Anda di halaman 1dari 41

MODUL KEPERAWATAN ISLAM

Makalah Diskusi Kelompok


Tata Cara Sholat Dan Bersuci Bagi Orang Sakit, Pengurusan Jenazah, Sakaratull Maut Dan
Hukum Pengobatan Alternatif Serta Dukun
Semester 6 Tahun Ajaran 2019/2020

Disusun Oleh :
PSIK A 2016
Kelompok 4

1. Pipit Tina sari 11161040000008


2. Dea Putri Rahmadani 11161040000015
3. Risa Lusiana 11161040000016
4. Ikhsanul Amal Reformasi 11161040000019
5. Shavira Aldinah 11161040000020
6. Rizkiyah Ayu Wulandari 11161040000025
7. Cindy Januar Fitri 11161040000029
8. Tutty Alawiyah 11161040000034
9. Iman Nurpakasi 11161040000044
10. Fitriyani Nursyifa 11161040000081

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1
Maret 2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum. Wr. Wb.


Alhamdullilah hirobbil’alamin. Kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena
berkat rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kami dapat menyusun makalah ini tepat pada
waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini kami banyak mendapat hambatan dan
pembelajaran yang sangat bermanfaat. Namun, berkat dorongan dan motivasi yang
tinggi dari berbagai pihak hambatan tersebut dapat kami atasi. Maka dari itu, berkat
bantuan mereka kami mengucapkan terima kasih.
Dengan segala hormat ucapan kami tujukan kepada:
1. Ibu Ratna Pelawati S.Kp.,M.Biomed Selaku dosen pembimbing dalam modul
Keperawatan Islam.
2. Orang tua yang telah memberikan semangat untuk menyelesaikan makalah.
3. Teman-teman Program Studi Ilmu Keperawatan FIKES Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan sumbangan
motivasi.
4. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang langsung
maupun tidak langsung turut andil dalam penyelesaian makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami
harapkan untuk menyempurnakan makalah selanjutnya. Dan kami berharap semoga
makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi semuanya terutama para pembaca.
Wassalamuallaikum. Wr. Wb

Jakarta, 30 Maret 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................2


DAFTAR ISI .............................................................................................................................3
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan ...........................................................................................................6
1.4 Manfaat Penulisan ........................................................................................................6
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Pengurusan Jenazah .......................................................................................................7
2.2.1 Memandikan ......................................................................................................7
2.2.2 Mengkafani .....................................................................................................12
2.2.3 Mensholati ......................................................................................................14
2.2 Tata Cara Bersuci Dan Sholat Bagi Orang Sakit ...................….......................................18
2.3.1 Tata Cara Bersuci Bagi Orang Sakit ...............................................................18
2.3.2 Tata Cara Sholat Bagi Orang Sakit..................................................................20
2.3.3 Hukum Berhubungan Dengan Orang Sakit ....................................................21
2.3 Sakaratul Maut ..................... ...........................................................................................22
2.3.1 Pengertian .......................................................................................................23
2.3.2 Tanda Sakaratul Maut .....................................................................................24
2.3.3 Peran Perawat Membimbing Pasien Sakaratul Maut ......................................27
2.3.4 Pemenuhan kebutuhan gelisah menjelang ajal ................................................30
2.4 Hukum Pengobatan Alternatif Dan Dukun .....................................................................33
2.4.1 Perbedaan Pandangan Ulama Untuk Berobat .................................................33
2.4.2 Bentuk Jenis Pengobatan ................................................................................34
2.4.3 Pengobatan Alternatif ......................................................................................35
2.4.4 Syarat Pengobatan Alternatif Yang Dibenarkan Syariah ................................35
2.4.5 Hukum Berobat Di Dukun .............................................................................37
BAB III : PENUTUP
3.1 Kesimpulan..............................................................................................................39
3.2 Saran........................................................................................................................40

3
DAFTAR
PUSTAKA...............................................................................................................41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit, secara umum, menjadi kekhawatiran banyak orang. Suatu
penyakit dapat menjadi ancaman bagi si penderita. Menurut Webster’s New
Collegiate Dictionary (dalam Setiawati, 2013) sakit adalah suatu kondisi
kesehatan tubuh melemah, dan kondisi ini tidak menyenangkan bagi banyak
orang. Bila sudah jatuh sakit, orang akan mengupayakan dirinya agar tetap sehat
dengan mengubah perilakunya dan gaya hidupnya serta mengobati penyakitnya.
Cara pengobatan yang dilakukan pun juga berbeda-beda. Ada tiga cara
pengobatan yang dilakukan seseorang yang sakit, yakni pengobatan secara medis
(dengan pergi ke dokter atau tenaga kesehatan profesional), pengobatan secara
alternatif, yaitu pergi ketabib atau penghusada (misalnya kyai atau pendoa, dukun
dan sebagainya), dan ada pula pasien yangmenggabungkan kedua-duanya. Pilihan
itu tergantung dari kepercayaan, budaya, tingkat ekonomi dan persepsi seseorang
terhadap sifat penyakit itu sendiri.
Shalat dalam keadaan darurat ialah shalat yang dilaksanakan dalam keadaan
yang menyulitkan seseorang untuk melaksanakannya sesuai dengan rukun-rukun
shalat yang lengap. Dalam keadaan bagaimana pun, apapun, dimana pun, dan
kapan pun sebagai umat islam kita harus slalu mendirikan shalat. Begitu pun
dengan Orang yang sakit tetap diwajibkan melaksanakan sholat fardu. Selama
akal dan ingatan orang yang sakit masih sadar. Namun, kaum muslim yang
kadang meninggalkan sholat dengan dalih sakit atau memaksakan diri sholat
dengan tata-tata cara yang biasa dilakukan orang sehat.
Kematian adalah hal yang pasti terjadi pada setiap makhluk yang bernyawa,
tidak ada yang mengetahui kapan dan dimana ia akan menumui ajalnya dalam
kebaikan atau dalam keadaan keburukan. Bila ajal itu tidak ada yang dapat
mengubahnya dan setiap muslim wajib untuk mengingat akan datangnya
kematian, bukan hanya karena perpisahaan dengan keluarga atau orang-orang
yang dicintai melainkan karena kematian merupakan bentuk pertanggung

4
jawaban atas amal dan ibadah kita yang dikerjakan selama di dunia. Tiap manusia
sudah ditentukan ajalnya sendiri-sendiri oleh Allah swt, hanya saja manusia tidak
mengetahui kapan ajal itu akan datang, dan dimana tempatnya ia
menghembuskan nafas penghabisan. Dalam ajaran Islam, kehormatan manusia
sebagai khalifah Allah swt dan sebagai ciptaan termulia, tidak hanya terjadi dan
ada ketika masih hidup di dunia saja. Akan tetapi kemuliaannya sebagai makhluk
Allah swt tetap ada walaupun fisik sudah meninggal. Kesinambungan
kemuliannya sebagai makhluk Allah terjadi karena ruhnya tetap hidup berpindah
ke alam lain, yang sering disebut dengan alam berzakh, alam di antara dunia dan
akhirat.
Penghormatan dan pemuliaan tersebut dilakukan sejak mulai dari perawatan
jenazah, yang diteruskan oleh ahli waris atau handai taulan yang masih hidup
setelah jenazah seseorang meninggal diberikan dalam beragam bentuk, seperti
ziarah, berkirim doa, dan sebagainya. Karena pentingnya pengurusan jenazah
sejak memandikan jenazah sampai penguburan jenazah maka Rasulullah saw
memberikan kabar gembira bagi siapa saja yang mau mengurus jenazah sampai
selesai dengan pahala yang besar, Pengurusan jenazah muslim sangatlah penting
karena jika ada seorang muslim meninggal di suatu tempat dan tidak ada yang
bisa merawatnya dengan benar (sesuai dengan ajaran agama Islam), maka seluruh
masyarakat yang tinggal di tempat tersebut akan mendapatkan dosa karena
pengurusan jenazah merupakan wajib kifayah bagi umat Islam. Oleh sebab itu
harus ada orang muslim yang mampu untuk mengurusi jenazah dengan benar.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Pengurusan Jenazah ?
2. Bagaimana Memandikan Jenazah?
3. Bagaimana Mengkafani Jenazah?
4. Bagaimana Mensholati Jenazah ?
5. Bagaimana Tata Cara Bersuci Bagi Orang Sakit?
6. Bagaimana Tata Cara Shiolat Bagi Orang Sakit?
7. Apa Pengertian Sakaratul Maut ?
8. Bagaimana Tanda Sakaratul Maut ?
9. Bagaimana Peran Perawat Dalam Membimbing Pasien Sakaratul Maut ?
10. Bagaimana Pemenuhan Kebutuhan Gelisah Pasien Menjelang Ajal ?
5
11. Apa Perbedaan Pandangan Ulama Untuk Berobat ?
12. Apa Bentuk Jenis Pengobatan ?
13. Bagaimana Pengobatan Alternatif ?
14. Apa Syarat Pengobatan Alternatif Yang Dibenarkan Syariah ?
15. Apa Hukum Berobat Di Dukun ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mahasiswa Mengetahui Dan Memahami Cara Pengurusan Jenazah
2. Mahasiswa Mengetahui Dan Memahami Cara Memandikan Jenazah
3. Mahasiswa Mengetahui Dan Memahami Cara Mengkafani Jenazah
4. Mahasiswa Mengetahui Dan Memahami Cara Mensholati Jenazah
5. Mahasiswa Mengetahui Dan Memahami Tata Cara Bersuci Bagi Orang
Sakit
6. Mahasiswa Mengetahui Dan Memahami Tata Cara Shiolat Bagi Orang
Sakit
7. Mahasiswa Mengetahui Dan Memahami Pengertian Sakaratul Maut
8. Mahasiswa Mengetahui Dan Memahami Tanda Sakaratul Maut
9. Mahasiswa Mengetahui Dan Memahami Peran Perawat Dalam
Membimbing Pasien Sakaratul Maut
10. Mahasiswa Mengetahui Dan Memahami Pemenuhan Kebutuhan Gelisah
Pasien Menjelang Ajal
11. Mahasiswa Mengetahui Dan Memahami Perbedaan Pandangan Ulama
Untuk Berobat
12. Mahasiswa Mengetahui Dan Memahami Bentuk Jenis Pengobatan
13. Mahasiswa Mengetahui Dan Memahami Pengobatan Alternatif
14. Mahasiswa Mengetahui Dan Memahami Syarat Pengobatan Alternatif
Yang Dibenarkan Syariah
15. Mahasiswa Mengetahui Dan Memahami Hukum Berobat Di Dukun

1.4 Manfaat Penulisan


1. Mahasiswa dan pembaca dapat mengetahui dan memahami mengenai
pengurusan jenazah, tata cara bersuci dan sholat bagi orang sakit, sakaratul
maut dan hukum pengobatan alternatif dan dukun

6
2. Makalah ini dapat manjadi bahan literature tambatan untuk pembuatan
makalah selanjutnya

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengurusan Jenazah


2.1.1 Memandikan Jenazah
1. Hukum Memandikan Jenazah
Setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat, wajib dimandikan bila
ia wafat, sekalipun seorang fasik yang menampakkan kefasikannya, bahkan anak zina
dan janin masih berusia empat bulan (Mughniyah 1999, 90).
Jumhur Ulama berpendapat bahwa memandikan jenazah seorang muslim
hukumnya fardhu kifayah. Artinya, jika sebagian orang telah melakukannya maka
yang lain sudah terwakili. Ini merujuk kepada perintah Rasulullah SAW, dan selalu
dilaksanakan oleh kaum muslimin( Sabiq 2008, 44).
Adapun yang diwajibkan adalah memandikan jenazah tersebut satu kali yang
merata keseluruh badan. Sedangkan memandikan secara berulang-ulang dengan ganjil
hukumnya adalah sunat menurut kesepakatan ulama, kecuali menurut pendapat
Malikiyah. Mereka berpendapat bahwa memandikan mayat berulang-ulang dengan
ganjil hukumnya adalah mandub, bukan sunat (al-Juzairi 1996, 241).
Disunnahkan untuk bergegas dalam memandikan mayat ketika diyakini akan
kematiannya. Seandainya mayat dikuburkan sebelum sempat dimandikanmaka harus
digali dan dimandikan. Jika tidak didapati lagi jasad mayat kecuali sedikit saja maka
tetap dimandikan dan dishalatkan, menurut Syafi’i dan Hanbali karena sesuai dengan
tindakan para sahabat. Sedangkan Abu Hanifah dan Malik berpendapat jika jasad
yang ditemukan lebih banyak maka dishalatkan, sedang jika sedikit saja maka tidak
perlu lagi.
Tayamum bisa menggantikan posisi memandikan mayat ketika tidak adanya
air atau sulit untuk dimandikan, seperti jika ditakutkan tubuh mayat akan terkelupas
jika dimandikan. Namun, jika tidak ditakutkan apa-apa maka harus dimandikan
dengan disiram air.

7
2. Tata Cara Memandikan Jenazah
Memandikan jenazah itu seperti halnya mandi junub, dimana mandi wajibnya
hanya sekali saja menyeluruh pada semua bagian tubuh setelah menghilangkan benda
najisnya terlebih dahulu serta dengan syarat airnya harus suci.
Adapun tata cara memandikan mayat yaitu:
a. Persiapan Sebelum Memandikan Jenazah
Sebelum Memandikan jenazah, Maka harus dilakukan beberapa Persiapan,
adapun Hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum proses pemandian adalah:
1. Masker dan kaos tangan untuk memandikan jenazah agar terhindar dari
kuman jika si jenazah memiliki penyakit.
2. Sabun atau bahan lainnya untuk membersihkan tubuh si jenazah
3. Sampo untuk mengeramasi rambut si jenazah agar bersih dari kuman dan
kotoran
4. Air secukupnya untuk proses memandikan. Boleh memakai air yang dialiri
oleh selang, boleh juga menyiapkan air sebanyak tiga ember besar.
5. Meja besar atau dipan yang cukup dan kuat serta tahan air untuk tempat
meletakkan jenazah ketika dimandikan
6. Handuk untuk mengeringkan tubuh dan rambut si jenazah.
7. Kapas, kapur barus, daun bidara, atau wewangian yang lain serta bedak.
8. Dipersiapkan kain kafan tergantung jenis kelamin.
b. Proses memandikan jenazah.
1. Berniat untuk memandikan jenazah karena Allah. Sesuai hadist Nabi
dalam kitab Riyadhus Shalihin,
‫د هللا بن‬II‫اح بن عب‬I‫زى بن ري‬II‫د الع‬II‫ل بن عب‬II‫اب بن نفي‬I‫ر بن الخط‬II‫ أبي حفص عم‬I‫عن أمير الدؤمنين‬
‫لى‬II‫ول هللا ص‬II‫معت رس‬II‫ س‬:‫قرط بن رزاح بن عدي بن كعب بن لؤي بن غالب القرشي العدوي قال‬
‫و إلى هللا‬II‫انت ىجرت‬II‫ ومن ك‬،‫وى‬II‫ا ن‬II‫هللا عليو وسلم يقول ((إنما االعمال بالنيات و انما لكل امرئ م‬
‫و إلي‬II‫ا وهجرت‬II‫رأة ينكحه‬II‫ورسولو وهجرتو إلي هللا ورسولو و من كانت ىجرتو لدنيا يصيبها أو ام‬
‫ما ىا جر إليو‬

Artinya: Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khattab bin Nufail
bin Abdil Uzza bin Riyah bin Abdillah bin Qurth bin Razah bin ‘Adiy bin
Ka’ab bin Luay bin Ghalib al-Quraisyiyyi al-‘Adawi, ia berkata aku
pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Amal perbuatan itu
tergantung pada niatnya dan seseorang akan memperoleh balasan sesuai
8
dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah
dan RasulNya, maka hijrah nya itu kepada Allah dan RasulNya.
Barangsiapa yang hijrahnya untuk kesenangan dunia yang didapatnya atau
karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya kepada
apa yang diniatkannya (Annawawi 2006, 23).
2. Mayat diletakkan di tempat tinggi seperti di atas ranjang, dimana seluruh
auratnya antara pusar dan lutut ditutup, setelah semua bajunya dilepas
terlebih dahulu menurut mayoritas ulama, dan tetap menggunakan baju
gamis menurut Syafi’i. Pakaiannya diganti dengan kain mandi (kain
basahan).
3. Orang yang memandikan mengangkat kepala jenazah ke dekat tempat
duduknya, lalu mengurut atas perutnya dan menekannya dengan lembut
agar apa-apa yang siap keluar dari dalam tubuhnya segera keluar. Ketika
itu diperbanyak menyiramkan air agar membawa apa-apa yang keluar dari
alirannya. Orang yang memandikan itu membalutkan sepotong kain kasar
di tangannya untuk mencebokkan jenazah dan membersihkan lubang
kotoran dengan air.
4. Jenazah diwudhukan sebagaimana wudhu untuk shalat. Terlebih dahulu
dicuci tangan jenazah, dibersihkan kukunya dengan lidi. Lalu dibersihkan
gigi jenazah dengan kain putih, dibersihkan hidung, mata dan telinga
dengan menggunakan cotton bud lalu diwudhu’kan dengan mendahulukan
anggota wudhu’ sebelah kanan.
‫ا‬II‫ا منه‬II‫دأ بمي‬II‫ذا اب‬II‫ال ل‬II‫و ق‬II‫عن ام عطية ان رسول هللا صلي هللا عليو وسلم حيث امرىا ان تغسل ابنت‬
‫ومواضع الوضوءمنها‬
Artinya: “Dari Ummi ‘Athiyah r.a, ia berkata: Ketika Rasulullah SAW
menyuruhku memandikan jenazah puteri beliau (Zainab), beliau
menyuruhku supaya mulai dengan anggota jenazah yang sebelah kanan
dan anggota-anggota wudhu’ (Muslim 2007, 147).
5. Mencuci kepala dan jenggotnya dengan cairan bidara atau sabun dengan
meremasnya atau dicampur dengan sedikit air yang diletakkan di sebuah
tempat sampai berbuih.
6. Mencuci bagian kanan badannya, yakni leher kanan, pundak dan tangan
kanan, sebelah dada bagian kanan, perut bagian kanan, paha kanan, betis
kanan, dan kaki kanan. Lalu memiringkannya bertumpu di atas sisi kirinya
9
dan mulai mencuci punggungnya yang sebelah kanan dan sisi kirinya
sekaligus. Sebaliknya, memiringkan dengan bertumpu pada sisi kanannya
dan mulai mencuci punggung bagian kiri.
7. Pada pemandian kali terakhir menggunakan kapur barus karena berkhasiat
memadatkan, menjadikan wangi, dan mendinginkan badan jenazah.
8. Setelah itu, jenazah dikeringkan dengan kain atau lainnya. Kumisnya
dirapikan tidak dipotong, kukunya dibersihkan jika panjang. Sedangkan
jenazah perempuan maka rambutnya dikepang menjadi tiga bagian (al-
Fauzan 2005, 308). Sebagaimana hadits Nabi :
‫لنها‬II‫ال اغس‬II‫اتو وق‬II‫دى بن‬II‫ل اح‬II‫لم ونحن نغس‬II‫و وس‬II‫عن ام عطية قالت اتانا رسول هللا صلى هللا علي‬
‫عرىا‬II‫فرنا ش‬I‫الت وض‬II‫ديث ق‬II‫ال في الح‬I‫م وق‬II‫وب وعاص‬II‫ديث اي‬II‫وترا خمسا او اكثر من ذلك بنحو ح‬
)‫ثالثة اثالث قرنيها و نا صيتها (رواه مسلم‬

Artinya: “Dari Ummu Athiyah, ia berkata: Rasulullah SAW mendatangi


kami ketika kami sedang memandikan jenazah salah seorang puteri beliau
(Zainab), seraya berkata:”Mandikanlah dia dengan bilangan ganjil, lima
kali atau lebih dari itu”. Sesudah mandi rambutnya kami kepang tiga,
kemudian kami sanggul di kanan, di kiri, dan di ubun-ubunnya (Hadits
Riwayat Muslim) (Muslim 1991, 648).
9. Jika mayat belum bersih dengan tiga kali pemandian maka dimandikan
sampai tujuh kali. Jika belum bersih juga dengan tujuh kali pemandian
maka lebih baik memandikannya hingga betul-betul bersih, sesuai sabda
Nabi SAW :
‫ا او‬II‫لنها ثالث‬II‫عن ام عطية قالت دخل علينا النبي صلي هللا عليو و سلم و نحن نغسل ابنتو وقال اغس‬
‫اوور واذا‬II‫يئا من ك‬II‫خمسا او اكثر من ذلك إن رأيتن بماء و سدر و اجعلن في اآلخرة كاوورا او ش‬
)‫ورغتن وآذنني ولما ورغنا آذناه والقي الينا حقوه وقال أشعرنها اياه (رواه مسلم‬
Artinya: Dari Ummu ‘Athiyah r.a, katanya: Nabi SAW masuk ke tempat
kami ketika kami sedang memandikan putri beliau (Zainab binti
Rasulullah SAW). Lalu beliau bersabda:”Mandikanlah sampai bersih tiga
atau lima kali atau lebih banyak dari itu sesuai keperluannya dengan air
yang sudah dicampur daun Sidr dan penghabisannya dengan air kapur.
Bila telah selesai beritahulah aku!.Setelah selesai, lalu kami beritahukan
kepada beliau. Beliau memberikan kainnya kepada kami, seraya berkata:

10
“Pakaikanlah kain ini sebagai kafannya lapis pertama” (Muslim 1991,
646).

c. Adapun hal-hal yang dianjurkan ketika memandikan mayat yaitu:


1. Hendaknya mayat diwudhukan seperti cara wudhunya orang yang masih
hidup pada awal proses pemandian, setelah menghilangkan benda najis
ataupun kotoran dengan daun bidara atau sabun.
2. Menutup aurat untuk salah satu dari suami istri ketika memandikan
pasangannya. Dengan kata lain, jika salah satu pasangan memandikan
pasangannya.
3. Melepas seluruh baju yang dikenakan mayat setelah menutup auratnya
terlebih dahulu. Sedangkan menurut Syafi’i, mayat dimandikan dengan
tetap menggunakan gamis dan sejenisnya. Disunnahkan untuk menutupi
mayat selama proses pemandian dari pandangan orang banyak agar tidak
ada orang yang melihat aurat ataupun aib mayat. Dimakruhkan untuk
melihat mayat meskipun ia yang bertugas memandikan tanpa ada
keperluan, karena semuanya menjadi aurat untuk menghormati mayat itu
sendiri.
4. Menggunakan daun bidara ataupun sabun dalam proses pemandian, juga
kapur barus untuk pemandian terakhir. Menurut Syafi’i, kalau bisa setiap
kali memandikan dicampur dengan sedikit kapur barus.
5. Mengganjilkan proses pemandian, yaitu membuatnya ganjil sebanyak tiga
kali, lima kali atau tujuh. Tidak perlu mengulangi wudhu meski berulang
pemandian. Dianjurkan proses pemandian itu sebanyak tiga kali, sedang
mandi wajibnya tetap satu kali. Jika keluar sesuatu dari mayat dari salah
satu dua jalan atau selainnya setelah dimandikan sebanyak tiga kali maka
wudhunya mayat harus diulang begitu juga mandinya, menurut Hanbali.
Sedangkan menurut ulama lainnya cukup dengan menghilangkan benda
najisnya saja.
6. Perut mayat hendaknya ditekan sedikit dengan lembut ketika memandikan
untuk mengeluarkan najis yang ada di dalamnya.
7. Banyak-banyak menuangkan air ketika memandikan pada dua jalan keluar
untuk menghilangkan najis dan mengurangi bau. Mayat butuh banyak
11
disiram. Setelah itu dikeringkan terlebih dahulu agar kain kafan tidak
basah.
8. Sarung tangan tebal dilapiskan pada tangan orang yang memandikan
ketika memandikan bagian aurat yang berada di bawah pusar.
9. Gigi-gigi dan hidung mayat dibersihkan dengan sarung tangan bersih
ketika berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung, menurut Maliki
dan Syafi’i. Begitu juga dengan pendapat Hanbali, gigi dan kerongkongan
mayat dibersihkan dengan sarung tangan basah tanpa perlu memasukkan
air ke dalam mulut dan hidungnya. Bagian di bawah kuku juga
dibersihkan.
10. Memiringkan kepala mayat dengan lembut agar mudah membersihkan
mulut dan hidung ketika berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung
agar air tidak sampai masuk ke dalam kerongkongan. Dianjurkan untuk
membersihkan hidung mayat dengan sarung tangan bersih.
11. Tidak boleh menghadiri tempat memandikan jenazah bagi orang yang
tidak membantu petugas yang memandikan jenazah.
12. Mendahulukan bagian tubuh sebelah kanan ketika memandikan, yaitu
dengan memandikan bagian kanan terlebih dahulu. Petugas membalikkan
jenazah ke sebelah kirinya agar bisa memandikan bagian kanan dari
pelipis, punggung hingga kaki. Siramkan air setiap kali membaringkan.
13. Dianjurkan menurut Hanbali untuk mewarnai jenggot laki-laki dan rambut
wanita meskipun tidak beruban dengan henna.
14. Diberikan wewanggian, yaitu minyak wangi yang terbuat dari benda-
benda wangi di atas kepala dan janggut, juga kapur barus pada anggota
sujud, yaitu kening, hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua
telapak kaki untuk menghormatinya, baik orang yang sedang berihram
ataupun bukan menurut Maliki dan Hanafi. Kepala diberi wewangian
untuk menyembunyikan bau busuk dan mengagungkan mayat itu sendiri
( az-Zuhaili 2010, 544-545).

2.1.2 Mengkafani Jenazah

Adapun tata cara mengkafani jenazah adalah sebagai berikut:

12
1.      Untuk mayat laki-laki
a.       Bentangkan kain kafan sehelai demi sehelai, yang paling bawah lebih
lebar dan luas serta setiap lapisan diberi kapur barus.
b.      Angkatlah jenazah dalam keadaan tertutup dengan kain dan letakkan
diatas kain kafan memanjang lalu ditaburi wangi-wangian.
c.       Tutuplah lubang-lubang (hidung, telinga, mulut, kubul dan dubur) yang
mungkin masih mengeluarkan kotoran dengan kapas.
d.      Selimutkan kain kafan sebelah kanan yang paling atas, kemudian ujung
lembar sebelah kiri. Selanjutnya, lakukan seperti ini selembar demi
selembar dengan cara yang lembut.
e.       Ikatlah dengan tali yang sudah disiapkan sebelumnya di bawah kain
kafan tiga atau lima ikatan.
f.       Jika kain  kafan tidak cukup untuk menutupi seluruh badan mayat maka
tutuplah bagian kepalanya dan bagian kakinya yang terbuka boleh ditutup
dengan daun kayu, rumput atau kertas. Jika seandainya tidak ada kain
kafan kecuali sekedar menutup auratnya saja, maka tutuplah dengan apa
saja yang ada.
2.      Untuk mayat perempuan
Kain kafan untuk mayat perempuan terdiri dari 5 lemabar kain putih, yang
terdiri dari:
a.       Lembar pertama berfungsi untuk menutupi seluruh badan.
b.      Lembar kedua berfungsi sebagai kerudung kepala.
c.       Lembar ketiga berfungsi sebagai baju kurung.
d.      Lembar keempat berfungsi untuk menutup pinggang hingga kaki.
e.       Lembar kelima berfungsi untuk menutup pinggul dan paha.
Adapun tata cara mengkafani mayat perempuan yaitu:
a.       Susunlah kain kafan yang sudah dipotong-potong untuk masing-masing
bagian dengan tertib. Kemudian, angkatlah jenazah dalam keadaan
tertutup dengan kain dan letakkan diatas kain kafan sejajar, serta taburi
dengan wangi-wangian atau dengan kapur barus.
b.      Tutuplah lubang-lubang yang mungkin masih mengeluarkan kotoran
dengan kapas.
c.       Tutupkan kain pembungkus pada kedua pahanya.
d.      Pakaikan sarung.
13
e.       Pakaikan baju kurung.
f.       Dandani rambutnya dengan tiga dandanan, lalu julurkan kebelakang.
g.      Pakaikan kerudung.
h.      Membungkus dengan lembar kain terakhir dengan cara menemukan
kedua ujung kain kiri dan kanan lalu digulungkan kedalam.
i.        Ikat dengan tali pengikat yang telah disiapkan.

2.1.3 Sholat Jenazah


1. Kewajiban menyalatkan
Shalat jenazah yang merupakan shalat fardhu kifayah ini menjadi wajib
hukumnya karena menyolatkan mayat yang akan dikuburkan kembali pada
Allah.
2. Syarat- syarat shalat jenazah
Adapun syarat-syarat shalat jenazah adalah sebagai berikut:
a. Shalat jenazah sama halnya dengan shalat yang lain, yaitu harus
menutup aurat, suci dari hadats besar dan kecil, suci badan, pakaian
dan tempatnya serta menghadap kiblat.
b. Shalat jenazah baru dilaksanakan apabila jenazah sudah selesai
dimandikan dan dikafani.
c. Letak mayit sebelah kiblat orang yang menyalatinya, kecuali kalau
shalat dilakukan di atas kubur atau shalat ghaib.
3. Rukun-rukun shalat jenazah
a. Niat, menyengaja melakukan shalat atas mayit dengan empat takbir,
menghadap kiblat karena Allah.
b. Berdiri bagi yang mampu.
c. Empat kali takbir yang diselingi oleh beberapa bacaan.
d. Membaca Al-Fatihah secara sir sesudah takbir pertama.
e. Membaca shalawat kepada Nabi SAW sesudah takbir kedua.
f. Berdoa sesudah takbir ketiga.
g. Berdoa sesudah takbir keempat.

4. Tata Cara Sholat Jenazah


Tata cara sholat jenazah dibedakan antara jenazah laki-laki dan jenazah
perempuan. Yang harus diperhatikan di sini adalah sholat jenazah berbeda
14
dengan sholat fardhu. Perbedaan itu diantaranya adalah sholat jenazah tidak
menggunakan adzan maupun iqamah, tidak menggunakan ruku, tidak
menggunakan sujud, tidak menggunakan I’tidal dan tidak menggunakan
tahiyat.
Shalat jenazah terdiri dari 4 takbir, oleh sebab itu jika dia tidak paham
tentang tata cara sholat jenazah pada takbir kedua ada orang yang langsung
ruku’, takbir ketiga i’tidal dan takbir yang keempat melakukan sujud. Yang
benar adalah 4 takbir tersebut adalah takbiratul ikhram semua sehingga 4
takbir tetap dilakukan dalam posisi berdiri dan membaca bacaan yang telah
ditentukan.
Berikut ini adalah tata cara sholat jenazah yang harus diketahui :
a. Niat
Hal pertama yang dilakukan adalah niat. Niat sangatlah penting sebab
dari niat lah Allah tahu apa yang mau kita lakukan. Dari niat pulalah Allah
tahu ketulusan dan tekat hamba NYA dalam melakukan hal tersebut. Yang
berbeda adalah niat untuk sholat jenazah laki-laki dan shalat jenazah
perempuan.
Niat juga merupakan syarat syahnya sholat sehingga setiap amalan yang akan
dilakukan harus diawali dengan niat. Berikut ini adalah niat sholat jenazah
yang harus diketahui :
Niat menjadi makmum jenazah laki-laki
Bunyi niat menjadi makmum dari jenazah laki-laki adalah :
‫ض ْال ِكفَايَ ِة َمأْ ُموْ ًما ِهللِ تَ َعالَى‬ ٍ ‫ت اَرْ بَ َع تَ ْكبِ َرا‬
َ ْ‫ت فَر‬ ْ ‫صلِّى َعلَى هَ َذ‬
ِ ِّ‫اال َمي‬ َ ُ‫ا‬
Usholli ‘alaa haadzalmayyiti arba’a takbiraatin fardhol kifaayati ma’muuman
lillaahi ta’aala.
Artinya: saya niat shalat atas mayit ini empat kali takbir fardhu kifayah karena
menjadi makmum karena Allah Ta’ala.
Niat menjadi makmum jenazah perempuan
Untuk niat menjadi makmum shalat jenazah perempuan adalah seperti ini :
‫ض ْال ِكفَايَ ِة َمأْ ُموْ ًما ِهللِ تَ َعالَى‬ ٍ ‫صلِّى َعلَى هَ ِذ ِه ْال َميِّتَ ِة اَرْ بَ َع تَ ْكبِ َرا‬
َ ْ‫ت فَر‬ َ ُ‫ا‬
Bunyi dari ayat tersebut adalah” usholli ‘alaa haadzihil mayyitati arba’a
takbiraatin fardhol kifaayati ma’muuman lillaahi ta’aala.”
Artinya: Saya niat shalat di atas mayit perempuan ini empat kali takbir fardhu
kifayah karena menjadi makmum karena Allah ta’ala.
15
Niat menjadi imam sholat jenazah
Untuk menjadi imam, kita juga harus mengucapkan niat. Ketika menjadi
imam, lafadz pada bacaan ma’muuman diubah menjadi lafadz imaa’man.
Berikut ini adalah niat yang harus dibaca ketika menjadi imam bagi jenazah :
‫ض ْال ِكفَايَ ِة إِ َما ًما ِهللِ تَ َعالَى‬ ٍ ‫ت اَرْ بَ َع تَ ْكبِ َرا‬
َ ْ‫ت فَر‬ ْ ‫صلِّى َعلَى هَ َذ‬
ِ ِّ‫اال َمي‬ َ ُ‫ا‬

Bunyi dari ayat tersebut adalah “usholli ‘alaa haadzalmayyiti arba’a


takbiraatin fardhol kifaayati imaaman lillaahi ta’aala.”
Artinya: saya niat shalat atas mayit ini empat kali takbir fardhu kifayah
menjadi imam karena Allah ta’ala. Lafadz niat itu berlaku bagi jenazah
perempuan maupun jenazah laki-laki.
b. Takbir Pertama
Setelah membaca niat, kita akan melakukan takbir yang pertama. Takbir
yang pertama tersebut kita dianjurkan untuk membaca surat Al-fatihah.
c. Takbir Kedua
Takbir kedua masih dilakukan dalam posisi berdiri, jangan melakukan
sujud sebab dalam shalat jenazah tidak ada sujud. Pada saat takbir yang kedua
ini kita diwajibkan untuk membaca shalawat Nabi Muhammad SAW. Bunyi
shalawat yang lengkap adalah berikut ini:
ِ َ‫ َوب‬،‫ َرا ِهي َم‬IIْ‫لَّيْتَ َعلَى آ ِل إِب‬II‫ص‬
‫ َو َعلَى آ ِل‬،‫ار ْك َعلَى ُم َح َّم ٍد‬II َ ‫اللَّهُ َّم‬
َ ‫ا‬II‫ َك َم‬،‫ َو َعلَى آ ِل ُم َح َّم ٍد‬،‫ ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد‬II‫ص‬
‫ َك َما بَا َر ْكتَ َعلَى‬،‫ُم َح َّم ٍد‬
َ‫آ ِل إِب َْرا ِهي َم فِي ْال َعالَ ِمين‬
َ َّ‫إِن‬
‫ك َح ِمي ٌد َم ِجي ٌد‬
Bunyi shalawat di atas adalah “Allahumma shalli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa
ali muhammad. kamaa shallaita ‘alaa ibraahiim, wa ‘alaa ali ibraahiim.
wabaarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa ali muhammad. kamaa baarakta ‘alaa
ibraahiim, wa ‘alaa ali ibraahiim. Fil ‘alaamiina innaka hamiidummajiid”.
Artinya:
“Ya Allah limpahkanlah rahmat kepada Nabi Muhammad SAW, beserta
dengan keluarganya. Sebagaimana telah Engkau beri rahmat kepada Nabi
Ibrahim AS dan keluarganya. Dan limpahkanlah berkat atas Nabi Muhammad
SAW beserta dengan keluarganya. Sebagaimana Engkau memberi berkat atas
Nabi Ibrahim AS dan keluarganya. Di seluruh alam semesta, Engkaulah yang
Maha Terpuji dan Maha Mulia.
16
d. Takbir Ketiga
Takbir ketiga adalah membaca doa khusus jenazah. Pembacaan doa
tersebut berbeda tergantung dengan jenazahnya. Berikut ini adalah doa yang
diucapkan berdasarkan dengan jenazahnya :
Jenazah perempuan
Untuk jenazah perempuan bacaan doa yang harus dilafadzkan menggunakan
lafadz (haa). Berikut ini adalah bacaan doa lengkapnya :
‫اللهم اغفر لها وارحمها وعافيها واعف عنها‬
Bunyi bacaan tersebut adalah “Allaahummaghfir lahaa warhamhaa wa’aafihaa
wa’fu ‘anhaa.
Artinya: “Ya Allah, ampunilah dia, berilah rahmat dan sejahtera dan
maafkanlah dia .”
Jenazah laki-laki
Untuk jenazah laki-laki bacaan ( haa ) diganti dengan bacaan ( hu ). Berikut
ini adalah bacaan doa yang harus dibaca ketika jenazahnya laki-laki:
‫اللهم اغفر له وارحمه وعافيه واعف عنه‬
Bunyi bacaan tersebut adalah “Allaahummaghfir lahu warhamhu wa’aafihu
wa’fu ‘anhu.
Jenazah anak-anak
Untuk jenazah yang masih anak-anak, bacaan yang harus dibaca adalah
sebagai berikut ini:
‫اَللَّهُ َّم اجْ َع ْلهُ فَ َرطًَا اِل َبَ َو ْي ِه َو َسلَفًا َو ُذ ْخرًا‬
ِ ‫َو ِعظَةً َوا ْعتِبَارًا َو َشفِ ْيعًا َو ثَقِّلْ بِ ِه َم َو‬
‫از ْينَهُ َما‬
ُ‫َلى قُلُوْ بِ ِه َما َوالَ تَ ْفتِ ْنهُ َما بَ ْع َده‬
ٰ ‫ص ْب َرع‬ ِ ‫َواَ ْف ِر‬
َّ ‫غ ال‬
ُ‫َوالَ تَحْ ِر ْمهُ َما اَجْ َره‬
Bunyi dari ayat tersebut adalah : Allahummaj’alhu faratan li abawaihi wa
salafan wa dzukhro wa’idhotaw wa’tibaaraw wa syafii’an wa tsaqqil bihii
mawaa ziinahumawa-afri-ghish-shabra ‘alaa quluu bihimaa wa laa taf-tin-
humaa ba’dahu wa laa tahrim humaa ajrahu.”
Artinya:
“Ya Allah, jadikanlah ia sebagai simpanan pendahuluan bagi ayah bundanya
dan sebagai titipan, kebajikan yang didahulukan, dan menjadi pengajaran
ibarat serta syafa’at bagi orangtuanya. Dan beratkanlah timbangan ibu-
bapaknya karenanya, serta berilah kesabaran dalam hati kedua ibu bapaknya.
17
Dan janganlah menjadikan fitnah bagi ayah bundanya sepeninggalnya, dan
janganlah Tuhan menghalangi pahala kepada dua orang tuanya.”
e. Takbir Keempat
Takbir keempat kita akan membaca doa khusus. Berikut ini adlaah bacaan
yang harus dibaca ketika takbir yang keempat :
ُ‫اَللَّهُ َّم الَ تَحْ ِر ْمنا َ أَجْ َرهُ َوالَ تَ ْفتِنَا بَ ْع َدهُ َوا ْغفِرْ لَنا َ َولَه‬
Bunyi dari bacaan tersebut adalah “Allahumma laa tahrimnaa ajrahu wa laa
taftinnaa ba’dahu waghfir lanaa wa lahu.”
Artinya:
“Ya Allah, janganlah kiranya pahalanya tidak sampai kepada kami ( janganlah
Engkau meluputkan kami akan pahalanya), dan janganlah Engkau memberi
kami fitnah sepeninggalnya, dan ampunilah kami dan dia.”
f. Salam
Tata cara yang terakhir adalah salam. Bacaan salam adalah :
ُ‫ال َّسالَ ُم َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمةُ هللاِ َوبَ َر َكاتُه‬
Arti dari bacaan salam adalah “keselamatan dan rahmat Allah semoga tetap
pada kamu sekalian.”

2.2 Tata Cara Bersuci dan Shalat Bagi Orang Yang Sakit
2.2.1 Tata cara bersuci bagi orang yang sakit
1. Orang yang sakit wajib bersuci dengan air. Ia harus berwudhu jika berhadats
kecil dan mandi jika berhadats besar.
2. Jika tidak bisa bersuci dengan air karena ada halangan, atau takut sakitnya
bertambah, atau khawatir memperlama kesembuhan, maka ia boleh
bertayamum.
3. Tata cara tayamum : Hendaknya ia memukulkan dua tangannya ke tanah yang
suci sekali pukulan, kemudian mengusap wajahnya lalu mengusap telapak
tangannya.
4. Bila tidak mampu bersuci sendiri maka ia bisa diwudhukan, atau
ditayamumkan orang lain. Caranya hendaknya seseorang memukulkan
tangannya ke tanah lalu mengusapkannya ke wajah dan dua telapak tangan
orang sakit. Begitu pula bila tidak kuasa wudhu sendiri maka diwudhukan
orang lain.

18
5. Jika pada sebagian anggota badan yang harus disucikan terluka, maka ia tetap
dibasuh dengan air. Jika hal itu membahayakan maka diusap sekali, caranya
tangannya dibasahi dengan air lalu diusapkan diatasnya. Jika mengusap luka
juga membahayakan maka ia bisa bertayamum.
6. Jika pada tubuhnya terdapat luka yang digips atau dibalut, maka mengusap
balutan tadi dengan air sebagai ganti dari membasuhnya.
7. Dibolehkan betayamum pada dinding, atau segala sesuatu yang suci dan
mengandung debu. Jika dindingnya berlapis sesuatu yang bukan dari bahan
tanah seperti cat misalnya,maka ia tidak boleh bertayamum padanya kecuali
jika cat itu mengandung debu.
8. Jika tidak mungkin bertayamum di atas tanah, atau dinding atau tempat lain
yang mengandung debu maka tidak mengapa menaruh tanah pada bejana atau
sapu tangan lalu bertayamum darinya.
9. Jika ia bertayamum untuk shalat lalu ia tetap suci sampai waktu shalat
berikutnya maka ia bisa shalat dengan tayamumnya tadi, tidak perlu mengulang
tayamum, karena ia masih suci dan tidak ada yang membatalkan kesuciannya.
10. Orang yang sakit harus membersihkan tubuhnya dari najis, jika tidak mungkin
maka ia shalat apa adanya, dan shalatnya sah tidak perlu mengulang lagi.
11. Orang yang sakit wajib shalat dengan pakaian suci. Jika pakaiannya terkena
najis ia harus mencucinya atau menggantinya dengan pakaian lain yang suci.
Jika hal itu tidak memungkinkan maka ia shalat seadanya, dan shalatnya sah
tidak perlu mengulang lagi.
12. Orang yang sakit harus shalat di atas tempat yang suci. Jika tempatnya terkena
najis maka harus dibersihkan atau diganti dengan tempat yang suci, atau
menghamparkan sesuatu yang suci di atas tempat najis tersebut. Namun bila
tidak memungkinkan maka ia shalat apa adanya dan shalatnya sah tidak perlu
mengulang lagi.
13. Orang yang sakit tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya karena
ketidak mampuannya untuk bersuci. Hendaknya ia bersuci semampunya
kemudian melakukan shalat tepat pada waktunya, meskipun pada tubuhnya,
pakaiannya atau tempatnya ada najis yang tidak mampu membersihkannya.

19
2.2.2 Tata cara shalat bagi orang yang sakit
1. Orang yang sakit harus melakukan shalat wajib dengan berdiri meskipun tidak
tegak, atau bersandar pada dinding, atau betumpu pada tongkat.
2. Bila sudah tidak mampu berdiri maka hendaknya shalat dengan duduk. Yang
lebih utama yaitu dengan posisi kaki menyilang di bawah paha saat berdiri
dan ruku.
3. Bila sudah tidak mampu duduk maka hendaknya ia shalat berbaring miring
dengan bertumpu pada sisi tubuhnya dengan menghadap kiblat, dan sisi tubuh
sebelah kanan lebih utama sebagai tumpuan. Bila tidak memungkinkan
meghadap kiblat maka ia boleh shalat menghadap kemana saja, dan shalatnya
sah, tidak usah mengulanginya lagi.
4. Bila tidak bisa shalat miring maka ia shalat terlentang dengan kaki menuju
arah kiblat. Yang lebih utama kepalanya agak ditinggikan sedikit agar bisa
menghadap kiblat. Bila tidak mampu yang demikian itu maka ia bisa shalat
dengan batas kemampuannya dan nantinya tidak usah mengulang lagi.
5. Orang yang sakit wajib melakukan ruku dan sujud dalam shalatnya. Bila tidak
mampu maka bisa dengan isyarat anggukan kepala. Dengan cara untuk sujud
anggukannya lebih ke bawah ketimbang ruku. Bila masih mampu ruku namun
tidak bisa sujud maka ia ruku seperti biasa dan menundukkan kepalanya
untuk mengganti sujud. Begitupula jika mampu sujud namun tidak bisa ruku,
maka ia sujud seperti biasa saat sujud dan menundukkan kepala saat ruku.
6. Apabila dalam ruku dan sujud tidak mampu lagi menundukkan kepalanya
maka menggunakan isyarat matanya. Ia pejamkan matanya sedikit untuk ruku
dan memejamkan lebih banyak sebagai isyarat sujud. Adapun isyarat dengan
telunjuk yang dilakukan sebagian orang yang sakit maka saya tidak
mengetahuinya hal itu berasal dari kitab, sunnah dan perkataan para ulama.
7. Jika dengan anggukan dan isyarat mata juga sudah tidak mampu maka
hendaknya ia shalat dengan hatinya. Jadi ia takbir, membaca surat, niat ruku,
sujud, berdiri dan duduk dengan hatinya (dan setiap orang mendapatkan
sesuai yang diniatkannya).
8. Orang sakit tetap diwajibkan shalat tepat pada waktunya pada setiap shalat.
Hendaklah ia kerjakan kewajibannya sekuat dayanya. Jika ia merasa kesulitan
untuk mengerjakan setiap shalat pada waktunya, maka dibolehkan menjamak
dengan shalat diantara waktu akhir dzhuhur dan awal ashar, atau antara akhir
20
waktu maghrib dengan awal waktu isya. Atau bisa dengan jama taqdim yaitu
dengan mengawalkan shalat ashar pada waktu dzuhur, dan shalat isya ke
waktu maghrib. Atau dengan jamak ta’khir yaitu mengakhirkan shalat dzuhur
ke waktu ashar, dan shalat maghrib ke waktu isya, semuanya sesuai kondisi
yang memudahkannya. Sedangkan untuk shalat fajar, ia tidak bisa dijamak
kepada yang sebelumnya atau ke yang sesudahnya.
9. Apabila orang sakit sebagai musafir, pengobatan penyakit ke negeri lain maka
ia mengqashar shalat yang empat raka’at. Sehingga ia melakukan shalat
dzuhur, ashar dan isya, dua raka’at-raka’at saja sehingga ia pulang ke
negerinya kembali baik perjalanannya lama ataupun sebentar.

2.2.3 Hukum –hukum berhubungan dengan orang sakit


Di antara hukum-hukum shalat bagi orang yang sakit adalah sebagai berikut :
1. Orang yang sakit tetap wajib mengerjakan shalat pada waktunya dan
melaksanakannya menurut kemampuannya , sebagaimana diperintahkan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
‫فَاتَّقُوا هَّللا َ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم‬
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla menurut
kesanggupanmu” [at-Taghâbun/ 64:16]. Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits Imran Bin Husain Radhiyallahu ‘anhu:
ِ َ‫صلِّ قَائِ ًما فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ْستَ ِط ْع فَق‬
‫اعدًا‬ َّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن ال‬
َ ‫صاَل ِة فَقَا َل‬ َ ‫ي‬ ُ ‫َت بِي بَ َوا ِسي ُر فَ َسأ َ ْل‬
َّ ِ‫ت النَّب‬ ْ ‫َكان‬
ٍ ‫فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ْستَ ِط ْع فَ َعلَى َج ْن‬
‫ب‬
“Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang cara shalatnya. Maka beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu,
maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah” [HR al-
Bukhari no. 1117]
2. Apabila melakukan shalat pada waktunya terasa berat baginya, maka
diperbolehkan menjamâ’ (menggabung) shalat , shalat Zhuhur dan Ashar,
Maghrib dan ‘Isya` baik dengan jamâ’ taqdîm atau ta’khîr, dengan cara
memilih yang termudah baginya. Sedangkan shalat Shubuh maka tidak boleh
dijama’ karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya. Di
antara dasar kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abas Radhiyallahu ‘anhuma
yang berbunyi :
21
ٍ ْ‫ة فِي َغي ِْر خَ و‬Iِ َ‫ب َو ْال ِع َشا ِء بِ ْال َم ِدين‬
‫ف َواَل‬ ِ ‫الظه ِْر َو ْال َعصْ ِر َو ْال َم ْغ ِر‬
ُّ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بَ ْين‬
َ ِ ‫َج َم َع َرسُو ُل هَّللا‬
ُ‫ك قَا َل َك ْي اَل يُحْ ِر َج أُ َّمتَه‬ َ ِ‫س لِ َم فَ َع َل َذل‬
ٍ ‫ت اِل ب ِْن َعبَّا‬ ُ ‫ب) قُ ْل‬
ٍ ‫َمطَ ٍر قَا َل (أَبُوْ ُك َر ْي‬
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjama’ antara Zhuhur dan
Ashar, Maghrib dan Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu
Kuraib rahimahullah berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abas Radhiyallahu
‘anhu : Mengapa beliau berbuat demikian? Beliau Radhiyallahu ‘anhu
menjawab: Agar tidak menyusahkan umatnya.” [HR Muslim no. 705]
Dalam hadits di atas jelas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membolehkan kita menjamâ’ shalat karena adanya rasa berat yang
menyusahkan (Masyaqqah) dan sakit adalah Masyaqqah. Ini juga dikuatkan
dengan menganalogikan orang sakit dengan orang yang terkena istihâdhoh
yang diperintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengakhirkan
shalat Zhuhur dan mempercepat Ashar dan mengakhirkan Maghrib serta
mempecepat Isya’.
3. Orang yang sakit tidak boleh meninggalkan shalat wajib dalam segala kondisi
apapun selama akalnya masih baik.
4. Orang sakit yang berat shalat jama`ah di masjid atau ia khawatir akan
menambah dan atau memperlambat kesembuhannya jika shalat dimasjid,
maka dibolehkan tidak shalat berjama’ah. Imam Ibnu al-Mundzir
rahimahullah menyatakan: Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama
bahwa orang sakit dibolehkan tidak shalat berjama’ah karena sakitnya. Hal itu
karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sakit tidak hadir di Masjid
dan berkata:
َ ‫ُمرُوا أَبَا بَ ْك ٍر فَ ْلي‬
ِ َّ‫ُص ِّل بِالن‬
‫اس‬
“Perintahkan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu agar mengimami shalat”
[Muttafaqun ‘Alaihi]

2.3 Sakaratul Maut

Perawat memiliki peran untuk memenuhi kebutuhan biologis, sosiologis,


psikologis, dan spiritual klien. Seperti yang dikemukakan oleh Henderson, “The
unique function of the nurse is to assist the individual, sick or well in the performance
of those activities contributing to health or its recovery (or to a peaceful death) that
he would perform if he had the necessary strength will or knowledge”, maksudnya

22
perawat akan membimbing pasien saat sakaratul maut hingga meninggal dengan
damai. Biasanya pasien yang sangat membutuhkan bimbingan adalah pasien terminal
yang di diagnosis mengidap penyakit berat yang kemungkinan sembuh sangat kecil,
bahkan tidak dapat disembuhkan lagi dan berakhir dengan kematian. Tetapi pasien
yang non terminal juga di bimbing dengan sama (Basit, 2010).

2.3.1 Pengertian Sakaratul Maut.

Secara bahasa, “Sakaratun” berasal dari Bahasa Arab jamak yaitu “sakratun”
yang artinya ‘keadaan mabuk’. Sementara “Naza’ ” artinya mencabut, mencopot,
melepaskan, menghilangkan.

Pasien Naza’ (Sakaratul maut) merupakan kondis pasien yang sedang


menghadapi kematian, yang memiliki berbagai hal dan harapan tertentu untuk
meninggal. Kematian merupakan kondisi terhentinya pernapasan, nadi, dan tekanan
darah serta hilangnya respons terhadap stimulus eksternal, ditandai dengan
terhentinya aktivitas otak atau terhentinya fungsi jantung dan paru secara menetap.

Dalam konsep islam, fase sakaratul maut sangat menentukan baik atau
tidaknya seseorang terhadap kematiannya untuk menemui Allah, dan fase sakaratul
maut adalah fase yang sangat berat dan menyakitkan seperti yang disebutkan
Rasulullah. Dalam Al-hadits tentang sakaratul maut, Al-Hasan berkata bahwa
Rasulullah SAW pernah mengingatkan mengenai rasa sakit dan duka akibat kematian.
Beliau bertutur, “Rasanya sebanding dengan tiga ratus kali tebasan pedang.” (HR.Ibn
Abi ad-Dunya). Dalam Al-Quran pun telah disebutkan tentang sakaratul maut,
“Datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya.” (QS.50:19). “Alangkah
dahsyatnya ketika orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul
maut.” (QS. 6:93).

Imam Al Gazali berbicara tentang maut, “sesungguhnya diketahui dari jalan-


jalan yang menjadi pedoman dan al-quranul karim menyatakannya pula bahwa maut
tidak lebih perubahan keadaan manusia semata. Setelah berpisahnya jasad, wujudnya
tetap, hanya masalahnya dia tersiksa atau didalam nikmat allah”. Arti perpisahan
dengan jasad adalah berakhirnya kekuasaan atas jasad bersamaan dengan keluarnya
roh dari jasad tersebut atas kehendak masa yang telah ditetapkan baginya. Anggota
badan merupakan alat bagi manusia, seperti tangan dipergunakan untuk memukul dan

23
perbuatan-perbuatan lainnya, telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, dan yang
sebenarnya untuk memahami segala sesuatu adalah hati. Hati disini diibaratkan
sebagai roh karena itu disebut hati rohani bukan hati jasmani, dan roh dengan
sendirinya dapat mengetahui segala sesuatu tanpa bantuan alat atau indera.

2.3.2 Tanda-tanda Sakaratul Maut

Secara medis dapat disimpulkan bahwa tanda orang yang sakaratul maut diantaranya :

1. Kakinya terasa lebih dingin,


2. Jari kaki dan tangan nampak hijau kebiru-biruan,
3. Mata membalik,
4. Denyut nadi mulai tidak teraba,
5. Telinganya tampak lemas,
6. Sekali-kali merasa panas, minta dikipasi,
7. Tampak kesehatannya lebih baik.
8. Proses sakaratul maut bisa memakan waktu yang berbeda untuk setiap pasien.

Tanda – Tanda Sakaratul Maut Menurut Islam

1. Kematian Seratus Hari Sebelum Ajal

Yang pertama adalah tanda kematian dengan jarak 100 hari


sebelum kematiannya. Tanda ini dimulai setelah waktu ashar. Seluruh
tubuh manusia sedang sekarat akan merasa gemetar, bahkan berpikir
itu akan menyebar dari ubun-ubun ke ujung jari-jari kaki. Siapa saja
yang telah pernah merasakannya mengatakan bahwa tanda ini memiliki
rasa kenikmatan yang sangat luar biasa. Tapi sebenarnya itu isyarat
dari Allah untuk menjadi ciptaan-Nya yang akhir nya semakin dekat.

2. Kematian Empat Puluh Hari Sebelum Ajal

Suatu tanda kematian akan dirasakan lagi pada saat hari ke-40
dari hari kematian seseorang. Tandanya adalah seseorang mampu
merasakan suatu denyutan – denyutan yang terdapat di bagian pusar.
Waktu yang terjadi untuk tanda-tanda ini juga terjadi ba’da Ashar.
Dikatakan bahwa pada saat pusar berdenyut, terdapat daun yang

24
bertulis namanya yang berada pada Arsy telah gugur. Kemudian
malaikat maut segera mengambil satu helai daun itu. Lalu mulai pada
saat itu, dia akan mulai mengikuti dimanapun manusia tersebut berada.
Bahkan dikatakan, manusia tersebut yang mempunyai rasa keimanan
yang cukup tinggi akan bisa melihat wujud malaikat maut tersebut
walaupun hanya sekilas. Dan orang yang melihatnya biasanya akan
bingung dan merasa takut karena dia tahu bahwa waktunya di dunia ini
tinggal sebentar.

3. Kematian pada Tujuh Hari Sebelum Ajal

Selanjutnya yaitu terdapat tanda kematian yang terjadi tujuh


hari pada saat sebelum kematian mendatangi seorang manusia. Waktu
terjadinya tanda tersebut juga pada ba’da Ashar. Biasanya manusia
yang akan mengalami kematian akan merasa perubahan pada fisiknya
serta akan ada perubahan signifikan pada kebiasaan yang dijalaninya
selama ini. Isyaratnya mulai dirasakan pada keadaan fisik, seperti
perubahan kebiasaan. Contohnya adalah seseorang yang mendadak
punya selera makan tinggi padahal sedang mengidap penyakit parah.
Atau hal – hal lain yang di luar kebiasaan dan tidak terduga sebagai
kebiasaan wajar dari orang tersebut.

4. Kematian Pada Tiga Hari Sebelum Ajal

Kemudian tanda kematian akan dirasakan menjelang 3 hari


sebelum kematian tiba. Pada waktu ini, seseorang yang memiliki
kepekaan serta rasa iman yang cukup tinggi akan bisa merasakan tanda
datangnya kematian secara nyata. Salah satu tanda ini yang dimaksud
adalah berdenyut pada dahi. Lebih tepatnya berada di tengah-tengah
dahi. Selain itu, bola mata seseorang itu juga akan kehilangan warna
aslinya alias memudar dari sebelumnya. Kedua kaki akan terasa lebih
lemah, telinga tidak lagi tegak menawan, serta hidung akan terasa
sesak atau terbenam. Jika sudah memasuki tahap ini, disarankan agar
mulai berpuasa dan memperbanyak amalan shaleh lainnya. Berpuasa
disini selain meningkatkan amal ibadah menjelang kematian juga dapat

25
meminimalisir najis yang ada di perut manusia tersebut sehingga pada
saat dimandikan akan lebih muda untuk dibersihkan.

5. Kematian Sehari Sebelum Ajal

Akan tiba setelah waktu Ashar. Seseorang akan merasakan satu


denyutan di bagian belakang, yaitu di bagian ubun – ubun, yang
menandakan tidak akan sempat menemui waktu Ashar pada hari
berikutnya.

6. Tanda Akhir

Akan terasakan satu kondisi sejuk di bagian pusat dan hanya akan
turun ke pinggang, lalu seterusnya akan naik kembali ke bagian
tenggorokan. Pada waktu ini sebaiknya seseorang tersebut tetap mengucap
kalimat Syahadat dan berdiam diri menantikan kehadiran malaikat maut.
Sebaiknya bila sudah terasa tanda yang akhir sekali, mengucap dalam
diam dan jangan lagi berbincang – bincang.

Sementara itu, ciri-ciri pokok pasien yang akan melepaskan nafasnya yang
terakhir, yaitu :

1. Penginderaan dan gerakan menghilang secara berangsur-angsur yang dimulai


pada anggota gerak paling ujung khususnya pada ujung kaki dan tangan.
2. Ujung hidung yang terasa dingin dan lembab, kulit nampak kebiru-biruan
kelabu atau pucat.
3. Nadi mulai tak teratur, lemah dan pucat.
4. Terdengar suara mendengkur disertai gejala nafas cyene stokes.
5. Menurunnya tekanan darah.
6. Peredaran darah perifer menjadi terhenti dan rasa nyeri bila ada biasanya
menjadi hilang.
7. Kesadaran dan tingkat kekuatan ingatan bervariasi tiap individu.
8. Otot rahang menjadi mengendur
9. Wajah pasien yang tadinya kelihatan cemas nampak lebih pasrah menerima.

26
2.3.3 Peran Perawat Dalam Membimbing Pasien Yang Sakaratul Maut

Upaya-upaya yang harus dilakukan oleh perawat muslim terhadap klien


muslim yang sedang menjelang sakaratul maut:

1. Men-talqin (menuntun) dengan syahadat

Sesuai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Talqinilah


orang yang akan wafat di antara kalian dengan, “Laa illaaha illallah”.
Barangsiapa yang pada akhir ucapannya, ketika hendak wafat, ‘Laa illaaha
illallaah’, maka ia akan masuk surga suatu masa kelak, kendatipun akan
mengalami sebelum itu musibah yang akan menimpanya.”

Perawat muslim dalam mentalkinkan kalimah laaillallah dapat


dilakukan pada pasien muslim menjelang ajalnya terutama saat pasien akan
melepaskan nafasnya yang terakhir sehingga diupayakan pasien meninggal
dalam keadaan husnul khatimah.

Para ulama berpendapat, “Apabila telah membimbing orang yang


akan meninggal dengan satu bacaan talqin, maka jangan diulangi lagi.
Kecuali apabila ia berbicara dengan bacaan-bacaan atau materi
pembicaraan lain. Setelah itu barulah diulang kembali, agar bacaan La Ilaha
Illallha menjadi ucapan terakhir ketika menghadapi kematian. Para ulama
mengarahkan pada pentingnya menjenguk orang sakaratul maut, untuk
mengingatkan, mengasihi, menutup kedua matanya dan memberikan hak-
haknya.” (Syarhu An-nawawi Ala Shahih Muslim : 6/458)

2. Hendaklah mendo’akannya dan janganlah mengucapkan dihadapannya kecuali


kata-kata yang baik

Berdasarkan hadits yang diberitakan oleh Ummu Salamah bahwa


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Apabila kalian
mendatangi orang yang sedang sakit atau orang yang hampir mati, maka
hendaklah kalian mengucapkan perkataan yang baik-baik karena para
malaikat mengamini apa yang kalian ucapkan.”

Maka perawat harus berupaya memberikan suport mental agar pasien


merasa yakin bahwa Allah Maha Pengasih dan selalu memberikan yang

27
terbaik buat hambanya, mendoakan dan menutupkan kedua matanya yang
terbuka saat roh terlepas dari jasadnya.

3. Berbaik Sangka kepada Allah

Perawat membimbing pasien agar berbaik sangka kepada Allah SWT,


seperti di dalam hadits Bukhari : “Tidak akan mati masing-masing kecuali
dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah SWT.” Hal ini menunjukkan
apa yang kita pikirkan seringkali seperti apa yang terjadi pada kita karena
Allah mengikuti perasangka umatNya

4. Membasahi kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut

Disunnahkan bagi orang-orang yang hadir untuk membasahi


kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut tersebut dengan air atau
minuman. Kemudian disunnahkan juga untuk membasahi bibirnya dengan
kapas yg telah diberi air. Karena bisa saja kerongkongannya kering karena
rasa sakit yang menderanya, sehingga sulit untuk berbicara dan berkata-
kata. Dengan air dan kapas tersebut setidaknya dapat meredam rasa sakit
yang dialami orang yang mengalami sakaratul maut, sehingga hal itu dapat
mempermudah dirinya dalam mengucapkan dua kalimat syahadat. (Al-
Mughni : 2/450 milik Ibnu Qudamah)

5. Menghadapkan orang yang sakaratul maut ke arah kiblat

Kemudian disunnahkan untuk menghadapkan orang yang tengah


sakaratul maut kearah kiblat. Sebenarnya ketentuan ini tidak mendapatkan
penegasan dari hadits Rasulullah Saw. hanya saja dalam beberapa atsar
yang shahih disebutkan bahwa para salafus shalih melakukan hal tersebut.
Para Ulama sendiri telah menyebutkan dua cara bagaimana menghadap
kiblat :

a) Berbaring terlentang diatas punggungnya, sedangkan kedua telapak


kakinya dihadapkan kearah kiblat. Setelah itu, kepala orang
tersebut diangkat sedikit agar ia menghadap kearah kiblat.
b) Mengarahkan bagian kanan tubuh orang yang tengah sakaratul
maut menghadap ke kiblat. Dan Imam Syaukai menganggap
bentuk seperti ini sebagai tata cara yang paling benar. Seandainya
28
posisi ini menimbulkan sakit atau sesak, maka biarkanlah orang
tersebut berbaring kearah manapun yang membuatnya selesai.

Sesaat setelah ajal tiba atau setelah muhtadhir telah melalui kematiannya,
seperti adanya tanda-tanda mengendurnya telapak tangan dan kaki, cekungnya
pelipis dan hidung yang tampak lemas, tindakan berikutnya yang sunah dilalukan
adalah:

1. Memejamkan kedua matanya

Jika sampai terlambat hingga kedua matanya tidak bisa dipejamkan,


maka cara memejamkannya dengan menarik kedua lengan serta kedua ibu
jari kakinya secara bersamaan, niscaya kedua mata tersebut akan terpejam
dengan sendirinya.

2. Mengikat rahangnya ke atas kepala dengan memakai kain yang agak lebar
agar mulutnya tidak terbuka.

Melemaskan sendi-sendi tulangnya dengan melipat tangan ke siku,


lutut ke paha dan paha ke perut. Setelah itu dibujurkan kembali, kemudian
jari-jari tangannya dilemaskan. Jika agak terlambat sehingga tubuhnya
sudah kaku, maka sunah dilemaskan memakai minyak. Hikmah dari
pelemasan ini agar mempermudah proses pemandian dan pengkafanannya
nanti.

3. Melepaskan pakaiannya secara perlahan. Kemudian disedekapkan lalu


mengganti pakaian tersebut dengan kain tipis, (izar misalnya) yang ujungnya
diselipkan di bawah kepala dan kedua kakinya (menutupi semua tubuh).
Kecuali jika ia sedang menunaikan ibadah Ihram, maka kepalanya harus
dibiarkan tetap terbuka.
4. Meletakkan beban seberat 20 dirham (20gr x 2,75gr = 54,300 gr) atau
secukupnya di atas perutnya dengan dibujurkan dan diikat agar perutnya tidak 
membesar.
5. Membebaskan segala tanggungan hutang atau lainnya.

Jika tidak mungkin dilakukan pada saat itu, maka segeralah ahli
warinya malakukan aqad Hawalah (pelimpahan tanggungan hutang) dengan

29
orang-orang yang bersangkutan. Dan sunah bagi mereka menerima tawaran
tersebut.

Perawat tidak hanya memberikan bimbingan terhadap pasien naza’ saja


akan tetapi memberikan bimbingan bagi keluarga pasien yang sakaratul
maut yaitu dengan mengajak keluarga untuk tetap berusaha memberikan
yang terbaik untuk pasien sakaratul maut dengan ridho dan ikhlas atas apa
yang terjadi, Menghimbau untuk menciptakan suasana yang tenang, Ajak
untuk berdoa bersama serta pasrah dengan apa yang akan terjadi dan
menyadari bahwa sematamata atas kehendak-Nya.

2.3.4 Pemenuhan Kebutuhan gelisah menjelang kematian


1. Emosional
Hal ini untuk menggambarkan ungkapan sikap dan perasaan pasien dalam
menghadapi kematian
a. Mungkin pasien mengalami ketakutan hebat
b. Mengkaji hal yang diinginkan pasien
c. Mengkaji pengaruh kebudayaan atau agama terhadap pasien (Taufik,
2010)
2. Rohani
a. Bersabar dan Mengharap Pahala kepada Allah
Kesabaranmu menahan penderitaan dan rasa sakit adalah sarana agar
kamu mendapat pahala dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengujimu
melainkan untuk melihat kesabaranmu, lalu memberi ganjaran pahala
kepadamu. Bisa dikatakan sabar dalam menahan sakit, jika ia melakukan
dalam 3 hal di bawah ini
1) Tidak marah dan berkeluh kesah. Hal ini mengharuskanmu untuk
berbaik sangka kepada Allah dan hendaklah kamu ridha dengan
pemberian Allah kepadamu.
2) Menahan diri agar tidak mengadu kepada siapapun kecuali kepada
Allah saja.
3) Menjaga seluruh anggota tubuh dari perbuatan yang bisa
menghilangkan kesabaran.
b. Jangan Mengeluh saat Sakit

30
orang sakit hendaknya jangan berkeluh kesah. Allah telah berfirman
dalam Qs. Shad: 41,

A
rtinya: Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru
Rabbnya, 'Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan
siksaan. (Shad: 41)
Coba kita cermati perkataan Nabi Ayyub di atas. Sungguh
menakjubkan, dimana beliau tidak mengatakan, 'Ya Allah Engkau telah
membuatku sakit.' dan tidak pula, 'Ya Allah Engkau telah membuatku
bosan dengan penyakit ini.' Namun Nabi Ayyub mengatakan,
"Sesungguhnya aku diganggu setan."
Padahal saat itu sakit yang diderita Nabi Ayyub sangatlah parah,
beliau tidak mengeluh. Beliau jalani sakitnya dengan penuh kesabaran.
Dengan kesabaran dan ketawakalan kepada Allah akhirnya Allah berikan
kesembuhan kepadanya. Subhanaallah, semoga kita bisa meniru akhlak
beliau alaihissalam.

c. Jangan Mencela Sakit


Di saat sakit, orang Islam dilarang mencela sakit yang sedang
menimpa. Sebab,mencela dan menyalahkan sakit itu tandanya tidak sabar
dalam menjalaninya. Padahal di saat sakit kita dianjurkan tetap bersabar
dan tawakal kepada Allah.
Jabir bin Abdullah pernah menyampaikan bahwasannya Rasulullah
shalallahu alaihi wassalam pernah menjenguk Ummu Saib, lantas
bertanya, "Wahai Ummu Saib, kenapa engkau menggigil?"
Ia menjawab, 'Demam, mudah mudahan Allah tidak memberkatinya."
Beliau bersabda, "Janganlah engkau mencela demam, karena ia dapat
menghilangkan dosa dosa anak adam seperti tungku pandai besi
menghilangkan karat besi." (HR. Muslim)

31
d. Hendaknya meletakkan tangannya pada bagian yang sakit kemudian
mengucapkan do’a dari hadits (yang shahih) seperti :

“Dengan menyebut Nama Allah (tiga kali).”

K
emudian mengucapkan sebanyak tujuh kali:
“Aku berlindung kepada Allah dan kepada kekuasaan-Nya
dari keburukan apa yang aku temui dan aku hindari.” [HR. Muslim
no. 2022 (67)]
e. Berusaha untuk meminta kehalalan atas barang-barang yang masih
menjadi tanggungannya, barang yang menjadi hutangnya atau yang
pernah dirampas dari pemiliknya, menuliskan wasiat dengan menjelaskan
apa-apa yang merupakan miliknya, hak-hak manusia yang harus
dipenuhinya, juga wajib baginya untuk mewasiatkan harta-harta yang
bukan merupakan bagian dari warisannya, tanpa merugikan hak-hak
warisnya.
f. Tidak boleh menggantungkan jampi-jampi, jimat-jimat, dan semua yang
mengandung kesyirikan.
Namun disyari’atkan baginya untuk mengobati sakitnya dengan ruqyah
dan do’a-do’a yang disyari’atkan (do’a dari al-Qur-an dan as-Sunnah).
g. Hendaknya bersegera untuk bertaubat secara sungguh-sungguh dengan
memenuhi
syarat-syaratnya dan senantiasa memperbanyak amalan shalih.

32
h. Bagi orang yang sakit hendaknya berhusnuzhan (berprasangka baik)
kepada Allah dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya dengan
menggabungkan antara takut dan pengharapan, serta disertai amalan yang
ikhlas. Hal ini berda-sarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:

3. Jasmani
Kemampuan toleransi terhadap rasa sakit berbeda setiap orang. Tindakan
yang dapat memungkinkan rasa nyaman : mengubah posisi, tidur, teknik
nafas dalam dan perawatan fisik. Lalu dapat juga dengan mendengarkan
murrotal, mentadaburi ayat-ayat suci Al- qur’an serta berzikir.

2.4 Hukum Pengobatan Alternatif dan Dukun


2.4.1 Perbedaan Pendapat Ulama Untuk Berobat
Bila kita menyelam agak lebih jauh ke dalam pembahasan para ulama
tentang hukum berobat atau mencari kesembuhan dari penyakit (at-Tadawi),
sebenarnya para ulama masih berbeda pendapat tentang hukumnya. Sebagian
mengatakan bahwa berupaya mencari kesembuhan dari penyakit merupakan
perintah agama yang hukumnya sunnah. Namun sebagian lainnya justru
mengatakan sebaliknya, bagi mereka bersabar adalah lebih utama dan berobat
tidak menjadi sunnah atau anjuran dalam agama.
Dalil yang digunakan oleh mereka yang menyunnahkan berobat adalah
hadits Rasulullah SAW berikut :
Allah SWT tidak menurunkan penyakit kecuali diturunkan juga
obatnya. (Al-Hadits).
Selain itu dahulu Rasulullah SAW pernah berobat dan berupaya untuk
mendapatkan kesembuhan dari penyakit yang pernah menimpanya.
Sedangkan para ulama yang tidak menganjurkan untuk mencari
kesembuhan antara lain adalah Al-Imam An-Nawawi rahimahullah. Tertulis
dalam kitab beliau Al-Majmu` Syarah Al-Muhazzab bahwa bersabar dan
bertawakkal kepada Allah SWT atas penyakit yang diberikannya adalah lebih
utama. Sebagian lainnya mengatakan bahwa orang yang tawakkalnya kuat

33
tidak berupaya mencari kesembuhan, sebaliknya orang yang tawakkalnya
lemah mencari kesembuhan.
Selain itu juga ada riwayat dari hadits Rasulullah SAW tentang
seorang wanita yang minta didoakan kesembuhan oleh Rasulullah SAW,
namun beliau memberikan pilihan untuk bersabar dan mendapat pahala sabar.
Dari Atha` bin Abi Rabah ra berkata,”Ibnu Abbas ra berkata
kepadaku,”Maukah aku tunjukkan kamu seorang wanita ahli surga?”. Aku
bilang,”Mau”. “Inilah wanita hitam yang datang kepada Nabi SAW
meminta,”Aku menderita penyakit ayan (epilepsi) dan aku takut pakaianku
tersingkap saat datang ayanku. Mintakan kepada Allah untuk kesembuhanku”.
Rasulullah SAW menjawab,”Bila kamu mau, bersabarlah maka kamu akan
masuk surga. Tapi kalau tidak mau bersabar, aku akan meminta kepada Allah
agar kamu segera sembuh”. Wanita itu menjawab,”Aku memilih bersabar, tapi
aku tetap takut pakaianku tersingkap saat ayan, mintalah kepada Allah agar
saat ayan pakaianku tidak akan tersingkap”. Maka Rasulullah SAW berdoa
untuknya. (HR. Bukhari Muslim).
Namun pendapat yang menurut kami lebih kuat adalah yang
menganjurkan atau menyunnahkan kita untuk mencari kesembuhan. Sebab hal
itu merupakan hal yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW.

2.4.2 Bentuk Dan Jenis Pengobatan


Pengobatan dapat dibagi menjadi dua yaitu pengobatan yang
dihalalkan dan yang diharamkan. Pengobatan yang dihalalkan adalah segala
macam pengobatan yang tidak bertentangan dengan Syariah, al: .
a. Pengobatan nabawi, yang secara jelas teksnya disebutkan dalam Al-
Qur’an maupun hadits, seperti pengobatan dengan madu, habah sauda’
(jinten hitam ) air zamzam, ruqiyah dengan membacakan alqur’an bagi
orang yang kesurupan dan kemasukan jin dll.
b. Pengobatan secara medis, yang secara ilmiyah dapat dipertanggung-
jawabakan
c. Pengoabatan secara tradisional, seperti dengan jamu (dengan bahan yang
halal dan tidak merusak), refleksi, dan obat-obatan tradisional yang
lainnya (dengan bahan yang halal dan tidak merusak).
d. Sedangkan pengobatan yang haram adalah pengobatan yang menyimpang
dari Syariah, seperti menggunakan sihir, dukun, meminta bantuan jin.
Pernyataan bahwa jin itu muslim, kita tidak dapat mempercayainya
seratus persen. Karena jin banyak dustanya dan kita tidak mungkin bisa
membuktikan bahwa dia jin itu muslim atau tidak, karena alamnya sudah
berbeda. Dan selanjutnya bahwa Allah SWT. Mencela orang yang datang
meminta tolong pada jin. (surat Jin : 6). Dan yang banyak terjadi pada

34
pengobatan alternatif adalah secara prinsip mengunakan sihir atau
bantuan jin, sedangkan obat-obatan tradisional, atau mungkin dengan
disuruh baca al-qur’an dan do’a-do’a hanyalah kamuflase belaka. Maka
hati-hatilah agar kita tidak terjerumus pada syirik dan dosa besar lainnya.

2.4.3 Pengobatan Alternatif


Manusia sudah mengenal dunia pengobatan seumur dengan manusia
itu sendiri. Dunia kedokteran barat hanyalah murid dari dunia kedokteran
Islam pada masa kejayaannya. Sayangnya, kedokteran barat pada hari ini
terlalu congkak untuk dapat menoleh kepada dunia pengobatan dari luar
peradaban mereka sendiri.
Padahal di banyak negeri, pengobatan juga telah banyak mencapai
puncaknya. Seperti negeri cina yang kaya dengan pengobatan dan beragam
ilmu-ilmunya. Negeri kita pun memiliki banyak orang yang ahli dibidang
pengobatan seperti pijat patah tulang dan lainnya. Seharusnya dunia
kedokteran modern melakukan penelitian yang lebih luas lagi agar dapat
memperkaya khazanah dunia pengobatan dan perawatan pada orang sakit.
Karena mereka kurang mau melihat fenomena yang ada di
sekelilingnya, maka beragam jenis pengobatan selain dari dunia kedokteran
barat sering dianggap tidak resmi, tidak ilmiyah, tidak bisa dipertanggung-
jawabkan dan seterusnya. Padahal dari segi kenyataan, begitu banyak metode
pengobatan yang telah berhasil mengatasi hal-hal yang tidak mampu
dikerjakan oleh dokter barat itu. Pengobatan itu sering disebut dengan
pengobatan alternatif.

2.4.4 Syarat Pengobatan Alternatif Yang Dibenarkan Syariah


Hanya perlu diperhatikan dalam pengobatan alternatif agar tidak
melakukan hal-hal yang dilarang syariat, seperti minta bantuan jin, memberi
sesajian atau hal-hal lain yang membawa kepada kemusyrikan. Diantara ciri-
ciri pengobatan alternatif yang diharamkan adalah :
a. Bila terindikasi adanya persembahan kepada selain Allah
Misalnya bila harus ada ketentuan menyembelih nyawa hewan tertentu
untuk dipersembahkan sebagai syarat tertentu. Padahal kita diharamkan untuk
menyembelih hewan kecuali untuk jenis ibadah tertentu yang terbatas, seperti
ibadah qurban, aqiqah, membayar dam haji. Sedangkan penyembelihan yang
ditujukan sebagai ritual khusus akan sangat terindikasi sebagai penyembelihan
yang tujuannya bukan karena Allah.
Diharamkan bagimu bangkai, darah , daging babi, yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang

35
ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya dan yang disembelih untuk berhala. …(QS. Al-Maidah : 3)
b. Bila terindikasi menggunakan jin (makhluq halus)
Misalnya dengan bantuan khadam, jin atau nama-nama lainnya yang
intinya adalah makhluq ghaib. Perbuatan ini jelas bertentangan dengan apa
yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat. Sebab mereka
belum pernah berobat dengan menggunakan media jin atau makhluq halus
jenis apapun.
Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia
meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu
menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.(QS. Al-Jin : 6))
Yang agak sulit untuk dibedakan adalah bila sang penyembuh tidak
mengatakan bahwa pengobatannnya menggunakan makhluq seperti jin. Tetapi
menyamarkannya dengan istilah-istilah yang terkesan agak berbau ilmiyah.
Misalnya pengobatan dengan menggunakan energi tertentu. Padahal istilah
energi adalah kosa kata milik ilmu fisika yang terukur dan jelas jenisnya
apakah energi kinetik atau energi potensial. Penggunaan istilah energi dalam
kebanyakan pengobatan alternatif cenderung sulit dipisahkan dengan makna
yang berbau makhluq halus.
Dan tidak sedikit diantara mereka yang pada awalnya memang semata-
mata tidak menggunakan makhluq halus, namun pada tingkat tertentu dari
pengobatan itu, barulah jin memainkan peranan. Siasat seperti ini sudah bukan
hal yang aneh lagi buat para jin. Sebab bila sejak awal sudah disebutkan ada
peranan jin dalam pengobatan itu, biasanya orang-orang akan enggan berobat.
Maka jin baru akan digunakan ketika para pasien sudah mulai percaya atas
sistem pengobatannya.
Memang demikianlah ciri syetan, selalu punya langkah-langkah yang
spesifik dalam menjerat korbannya. Padahal Allah SWT sudah mengingatkan
kita agar tidak terperangkap langkah-langkahnya.
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;
karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.(QS. Al-
Baqarah : 168)
c. Bila terindikasi menggunakan cara syirik
Misalnya pasien diminta untuk melakukan tapa di tempat tertentu.
Atau memasang jimat tertentu yang hukumnya syirik. Atau diminta untuk
mendatangi makam / kuburan keramat tertentu. Padahal baik kuburan maupun
mayat yang terbujur kaku di dalamnya sama sekali tidak bisa membela dirinya
sendiri, apalagi membagi-bagikan obat untuk orang yang masih hidup.

36
Tentu tindakan seperti ini adalah bentuk kemusyrikan yang pelakunya
diancam tidak akan diampuni dosanya di akhirat. Sebagaimana firman Allah
SWT :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-
Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar”.(QS. An-Nisa : 48)
d. Bila terindikasi menggunakan cara-cara yang diharamkan
Misalnya pengobatan dengan meminta pasien meminum air
kencingnya sendiri. Padahal air kencing itu hukumnya najis dan haram
diminum. Atau dengan memakan makanan yang jelas-jelas telah diharamkan
oleh Allah SWT dalam syariat Islam. Misalnya pasien diminta memakan
daging babi, daging anjing, atau minum darah serta memakan makanan haram
lainnya.
Bila melihat hadits di atas bahwa setiap Allah SWT menurunkan
penyakit, maka sudah pasti ada obatnya yang juga Allah turunkan. Tentunya
obat itu bukan dari barang yang haram secara syar’i.
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi
karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas
nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia
tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS. Al-An’am : 145)

2.4.5 Hukum Berobat ke Dukun


Tidak boleh bertanya kepada wanita ini dan orang-orang sepertinya,
karena ia termasuk golongan peramal dan dukun yang mengklaim mengetahui
perkara gaib serta meminta bantuan kepada jin dalam pengobatan mereka dan
berita-berita yang mereka sampaikan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
“Barangsiapa mendatangi peramal lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu,
maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari.” (HR. Muslim dalam
Shahihnya).
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa mendatangi peramal atau dukun lalu mempercayai apa yang
dikatakannya, maka ia telah kafir kepada apa yang diturunkan kepada
Muhammad.”

37
Hadis-hadis yang semakna dengan ini cukup banyak.
Kewajiban kita ialah mencegah mereka dan siapa yang datang kepada
mereka, tidak bertanya kepada mereka dan mempercayai mereka, serta
melaporkan mereka kepada pejabat yang berwenang sehingga mereka
dihukum dengan hukuman yang setimpal. Karena membiarkan mereka dan
tidak melaporkan mereka akan membahayakan semua orang, serta membantu
keterpedayaan orang-orang bodoh kepada mereka, bertanya kepada mereka,
dan mempercayai mereka.

38
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Perawat memiliki peran untuk memenuhi kebutuhan biologis, sosiologis,


psikologis, dan spiritual klien. Pasien Naza’ (Sakaratul maut) merupakan kondis
pasien yang sedang menghadapi kematian, yang memiliki berbagai hal dan harapan
tertentu untuk meninggal. Kematian merupakan kondisi terhentinya pernapasan, nadi,
dan tekanan darah serta hilangnya respons terhadap stimulus eksternal, ditandai
dengan terhentinya aktivitas otak atau terhentinya fungsi jantung dan paru secara
menetap. Peran perawat dalam membimbing pasien yang sakaratul mau adalah
dengan men-talqin (menuntun) dengan syahadat, hendaklah mendo’akannya dan
janganlah mengucapkan dihadapannya kecuali kata-kata yang baik, berbaik Sangka
kepada Allah, membasahi kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut, dan
menghadapkan orang yang sakaratul maut kea rah kiblat.

Setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat, wajib dimandikan bila
ia wafat, sekalipun seorang fasik yang menampakkan kefasikannya, bahkan anak zina
dan janin masih berusia empat bulan. Disunnahkan untuk bergegas dalam
memandikan mayat ketika diyakini akan kematiannya. Seandainya mayat dikuburkan
sebelum sempat dimandikanmaka harus digali dan dimandikan. Jika tidak didapati
lagi jasad mayat kecuali sedikit saja maka tetap dimandikan dan dishalatkan, menurut
Syafi’i dan Hanbali karena sesuai dengan tindakan para sahabat. Sedangkan Abu
Hanifah dan Malik berpendapat jika jasad yang ditemukan lebih banyak maka
dishalatkan, sedang jika sedikit saja maka tidak perlu lagi. Tayamum bisa
menggantikan posisi memandikan mayat ketika tidak adanya air atau sulit untuk
dimandikan, seperti jika ditakutkan tubuh mayat akan terkelupas jika dimandikan.
Namun, jika tidak ditakutkan apa-apa maka harus dimandikan dengan disiram air.

Pada dasarnya setiap muslim selama sadar atau dalam keadaan sakit, tetap
diwajibkan untuk shalat. Tetapi, apabila tidak dapat melakukan shalat seperti biasa
yaitu berdiri, maka dapat melakukannya dengan duduk, atau berbaring, atau isyarat
mata atau hati.

39
3.2 Saran
Kita sebagai perawat hendaklah memiliki sikap perawat islami, untuk itu
penting untuk memahami mengenai pengurusan jenazah, tata cara bersuci dan shalat
bagi orang sakit, peran perawat dalam membimbing sakaratul maut, dan hokum
pengobatan alternative dan dukun. Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini
masih banyak yang perlu di koreksi, maka kami mengharapkan pembaca untuk
memberikan saran dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul Basit. 2010. Bimbingan Rohani Islam bagi Pasien. Jogyakarta: Mahameru
Press.
2. As-Said, Syaikh Shalahudin. 2017. Detik-detik Sakaratul Maut. Jakarta : Aqwam
Jembatan Ilmu.
3. Ayyub, Hassan. 2015. Fiqih Ibadah. Jakarta : Penerbit Fathan.
4. Azzet, Ahmad. 2011. Tuntunan sholat fardu dan sunnan. Jogjakarta : Darul hikmah.
5. Hadi, Muhammad Abdul. 2002. Menjemput Sakaratul Maut Bersama Rasulullah.
Jakarta : Penerbit Gema Insani.
6. Iqhali, gazali. 2010. Cara bersuci dan shalat orang sakit. Jakarta : rinekacipta.
7. Misliyani. 2009. Ibadah tayamum dan mandi wajib. Serang : As-syifa.
8. Sarwat, ahmad. 2018. Sholat orang sakit. Jakarta : rumah fiqih publishing.
9. Syaikh Amin bin Abdullah,dkk.2013.Adab Menjenguk Orang Sakit asy-Syaqawi
.Jakarta:Islam House
10. Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Fatawa al-Ilaj bi Al-Qur’an wa as-Sunnah – ar-Ruqa
wama yata’allaqu biha, hal. 46-47. Terkini Jilid 3, Darul Haq Cetakan IV

41

Anda mungkin juga menyukai