Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

STASE MATA
IRIDOSIKLITIS DISERTAI VITREOUS HEMORRHAGE

Pembimbing :
dr. Iman Krisnugroho, Sp. M

Presentan :
Nama : Siti H Nur Aissyah
NIM : 1913020005

PENDIDIKAN DOKTER PROGRAM PROFESI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2020
DAFTAR ISI

Daftar Isi...............................................................................................................1
Bab I Pendahuluan..........................................................................................2
Bab II Tinjauan Pustaka...................................................................................4
2.1 Anatomi...................................................................................................4
2.2 Definisi....................................................................................................7
2.3 Epidemiologi...........................................................................................7
2.4 Klasifikasi................................................................................................7
2.5 Etiologi....................................................................................................8
2.6 Patofisiologi.............................................................................................8
2.7 Tanda dan gejala......................................................................................10
2.8 Penegakkan diagnosis .............................................................................11
2.9 Diagnosis banding....................................................................................14
2.10 Tatalaksana...............................................................................................14
2.11 Komplikasi...............................................................................................20
Bab III Laporan Kasus......................................................................................21
Bab IV Kesimpulan............................................................................................25
Daftar Pustaka.....................................................................................................27

1
BAB I
PENDAHULUAN

Iridosiklitis atau uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian


depan badan siliar (pars plikata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian
belakang bola mata, kornea, dan sklera. Berdasarkan reaksi radang , uveitis
anterior dibedakan atas 2 tipe yaitu tipe granulomatosa dan tipe non
granulomatosa.1 Penyebab uveitis anterior dapat bersifat endogen maupun
eksogen. Teori patologisnya beragam, meliputi proses imunologik, komponen
genetik, penyakit infeksi mikroba, reaksi kompleks imun, reaksi toksik
disebabkan oleh tumbuhan dan obat-obatan, dan infeksi fokal, selama dekade
terakhir ini ditemukan penyebab baru uveitis anterior dan akibat tindakan
pembedahan dalam bola mata. Lebih dari 75% uveitis endogen tidak diketahui
penyebabnya, namun 37% kasus di antaranya ternyata merupakan reaksi
imunologik yang berkaitan dengan penyakit sistemik. Penyakit sistemik yang
berhubungan dengan uveitis anterior meliputi: spondilitis ankilosa, sindroma
Reiter, artritis psoriatika,penyakit Crohn, kolitis ulserativa, dan penyakit
Whipple.2
Uveitis anterior merupakan salah satu radang di dalam bola mata yang
paling sering dijumpai, dengan insidensi pertahun bervariasi antara 8,212 setiap
100.000 penduduk. Dari survei di rumah sakit di Ghana tahun 1990 uveitis
merupakan penyebab kebutaan dua mata urutan ketiga setelah katarak dan
glaukoma. Kebutaan dari uveitis anterior disebabkan oleh penyulit-penyulit yang
ditimbulkan akibat kronisitas dan rekurensi perjalanan penyakit. Gejala-gejala
uveitis anterior meliputi: mata merah, fotofobia, lakrimasi, rasa sakit, dan
penglihatan kabur. Mata yang terkena biasanya satu pihak, disertai dengan adanya
flare dan sel di dalam bilik mata depan; jarang dijumpai adanya hipopion. Variasi
gejala sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan faktor penyebab. Uveitis
anterior yang disebabkan oleh reaksi anafilaksis terhadap protein lensa akan

2
didominir oleh adanya sel-sel besar di bilik mata depan; sedang jika disebabkan
oleh sindroma Reiter justru didominir oleh eksudat fibrin dan sel-sel kecil atau
lazim disebut radang non granulomatosa. 1
Dalam menentukan penyebab uveitis anterior, sering dijumpai banyak
kendala di Indonesia. Pemeriksaan cairan hasil parasentesis dari bilik mata depan
merupakan pemeriksaan yang lazim dikerjakan untuk menegakkan diagnosis,
namun hal tersebut masih sulit diterima para pasien mengingat risiko tindakan
juga tidak ringan. Di samping itu, beberapa teknik pemeriksaan laboratorium
terutama yang menyangkut pemeriksaan imunologik masih relatif mahal.
Manajemen uveitis anterior adalah bertujuan untuk mencegah kerusakan stuktur
dan fungsi mata seperti sinekia anterior, sinekia posterior, kerusakan pembuluh
darah iris, katarak, glaukoma, parut kornea, dan kekeruhan badan kaca.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi 2
Uvea terdiri dari iris, korpus siliare dan khoroid. Bagian ini adalah lapisan
vaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera. Bagian ini ikut
memasukkan darah ke retina. Uvea dibagi menjadi 2 bagian yaitu uvea
anterior yang terdiri dari iris dan badan siliar dan uvea posterior yaitu koroid.
A. Iris
Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa
suatu permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah
pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa,
yang memisahkan kamera anterior dari kamera posterior, yang
masing-masing berisi aqueus humor. Di dalam stroma iris terdapat
sfingter dan otot-otot dilator. Kedua lapisan berpigmen pekat pada
permukaan posterior iris merupakan perluasan neuroretina dan lapisan
epitel pigmen retina ke arah anterior. Vaskularisasi ke iris adalah dari
sirkulus major iris. Kapiler-kapiler iris mempunyai lapisan endotel
yang tidak berlubang sehingga normalnya tidak membocorkan
fluoresein yang disuntikkan secara intravena. Persarafan iris adalah
melalui serat-serat di dalam nervus siliares.

Gambar 1.1 Anatomi Mata

4
Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran
pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi
akibat aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III
dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatik.

Gambar 2. Vaskularisasi Iris

B. Korpus Siliaris
Korpus siliaris yang secara kasar berbentuk segitiga pada
potongan melintang, membentang ke depan dari ujung anterior khoroid
ke pangkal iris (sekitar 6 mm). Korpus siliaris terdiri dari suatu zona
anterior yang berombak ombak,pars plikata dan zona posterior yang
datar, pars plana. Prosesus siliaris berasal dari pars plikata. Prosesus
siliaris ini terutama terbentuk dari kapiler-kapiler dan vena yang
bermuara ke vena-vena vortex. Kapiler-kapilernya besar dan berlobang-
lobang sehingga membocorkan floresein yang disuntikkan secara
intravena. Ada 2 lapisan epitel siliaris, satu lapisan tanpa pigmen di
sebelah dalam, yang merupakan perluasan neuroretina ke anterior, dan
lapisan berpigmen di sebelah luar, yang merupakan perluasan dari
lapisan epitel pigmen retina. Prosesus siliaris dan epitel siliaris
pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk aqueus humor.

5
Gambar 3. Gambaran histologi uvea

C. Khoroid
Khoroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera.
Khoroid tersusun dari tiga lapisan pembuluh darah khoroid; besar,
sedang dan kecil. Semakin dalam pembuluh terletak di dalam khoroid,
semakin lebar lumennya. Bagian dalam pembuluh darah khoroid dikenal
sebagai khoriokapilaris. Darah dari pembuluh darah khoroid dialirkan
melalui empat vena vortex, satu di masing-masing kuadran posterior.
Khoroid di sebelah dalam dibatasi oleh membran Bruch dan di sebelah
luar oleh sklera. Ruang suprakoroid terletak di antara khoroid dan sklera.
Khoroid melekat erat ke posterior ke tepi-tepi nervus optikus. Ke
anterior, khoroid bersambung dengan korpus siliare. Agregat pembuluh
darah khoroid memperdarahi bagian luar retina yang mendasarinya.
D. Vitreous
Vitreus memiliki sifat seperti gelatin, jernih, avaskuler dan terdiri
dari 99% air dan selebihnya merupakan campuran kolagen dan asam
hialuronik. Fungsi vitreus sebenarnya hampir sama dengan fungsi cairan
mata, yaitu mempertahankan bola mata agar tetap bulat. Peranannya
mengisi ruang untuk meneruskan sinar dari lensa ke retina.4,5 Vitreus
memenuhi ruangan antara lensa mata, retina dan papil saraf optik. Bagian
luar (korteks) vitreus bersentuhan dengan kapsul posterior lensa mata,
epitel pars plana, retina dan papil saraf optik. Selain itu vitreus melekat
sangat erat dengan epitel pars plana dan retina dekat ora serata. Vitreus
melekat tidak begitu erat dengan kapsul lensa mata dan papil saraf optik
pada orang dewasa.4,5 Vitreus yang normal sangat jernih sehingga tidak

6
nampak apabila diperiksa dengan oftalmoskopi direk maupun
oftalmoskopi indirek. Kebeningan vitreus itu sendiri diakibatkan karena
pada vitreus tidak terdapat adanya pembuluh darah dan sel.
2.2 Definisi Iridosiklitis
Menurut American Optometric Association (AOA), uveitis anterior atau
iridosiklitis adalah suatu proses inflamasi intraokular dari bagian uvea
anterior hingga pertengahan vitreus. Penyakit ini dihubungkan dengan trauma
bola mata, dan juga karena berbagai penyakit sistemik seperti juvenile
rheumatoid, artritis, ankylosing spondilitis, Sindrom Reiter, sarcoidosis,
herpes zoster, dan sifilis. 4
2.3 Epidemiologi
Di Indonesia belum ada data yang akurat mengenai jumlah kasus uveitis .
Di Amerika Serikat ditemukan angka kejadian uveitis anterior adalah 8-12
orang dari 100.000 penduduk per tahun. Insidensinya meningkat pada usia
20-50 tahun dan paling banyak pada usia sekitar 30-an. Menurut AOA,
berdasarkan etiologinya ada beberapa faktor resiko yang menyertai kejadian
uveitis anterior antara lain, penderita toxoplasmosis dan yang berhubungan
dengan hewan perantara toxoplasma. Beberapa penyakit menular seksual juga
meningkatkan angka kejadian uveitis anterior seperti sifilis, HIV, dan
sindroma Reiter. 5
2.4 Klasifikasi
Berdasarkan spesifitas penyebabnya uveitis anterior dapat dibagi atas
uveitis infeksius, uveitis non infeksius, dan uveitis tanpa penyebab yang jelas.
Uveitis infeksius dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, dan virus. Uveitis non
infeksius dapat disebabkan oleh agen non spesifik (endotoksin dan mediator
peradangan lainnya), agen spesifik pada mata (oftalia simpatika, uveitis imbas
lensa), dan penyakit sistemik seperti Behcet, sarkoidosis, sindroma Reiter, dll.
Berdasarkan asal nya uveitis anterior dibedakan menjadi, uveitis eksogen dan
uveitis endogen. Uveitis eksogen pada umumnya dikarenakan oleh trauma,
operasi intra okuler, ataupun iatrogenik. Sedangkan uveitis endogen dapat
disebabkan oleh fokal infeksi di organ lain maupun reaksi autoimun.

7
Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakitnya)
uveitis anterior dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan uveitis anterior
kronis. Uveitis anterior akut biasanya timbulnya mendadak dan perjalanan
penyakitnya kurang dari 5 minggu. Sedangkan yang kronik mulainya
berangsur-angsur, dan perjalanan penyakitnya dapat berbulan-bulan maupun
tahunan. Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan patologi anatominya terdiri
dari tipe granulomatosa dan non granulomatosa. Tipe granulomatosa
infiltratnya terdiri dari sel epiteloid dan makrofag. Sedangkan tipe non
granulomatosa infiltratnya terdiri dari sel plasma dan limfosit.6
2.5 Etiologi 7

2.6 Patofisiologi 6,7


Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humour
aqueus) yang member makanan kepada lensa dan kornea. Dengan adanya
peradangan di iris dan badan siliar, maka timbulah hiperemis yang aktif,
pembuluh darah melebar, pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat
menyebabkan glaucoma sekunder. Selain oleh cairan bilik mata, dinding
pembuluh darah dapat juga dilalui oleh sel darah putih, sel darah merah dan
eksudat yang akan mengakibatkan tekanan osmose cairan bilik mata

8
bertambah dan dapat mengakibatkan glaucoma. Cairan dengan lain-lainnya
ini, dari bilik mata belakang melalui celah antara lensa iris dan pupil ke
kamera okuli anterior. Di kamera okuli anterior, oleh karena iris banyak
mengandung pembuluh darah, maka suhunya meningkat dan berat jenis
cairan berkurang sehingga cairan akan bergerak ke atas. Di daerah kornea
karena tidak mengandung pembuluh darah, suhu menurun dan berat jenis
cairan bertambah, sehingga cairan disini akan bergerak ke bawah. Sambil
turun sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada endotel kornea,
membentuk keratik presipitat yang dari depan tampak sebagai segitiga dengan
endapan yang makin ke bawah semakin besar. Di sudut kamera okuli anterior
cairan melalui trabekula masuk ke dalam kanalis schlem untuk menuju ke
pembuluh darah episklera. Bila keluar masuknya cairan ini masih seimbang
maka tekanan bola mata akan berada pada batas normal 15-20 mmHg. Sel
radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut kamera okuli anterior,
sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaucoma sekunder. Glaucoma
juga bisa terjadi akibat trabekula yang meradang atau sakit.
Elemen darah dapat bertumpuk di kamera okuli anterior dan timbulah
hifema (bila banyak mengandung sel darah merah) dan hipopion (yang
terkumpul banyak mengandung sel darah putih). Elemen-elemen radang yang
mengandung fibrin yang menempel pada pupil dapat juga mengalami
organisasi, sehingga melekatkan ujung iris pada lensa. Perlengketan ini
disebut sinekia posterior. Bila seluruh iris menempel pada lensa disebut
seklusio pupil sehingga cairan yang dari kamera okuli posterior tidak dapat
melalui pupil untuk masuk ke kamera okuli anterior, iris terdorong ke depan,
disebut iris bombans dan menyebabkan sudut kamera okuli anterior
menyempit, dan timbulah glaucoma sekunder. Perlengketan-perlengketan iris
pada lensa menyebabkan bentuk pupil tidak teratur. Pupil dapat pula diisi
oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi jaringan dan terjadi oklusi
pupil. Peradangan badan siliar juga dapat menyebabkan kekeruhan pada
badan kaca, yang tampak seperti kekeruhan karena debu. Dengan adanya

9
peradangan ini maka metabolism pada lensa terganggu dan dapat
mengakibatkan katarak.
2.7 Tanda dan gejala 8
A. Uveitis Anterior Jenis Non-Granulomatosa
Pada bentuk non-granulomatosa, onsetnya khas akut, dengan rasa sakit,
injeksi, fotofobia dan penglihatan kabur. Terdapat kemerahan
sirkumkorneal atau injeksi siliar yang disebabkan oleh dilatasi pembuluh-
pembuluh darah limbus. Deposit putih halus (keratic presipitate/ KP) pada
permukaan posterior kornea dapat dilihat dengan slit-lamp  atau dengan
kaca pembesar. KP adalah deposit seluler pada endotel kornea.
Karakteristik dan distribusi KP dapat memberikan petunjuk bagi jenis
uveitis. KP umumnya terbentuk di daerah pertengahan dan inferior dari
kornea. Terdapat 4 jenis KP yang diketahui, yaitu small KP, medium KP,
large KP dan fresh KP. Small KP merupakan tanda khas pada herpes
zoster dan Fuch’s uveitis syndrome. Medium KP terlihat pada kebanyakan
jenis uveitis anterior akut maupun kronis. Large KP biasanya jenis mutton
fat  biasanya erdapat pada uveitis anterior tipe granulomatosa. Fresh
KP atau KP baru terlihat berwarna putih dan melingkar. Seiring
bertambahnya waktu,akan berubah menjadi lebih pucat dan berpigmen.
Pupil mengecil dan mungkin terdapat kumpulan fibrin dengan sel di
kamera anterior. Jika terdapat sinekia posterior, bentuk pupil menjadi tidak
teratur.
B. Uveitis Anterior Jenis Granulomatosa
Pada bentuk granulomatosa, biasanya onsetnya tidak terlihat. Penglihatan
berangsur kabur dan mata tersebut memerah secara difus di daerah
sirkumkornea. Sakitnya minimal dan fotofobianya tidak seberat bentuk
non-granulomatosa. Pupil sering mengecil dan tidak teratur karena
terbentuknya sinekia posterior. KP mutton fat besar-besar dapat terlihat
dengan slit-lamp di permukaan posterior kornea. Tampak
kemerahan, flare dan sel-sel putih di tepian pupil (nodul Koeppe). Nodul-

10
nodul ini sepadan dengan KP mutton fat. Nodul serupa di seluruh stroma
iris disebut nodul Busacca.

2.8 Penegakkan Diagnosis 6,7,8


Diagnosis uveitis anterior dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan oftalmologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.
A.  Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan menanyakan riwayat kesehatan pasien,
misalnya pernah menderita iritis atau penyakit mata lainnya, kemudian
riwayat penyakit sistemik yang mungkin pernah diderita oleh pasien.
Keluhan yang dirasakan pasien biasanya antara lain:
a. Nyeri dangkal (dull pain), yang muncul dan sering menjadi lebih
terasa ketika mata disentuh pada kelopak mata. Nyeri tersebut
dapat beralih ke daerah pelipis atau daerah periorbital. Nyeri
tersebut sering timbul dan menghilang segera setelah muncul.
b. Fotofobia atau fotosensitif terhadap cahaya, terutama cahaya
matahari yang dapat menambah rasa tidak nyaman pasien
c. Kemerahan tanpa sekret mukopurulen
d. Pandangan kabur (blurring)
e. Umumnya unilateral
B. Pemeriksaan Oftalmologi
a. Visus : visus biasanya normal atau dapat sedikit menurun
b. Tekanan intraokular (TIO) pada mata yang meradang lebih rendah
daripada mata yang sehat. Hal ini secara sekunder disebabkan oleh
penurunan produksi cairan akuos akibat radang pada korpus
siliaris. Akan tetapi TIO juga dapat meningkat akibat perubahan
aliran keluar (outflow)cairan akuos.
c. Konjungtiva : terlihat injeksi silier/ perilimbal atau dapat pula
(pada kasus yang jarang) injeksi pada seluruh konjungtiva

11
d. Kornea : KP (+), udema stroma kornea

Gambar 5. Keratik precipitat


e. Camera Oculi Anterior (COA) : sel-sel flare dan/atau hipopion.
Ditemukannya sel-sel pada cairan akuos merupakan tanda dari proses
inflamasi yang aktif. Jumlah sel yang ditemukan pada pemeriksaan slit
lamp dapat digunakan untuk grading. Grade 0 sampai +4 ditentukan
dari:
i. 0 : tidak ditemukan sel
ii. +1 : 5-10 sel
iii. +2 : 11-20 sel
iv. +3 : 21-50 sel
v. +4 : > 50 sel
Aqueous flare  adalah akibat dari keluarnya protein dari
pembuluh darah iris yang mengalami peradangan. Adanya flare tanpa
ditemukannya sel-sel bukan indikasi bagi pengobatan. Melalui hasil
pemeriksaan slit-lamp yang sama dengan pemeriksaan sel,  flare juga
diklasifikasikan sebagai berikut:
i. 0 : tidak ditemukan flare
ii. +1 : terlihat hanya dengan pemeriksaan yang teliti
iii. +2 : moderat, iris terlihat bersih
iv. +3 : iris dan lensa terlihat keruh
v. +4 : terbentuk fibrin pada cairan aquos
Hipopion ditemukan sebagian besar mungkin sehubungan dengan
penyakit terkait HLA-B27, penyakit Behcet atau penyakit infeksi
terkait iritis.

12
f. Iris : dapat ditemukan sinekia posterior
g. Lensa dan korpus vitreus anterior : dapat ditemukan lentikular
presipitat pada kapsul lensa anterior. Katarak subkapsuler posterior
dapat ditemukan bila pasien mengalami iritis berulang.
C. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium mendalam umumnya tidak diperlukan untuk
uveitis anterior, apalagi bila jenisnya non-granulomatosa atau menunjukkan
respon terhadap pengobatan non spesifik. Akan tetapi pada keadaan dimana
uveitis anterior tetap tidak responsif terhadap pengobatan maka diperlukan
usaha untuk menemukan diagnosis etiologiknya. Pada pria muda dengan
iridosiklitis akut rekurens, foto rontgen sakroiliaka diperlukan untuk
mengeksklusi kemungkinan adanya spondilitis ankilosa. Pada kelompok
usia yang lebih muda, artritis reumatoid juvenil harus selalu
dipertimbangkan khususnya pada kasuskasus iridosiklitis kronis.
Pemeriksaan darah untuk antinuclear antibody dan rheumatoid factor serta
foto rontgen lutut sebaiknya dilakukan. Perujukan ke ahli penyakit anak
dianjurkan pada keadaan ini. Iridosiklitis dengan KP mutton fat memberikan
kemungkinan sarkoidosis. Foto rontgen toraks sebaiknya dilakukan dan
pemeriksaan terhadap enzim lisozim serum serta serum angiotensine
converting enzyme sangat membantu.
Pemeriksaan terhadap HLA-B27 tidak bermanfaat untuk
penatalaksanaan pasien dengan uveitis anterior, akan tetapi kemungkinan
dapat memberikan perkiraan akan suseptibilitas untuk rekurens. Sebagai
contoh, HLA-B27 ditemukan pada sebagian besar kasus iridosiklitis yang
terkait dengan spondilitis ankilosa. Tes kulit terhadap tuberkulosis dan
histoplasmosis dapat berguna, demikian pula antibodi terhadap
toksoplasmosis. Berdasarkan tes-tes tersebut dan gambaran kliniknya,
seringkali dapat ditegakkan diagnosis etiologiknya. Dalam usaha penegakan
diagnosis etiologis dari uveitis diperlukan bantuan atau konsultasi dengan
bagian lain seperti ahli radiologi dalam pemeriksaan foto rontgen, ahli
penyakit anak atau penyakit dalam pada kasus atritis reumatoid, ahli

13
penyakit THT pada ksus uveitis akibat infeksi sinus paranasal, ahli penyakit
gigi dan mulut pada kasus uveitis dengan fokus infeksi di rongga mulut, dan
lain-lain.
2.9 Diagnosis Banding 9
1. Konjungtivitis.
Pada konjungtivitis penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada
kotoran mata dan umumnya tidak ada rasa sakit, fotofobia atau injeksi
siliaris.
2. Keratitis atau keratokonjungtivitis.
Pada keratitis atau keratokonjungtivitis, penglihatan dapat kabur dan
ada rasa sakit dan fotofobia. Beberapa penyebab keratitis seperti herpes
simpleks dan herpes zoster dapat menyertai uveitis anterior sebenarnya.
3. Glaukoma akut.
Pada glaukoma akut pupil melebar, tidak ditemukan sinekia posterior
dan korneanya “beruap”.
2.10 Tatalaksana 7,8
Tujuan terapi uveitis anterior menurut AOA, antara lain:
1. Mengembalikan tajam penglihatan
2. Mengurangi rasa nyeri di mata
3. Mengeliminasi peradangan atau penyebab peradangan
4. Mencegah terjadinya sinekia iris
5. Mengendalikan tekanan intraocular
a) Terapi non spesifik
Tiga jenis obat yang digunakan sebagai terapi non spesifik pada uveitis
yaitu midriatik-sikloplegik, kortikosteroid, dan imunosupresan.
1) Midriatik-sikloplegik
Semua sikloplegik merupakan agen antagonis kolinergik yang
bekerja dengan menghambat neurotransmiter pada reseptor sfingter
iris dan korpus silier. Pada pengobatan uveitis anterior sikloplegik
bekerja dengan 3 cara yaitu:
a. Mengurangi nyeri karena imobilisasi iris

14
b. Mencegah adesi iris ke kapsula lensa anterior (sinekia posterior),
yang dapat meningkatkan tekanan intraokular dan menyebabkan
glaukoma sekunder.
c. Menstabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya
flare.
Agen sikloplegik yang digunakan dalam terapi uveitis anterior
menurut AOA (2004) antara lain:
a. Atropine 0,5%, 1%, 2%
b. Homatropin 2%, 5%
c. Scopolamine 0,25%
d. Cyclopentolate 0,5%, 1%, 2%
2) Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan terapi non spesifik yang bermanfaat pada
uveitis. Ada 2 cara pengobatan kortikosteroid pada uveitis:
1. Lokal : Tetes mata, dan injeksi peri okular
2. Sistemik
1. Lokal
Pengobatan uveitis anterior dengan steroid dan midriatik
sikloplegik lokal adalah paling logis dan efektif. Dosis
maksimal dapat dicapai dengan efek samping yang minimal.
Dan apabilaterjadi komplikasi, maka obat ini dapat segera
distop.
A. Tetes mata
Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata
dipengaruhi oleh sifat kornea sebagai sawar terhadap
penetrasi obat topikal ke dalam mata, sehingga daya
tembus obat topikal akan tergantung pada:
a. Konsentrasi dan frekuensi pemberian
Makin tinggi konsentrasi obat dan makin sering
frekuensi pemakaiannya, maka makin tinggi pula efek
antiinflamasinya.

15
b. Jenis kortikosteroid
Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis
diberikan preparat dexametason, betametason dan
prednisolon karena penetrasi intra okular baik,
sedangkan preparat medryson, fluorometolon dan
hidrokortison hanya dipakai pada peradangan pada
palpebra, konjungtiva dan kornea superfisial.
c. Jenis pelarut yang dipakai
Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada
penetrasi obat topikal mata yaitu, epitel yang terdiri dari
5 lapis sel, stroma, endotel yang terdiri dari selapis sel.
Lapisan epitel dan endotel lebih mudah ditembus oleh
obat yang mudah larut dalam lemak sedangkan stroma
akan lebih mudah ditembus oleh obat yang larut dalam
air. Maka secara ideal obat dengan daya tembus kornea
yang baik harus dapat larut dalam lemak maupun air
(biphasic). Obat-obat kortikosteroid topikal dalam
larutan alkohol dan asetat bersifat biphasic.
d. Bentuk larutan
Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan
suspensi. Keuntungan bentuk suspensi adalah penetrasi
intra okular lebih baik daripada bentuk solutio karena
bersifat biphasic, tapi kerugiannya bentuk suspensi ini
memerlukan pengocokan terlebih dahulu sebelum
dipakai. Pemakaian steroid tetes mata akan
mengakibatkan komplikasiseperti: Glaukoma, katarak,
penebalan kornea, aktivasi infeksi, midriasis pupil,
pseudoptosis dan lain-lain.
B. Injeksi peri-okular
Dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo
maupun bentuk short acting berupa solutio. Keuntungan

16
injeksi peri-okular adalah dicapainya efek anti peradangan
secara maksimal di mata dengan efek samping sistemik yang
minimal.
Lokasi injeksi peri-okular :
1. Sub-konjungtiva dan sub-tenon anterior
Pemakaian sub-konjungtiva/sub-tenon steroid
repository (triamcinolone acetonide 40 mg, atau.
methyl prednisolone acetate 20 mg) efektif pada
peradangan kronis segmen anterior bola mata.
Keuntungan injeksi sub-konjungtiva dan sub-tenon
adalah dapat mencapai dosis efektif dalam 1 kali
pemberian pada jaringan intraokular selama 2–4
minggu sehingga tidak membutuhkan pemberian
obat yang berkali-kali seperti pemberian topikal
tetes mata. Untuk kasus uveitis anterior berat dapat
dipakai dexametason 2–4 mg.
2. Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar
Cara ini dipergunakan pada peradangan segmen
posterior (sklera, koroid, retina dan saraf optik).
C. Sistemik
Banyak dipakai preparat prednison dengan dosis awal antara
1–2 mg/kg BB/hari, yang selanjutnya diturunkan perlahan
selang sehari (alternating single dose). Dosis prednison
diturunkan sebesar 20% dosis awal selama 2 minggu
pengobatan, sedangkan preparat prednison dan dexametaxon
dosis diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal selama 2 minggu.
Pada uveitis kronis dan anak-anak bisa terjadi komplikasi
serius seperti supresi kelenjar adrenal dan gangguan
pertumbuhan badan, maka diberikan dengan cara alternating
single dose.
D. Imunosupresan

17
1. Sitostatika
Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang
refrakter terhadap steroid. Di RSCM telah dipakai preparat
klorambusil 0,1–0,2 mg/kg BB/hari, dosis klorambusil ini
dipertahankan selama 2–3 bulan lalu diturunkan sampai 5–
8 mg selama 3 bulan dan dosis maintenance kurang dari 5
mg/hari, sampai 6–12 bulan. Selama terapi sitostatika kita
hams bekerja sama dengan Internist atau Hematologist.
Sebagai patokan kita hams mengontrol darah tepi, yaitu
lekosit harus lebih dari 3000/mm3 dan trombosit lebih dari
100.000/mm3 selama dalam pengobatan.
2. Siklosporin A
Siklosporin A (CsA) adalah salah satu obat imunosupresan
yang relatif baik yang tidak menimbulkan efek samping
terlalu berat dan bekerja lebih selektif terhadap sel limfosit
T tanpa menekan seluruh imunitas tubuh; pada pemakaian
kortikosteroid dan sitostatik akan terjadi penekanan dari
sebagian besar sistem imunitas, seperti menghambat fungsi
sel makrofag, sel monosit dan sel neutrofil. Selain itu CsA
tidak menyebabkan depresi sumsum tulang dan tidak
mengakibatkan efek mutagenik seperti obat sitostatika.
b) Terapi spesifik
a. Toxoplasmosis
Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi
kombinasi.
1. Sulfadiazin atau trisulfa :
Dosis 4 kali 0.5–1 gr/hari selama 3–6 minggu.
2. Pirimetamin :
Dosis awal 75–100 mg pada hari pertama,
selanjutnya 2 kali 25 mg/hari selama 3–6 minggu.
3. Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim®) :

18
Dosis 2 kali 2 tablet Bactrim® selama 4–6 minggu.
Preparat sulfa mencegah konversi asam
paraaminobenzoat menjadi asam folat Preparat
pirimetamin bekerja menghambat terbentuknya
tetrahidrofolat. Asam folat dibutuhkan oleh
organisme toxoplasma untuk metabolisme karbon.
Pada pemakaian pirimetamin dapat terjadi depresi
sumsum tulang, maka kontrol darah tepi tiap
minggu, apabila trombosit diindikasi penghentian
terapi. Untuk mencegah depresi sumsum tulang
diberikan preparat tablet asam folinat 5 mg tiap 2
hari.
4. Klindamisin :
Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja
sinergik dengan preparat sulfa. Secara invivo pada
experimen obat ini dapat menghancurkan kista
toxoplasma pada jaringan retina.
Dosis: 3 kali 150–300 mg/hari/oral. Pemberian sub-
konjungtiva klindamisin 50 mg dilaporkan memberi
hasil baik.
5. Spiramisin :
Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena
efek samping yang minimal. Obat ini kurang efektif
dalam mencegah rekurensi.
b. Infeksi virus
Herpes simplex :
Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal
antivirus seperti asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel
kornea intact/sembuh maka dapat diberikan topikal steroid
bersama antivirus. Diberikan juga asiklovir 5 kali 200
mg/hari selama 2–3 minggu yang kemudian diturunkan 2

19
atau 3 tablet/hari. Pada kasus retinitis Herpes simplex dan
ARN (Acute retinal necrosis) diberikan asiklovir intravena
dengan dosis awal 5 mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3
kali per hari.
Herpes zoster :
Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama
10–14 hari. Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang
tua untuk mencegah terjadi post herpetic neuralgia. Pada
uveitis anterior diberikan steroid dan sikloplegik topikal
2.11 Komplikasi
Berikut ini adalah beberapa komplikasi dari uveitis anterior:
a. Sinekia anterior perifer. Uveitis anterior dapat menimbulkan sinekia
anterior perifer yang menghalangi humor akuos keluar di sudut
iridokornea (sudut kamera anterior) sehingga dapat menimbulkan
glaukoma
b. Sinekia posterior dapat menimbulkan glaukoma dengan berkumpulnya
akuos humor di belakang iris, sehingga menonjolkan iris ke depan
c. Gangguan metabolisme lensa dapat menimbulkan katarak
d. Edema kistoid makular dan degenerasi makula dapat timbul pada uveitis
anterior yang berkepanjangan

20
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. M
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : Laki laki
Pekerjaan : PNS
Alamat : Jl Sumantri IV/19 , Sidomukti
Tanggal MRS : 29 Februari 2020
3.2 Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 29 Februari 2020 di Poli Mata
RSUD Kota Salatiga.
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh nyeri pada sebelah kiri.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh nyeri pada sebelah kiri. Satu minggu sebelum
berobat ke RS pasien terkena trauma shuttle cock . Setelah terkena
trauma pasien merasa mata sebelah kirinya kemeng, kemerahan,
pandangan mata kabur. Nyeri bertambah berat ketika pasien melakukan
aktivitas sehari hari dan berkurang ketika beristirahat. Sebelum berobat
ke RSUD pasien telah meminum suplemen mata.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal keluarganya memiliki riwayat DM, Hipertensi.
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Dalam pengobatan pasien tidak menggunakan asuransi kesehatan
BPJS.
f. Riwayat Pengobatan

21
Pasien merupakan pasien baru berobat ke RSUD Salatiga.
g. Riwayat Kebiasaan
Dalam kesehariannya pasien bekerja PNS dengan aktivitas tinggi.
3.3 Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
 Keadaan umum : Tampak sakit
 Kesadaran : Compos mentis
 Tekanan Darah : 149/93 mmHg
 Nadi : 83 x/menit
 Pernafasan : 20 x/menit
 Suhu : 36,5° C
b. Status Oftalmologis 29/02/2020
Oculus Dextra Oculus Sinistra
Visus 6/6 6/15 NC
Kedudukan bola mata Orthoforia Orthoforia
Gerakan bola mata

Silia Trikiasis (-) Trikiasis (-)


Palpebra superior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)
Palpebra inferior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)
Konjungtiva tarsus superior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)
Konjungtiva tarsus inferior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)
Konjungtiva bulbi Injeksi konjungtiva (-), Injeksi konjungtiva (-),
siliar (-) siliar (+)
Kornea Jernih, keratic Jernih, keratic
presipitat (-) presipitat (+)
Bilik mata depan Dalam, jernih Dalam
Iris Coklat, reguler Coklat, reguler
Pupil Bulat, RC (+), 2 mm Bulat, RC (-), 5 mm
Lensa Jernih Keruh
TIO Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Pemeriksaan USG - Tampak perdarahan
vitreous

22
Pemeriksaan slit lamp occuli sinistra & occuli dextra

Gambaran USG occuli sinistra

Hasil pemeriksaan OCT

23
c. Status Oftalmologis 07/13/2020
Oculus Dextra Oculus Sinistra
Visus 6/6 6/9
Kedudukan bola mata Orthoforia Orthoforia
Gerakan bola mata

Silia Trikiasis (-) Trikiasis (-)


Palpebra superior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)
Palpebra inferior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)
Konjungtiva tarsus superior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)
Konjungtiva tarsus inferior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)
Konjungtiva bulbi Injeksi konjungtiva (-), Injeksi konjungtiva (-),
siliar (-) siliar (-)
Kornea Jernih, keratic Jernih, keratic
presipitat (-) presipitat berkurang
Bilik mata depan Dalam, jernih Dalam
Iris Coklat, reguler Coklat, reguler
Pupil Bulat, RC (+), 2 mm Bulat, RC (+), 4 mm
Lensa Jernih Keruh
TIO Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Pemeriksaan USG - -

Pemeriksaan slit lamp occuli sinistra

3.4 Diagnosis
OS iridosiklitis disertai Vitreous Hemorrage

24
3.5 Terapi
29/02/2020
- Prednisolon Forte 6 x 1 tetes
- Clyteer Forte 4 x1
- Vitrolenta 3 x 1 tetes
- Mecobalamin
Terapi 7/03/2020
- Prednisolon 1 x1 tetes
- Vitrolenta 3 x 1 tetes

BAB IV
KESIMPULAN

25
1. Uveitis anterior atau iridosiklitis merupakan peradangan iris dan bagian
depan korpus siliare (pars plikata), kadang-kadang menyertai peradangan
bagian belakang bola mata, kornea dan sklera.
2. Berdasarkan spesifitas penyebabnya uveitis anterior dapat dibagi atas
uveitis infeksius, uveitis non infeksius, dan uveitis tanpa penyebab yang
jelas.
3. Berdasarkan asal nya uveitis anterior dibedakan menjadi, uveitis eksogen
dan uveitis endogen.
4. Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakitnya)
uveitis anterior dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan uveitis
anterior kronis.
5. Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan patologi anatominya terdiri dari
tipe granulomatosa dan non granulomatosa.
6. Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa golongan
antara lain: autoimun, infeksi, keganasan, dan lain-lain.
7. Terjadinya uveitis anterior juga berhubungan dengan beberapa penyakit
sistemik, antara lain: Spondyloarthritides, Crohn's disease, Sarcoidosis,
Behcet's disease Hypersensitivity reactions, Tubulointerstitial nephritis
,Juvenile rheumatoid arthritis, Kawasaki disease, multiple sclerosis, and
relapsing polychondritis, Multiple sclerosis,Relapsing polychondritis,
Sjögren's syndrome, Systemic lupus erythematosus, Systemic vasculitis,
Granulomatous angiitis of the central nervous, Vogt-Koyanagi-Harada
syndrome, AIDS, Blau syndrome.
8. Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, fotofobia, lakrimasi,
rasa sakit, dan penglihatan kabur. Mata yang terkena biasanya satu pihak,
disertai dengan adanya flare dan sel di dalam bilik mata depan; jarang
dijumpai adanya hipopion. Variasi gejala sering dijumpai, hal ini
berhubungan dengan faktor penyebab.
9. Diagnosis banding uvetis anterior antara lain: konjungtivitis, keratitis atau
keratokunjungtivitis, glaukoma akut.

26
10. Tujuan terapi uveitis anterior antara lain: mengembalikan tajam
penglihatan, mengurangi rasa nyeri di mata, mengeliminasi peradangan
atau penyebab peradangan, mencegah terjadinya sinekia iris,
mengendalikan tekanan intraokular.
11. Prinsip pengobatan uveitis antara lain: menekan peradangan, mengeliminir
agen penyebab, menghindari efek samping obat yang merugikan pada
mata dan organ tubuh di luar mata.
12. Terapi uveitis anterior terdiri dari terapi non spesifik dan terapi spesifik.
Terapi non spesifik menggunakan obat-obat midriatik-sikloplegik,
kortikosteroid dan imunosupresan. Sedangkan terapi spesifik didasarkan
pada penyebabnya.
13. Ada empat komplikasi utama uveitis anterior antara lain: katarak,
glaukoma, band keratopathy, dan cystoid macular edema.

DAFTAR PUSTAKA

27
1. Moorthy RS. 2008-2009 Basic and Clinical Science Course Section 9: Intraocular
Inflamation and uveitis. American Academy of ophthalmology. 2007.
2. Vaughan DG. Anatomi & Embriologi Mata: Oftalmologi Umum (General
Opthalmology). Edisi 14. Widya Medica. Jakarta.
3. Ilyas S. 2007. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. Hal. 172-4
4. American Optomtric Association. Care of the Patient with Anterior Uveitis. 2015.
Available in https://www.aoa.org/documents/optometrists/QRG-7.pdf
5. American Optomtric Association. Care of the Patient with Anterior Uveitis. 2018.
Available in https://www.aoa.org/patients-and-public/eye-and-vision-
problems/glossary-of-eye-and-vision-conditions/anterior-uveitis
6. N Monalisa Muchatuta. Iritis and Uveitis. Medscape. 2017. Available in
https://emedicine.medscape.com/article/798323-overview?
pa=LkzjC0V75AFkR7E6zjv911gJcyu8AWEq2djmgWXWt5Km5rJB5xIH2qqX3
enj5ZSPUiX%2F4TX5fxl15LBvgo%2FVr7Owhd8Mdk7tVO
%2FdkscsGC4%3D#a7
7. Agrawal Rupesh, Murthy, Sangwan. Current Approach in Diagnosis and
Management of Anterior Uveitis. Indian J Ophthalmol. 2010.58(1): P. 11-9.
Available in https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2841369/
8. Hartan J, Opitz D. Diagnosis and treatment of anterior uveitis: Optometric
Management. 2016; vol.8;p.23-5. available in
https://www.dovepress.com/diagnosis-and-treatment-of-anterior-uveitis-
optometric-management-peer-reviewed-fulltext-article-OPTO
9. Ilyas S. Uveitis Anterior. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Edisi kedua. Jakarta: FKUI,
2002. H.180-181.

28

Anda mungkin juga menyukai