Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Okupasi yang diadaptasi dari suatu kata dalam Bahasa Inggris yaitu

occupation umumnya dipandang sebagai berbagai aktivitas yang memiliki maksud

dan tujuan yang unik dalam kehidupan seseorang. Okupasi, yang dalam Bahasa

Indonesia maknanya sepadan dengan pekerjaan, juga merupakan pokok pada

identitas dan kompetensi seseorang, dan yang mempengaruhi bagaimana seseorang

mempergunakan waktunya serta bagaimana ia membuat keputusan. Bahkan okupasi

(occupation) telah didefinisikan oleh Law, Polatajko, Baptiste, dan Townsend (1997)

sebagai berikut: Activities.....of everyday life, named, organized, and given value

and meaning by individuals and culture. Occupations is everything people do to

occupy themselves, including looking after themselves.....enjoying life.....and

contributing to the social and economic fabric of their communities.....

Terapi okupasi pertama kali dikembangkan dan diterapkan oleh Philippine

Pinel pada abad ke-19 di sebuah rumah sakit jiwa di Paris. Dengan pekerjaan, pasien

penyakit jiwa akan dapat dikembalikan ke arah hidup yang normal, bahkan bisa

kembali seperti sebelum sakit. Adolf Meyer (1892), seorang psikiater di Amerika,

melakukan upaya secara terstruktur dimana pasien neuro-psikiatrik diberikan

aktivitas yang berguna ternyata menjadi dasar terapi okupasi. Meyer telah menyusun

suatu dasar sistematis penggunaan aktivitas sebagai terapi.


(Jangan menyingkat terapi okupasi jadi OT, ubah semua. Kalau dalam bahasa

inggris kata-kata dimiringkan hurufnya). Penulisan daftar pustaka pakai van couver,

jadi di akhir paragraf dibuatkan footnotenya.

Pada umumnya orang mengetahui tugas Ot adalah memberikan aktivitas

motorik halus padahal area yang dikerjakan OT sangat luas dan sekarang untuk OT di

negara maju seperti Amerika dan Canada sudah menjurus pada bidang sub spesialis

pada area tertentu misalnya khusus pada bidang sensory integration, memory training,

social skills training, dll. Secara umum OT adalah salah satu profesi kesehatan yang

membantu individu dengan gangguan fisik, mental dan atau sosial dengan

menggunakan berbagai macam aktivitas terapeutik yang telah diprogram dan

diadaptasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak untuk meningkatkan performa

anak dalam hal aktivitas yang bersifat produktif baik di rumah maupun di sekolah

seperti ketrampilan menulis, membaca, dll, aktivitas bantu diri (self care) seperti

mandi, berpakaian, makan, minum, memakai sepatu, dll serta meningkatkan

kemampuan bermain (play and leisure) dan interaksi sosial.

Pengertian aktivita`s yang bersifat terapeutik adalah aktivitas yang memang

telah dianalisis secara mendalam sehingga memiliki dampak terapeutik untuk

meningkatkan performa anak dalam 3 area intervensi diatas yaitu area produktivitas

(productivity), ketrampilan bantu diri/merawat dirinya sendiri (self care) dan aktivitas

rekreasi anak yaitu bermain. Ketiga area tersebut adalah domain yang sangat esensial

bagi anak untuk dapat berpartisipasi secara optimal dalam aktivitas kesehariannya

baik di rumah, sekolah dan di masyarakat.


Skizofrenia merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai oleh psikopatologi

yang disruptif dan melibatkan aspek kognisi, persepsi dan aspek lain perilaku.

Ekspresi dari manifestasi penyakit ini bervariasi diantara pasien tetapi efeknya selalu

berat dan bertahan dalam jangka waktu yang lama. Skizofrenia mengenai segala

lapisan kelas dan umumnya muncul pada usia kurang dari 25 tahun, lalu selanjutnya

menetap sepanjang hidup. Meskipun didiagnosis sebagai penyakit tunggal,

skizofrenia mungkin terdiri atas suatu kumpulan gangguan dengan etiologi beragam,

dan bervariasi dalam manifestasi klinis, respons pengobatan dan perjalanan

penyakitnya.

Data epidemiologis menunjukkan bahwa di Amerika Serikat prevalensi

skizofrenia adalah 1%, pada studi lain didapatkan rentang yang tidak jauh berbeda

yaitu 0,6-1,9 %. Skizofrenia ditemukan pada semua lapisan masyarakat dan area

geografis, prevalensi maupun insidensinya secara kasar sama di seluruh dunia. Dirjen

Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan mengatakan bahwa jumlah

penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat sangat tinggi, yakni satu dari empat

penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa rasa cemas, depresi, stress,

penyalahgunaan obat, kenakalan remaja sampai skizofrenia. Di era globalisasi

gangguan kejiwaan meningkat sebagai contoh penderita tidak hanya dari kalangan

kelasa bawah, sekarang kalangan pejabat dan masyarakat lapisan menengah ke atas

juga terkena gangguan jiwa (Sutatminingsih, Raras. 2002). Berdasarkan Riset

Kesehatan Dasar (RisKesDas) 2007 disebutkan, rata-rata nasional gangguan mental

emosional ringan, seperti cemas dan depresi pada penduduk berusia 15 tahun ke atas
mencapai 11,6%, dengan angka tertinggi terjadi di Jawa Barat, sebesar 20%.

Sedangkan yang mengalami gangguan mental berat, seperti psikotis, skizofrenia, dan

gangguan depresi berat, sebesar 0,46%. (Anonim, Depkes RI).

Jadi, dengan pekerjaan maka seseorang akan dapat menikmati hidup,

dimana pekerjaan dapat mengalihkan perhatian atau pikiran seseorang dari hal-hal

yang kurang menyenangkan, sehingga menjadi segar kembali untuk memikirkan hal-

hal yang lain. Dengan pekerjaan, seseorang juga akan memberi kontribusi terhadap

struktur sosial dan ekonomi komunitasnya sehingga dia menjadi lebih nyaman berada

ditengah-tengah komunitas itu dan akan memudahkan adaptasi dengan

lingkungannya. Secara fisik, pekerjaan membuat seseorang akan menggerakkan

seluruh otot tubuhnya, sehingga tubuhnya akan tetap sehat. Dari semua hal tersebut

maka dapat dikatakan bahwa perkerjaan sangat bermanfaat bagi perkembangan fisik

dan jiwa seseorang.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Terapi Okupasi

Pekerjaan atau okupasi sejak dulu kala telah dikenal sebagai sesuatu untuk

mempertahankan hidup atau survival, dan juga diketahui sebagai sumber kesenangan.

Dengan bekerja seseorang akan menggunakan otot-otot dan pikirannya, misalnya

dengan melakukan permainan (game), latihan gerak badan, kerajinan tangan dan lain-

lain, di mana hal ini akan memengaruhi kesehatannya juga.

Pada tahun 2600 SM orang-orang di Cina berpendapat bahwa penyakit timbul

karena ketidakaktifan organ tubuh. Socrates dan Plato (400 SM) mempercayai adanya

hubungan yang erat antara tubuh dengan jiwa. Hypoocrates selalu menganjurkan

pasiennya untuk melakukan latihan gerak badan sebagai salah satu cara pengobat

pasiennya. Di Mesir dan Yunani (2000 SM) dijelaskan bahwa rekreasi dan permainan

adalah salah suatu media terapi yang ampuh, misalnya menari, bermain musik,

bermain boneka untuk anak-anak, dan bermain bola. Pekerjaan diketahui sangat

bermanfaat bagi perkembangan jiwa maupun fisik manusia.

Socrates berkata bahwa seseorang harus membiasakan dini dengan selalu

bekerja secara sadar dan jangan bermalas-malasan. Pekerjaan dapat juga digunakan

sebagi pengalihan perhatian atau pikiran sehingga menjadi segar kembali untuk

memikirkan hal-hal yang lain. Dengan okupasi/ pekerjaan, pasien jiwa akan

dikembalikan ke arah hidup yang normal dan dapat meningkatkan minatnya sekaligus
memelihara dan mempraktikkan keahlian yang dimilikinya sebelum sakit sehingga

dia akan tetap sebagai seseorang yang produktif.

Pada tahun 1982, Adolf Meyer melaporkan bahwa penggunaan waktu dengan

baik yaitu dengan melakukan aktivitas yang berguna ternyata merupakan suatu dasar

terapi pasien neuripsikiatrik. Meyer adalah seorang psikiater. lstrinya adalah seorang

pekerja sosial dan mulai menyusun suatu dasar yang sistematis tentang penggunaan

aktivitas sebagai program terapi pasien jiwa. Masih banyak lagi ahli-ahli terkenal

yang berjasa dalam pengembangan okupasiterapi sebagai salah satu terapi khususnya

untuk pasien mental. Risetpun masih tetap dilakukan guna lebih mengefektitkan

penggunaan okupasiterapi untuk terapi pasien mental.

Terapi okupasi berasal dan kata Occupational Therapy. Occupational berarti

suatu pekerjaan, therapy berarti pengobatan. Jadi, Terapi Okupasi adalah perpaduan

antara seni dan ilmu pengetahuan untuk mengarahkan penderita kepada aktivitas

selektif, agar kesehatan dapat ditingkatkan dan dipertahankan, serta mencegah

kecacatan melalui kegiatan dan kesibukan kerja untuk pendenita cacat mental

maupun fisik. (American Occupational Therapist Association). Tenapis okupasi

membantu individu yang mengalami gangguan dalam fungsi motorik, sensorik,

kognitif juga fungsi sosial yang menyebabkan individu tersebut mengalami hambatan

dalam melakukan aktivitas perawatan diri, aktivitas produktivitas, dan dalam aktivitas

untuk mengisi waktu luang. Tujuan dan pelatihan Terapi okupasi itu sendiri adalah

untuk mengembalikan fungsi penderita semaksimal mungkin, dan kondisi abnormal

ke normal yang dikerahkan pada kecacatan fisik maupun mental, dengan memberikan
aktivitas yang terencana dengan memperhatikan kondisi penderita sehingga penderita

diharapkan dapat mandiri di dalam keluarga maupun masyarakat.

Intervensi yang diberikan menggunakan modalitas aktivitas yang tdah

dianalisis dan diadaptasi yang kemudian diprogramkan untuk anak sesuai dengan

kebutuhan khususnya. Secara garis besar intenvensi difokuskan pada hal-hal berikut.

1. Kemampuan (abilities)
a. Keseimbangan dan reaksi postur (balance and postural reactions).
b. Peregangan otot dan kekuatan otot (muscle tone and muscle strength).
c. Kesadaran anggota tubuh (body awareness).
d. Kemampuan keterampilan motorik halus (fine motor skill) seperti

memegang/melepas, keterampilan manipulasi gerak jari, misal

penggunaan pensil, gunting, keterampilan menulis, dan lain-lain.


e. Kemampuan keterampilan motorik kasar (gross motor shill) seperti lari,

lompat, naik-turun tangga jongkok jalan dan lain-lain.


f. Mengenal bentuk, mengingat bentuk (visual perception).
g. Merespon stimuli, membedakan input sensori (sensory integration).
h. Perilaku termasuk level kesadaran, atensi, problem solving skill, dan lain-

lain
2. Keterampilan (skill)
a. AktivitaS sehari-hari (activity daily living) seperti makan, minum,

berpakaian mandi, dan lain-lain.


b. Pre-academic skill.
c. Keterampilafl sosial.
d. Keterampilan bermain.
3. Faktor Lingkungan
a. Lingkungan fisik.
b. Situasi keluarga.
c. Dukungan dan komunitas.
4. Okupasi Terapis sebagai Konsultan Okupasi terapis sebagai konsultan pada

area berikut ini:


a. Program intervensi awal.
b. Pengaturan rumah, sekolah, dan area bermain.
c. Lingkungan dan adaptasi mainan atau media belajar.
d. Alat bantu.
e. Strategi perilaku.

Untuk mencapai tujuan tersebut di dalam terapi okupasi memiliki dua prinsip

kerja, yaitu sebagai berikut.

a. Supportive Occupatinal Therapy, yaitu menolong penderita untuk menghilangkan

dan perasaan cemas, takut, dan memotivasi penderita untuk lebih giat didalam

melakukan latihan.
b. Fungsional Occupational Therapy, antara lain untuk pengaturan posisi (bagi anak

Cerebral Palsy), meningkatkan kekuatan otot dan daya tahan kerja, meningkatkan

motorik kasar (gross motor) maupun motorik halus, (fine motor) serta

meningkatkan konsentrasi dan kooordinasi gerak maupun sikap.


B. Pelaksanaan/Dimulainya Terapi Okupasi

Sebaiknya terapi okupasi dilakukan sedini mungkin, sejak penderita dirujuk

oleh dokter. Sebelum penderita mulai latihan, perlu diberikan evaluasi awal dengan

dilakukan observasi dan tes sederhana. Dalam evaluasi awal ini, hal yang harus

diperhatikan adalah catatan medik dan dokter, macam kecacatan (Cerebral Palsy atau

Retradasi Mental), berat ringannya kecacatan, kecerdasan, kebutuhan dan penderita

itu sendiri dan hal-hal yang harus dijauhi/dihindarkan untuk segi keamanan penderita.

Evaluasi awal ini sangat berguna untuk menentukan aktivitas yang akan diberikan,

agar sesual dengan kondisi dan kebutuhan penderita itu sendiri. Aktivitas yang

diberikan di bagian terapi okupasi adalah sebagai berikut.

1. Aktivitas kehidupan sehari-hari/ADL. Aktivitas mi dibenikan agar pendenita

dapat mandini tanpa tergantung orang lain.


2. Aktivitas bermain. Bermain mi diharapkan untuk dapat memperbaiki konsentrasi,

koordinasi, motonik serta menumbuhkan bakat, hobi, minat, serta kesenangan.


3. Seni dan hasta karya. Untuk membenikan kesempatan pada penderita dalam

mencapai suatu hasil yang maksimal, yang mengandung unsur-unsur kedewasaan

dan kerumah tangga yang isesuaikan dengan kapasitas penderita.

Terapis di dalam memberikan suatu latihan harus bersikap sabar, ramah, dan

dituntut untuk kreatif, selain itu, tidak kalah pentingnya juga peran serta onang tua

dalam proses latihan. Pada hal ini diharapkan terapis dapat memberikan masukan-

masukan kepada orang tua penderita untuk berlatih di rumah.

C. Perbedaan Terapi Okupasi dan Rehabilitasi Medis

Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang

untuk melaksanakan suatu tugas tertentu yang telah ditentukan dengan maksud untuk

memperbaiki, memperkuat, dan meningkatkan kemampuan, serta mempermudah

belajar keahlian atau fungsi yang dibutuhkan dalam proses penyesuaian diri dengan

lingkungan. Selain itu, juga untuk meningkatkan produktivitas, mengurangi dan/atau

memperbaiki ketidaknormalan (kecacatan), serta memelihara atau meningkatkan

derajat kesehatan. Terapi okupasi lebih dititikberatkan pada pengen kemampuan yang

masih ada pada seseorang, kemudian memelihara atau meningkatkannya sehingga dia

mampu mengatasi masalah-masalah yang diharapkannya.

Terapi okupasi menggunakan okupasi (pekerjaan atau kegiatan) sebagai

media. Tugas pekerjaan atau kegiatan yang dipilihkan adalah berdasarkan pemilihan

terapis disesuaikan dengan tujuan terapis itu sendiri. Jadi, bukan hanya sekedar
kegiatan untuk membuat seseorang sibuk. Tujuan utama terapi okupasi adalah

membentuk seseorang agar mampu berdiri sendiri tanpa menggantungkan diri pada

pertolongan orang lain. Rehabilitasi adalah suatu usaha yang terkoordinasi yang

terdiri atas usaha medis, sosial, edukasional, dan vokasional, untuk melatih kembali

seseorang untuk mencapai kemampuan fungsional pada taraf setinggi mungkin.

Sementara itu, rehabilitasi medis adalah usaha-usaha yang dilakukan secara medis

khususnya untuk mengurangi invaliditas atau mencegah memburuknya invaliditas

yang ada.

D. Fungsi dan Tujuan Terapi Okupasi

Terapi okupasi adalah terapan medis yang terarah bagi pasien fisik maupun

mental dengan menggunakan aktivitas sebagai media terapi dalam rangka

memulihkan kembali fungsi seseorang sehingga dia dapat mandiri semaksimal

mungkin. Aktivitas tersebut adalah berbagai macam kegiatan yang direncanakan dan

disesuaikan dengan tujuan terapi. Pasien yang dikirimkan oleh dokter, untuk

mendapatkan terapi okupasi adalah dengan maksud sebagai berikut.

1. Terapi khusus untuk pasien mental/jiwa.


2. Menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat mengembangkan

kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat

sekitarnya.
3. Membantu dalam melampiaskan gerakan-gerakan emosi secara wajar dan

produktif.
4. Membantu menemukan kernampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan

keadaannya.
5. Membantu dalam pengumpulan data guna penegakan diagnosis dan penetapan

terapi lainnya.
6. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan ruang gerak

sendi, kekuatan otot, dan koordinasi gerakan.


7. Mengajarkan aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan, herpakaian belajar

menggunakan fasilitas umum (telepon, televisi, dan lain-lain), baik dengan

maupun tanpa alat bantu, mandi yang bersih, dan lain-lain.


8. Membantu pasien untuk menyesuaikan din dengan pekerjaan rutin di rumahnya

dan memberi saran penyederhanaan (siplifikasi) ruangan maupun letak alat-alat

kebutuhan sehari-hari.
9. Meningkatkan toleransi kerja, memelihara, dan meningkatkan kemampuan yang

masih ada.
10. Menyediakan berbagai macam kegiatan untuk dijajaki oleh pasien sebagai lai

dalam pre-cocational training. Berdasarkan aktivitas ini akan dapat diketahui

kemampuan mental dan fisik, kebiasaan kerja, sosialisasi, minat, potensi dan

lainnya dan si pasien dalam mengarahkannya pada pekerjaan yang tepat dalam

latihan kerja.
11. Membantu penderita untuk menerima kenyatan dan menggunakan waktu selama

masa rawat dengan berguna.


12. Mengarahkan minat dan hobi agar dapat digunakan setelah kembali ke keluarga.

Program terapi okupasi adalah bagian dan pelayanan medis untuk tujuan

rehabilitasi total seorang pasien melalui kerja sama dengan petugas lain di rumah

sakit. Dalam pelaksanaan terapi okupasi kelihatannya akan banyak overlapping


dengan terapi lainnya sehingga dibutuhkan adanya kerja sama yang terkoordinir

dan terpadu.

E. Peranan Terapi Okupasi / Pekerjaan dalam Pengobatan

Aktivitas dipercayai sebagai jembatan antara batin dan dunia luar. Melalui

aktivitas manusia dihubungkan dengan lingkungan, kemudian mempelajarinya,

mencoba keterampilan atau pengetahuan, mengekspresikan perasaan, memenuhi

kebutuhan fisik maupun emosi, mengembangkan kemampuan. dan sebagai alat untuk

mencapai tujuan hidup. Potensi tersebutlah yang digunakan sebagai dasar dalam

pelaksanaan terapi okupasi, baik bagi penderita fisik maupun mental.

Aktivitas dalam terapi okupasi digunakan sebagai media baik untuk evaluasi,

diagnosis. terapi. maupun rehabilitasi. Dengan mengamati dan mengevaluasi pasien

saat mengerjakan suatu aktivitas dan menilai hasil pekerjaan dapat ditentukan arah

terapi dan rehabilitasi selanjutnya dan pasien tersebut. Penting untuk diingat bahwa

aktivitas dalam terapi okupasi tidak untuk menyembuhkan, tetapi hanya sebagai

media. Diskusi yang terarah setelah penvelesaian suatu aktivitas adalah sangat

penting karena dalarn kesenipatan tersebut terapis dapat mengarahkan pasien dan

pasien dapat belajar mengenal dan mengatasi persoalannya.

Aktivitas yang dilakukan pasien diharapkan dapat menjadi tempat untuk

berkomunikasi lehih balk dalam mengekpresikan dirinya. Kemampuan pasien akan

dapat diketahui baik oleh terapi maupun oleh pasien itu sendiri melalui aktivitas yang

dilakukan oleh pasien. Alat-alat atau bahan-bahan yang digunakan dalan1 melakukan

suatu aktivitas, pasien akan didekatkan dengan kenyataan terutama dalani hal
kemampuan dan kelemahannya. Aktivitas dalam kelompok akan dapat merangsang

terjadinya interaksi di antara anggota yang berguna dalam meningkatkan sosialisasi

dan menilai kemampuan diri masing-masing dalam hal keefisiensiannya untuk

berhubungan dengan orang lain.

Aktivitas yang dilakukan meliputi aktivitas yang digunakan dalam terapi

okupasi di mana sangat dipengaruhi oleh konteks terapi secara keseluruhan,

lingkungan, sumber yang tersedia, dan juga oleh kemampuan si terapis sendiri

(pengetahuan, keterampilan, minat, dan kreativitasnya). Adapun hal-hal yang

mempengaruhi aktivitas dalam terapi okupasi antara lain sebagai berikut.

1. Jenis- Jenis aktivitas dalam terapi okupasi adalah sebagai benikut:


a. Latihan gerak badan
b. Olahraga
c. Permainan
d. Kerajinan tangan.
e. Kesehatan, kebersihan, dan kerapihan pribadi.
f. Pekerjaan sehari-hari (aktivitas kehidupan sehari-hari).
g. Praktik pre-vokasional.
h. Seni (tari, musik, lukis, drama, dan lain-lain).
i. Rekreasi (tamasya, nonton bioskop/drama, pesta ulang tahun, dan lain-lain).
j. Diskusi dengan topik tertentu (berita surat kabar, majalah, televisi, radio atau

keadaan lingkungan).
2. Karekteristik aktivitas.
Aktivitas dalam terapi okupasi adalah segala macam aktivitas yang dapat

menyibukkan seseorang secara produktif yaitu sebagai suatu media untuk belajar

dan berkembang, sekaligus sebagai sumber kepuasaan emosional maupun fisik.

Oleh karena itu setiap aktivitas yang digunakan dalam terapi okupasi harus

mempunyai karekteristik sebagai berikut.


a. Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang jelas. Jadi

bukan hanya sekedar menyibukkan pasien.


b. Mempunvai arti tertentu hagi pasien, artinva dikenal oleh atau ada

hubungannya dengan pasien.


c. Pasien harus mengerti tuiuan mengerjakan kegiatan tersebut, dan apa

kegunaannya terhadap upaya penyembuhan penyakitnya.


d. Harus dapat melihatkan pasien secara aktif walaupun minimal.
e. Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau kondisi pasien, bahkan harus

dapat meningkatkan atau setidak-tidaknya memelihara koondisinya.


f. Harus dapat memberi dorongan agar si pasien mau berlatih lebih giat sehingga

dapat mandiri.
g. Harus sesuai dengan minat, atau setidaknya tidak dibenci olehnya.
h. Harus dapat dimodifikasi untuk tujuan peningkatan atau penyesuaian dengan

dengan kemampuan pasien.

Faktor Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Aktivitas Adalah Sebagai

Berikut:

a. Apakah bahan yang digunakan merupakan yang mudah dikontrol, ulet, kasar,

kotor, halus, dan sebagainya.


b. Apakah aktivitas rumit atau tidak.
c. Apakah perlu dipersiapkan sebelum dilaksanakan.
d. Cara pemberian instruksi bagaimana.
e. Bagaimana kira-kira setelah hasil selesai.
f. Apakah perlu pasien membuat keputusan.
g. Apakah perlu konsentrasi.
h. lnteraksi yang mungkin terjadi apakah menguntungkan.
i. Apakah diperlukan kemampuan berkomunikasi.
j. Berapa lama dapat diselesaikan.
k. Apakah dapat dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat disesuaikan

dengan kemampuan dan keterampilan pasien


3. Analisis aktivitas.
Untuk dapat mengenal karekteristik maupun potensi atau aktivitas dalam

rangka perencanaan terapi, maka aktivitas tersebut harus dianalisis terlebih

dahulu. Hal-hal yang perlu dianalisis adalah sebagai berikut.


a. Jenis aktivitas.
b. Maksud dan tujuan penggunaan aktivitas tersebut (sesuai dengan tujuan

terapi).
c. Bahan yang digunakan:
1) Khusus atau tidak
2) Karekteristik bahan:
a) mudah ditekuk atau tidak,
b) mudah dikontrol atau tidak,
c) menimbulkan kekotoran atau tidak,
d) 1 atau tidak,
3) Rangsangan yang dapat ditimbulkan:
a) taktil,
b) pendengaran,
c) pembauan,
d) penglihatan,
e) perabaan,
f) gerakan sendi,
g) dan sebagainya.
4) Warna
5) Macam-macamnya dan namanya
6) Banyaknya
d. Bagian-bagian aktivitas
1) Banyaknya bagian
2) Rumit atau sederhana
3) Apakah membutuhkan pengulangan
4) Apakah membutuhkan perhitungan matematika
e. Persiapan pelaksanaan:
1) Apakah harus dipersiapkan terlebih dahulu
2) Apakah harus ada contoh atau cukup dengan lisan
3) Apakah bahan telah tersedia atau harus dicani terlebih dahulu
4) Apakah ruangan untuk melaksanakan harus diatur
f. Pelaksanaan, apakah dalam pelaksanaan tugas ini perlu adanya:
1) Konsentrasi
2) Ketangkasan
3) Rasa sosial di antara pasien
4) Kemampuan mengatasi masalah
5) Kemampuan bekerja sendiri
6) Toleransi terhadap frustasi
7) Kemampuan mengikuti instruksi
8) Kemampuan membuat keputusan
g. Apakah aktivitas tersebut dapat merangsang timbulnya lnteraksi di antara

mereka.
h. Apakah aktivitas tersebut membutuhkan konsentrasi, ketangkasan, inisiatif,

penilaian, ingatan, komprehensi, dan lain-lain.


i. Apakah aktivitas tersebut melibatkan imajinasi, kreativitas, pelampiasan

emosi dan lain-lain.


j. Apakah ada kontraindikasi untuk pasien tertentu. Dalam hal ini harus

bertindak hati-hati karena dapat berbahaya bagi pasien maupun sekelilingnya

(misalnya untuk pasien dengan paranoid sangat riskan memberikan benda

tajam).
k. Hal yang penting lagi adalah apakah disukai oleh pasien.

F. Indikasi Terapi Okupasi


1. Seseorang yang kurang berfungsi dalam kehidupannya karena kesulitan-

kesulitan yang dihadapi dalam pengintegrasian perkembangan psikososialnya.


2. Kelainan tingkah laku yang terlihat dalam kesulitannya berkomunikasi dengan

orang lain.
3. Tingkah laku tidak wajar dalam mengekpresikan perasaan atau kebutuhan

yang primitif.
4. Ketidakmampuan mengisiterprestasikan rangsangan sehingga reaksinya

terhadap rangsangan tersebut tidak wajar pula


5. Terhentinya seseorang dalam fase pertumbuhan tertentu atau seseorang yang

mengalami kemunduran.
6. Mereka yang lebih mudah mengekspresikan perasaannya melalui suatu

aktivitas daripada dengan percakapan.


7. Mereka yang merasa lebih mudah mempelajari sesuatu dengan cara

mempraktikkannya daripada dengan membayangkan.


8. Pasien cacat tubuh yang mengalami gangguan dalam kepribadiannya

G. Proses Terapi Okupasi

Dokter yang mengirimkan pasien untuk terapi okupasi akan menyertakan juga

data mengenai pasien herupa diagnosis, masalahnya, dan juga akan menyatakan apa

yang perlu diperbuat dengan pasien tersehut. Apakah untuk mendapatkan data yang

lebih banyak untuk keperluan diagnosis, terapi, atau rehabilitasi. Setelah pasien

berada di unit terapi okupasi, maka terapis akan bertindak sebagai berikut.

1. Koleksi data. Data biasa didapatkan dan kartu rujukan atau status pasien yang

disertakan ketika pertama kali pasien mengunjungi unit terapi okupasional. Jika

dengan mengadakan wawancara dengan pasien atan keluarganya, atau dengan

mengadakan kunjungan rumah. Data mi diperlukan untuk menyusun rencana

terapi bagi pasien. Proses mi dapat berlangsung beberapa hari sesuai dengan

kebutuhan.
2. Analisis data dan identifikasi masalah. Dan data yang terkumpul dapat ditarik

suatu kesimpulan sementara tentang masalah dan/atau kesulitan pasien. Hal ini

dapat berupa masalah di lingkungan keluarga atau pasien itu sendiri.


3. Penentuan tujuan. Dan masalah dan latar belakang pasien, maka dapat disusun

daftar tujuan terapi sesuai dengan pnioritas, baik jangka pendek maupun jangka

panjangnya.
4. Penentuan aktivitas. Setelah tujuan terapi ditetapkan maka dipilihlah aktivitas

yang dapat mencapai tujuan terapi tersebut. Dalam proses mi pasien dapat

diikutsertakan dalam menentukan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan sehingga

pasien merasa ikut bertanggung jawab atas kelancaran pelaksanaannya. Dalam hal

mi harus diingat bahwa aktivitas tersebut tidak akan menyembuhkan penyakit,

tetapi hanya sebagai media untuk dapat mengerti masalahnya dan mencoba

mengatasinya dengan bimbingan terapis. Pasien juga harus diberitahu alasan-

alasan mengapa dia harus mengerjakan aktivitas tersebut sehingga dia sadar dan

diharapkan akan mengerjakannya dengan aktif.


5. Evaluasi. Evaluasi harus dilaksanakan secara teratur dan terencana sesuai dengan

tujuan terapi. Hal ini perlu agar dapat menyesuaikan program terapi selanjutnya

sesuai dengan perkembangan pasien yang ada. Hasil evaluasi yang didapatkan

dapat dipergunakan unutk merencanakan hal-hal mengenai penyesualan jenis

aktivitas yang akan diberikan. Namun, dalam hal tertentu penyesuaian aktivitas

dapat dilakukan setelah beberapa waktu melihat bahwa tidak ada kemajuan atau

kurang efektif terhadap pasien.


Hal-hal yang perlu dievaluasi antara lain adalah sebagai berikut:
a.Kemampuan membuat keputusan.
b. Tingkah laku selama bekerja.
c.Kesadaran adanya orang lain yang bekerja bersama dia dan yang mempunyai

kebutuhan sendiri.
d. Kerjasama.
e.Cara memperlihatkan emosi (spontan, wajar, jelas, dan lain-lam).
f. Inisiatif dan tanggung jawab.
g. Kemampuan untuk diajak atau mengajak berunding.
h. Menyatakan perasaan tanpa agresi.
i. Kompetisi tanpa permusuhan.
j. Menerima kritik dan atasan atau teman sekerja.
k. Kemampuan menyatakan pendapat sendiri dan apakah bertanggung

jawab atas pendapatnya tersebut.


l. Menyadari keadaan dirinya dan menerimanya.
m. Wajar dalam penampilan.
n. Orientasi tempat, waktu, situasi, dan orang lain.
o. Kemampuan menerima instruksi dan mengingatnya.
p. Kemampuan bekerja tanpa terus-menerus diawasi
q. Kerapian bekerja.
r. Kemampuan merencanakan suatu pekerjaan.
s. Toleransi terhadap frustasi.
t. Lambat atau cepat.

H. Pelaksanaan
1. Metode terapi okupasi dapat dilakukan baik secara individual, maupun

berkelompok, tergantung dan keadaan pasien, tujuan terapi, dan lain-lain.

Metode individual dilakukan untuk:


a. pasien baru yang bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak informasi

dan sekaligus untuk evaluasi pasien;


b. pasien yang beluni dapat atau mampu untuk berinteraksi dengan cukup

baik di dalam suatu kelompok sehingga dianggap akan mengganggu

kelancaran suatu kelompok bila dia dimasukkan dalam kelompok tersebut.


c. pasien wang sedang menjalani latihan kerja dengan tujuan agar terapis

dapat niengevaluasi pasien lebih efektif.


2. Metode kelompok dilakukan untuk: pasien lama atas dasar seleksi dengan

masalah atau hampir bersamaan, atau dalam melakukan suatu aktivitas untuk

tujuan tertentu bagi beberapa pasien sekaligus. Sebelum memulai suatu

kegiatan baik secara individual maupun kelompok, maka terapis harus

mempersiapkan terlebih dahulu segala sesuatunya yang menyangkut

pelaksanaan kegiatan tersebut. Pasien juga perlu dipersiapkan dengan cara

memperkenalkan kegiatan dan menjelaskan tujuan pelaksanaan kegiatan


tersebut sehingga dia atau mereka lebih mengerti dan berusaha untuk ikut

aktif. Jumlah anggota dalam suatu kelompok disesuaikan dengan jenis

aktivitas yang akan dilakukan, dan kemampuan terapis mengawasi.


3. Waktu. Okupasiterapi dilakukan antara 1-2 jam setiap sesi balk yang individu

maupun kelompok setiap hari, dua kali atau tiga kali seminggu tergantung

tujuan terapi, tersedianva tenaga dan fasilitas, dan sebagainya. Sesi ini dibagi

menjadi dua bagian yaitu jam untuk menyelesaikan kegiatan-kegiatan dan 1-

1 jam untuk diskusi. Dalam diskusi ini dibicarakan mengenai pelaksanaan

kegiatan tersebut, antara lain kesulitan yang dihadapi, kesan mengarahkan

diskusi tersebut kearah yang sesuai dengan tujuan terapi.


4. Terminasi. Keikutsertaan seseorang pasien dalam kegiatan okupasiterapi dapat

dasar bahwa pasien:


a. Dianggap telah mampu mengatasi persolannya
b. Dianggap tidak akan berkembang lagi
c. Dianggap perlu mengikuti program lainnya sebelum okupasiterapi
BAB III

PEMBAHASAN

A. Terapi Okupasi pada Pasien dengan Skizofrenia

Terapi okupasi juga dapat merupakan bagian dari rehabilitasi medik untuk

pasien-pasien dengan penyakit fisik maupun gangguan mental. Disini, terapi okupasi

merupakan terapi medik yang terarah dengan menggunakan aktivitas sebagai media

terapi, dalam rangka memulihkan kembali fungsi seseorang sehingga mampu mandiri

semaksimal mungkin.

Pada pasien-pasien dengan gangguan jiwa, aktivitas dalam terapi okupasi

biasanya dilakukan untuk membantu dalam mendiagnosis, terapi, evaluasi, maupun

rehabilitasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengamati pasien saat mengerjakan

suatu aktivitas, saat berinteraksi dengan kelompoknya, dan dengan menilai hasil

pekerjaannya. Dalam pengamatan tersebut dapat dikumpulkan data-data yang

berguna untuk mendukung ke arah suatu diagnosis tertentu serta menetapkan terapi

lainnya. Manfaat terapi didapat dengan membantu dalam melepaskan dorongan-

dorongan emosional secara wajar dan produktif. Dengan memberikan terapi okupasi

secara periodik maka akan dapat dilakukan evaluasi terhadap hasil pengobatan.

Sedangkan tujuan rehabilitasi diperoleh dengan menciptakan suatu kondisi tertentu

sehingga pasien dapat mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan

dengan orang lain dan masyarakat sekitar. Disamping itu juga dapat membantu

menemukan kemampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan keadaannya.


Sebagaimana telah dipahami, bahwa pada sebagian penderita gangguan

skizofrenia digambarkan memiliki perjalanan penyakit yang kronis dan disertai

dengan terjadinya deteriorasi dari taraf fungsi sebelumnya. Deteriorasi atau

kemunduran tersebut mungkin sudah dimulai sejak fase prodromal selama

berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan sebelum onset penyakit, yang mencakup

terdapatnya keruntuhan taraf fungsi dalam bidang pekerjaan, aktivitas sosial

(pergaulan sosial), serta penelantaran penampilan pribadi dan perawatan diri.

Pada penderita dengan skizofrenia sering terdapat beberapa gejala secara

bersama-sama seperti gangguan bentuk dan isi pikiran, arus pikiran, persepsi, afek,

serta gangguan pada perilaku yang dapat bermanifestasi sebagai perilaku katatonik

maupun gejala-gejala negatif. Pada penderita skizofrenia dengan gejala-gejala negatif

seperti sikap apatis, pembicaraan yang terhenti, dan respon emosional yang

menumpul atau tidak wajar biasanya akan mengakibatkan penarikan diri dari

pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial. Selain itu bisa juga terjadi suatu

perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa

aspek perilaku seseorang yang bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan,

sikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri secara

sosial.

Pada proses penyembuhan pasien skizofrenia mendapat terapi kognitif yang

menekankan pada komunikasi dan terapi okupasi yang menekankan pada suatu

kegiatan atau karya. Kurangnya aktifitas pasien akan membuat pasien lebih asyik

dengan dunia sendiri sehingga bisa memicu terjadinya kekambuhan.


Telah pula diyakini bahwa cara yang paling efisien dalam penanganan pasien

dengan skizofrenia adalah melalui kombinasi psikofarmakologi dan intervensi

psikososial seperti psikoterapi, terapi keluarga, dan terapi okupasi. Hal ini telah

dibuktikan setidaknya dari sebuah penelitian mengenai terapi okupasi pada pasien

dengan skizofrenia yang resisten terhadap pengobatan (treatment-resistant

schizophrenia) yang dilakukan oleh Buchain dkk. di Sao Paulo, Brazil.

Penelitian yang dipublikasikan tahun 2002 ini menggunakan rancangan

penelitian acak terkontrol (randomized controlled trial) dengan melibatkan 26 orang

pasien skizofrenia yang resisten terhadap pengobatan, yang kemudian diikuti dan

dievaluasi selama 6 bulan. Secara acak, mereka terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu

kelompok penelitian dan kelompok kontrol. Kelompok penelitian menerima

penanganan psikofarmakologi dengan Clozapine yang disertai dengan sesi terapi

okupasi, sedangkan kelompok kontrol hanya menerima Clozapine. Untuk

mengevaluasi hasil akhirnya digunakan skala Interactive Observation in Occupational

Therapy (EIOTO). Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa intervensi terapi

okupasi ternyata efektif sepanjang periode observasi, terutama setelah memasuki

bulan ke-4 hingga akhir penelitian. Sehingga disimpulkan bahwa kombinasi

Clozapine dan terapi okupasi tampaknya lebih efektif dibandingkan hanya Clozapine

saja pada pasien dengan skizofrenia yang resisten pengobatan.


BAB IV

PENUTUP

Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang

untuk melaksanakan suatu tugas tertentu yang telah ditentukan dengan maksud untuk

memperbaiki, memperkuat dan meningkatkan kemampuan, dan mempermudah

mempelajari keahlian atau fungsi yang dibutuhkan dalam proses penyesuaian diri

dengan lingkungan. Juga untuk meningkatkan produktivitas, mengurangi dan atau

memperbaiki ketidak normalan (kecacatan), dan memelihara atau meningkatkan

derajat kesehatan

Pelaksanaan/Dimulainya Terapi Okupasi, sebaiknya dilakukan sedini

mungkin, sejak penderita dirujuk oleh dokter. Sebelum penderita mulai latihan, perlu

diberikan evaluasi awal dengan dilakukan observasi dan tes sederhana.

Tujuan terapi okupasi:

1. Terapi khusus untuk pasien mental/jiwa.


2. Menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat mengembangkan

kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat

sekitarnya.
3. Membantu dalam melampiaskan gerakan-gerakan emosi secara wajar dan

produktif.
4. Membantu menemukan kernampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan

keadaannya.
5. Membantu dalam pengumpulan data guna penegakan diagnosis dan penetapan

terapi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Durand, V. Mark, & Barlow, David H. (2006). Psikologi Abnormal. Edisi

Keempat. Jilid Pertama. Jogjakarta : Pustaka Pelajar


2. Jenkins, J.H.,Garcia, J.I.R., Chang, C.L., Young, J.S., Lopez, S.R. 2006.

FamilySupport Predicts Psychiatric Medication Usage Among Mexican

AmericanIndividuals with Schizophrenia. Social Psyciatry and Psychiatric

Epidemology,41. 624-631.
3. Kaplan H.I, Sadok B.J. Sinopsis Psikiatri, Edisi ketujuh, Jilid I, Binarupa Aksara,

Jakarta, 1997 : 777-783, 227-229, 128


4. Maramis, W. F. (2009). Ilmu Kedokteran Jiwa edisi 2. Surabaya: Pusat penerbitan

dan percetakan.
5. Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., & Greene, Beverly. (2005). Psikologi

Abnormal. Edisi Kelima. Jilid Pertama. Jakarta : Penerbit Erlangga


6. Occupational therapy practice framework: Domain and process, In American

Journal of Occupational Therapy, vol. 56(6), 2002; p609-639


7. Budiman A, Siahaan H B; Okupasiterapi, Dalam Makalah Pelatihan Terapi

Keluarga dan Terapi Relaksasi, Ciloto, 1993; hal. 1-9.


8. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik; Skizofrenia,

Gangguan Skizotipal dan Gangguan Waham, Dalam Pedoman Penggolongan dan

Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, Jakarta, Departemen Kesehatan RI,

Cetakan I, 1993; hal. 103-136.


9. Buchain P C, et all; Randomized controlled trial of occupational therapy in

patients with treatment-resistant schizophrenia, In Rev Bras Psiquiatr, vol. 25(1),

2003; p26-30.

Anda mungkin juga menyukai