Anda di halaman 1dari 28

i

DEKOMPRESI

Disusun guna memenuhi tugas Keperawatan Matra I

Dosen pengampu: Ns. Ronny Basirun Simatupang, M.Si (Han)

Disusun Oleh:
Mentari Elisabeth Tinambunan 1710711002
Shafiyyah Al Atsariyah 1710711004
Mujahidatul Hasanah 1710711005
Arkianti Putri 1710711019
Ganis Eka Madani 1710711024

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2019
ii

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang membahas tentang “Dekompresi”.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.

Depok, 08 Desember 2019

Kelompok 4
iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 4
A. Latar Belakang ........................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 6
A. Pengertian Dekompresi ........................................................................... 6
B. Klasifikasi Gejala Dekompresi ............................................................... 9
C. Faktor yang Berhubungan dengan Dekompresi ...................................... 10
D. Identifikasi Tanda dan Gejala Dekompresi ............................................. 17
E. Penatalaksanaan Dekompresi .................................................................. 22
F. Usaha Preventif Dekompresi...................................................................
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 24
A. Kesimpulan ............................................................................................. 24
B. Saran ....................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... iii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Decompression Sickness atau dalam Bahasa Indonesia disebut penyakit
dekompresi, ini merupakan suatu kecelakaan yang timbul akibat penurunan
tekanan lingkungan yang mendadak. Hal ini biasanya terjadi pada penyelam
yang naik ke permukaan secara cepat tanpa mempertimbangkan tekanan
disetiap meter ketika menuju ke permukaan. Penyakit ini memiliki gold period
yaitu 24 jam setelah kejadian.
RUBT (Ruang Udara Bertekanan Tinggi) atau juga disebut ruang
hyperbaric merupakan terapi di mana penderita harus ada di suatu ruangan
bertekanan tinggi dan bernafas dengan oksigen murni (100%) pada tekanan
udara lebih besar dari pada udara atmosfer normal. Terapi hyperbaric
merupakan salah satu terapi yang diberikan pada pasien penderita
decompression sickness, untuk mengurangi kandungan nitrogen dalam tubuh.
Tidak banyak juga pembahasan ataupun jurnal yang membahas mengenai
penyakit dekompresi. Terjadinya penyakit dekompresi (DCS) sangat jarang
terjadi dan jumlah penyelam aktif di seluruh dunia tidak diketahui. Menurut
South Pacific Underwater Medicine Society (SPUMS) dan European
Underwater and Baromedical Society dalam obat menyelam dan hiperbarik
yang baru dikeluarkan, tingkat perkiraan penyakit dekompresi sekitar 2,8 kasus
dari 10.000 kali penyelaman. Mereka melihat bahwa kejadian di penyelam gua
lebih rendah dari jumlah kasus yang diharapkan. Praktik dan pelatihan yang
tepat harus dipertimbangkan untuk pencegahan DCS. (Pulley. 2012 dalam
Christina L. Javier. Decompression of Sickness)

B. Rumusan Masalah
Dengan mengetahui latar belakang dari penulisan makalah ini, maka
kelompok mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
1) Apa itu Pengertian Dekompresi?
2) Apa saja Klasifikasi Gejala Dekompresi?
3) Apa saja Faktor yang Berhubungan dengan Dekompresi?
2

4) Bagaimana Identifikasi Tanda dan Gejala Dekompresi?


5) Bagaimana Penatalaksanaan Dekompresi?
6) Bagaimana Usaha Preventif Dekompresi?

C. Tujuan Penulisan

- Tujuan Umum
Pembaca dapat memahami penyakit Decompression of Sickness.
- Tujuan Khusus
a) Pembaca mengetahui pengertian Decompression of Sickness.
b) Pembaca mengetahui Klasifikasi Gejala Decompression of Sickness.
c) Pembaca mengetahui Faktor yang Berhubungan dengan Decompression
of Sickness.
d) Pembaca mengetahui Tanda dan Gejala dari Decompression of
Sickness.
e) Pembaca mengetahui Penatalaksanaan dari Decompression of Sickness.
f) Pembaca mengetahui Usaha Preventif dari Decompression of Sickness.
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dekompresi
Penyakit dekompresi adalah penyakit yang terjadi akibat kesalahan prosedur
dekompresi. Kesalahan prosedur dekompresi akan menyebabkan terjadinya
gelembung udara. Jumlah gelembung gas dan lokasinya akan menentukan tipe-tipe
penyakit dekompresi. Penyakit dekompresi merupakan keadaan darurat yang harus
segera diterapi menggunakan hiperbarik oksigen dengan golden period selama 6-
24 jam. Kecepatan pemberian terapi sangat berperan dalam menentukan hasil terapi
(Perdokla, 2009).
Penyakit dekompresi (DCS) diakibatkan oleh gas yang keluar dari fase larut
dalam cairan tubuh dan jaringan saat penyelam naik terlalu cepat. Hal ini terjadi
karena penurunan tekanan, yang menurunkan kelarutan gas dalam cairan. Selain
itu, perluasan gas di paru-paru dapat menyebabkan pecahnya alveoli, yang dikenal
sebagai “Pulmonary Overinflation Syndrome” yang mungkin pada akhirnya
menghasilkan arterial gas embolism (AGE). DCS, AGE dan kesemuanya
diistilakan “penyakit dekompresi” (Campbell, 1997)

B. Klasifikasi Gejala Dekompresi


Secara umum, ada 2 jenis penyakit dekompresi dibagi berdasarkan
beratringannya gejala dan untuk pengobatan :
1. Tipe I, (pain only beds) yang melibatkan otot, kulit, dan limfatik, yang
lebih ringan dan tidak biasanya mengancam nyawa.
2. Tipe II (serious), kadang-kadang mengancam kehidupan, dan
mempengaruhi berbagai sistem organ. The sumsum tulang belakang
terutama rentan, daerahrawan lainnya termasuk otak, sistem pernapasan
(misalnya, emboli paru), dan sistem peredaran darah (misalnya, gagal
jantung, syok kardiogenik). Mengacu pada sendi lokal atau nyeri otot
akibat penyakit dekompresi tetapi seringdigunakan sebagai sinonim untuk
setiap komponen dari gangguan. (Bennett, Mike. 2004. Azhari bahar. 2009)

Tipe-Tipe Penyakit Dekompresi


4

Ada beberapa jenis penyakit dekompresi (Decompression Sickness), yaitu:


1. Dekompresi Sickness Tipe I
Penyakit Dekompresi Tipe I adalah bentuk paling tidak serius dari
Decompression Sickness. Hanya dapat membantu rasa sakit dalam tubuh
dan tidak segera mengancam kehidupan. Penting untuk dicatat bahwa
gejala Tipe I Decompression Sickness mungkin tanda-tanda peringatan
masalah yang lebih serius.

a. Cutaneous Decompression Sickness


Penyakit Dekompresi Kulit Ini adalah ketika gelembung nitrogen yang
keluar dari larutan dalam kapiler kulit. Hal ini biasanya menghasilkan ruam
merah, sering pada bahu dan dada. Tipe ini ditandai dengan sakit di
persendian. Tidak diketahui persis apa yang menyebabkan rasa sakit. Teori
umum adalah bahwa hal itu disebabkan oleh gelembung dapat
memperparah sumsum tulang, tendon, dan sendi. Rasa sakit dapat berada
di satu tempat atau dapat bergerak dari satu sendi ke sendi lainnya.

Gambar. Ruam merah pada Cutaneous Decompression Sickness

2. Dekompresi Sickness Tipe II


Penyakit dekompresi Tipe II adalah yang paling serius dan dapat segera
mengancam jiwa. Efek utama adalah pada sistem saraf.

a. Neurologis Decompression Sickness


5

Ketika gelembung nitrogen mempengaruhi sistem saraf mereka


dapat menyebabkan masalah di seluruh tubuh. Jenis penyakit
dekompresi biasanya menunjukkan sebagai kesemutan, mati rasa,
gangguan pernapasan, dan pingsan. Gejala dapat menyebar dengan
cepat dan jika tidak ditangani dapat menyebabkan kelumpuhan atau
bahkan kematian.

b. Paru Decompression Sickness


Ini adalah bentuk yang jarang terjadi pada penyakit dekompresi,
yang terjadi ketika gelembung terbentuk di kapiler paru-paru.
Untungnya, sebagian besar gelembung larut secara alami melalui
paru-paru. Namun, adalah mungkin bagi mereka untuk
mengganggu aliran darah ke paru-paru yang dapat menyebabkan
pernapasan yang serius dan mengancam jiwa dan masalah jantung.

c. Cerebral Decompression Sickness


Hal ini dimungkinkan untuk gelembung yang membuat jalannya ke
dalam aliran darah arteri untuk pindah bergerak ke otak dan
menyebabkan emboli gas arteri. Hal ini sangat berbahaya dan dapat
diidentifikasi dengan gejala seperti penglihatan kabur, sakit kepala,
kebingungan, dan ketidaksadaran.

Gambar. Emboli gas arteri

Klasifikasi Gejala Penyakit Dekompresi


6

Penyakit dekompresi adalah terkait dengan tingkat pembentukan


gelembung. Bila gelembung yang larut hanya sedikit maka akan menimbulkan
gejala yang ringan, namun bila menghasilkan gelembung besar dapat
mengakibatkan kegagalan multisistem dan kematian. Ada dua jenis umum dari
penyakit dekompresi, Tipe I dan Tipe II :
a. Penyakit dekompresi Tipe I, ditandai dengan nyeri sendi dan
anggota badan dan gatal-gatal di kulit (niggles)
b. Dekompresi Tipe II serius, ditandai dengan masalah neurologis
seperti kelemahan atau kelumpuhan, tungkai parestesia, gangguan
penglihatan, usus dan disfungsi kandung kemih, dan vertigo. Paling
sering, organ target adalah sumsum tulang belakang, dada terkait
anatomi pembuluh darah atau sumsum tulang belakang (Hawes,
2009).
Penyakit dekompresi Tipe II, dengan masalah pada fungsi otak akan
menunjukan gejala kebingungan, malas, mendung mental, kesulitan
berkosentrasi, penurunan memori jangka panjang dan pendek
gangguan visual dan disfagia.
Gejala biasanya dimulai dalam waktu satu jam di permukaan, tetapi dapat
terjadi selama beberapa jam. Gejala onset awal mungkin menunjukkan beban
gelembung yang lebih besar dan prognosis yang lebih buruk. Pada penyakit
dekompresi yang lama menyebabkan kerusakan neurologis berupa kesulitan dalam
berkosentrasi, tulang belakang mengalami keadaan abnormal medulla spinalis dan
disfungsi serabut syaraf (Todnem, 1990).

Penyakit dekompresi diklasifikasikan sebagai berikut :


a. Tipe I, biasa disebut pain only bends dengan gejala :
1) Nyeri sendi dan sekitar, bertambah setelah 24 jam
2) 3-7 hari sembuh, jika tidak rekompresi
3) Gatal-gatal, bercak kulit
4) Pusing, mengantuk
5) Kelelahan berlebihan
b. Tipe II, serius dan menyerang SSP dan Kardiopulmoner. Dengan gejala :
7

1) SSP
a) Otak
 Penglihatan kabur
 Lumpuh/lemah separuh badan
 Tidak bisa bicara
 Bingung, kejang, koma
b) Serebellum
 Sempoyongan
 Gemetar/tremor
 Sulit berbicara
c) Medulla spinalis
 Nyeri rujukan
 Lumpuh / lemah kedua tungkai atau ke 4 anggota
gerak
 Rasa kram, anastesi
 Gangguan BAK dan BAB
d) Vestibuler
 Pusing, muntah
 Tinnitus
 Gangguan pendengaran
2) Paru dan jantung
a) Sesak napas
b) Batuk
c) Nyeri dada
d) Payah jantung
3) Usus
a) Mual, muntah (darah)
b) Diare (darah)
c) Kejang usus
4) Kulit
a) Gatal-gatal
b) Bercak
8

Di masa lalu hal itu dianggap biasa untuk menggambarkan penyakit


dekompresi (DCS) berdasarkan subkategori Tipe 1 (ringan-musculo-skeletal atau
persendian) atau tipe 2 (serius - kardio-paru dan neurologis) DCS. Sekarang ini
disepakati untuk mengklasifikasikan gambaran klinis DCS sesuai dengan organ
atau sistem yang terlibat (misalnya neurologis, musculo-skeletal dll). Ini sangat
sesuai untuk mendapatkan penggambaran gejala klinis yang merupakan indikasi
kemungkinan terjadinya perubahan gejala-gejala yang muncul (seperti yang
dijelaskan kemudian), karena keduanya mempengaruhi pengobatan yang
diperlukan.

Manifestasi klinis berdasarkan sistem yang terganggu :


a. Sistem saraf pusat adalah merupakan salah satu bagian dari sistem saraf
yang terdiri atas otak dan sumsum tulang belakang. Tanda dan gejala
penyakit dekompresi pada sistem saraf pusat yaitu :
1) Spinalis : nyeri punggung yang dapat menjalar ke abdomen, mati
rasa dan parastesia
2) Cerebral:
 Gangguan penglihatan (diplopia, blind spot)
 Hemiplegia (lumpuh satu sisi tubuh)
 Hilang kesadaran
 Gangguan bicara
 Nyeri kepala
 Bingung
 Gangguan keseimbangan
 Tremor
 Konvulsi (kejang-kejang)
b. Sistem skeletal adalah sistem yang terdiri dari tulang (rangka) dan struktur
yang membangun hubungan (sendi) di antara tulang-tulang tersebut. Tanda
dan gejala penyakit dekompresi pada sistem skeletal yaitu : nyeri sendi
c. Sistem kardivaskuler merupakan organ sirkulasi darah yang terdiri dari
jantung, komponen darah dan pembuluh darah yang berfungsi memberikan
9

dan mengalirkan suplai oksigen dan nutrisi keseluruh jaringan tubuh yang
diperlukan dalam proses metabolisme tubuh. Tanda dan gejala penyakit
dekompresi pada sistem kardiovaskuler yaitu :
1) Nyeri dada
2) Infark Miokardium
3) Henti jantung
4) Gangguan pembekuan darah
d. Sistem respirasi adalah peristiwa menghirup udara yang mengandung
(oksigen) serta menghembuskan udara yang banyak mengandung
karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Tanda dan
gejala penyakit dekompresi pada sistem respirasi yaitu :
1) Dispneu
2) Nyeri dada
3) Batuk
e. Sistem intergumen terdiri dari kulit dengan kelenjar-kelenjarnya, rambut,
kuku, dan reseptor-reseptor khusus yang terdapat pada kulit. Tanda dan
gejala penyakit dekompresi pada sistem intergumen yaitu :
1) Pruritus
2) Rash (kulit seperti campak)
3) Bercak-bercak biru (blueish’ marbling) pada kulit
f. Sistem gastrointestinal merupakan saluran percernaan yang terdiri dari
mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus
besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga terletak diluar saluran
pencernaan yaitu pankreas, hati dan kandung empedu. Tanda dan gejala
penyakit dekompresi pada sistem gastrointestinal yaitu :
1) Anoreksia
2) Nausea dan vomitus
3) Hematomesis
4) Kejang abdominal
5) Diare berdarah

C. Faktor yang Berhubungan dengan Dekompresi


10

Diagnosis penyakit dekompresi didasarkan pada pemeriksaan klinis,


termasuk pemeriksaan neurologis dan sejarah menyelam. Penelitian
laboratorium dan pencitraan kadang-kadang menunjang diagnosis. Pada tahun
2004 Freiberger diidentifikasi faktor diagnostik yang penting menggunakan
kasus-kasus cedera simulasi diving. Lima faktor yang mendukung diagnostik
adalah gejala neurologis sebagai presentasi gejala utama, waktu onset gejala,
nyeri sendi, respon terhadap pengobatan recompression, kedalaman
maksimum menyelam terakhir (Freiberger, 2004).

Beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan insidensi penyakit


dekompresi:

a. Kedalaman penyelaman

Menurut Darjo, dalam kumpulan makalah (1983), makin dalam responden


menyelam, akan mendapatkan tekanan makin besar, berarti makin besar
pengaruhnya pada kesehatan penyelam. Tubuh manusia yang mendapat
tekanan air di kedalaman akan menyesuaikan dengan tekanan ini. Bila
tubuh tidak dapat menyesuaikan dengan tekanan tersebut maka dapat
terjadi squeese/trauma. Squeese/trauma umumnya dapat terjadi pada
penyelaman >7 meter dan dekompresi dapat terjadi pada penyelaman 12,5
meter. Kurang dari kedalaman tersebut umumnya belum memberikan
gejala, hal tersebut biasa disebabkan karena jumlah nitrogen yang masih
sedikit jumlahnya dan dapat terfilter oleh paru- paru.

Makin dalam menyelam, makin tinggi tekanan, makin banyak pula gas N2
yang larut dalam jaringan tubuh. Sewaktu peselam naik, tekanan akan
berkurang dan terjadi pengeluaran gas N2. Bila peselam naik perlahan,
pengeluaran gas N2 akan melalui paru. Bila peselam naik terlalu cepat,
disamping pengeluaran gas N2 melalui paru, gas N2 juga keluar di dalam
jaringan atau cairan darah dalam bentuk gelembung, maka terjadilah
dekompresi. Ketika menyelam pada kedalaman yang lebih semakin besar
tekanan parsial gas, yang mengarah pada peningkatan pembentukan
gelem- bung/ekstraksi ke dalam jaringan. Jika tetap di kedalaman, maka
gelembung gas yang dikeluarkan juga akan berlebih. Meningkatnya
11

kedalaman dapat memperburuk gejala dekompresi yang disertai


kebingungan, koordinasi terganggu, kurangnya konsentrasi, halusinasi
dan ketidaksadaran. Nitrogen telah terbukti memberikan kontribusi
langsung hingga 6% kematian pada peselam dan langsung berhubungan
dengan insiden akibat kedalaman menyelam.

b. Lama penyelaman

Lama penyelaman juga menjadi penyebab terjadinya penyakit


dekompresi. Selama ini waktu acuan para peselam kompresor adalah lebih
cenderung mengukur pada target hasil tangkapan. Waktu penyelaman
bukanlah ukuran nelayan, asal dirasa tubuhnya masih mampu memburu
ikan, maka nelayan akan terus bekerja sampai target hasil tangkapan
terpenuhi. Apa- bila peselam merasa udara yang dihirup semakin tipis atau
tidak ada sama sekali karena selang terlipat, macet atau matinya mesin
pemompa, maka dalam situasi ini, nelayan akan naik ke permukaan
dengan cepat tanpa mengindahkan safety stop, dan tentu akan
membahayakan keselamatan. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya
DCS.

c. Lemak tubuh

Terdapat teori bahwa nitrogen dapat tereabsorpsi dengan mudah ke dalam


jaringan lemak, jadi penyelam yang memiliki berat badan berlebih
memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami penyakit dekompresi.

d. Aktivitas

Sangat menarik bahwa aktivitas memiliki efek positif dan negatif.


Aktivitas fisik setidaknya 12 jam sebelum menyelam dapat memproduksi
protein yang melindungi tubuh dan menurunkan risiko penyakit
dekompresi .Disisilain ,aktivitas fisik kurang dari 12 jam sebelum
penyelaman dapat meningkatkan sejumlah gas mikronuklei di mana dapat
membentuk gelembung dan meningkatkan insidensi penyakit
dekompresi. Melakukan aktivitas fisik sesaat setelah menyelam dapat
meningkatkan risiko pembentukan gelembung karena tekanan darah
meningkat dan gelembung dapat dengan mudah ditransfer dari venake
12

arteri dalam sistem sirkulasi.

e. Jenis kelamin

Secara teori, wanita memiliki risiko tinggi mengalami penyakit


dekompresi karena wanita secara khusus memiliki massa lemak tubuh
yang lebih tinggi. Tetapi belum ada penelitian yang dapat membuktikan
hal ini.

f. Usia

Secara umum, orang dengan usia tua memiliki risiko tinggi terkena
penyakit dekompresi. Batas umur yang ideal untuk melakukan kegiatan
penyelaman adalah 16-35 tahun, kurang dari 16 tahun dan lebih dari 35
tahun memiliki risiko penyelaman lebih tinggi. Umur saat menyelam
sangatlah berpengaruh pada kesehatan seorang peselam karena umur
merupa- kan gambaran kesehatan fisik yang dimiliki manusia. Umur yang
masih muda belum siap organ dan fungsi tubuhnya untuk menerima beban
kerja yang berat sehingga sangat berisiko jika melaku- kan pekerjaan yang
belum sesuai dengan porsinya. Makin tua umur seseorang maka proses
perkem- bangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur
tertentu, bertambahnya proses perkem- bangan mental ini tidak secepat
ketika berumur belasan tahun.

g. Frekuensi menyelam

Frekuensi menyelam mempengaruhi kejadian dekompresi pada peselam.


Hal ini disebabkan kadar nitrogen yang terkandung dalam darah belum
normal, tetapi harus kembali terpapar nitrogen. Secara teoritis, nitrogen
yang terkandung dalam darah akibat penyelaman akan kembali normal
setelah 24 jam setelah menyelam. Bila nitrogen belum normal dalam
tubuh dan harus terpapar lagi maka akan menimbulkan chokes atau bends
yang akan berakibat parah. Semakin sering seseorang menyelam maka
kondisi tubuh juga akan semakin berkurang diakibatkan tubuh manusia
tidak bisa berada terus-menerus di dalam air.
h. Riwayat penyakit
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden lebih banyak mempunyai
13

riwayat penyakit kurangnya kebugaran fisik dan ISPA dan lainnya adalah
sakit kepala. Riwayat pe- nyakit merupakan faktor risiko terjadinya DCS.
Responden yang mempunyai riwayat penyakit berisiko berpeluang
mengalami DCS sebesar 15,9 kali dibandingkan responden yang tidak
mempu- nyai riwayat penyakit. Kejadian tak terduga saat menyelam,
cadangan fungsional berkurang, dan yang sudah ada penyakit medis
meningkatkan risiko kecelakaan menyelam.

D. Identifikasi Tanda dan Gejala Dekompresi


Identifikasi tanda dan gejala dekompresi diambil dari penelitian, penelitian
ini dilaksanakan di Desa Bokori Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe pada
tanggal 25 Juli s/d Agustus 2017 dengan sampel sebanyak 26 responden. Hasil
penelitian ini selengkapnya di uraikan sebagai berikut:
1) Sistem Syaraf Pusat
14

2) Sistem Skelet

3) Sistem Kardiovaskuler
15

4) Sistem Pernapasan

5) Sistem Intergumen
16

6) Sistem Pencernaan

Berdasarkan hasil penelitian tentang identifikasi tanda dan gejala penyakit


dekompresi pada nelayan tradisional di Desa Bokori Kecamatan Soropia
Kabupaten Konawe, maka dapat dibahas sebagai berikut:
17

a) Sistem Syaraf Pusat


Berdasarkan hasil penelitian tanda dan gejala penyakit dekompresi
berdasarkan keluhan pada sistem syaraf dari 26 responden keluhan terbanyak
yang dialami penyelam adalah Kesemutan, tertusuk dan terbakar pada belakang
sebanyak 24 responden (92,31%), kemudian yang mengalami gangguan
keseimbangan 24 responden (84,62%), tremor 21 responden (80,77%), yang
mengalami nyeri punggung menjalar ke abdomen sebanyak 19 responden
(73,08%), yang mengalami kebingungan 18 responden (69,23%), yang
mengalami nyeri kepala dan kejang 17 responden (65,38%), yang mengalami
mati rasa pada belakang sebanyak 15 responden (757,7%), yaang mengalami
hilang kesadaran 10 responden (38,46%), yang mengalami lumpuh satu sisi
badan dan gangguan berbicara 8 responden (30,77%) dan keluhan terendah
adalah gangguan penglihatan 3 responden (11,54%).

Banyaknya keluhan yang dialami para penyelam tersebut


dikarenakanpenyelaman dilakukan dengan menggunakan alat kompresor udara.

Kompresor adalah mesin yang digunakan sebagai alat bantu bernapas di


dalam air, dipasang selang (warna kuning) sepanjang 50-75 meter yang
disambungkan salah satu ujungnya ke saluran udara (output pipe) kompresor
ban tersebut. Diujung satunya dipasang regulator yang akan membantu nelayan
untuk menghirup udara yang berasal dari selang tersebut melalui mulutnya. Di
satu kompresor bisa terpasang sampai 4 buah selang. Selang-selang tersebut
selanjutnya diikatkan ke tubuh penyelam, biasanya dibagian pinggang.
Tujuannya adalah agar tidak terbawa arus yang bisa melepaskan regulator dari
mulut penyelam. Akibat ikatan yang erat ke tubuh penyelam, aliran udara akan
terhambat sehingga udara yang dihirup oleh penyelam sebagian besar berasal
dari gelembung-gelembung air yang keluar dari selangyang terhambat tadi. Jika
terjadi sesuatu hal seperti mesin kompresor mati mendadak atau kehabisan
bahan bakar, seorang penjaga (operator) di atas perahu tidak punya pilihan lain
selain harus segera menarik selang dan penyelamnya ke permukaan. Pada titik
inilah sering terjadi kasus dekompresi dan kecelakaan penyelaman karena
penyelam tidak punya kesempatan untuk melakukan decompression stop,
18

sebuah istilah penyelaman yang artinya berhenti di kedalaman tertentu untuk


mengeluarkan gas-gas terlarut dari dalam tubuh penyelam dalam perjalanan
menuju permukaan air.

b) Sistem Skelet
Berdasarkan hasil penelitian tanda dan gejala penyakit dekompresi
berdasarkan keluhan pada sistem skelet dari 26 responden yang mengalami
nyeri sendi sebanyak 19 responden (73,08%) sedangkan yang tidak mengalami
nyeri sendi 7 responden (26,92%).

Berbagai penyakit dan kecelakaan dapat terjadi pada nelayan dan penyelam
tradisional, hasil penelitian Depkes RI tahun 2006 di Pulau Bungin, Nusa
Tenggara Barat ditemukan 57,5% nelayan penyelam menderita nyeri
persendian, 11,3% menderita gangguan pendengaran ringan sampai ketulian. Di
Kepulauan Seribu ditemukan 41,37% nelayan penyelam menderita barotrauma
atau pendarahan akibat tubuh mendapat tekanan yang berubah secara tiba-tiba
pada beberapa organ atau jaringan serta 6,91% penyelam menderita kelainan
dekompresi yang disebabkan tidak tercukupinya gas nitrogen akibat penurunan
tekanan yang mendadak, sehingga menimbulkan gejala sakit pada persendian,
susunan syaraf, saluran pencernaan, jantung, paru-paru dan kulit. (Sukbar, La
Dupai, Sabril Munandar. 2016)

c) Sistem Kardiovaskuler
Berdasarkan hasil penelitian tanda dan gejala penyakit dekompresi
berdasarkan keluhan pada sistem kardiovaskuler dari 26 responden yang
mengalami keluhan nyeri dada sebanyak 22 responden (84,62%), yang tidak
mengalami 4 responden (15,38%), sedangkan pada keluhan infark miokard,
henti jantung dan pembekuan darah tidak ada yang mengalami.

Banyaknya keluhan yang dialami para penyelam tersebut dikarenakan


penyelaman dilakukan dengan tidak memperhatikan kesehatan dan keselamatan
kerja, hanya semata-mata untuk mencari nafkah, sehingga para penyelam
menggunakan alat bantu napas berupa alat kompresor udara sederhana yang
digunakan untuk memompa ban sebagai penyuplai udara ke penyelam. Satu alat
19

kompresor bisa digunakan 3-5 orang penyelam dimana pada selang kompresor
dibuatkan cabang sehingga membentuk sambungan-sambungan. Hal tersebut
juga didukung oleh waktu penyelaman, kedalaman penyelaman di Desa Bokori
rata-rata di atas 20meter dan waktu naik ke permukaan yang cepat atau secara
tiba-tiba. Dimana lama waktu penyelaman akan menyebabkan lamanya
penyelam terpapar tekanan yang tinggi dan nitrogen yang berdampak pada
penyakit dekompresi serta kedalaman penyelaman.

Sesuai dengan teori penyakit dekompresi adalah penyakit dengan berbagai


tingkat keluhan dan gejala, yang dapat mengganggu seluruh sistem organ tubuh
dengan penyebab yang sama yaitu terbentuknya gelembung nitrogen dalam
jaringan dan darah. Gelembung nitrogen dapat terjadi pada berbagai jaringan,
dan dapat menyebabkan rasa terganggu (rasa tidak enak) bahkan rasa nyeri.
Dalam pembuluh darah, gelembung udara tersebut menjadi emboli yang dapat
menyumbat pembuluh darah penderitanya.

d) Sistem Pernapasan
Berdasarkan hasil penelitian tanda dan gejala penyakit dekompresi
berdasarkan keluhan pada sistem pernapasan dari 26 responden yang
mengalami sesak napas 12 responden (46,15%) dan yang tidak mengalami 14
responden (53,85%), yang mengalami batuk sebanyak 5 responden (19,23%)
dan 21 responden yang tidak mengalami (80,77%).

Banyaknya keluhan yang dialami para penyelam tersebut dikarenakan


penyelaman dilakukan dengan tidak memperhatikan kesehatan dan keselamatan
kerja, hanya semata-mata untuk mencari nafkah, sehingga para penyelam
menggunakan alat bantu napas berupa alat kompresor udara sederhana yang
digunakan untuk memompa ban sebagai penyuplai udara ke penyelam. Satu alat
kompresor bisa digunakan 3-5 orang penyelam dimana pada selang kompresor
dibuatkan cabang sehingga membentuk sambungan-sambungan. Hal tersebut
juga didukung oleh waktu penyelaman, kedalaman penyelaman di Desa Bokori
rata-rata di atas 20meter dan waktu naik ke permukaan yang cepat atau secara
tiba-tiba.
20

Dimana lama waktu penyelaman akan menyebabkan lamanya penyelam


terpapar tekanan yang tinggi dan nitrogen yang berdampak pada penyakit
dekompresi serta kedalaman penyelaman. Hal ini di dukung oleh teori pada tiap
kedalaman 10meter (33 kaki) air laut terjadi peningkatan tekanan ambient 1 atm
(760 mmHg). Tekanan pada kedalaman tersebut menjadi 2 atm, yaitu 1 atm
disebabkan oleh tekanan udara di atas laut dan 1 atm lagi berasal dari berat jenis
air sendiri. Peningkatan tekanan dapat mengecilkan rongga udara dalam tubuh
penyelam termasuk paru paru karena volume gas akan berkurang setengah dari
semula, gas gas akan mengalami kompresi sehingga kerapatan gas akan
meningkat.

Peningkatan tekanan juga akan berpengaruh terhadap peningkatan tekanan


parsial gas-gas respirasi (oksigen dan nitrogen) sehingga kelarutan dalam
jaringan tubuh akan meningkat. Peningkatan tekanan akan berpengaruh pada
pembentukan gelombang gas dalam darah dan jaringan tubuh. Penyelam yang
naik ke permukaan secara tiba-tiba menyebabkan perubahan efek fisiologi
dengan cepat. Volume gas yang meningkat, keluarnya gelembung gas dan
masuk (terperangkap) ke jaringan menyebabkan penyelam mengalami penyakit
dekompresi.

e) Sistem Intergumen
Berdasarkan hasil penelitian tanda dan gejala penyakit dekompresi
berdasarkan keluhan pada sistem intergumen dari 26 responden yang
mengalami pruritus atau gatal gatal sebanyak 24 respnden (92,31%) sedangkan
yang tidak mengalami 2 responden (7,69%). Yang mengalami rash atau kulit
seperti campak 8 responden (30,77%) sedangkan yang tidak mengalami
sebanyak 18 responden (69,23%). Dan yang mengalami bercak biru pada kulit
2 responden (7,69%) sedangkan yang tidak mengalami sebanyak 24 responden
(92,31%).

Banyaknya keluhan yang dialami para penyelam tersebut dikarenakan


penyelaman dilakukan dengan tidak memperhatikan kesehatan dan keselamatan
kerja, hanya semata-mata untuk mencari nafkah, sehingga para penyelam
menggunakan alat bantu napas berupa alat kompresor udara sederhana yang
21

digunakan untuk memompa ban sebagai penyuplai udara ke penyelam. Satu alat
kompresor bisa digunakan 3-5 orang penyelam dimana pada selang kompresor
dibuatkan cabang sehingga membentuk sambungan-sambungan. Hal tersebut
juga didukung oleh waktu penyelaman, kedalaman penyelaman di Desa Bokori
rata-rata di atas 20 meter dan waktu naik ke permukaan yang cepat atau secara
tiba-tiba. Dimana lama waktu penyelaman akan menyebabkan lamanya
penyelam terpapar tekanan yang tinggi dan nitrogen yang berdampak pada
penyakit dekompresi serta kedalaman.

Sesuai dengan teori penyakit dekompresi adalah penyakit dengan berbagai


tingkat keluhan dan gejala, yang dapat mengganggu seluruh sistem organ tubuh
dengan penyebab yang sama yaitu terbentuknya gelembung nitrogen dalam
jaringan dan darah. Gelembung nitrogen dapat terjadi pada berbagai jaringan,
dan dapat menyebabkan rasa terganggu (rasa tidak enak) bahkan rasa nyeri.
Dalam pembuluh darah, gelembung udara tersebut menjadi emboli yang dapat
menyumbat pembuluh darah penderitanya.

f) Sistem Pencernaan
Berdasarkan hasil penelitian tanda dan gejala penyakit dekompresi
berdasarkan keluhan pada sistem pencenaan dari 26 responden yang mengalami
mual sebanyak 25 responden (96,15%), 1 responden tidak mengalami (3,85%).
Yang mengalami penurunan nafsu makan sebanyak 24 responden (84,62%) 4
responden tidak mengalami (15,38%). Yang mengalami muntah sebanyak 23
responden (88,46%), 3 responden tidak mengalami (11,54%). Yang mengalami
kejang perut 12 responden (46,15%), yang tidak mengalami sebanyak 14
responden (53,85%). Yang mengalami diare berdarah 2 responden (7,69%)
sedangkan yang tidak mengalami sebanyak 24 responden (92,31%).

Banyaknya keluhan yang dialami para penyelam tersebut dikarenakan


penyelaman dilakukan dengan tidak memperhatikan kesehatan dan keselamatan
kerja, hanya semata-mata untuk mencari nafkah, sehingga para penyelam
menggunakan alat bantu napas berupa alat kompresor udara sederhana yang
digunakan untuk memompa ban sebagai penyuplai udara ke penyelam. Satu alat
kompresor bisa digunakan 3-5 orang penyelam dimana pada selang kompresor
22

dibuatkan cabang sehingga membentuk sambungan-sambungan. Hal tersebut


juga didukung oleh waktu penyelaman, kedalaman penyelaman di Desa Bokori
rata-rata di atas 20 meter dan waktu naik ke permukaan yang cepat atau secara
tiba-tiba. Dimana lama waktu penyelaman akan menyebabkanlamanya
penyelam terpapar tekanan yang tinggi dan nitrogen yang berdampak pada
penyakit dekompresi serta kedalaman penyelaman.

Sesuai dengan teori penyakit dekompresi adalah penyakit dengan berbagai


tingkat keluhan dan gejala, yang dapat mengganggu seluruh sistem organ tubuh
dengan penyebab yang sama yaitu terbentuknya gelembung nitrogen dalam
jaringan dan darah. Gelembung nitrogen dapat terjadi pada berbagai jaringan,
dan dapat menyebabkan rasa terganggu (rasa tidak enak) bahkan rasa nyeri.
Dalam pembuluh darah, gelembung udara tersebut menjadi emboli yang dapat
menyumbat pembuluh darah penderitanya.

E. Penatalaksanaan Dekompresi
1. Selamatkan pasien dari air dan lakukan imobilisasi bila dicurigai ada
trauma
2. Berikan oksigen 100% ,intubasi bila perlu ,dan berikan larutan Ringer
Laktat secara intravena
3. Aspilet sebagai anti platelet dapat diberikan jika tidak mengalami
perdarahan,tetapi belum ada bukti tentang hal ini. Gelembung nitrogen
berinteraksi dengan platelet, dan menyebabkan adhesi dan aktivasi
,yang diduga berkontribusi pada obstruksi vena-vena mikro yang
menyebabkan iskemia pada penyakit dekompresi.
4. Juga tidak ada data yang mendukung pemberian terapi adjunctive,
seperti rekompresi dengan helium/oksigen dan OAINS.
5. Lakukan resusitasi kardiopulmonar jika perlu,atau needle torakosentesis
jika terdapat pneumotoraks tension.
6. Jangan memposisikan pasien pada posisi Trendelenburg. Menempatkan
pasien pada posisi kepala di bawah dulu dilakukan untuk mencgah
terjadinya embolisasi udara ke otak. Tetapi sekarang prosedur ini tidak
23

dilakukan lagi karena dapat menyebabkan peningkatan tekanan


intrakranial dan menyebabkan rusaknya sawar darah otak.
7. Segera transport ke rumah sakit yang memiliki fasilitas hiperbarik.

F. Usaha Preventif Dekompresi


1. Menghindari naik ke permukaan terlalu cepat ,kecepatn naik ke
permukaan diharapkan 1-2 meter/menit dengan cara zigzag atau spiral
2. Tidak menyelam lebih dari 10 menit
3. Tidak menyelam pada kedalaman >10 meter
4. Tidak berolahraga dalam jangka waktu 12 jam sebelum menyelam
5. Jarak menyelam minimal 12 jam setelah menyelam pertama
6. Tidak mengonsumsi alkohol sebelum menyelam minimal 24 jam
sebelum menyelam
7. Menghindari terbang selama 24 jam
24

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Penyakit dekompresi adalah suatu penyakit atau kelainan yang
disebabkan oleh pelepasan dan pengembangan gelembung-gelembung gas
dari fase terlarut dalam darah atau jaringan-jaringan akibat penurunan
tekanan disekitarnya. Manifestasi yang paling umum mencakup parestesia,
hypesthesia, nyeri sendi. Tanda dan gejala yang lebih serius meliputi
kelemahan motorik, ataksia, dispnea, disfungsi sfingter uretra dan dubur,
syok dan kematian. Penggunaan oksigen dengan tekanan untuk
mempercepat difusi gas dan resolusi gelembung, alasan untuk pengobatan
dengan oksigen hiperbarik (HBO2) mencakup pengurangan langsung
volume gelembung.

B. Saran
 Kepada penyelam agar lebih memperhatikan hal-hal yang dapat
membahayakan diri, dan berlatih kepada penyelam profesional dan
berpengalaman.
 Kepada instansi mengadakan seminar dan pelatihan dari persiapan
menyelam hingga teori-teori yang digunakan dalam menyelam dan
pertolongan pertama pada decompression sickness.
 Kepada masyarakat awam agar segera dibawa ke Rumah sakit atau
pelayanan kesehatan terdekat apabila terjadi decompression sickness
pada rekannya agar mendapat pertolongan pertama.
25

DAFTAR PUSTAKA

Jalil, Abd Rasyid dkk. 2019. Pengantar Selam Ilmiah. Yogyakarta: DEEPUBLISH

La Nura, Farid. 2017. Karya Tulis Ilmiah: Identifikasi Tanda Dan Gejala
Penyakit Dekompresi Pada Penyelam Tradisional Di Desa Bokori
Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe. Kemenkes RI, Poltekkes
Kendari.

Kwandou, Louis Dr. Sp. S (K). T. Nn. Penyakit Dekompresi. Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin: Makassar

Jusmawati, A. Arsunan Arsin, dan Furqaan Naiem. 2016. Faktor Risiko Kejadian
Decompression Sickness pada Masyarakat Nelayan Peselam Tradisional
Pulau Saponda. 12(2), 63-69.

Lippincott, William & Wilkins. 2008. Multisystem Disorder. Wolters Kluwer


(available

from:

https://books.google.co.id/books?id=bzJzBhfvWIEC&pg=PA442&dq=co
mplication+of+decompression+of+sickness&hl=id&sa=X&ved=0ahUKE
wiWifexwIrUAhUERI8KHdudBn4Q6AEIJjAA#v=onepage&q=%20deco
mpression%20of%20sickness&f=false )

Rijadi, R.M. Penyakit Dekompresi. Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik.


Lembaga Kesehatan Kelautan TNI AL. P: 89-103.

Anda mungkin juga menyukai