Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN PTERIGIUM

RSD IDAMAN BANJARBARU

Untuk Menyelesaikan Tugas Profesi Keperawatan Dasar Profesi


Program Profesi Ners

Disusun Oleh:
Raihana
11194692110117

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2020
LEMBAR PERSETUJUAN

LAPORAN PENDAHULUAN PTERIGIUM


Di RUANG NURI RSD IDAMAN BANJARBARU
Tanggal ..................................

Disusun oleh :
Raihana
NIM: 11194692110116

Banjarmasin, …………………….
Mengetahui,
Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

(……………………………..) (……………………………..)
NIK. NIK.

ii
I. KONSEP ANATOMI FISIOLOGI KONJUNGTIVA

Gambar 1. Mata
A. Anatomi Konjungtiva
Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga
lima lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Sel- sel
epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang
mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke
tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara
merata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel
superfisial dan dapat mengandung pigmen. Pada konjungtiva terdapat
kelenjar Bruch, yaitu kelenjar limfe konjungtiva yang terletak pada
kelopak bawah, dan kelenjar Krause yang merupakan kelenjar lakrimal
aksesori yang terletak dekat forniks konjungtiva.
Arteri yang memperdarahi konjungtiva ada 3 yaitu arteri perifer
arcade dari palpebra, marginal arcade dari palpebra, dan arteri siliaris
anterior. Konjungtiva palpebra dan forniks mendapatkan perdarahan dari
perifer dan marginal arcade dari palpebra, sedangkan konjungtiva bulbi
mendapatkan perdarahan dari arteri konjungtival posterior (cabang dari
arteri arcade palpebra) dan arteri konjungtival anterior (cabang dari arteri
siliaris anterior).

1
Drainage pada konjungtiva mengalir ke plexus vena pada palpebra
dan beberapa melingkari kornea menuju ke vena siliaris anterior. Sistem
limfatik terbagi menjadi 2 bagian yaitu superfisial dan profundus.
Limfatik dari lateral mengalir ke lymph node preaurikuler, sedangkan
dari medial mengalir ke lymph node submandibular . Konjungtiva
menerima persarafan dari percabangan pertama nervus V dengan serabut
nyeri yang relatif sedikit (Hulandari, 2017).
B. Fisiologi Konjungtiva
Bola mata terdiri dari tiga lapisan. Lapisan pertama adalah sklera
yang merupakan jaringan penyangga. Bagian dalam dari sklera berdekatan
dengan koroid dimana di lapisan itu terdapat berbagai jenis jaringan ikat
dan jaringan penyangga antar sel termasuk adanya melanosit dan
makrofag. Pada bagian anterior terdapat lapisan tipis transparan yaitu
konjungtiva yang berfungsi meneruskan cahaya masuk dalam mata
(Hulandari, 2017).
C. Kebutuhan Dasar Manusia
Kebutuhan dasar manusia adalah unsur-unsur yang dibutuhkan
manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun
psikologis, yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan maupun
kesehatan. Kebutuhan menyatakan bahwa bahwa setiap manuasia
memiliki lima kebutuhan dasar yaitu fisisologis, keamanan, cinta, harga
diri, dan aktualisasi diri.
Berdasarkan teori Edward Thorndyke dan definisi tentang
keperawatan, Virginia Henderson membagi tugas keperawatan menjadi 14
komponen yang berusaha untuk memenuhi kehidupan manusia.
Pembagian dari 14 komponen kebutuhan dasar manusia dijadikan pilar
dari model keperawatan, Virginia Henderson menyatakan bahwa perawat
harus selalu mengakui pola kebutuhan dasar pasien harus dipenuhi dan
perawat harus selalu mencoba menempatkan dirinya pada posisi pada
pasien. Adapun kebutuhan dasar manusia menurut teori Virgina
Henderson meliputi 14 komponen (Aini, 2018).

2
1. Bernapas secara normal.
2. Makan dan minum yang cukup.
3. Eliminasi (BAK dan BAB).
4. Bergerak dan mempertahankan postur yang diinginkan.
5. Tidur dan istirahat.
6. Memilih pakaian yang tepat dan sesuai.
7. Mempertahankan suhu tubuh dalam kaisaran yang normal.
8. Menjaga kebersihan diri dan penampilan (mandi).
9. Menghindari bahaya dari lingkungan dan menghindari bahaya orang
lain.
10. Berkomunikasi dengan orang lain dalam mengekspresikan emosi,
kebutuhan, dan kehawatiran.
11. Beribadah sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya. 9
12. Bekerja untuk modal membiyayai kebutuhan hidup.
13. Bermain atau berpartisipasi dalam bentuk rekreasi.
14. Belajar, menemukan, atau memuaskan rasa ingin tau yang mengarah
pada perkembangan yang normal, kesehatan, dan penggunaan fasilitas
kesehatan yang tersedia.

II. KONSEP DASAR PENYAKIT


A. Definisi

Gambar 2. Pterigium

3
Pterigium adalah suatu timbunan atau benjolan pada selaput lendir
atau konjungtiva yang bentuknya seperti segitiga dengan puncak berada di
arah kornea. Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak
kurang nyaman karena biasanya akan berkembang dan semakin membesar
dan mengarah ke daerah kornea, sehingga bisa menjadi menutup kornea dari
arah nasal dan sampai ke pupil, jika sampai menutup pupil maka
penglihatan kita akan terganggu. Suatu pterygium merupakan massa ocular
eksternal superficial yang mengalami elevasi yang sering kali terbentuk
diatas konjungtiva perilimbal dan akan meluas ke permukaan kornea.
Pterygia ini bisa sangat bervariasi, mulai dari yang kecil, jejas atrofik yang
tidak begitu jelas sampai yang besar sekali, dan juga jejas fibrofaskular yang
tumbuhnya sangat cepat yang bisa merusakkan topografi kornea dan dalam
kasus yang sudah lanjut, jejas ini kadangkala bisa menutupi pusat optik dari
kornea.

Kondisi pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata,


menjadi merah dan meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa
mengganggu proses cairan mata atau yang disebut dry eye syndrome.
Sekalipun jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut atau apabila kelainan ini
didiamkan lama akan menyebabkan hilangnya penglihatan si penderita.
Evakuasi medis dari dokter mata akan menentukan tindakan medis yang
maksimal dari setiap kasus, tergantung dari banyaknya pembesaran
pterygium. Dokter juga akan memastikan bahwa tidak ada efek samping
dari pengobatan dan perawatan yang diberikan.

B. Klasifikasi
Berdasarkan stadium pterigium dibagi menjadi 4 derajat yaitu:
1. Derajat I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
2. Derajat II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai
pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.

4
3. Derajat III : jika pterigium sudah melebihi derajat II tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil
sekitar 3-4 mm).
4. Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi yaitu:
1. Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2. Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.
Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus
diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:
1. T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
2. T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
3. T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas. 6

C. Etiologi
Penyebab pterigium belum dapat dipahami secara jelas, diduga
merupakan suatu neoplasma radang dan degenerasi. Namun, pterigium
banyak terjadi pada mereka yang banyak menghabiskan waktu di luar
rumah dan banyak terkena panas terik matahari. Faktor resiko terjadinya
pterigium adalah tinggal di daerah yang banyak terkena sinar matahari,
daerah yang berdebu, berpasir atau anginnya besar. Penyebab paling umum
adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima
oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, dan angin (udara panas)
yang mengenai konjungtiva bulbi berperan penting dalam hal ini. Selain itu
dapat pula dipengaruhi oleh faktor2 lain seperti zat allegen, kimia dan zat
pengiritasi lainnya. Pterigium Sering ditemukan pada petani, nelayan dan
orang-orang yang tinggal di dekat daerah khatulistiwa. Jarang menyerang
anak-anak.
D. Patofisiologi

5
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik
kolagen dan ploriferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi
epithelium, Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi
elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin.
Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi
bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa
dihancurkan oleh elastase.
Secara histopalogis ditemukan epitel konjungtiva irrekuler kadang-
kadang berubah menjadi gepeng. Pada puncak pteregium, epitel kornea
menarik dan pada daerah ini membran bauman menghilang. Terdapat
degenerasi stauma yang berfoliferasi sebagai jaringan granulasi yang
penuh pembulih darah. Degenerasi ini menekan kedalam kornea serta
merusak membran bauman dan stoma kornea bagian atas.

6
PATWAYS

Sinar Ultra Violet Angin,asap dan debu Zat kimia Zat pengiritasi

Semua alergi menuju ke bagian nasal orbita

Tenjadi iritasi

Pterygium

Penebalan dan pertumbuhan


Konjungtiva bulbi meningkat

Menjalar ke kornea

Gangguan rasa nyaman Perubahan rasa nyaman Menutupi kornea


(Rasa kemeng di mata,
(sensasi benda asing di
Sensasi benda
mata) asing)
Pandangan kabur Gangguan
persepsi sensori

Risiko cidera Dilakukan tindakan operatif Ansietas

Terjadi trauma jaringan (luka)

Gangguan persepsi Risiko Infeksi


sensori
Nyeri

Risiko Cidera

Sumber :(Cobb, 2019)

7
E. Manifestasi Klinis
1. Mata iritatatif, merah, gatal, dan mungkin menimbulkan astigmatisme.
2. Kemunduran tajam penglihatan akibat pteregium yang meluas ke kornea
(Zone Optic).
3. Dapat diserati keratitis Pungtata, delen (Penipisan kornea akibat kering)
dan garis besi yang terletak di ujung pteregium.

F. Komplikasi
Komplikasi dari pterygium meliputi sebagai berikut:
1. Penyimpangan atau pengurangan pusat penglihatan
2. Kemerahan
3. Iritasi
4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi
penglihatan dan memberi kontribusi terjadinya diplopia. Bekas luka yang
berada ditengah otot rektus umumnya menyebabkan diplopia pada pasien
dengan pterygium yang belum dilakukan pembedahan. Pada pasien
dengan pterygia yang sudah diangkat, terjadi pengeringan focal kornea
mata akan tetapi sangat jarang terjadi. Komplikasi postooperasi pterygium
meliputi:
1. Infeksi
2. Reaksi material jahitan
3. Diplopia
4. Conjungtival graft dehiscence
5. Corneal scarring
6. Komplikasi yang jarang terjadi meliputi perforasi bola mata perdarahan
vitreous, atau retinal detachment.
Komplikasi akibat terlambat dilakukan operasi dengan radiasi beta pada
pterygium adalah terjadinya pengenceran sclera dan kornea.

8
G. Anamnesa dan Pemeriksaan Penunjang
1. Anamnesis
Menanyakan pasien tentang keluhan yang diderita, durasi keluhan, faktor
risiko seperti pekerjaan, paparan sinar matahari dan lain-lain.
2. Pemeriksaan Fisik
Melihat kedua mata pasien untuk morfologi pterygium, serta memeriksa
visus pasien. Diagnosa dapat didirikan tanpa pemeriksaan lanjut.
Anamnesa positif terhadap faktor risiko dan paparan serta pemeriksaan
fisik yang menunjang anamneses cukup untuk membuat suatu
diagnosa pterygium.
3. Pemeriksaan Slit Lamp
Jika perlu, dokter akan melakukan Pemeriksaan Slit Lamp untuk
memastikan bahwa lesi adalah pterygium dan untuk menyingkirkannya
dari diagnosa banding lain. Pemeriksaan slit lamp dilakukan dengan
menggunakan alat yang terdiri dari lensa pembesar dan lampu
sehingga pemeriksa dapat melihat bagian luar bola mata dengan
magnifikasi dan pantulan cahaya memungkinkan seluruh bagian luar
untuk terlihat dengan jelas.

H. Penatalaksanaan
Pterygium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih
muda. Bila pterygium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes
mata dekongestan. Pengobatan pterygium adalah dengan sikap konservatif
atau dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat
terjadinya astigmatisme ireguler atau pterygium yang telah menutupi
media penglihatan.
Lindungi mata dengan pterygium dari sinar matahari, debu dan udara
kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air
mata buatan dan bila perlu dapat diberi steroid. Bila terdapat delen
(lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi

9
vasokontriktor (prednisone asetat) maka perlu kontrol 2 minggu dan bila
terdapat perbaikkan maka pengobatan dihentikan.

Tindakan Operatif :
1. Tindakan pembedahan
Suatu tindak bedah plastik yang dilakukan bila pterygium telah
mengganggu penglihatan. Pterygium dapat tumbuh menutupi seluruh
permukaan kornea atau bola mata.
2. Tindakan operasi
Biasanya bedah kosmetik, akan dilakukan untuk mengangkat pterygium
yang membesar ini apabila mengganggu fungsi penglihatan atau secara
tetap meradang dan teriritasi. Paska operasi biasanya akan diberikan
terapi lanjut seperti penggunaan sinar radiasi B atau terapi lainnya.

I. Pengkajian Fokus Keperawatan


Pengkajian yang dapat dilakukan pada klien dengan pterygium adalah :
1. Identitas
Nama, Umur, Jenis kelamin, Agama, Pekerjaan, Status perkawinan, Alamat,
Pendidikan.
2. Keluhan utama
Biasanya penderita mengeluhkan adanya benda asing pada matanya,
penglihatan kabur.
3. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan penjelasan dari keluhan utama. Misalnya yang sering terjadi pada
pasien dengan pterygium adalah penurunan ketajaman penglihatan. Sejak
kapan dirasakan, sudah berapa lama, gambaran gejala apa yang dialami,
apa yang memperburuk atau memperingan, apa yang dilakukan untuk
menyembuhkan gejala.
4. Riwayat penyakit dahulu

10
Adanya riwayat penyakit sistemik yang di miliki oleh pasien seperti DM,
hipertensi, pembedahan mata sebelumnya, dan penyakit metabolik lainnya
memicu resiko pterygium.

5. Riwayat penyakit keluarga


Ada atau tidak keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama seperti
pasien.
6. Data Bio – Psiko – Sosial – Spiritual
a. Aktifitas istirahat
Gejala yang terjadi pada aktifitas istirahat yakni perubahan aktifitas
biasanya atau hobi yang berhubungan dengan gangguan penglihatan.
b. Neurosensori
Gejala yang terjadi pada neurosensori adalah gangguan penglihatan
kabur / tidak jelas.
c. Nyeri / kenyamanan
Gejalanya yaitu ketidaknyamanan ringan mata menjadi merah sekali,
pembengkakan mata, mata gatal, iritasi, dan pandangan kabur.
d. Rasa Aman
Yang harus dikaji adalah kecemasan pasien akan penyakitnya maumun
tindakan operatif yang akan dijalaninya.
e. Pembelajaran / pengajaran
Pada pengkajian klien dengan gangguan mata ( pterigium ) kaji riwayat
keluarga apakah ada riwayat diabetes atau gangguan sistem vaskuler,
kaji riwayat stress, alergi, gangguan vasomotor seperti peningkatan
tekanan vena, ketidakseimbangan endokrin dan diabetes, serta riwayat
terpajan pada radiasi, steroid / toksisitas fenotiazin.
7. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum : keadaan umum , tanda vital, kesadaran.
b. Pemeriksaan fisik data fokus pada mata : adanya jaringan yang
tumbuh abnormal pada mata biasanya tumbuh menuju ke kornea
J. Diagnosa Keperawatan

11
1. Gangguan rasa nyaman (sensasi benda asing)
2. Gangguann persepsi sensori
3. Ansietas
4. Risiko terjadi cedera.
5. Nyeri akut (Post OP)
6. Risiko Infeksi (Post Op)

7. Rencana Asuhan Keperawatan


Diagnosa Standar Intervensi
Standar Luaran Keperawatan
Keperawatan Keperawatan Indonesia
Indonesia (SLKI)
(SDKI) (SIKI)
Gangguan Setelah dilakukan tindakan Terapi Relaksasi
Rasa keperawatan selama 3x 24 Jam, Observasi:
Nyaman Gangguan rasa nyaman 1. Identifikasi
berkurang, dengan kriteria hasil penurunan tingkat
: energi,
ketidakmampuan
Status Kenyamanan berkonsentrasi, atau
Keluhan tdak nyaman dari skala gejala lain yang
1 (meningkat) menjadi skala mengganggu
5(menurun) kemampuan kognitif
1. Gelisah dari skala 1
2. Identifikasi teknik
(meningkat) menjadi skala
relaksasi yang pernah
5(menurun)
efektif digunakan
2. Sulit tidur dari skala 1
(meningkat) menjadi skala 3. Periksa ketegangan
5(menurun) otot, frekuensi nadi,
tekanan darah, dan
suhu sebelum dan
sesudah latihan

Terapeutik

12
Diagnosa Standar Intervensi
Standar Luaran Keperawatan
Keperawatan Keperawatan Indonesia
Indonesia (SLKI)
(SDKI) (SIKI)
1. Ciptakan lingkungan
tenang, dan tanpa
gangguan dengan
pencahayaan dan suhu
ruang nyaman, jika
memungkinkan

2. Berikan informasi
tertulis tentang
persiapan dan prosedur
teknik relaksasi

3. Gunakan relaksasi
sebagai strategi
penunjang dengan
analgetik atau tindakan
medis lain, jika sesuai

Edukasi
1. Jelaskan tujuan,
manfaat, batasan, dan
jenis relaksasi yang
tersedia(mis. Musik,
meditasi, napas dalam,
relaksasi otot
progresif)
2. Anjurkan mengambil
posisi yang nyaman
3. Anjurkan sering
mengulangi atau

13
Diagnosa Standar Intervensi
Standar Luaran Keperawatan
Keperawatan Keperawatan Indonesia
Indonesia (SLKI)
(SDKI) (SIKI)
melatih teknik yang
dipilih

Gangguan Persepsi Sensori Minimalisasi Rangsangan


Presepsi Setelah dilakukan tindakan
Observasi
Sensori keperawatan 3x24 jam
diharapkan presepsi sensori
1. Periksa
membaik dengan kriteria hasil:
status mental, status
sensori, dan tingkat
kenyamanan (mis.
nyeri, kelelahan)

Terapeutik

1. Diskusikan
tingkat toleransi
terhadap beban sensori
(mis. bising, terlalu
terang)
2. Batasi
stimulus lingkungan
(mis. cahaya, suara,
aktivitas)
3. Jadwalkan
aktivitas harian dan
waktu istirahat
4. Kombinasika
n prosedur/tindakan
dalam satu waktu,

14
Diagnosa Standar Intervensi
Standar Luaran Keperawatan
Keperawatan Keperawatan Indonesia
Indonesia (SLKI)
(SDKI) (SIKI)
sesuai kebutuhan

Edukasi

1. Ajarkan cara
meminimalisasi
stimulus (mis.
mengatur pencahayaan
ruangan, mengurangi
kebisingan, membatasi
kunjungan)

Kolaborasi

1. Kolaborasi
dalam meminimalkan
prosedur/tindakan
2. Kolaborasi
pemberian obat yang
mempengaruhi
persepsi stimulus

Ansietas Setelah dilakukan tindakan Reduksi ansietas


(D.0080) keperawatan selama 3x24 jam 1. Monitor tanda-tanda
diharapakan kecemasan menurun ansietas
atau pasien dapat tenang dengan 2. Ciptakan suasana
Kriteria Hasil : terapeutik untuk
Tingkat ansietas (L.09093) menumbuhkan
1. Menyingkirkan tanda kepercayaan
kecemasaan. 3. Pahami situasi yang

15
Diagnosa Standar Intervensi
Standar Luaran Keperawatan
Keperawatan Keperawatan Indonesia
Indonesia (SLKI)
(SDKI) (SIKI)
2. Tidak terdapat perilaku membuat ansietas
gelisah 4. Diskusikan
3. Frekuensi napas menurun perencanaan realistis
4. Frekuensi nadi menurun tentang peristiwa yang
5. Menurunkan stimulasi akan datang
lingkungan ketika cemas. 5. Anjurkan
6. Menggunakan teknik relaksasi mengungkapkan
untuk menurunkan cemas. perasaan dan persepsi
7. Konsentrasi membaik 6. Anjurkan keluarga
8. Pola tidur membaik untuk selalu disamping
dan mendukung pasien
7. Latih teknik relaksasi
Resiko Tingkat Cidera Manajemen Keselamatan
Cedera Setelah dilakukan tindakan Lingkungan
(D.01361) keperawatan selama 3x 24 Jam, Observasi:
risiko cedera berkurang dan 1. Identifikasi
tidak terjadi, dengan kriteria kebutuhan keselamatan
hasil : 2. Monitor perubahan
status keselamatan
1. Luka lecet dari sakala 1 lingkungan
(meningkat) menjadi skala 5
Terapeutik:
(menurun)
1. Hilangkan bahaya
2. Kejadian cedera dari sakala
keselamatan, Jika
1 (meningkat) menjadi skala
memungkinkan
5 (menurun)
2. Modifikasi
lingkungan untuk
meminimalkan risiko

16
Diagnosa Standar Intervensi
Standar Luaran Keperawatan
Keperawatan Keperawatan Indonesia
Indonesia (SLKI)
(SDKI) (SIKI)
3. Sediakan alat bantu
kemanan linkungan
(mis. Pegangan
tangan)

4. Gunakan perangkat
pelindung (mis. Rel
samping, pintu
terkunci, pagar)

Edukasi
3. Ajarkan individu,
keluarga dan kelompok
risiko tinggi bahaya
lingkungan

Pencegahan Cidera
Observasi:
1. Identifikasi obat yang
berpotensi
menyebabkan cidera

9. Identifikasi kesesuaian
alas kaki atau stoking
elastis pada
ekstremitas bawah

Terapeutik:
1. Sediakan pencahayaan
yang memadai
2. Sosialisasikan pasien

17
Diagnosa Standar Intervensi
Standar Luaran Keperawatan
Keperawatan Keperawatan Indonesia
Indonesia (SLKI)
(SDKI) (SIKI)
dan keluarga dengan
lingkungan rawat inap
3. Sediakan alas kaki
antislip
4. Sediakan urinal atau
urinal untk eliminasi di
dekat tempat tidur,
Jika perlu
5. Pastikan barang-barang
pribadi mudah
dijangkau
6. Tingkatkan frekuensi
observasi dan
pengawasan pasien,
sesuai kebutuhan

Edukasi
1. Jelaskan alasan
intervensi pencegahan
jatuh ke pasien dan
keluarga
2. Anjurkan berganti
posisi secara perlahan
dan duduk beberapa
menit sebelum berdiri

Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri


(D.0077) keperawatan selama 3x 24 Jam, Observasi :
Nyeri klien membaik, dengan 1. Identifikasi lokasi,
kriteria hasil : karakteristik, durasi,

18
Diagnosa Standar Intervensi
Standar Luaran Keperawatan
Keperawatan Keperawatan Indonesia
Indonesia (SLKI)
(SDKI) (SIKI)
frekuensi, kualitas,
Kontrol Nyeri (L.08063) intensitas nyeri
1. Kemampuan mengenali onset 2. Identifikasi skala
nyeri dari skala 2 cukup nyeri
menurun meningkat menjadi 3. Identifikasi
skala 5 pengaruh nyeri pada
2. Kemampuan menggunakan kualitas nyeri
tekniknon-farmakologis dari Teraupetik:
skala 2 meingkat menjadi 1. Berikan teknik
skala 5 nonfarmakologis
3. Dukungan orang terdekat dari 2. Fasilitasi istirahatn
skala 2 cukup menurun dan tidur
meningkat skala 5 Edukasi :
4. Keluhan nyeri dari skala 1. Jelaskan penyebab ,
1(meningkat) menjadi skala 4 periode, dan pemicu
cukup menurun nyeri
5. Penggunaan analgesic dri 2. Jelaskan strategi
skala 1(meningkat) menjadi meredakan nyeri
skala 5 (menurun) Kolaborsi:
1. Kolaborasi
pemberian analgetik
Risiko SLKI Pencegahan infeksi
Infeksi Setelah dilakukan asuhan
(D.0012) keperawatan selama 3x24 jam Observasi:
diharapkan klien terhindar dari 1. Monitor tanda gejala
resiko infeksi dengan kriteria infeksi lokal dan
hasil: sistemik
Tingkat Infeksi Terapeutik

19
Diagnosa Standar Intervensi
Standar Luaran Keperawatan
Keperawatan Keperawatan Indonesia
Indonesia (SLKI)
(SDKI) (SIKI)
Meningkat Cukup Sedan Cukup M
1. Batasi jumlah
Meningk
at
g Menuru
n
en
ur
pengunjung
1 Demam 2. Berikan perawatan
un

  1 2 3 4 5
2 Kemerahan
1 2 3 4 5
kulit pada daerah
3 Nyeri
1 2 3 4 5 edema
4 Bengkak
1
Memburuk
2
Cukup
3
Sedan
4
Cukup
5
3. Cuci tangan
Me
Memburu g Membai mb
k k aik
sebelum dan
5 Kadar sel darah putih
sesudah kontak
  1 2 3 4 5
dengan pasien dan
lingkungan pasien
4. Pertahankan teknik
aseptik pada pasien
berisiko tinggi

Edukasi
1. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
2. Ajarkan cara
memeriksa luka
3. Anjurkan
meningkatkan
asupan cairan

Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian
imunisasi, Jika
perlu

20
(SDKI, SLKI, SIKI 2017-2019)

21
Daftar Pustaka

Hulandari R. Profil pasien glaukoma di poliklinik mata RSUP Dr. M.


Djamil Padang tahun 2016 (skripsi). Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas;2017.

PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI):


Definisi dan Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP
PPNI.

PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI):


Definisi dan Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP
PPNI.

PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi


dan Kreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP
PPNI.
(Belum Selesai)

Anda mungkin juga menyukai