatan kerja dan ahli dalam keselematan kerja. 3. Permenakertrans RI no 1 tahun 1980 tentang keselamatan kerja pada kontruksi bangunan. 4. Permenakertrans RI no 2 tahun 1980 tentang pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dalam penyelenggaraan keselamatan kerja. 5. Permenakertrans RI no 4 tahun 1980 tentang sarat-sarat pemasangan dan pemeliharaan alat-alat pemadam api ringan. 6. Permenakertrans RI no 1 tahun 1981 tentang kewajiban melapor penyakit akibat kerja. 7. Permenakertrans RI no 1 tahun 1982 tentang bejana tekan. 8. Permenakertrans RI no 2 tahun 1982 tentang kualifikasi juru las. 9. Permenakertrans RI no 3 tahun 1982 tentang pelayanan kesehatan tenaga kerja. 10. Permenakertrans RI no 2 tahun 1983 tentang intalasi alarm kebakaran otomatis kebakaran otomatis. 11. Permenakertrans RI no 4 tahun 1985 tentang pesawat tenaga dan produksi. 12. Permenakertrans RI no 5 tahun 1985 tentang pesawat angkat dan angkut. 13. Permenakertrans RI no 4 tahun 1987 tentang panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja serta tata cara penunjukan ahli keselamatan kerja. 14. Permenakertrans RI no 1 tahun 1989 tentang kualifikasi dan sarat-sarat operator keran angkat. 15. Permenakertrans RI no 2 tahun 1989 tentang instalasi-instalasi penyalur petir. 16. Permenakertrans RI no 2 tahun 1992 tentang tata cara penunjukan, kewajiban dan wewenang ahli keselamatan dan kesehatan kerja. 17. Permenakertrans RI no 4 tahun 1995 tentang jasa keselamatan dan kesehatan kerja. 18. Permenakertrans RI no 1996 tentang sistem manajemen keselamatan dan k`esehatan kerja. 19. Permenakertrans RI no 1 tahun 1998 tentang penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan bagi tenaga kerja dan manfaat lebih dari paket jaminan pemeliharan dasar jaminan sosial tenaga kerja. 20. Permenakertrans RI no 3 tahun 1998 tentang tata cara pelapor dan pemeriksaan kecelakaan. 21. Permenakertrans RI no 4 tahun 1998 tentang pengangkatan , pemberhentian dan tata kerja dokter penasehat. 22. Permenakertrans RI no 3 tahun 1999 tentang sarat-sarat keselamatan dan kesehatan kerja lift untuk pengangkutan orang dan barang. 2.2.4. Keputusan Menteri Terkait Keselamatan dan Kesehatan 1. Kepmenaker RI no 155 tahun 1984 tentang penyempurnaan keputusan menteri tenaga kerja dan transmigrasi no kep 125/MEN/82 tentang pembentukan, susunan dan tata kerja dewan keselamatan dan kesehatan kerja nasional. Dewan keselamatan dan kesehetan wilayah dan panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja. 2. Keputusan bersama menteri tenaga kerja dan menteri pekerjaan umum RI no 174 tahu 1986 no 104/KPTS/1986 tentang keselamatan dan kesehatan kerja pada tempat kerja kegiatan kontruksi. 3. Kepmenaker RI no 1135 tahun 1987 tentang bendera keselamatan dan kesehatan kerja. 4. Kepmenaker RI no 333 tahun 1989 tentang diagnosis dan pelapor penyakit akibat kerja. 5. Kepmenaker RI no 245 tahun 1990 tentang hari keselamatan dan kesehatan kerja nasional. 6. Kepmenaker RI no 51 tahun 1999 tentang nilai ambang batas faktor fisika di tempat kerja. 7. Kepmenaker RI no 186 tahun 1999 tentang unit penanggulangan kebakaran di tempat kerja. 8. Kepmenaker RI no 197 tahun 1999 tentang pengendalian bahan kimia berbahaya. 9. Kepmenaker RI no 75 tahun 2002 tentang pemberlakuan standar nasional indonesia (SNI) no SNI-04-0225-2000 mengenai persaratan umum instalasi listrik 2000(puil 2000)ditempat kerja. 10. Kepmenaker RI no 235 tahun 2003 tentang jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan keselamatan, kesehatan atau moral anak. 11. Kepmenaker RI no 68 tahun 2004 tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS ditempat kerja. 2.2.5. Surat edaran keputusan Dirjen pembinaan hubungan industrial dan pengawasan ketenaga kerjaan terkait keselamatan dan kesehatan kerja 1. Surat keputusan Dirjen pembinaan hubungan industrial dan pengawasan ketenaga kerjaan departemen tenaga kerja RI no 84 tahun 1998 tentang cara pengisian formulir laporan dan analisis statistik kecelakaan. 2. Surat keputusan Dirjen pembinaan hubungan industrial dan pengawasan ketenaga kerjaan no 407 tahun 1999 tentang persaratan , penunjukan, hak dan kewajiban teknisi lift. 3. Surat keputusan Dirjen pembinaan hubungan industrial dan pengawasan ketenaga kerjaan no 311 tahun 2002 tentang sertifikasi kompetensi keselamatan dan kesehatan kerja teknisi listrik. 2.3. Undang-undang No 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja “Tempat kerja” ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap di mana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan di mana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya Termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian yang dengan tempat kerja tersebut. “Pengurus” ialah orang yang mempunyai tugas pemimpin langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri. “Pengusaha” ialah : a. orang atau badan hukum yang menjalankan seseuatu usaha milik sendiri dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja; b. orang atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan sesuatu usaha bukan miliknya dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja; c. orang atau badan hukum yang di Indonesia mewakili orang atau badan hukum termaksud , jikalau yang diwakili berkedudukan di luar Indonesia. “Direktur” ialah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk melaksanakan Undangundang ini. “Pegawai Pengawas” ialah pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja. (7) “Ahli Keselamatan Kerja” ialah tenaga tehnis yang berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatinya Undangundang ini. Yang diatur oleh Undang-undang ini ialah keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Ketentuan-ketentuan tersebut berlaku dalam tempat kerja di mana : a) dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat perkakas, peralatan atau instalasi yang berbahaya atau dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan; b) dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau disimpan bahan atau barang yang : dapat meledak, mudah terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi; c) dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya termasuk bangunan perairan, saluran, atau terowongan di bawah tanah dan sebagainya atau di mana dilakukan pekerjaan persiapan;? d) dilakukan usaha pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan e) dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan emas, perak, logam atau bijih logam lainnya, batu-batuan, gas, minyak atau mineral lainnya, baik di permukaan atau di dalam bumi, maupun di dasar perairan; f) dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di daratan, melalui terowongan, di permukaan air, dalam air maupun di udara; g) dikerjakan bongkar-muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga, dok, stasiun atau gudang; h) dilakukan penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lain di dalam air; i) dilakukan pekerjaan dalam ketinggian di atas permukaan tanah atau perairan; j) dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau rendah; k) dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut atau terpelanting; l) dilakukan pekerjaan dalam tangki, sumur atau lobang; m) terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran; n) dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau timah; o) dilakukan pemancaran, penyiaran atau penerimaan radio, radar, televisi, atau telepon; p) dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset (penelitian) yang menggunakan alat tehnis; q) dibangkitkan, dirobah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau disalurkan listrik, gas, minyak atau air; r) diputar pilem, dipertunjukkan sandiwara atau diselenggarakan rekreasi lainnya yang memakai peralatan, instalasi listrik atau mekanik. Pengurus diwajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan padanya. Pengurus diwajibkan memeriksa semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya, secara berkala pada Dokter yang ditunjuk oleh Pengusaha dan dibenarkan oleh Direktur Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang : a. Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta apa yang dapat timbul dalam tempat kerjanya; b. Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam semua tempat kerjanya; c. Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan; d. Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya. Pengurus hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja yang bersangkutan setelah ia yakin bahwa tenaga kerja tersebut telah memahami syarat-syarat tersebut di atas. Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya, dalam pencegahan kecelakaan dan pemberantasan kebakaran serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja, pula dalam pemberian pertolongan pertama dalam kecelakaan. (2) Pengurus diwajibkan memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi usaha dan tempat kerja yang dijalankannya. Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk: a. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja; b. Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan; c. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan yang diwajibkan; d. Meminta pada Pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan yang diwajibkan; e. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggung- jawabkan. Pengurus diwajibkan : a. Secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, sehelai Undang-undang ini dan semua peraturan pelaksanaannya yang berlaku bagi tempat kerja yang bersangkutan, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca dan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli kesehatan kerja; b. Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua gambar keselamatan kerja yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja; c. Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja. 2.4. Perundang-undangan Tentang Kesehatan Hiperbarik Keputusan Menteri Kesehatan No 120/Menkes/SK/II/208 Tentang Standar Pelayanan Medik Hiperbarik Undang-undang No 36 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Undang-undang No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Permenkes No 61 Tahun 2013 Tentang Kesehatan Matra Permenkes No 2052/Menkes/Per/X/2011 Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran Permenkes No 1109/Menkes/Per/IX/2007 Tentang Penyelenggaran Pengobatan Komplementer Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan 2.6. Penyelenggaraan Pelayanan Medik Hiperbarik 2.6.1. Standar Sarana Pelayanan Medik Hiperbarik 2.6.1.1. Peralatan dan Sarana Agar dapat menyelenggarakan pelayanan medik hiperbarik yang prima, sarana pelayanan medik hiperbarik harus memiliki sarana,prasarana, dan peralatan yang aman, akurat, dan handal, serta memenuhi persyaratan desain di samping memiliki prosedur tetap penggunaan peralatan dengan memperhatikan keamanan dan melakukan kedali mutu a. Peralatan Agar Pelayanan hiperbarik dapat terselenggara dengan baik, maka diperlukan peralatan utama dan tambahan yang memadai dan memenuhi syarat di setiap ruangan sesuai dengan fungsinya. 1. Ruang udara bertekanan tinggi RUBT ruang tunggal, ruang ganda, pengangkut, testing dan latihan penyelam, dan small hyperbaric chamber. 2. Pemilihan tipe RUBT Sampai 1,5 ATA RUBT ruang Iskemi serebral tunggal dan ruang Iskemi kardiak ganda Iskemi periferal vaskuler Pengobatan tambahan untuk kebugaran, kedokteran olahraga, skin flaps, trauma akustik Sampai 2,5 ATA Non portable dan Gas gangren portable Luka bakar Crush injury pada ujung lengan/kaki Sampai 3 ATA Non portable dan Penanganan darurat portable pada penyakit dekompresi Sampai 6 ATA RUBT ruang Emboli udara ganda Dekompresi
3. Peralatan tambahan untuk RUBT
Masker oksigen, respirator dan ventilator, peralatan terapi (peralatan RJP, tabung endotrakeal, alat penghisap, peralatan infus), peralatan diagnostik (alat diagnostik kedokteran, alat monitor transkutan oksigen, EKG, EEG, alat ukur gas darah, alat monitor tekanan intrakranial), alat neurologi (oftalmoskop, dynamometer), alat latihan (treadmill), alat terapi (traksi servikal). 4. Persyaratan umum b. Sarana Sarana pelayanan medik hiperbarik adalah sarana pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan medik hiperbarik, baik milik pemerintah maupun milik swasta. c. Peralatan pelayanan medik hiperbarik sesuai tingkatan sarana pelayanan Sarana pelayanan medik hiperbarik di puskesmas, rumah sakit kelas D dan C, rumah sakit kelas B dan A, rumah sakit multifungsi, rumah sakit pusat rujukan pelayanan hiperbarik 2.6.1.2. Sumber Daya Manusia a. Kompetensi SDM pelayanan medik hiperbarik Sumber data manusia dalam pelayanan medik hiperbarik terdiri dari : 1. Dokter spesialis kelautan 2. Dokter spesialis dengan pendidikan hiperbarik 3. Dokter umum dengan pendidikan hiperbarik 4. Perawat dengan pendidikan hiperbarik 5. Teknisi medik dengan pendidikan hiperbarik 6. Penyelam medik b. Standar ketenagaan pelayanan medik hiperbarik Di puskesmas, rumah sakit kelas D dan C, rumah sakit kelas B dan A, rumah sakit multifungsi, rumah sakit pusat rujukan pelayanan hiperbarik 2.6.2. Standar penyelenggaraan pelayanan medik hiperbarik 2.6.2.1. Indikasi, kontraindikasi, komplikasi, dan efek samping. 2.6.2.2. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan terapi hiperbarik 2.6.2.3. Jenis dan prosedur Pelayanan Di puskesmas, rumah sakit kelas D dan C, rumah sakit kelas B dan A, rumah sakit multifungsi, rumah sakit pusat rujukan pelayanan hiperbarik HIPERBARIK 2.4.1 Pendahuluan Terapi oksigen hiperbarik di negara-negara maju telah berkembang dengan pesat.Terapi ini digunakan untuk menangani berbagai macam penyakit, baik penyakit akibat penyelaman maupun penyakit bukan penyelaman.Terapi oksigen hiperbarik adalah pemberian oksigen tekanan tinggi untuk pengobatan yang dilaksanakan dalam ruang udara bertekanan tinggi. Dasar-dasar terapi oksigen hiperbarik memiliki berbagai macam pengaruh seperti pengaruh oksigen hiperbarik terhadap mikroorganisme, pengaruh oksigen hiperbarik terhadap obat-obatan, pengaruh oksigen hiperbarik terhadap sel jaringan tubuh, dan pengaruh oksigen hiperbarik terhadap proses penyembuhan luka. Ruang udara bertekanan tinggi (RUBT), diperkenalkan sejak tahun 1662 oleh dr. Henshaw dari Inggris. RUBT merupakan tabung yang terbuat dari plat baja atau aluminium alloy. (LAKESLA, 2013).Di Indonesia, kesehatan hiperbarik telah mulai dikembangkan oleh kesehatan TNI AL dan terus berkembang sampai saat ini. Kesehatan TNI AL mempunyai ruang udara bertekanan tinggi di 4 lokasi, yaitu Tanjung Pinang, Jakarta, Surabaya, dan Ambon. Terapi oksigen hiperbarik pada beberapa penyakit dapat sebagai terapi utama maupun terapi tambahan. Namun tidak boleh dilupakan, meskipun banyak keuntungan yang dperoleh penderita, cara ini juga mengandung risiko. Sebab itu terapi oksigen hiperbarik harus dilaksanakan secara hati-hati sesuai prosedur yang telah ditetapkan, sehingga mencapai hasil yang maksimal dengan risiko yang minimal. 2.4.2 Definisi Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT) adalah suatu cara pengobatan dimana pasien masuk ke dalam suatu ruangan tertutup (chamber) yang disebut RUBT (Ruang Udara Bertekanan Tinggi ) kemudian diberi tekanan yang lebih besar dari tekanan udara normal yaitu lebih dari 1 atm (atmosfer) dan bernafas dengan oksigen murni (100%). Terapi ini dapat merupakan terapi utama atau terapi penunjang untuk berbagai pengobatan penyakit dan dapat dikombinasikan dengan terapi medis konvensional.
Gambar 2.4 Animal Chamber
Gambar 2.5 Multiplace Chamber
Gambar 2.6 Monoplace Chamber Di dalam RUBT ini diberikan oksigen 100%, dan diberikan tekanan 1,5-2,4 ATA. Total waktu terapi 60-120 menit. Waktu interval antara penghirupan oksigen bergantung kondisi pasien (biasanya 5 menit). Bentuk dan jenis RUBT antara lain 1. Large multi compartment chamber Dipakai dalam pengobatan Mampu diisi tekanan lebih dari 5 ATA Mampu menampung beberapa orang 2. Large multi compartment for treatmen Dipakai dalam pengobatan Mampu diisi tekanan 2-4 ATA Mampu menampung beberapa orang 3. Portable high pressure multi-man chamber Dapat dipindahkan Dipakai untuk pengobatan penyelaman Mampu menampung lebih dari 1 orang 4. Portable high or llow pressure one-man chamber Dapat dipindahkan Untuk peengobatan penyelaman Mampu menampung 1 orang
2.4.3 Persyaratan sebelum TOHB
1. Medik • Thorax foto • Tidak sedang flu dan demam • Pemeriksaan laboratorium bila ada penyakit tertentu (missal Diabetes Mellitus) 2. Sarapan pagi 3. Berpakaian berbahan katun dan disarankan agar bercelana panjang 4. Tidak membawa barang elektronika, barang yang mengandung alcohol, telepon genggam, remote control , minyak angin dan minyak wangi 5. Tidak menggunakan jam tangan, perhiasan lainnya, gigi palsu, lensa kontak .hearing aids 6. Melakukan Equalisasi, yaitu upaya untuk menyamakan tekanan telinga bagian tengah dan bagian luar. Hal ini perlu dilakukan pada saat anda masuk dalam hyperbaric Chamber.
2.4.4 Efek Oksigen Hiperbarik
Efek terapi oksigen hiperbarik terhadap mikroorganisme adalah merusak jasad renik tanpa merugikan host. Oleh karena itu prinsipnya untuk mencapai tingkat tekanan parsial oksigen dalam jaringan yang dapat merusak jasad renik, bukan malah membantu pertumbuhannya, tanpa adanya efek negatif terhadap tuan rumah. Sebagai zat antimikroba, oksigen tidak bersifat selektif, nampaknya oksigen menghambat bakteri gram positif maupun gram negatif dengan kekuatan yang sama. Jadi dengan demikian oksigen dapat dianggap obat antimikroba yang berspektrum luas.Terhadap kuman anaerob oksigen hiperbarik bersifat bakterisid sedangkan terhadap kuman aerob bersifat bakteriostatik.Infeksi anaerob seperti clostridium penyebab gas gangrene, clostridium tetani, non-spore forming anaerobes, flora usus, dan flora mulut.Sedangkan untuk infeksi aerob seperti mycobacterium leprae, mycobacterium tuberculosis, mycobacterium ulserans, pneumococcus, dan staphylococcus. Tujuan dari terapi oksigen hiperbarik terhadap sel jaringan tubuh adalah mempunyai efek yang baik terhadap aliran darah dan kelangsungan hidup jaringan yang iskemik.Penggunaan oksigen hiperbarik dalam klinik meningkat dengan cepat dimana perbaikan jaringan yang hipoksia dan pengurangan pembengkakan merupakan faktor utama dalam mekanismenya.Namun sampai saat ini pembenaran pemakaian oksigen hiperbarik untuk memperbaiki kelangsungan hidup jaringan didasarkan pada pengamatan klinis belaka, meskipun begitu diadakan penyempurnaan-penyempurnaan dalam metode penelitian untuk dapat menentukan dengan tepat pengaruh oksigen hiperbarik terhadap kelangsungan hidup jaringan. Dasar-dasar terapi oksigen hiperbarik secara umum adalah sebagai berikut: • pemakaian tekanan akan memperkecil volume gelembung gas dan penggunaan oksigen hiperbarik juga akan mempercepat resolusi gelembung gas • daerah-daerah yang iskemik atau hipoksik akan menerima oksigen secara maksimal • di daerah yang iskemik, oksigen hiperbarik mendorong atau merangasang pembentukan pembuluh darah kapiler baru • penekanan pertumbuhan kuman-kuman baik gram positif maupun gram negatif dengan pemberian oksigen hiperbarik • oksigen hiperbarik mendorong pembentukan fibroblas dan meningkatkan efek fagositosis dari leukosit. 2.4.5 Indikasi Terapi HBO (Mapua, 2014) 1. Emboli gas atau udara 2. DCS 3. Keracunan CO 4. Iskemik jaringan akut 5. Luka-luka yang sulit sembuh 6. Luka bakar 7. Nekrosis infeksi 8. Gas gangrene 9. Keracunan sianida 10. Clostridial myonekrosis 11. Proktitis karena radiasi 12. Kerusakan jaringan karena radiasi 13. Setelah skin graft atau skin flaps 14. Sindrom kompartmen (CTS) 15. Stroke 16. Multiple sklerosis 17. Autis 18. ADHD 19. Idopatik sudden deafness 20. Penurunan fungsi imun
2.4.6 Kontraindikasi HBO (LAKESLA, 2009)
1. Kontraindikasi absolute a. Pneumothorax yang belum dirawat. b. Keganasan yang belum diobati atau keganasan metastatic. 2. Kontraindikasi relatif a. Kehamilan b. ISPA c. Sinusitis kronis d. Penyakit kejang e. Emfisema yang disertai dengan retensi karbon dioksida f. Panas tinggi yang tidak terkontrol g. Riwayat pneumothrorax spontan h. Riwayat operasi dada i. Riwayat operasi telinnga j. Infeksi virus k. Riwayat neuritis optic
2.4.7 Efek Tekanan
Seiring dengan peningkatan tekanan pada chamber, volume udara diberbagai ruang kosong didalam tubuh menjadi tertekan.Rongga udara yang besar dalam tubuh, termasuk paru, teling tengah dan dalam, GIT, dan sinus.Sebagian besar tubuh pasien dapat menyesuaikan terhadap perubahan tekanan ini, tetapi ada beberapa yang membutuhkan bantuan penyesuaian.Paru-paru dapat menyesuaikan perubahan tekanan ini dengan nafas biasa.Satu hal yang harus diingat adalah, jangan pernah menahan nafas selama didalam RUBT. Selama perubahan tekanan juga dapat berpengaruh pada ruang yang ada ditelinga, pasien akan merasa ada rasa penuh pada telinga (rasa ini seperti saat di dalam elevator, atau di dalam pesawat), keadaan ini dapat diatasi dengan penyesuaian sederhana. Pasien akan diajarkan bagaimana melakukan penyesuaian ini sebelum masuk RUBT. Perubahan tekanan, berpengaruh juga pada temperatur.Peningkatan tekanan diikuti juga dengan peningkatan temperatur.Penurunan tekanan diikuti juga dengan penurunan temperatur dan ada kabut dipengaruhi oleh kelembapan dalam RUBT. 2.4.8 Resiko Terapi HBO 1. Barotrauma Dengan perubahan tekanan, memungkinkan terjadinya robekan kecil pada jaringan paru dimana bisa terjadi pneumothorax. 2. Keracunan oksigen Peningkatan tekanan dan oksigen 100% akan meningkatkan kelarutan oksigen pada darah, sehingga dapat meningkatkan resiko terjadinya keracunan oksigen pada CNS atau pada paru-paru. Oleh karena itu di antara penghirupan oksigen harus diselingi dengan menghirup udara biasa. Tanda-tanda keracunan oksigen antara lain: kedutan pada wajah, mual, rasa berdenging pada telinga, perubahan pada pengelihatan, atau peningkatan seinsitibilitas. 3. Kejang Selama terapi HBO akan terjadi penurunan treshold kejang dan hal ini harus diperhatikan terutama pada pasien yang memiliki riwayat kejang sebelumnya. Pada pasien dengan riwayat kejang sebelumnya dapat ditingkatkan penggunaan obat anti kejang sebelum masuk RUBT. 4. Decompression sickness Tekanan menyebabkan nitrogen larut kedalam darah dan diabsorpsi ke dalam jaringan.Dengan penurunan tekanan secara cepat dapat menyebabkan nitrogen yang larut tadi keluar kembali.dan dapat masuk kembali ke dalam pembuluh darah menjadi emboli gas.Oleh karena itu untuk meminimalkan kejadian DCS, pada penyelaman digunakan gas campuran. 2.3. Kelainan dan Penyakit pada Penyelaman 2.3.1. Barotrauma Bagian tubuh yang akan mendapat pengaruh langsung dari tekanan adalah rongga-rongga udara fisiologis dalam tubuh dan bagian tubuh yang membentuk rongga udara artifisial dengan peralatan selam yang dipakai. Rongga-rongga udara fiologis dalam tubuh, misalnya paru, ruang telinga tengah, dan sinus paranasal, umumnya memiliki ventilasi atau saluran penghubung yang memungkinkan ekualisasi tekanan antara udara dalam rongga dengan tekanan sekeliling.Barotrauma timbul bila terjadi sumbatan pada saluran penghubung sehingga terjadi kegagalan ekualisasi dan mengakibatkan kerusakan jaringan akibat tekanan yang tidak seimbang. Secara umum dikatakan bahwa barotrauma adalah kerusakan jaringan dan sekuelnya akibat ketidakseimbangan antara tekanan udara rongga fisiologis dalam tubuh dengan tekanan lingkungan di sekitarnya. Contohnya : barotrauma telinga, barotrauma gigi, barotrauma wajah, barotrauma sinus paranasal, barotrauma kulit, barotrauma kepala dan badan, barotrauma intestinal, barotrauma paru. 2.3.1.1. Barotrauma Telinga Barotrauma telinga merupakan barotrauma yang paling sering terjadi dalam kegiatan penyelaman. Dikenal 2 bentuk barotrauma telinga, yaitu : 1. Barotrauma telinga waktu turun 2. Barotrauma telinga waktu naik Barotrauma telinga waktu turun dibagi lagi menurut anatomi telinga yang dikenal sebagai : 1. Barotrauma telinga luar 2. Barotrauma telinga tengah 3. Barotrauma telinga dalam Untuk barotrauma telinga luar pengobatan harus mengusahakan agar canalis akustikus eksternus tetap kering. Canalis akustikus eksternus boleh dibersihkan dengan larutan H2O2. Selanjutnya penderita dilarang menyelam sampai epitel permukaan canalis akustikus eksternus pulih. Untuk barotrauma telinga tengah pengobatan yang dianjurkan adalah 1. Istirahat, dilarang menyelan atau melakukan manuver valsava 2. Penggunaan dekongestan atau antihistamin peroral lewat hidung 3. Pemberian antibiotika pada kasus-kasus terjadi perdarahan atau perforasi membran timpani. Untuk barotrauma telinga dalam pengobatannya adalah 1. Operasi rekonstruksi mikroskopos membrana foramen rotundum yang ruptur\ 2. Dilarang menyelam termasuk melakukan manuver valsava 3. Simptomatik Sedangkan pada barotrauma telinga waktu naik dilakukan pengobatan sebagai berikut : 1. Dilarang menyelam lagi sampai pendengaran atau fungsi vestibuler normal kembali 2. Dekongestan 3. Antibiotika bila diperlukan 2.3.1.2. Barotrauma Sinus Paranasal Dalam tulang tengkorak terdapat rongga-rongga fisiologis, yaitu sinus paranasal, yang pada dasarnya merupakan rongga tulang yang dilapisi mukosa dan berhubungan dengan cavum nasi lewat ostium atau saluran. Pengobatan yang dianjurkan untuk barotrauma sinus waktu descent adalah 1. Pengobatan faktor predisposisi 2. Dekongestan nasal untuk mengurangi oedema mukosa di daerah ostium nasi 3. Antibiotika bila diperlukan 4. Kadang diperlukan drainage Sedangkan untuk barotrauma sinus waktu ascent umumnya tidak membutuhkan pengobatan khusus 2.3.1.3. Barotrauma Gigi Barotrauma gigi biasanya terjadi pada akar gigi terinfksi atau di sekeliling tambalin gigi yang berlubang, rongga dalam gigi akibat adanya karies dengan lapisan semen tipis,setelah oral surgery,pencabutan gigi. Pengobatan dengan analgetik dan reparasi gigi. Selain itu bila terjadi nyeri pada gigi premolar sampai molar perlu dipikirkan kemungkinan nyeri akibat barotrauma sinus maksilaris. 2.3.1.4. Barotrauma Wajah Kegunaan masker adalah sebagai alat peolong penglihatan saat menyelam, tetapi dengan memakai masker akan terbentuk ruangan berisi udara di dalam wajah penyelam. Bila tidak dapat menyamakan tekanan waktu menyelam lewat udara dari hidung maka wajah akan tertarik ke dalam rongga tersebut. Pengobatan yang bisa dilakukan adalah 1. Simtomatik dan dilarang menyelam sementara 2. Kompres dingin pada bagian yang oedema atau mengalami perdarahan. 2.3.1.5. Barotrauma Kulit Terjadi karena memakai dry suit atau wet suit yang tidak cocok sehingga terjadi rongga udara antara kulit dan pakaian, lalu akan timbul tekanan negatif pada saat turun sehingga kulit terhisap ke arah rongga udara tersebut. Barotrauma ini dapat sembuh dalam beberapa hari. 2.3.1.6. Barotrauma Intestinal Pada waktu ascent terjadi pengembangan gas yang mengakibatkan kembung, flatus, serta timbul kolik. Pengobatannya dilakukan dengan mengurangi kecepatan waktu ascent atau dilakukan rekompresi, selain itu juga dengan melepaskan ikat pinggang atau pakaian yang rusak 2.3.1.7. Barotrauma Kepala dan Badan Penggunaan alat selam klasik dimana udara dalam helmet tidak bertambah maka akan menimbulkan kecelakaan serius dan menimbulkan kematian Alat selam klasik juga pada saat ascent gas yang ada dalam pakaian harus dapat keluar karena jika tidak udara dalam pakaian akan menggembung dan menyebabkan naik dengan cepat tanpa kontrol dan menimbulkan barotrauma ascent, penyakit dekompresi atau trauma fisik. Selain itu bila pakaian sudah tidak bisa menahan maka akan robek dan penyelam akan tenggelam dengan cepat. 2.3.1.8. Barotrauma Paru Barotrauma paru termasuk barotrauma yang paling serius diantara lainnya. Pada barotrauma paru waktu turun dapat diobati dengan pemberian O2 100% dan intermittent possitive pressure inspiratory therapy, pencegahan infeksi, perawatan umum terhadap gejala lain yang mungkin timbul, bronkodilator dan gravitational drainage bila ada perdarahan atau eksudasi yang berat. Sedangkan pada barotrauma pada waku naik ada empat kemungkinan yang dapat terjadi yaitu kerusakan jaringan paru, emfisema surgikalis, pneumothoraks, emboli udara. Terapi untuk kerusakan jaringan paru akibat barotrauma dengan mengusahakan pernafasan yang adekuat dengan inhalasi oksigen 100% agar tercapai kadar gas-gas yang memadai dalam sistem arteri. Hindari penggunaan metode tekanan positif karena hal itu dapat memperbesar kerusakan jaringan paru. Metode tersebut hanya boleh dipakai bila mutlak diperlukan. Harus pula diperhatikan pengobatan suportif terhadap gangguan kardiovaskular dan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Terapi untuk emfisema surgikalis akibat barotrauma harus dipikirkan dulu apakah ada emboli udara atau pneumothoraks karena bila ada maka harus didahulukan penanganannya. Terapi terhadap emfisema mediastinalis ringan adalah simtomatis. Pada kasus yang lebih berat dapat diberikan inhalasi oksigen 100% untuk membantu resolusi udara yang terperangkap. Bila emfisema mediastinalis berat, dapat diberikan terapi rekompresi. Sedangkan untuk emfisema subkutan yang berat dapat diberi terapi inhalasi oksigen 100% untuk mempercepat absorpsinya. Terapi untuk pneumothoraks ringan hanya butuh oksigen secara intermiten tanpa tekanan positif lalu diberikan analgetik, tirah baring, dan fisioterapi. Apabila sudah terjadi kolaps paru lebih dari 20% dapat dipasang kanul interkosta dan suction drainage. Terapi untuk emboli udara akibat barotrauma adalah urgen dan harus segera dilaksanakan mendahului pengobatan barotrauma lainnya dan yang paling efektif adalah rekompresi. Akan tetapi bila terjadi bersamaan dengan pneumothoraks maka sebelum dilakukan rekompresi harus dilakukan thorakosentesis terlebih dulu. Tindakan yang penting antara lain resusitasi kardiopulmonal sebelum dan selama rekompresi, oksigen 100% dengan masker, letakkan miring ke kiri untuk pertahankan kardiak output dan datar horisontal untuk menghindari memburuknya oedema cerebral, rekompresi segera sampai 6 ATA 2.3.2. Penyakit Dekompresi Pada kasus dekompresi yang berat timbul gelembung gas dalam pembuluh darah dan jaringan ekstravaskular akibat supersaturasi gas dalam darah atau jaringan tubuh pada waktu proses penurunan tekanan di sekitar tubuh. Berat ringannya penyakit dekompresi berhubungan dengan jumlah gelembung gas. Gelembung ekstravaskular menimbulkan distorsi jaringan dan kerusakan sel-sel di sekitarnya. Gelembung gas intravaskular akan menimbulkan 2 akibat, yaitu : 1. Akibat langsung, akibat mekanis sumbatan menimbulkan iskemik atau kerusakan jaringan sampai infark jaringan. 2. Akibat tidak langsung, akibat sekunder adanya gelembung gas dalam darah menimbulkan fenomena hipoksia Tujuan pengobatan penyakit dekompresi adalah melawan efek hipoksia pada jaringan. Terdiri dari 3 tindakan yang saling melengkapi : 1. Oksigenasi (hiperbarik atau nomobarik) 2. Rekompresi 3. Medikamentosa (cairan dan elektrolit, anti platelet agregasi, steroid, gliserol, anti konvulsi) 2.3.3. Dysbaric Osteonecrosis Merupakan manifestasi lambat dari penyakit dekompresi, ada beberapa teori mengenai hubungan sebab akibatnya, antara lain teori pelepasan gas inert, teori emboli arterial, teori oksigen toksisitas, teori pengaruh osmose. Dysbaric osteonecrosis terjadi akibat infark pada jaringan tulang yang akan diikuti kematian dari osteosit dan autolisis sumsum tulang. Prinsip terapi pada sendi yang akan rusak adalah dengan mengurangi beban semaksimal mungin dengan tirah baring pada sendi yang menanggung beban berat. Sedangkan terhadap lesi juxta articular yang lebih berat adalah dengan tindakan chirurrgis. 2.4.Kelainan dan Peyakit Akibat Paparan Hiperbarik 2.4.1. Narkosis Nitrogen Pencegahan paling sederhana adalah menghindari paparan terhadap tekanan parsial gas inert yang diketahui menyebabkan keracunan. Dalam praktek penyelaman yang aman dengan menggunakan udara bertekanan memerlukan kesadaran terhadap kondisi dan efek pada penampilan dan pengambilan keputusan pada kedalaman lebih dari 30 m. Batas kedalaman maksimal 50-60 m, tergantung pada pengalaman penyelam dan tugas yang dilakukannya. Penyelam yang aman pada kedalaman yang lebih dalam memerlukan substitusi zat yang kurang narkotik untuk melarutkan oksigen. Helium telah umum digunakan untuk maksud ini tetapi hidrogen dan neon juga telah diajukan dan dicoba dalam tingkatan tertentu Saturasi pada kedalaman 30-50m memberikan perkembangan toleransi. Penyelam profesional yang menyelam lebih dalam dalam dapat lebih aman dan menunjukkan penampilan yang lebih baik. Penyelam pekerja konvensional sampai 100m tak layak bila menggunakan udara sebagai media pernafasan. Dimasa mendatang, percobaan Kulstra dengan media pernafasan cair mungkin dapat menyelesaikan problem narkosis dengan mengurangi kebutuhan pelarut oksigen untuk pernafasan. Sebagai alternatif, lebih diperhatikan pemakaian obat yang dapat mencegah atau melindungi dari narkosis, antara lain dengan metil fenidat dan azasiklonal hidroklorida. Saat ini belum dilakukan penggunaan obat untuk tuhuan ini. Belum ditemukan pengobatan yang spesifik, selain kembali ke permukaan atau mengurangi tekanan. 2.4.2. Keracunan Oksigen 2.4.2.1. Keracunan Oksigen Pulmoner Faktor yang mempengaruhi tingkat keracunan oksigen paru adalah tekanan parsial oksigen, lama paparan dan variasi suseptibilitas perorangan. Dalam suatu penelitin paparan oksigen 2ATA, beberapa subjek timbul gejala setelah 3 jam, sedangkan 1 subjek lainnya bebas gejala selama 8 jam paparan. Gejala permulaan biasanya iritasi ringan pada trakea, sesuai dengan trakeitis pada infeksi saluran nafas atas. Iritasi diperberat oleh inspirasi dalam yang kemudian menyebabkan batuk. Rasa nyeri substernal yang timbul diperberat pernafasan yang dalam dan batuk. Batuk secara progresif bertambah berat sampai tidak dapat dikendalikan. Rasa sakit pada inspirasi menunjukkan adanya kelainan pada trakeobronkial. Dispneu yang kemudian timbul akan cepat memburuk bila paparan dilanjutkan. Tanda-tanda fisik seperti ronki, hiperemi membran mukosa hidung dan demam, hanya akan didapatkan sesudah paparan yang lama pada subjek normal. Perubahan pada foto thorak bukan merupakan hal yang patognomonik dari keracunan oksigen. Densitas pulmoner bilateral yang difus pernah dilaporkan pada keracunan oksigen. Pada paparan lebih lanjut didapatkan infiltrat dengan batas ireguler yang meluas dan kemudan menyatu. Pengukuran kapasitas bital merupakan suatu cara monitor yang sensitif pada saat terjadinya keracunan dan perkembangan selanjutnya. Penurunan ini berlanjut untuk beberapa jam sesudah paparan dihentukan dan kadang memerlukan waktu sampai 12 jam untuk kembali normal. Karena pengukuran kapasitas vital butuh pasien yang kooperatif, maka penggunaanya dalam situasi terapeutik sangat terbatas. Tidak ada terapi spesifik yang dapat menunda atau memperbaiki kerusakan paru yang disebabkan oleh hiperoksia. Paparan yang intermiten dapat menunda terjadinya keracunan. Bila tanda keracunan oksigen mulai tampak, tekanan parsial oksigen harus diturunkan. Oleh karenanya sangat perlu untuk mengetahui tanda dini dari sindroma ini. Monitoring kapasitas vital paru merupakan indikator yang bermanfaat untuk mendeteksi timbulnya dan mengetahui perkembangan keracunan oksigen. Sampai dengan penurunan 20% masih dapat ditoleransi pada pengobatan penyakit dekompresi yang berat, penurunan 10% sudah memerlukan perhatian pada kondisi penyelaman operasional. Tingkat keracunan oksigen yag ekuivalen dengan penurunan kapasitas vital 2% dapat membaik sempurna, asimtomatik dan sangat sulit untuk mengetahuinya dalam situasi yang normal. Dengan peningkatan tekanan oksigen yang digunakan pada pengobatan penyakit serius, misalnya penyakit dekompresi yang berat atau gas gangren, cukup beralasan untuk menerima resiko keracunan oksigen pada paru yang lebih besar saat mengobati pasien tersebut. Tingkat keracunan paru yang menyebabkan penurunan kapasitas vital sebesar 10% dapat dihubungkan dengan terjadinya gejala yang moderat, yakni batuk dan rasa sakit dada saat inspirasi dalam. Pada tingkat ini, secara eksperimen, akan kembali membaik dalam beberapa hari. Dinyatakan bahwa penurunan kapasitas vital sebesar 10% merupakan batas yang dapat diterima untuk prosedur terapi oksigen hiperbarik. Hiperinflasi paru secara periodik dianjurkan dalam mencegah atelektasis. Juga ketaatan terhadap batas tekanan dan lama paparan yang telah ditentukan untuk mencegah keracunan oksigen paru. 2.4.2.2. Keracunan Oksigen – Neurologik Manifestasi klinik secara subjektif dan objektif dapat timbul sendiri atau bersamaan, antara lain nausesa, muntah, kepala terasa ringan, pusing, tinitus, vertigo, rasa segera terjadi kolaps, muka pucat, berkeringat, bradikardia, penyempitan lapangan pandang, silau, bibir gemetar, otot seluruh badan gemetar, cegukan, parestesi,dispneu, amnesia retrogade,ilusi, gangguran rasa yang khusus, halusinasi, dan kekacauan. Wajah gemetar adalah tanda objektif yang umum nampak dalam RUBT dengan tekanan lebih dari 2ATA dan merupakan tanda awal konvulsi. Pengobatan terutama ditujukan untuk mencegah trauma fisik karena konvulsinya. Di dalam RUBT diperlukan penekan lidah untuk mencegah lidah tergigit. Di dalam air penyelam harus diangkat ke permukaan sesudah fase tonik konvulsi menghilang. Hal ini juga sama bila di dalam RUBT, tetapi harus memperhatikan tabel dekompresi. Dilakukan pengurangan oksigen pada media pernafasannya. Dekonvulsan diberikan pada keadaan tertentu. 2.4.2.3. Keracunan Oksigen pada Organ Lain Keracunan oksigen juga dapat terjadi pada eritrosit, mata, telinga, dan tulang. 2.4.3. Hipoksia Hipoksia dapat terjadi pada penyelaman dengan peralatan, penyelaman tahan nafas, dan penyelaman dalam. Pada beberapa kasus diagnosis hipoksia tidak mudah oleh karena gejala dari beberapa penyakit seperti oksigen narkosis, keracunan oksigen, kelebihan CO2, emboli udara serebral atau penyakit dekompresi mirip seperti gejala hipoksia. Bila teradapat keraguan, penderita diterapi seperti penderita hipoksia dan diobservasi sampai dapat ditentukan diagnosisnya. Kenyataannya pada penyakit seperti disebutkan di atas, hipoksia merupakan problem yang umum terjadi dan pertolongan terhadap hipoksia akan sangat membantu. Pengobatan dari berbagai bentuk hipoksia mencakup koreksi dari penyebab hipoksia. Pada kebanyakan kasus yang terjadi pada penyelam biasanya diperlukan tindakan pertolongan yang lazim seperti : 1. Jalan nafas (bersihkan mulut dan sebagainya) 2. Pernafasan (mulut ke mulut) 3. Sirkulasi (bila perlu lakukan pijat jantung) Pada kasus hipoksia-hipoksik harus diberkan oksigen 100% diperlukan untuk menjamin kadar oksigen arteri yang cukup. Bila pertolongan telah berhasil maka tekanan dan prosentase oksigen dapat diturunkan secara bertahap sambil diikuti monitor gas-gas dalam arteri. Tujuan terapi hipoksia stagnansi adalah menaikkan perfusi pada daerah yang terkena. Hal ini memerlukan perbaikan dari volume sirkulasi total anemik dengan penambahan eritrosit secara hati-hati serta memperhatikan faktor lain yang mendasarinya. Pada kasus keracunan karbon monoksida pemberian oksigenasi hiperbarik dapat menyelamatkan jiwa saat fase awal yang kritis. Keadaan hipoksia histotoksik diatasi dengan menghilangkan bahan toksik dan diberikan hiperoksigenasi. Tindakan definitif lebih lanjut dibicarakan pada kasus tenggelam, penyakit dekompresi dan barotrauma paru. Sindroma yang dikenal sebagai oksigen paradoks harus diwaspadai oleh mereka yang mengerjakan resusitasi. Pada penderita hipoksia tingkat sedang, pada saat pertama kali diberi oksigen konsentrasi tinggi, mungkin akan memburuk sementara dengan ditandai adanya bradikardia, hipotensi, depresi pernafasan, dan kemungkinan kehilangan kesadaran. Mekaniesme terjadinya belum jelas, diduga akibat dari berkurangnya aliran darah otak. 2.4.4. Keracunan Karbondioksida Membiasakan para penyelam mengenal sindroma yang dapat dikendalikan dengan aman, sehingga tindakan yang tepat dapat segera diambil pada saat timbul gejala pertama kali. Di dalam air mungkin tidak ada gejala peningkatan CO2, sehingga metode ini kurang dapat berhasil. Pencegahan ideal adalah dengan memonitor kadar CO2 yang membahayakan. Saat ini telah tersedia di RUBT, kapal selan dan lainnya tetapi belum ada pada alat penyelam sistem tertutup. Bila kadar CO2 tidak termonitor harus diperhatikan faktor-faktor seperti ventilasi yang memadai di RUBT, menghindarkan kerja fisik yang berat, memelihara batas yang aman pada sistem absorben dan lainnya. Harus diingat bahwa prosentase CO2 dalam media pernafasan menjadi meningkat sesuai dengan kenaikan tekanan. Walaupun CO2 3% di udara pada permukaan air laut hanya memberikan efek yang ringan, tetapi pada tekanan 4 ATA atau kedalam 30 meter menjadi ekuivalen dengan kadar CO2 12% di permukaan air laut dan hal ini sangat berbahaya. Pada kedalaman yang sangat besar prosentase minimal CO2 dapat menjadi sangat berbahaya. Penyelam yang menggunakan alat pernafasan tertutup harus benar-benar terlatih dalam mengambil tindakan segera bila diduga terjadi keracunan CO2. Penyelam harus berhenti dan istirahat sehingga aktivitas otot menurun, pada saat yang sama harus memberi tanda pada pasangannya untuk segera dibantu dan tidak terjadi kehilangan kesadaran. Penyelam atau pasangannya dapat pula menghisap media pernafasan yang bersih sebanyak-banyaknya, melepas pemberat, dan naik ke permukaan sesuai dengan peraturan. Pada penyelaman dalam mungkin perlu untuk masuk kembali ke dalam RUBT. Bila telah sampai di permukaan ait atatu di RUBT, penyelam harus segera bernafas dengan udara atmosfer. Pertolongan pertama adalah mengangkat dari lingkungan yang toksik, memelihara pernafasan, dan sirkulasi untuk beberapa waktu. PCO2 dan PH arterial akan kembali normal bila ventilasi alveolar memadai dan sirkulasi membaik. 2.4.5. Keracunan Karbon Monoksida Pengobatan meliputi proteksi saluran pernafasan, memberikan ventilasi cukup, pemberian oksigen hiperbarik, pemberian steroid untuk melawan oedema serebral dan pemberian alkali bila terjadi asidosis yang dapat mengancam kehidupan. Valium dapat diberikan untuk mengatasi kejang. 2.4.6. Sindroma Neurologi Akibat Tekanan Tinggi Sindroma biasanya timbul pada kedalaman lebih dari 150 meter dan menggunakan campuran helium-oksigen dan lebih sedikit pada pemakai campuran hidrogen-oksigen. Gejala-gejala berasal dari kelainan sitem saraf pusat dan dimulai dengan kelainan neuromuskuler yaitu tremor, fasikulasi, dan inkoordinasi sebagai tanda dini. Manifestasi lanjut dimana tekanan semakin besar, meliuti gangguan fungsi serebral luhur, yaitu disorientasi , kebingungan, somnolensi, rasa mengantuk, dan permulaan konvulsi, koma dan mati.