Anda di halaman 1dari 38

NON COMMUNICABLE DISEASE

PENYAKIT DEKOMPRESI

DI WILAYAH PESISIR DAN KEPULAUAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Epidemiologi Penyakit
Pesisir Dan Kepulauan

OLEH

DHIYA RAMADHANI

J1A118189

REGULER B 018

DOSEN PENGAMPU

JUSNIAR RUSLI AFA, S.K.M., M.Kes.

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur tidak henti-hentinya penulis panjatkan atas


kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat, nikmat dan anugerah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Makalah yang berjudul Penyakit
Dekompresi di Wilayah Pesisir dan Kepulauan dengan sebaik-baiknya dan tepat
waktu.

Diharapkan pembuatan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan


bagi para pembaca serta dapat dijadikan salah satu ilmu yang bermanfaat. Penulis
menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan yang membuat
makalah ini kurang sempurna, penulis telah berusaha semaksimal mungkin
dengan kemampuan yang ada. Kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca akan sangat membantu penulis kedepannya dalam pembuatan makalah
yang akan mendatang, sehingga kesalahan yang terdapat dalam makalah ini tidak
terulang lagi kedepannya.

Kendari, 12 April 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................6
C. Tujuan............................................................................................................6
BAB II TINJAUAN TEORI..................................................................................7
A. Sejarah dan Status Kesehatan Masyarakat Penyakit Dekompresi di Wilayah
Pesisir dan Kepulauan di Indonesia...............................................................7
B. Karakteristik Masyarakat Pesisir dan Kepulauan, Kebudayaan dan Sistem
Sosial, Kepercayaan, Faktor Risiko, dan Aspek Epidemiologi Penyakit
Dekompresi....................................................................................................8
C. Teori Roda (The Well Of Causation) Penyakit Dekompresi.......................19
BAB III PEMBAHASAN....................................................................................21
A. Alasan Penyakit Dekompresi Masih Ada di Indonesia...............................21
B. 5 Level of Prevention Penyakit Dekompresi...............................................23
C. Program Pemerintah Terkait Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
Dekompresi..................................................................................................26
BAB IV PENUTUP..............................................................................................30
A. Kesimpulan..................................................................................................30
B. Saran............................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Dekompresi merupakan suatu kondisi dimana gejala yang


ditimbulkan dapat mengakibatkan penurunan tekanan udara di bawah air laut
pada saat aktivitas menyelam dilakukan. Penyakit dekompresi terjadi akibat
peningkatan tekanan yang cukup besar dibawah air laut. Penyakit dekompresi
adalah cedera yang menjadi perhatian bagi penyelam scuba, pekerja udara
terkompresi, astronot, penerbang dan personel lainnya yang terpapar pada
lingkungan Hiperbarik dan/atau hipobarik. (Howle, et. al, 2017) Penyakit ini
disebabkan oleh pelepasan gelembung-gelembung gas dalam darah atau
jaringan tubuh akibat penurunan tekanan dibawah air laut yang dapat
berlangsung cepat( Mede,N dalam Embuai,Y 2020 ). Penyakit dekompresi
(Decompression sickness) atau juga biasa disebut Caisson Disease merupakan
suatu penyakit yang disebabkan oleh pembentukan dan peningkatan ukuran
gelembung ketika tekanan parsial gas inert dalam darah dan jaringan melebihi
tekanan ambient (Lee and Ye, 2013 dalam Wijaya,2018 ). Pembentukan
gelembung udara akan menyumbat aliran darah serta sistem syaraf sehingga
akan menimbulkan gejala seperti rasa sakit di persendian, sakit kepala, gatal-
gatal, mati rasa (numbness) kelumpuhan (paralysis) bahkan dapat
menyebabkan kematian(Wijaya,2018)
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari
17.504 pulau dan 2/3 diantaranya adalah wilayah laut. Laut merupakan
sumber daya alam yang digunakan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat. Kemajuan ilmu dan teknologi memungkinkan pekerjaan di laut
dan bawah air berkembang secara cepat,terutama dalam era pembangunan
untuk menggali kekayaan sumber daya alam dilaut (Depkes RI,2009 dalam
Novaria,2018). Secara geografis Indonesia membentang dari 6° LU sampai
11°LS dan 92° sampai 142° BT, terdiri dari pulau-pulau besar dan kecilyang
jumlahnya kurang lebih 17.504pulau.

2
Tiga perempat wilayahnya adalah laut (5,9 juta km), denganpanjang
garis pantai 95.161 km,terpanjang kedua setelah Kanada 80persen dari
kawasan ini adalah laut.Luas wilayah perairan Indonesia kurang lebih 5,8 juta
kilometerpersegi, dan jumlah nelayan di Indonesia hingga tahun 2009 tercatat
2.752.490orang. Dari jumlah nelayan tersebut 90%-nya merupakan nelayan
kecil (Retnowati,2011 dalam Rahmadayanti 2017)
Di Indonesia, penyakit dekompresi sering dialami oleh nelayan
penyelam dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan data dari Sub
Direktur Jenderal Surveilans Epidemiologi, Imunisasi dan Kesehatan Matra
hingga tahun 2008, dari 1026 nelayan penyelam di Indonesia ditemukan
93,9% penyelam pernah menderita gejala awal akibat penyelaman diantaranya
29,8% menderita nyeri sendi. Berdasarkan laporan Divers Alert Network
(DAN), tingkat kejadian penyakit dekompresi (DCS) dalam penyelaman
komersial dilaporkan sebesar 35,3 per 10.000 penyelaman (Pollock and
Buteau, 2017 dalam Wijaya ,2018). Selain itu, di Amerika Serikat insiden
kejadian Caisson Disease (CD) untuk tipe II (berat) sebesar 2,28 kasus
per10.000penyelam. Sedangkan untuk tipe I (ringan) tidak diketahui jumlah
kasusnyadikarenakan banyak penyelam yang tidak mencari pengobatan (Duke
et al., 2017). Beban tahunan kejadian penyakit dekompresi di Denmark
diperoleh sebanyak 14 kasus. Gejala yang paling sering terjadi adalah
paesthesia (50%), nyeri (42%) dan vertigo (40%) (Juhl et al., 2016 dalam
Wijaya,2018).
Hasil penelitian Kementerian Kesehatan (2006) mengenai penyakit dan
kecelakaan yang terjadi pada nelayan dan penyelam tradisional, menyebutkan
bahwa sejumlah nelayan di Pulau Bungin, Nusa Tenggara Barat menderita
nyeri persendian (57,5%) dan gangguan pendengaran ringan sampai ketulian
(11,3%). Sedangkan, nelayan di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, mengalami
kasus barotrauma (41,37%) dan kelainan dekompresi (6,91%).

3
Selanjutnya, Menkes menyatakan bahwa kelompok nelayan di tanah
air kita mendapatkan perhatian khusus dalam upaya pembangunan kesehatan
2010-2014. Data BPS tahun 2011 menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat
sekitar 8.090 desa pesisir yang tersebar di 300 kabupaten/kota pesisir. Dari
234,2 juta jiwa penduduk Indonesia, ada 67,87 juta jiwa yang bekerja di sektor
informal, dan sekitar 30% diantaranya adalah nelayan. Data lainnya, 31 juta
penduduk miskin di Indonesia, sekitar 7,87 juta jiwa (25,14%) di antaranya
adalah nelayan dan masyarakat pesisir (Depkes, 2013 dalam Saraswati, 2016).
Angka kasus penyakit dekompresi di Amerika Serikat untuk tipe II
(berat) sebanyak 2,28 kasus per 10.000 penyelam, tipe I (ringan) tidak dietahui
datanya, dikarenakan mereka tidak mencari pengobatan. Di Kepulauan Hawai
dan pulau-pulau di seluruh Asia Pasifik . Insiden peyakit dekompresi terkait
dengan menyelam berkisar dari 1 hingga 35 kejadian per 1000 penyelaman
( Hall,J 2014 dalam Embuai,Y 2020 )Kemudian untuk Hasil survey yang
dilakukan pada 145 nelayan di Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta Utara,
menunjukan 81 responden menderita penyakit akibat penyelaman antara lain
meliputi barotrauma telinga, dekompresi, dan penyakit akibat lingkungan
dalam air. Hasil dari Kepulauan Seribu, dan DKI Jakarta 69,1% kasus
penyelam menderita kelainan dekompresi yang di sebabkan tidak
tercukupinya gas nitrogen akibat penurunan tekanan dibawah laut
( Dharmawirawan ,D dalam Embuai, Y 2020)
Survey juga dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, dengan 251
responden penyelam di 9 provinsi dengan keluhan yang sering dirasakan
antara lain 21,2% dengankeluhan pusing/sakit kepala, 12,6% merasakan
kelelahan, 12,5% menurunnya frekuensi pendengaran, 10,8% merasakan nyeri
pada persendian, 10,2% perdarahan pada hidung, 9,7% sakit pada bagian
dada/sesak nafas, 6,4% penurunan penglihatan, 6,0% bercak pada kulit, 5,6%
gigitan binatang, 3,2% lumpuh dan 1,7% mengalami hilang kesadaran.

4
Faktor risiko utama decompression sickness adalah kedalaman
menyelam,durasi,tingkat pendakian,dan menyelam berulang. Faktor risiko lain
melibatkan suhu rendah, paparan ketinggian, paten foramen ovale, jenis
kelamin perempuan, usia tua, obesitas, konsumsi alkohol, dehidrasi, se-
belumnya menderita decompression sickness, dan olahraga berat) (Young II.
& Byeong JY, 2013 dalam Arsin, A. A., & Naiem, F , 2016 ) .Penelitian lain
menyatakan faktor yang terkaitdecompression sickness peselam, antara lain
umur penyelam, kedalaman penyelaman,masa kerja peselam, frekuensi naik
turun penyelaman dan penggunaan kompresor sebagai alat bantu nafas saat
menyelam, pemeriksaan kesehatan peselam. ( Virgiawan,D. 2010 dalam
Arsin, A. A., & Naiem, F , 2016 )
Penelitian yang dilakukan oleh Simanungkalit (1997) terhadap para
penyelam alam yang menggunakan kompresor konvensional di kelurahan P.
Panggang menyatakan bahwa 51,8% nelayan penyelam alam mengalami
gejala penyakit dekompresi. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena
pengetahuan terkait prosedur penyelaman tidak mereka ketahui, sedangkan
17,24% peselam kompresor konvensional dengan keluhan penyakit
dekompresi mendapat pertolongan medis. Selanjutnya, frekuensi penyelaman,
lama penyelaman dan pengetahuan SOP safety dive merupakan faktor risiko
terjadinya penyakit dekompresi pada penyelam profesional dan penyelam
tradisional di Gili Matra Kabupaten Lombok Utara Propinsi NTB (Sukmajaya,
2010 dalam Saraswati 2016).

5
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya penyakit dekompresi
adalah faktor lingkungan yaitu temperatur air laut, kedalaman penyelaman,
faktor penjamu yaitu usia, lama penyelaman, frekuensi penyelaman, alat bantu
yang digunakan, masa kerja sebagai penyelam, penyakit asma, merokok,
obesitas dan konsumsi alkohol (Kartono and Ng, 2007 dalam Wijaya,2018).
Terdapat hubungan tehknik Lama menyelam dengan kejadian decompression
sicknes hal ini terjadi karena penyelam yang melakukan aktifitas penyelaman
dengan lama atau durasi waktu melebihi dari 60 menit akan mengakibatkan
risiko kejadian decompression sickness, maka apabila penyelam tidak
melakukan penyelaman terlalu lama maka tekanan tidak akan menjadi
masalah didalam tubuh penyelam (Sukbar, 2016 )
Data Kesehatan Penyelam Tradisional Provinsi Sulawesi Tenggara
tahun 2017, menggambarkan bahwa terdapat 285 orang penyelam yang
mengalami gangguan kesehatan diantaranya 83 orang mengalami nyeri sendi
nyeri otot, 58 orang mengalami sakit kepala, 8 orang mengalami lumpuh, 4
orang mengalami pendarahan hidung dan terdapat 1 orang yang meninggal,
faktor resiko utama decompression sickness adalah kedalaman menyelam,
durasi, tingkat pendakian, dan menyelam berulang, faktor risiko lain
melibatkan suhu rendah, paparan ketinggian, jenis kelamin perempuan, usia
tua, obesitas,konsumsi alkohol, dehidrasi, dan olahraga berat ( Sukbar,2016).
Beberapa kondisi yang dikeluhkan penyelam seperti pusing, sendi
ngilu/nyeri otot, lengan dan atau tungkai lemah dan kesemutan. Keluhan
tersebut termasuk dalam gejala-gejala penyakit dekompresi. Penyelam
kompresor mendapatkan ilmu penyelaman secara turun temurun, tanpa
melalui suatu pendidikan formal dan kegiatan tersebut menggunakan alat
tradisional yang sederhana. Kemudian dengan adanya teknik penyelaman
yang menggunakan peralatan kompresor dan dorongan sosial ekonomi, para
penyelam mulai mempergunakan kompresor konvensional untuk dapat
menyelam lebih lama dan lebih dalam dibandingkan dengan cara
penyelaman yang lama. Karena tidak terbatasnya kapasitas udara yang
dimampatkan oleh kompresor untuk memberikan udara pernafasan bagi

6
peselam bawah air, maka para penyelam tersebut melakukan aktivitas kerja
yang berlebihan untuk mendapatkan hasil yang berlipat ganda. Di balik
keuntungan tersebut para penyelam sebenarnya mendapatkan beberapa risiko
penyakit seperti penyakit dekompresi. ( Saraswati,D 2018 )

B. Rumusan Masalah
1. Mengapa penyakit dekompresi masih ada di Indonesia?
2. Bagaimana 5 level of prevention penyakit dekompresi?
3. Bagaimana program pemerintah terkait pencegahan dan penanggulangan
penyakit dekompresi?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui alasan penyakit dekompresi masih ada di Indonesia.
2. Untuk mengetahui 5 level of prevention penyakit dekompresi.
3. Untuk mengetahui Bagaimana program pemerintah terkait pencegahan dan
penanggulangan penyakit dekompresi.

7
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Sejarah dan Status Kesehatan Masyarakat Penyakit Dekompresi di Wilayah


Pesisir dan Kepulauan di Indonesia

Penyakit dekompresi adalah suatu kecelakaan karena penurunan


tekanan lingkungan yang mendadak seperti pada penyelaman atau pada
pertambangan, yaitu pada saat pekerja keluar dari lingkungan pekerjaannya.
Penyakit dekompresi pertama kali dilaporkan oleh Triger di Perancis
tahun 1843 yang melihat gejala nyeri dan kejang otot pada pekerja batubara.
Pol dan watelle tahun 1854 memperhatikan bahwa gejala penyakit tersebut
akan hilang bila di kembalikan di lingkungan semula. Friedburg melaporkan
pada tahun 1872 bahwa gejala tersebut diatas adalah akibat adanya gelembung
gelembung gas pada jaringan. Paul bert pada tahun 1876 menemukan
gelembung gas yang ada dalam jaringan tersebut adalah nitrogen. Boycot dan
damant pada tahun 1908 melaporkan bahwa binatang yang gemuk lebih
mudah terkena penyakit dekompresi dibandingkan dengan binatang yang
kurus, karena lemak adalah jaringan yang merupakan reservoir bagi N2,
sedangkan N2 itu Asendiri lima kali lebih mudah larut dalam minyak daripada
dalam air. Swindle dan end tahun 1937 menemukan perubahan-perubahan
biokimia yang dikenal karena trauma akibat pengembangan gelembung gas
yang menyebabkan aglutinasi eritrosit dan agregasi trombosit (U.S Navy
Chapter 9,2016 dalam Saraswati,D , 2018 ).
Di Indonesia, penyakit dekompresi sering dialami oleh nelayan
penyelam dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan data dari Sub
Direktur Jenderal Surveilans Epidemiologi, Imunisasi dan Kesehatan Matra
hingga tahun 2008, dari 1026 nelayan penyelam di Indonesia ditemukan
93,9% penyelam pernah menderita gejala awal akibat penyelaman diantaranya
29,8% menderita nyeri sendi ( Wijaya, 2018 )

8
B. Karakteristik Masyarakat Pesisir dan Kepulauan, Kebudayaan dan Sistem
Sosial, Kepercayaan, Faktor Risiko, dan Aspek Epidemiologi Penyakit
Dekompresi
1. Karakteristik Masyarakat Pesisir dan Kepulauan
Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tinggal dan melakukan
aktifitas sosial ekonomi yang berkaitan dengan sumber daya wilayah
pesisir dan lautan. Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir
memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi
sumber daya pesisir dan lautan. Masyarakat pesisir adalah sekumpulan
masyarakat (nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, dan lan-lain)
yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan
memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya
pada pemanfaatan sumber daya pesisir. Masyarakat pesisir termasuk
masyarakat yang masih terbelakang dan berada dalam posisi marginal.
Selain itu banyak dimensi kehidupan yang tidak diketahui oleh orang luar
tentang karakteristik masyarakat pesisir. Mereka mempunyai cara berbeda
dalam aspek pengetahuan, kepercayaan, peranan sosial, dan struktur
sosialnya. Sementara itu dibalik kemarginalannya masyarakat pesisir
tidak mempunyai banyak cara dalam mengatasi masalah yang hadir.
(Fatmasari,D)
2. Kebudayaan dan Sistem Sosial
Kebudayaan nelayan adalah sistem gagasan atau sistem kognitif
masyarakat nelayan yang dijadikan referensi kelakuan sosial budaya oleh
individu-individu dalam interaksi bermasyarakat. Kebudayaan ini
terbentuk melalui proses sosiohistoris yang panjang dan kristalisasi dari
interaksi yang intensif antara masyarakat dan lingkungannya. Kondisi-
kondisi lingkungan atau struktur sumberdaya alam, mata pencaharian, dan
sejarah sosial-etnis akan mempengaruhi karakteristik kebudayaan
masyarakat nelayan. Dalam perspektif antropologis, eksitensi kebudayaan
nelayan tersebut adalah sempurna dan fungsional bagi kehidupan
masyarakatnya. (Sukbar,2016)

9
Penyelam tradisional di Indonesia adalah nelayan yang melakukan
penyelaman untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan. Nelayan penyelam
tradisional yang seringndisebut dengan nelayan kompresor. Turun temurun
penyelam menggunakan peralatan sangat terbatas. Kebanyakan hanya
terdiri dari kompresor yang biasa digunakan untuk memompa ban
kendaraan bermotor, fin, masker, selang dengan regulator dan pemberat
dari timah. Penyelaman dilakukan pada tekanan lebih dari 1 atmosfer
absolut baik di dalam air maupun di ruang udara kering bertekanan tinggi.
(Sukbar,2016)
Penyelaman tersebut sangat berbahaya karena akan menyebabkan
penyelam menderita kelainan dekompresi yang di sebabkan tidak
tercukupinya gas nitrogen akibat penurunan tekanan yang mendadak,
sehingga menimbulkan gejala sakit pada persendian, susunan syaraf,
saluran pencernaan, jantung, paru-paru dan kulit. (Sukbar,2016)
Karakteristik sosial ekonomi masyarakat pesisir yaitu bahwa
sebagianbesar pada umumnya masyarakat pesisir bermata pencaharian di
sektorkelautan seperti nelayan, pembudidaya ikan, penambangan pasir
dantransportasi laut. Dari segi tingkat pendidikan masyarakat pesisir
sebagianbesar masih rendah. Serta kondisi lingkungan
pemukimanmasyarakatpesisir, khususnya nelayan masih belum tertata
dengan baik danterkesan kumuh. Dengan kondisi sosial ekonomi
masyarakatyang relatifberada dalam tingkat kesejahteraan rendah, maka
dalam jangka panjangtekanan terhadap sumberdaya pesisir akan semakin
besar guna pemenuhankebutuhan masyarakatpesisir Masyarakat di
kawasan pesisir Indonesia sebagian besar berprofesisebagai nelayan yang
diperoleh secara turun-temurun dari nenek moyangmereka. Karakteristik
masyarakat nelayan terbentuk mengikuti sifat dinamissumberdaya yang
digarapnya, sehingga untuk mendapatkan hasil tangkapanyang maksimal,
nelayan harus berpindah-pindah. Selain itu, resiko usahayang tinggi
menyebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam.
(Fatmasari,D)

10
3. Kepercayaan
Sejak lama masyarakat Indonesia terutama yang bermukim
diwilayah pesisir mempunyai pengetahuan tradisional tentang alam raya
termasuk lingkungan laut, tidak hanya dipandang sebagai status ruang
hampa atau ruang kosong yang berproses secara alamiah, melainkan alam
itu dihayati sebagai bagian integral dari Sang Pencipta yang penuh misteri.
Konsep pengetahuan budaya yang dimiliki masyarakat bahwa alam raya
dikuasai oleh dewata, sedangkan unsur alam seperti langit, bumi dan
lautan diserahkan penjagaan dan pengaturannya kepada makhluk makhluk
gaib dan dikenal sebagai figure yang melambangkan kebaikan dan
kejahatan. Kebudayaan nelayan terbentuk dari akumulasi pengalaman
serta tingkat pengetahuan masyarakat pendukungnya, dan terwujud dalam
pola tingkah laku nelayan dalam memenuhi kebutuhannya. (Halena
Isrumanti Duke, Sri Rahayu Widyastuti, Suharyo Hadisaputro, 2017).
Sadar atau tidak sadar, untuk masyarakat nelayan telah membentuk
pola-pola tingkah laku dalam bentuk norma, sopan santun serta ide,
gagasan dan nilai-nilai yang menjadi pedoman bagi tingkah laku para
individu dalam kelompok tersebut. Dalam hal ini kebudayaan nelayan
menjadi sebuah ”blue print” desain, atau pedoman menyeluruh bagi para
pendukungnya. Karena itu, kebudayaan sebagai pengetahuan, secara
selektif digunakan oleh manusia untuk menginterpretasi dan memahami
lingkungan yang dihadapi, dan digunakan sebagai referensi untuk
melakukan aktivitas. Di dalam agama Islam, hari Jumat merupakan hari
suci dimana umat muslim terutama pria melaksanakan ibadah sholat
Jumat. Oleh karena itu nelayan dari beberapa daerah di Indonesia memilih
libur pada hari Jumat, seperti Berau, Kalimantan Timur; Pangandaran,
Jawa Barat; dan beberapa daerah lain. Selain libur pada hari Jumat, mereka
biasanya juga libur pada permulaan puasa, hari raya Idul Fitri / Idul Adha,
dan atau pada hari-hari bulan syawal (setelah Idul Fitri, biasa disebut pula
syawalan). (Gs, 2018)

11
Ada banyak macam kepercayaan dari nelayan-nelayan terhadap
laut yang tersebar di berbagai daerah pesisir Indonesia yang sampai saat
ini masih sering didengar. Ada kepercayaan yang berupa pantangan atau
sesuatu yang harus dilakukan seperti ritual yang bertujuan untuk memohon
keselamatan dan menghindarkan nelayan dari bala bencana di tengah
lautan sebelum mereka turun melaut. Para nelayan percaya jika sesuatu
yang telah ditetapkan tersebut dilanggar atau tidak dilakukan maka akan
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Seperti contoh larangan melaut
apabila menjumpai hiu paus dijumpai di daerah Cirebon dan Muara Baru.
Kepercayaan kemunculan hiu paus merupakan tanda kesialan dan harus
segera berputar arah ke darat, masih kental dan dipercaya oleh sebagian
besar masyarakat nelayan di sana. Larangan menangkap penyu karena
dipercaya akan sakit bagi penangkapnya dijumpai di daerah Banggai
Kepulauan, Sulawesi Tengah. (Gs, 2018)
Masyarakat pesisir menyakini bahwa menyelam selama 3 jam
dalam sehari untuk mendapatkan ikan adalah hal yang wajar. Akan tetapi
hasil penelitian menunjukkan bahwa menyelam ≥ 2 jam per hari maka
berisiko untuk terjadi penyakit dekompresi. Faktor waktu atau lama
penyelaman adalah lama penyelam yang dihitung sejak penyelam
berenang turun selama di dasar sampai penyelam mulai mencapai
permukaan. Lama menyelam akan mempengaruhi tekanan yang diterima
oleh penyelam sesuai kedalamannya. Semakin lama dan semakin dalam
menyelam maka tekanan yang diterima oleh penyelam sesuai
kedalamannya semakin besar dan lama. Penyelaman yang lama akan
mempengaruhi penyerapan dan pelepasan gas dalam jaringan tubuh dan
darah, terutama adalah gas nitrogen, yaitu berubahnya komposisi gas akan
menimbulkan penyakit dekompresi. (Halena Isrumanti Duke, Sri Rahayu
Widyastuti, Suharyo Hadisaputro, 2017)
4. Faktor Risiko
Secara umum, apapun yang meningkatkan laju aliran darah ke
organ juga akan meningkatkan aliran dari nitrogen. Serta apapun yang

12
menghambat aliran darah menuju organ, juga akan menghambat aliran dari
nitrogen. Edmonds et.al (2015:139) ( Dalam Saraswati, D. A. 2018)
menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi risiko penyakit
dekompresi adalah sebagai berikut:
a. Lama penyelaman
Konsep jaringan cepat dan lambat penting untuk memahami
bentuk- bentuk klinis penyakit dekompresi yang mungkin timbul.
Penyelaman singkat dan dalam akan menghasilkan pembebanan
nitrogen yang tinggi pada jaringan-jaringan cepat, tetapi tidak cukup
waktu untuk pembebanan tinggi pada jaringan-jaringan lambat.
Dekompresi yang inadekuat memungkinkan pembentukan gelembung
nitrogen didalam darah yang bisa mengakibatkan gangguan
pernapasan (chokes) atau gejala neurologis.
Penyelaman yang relatif dangkal tapi lama akan memberikan
pembebanan nitrogen yang kurang lebih sama antara jaringan cepat
dan jaringan yang lebih lambat. Perbedaan tekanan yang tidak
terlampau besar antara kedalaman dan permukaan menyebabkan
darah lebih mampu mentolerir kelebihan nitrogen tersebut, karena
darah sebagai jaringan cepat mengeliminasi nitrogen lebih cepat lewat
alveoli paru sedangkan jaringan lambat tidak bisa. Penyelaman
seperti ini cenderung menimbulkan nyeri pada persendian karena sendi
adalah jaringan lambat dan tidak dapat melepas nitrogen dengan cepat
lewat darah.
b. Kedalaman
Penyelaman lebih dari 10 meter dapat mengakibatkan
muculnya gelembung gas yang dapat memicu penyakit dekompresi.
Semakin dalam penyelaman maka semakin besar gelembung gas yang
dihasilkan. Kondisi tersebut berbanding lurus dengan durasi, semakin
lama penyelaman maka juga semakin besar kemngkinan terbentuknya
gelembung gas. Alias (2013:93-108) dalam Saraswati, D. A. 2018
menyatakan bila seseorang menggunakan udara bertekanan tinggi

13
sebagai media pernapasan untuk menyelam, maka semakin dalam dan
semakin lama penyelam melakukan penyelaman, akan semakin banyak
pula gas yang larut dan ditimbun dalam jaringan tubuh. Sesuai hukum
Henry, volume gas yang larut dalam suatu cairan sebanding dengan
tekanan gas di atas cairan itu. Karena oksigen (O 2) dikonsumsi dalam
jaringan tubuh, maka yang tinggal adalah Nitrogen (N 2) yang
merupakan gas inert (tidak aktif).
Seperti kita ketahui tekanan udara di permukaan laut
adalah 1 Atmosfer Absolut (ATA) dan setiap kedalaman 10 meter
maka tekanan akan bertambah 1 ATA. Jadi bila 1 liter N2 terlarut
didalam tubuh seseorang penyelam pada permukaan, maka pada
kedalaman 20 meter (3 ATA) ia akan menyerap 3 liter N2. N2 yang
berlebihan ini akan didistribusikan oleh darah ke dalam jaringan-
jaringan sesuai dengan kecepatan aliran darah ke jaringan tersebut
serta daya gabung jaringan terhadap N2.
Jaringan lemak mempunyai daya gabung N 2 yang tinggi
dan melarutkan banyak N2 daripada jaringan yang lainnya. Ketika
penyelam naik ke permukaan dan tekanan gas turun, terjadi kebalikan
dari proses yang memenuhi tubuh dengan N2. Tekanan parsial N2
yang rendah dalam paru-paru selama naik menyebabkan darah
melepaskan N2 kedalam paru-paru proses ini berlangsung beberapa
jam karena lambat melepaskan N2 dengan perlahan-lahan, dan tubuh
memerlukan 24 jam atau lebih untuk menghilangkan semua N 2
yang berlebihan.
Jika dekompresi berlangsung terlalu cepat, maka N2 tidak
dapat meninggalkan jaringan dengan cepat dan teratur seperti yang
dilukiskan diatas. Tekanan yang tiba-tiba menurun tidak cukup untuk
mempertahankan kelarutan gas sehingga timbul gelembung, seperti

14
fenomena yang kita lihat bila tutup botol bir dibuka dengan tiba-tiba
(Alias, 2013:93-108 Dalam Saraswati, D. A. 2018) ).
c. Frekuensi Penyelaman
Campbell mengemukakan beberapa faktor yang ditemukan
dapat meningkatkan kejadian penyakit dekompresi, yaitu menyelam
berulang-ulang, menyelam melebihi batas dekompresi, kehabisan
udara, kecepatan naik ke permukaan, melakukan penerbangan
setelah menyelam dan menyelam terlalu dalam.
Standart melakukan penyelaman ulang dengan istirahat di darat
kurang dari 10 menit (penyelaman tunggal). Kedalaman yang dihitung
adalah penyelaman yang terdalam, dan lama penyelaman yang
pertama dan kedua harus dijumlahkan. Kemudian dilihat tabel
prosedur penyelaman benar atau salah. kriteria melakukan penyelaman
ulang dengan waktu istirahat di darat > 10 menit, lama dan kedalaman
tiap penyelaman di hitung.
d. Kecepatan naik kepermukaan
Kecepatan saturasi berbeda-beda untuk tiap gas secara
individual. Untuk kecepatan perfusi yang konstan, kecepatan saturasi
terutama tergantung kepada sifat fisika-kimia dari gas tersebut.
Perbedaan dari kecepatan saturasi merupakan hasil perbedaan dari
koefisien daya larut dalam jaringan lemak dan jaringan barier. Lemak
mempunyai daya gabung nitrogen yang tinggi dan melarutkan 5x lebih
banyak nitrogen daripada air. Kecepatan superturasi gas di dalam
darah dan jaringan pada batas tertentu masih dianggap aman, bila
tekanan lingkungan diturunkan secara bertahap, dalam arti masih bisa
memberikan kesempatan gas untuk berdifusi keluar dari jaringan dan
larut dalam darah, kemudian menuju alveoli paru lalu keluar melalui
pernafasan.
Bila batas maksimum kecepatan penurunan tekanan lingkungan
diturunkan secara bertahap, dalam arti masih bisa memberikan
kesempatan gas untuk berdifusi keluar dari jaringan dan larut dalam

15
darah, kemudian menuju alveoli paru lalu keluar melalui pernafasan.
Bila batas maksimum kecepatan penurunan tekanan lingkungan
dilampaui, maka kondisi superturasi gas dalam darah dan jaringan
melewati batas krisis superturasi, sehingga menyebabkan gas nitrogen
tidak larut dan lebih cepat lepas dari jaringan dan darah dalam bentuk
gelembung gas nitrogen.ukuran gelembung gas tergantung dari volume
gas yang disebabkan oleh difusi O2, CO2 dan gas inert lainnya.
Pada peselam dengan mempergunakan udara sebagai media
pernafasannya untuk melakukan penyelaman, maka nitrogen
merupakan bagian yang terbesar yang berfungsi sebagai carier
oksigen. Apabila peselam dalam melakukan penyelaman dalam dan
lama, akan semakin banyak gas nitrogen yang larut dalam cairan darah
serta tertimbun dalam jaringan dan apabila penyelam naik ke
permukaan terlalu cepat maka akan timbul gelembung gas dalam
pembuluh darah dan limfe. Untuk itu perlu prosedur tertentu bila naik
kepermukaan agar tidak terbentuk gelembung nitrogen tersebut. Dalam
tabel dekompresi, standart laju kecepatan naik ke permukaan adalah 60
feet/menit atau 1 feet / detik atau 18 meter/ menit (Dean et al, 2016
Dalam Saraswati, D. A. 2018)).
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya penyakit dekompresi
adalah faktor lingkungan yaitu temperatur air laut, kedalaman
penyelaman, faktor penjamu yaitu usia, lama penyelaman, frekuensi
penyelaman, alat bantu yang digunakan, masa kerja sebagai penyelam,
penyakit asma, merokok, obesitas dan konsumsi alkohol (Kartono and Ng,
2007 dalam Wijaya, D. R. 2018).
a. Usia
Usia kemungkinan menjadi salah satu faktor risiko terjadinya
penyakit dekompresi. Bertambahnya umur akan meningkatkan risiko
terkena penyakit dekompresi. Hal ini dimungkinkan karena terjadinya
penurunan kesehatan fisik secara umum dan kemampuan mengganti
jaringan serta sel-sel tubuh yang rusak atau adanya faktor risiko

16
lainnya seperti meningkatnya lemak tubuh. (Mitchell, 2005 dalam
Wijaya, D. R. 2018).
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin wanita dilaporkan mempunyai insiden terkena
penyakit dekompresi 3-4 kali lebih besar dibandingkan dengan pria
bila terpapar pada tekanan yang sama. Akan tetapi penelitian
Zwingelberg dkk (1987) tidak menemukan insiden penyakit ini lebih
tinggi pada wanita.
c. Obesitas
Kelebihan berat badan dapat meningkatkan risiko terjadinya
penyakit dekompresi. Para penyelam yang mempunyai berat badan
(BB) 20% diatas BB ideal, menurut tabel standar harus dihindarkan
dari penyelaman sampai mereka dapat menurunkan berat badannya
menuju BB ideal. Menurut Mitchell (2005) , gas nitrogen lebih mudah
larut dalam lemak dibanding dengan air di jaringan tubuh. Sehingga
apabila persentase lemak dalam jaringan lebih besar dibanding dengan
air, akan meningkatkan risiko penyakit dekompresi. Nitrogen 5 kali
lebih larut dalam lemak daripada dalam air (Mitchell, 2005 dalam
Wijaya, D. R. 2018).
d. Temperatur air laut
Suhu dibawah 72 ºF atau 23 ºC menyebabkan penyelam tanpa
pelindung akan kehilangan panas tubuh sehingga penyelam waktu
naik (ascent) berisiko mengalami penyakit dekompresi. Semakin
dalam air laut maka suhu juga semakin dingin. Turunnya suhu dimulai
dari kedalaman 10 m. Dinginnya suhu air laut dapat menyebabkan
penyelam terkena penyakit dekompresi yaitu dengan timbulnya gejala
vertigo (pusing) dan sakit kepala.
e. Waktu istirahat
Waktu istirahat dibutuhkan oleh seorang penyelam sebelum
melakukan penyelaman ulang untuk menetralkan kandungan nitrogen
dalam darahnya. Waktu istirahat yang dibutuhkan tergantung

17
kedalaman (PKHI, 2000 dalam Wijaya, D. R. 2018).

f. Alat bantu
Alat bantu yang digunakan oleh penyelam merupakan salah
satu faktor risiko terjadinya penyakit dekompresi. Dengan alat bantu
yang tidak standar, tubuh penyelam akan mengalami perubahan
fisiologi akibat perubahan lingkungan seperti tekanan, suhu dan
kompresi udara yang dihirup. Jenis alat bantu penyelaman mengacu
pada jenis penyelaman. Tiap-tiap jenis penyelaman mempunyai
peralatan standart minimal sendiri-sendiri. Untuk penyelaman dengan
suplai udara dari permukaan, peralatan selam minimal yang
dibutuhkan adalah: kompresor, masker yang menutupi seluruh muka,
pakaian selam basah, surface umbilical, sabuk pemberat, pisau selam
dan sirip renang atau sepatu selam (Mahdi et al., 1999 dalam Wijaya,
D. R. 2018).
g. Penyakit Asma
Asma merupakan penyakit peradangan (inflamasi) saluran
nafas kronik, yang menyebabkan penyempitan saluran nafas dan
umumnya bersifat reversible (membaik secara spontan atau dengan
terapi). Faktor pencetusnya (inciter) dapat berupa iritan, pendinginan
saluran nafas, alergen dan emosi (Dahlan, 2000 dalam Wijaya, D. R.
2018).
h. Merokok
Asap rokok mengandung lebih dari 4000 bahan kimia,
termasuk 43 bahan penyebab kanker yang telah diketahui. Rokok
dapat menyebabkan risiko berbagai macam penyakit. Merokok dapat
menimbulkan efek akut yaitu berupa trauma paru berat pada penderita
yang mempunyai masalah paru. Salah satu bahan yang berbahaya
pada rokok adalah karbon monoksida (CO). Karbon monoksida (CO)
mempunyai daya ikat yang kuat terhadap sel darah merah dibanding
dengan oksigen.

18
i. Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol dapat mempengaruhi sistim tubuh, yaitu
menurunnya sistim kekebalan tubuh karena menurunnya kemampuan
darah putih, meningkatkan risiko radang paru-paru, tuberkulosis dan
hepatitis. Terhadap sistim sirkulasi dapat meningkatkan risiko
serangan jantung, menurunkan kadar gula, meningkatkan lemak darah
dan tekanan darah sehingga dapat menyebabkan hipertensi.
5. Aspek Epidemiologi
Hasil penelitian Kementerian Kesehatan menunjukkan beberapa
penyakit dan kecelakaan yang terjadi pada nelayan dan penyelam
tradisional, menyebutkan sejumlah nelayan di pulau Bungin, Nusa
Tenggara Barat menderita nyeri persendian (57,5%) dan gangguan
pendengaran ringan sampai ketulian (11,3%), sedangkan nelayan di
Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, mengalami kasus barotrauma (41,37%)
dan penyakit dekompresi yang biasa menyerang penyelam (6,91%). Data
dari Kementerian Kesehatan, menurut survei 251 responden penyelam di 9
provinsi di Indonesia, teknik menyelam yang digunakan 56,6% penyelam
tahan nafas, 33,9% penyelam kompresor dan 9,6% penyelam dengan
SCUBA. Keluhan yang sering didapat dari 251 responden tersebut antara
lain 21,2% pusing/sakit kepala, 12,6% lelah, 12,5% pendengaran
berkurang, nyeri sendi 10,8%, perdarahan hidung 10,2%, 9,7% sakit
dada/sesak, 6,4% penglihatan berkurang, 6,0% bercak merah di kulit,
5,6% gigitan binatang, 3,2% lumpuh dan 1,7% hilang kesadaran. (Halena
Isrumanti Duke, Sri Rahayu Widyastuti, Suharyo Hadisaputro, 2017)
Tidak ada kedalaman spesifik yang menjadi batas minimal absolut
untuk terjadinya penyakit dekompresi. Semakin dalam kedalaman yang
dicapai maka risiko penyakit dekompresi akan semakin besar. Pajanan
berulang atau penyelaman berulang dalam kurun waktu yang singkat
meningkatkan risiko terjadinya penyakit dekompresi. Selain itu, semakin
cepat terjadinya perubahan ketinggian, yaitu semakin singkat waktu yang
diperlukan untuk naik ke permukaan, maka risiko terjadi nya penyakit

19
dekompresi juga akan semakin besar. Risiko penyakit dekompresi akan
sangat meningkat jika penyelam naik ke permukaan dengan kecepatan >19
meter/menit. Pada penyelam scuba, penyelam diharuskan bernapas pada
kondisi tekanan yang tinggi. Pada kondisi ini akan terjadi peningkatan
kadar nitrogen yang terlarut di dalam tubuh. Semakin dalam menyelam
maka laju saturasi nitrogen akan semakin besar, sehingga jika setelah
menyelam waktu yang diberikan untuk eliminasi nitrogen terlalu singkat
atau dengan kata lain penyelam secara cepat naik ke permukaan setelah
menyelam maka risiko penyakit dekompresi menjadi sangat besar. Waktu
juga memengaruhi terjadinya penyakit dekompresi. Semakin lama durasi
pajanan pada wilayah bertekanan rendah maka risiko terjadinya penyakit
dekompresi akan semakin besar. Faktor risiko lain adalah usia, semakin
tua usia maka risiko terjadinya penyakit dekompresi akan semakin besar.
Seseorang dengan komposisi lemak tubuh yang besar juga berisiko untuk
mengalami penyakit dekompresi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
nitrogen yang tersimpan di dalam jaringan lemak. (Linggayani &
Ramadhian, 2017)

C. Teori Roda (The Well Of Causation) Penyakit Dekompresi

Model roda memerlukan identifikasi dari berbagai faktor yang


berperan dalam timbulnya penyakit dengan tidak begitu menekankan
pentingnya agen. Disini dipentingkan hubungan antara manusia dengan
lingkungan hidupnya. Besarnya peranan dari masing -masing lingkungan
bergantung pada penyakit yang bersangkutan. (Notoatmodjo, 2003 dalam
Irwan, 2017 ) Sebagai contoh peranan lingkungan sosial lebih besar dari yang
lainnya pada stress mental, peranan lingkungan fisik lebih besar dari lainnya
pada sunburn, peranan lingkungan biologis lebih besar dari lainnya pada
penyakit yang penularannya melalui vektor (vektor borne disease) dan
peranan inti genetik lebih besar dari lainnya pada penyakit keturunan.
(Notoatmodjo, 2003 dalam Irwan, 2017).

20
Dengan model-model tersebut diatas hendaknya ditunjukkan bahwa
pengetahuan yang lengkap mengenai mekanisme-mekanisme terjadinya
penyakit tidaklah diperuntukkan bagi usaha-usaha pemberantasan yang
efektif. Oleh karena banyaknya interaksi-interaksi ekologis maka seringkali
kita dapat mengubah penyebaran penyakit dengan mengubah aspek-aspek
tertentu dari interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya tanpa intervensi
langsung pada penyebab penyakit. (Notoatmodjo, 2003 dalam Irwan, 2017 )
Model ini menggambarkan hubungan manusia dengan lingkungannya
sebagai roda. Roda tersebut terdiri atas manusia dengan substansi genetik pada
bagian intinya, dan komponen lingkungan biologi, social, fisik mengelilingi
penjamu. Ukuran komponen roda bersifat relative, tergantung problem
spesifik penyakit yang bersangkutan. Contoh pada penyakit herediter tentunya
proporsi inti genetik relative besar, sedang pada penyakit campak status
imunitas penjamu dan lingkungan biologik lebih penting daripada faktor
genetik. Peranan lingkungan sosial lebih besar dari yang lainnya dalam hal
strees mental, sebaliknya pada penyakit malaria peran lingkungan biologis
lebih besar ( Irwan, 2017 ).
Penyakit Dekompresi merupakan salah satu penyakit tidak menular
yang terjadi pada penyelam dalam air. Dalam teori roda manusia sebagai inti
dari roda itu yang dikelilingi oleh lingkungan sosial, lingkungan fisik dan
lingkungan biologi. Dalam hal ini, penyakit dekompresi ini dipengaruhi oleh
lingkungan fisik dimana tekanan dalam air mempengaruhi seorang penyelam.
Bila diibaratkan roda lingkungan fisik lebih besar dari lingkungan biologi dan
lingkungan sosial ini dilihat dari problem spesifik penyakit dekompresi yaitu
tekanan di dalam air. Meskipun demikian peran lingkungan sosial seperti
pekerjaan antar sesama penyelam dan faktor penyakit bawaan misalnya asma
juga berperan dalam bentuk teori roda ini. Jadi dalam penyakit dekompresi
peran lingkungan fisik lebih besar dari lingkungan lainnya.

21
BAB III

PEMBAHASAN

A. Alasan Penyakit Dekompresi Masih Ada di Indonesia

Masyarakat di kawasan pesisir Indonesia sebagian besar berprofesi


sebagai nelayan yang diperoleh secara turun-temurun dari nenek moyang
mereka. Karakteristik masyarakat nelayan terbentuk mengikuti sifat dinamis
sumber daya yang digarapnya, sehingga untuk mendapatkan hasil tangkapan
yang maksimal, nelayan harus berpindah-pindah. Selain itu, resiko usaha yang
tinggi menyebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam
(Fatmasari,D).
Berdasarkan Fatmasari,D dapat kita lihat bahwa profesi nelayan yang
sudah secara terun temurun dari nenek moyang mereka, sehingga tidak dapat
lepas dari kegiatan diperairan salah satunya yaitu penyelaman. Karena turun
temurun sehingga masyarakat terlatih dari kecil untuk menjalani profesi
nelayan dalam hal ini penyelaman dan memiliki masa kerja yang lama.
Kegiatan penyelaman berdasarkan masa kerja penyelaman mempengaruhi
terjadinya penyakit Dekompresi.
Hal ini dilihat dari hasil penelitian Embuai,Y (2020) bahwa masa kerja
yang lama dapat mempengaruhi lamanya seseorang terpapar dengan faktor
risiko pada tempat kerjanya. Karena semakin lama penyelam melakukan
aktifitas menyelam maka semakin besar pula paparan atau faktor risiko yang
didapatkan pada lingkunganya. Semakin lama seseorang terpapar dengan
perbedaan tekanan maka risiko untuk menderita penyakit dekompresi semakin
besar. Masa kerja yang lama bagi seorang penyelam juga yang dapat
menyebabkan gangguan kesehatan, kelumpuhan bahkan kematian. Masa kerja
yang >10 lebih banyak pada kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan
presentase masing-masing 95,70% untuk kelompok kasus dan 96,00% untuk
kelompok kontrol dengan analisis multivariat hubungan antar variabel masa
kerja dengan nilai p-value 0,121 dan niai OR 4.600 kali mempunyai

22
kemungkinan berpengaruh terhadap kejadian dekompresi untuk variabel masa
kerja yang <10 tahun, dibandingkan dengan masa kerja yang >10 tahun.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang relatif berada dalam tingkat
kesejahteraan rendah, maka dalam jangka panjang tekanan terhadap
sumberdaya pesisir akan semakin besar guna pemenuhan kebutuhan
masyarakat pesisir ( Fatmasari,D ). Rendahnya sosial ekonomi masyarakat
membuat masyarakat pesisir harus bekerja keras guna memnuhi kebutuhan
hidupnya. Masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan
memiliki frekuensi penyelaman yang relatif lebih sering melakukan kegiatan
penyelaman itu berpengaruh terhadap terjadinya penyakit.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Arsin, A. A., &
Naiem, F. (2016). Responden yang mempunyai frekuensi menyelam berisiko
lebih banyak mengalami DCS (62,1%) sedangkan frekuensi menyelam risiko
rendah lebih banyak tidak mengalami DCS (75,9%). Hasil uji OR diperoleh
frekuensi menyelam merupakan faktor risiko kejadian DCS. Hasil uji chi
square diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukkan frekuensi
menyelam berhubungan dengan kejadian DCS. Responden yang mempunyai
frekuensi menyelam berisiko berpeluang mengalami DCS sebesar 5,7 kali di-
bandingkan responden yang mempunyai frekuensi menyelam tidak berisiko.
Frekuensi menyelam mempengaruhi kejadian dekompresi pada
peselam. Hal ini disebabkan kadar nitrogen yang terkandung dalam darah
belum normal, tetapi harus kembali terpapar nitrogen. Secara teoritis, nitrogen
yang terkandung dalam darah akibat penyelaman akan kembali normal setelah
24 jam setelah menyelam. Bila nitrogen belum normal dalam tubuh dan harus
terpapar lagi maka akan menimbulkan chokes atau bends yang akan berakibat
parah. Semakin sering seseorang menyelam maka kondisi tubuh juga akan
semakin berkurang diakibatkan tubuh manusia tidak bisa berada terus-
menerus di dalam air. ( Young II. & Byeong JY dalam Arsin, A. A., & Naiem,
F. 2016 ).

23
B. 5 Level of Prevention Penyakit Dekompresi

Menurut Leavel and Clark dalam Erlan, A. (2017) adalah upaya


pencegahan penyakit dalam lima tingkatan yang dapat dilakukan pada masa
sebelum sakit dan pada masa sakit. Pada masa sebelum sakit upaya yang
dilakukan adalah mempertinggi nilai kesehatan (health promotion) dan
memberikan perlindungan khusus terhadap sesuatu penyakit (specific
protection). Pada masa sakit upaya yang dilakukan adalah mengenal dan
mengetahui jenis pada tingkat awal, serta mengadakan pengobatan yang tepat
dan segera (early diagnosis and treatment). Pembatasan kecacatan dan
berusaha untuk menghilangkan gangguan kemampuan bekerja yang
diakibatkan sesuatu penyakit (disability limitation), dan rehabilitasi
(rehabilitation).
Promosi kesehatan menurut piagam Ottawa 1986 adalah suatu proses
memberdayakan atau memandirikan masyarakat untuk memelihara,
meningkatkan dan melindungi kesehatannya melalui peningkatan kesadaran,
kemauan dan kemampuan, serta pengembangan lingkungan sehat. Promosi
kesehatan mencakup aspek perilaku, yaitu upaya untuk memotivasi,
mendorong dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki
masyarakat agar mereka mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya
( Notoatmodjo S, 2010 dalam Erlan, A. 2017 ).
Salah satu bentuk promosi kesehatan yang dapat dilakukan adalah
dengan melakukan penyuluhan. Penyuluhan yang dimaksudkan ialah
memberikan informasi kepada masyarakat yang rawan terkena penyakit
dekompresi dalam hal ini adalah masyarakat yang tinggal diwilayah pesisir
yang melakukan kegiatan penyelaman dalam bekerja. Kegiatan dapat
dilakukan dengan bekerja sama dengan dinas terkait untuk pembahasan yang
lebih mendalam terhadap penyakit dekompresi.
Spesific Protection atau Perlindungan khusus adalah perlindungan
yang diberikan kepada orang-orang atau kelompok yang beresiko terkena
suatu penyakit tertentu. Perlindungan tersebut dimaksudkan agar kelompok
yang beresiko tersebut dapat bertahan dari serangan penyakit

24
yang mengincarnya. Oleh karena demikian, perlindungan khusus ini juga
dapat disebut kekebalan buatan. Salah satu bentuk perlindungan khusus yang
dapat diberikan kepada penyelam adalah dengan penggunaan Alat Pelindung
Diri (APD) untuk kegiatan didalam air, Menurut U.S Navy vol 2 chapter
7,2016:30 dalam Saraswati, D. A. (2018) jenis APD yang dapat digunakan
adalah masker, snorkel, fins, tabung SCUBA, regulator, Tolak Ukur Tekanan
dan Kedalaman, sabuk pemberat, dan sarung tangan.

Gambar 3.1 Alat Pelindung Diri (APD) Penyelam


Early Diagnosis and Prompt Treatment atau Diagnosis dini dan
pengobatan yang tepat dan cepat merupakan langkah pertama ketika seseorang
telah jatuh sakit. Tentu saja sasarannya adalah orang-orang yang telah jatuh
sakit, agar sakit yang dideritanya dapat segera diidentifikasi dan secepatnya
pula diberikan pengobatan yang tepat. Tindakan ini dapat mencegah orang
yang sudah sakit, agar penyakinya tidak tambah parah. Perlu kita ketahui
bahwa faktor yang membuat seseorang dapat sembuh dari penyakit yang
dideritanya bukan hanya dipengaruhi oleh jenis obat yang diminum
dan kemampuan si tenaga medisnya. Tetapi juga dipengaruhi oleh kapan
pengobatan itu diberikan. Semakin cepat pengobatan diberikan kepada
penderita, maka semakin besar pula kemungkinan untuk sembuh. Diagnosis
dini dan pengobatan yang tepat dan cepat dapat mengurangi biaya pengobatan

25
dan dapat mencegah kecacatan yang mungkin timbul jika suatu penyakit
dibiarkan tanpa tindakan kuratif.
Dalam kasus dekompresi perlunya diagnosis dini dan pengobatan yang
tepat dan cepat pada penyelam agar gejala yang timbul tidak menjadi lebih
besar atau berdampak lebih buruk terhadap kondisi pasien . Tindakan yang
tepat dari tenaga medis dapat mengurangi gejala yang berkelanjutan. Menurut
Edmonds et al. (2015:151) dalam Saraswati, D. A. (2018) gejala yang timbul
dari penyakit dekompresi seperti, Gejala awalnya di mulai dari
ketidaknyamanan dari daerah sekitar sendi. Rasa nyeri akan timbul 2 jam
berikutnya seperti timbul rasa berdenyut-denyut. Apabila tidak ditangani rasa
nyeri akan berlanjut hingga beberapa hari sebelum berlahan-lahan
menghilang/mereda. Pada otak gejala yang ditimbulkan dari penyakit
dekompresi adalah timbulnya gelembung udara di pembuluh darah atau
sekitarnya yang menyebabkan terhambatnya aliran darah dan memberikan
tekanan pada jaringan saraf. Gelembung nitrogen yang terbentuk di pembuluh
darah biasanya di saring oleh paru-paru kondisi ini menyebabkan gangguan
pada jantung khususnya pada bagian katub yang berada diantara artium kanan
dan kiri.
Disability Limitation atau pemberantasan kecacatan, yang ditakutkan
terjadi disebabkan pengobatan kepada penderita tidak sempurna. Adapun
pembatasan kecacatan terkesan membiarkan penyakit menyerang
dan membuat cacat si penderita, baru kemudian diambil tindakan. Banyak
penyakit yang dapat menimbulkan kecacatan dapat dicegah dengan
pengobatan yang lebih sempurna. Salah satunya adalah dengan meminum obat
yang diberikan oleh dokter sampai habis. Karena kurangnya pengertian dan
kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan penyakit, maka sering
masyarakat tidak melanjutkan pengobatannya sampai tuntas. Dengan kata lain
mereka tidak melakukan pemeriksaan dan pengobatan yang komplit terhadap
penyakitnya. Pengobatan yang tidak layak dan sempurna dapat mengakibatkan
orang yang bersangkutan cacat atau ketidak mampuan. Oleh karena itu,
pendidikan kesehatan juga diperlukan pada tahap ini dan penderita dekompresi

26
disarankan agar mengikuti semua rangkaian pengobatan guna kesehatan
pasien.
Rehabilitation atau Rehabilitasi merupakan tahapan yang sifatnya
pemulihan. Ditujukan pada kelompok masyarakat yang dalam
masa penyembuhan sehingga diharapkan agar benar- benar pulih dari sakit
sehingga dapat beraktifitas dengan normal kembali. Apalagi kalau suatu
penyakit sampai menimbulkan cacat kepada penderitanya, maka tahapan
rehabilitasi ini bisa dibilang tahapan yang menentukan hidupnya kedepan akan
seperti apa nantinya. Penyakit dekompresi yang serius, bagian yang terserang
adalah sistem saraf pusat atau sistem kardiopolmuner. Gejala sistem saraf
pusat yang disebabkan oleh penyakit dekompresi mempengaruhi kinerja otak,
sumsum tulang belakang dan saraf tepi Edmonds et al. (2015:151) dalam
Saraswati, D. A. (2018). Oleh karena itu diperlukan tahap rehabilitasi untuk
memulihkan kondisi fisik maupun mental dari penderita dekompresi.

C. Program Pemerintah Terkait Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit


Dekompresi

Dalam Permenkes RI No. 61 Tahun 2013 tentang Kesehatan Matra,


sebagimana diatur yang termasuk kedalam kesehatan aktivitas penyelaman
Pasal 17
1) Kesehatan penyelaman merupakan Kesehatan Matra yang dilakukan
terhadap masyarakat yang melakukan aktivitas di lingkungan bertekanan
lebih dari satu atmosfer absolut, yang diselenggarakan pada saat:
a. persiapan sebelum kegiatan dilaksanakan;
b. kegiatan operasional penyelaman; dan
c. setelah kegiatan operasional sampai dengan 24 jam.
2) Kegiatan pada saat persiapan sebelum kegiatan dilaksanakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. kesiapan bagi peselam;
b. kesiapan bagi pemberi kerja dan/atau penyelenggara kegiatan; dan
c. kesiapan bagi pelayanan kesehatan.

27
3) Kesiapan bagi peselam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
paling sedikit terdiri atas:
a. kesehatan fisik dan mental;
b. pemahaman situasi dan kondisi lingkungan penyelaman;
c. keterampilan dan kemampuan antisipasi perubahan situasi di
lingkungan penyelaman;
d. perbekalan dan peralatan keselamatan penyelaman; dan
e. pemahaman dampak penyelaman bagi kesehatan.
4) Kesiapan bagi pemberi kerja dan/atau penyelenggara kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit terdiri atas:
a. penyuluhan kesehatan dan keselamatan;
b. penyediaan peralatan keselamatan;
c. petugas pengawas dan pendamping;
d. sistem rujukan kesehatan;
e. jejaring keselamatan dan kesehatan;
f. komunikasi dan informasi; dan
g. penyediaan sarana pelayanan kesehatan.
5) Kesiapan bagi pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c paling sedikit terdiri atas:
a. penyuluhan kesehatan;
b. pemetaan lokasi dan persebaran peselam;
c. pendataan demografis peselam;
d. pemeriksaan kesehatan peselam;
e. penyediaan pelayanan kesehatan penyelaman dan ruang hiperbarik;
f. pelatihan kesehatan menghadapi situasi kerja di laut dan bawah air;
g. kesiapan jejaring pelayanan kesehatan dan sistem rujukan;
h. perencanaan kontinjensi kedaruratan kesehatan kelautan dan bawah
air; dan
i. simulasi kedaruratan kesehatan.
6) Kegiatan operasional penyelaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b paling sedikit terdiri atas:

28
a. penyuluhan kesehatan;
b. pemeriksaan kesehatan;
c. penemuan kasus;
d. pelayanan kesehatan primer; dan
e. Surveilans Kesehatan.
7) Kegiatan pada saat setelah kegiatan operasional sampai dengan 24 jam
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit terdiri atas:
a. penemuan kasus;
b. pelayanan kesehatan primer;
c. Surveilans Kesehatan; dan
d. pemulihan kesehatan.
Dari peraturan menteri kesehatan diatas belum sepenuhnya terlaksana
dengan baik. Pemahaman masyarakat yang belum sepenuhnya baik terhadap
program-program yang dilaksanakan. Minimnya alat penyelaman yang
masyarakat punya, minimnya program yang merata di seluruh daerah yang
hanya sebagian kecil yang terlaksana misalnya dari salah satu media berita
online yaitu adanya progam penyuluhan kesehatan dan keselamatan penyelam
disalah satu daerah di Indonesia. Belum meratanya pemeriksaan kesehatan
penyelam secara menyeluruh dan masih banyak lagi.
Minimnya program yang di muat dimedia membuat penyusun kurang
mendapatkan informasi terkait kesehatan penyelam dalam hal ini penyakit
dekompresi. Dalam salah satu jurnal yang berjudul “Implementasi Kebijakan
Kesehatan Penyelam Di Kecamatan Balaesang Tanjung Kabupaten
Donggala” bahwa Implementasi Kebijakan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 61 Tahun 2013 tentang Kesehatan Matra di Kecamatan
Balesang Tanjung Kabupaten Donggala, belum terlaksana dengan baik. Hal
ini dikarenakan dari hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan teori
implementasi Model Van Meter dan Van Horn meliputi : ukuran dasar dan
tujuan kebijakan, Sumber-sumber Kebijakan, Aktifitas implementasi dan
komunikasi antar Organisasi, karakteristik agen pelaksana/implementor,
Kondisi ekonomi, sosial dan politik, dan Kecenderungan (disposition)

29
pelaksana/ implementor hasil penelitian menunjukkan empat aspek tidak
menunjang untuk terimplementasinya kebijakan tersebut dengan baik di
lapangan
Kondisi dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat nelayan
khususnya penyelam adalah rendahnya pengetahuan tentang cara penyelaman
yang baik dan minimnya peralatan.
Implementasi peraturan Permenkes RI No. 61 Tahun 2013 tentang
Kesehatan Matra yang didalamnya termaktub kesehatan penyelaman, menjadi
masalah tersendiri bagi pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tengah.
Berdasarkan data yang diperoleh, masyarakat penyelam di Sulawesi Tengah
masih jauh dari perlindungan kebijakan pemerintah Pusat, terutama
menyangkut hak-hak masyarakat nelayan penyelam, ini lebih disebabkan oleh
kurangnya informasi akan hak mereka sebagai masyarakat nelayan penyelam,
disamping taraf pendidikan mereka dalam memperoleh pengetahuan
penyelaman masih relatif kurang bahkan dapat dikatakan belum ada. (H.Bofe,
J.et al, 2018)
Permasalahan yang terjadi pada para penyelam antara lain: 1)
Kelompok umur penyelam adalah kelompok umur 15- 35 tahun (usia
produktif), 2). Pendidikan rendah, 3). Pendapatan yang minim, 4). Lamanya
pekerjaan ditekuni, 5). Kedalaman penyelaman rata-rata antara 10 – 20 meter,
Kebiasaan mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit dan alcohol sebelum
menyelam (H.Bofe, J.et al, 2018)

30
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Profesi nelayan sudah dilakukan secara turun temurun sehingga


masyarakat terlatih dari kecil untuk menjalani profesi nelayan dalam hal
ini penyelaman dan memiliki masa kerja yang lama. Kegiatan penyelaman
berdasarkan masa kerja penyelaman mempengaruhi terjadinya penyakit
Dekompresi. Rendahnya sosial ekonomi masyarakat membuat masyarakat
pesisir harus bekerja keras guna memnuhi kebutuhan hidupnya.
Masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan
memiliki frekuensi penyelaman yang relatif lebih sering melakukan
kegiatan penyelaman itu berpengaruh terhadap terjadinya penyakit.
Frekuensi menyelam mempengaruhi kejadian dekompresi pada peselam.
Hal ini disebabkan kadar nitrogen yang terkandung dalam darah belum
normal, tetapi harus kembali terpapar nitrogen.
2. Salah satu bentuk promosi kesehatan yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan penyuluhan. Penyuluhan yang dimaksudkan ialah memberikan
informasi kepada masyarakat yang rawan terkena penyakit dekompresi
dalam hal ini adalah masyarakat yang tinggal diwilayah pesisir yang
melakukan kegiatan penyelaman dalam bekerja. Salah satu bentuk
perlindungan khusus yang dapat diberikan kepada penyelam adalah
dengan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) untuk kegiatan didalam
air, Menurut U.S Navy vol 2 chapter 7,2016:30 dalam Saraswati, D. A.
(2018) jenis APD yang dapat digunakan adalah masker, snorkel, fins,
tabung SCUBA, regulator, Tolak Ukur Tekanan dan Kedalaman, sabuk
pemberat, dan sarung tangan. Dalam kasus dekompresi perlunya diagnosis
dini dan pengobatan yang tepat dan cepat pada penyelam agar gejala yang
timbul tidak menjadi lebih besar atau berdampak lebih buruk terhadap
kondisi pasien . Tindakan yang tepat dari tenaga medis dapat mengurangi

31
gejala yang berkelanjutan. Pengobatan yang tidak layak dan sempurna
dapat mengakibatkan orang yang bersangkutan cacat atau ketidak
mampuan. Oleh karena itu, pendidikan kesehatan juga diperlukan pada
tahap ini dan penderita dekompresi disarankan agar mengikuti semua
rangkaian pengobatan guna kesehatan pasien. Penyakit dekompresi yang
serius, bagian yang terserang adalah sistem saraf pusat atau sistem
kardiopolmuner. Gejala sistem saraf pusat yang disebabkan oleh penyakit
dekompresi mempengaruhi kinerja otak, sumsum tulang belakang dan
saraf tepi Edmonds et al. (2015:151) dalam Saraswati, D. A. (2018). Oleh
karena itu diperlukan tahap rehabilitasi untuk memulihkan kondisi fisik
maupun mental dari penderita dekompresi.
3. Dari peraturan menteri kesehatan diatas belum sepenuhnya terlaksana
dengan baik. Pemahaman masyarakat yang belum sepenuhnya baik
terhadap program-program yang dilaksanakan. Minimnya alat penyelaman
yang masyarakat punya, minimnya program yang merata di seluruh daerah
yang hanya sebagian kecil yang terlaksana misalnya dari salah satu media
berita online yaitu adanya progam penyuluahan kesehatan dan
keselamatan penyelam disalah satu daerah di Indonesia. Belum meratanya
pemeriksaan kesehatan penyelam secara menyeluruh dan masih banyak
lagi.

B. Saran

Adapun saran penulis kepada pembaca agar pembaca dapat memahami


dan mengetahui mengenai penyakit dekompresi. Selain dari pada itu, penulis
memohon maaf apabila terdapat kesalahan karena penulis masih dalam proses
pembelajaran dan yang penulis harapkan dengan adanya makalah ini, dapat
menjadi wacana yang membuka pola pikir pembaca.

32
DAFTAR PUSTAKA

Arsin, A. A., & Naiem, F. (2016). Faktor Risiko Kejadian Decompression


Sickness Pada Pulau Saponda Risk Factors of Decompression Sicknessin
Traditional Divers of a Fishing Community in Saponda Island, 12(2), 63–69.

Embuai, Y. et. al. (2020). Analisis Faktor Individu, Pekerjaan dan Perilaku K3
pada Kejadian Penyakit Dekompresi pada Nelayan Penyelam Tradisional di
Ambon. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, 11(45), 6–12.

Erlan, A. (2017). Promosi kesehatan dalam pengendalian filariasis, 10(02), 89–96.

Fatmasari, D. (n.d.). Analisis Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Pesisir


Desa Waruduwur, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, 144–166.

Gs, N. F. (2018) ‘Adat, Tradisi Dan Kepercayaan Masyarakat Nelayan Indonesia


Mengenai Proses Penangkapan Ikan’,pp. 1–28.

H.Bofe, J., Martinus, I., Natsir, N., & Tawil, M. (2018). Implementasi kebijakan
kesehatan penyelam di kecamatan balaesang tanjung kabupaten donggala. J.
Kesehat. Masy. Indones, 13(61), 26–35.

Halena Isrumanti Duke, Sri Rahayu Widyastuti, Suharyo Hadisaputro, S. C.


(2017). Effect Of The Depth Of Diving , Duration Of Diving , Anemia On
Decompression Sickness In Traditional Diver Hasil penelitian Kementerian
Kesehatan. 12(2), 12–18.

Howle, L. E. (2017). The probability and severity of decompression sickness.


Journal Pone, 1-48.

Irwan. (2017). Epidemiologi Penyakit Menular. Bantul: CV. ABSOLUTE


MEDIA.

33
Linggayani, N. M. A., & Ramadhian, R. (2017). Penyakit Caisson pada Penyelam.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, 4(2), 1–6.

Novaria, R. Syahrir, M. (2018). Gambaran Penyakit Akibat Penyelaman Pada


Penyelam Tradisional Di Desa Jayabakti Kecamatan Pagimana Kabupaten
Banggai. Jurnal Kesmas Untika Luwuk, 9, 1359–1368.

Permenkes RI No. 61 Tahun 2013 tentang Kesehatan Matra

Rahmadayanti. et. al. (2017). Faktor Risiko Gangguan Akibat Penyelaman Pada
Penyelam Tradisional Di Karimunjawa Jepara. Jurnal Kesehatan
Masyarakat (e-Journal), 5.

Saraswati, D. A. (2018). Faktor Risiko Gejala Penyakit Dekompresi Pada Nelayan


Pencari Ikan Hias Laut Di Kabupaten Banyuwangi. Skripsi, 1-105.

Wijaya, D. R. (2018). Analisis Faktor Risiko Kejadian Penyakit Dekompresi Pada


Nelayan Penyelam Di Pulau Barrang Lompo. Thesis, 1-112.

34
35

Anda mungkin juga menyukai