Anda di halaman 1dari 20

Laporan Kasus Visum et Repertum

Pembimbing :

dr. Abdul Gafar Parinduri, M.Ked (For) Sp.F

Disusun oleh :

Sakti Perwira Aji (20360262)

Agung Sudrajat (20360168)

Qouwamuna Alannisa (20360231)

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORESIK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DELI SERDANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

2020

KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Kasus ini, untuk memenuhi
persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Forensik Rumah Sakit Umum
Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam, degan judul ”Laporan Kasus Visum et Repertum”.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada pembimbing kami, dr. Abdul
Gafar Parinduri, M.Ked (For), Sp.F yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam
penyusunan referat ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini memiliki kekurangan baik dari
kelengkapan teori hingga penuturan bahasa, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk kesempurnaan laporan kasus ini.

Kami berharap laporan kasus ini dapat memberi manfaat dan menambah pengetahuan serta
dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan ilmu kedokteran dalam praktik di
masyarakat.

Lubuk Pakam, Desember 2020

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi tenggelam................................................................................. 7
2.2 Mekanisme tenggelam........................................................................... 9
2.3 Patofisiologi kematian pada tenggelam................................................. 10
BAB III LAPORAN KASUS..................................................................................... 11
BAB IV PEMBAHASAN........................................................................................... 16
BAB V KESIMPULAN............................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 18
LAMPIRAN................................................................................................................ 19

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam suatu perkara pidana yang menimbulkan korban, dokter diharapkan dapat
menemukan tanda-tanda kekerasan yang terjadi pada tubuh korban. Dalam hal korban
meninggal, dokter diharapkan dapat menjelaskan penyebab kematian yang bersangkutan,
bagaimana mekanisme terjadinya kematian tersebut, membantu dalam perkiraan saat
kematian, serta perkiraan cara kematian.
Drowning atau tenggelam didefinisikan sebagai masuknya cairan yang cukup banyak
ke dalam saluran nafas atau paru-paru. Dalam kasus tenggelam, terendamnya seluruh tubuh
dalam cairan tidak diperlukan. Yang diperlukan adalah adanya cukup cairan yang menutupi
lubang hidung dan mulut sehingga kasus tenggelam tidak hanya terbatas pada perairan yang
dalam seperti laut, sungai, danau, atau kolam renang, tetapi mungkin pula terbenam dalam
kubangan atau selokan di mana hanya bagian muka yang berada di bawah permukaan air.
(Budianto, dkk. 2001)
Tenggelam adalah penyebab utama ke-3 kematian karena cedera yang tidak disengaja,
terhitung 7% dari semua kematian yang terkait dengan cedera . WHO menyatakan bahwa
0,7% penyebab kematian di dunia atau lebih dari 500.000 kematian setiap tahunnya
disebabkan oleh tenggelam. Pada 2015, diperkirakan 360.000 orang meninggal karena
tenggelam, yang menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di seluruh dunia (WHO,
2015). Lebih dari setengah kematian terjadi di bawah usia 25 tahun, dengan usia di bawah 5
tahun berisiko tinggi. Cina dan India merupakan negara dengan kasus tenggelam tertinggi di
dunia karena kedua negara ini berkontribusi hampir setengah dari rata-rata kematian akibat
kasus tenggelam di dunia, kemudian diikuti oleh Nigeria, Federasi Rusia, Indonesia dan
Bangladesh. (Anasari, 2020)
Indonesia merupakan negara yang terletak di antara dua benua dan dua samudera.
Luas wilayah daratan Indonesia adalah 1,937 juta km2 dengan luas laut kedaulatan 3,1 juta
km2. Luasnya lautan Indonesia membuat negara ini dijuluki dengan negara maritime, dengan
garis pantai yang panjang dan indahnya tepian daratan Indonesia membuat pantai menjadi
destinasi favorit liburan keluarga di saat liburan panjang. Salah satu aktivitas yang pasti
dilakukan adalah berenang. Kegiatan berenang ini menyimpan resiko kecelakaan yang
berujung pada kematian yakni kematian akibat tenggelam atau drowning.(Anasari, 2020)
Hampir 90% kematian akibat tenggelam atau drowning terjadi di negara-negara
berkembang. Kejadian tenggelam di Indonesia belum diketahui secara pasti. Namun, merujuk
pada kondisi geografis wilayah Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau dengan garis pantai
yang cukup panjang yang memungkinkan terjadinya tenggelam. Indonesia merupakan daerah
dengan mayoritas wisata perairan, yang menjadi salah satu daya tarik wisata yang dimiliki.
Meskipun fakta-fakta di atas sangat mengkhawatirkan, penanggulangan kejadian tenggelam
masih kurang mendapat perhatian. (Anasari, 2020)
Insiden paling banyak terjadi pada negara berkembang, terutama pada anak-anak
berumur kurang dari 5 tahun. Selain umur, faktor resiko lain yang berkontribusi
meningkatkan terjadinya kasus tenggelam di antaranya jenis kelamin terutama laki-laki yang
memiliki angka kematian dua kali lipat terhadap perempuan, penggunaan alkohol atau
penyalahgunaan obat pada 50% kasus yang melibatkan remaja maupun dewasa, anak-anak
tanpa pengawasan saat berada di air, perburukan dari kondisi medis sebelumnya (kejang,
sakit jantung, pingsan), dan percobaan bunuh diri. (WHO, 2015). Kasus tenggelam lebih
banyak terjadi di air tawar (danau, sungai, kolam) sebesar 90% dan sisanya 10% terjadi di air
laut. (Wulur, dkk. 2013)
Kegawatdaruratan pada korban tenggelam terkait erat dengan masalah pernapasan dan
kardiovaskuler yang penanganannya memerlukan penyokong kehidupan jantung dasar
dengan menunjang respirasi dan sirkulasi korban dari luar melalui resusitasi, dan mencegah
insufisiensi. Penanganan kegawatdaruratan korban tenggelam sebaiknya memastikan terlebih
dahulu kesadaran, system pernapasan, denyut nadi, dan proses observasi dan interaksi yang
konstan dengan korban.(Anasari, 2020)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Tenggelam
Tenggelam adalah suatu istilah gangguan paru yang disertai hilangnya fungsi
pernapasan oleh karena bagian jalan napas maupun jalan fungsional (bronkus respiratorius
dan alveolus) terisi air. Keadaan ini menyebabkan kedua bagian di atas tidak bekerja.
(Rab, 1998 dalam Wibowo, 2010). Definisi baru menyatakan bahwa tenggelam
merupakan proses yang dihasilkan dari kerusakan traktus respiratorius primer dari adanya
penumpukkan dalam medium cair. Definisi implisit adalah bahwa adanya cairan yang
timbul dalam jalan napas korban (Satriaperwira, 2008 dalam Wibowo, 2010).
Selain gangguan pada saluran pernapasan, juga terjadi perbedaan lainnya, seperti
gangguan yang serius dari kesinambungan cairan tubuh dan kimia darah yang timbul
segera setelah air terinhalasi yang dapat menimbulkan kematian (Simpson, 1982 dalam
Wibowo, 2010). Beberapa istilah dalam tenggelam atau drowning yaitu:
1. Wet drowning
Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernapasan setelah korban tenggelam.
2. Dry drowning
Pada keadaan ini cairan tidak masuk ke dalam saluran pernapasan karena kematian
disebabkan oleh spasme laring.
3. Secondary drowning
Terjadi beberapa gejala beberapa hari setelah korban tenggelam. Korban dapat hidup
setelah tenggelam dan meninggal beberapa saat kemudian atau beberapa hari
kemudian akibat komplikasi.
4. Immersion syndrome
Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin akibat reflek vagal
(Budiyanto, 1997 dalam Wibowo, 2010).

B. Mekanisme Tenggelam
Mekanisme pada kasus tenggelam bukan hanya sekedar masuknya cairan ke dalam
saluran pernapasan, akan tetapi merupakan hal yang cukup kompleks (Idries, 1997 dalam
Wibowo, 2010). Pada orang yang tenggelam, tubuh korban dapat beberapa kali berubah
posisi. Umumnya korban akan tiga kali tenggelam dan dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pada waktu pertama kali orang “terjun” ke air, oleh karena gravitasi ia akan tenggelam
untuk yang pertama kali.
2. Oleh karena berat jenis tubuh lebih kecil dari berat jenis air, korban akan timbul, dan
berusaha untuk bernapas mengambil udara, akan tetapi oleh karena tidak bisa
berenang, air akan masuk tertelan dan terinhalasi, sehingga berat jenis korban sekarang
menjadi lebih besar dari berat jenis air, dengan demikian ia tenggelam untuk kedua
kalinya.
3. Sewaktu berada pada dasar sungai, laut, atau danau, proses pembusukan akan
berlangsung dan terbentuk gas pembusukan.
4. Waktu yang dibutuhkan agar pembentukan gas pembusukan dapat mengapungkan
tubuh korban adalah sekitar 7-14 hari.
5. Pada waktu tubuh mengapung oleh karena terbentuknya gas pembusukan, tubuh dapat
pecah terkena benda-benda disekitarnya, digigit binatang atau oleh karena proses
pembusukan itu sendiri sehingga gas pembusukan akan keluar, tubuh korban
tenggelam untuk ketiga kalinya dan yang terakhir (Idries, 1997 dalam Wibowo, 2010).
Mekanisme tenggelam yang dilaporkan Brovardel (Giertsen, 1988 dalam Wibowo,
2010) pada percobaan terhadap anjing adalah sebagai berikut: sebuah pemberat pada
bagian bawah papan kayu, kaki anjing diikatkan pada papan tersebut. Sebuah kanula
dipasang pada arteri femoralis untuk mengukur tekanan darah dan merekam jantung.
Sebuah pneumograf ditempelkan pada epigastrium untuk merekam gerakan pernapasan.
Anjing kemudian diturunkan ke dalam kolam yang berisi air. Kepala anjing dibiarkan 30
sentimeter di bawah permukaan air dan tidak ada sesuatu yang dapat menyebabkan anjing
itu mencapai permukaan.
Dari hasil percobaan tersebut, Brovardel membagi prosesnya menjadi 5 tahap
sebagai berikut (Giertsen, 1988 dalam Wibowo, 2010).
a. Tahap permulaan tenggelam.
Pada tahap ini terjadi keterkejutan akibat badan bersentuhan dengan air, berlangsung
5–10 detik. Tubuh menjadi hiperaktif dan berusaha menyelamatkan diri, dalam hal ini
tidak terjadi penghentian napas akan tetapi menarik napas, keadaan ini akan
berlangsung berulang-ulang. Keadaan seperti ini terjadi seperti pada orang yang
masuk ke air dingin sehingga terjadi hiperventilasi. Hiperventilasi ini merupakan
reflek yang timbul oleh karena adanya iritasi pada reseptor dingin di kulit. Keadaan
hiperventilasi kadang-kadang tidak dapat dikendalikan dan menyebabkan inhalasi air
ke dalam saluran pernapasan.
b. Tahap kegagalan pernapasan pertama/ apnoe.
Tahap ini berlangsung kurang lebih satu menit. Anjing meronta dan mencoba
melepaskan ikatannya dan akhirnya mencoba mencapai permukaan. Mulut tertutup
dan terjadi kegagalan pernapasan. Hal ini terjadi karena saraf laring-faring terangsang
oleh air. Keadaan ini tidak akan berlangsung lama karena kandungan oksigen yang
menurun dan karbon dioksida yang naik sehingga akan masuk fase berikutnya.
c. Tahap pernapasan dalam/ dyspnoe.
Berlangsung satu menit. Pada tahap ini terjadi respirasi dalam sehingga terjadi
inspirasi, mengeluarkan buih putih sebagai akibat hipersekresi lendir yang bercampur
air yang masuk saluran pernapasan. Selama gerakan terhenti, mulut dan mata terbuka,
beberapa gerakan menelan dan menghirup dapat diamati sehingga air masuk terus-
menerus.
d. Tahap kegagalan pernapasan kedua/ apnoe.
Tahap ini berlangsung sekitar satu menit. Pada tahap ini tidak ada gerakan dada.
Sensibilitas anjing menghilang yang ditunjukkan dengan tidak adanya reflek kornea
dan dilatasi pupil. Kadang pada tahap ini terjadi kejang akibat hipoksia.
e. Tahap pernapasan penghabisan/ terminal stage.
Berlangsung 30 detik. Terlihat tiga atau empat kali gerakan pernapasan yang halus
dan kecil terlihat sebagai tanda luar kehidupan sebelum akhirnya terhenti sama sekali.
Pada keadaan ini masih dijumpai fibrilasi otot leher dan rahang.
Seluruh proses mati tenggelam anjing pada air tawar membutuhkan waktu tiga
sampai empat menit. Pada kasus tenggelam yang terjadi pada manusia mungkin
menunjukkan gambaran yang sama seperti pada anjing yang dimodifikasi dengan satu
atau lebih muncul ke atas permukaan air (Giertsen, 1988 dalam Wibowo, 2010).
Mekanisme kematian pada tenggelam pada umumnya adalah asfiksia, mekanisme
kematian yang dapat juga terjadi pada tenggelam adalah karena inhibisi vagal dan
spasme laring. Adanya mekanisme kematian yang berbeda-beda pada tenggelam, akan
memberi warna pada pemeriksaan mayat dan pemeriksaan laboratorium. Dengan kata
lain kelainan yang didapatkan pada kasus tenggelam tergantung dari mekanisme
kematiannya.
Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak pada korban tenggelam baik di
air laut maupun di air tawar, terutama karena adanya obstruksi pada saluran pernapasan
yang disebut asfiksia mekanik. Definisi asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan
dimana terjadi gangguan dalam pertukaran udara pernapasan yang normal. Gangguan
tersebut dapat disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernapasan, dan
gangguan yang diakibatkan karena terhentinya sirkulasi. Kedua gangguan tersebut akan
menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai
dengan peningkatan kadar karbondioksida (Idries, 1997 dalam Wibowo, 2010).
Inhibisi vagal pada umumnya merupakan penyebab dari kematian yang segera
(immediate death), hal mana dikaitkan dengan terminologi “sudden cardiac arrest”.
Mekanisme kematian pada inhibisi vagal dapat dijelaskan melalui mekanisme berikut:
a. Inhibisi vagal sering diikuti oleh fibrilasi ventrikel.
b. Secara eksperimental pada binatang yang dibuat berada dalam keadaan “obstructive
asphyxia” setelah beberapa menit akan diikuti dengan berkurangnya detak jantung
kemudian beberapa saat terjadi takikardi sampai terjadi kematian (Idries, 1997
dalam Wibowo, 2010).

C. Patofisiologi Kematian Akibat Tenggelam


Setelah air terinhalasi dan menempati alveoli, terjadilah pertukaran tekanan
osmotik. Permeabilitas membran alveoli dan tekanan hidrostatik dan osmotik berperan
penting pada arah pergerakan air. Mekanisme pertukaran ini berbeda tergantung air yang
terinhalasi, air laut atau air tawar (Mant, 1984 dalam Wibowo, 2010).
1. Tenggelam di air tawar
Air tawar lebih hipotonis bila dibandingkan dengan darah (Giertsen, 1988
dalam Wibowo, 2010). Pada tenggelam di air tawar, plasma darah mengalami
hipertonik, sedangkan pada air tawar adalah hipotonik. Aspirasi air tawar akan cepat
diabsorbsi dari alveoli sehingga menarik cairan dari alveoli ke kapiler paru yang
menyebabkan hipervolemia intravaskular, dilusi elektrolit serum, serta terjadi
hemodilusi yang hebat sampai 72 persen yang berakibat terjadinya hemolisis, juga
terjadi anoksia yang hebat pada miokardium. Hemodilusi menyebabkan cairan dalam
pembuluh darah atau sirkulasi menjadi berlebihan, terjadi penurunan tekanan sistolik,
dan dalam waktu beberapa menit terjadi fibrilasi ventrikel. Jantung untuk beberapa
saat masih berdenyut dengan lemah, terjadi anoksia serebri yang hebat, hal ini
menerangkan mengapa kematian terjadi dengan cepat (Idries, 1997 dalam Wibowo,
2010).
2. Tenggelam di air laut
Pada tenggelam di air laut, air laut yang bersifat lebih hipertonik dibanding
darah akan menarik cairan plasma dari kapiler paru ke alveoli (Moritz, 1975 dalam
Wibowo, 2010). Tenggelam dalam air laut, terjadi hemokonsentrasi, cairan dari
sirkulasi dapat tertarik keluar sampai sekitar 42 persen, dan masuk ke dalam jaringan
paru-paru, sehingga terjadi edema pulmonum yang hebat dalam waktu yang relatif
singkat (Idries, 1997 dalam Wibowo, 2010). Fibrilasi ventrikel tidak terjadi,
terjadinya anoksia pada miokardium dan disertai peningkatan viskositas darah akan
menyebabkan terjadinya payah jantung. Tidak terjadi hemolisis, melainkan
hemokonsentrasi. Tekanan sistolik akan menetap dalam beberapa menit.

Asfiksia, ditunjukkan dengan adanya sebagai berikut.


a) Petechiae
Terlihat sebagai bintik-bintik perdarahan pada kelopak mata sebelah dalam dan
jaringan ikat longgar lainnya sebagai akibat kongesti. Terlihat dalam jumlah yang
sedikit, hal ini karena kematiannya tidak mendadak maka pecahnya kapiler tidak
secara mendadak. Kadang-kadang dijumpai ekimosis (Simpson, 1982).

b) Schaumfilzfroth/ busa
Dijumpai adanya busa halus, lengket berwarna putih kadang merah jambu sampai
merah muda yang menyerupai balon atau jamur di sekitar mulut dan hidung, bila
tubuh korban dimiringkan atau dipijat bagian dada atau perut akan keluar lebih
banyak dan kadang-kadang disertai benda asing. Terbentuknya busa karena pada
waktu air masuk trakea, bronkus, dan alveoli akan tercampur sekret akibat
hipersekresi kelenjar yang akhirnya terbentuk busa dan terdorong keluar
(Simpson, 1982).
c) Sianosis pada muka, mukosa, dan ujung-ujung jari
Terjadi akibat anoksia dan hipoksia.
d) Bercak Paltauf
Terjadi karena robeknya partisi inter alveolar, dan sering terlihat di bawah pleura
(Idries, 1997).
e) Kongesti pada organ-organ
Akibat kontak dengan air
a) Basah
Bila korban baru saja diangkat dari air, maka pakaian, rambut, badan akan tampak
lembab dan basah (Simpson, 1982).
b) Cutis anserina/ goose skin
Sebagai salah satu bentuk reaksi intravital. Tubuh yang kedinginan menyebabkan
musculus errector pillorum berkontraksi dan pori-pori kulit tampak lebih jelas.
Banyak dijumpai di daerah lengan dan bahu (Simpson, 1982). Cutis anserina
tidak mempunyai nilai sebagai kriteria diagnostic (Idries, 1997).
c) Washer women’s hand and feed
Ujung-ujung jari tampak berkeriput (Simpson, 1982).
d) Maserasi
Setelah mayat beberapa hari dalam air akan terdapat perubahan-perubahan yaitu
terjadi pemutihan, maserasi, pembengkakan, pengerutan kulit telapak tangan dan
kaki, tampak nyata pada ± 24–48 jam. Terakhir sebagai hasil dekomposisi bakteri,
epidermis terpisah dari dermis terjadi dua hari pertama setelah tenggelam pada
musim panas dan beberapa minggu pada musim dingin. Lama-lama karena
pembusukan terjadi pembentukan gas sehingga mayat mengapung
(Ahmadsumadi, 1972).

Akibat usaha penyelamatan diri


a) Cadaveric spasme
Timbul sebagai reaksi intravital. Pada saat awal-awal tenggelam korban berusaha
meraih dan memegang benda-benda yang ada di dekatnya sehingga posisi jari
tangan pada saat mati akan tampak mengepal dan kadang dijumpai benda-benda
yang dapat diraihnya (Simpson, 1982).
b) Adanya luka-luka
Luka-luka pada daerah wajah, tangan, dan tungkai bagian depan dapat terjadi
akibat persentuhan korban dengan dasar sungai atau terkena benda-benda yang di
sekitarnya. Luka-luka tersebut seringkali mengeluarkan darah sehingga tidak
jarang memberi kesan korban dianiaya sebelum ditenggelamkan (Idries, 1997).
c) Kaku jenazah yang timbul lebih awal
Rigor mortis timbul lebih awal terutama pada persendian bahu, lengan, panggul,
dan paha. Terutama jika tenggelam dalam air dingin (Ahmadsumadi, 1972).

Masuknya cairan dan benda-benda asing pada tubuh korban (Simpson, 1982)
a) Bercak jenazah yang terang
Bercak jenazah berwarna merah terang akibat hemodilusi. Terjadi pengenceran
darah sehingga warnanya akan bergeser pada warna yang lebih muda.
b) Tubuh tampak membesar dan perut mengembang
Keadaan ini tidak selalu dijumpai pada setiap kasus.
c) Perdarahan telinga tengah dan hidung
Berasal dari pecahnya kapiler akibat hipervolemi pada pembuluh darah akibat
perbedaan tekanan telinga tengah dan air.
d) Jantung membesar dan tegang
Akibat ruang jantung terisi penuh oleh cairan darah.
e) Hemodilusi dan hemokonsentrasi darah pada jantung
Bila korban tenggelam di air tawar maka darah pada jantung rongga kiri akan
lebih encer dari yang sebelah kanan, sebaliknya bila korban tenggelam di air laut
maka rongga jantung kiri akan lebih pekat daripada yang kanan.
f) Balloning of the lung
Paru tampak membesar dan memberat sehingga memenuhi seluruh rongga paru.
Hal ini tampak pada permukaan paru adanya impresi dari costa. Berat paru dapat
mencapai satu kilogram dari berat normal antara 200-300 gram.
g) Krepitasi paru
Pada permukaan paru bila diraba terasa ada krepitasi sebagai akibat alveoli
sebagian terisi oleh air.
h) Emphysema Aquosum/ Emphysema hydroaerique
Bila korban tenggelam di air tawar maka paru akan sembab dan bila ditekan akan
mencekung. Keadaan ini terjadi pada 80 persen dari semua kasus tenggelam.
i) Adanya benda-benda asing dalam saluran napas dan lambung.
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Visum et Repertum

Dilaporkan sebuah kasus pada Departemen Ilmu Kedokteran Foresik dan Medikolegal
Rumah Sakit Umum Deli Serdang, menerangkan bahwa atas permintaan tertulis dari Kepala
Kepolisian Resor Kota Deli Serdang Satuan Lalu Lintas, tertanggal …. Desember 2020
dengan No. Polisi : VER/…./XII/2020/Lantas, yang ditandatangani oleh Penyidik…..,
Pangkat :…….., maka pada tanggal empat belas bulan Desember tahun dua ribu dua puluh,
pukul delapan lewat tiga puluh menit Waktu Indoesia Barat, bertempat di Departemen
Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang, telah dilakukan
pemeriksaan korban yang berdasarkan surat permitaan tersebut diatas dengan identitas
sebagai berikut

Nama : IMAN KHANAFI

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 20 tahun

Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Perumahan Nasional BSP

HASIL PEMERIKSAAN

- Pembungkus jenazah : Dijumpai


- Penutup jenazah : Tidak dijumpai
- Label jenazah : Tidak dijumpai
- Pakaian jenazah : Mamakai pakaian jaket biru malam garis putih ,baju
kaos warna hitam lengan pendek berwarna putih, celana kain Panjang biru malam,
celana dalam hijau,
- Perhiasan jenazah : gelang kayu di tangan sebelah kiri
- Benda disamping jenazah : Tidak dijumpai
- Tanda-tanda kematian
1) Lebam mayat : Dijumpai pada daerah leher, dada bagian
, perut.

2) Kaku mayat : Dijumpai pada persendian seluruh tubuh

3) Pembusukan : Di jumpai pada seluruh tubuh yang berwarna hijau disertai


terkelupasnya kulit bagian luar serta mengeluarrkan aroma tidak sedap.

- Identifikasi umum : Diperiksa sesosok jenazah dikenal, jenis kelamin laki-laki


berkhitan, umur dua puluh tahun, perawakan sedang, warna
kulit sawo matang, panjang badan seratus tujuh puluh
sentimeter, rambut lurus pendek warna hitam.
- Identifikasi khusus : Tidak dijumpai

PEMERIKSAAN LUAR

Kepala : Panjang rambut sepuluh sentimeter, di temukan keluar darah pada hidung,
telinga ,dan mulut serta berbusa lebam mayat di temukan, kedua mata menonjol
keluar.
Dahi : tidak dijumpai
Mata : Di temukan kedua mata menonjol keluar

Hidung : Dijumpsi keluar darah pada hidung

Telinga : Dijumpai keluar cairan darah pada kedua telinga

Pipi : Tidak dijumpai

Rahang : Tidak dijumpai

Mulut : Dijumpai keluar cairan darah pada mulut serta berbusa

Gigi : Gigi berjumlah tiga puluh dua gigi geligi (lengkap)

Leher : Dijumpai lebam mayat dan kaku mayat

Bahu : Tidak dijumpai

Dada : Dijumpai lebam mayat pada


dada bagian depan

Perut : Tidak dijumpai tanda tanda kekerasaan


Punggung : Tidak dijumpai

Pinggang : Tidak dijumpai

Bokong : Tidak dijumpai

Alat kelamin : Jenis kelamin laki-laki berkhitan.di jumpai pembesaran pada alat kelamin
Tidak dijumpai tanda-tanda kekerasan

Anus : Tidak dijumpai tanda-tanda kekerasan

Anggota gerak atas

- Kanan : Di jumpai memutihnya dan mengeriput pada bagian telapak tangan kanan

- Kiri : Di jumpai memutihnya dan


mengeriput pada bagian telapak tangan kiri

Anggota gerak bawah

- Kanan : Di jumpai memutihnya dan mengeriput pada bagian telapak kaki kanan
- Kiri : Di jumpai memutihnya dan mengeriput pada bagian telapak kaki kiri
PEMERIKSAAN DALAM

Tidak dilakukan sesuai dengan permintaan : No Polisi……… yang ditandatangani


oleh Penyidik……, Pangkat
BAB IV

PEMBAHASAN

 Dari pemeriksaan jenazah ditemukan keluarnya darah pada hidung dan telinga serta
mata menonjol keluar, dan tanda-tanda pembusukan dijumpai.

 Pada pemeriksaan luar dijumpai seluruh tubuh di temukan pembengkakan , kaku


seluruh tubuh , berwarna hijau, kulit bagian luar terkelupas serta mengeluarkan aroma
tidak sedap.

 Dijumpai lebam mayat pada padda bagian leher dan dada bagian depan untuk kaku
mayat dijumpai

 Dijumpai pada telapak tangan dan kaki memutih dan mengeriput

 Dijumpai akat kelamin membesar


BAB V

KESIMPULAN

Telah diperiksa sesosok jenazah dikenal, jenis kelamin laki-laki berkhitan, umur 20
tahun, warna kulit sawo matang, panjang badan 170 cm, perawakan sedang, rambut hitam
lurus dan tidak mudah dicabut, pada pemeriksaan luar dijumpai tanda-tanda pembusukan
pada seluruh tubuh dan kulit bagian luar tekelupas dan kaku mayat ditemukan serta
mengeluarkan aroma tidak sedap,
Berdasarkan hasil pemeriksaan, maka diambil kesimpulan bahwa perkiraan waktu
meninggal korban adalah lebih dari 48 jam dan penyebab kematian korban tenggelam yang
menyebab kan gangguan paru yang di sertai hilangnya fungsi pernapasan oleh karena bagian
jalan napas maupun jalan fungsional (bronkus respiratorius dan alveolus) terisi air.
DAFTAR PUSTAKA

Anasari, N.M., 2020. Pengaruh pelatihan resusitasi jantung paru (RJP) terhadap keterampilan
RJP menggunakan I-Carrer Cardiac Ressucitation manekin pada pelaku wisata dalam
menangani kasus tenggelam (doctoral Dessertation, Poltekes Denpasar jurusan keperawatan)

Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, Mun’in A, Sidhi, dkk. 2001. Ilmu


kedokteran forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Ed. 1

1. 4. World Health Organization. Drowning. Fact sheet No347; Okt 2015 [diakses
Desember 2020]; Diunduh dari http://www.who.int/mediacentre/ factsheets/fs347en/

4.

5. 5. Wulur RA, Mallo JF, Tomuka DC. 2013. Gambaran temuan autopsi kasus tenggelam di
BLU RSU Prof DR R D Kandou Manado periode Januari 2007-Desember 2011. Bagian Ilmu
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Sam Ratulangi Manado

Wibowo G.C, 2010. Perbedaan berat paru pada tikus putih (Rattus Norvegicus) yang mati
tenggelam di air laut dengan di air tawar

Putra, A.A.G.A., Kematian akhibat tenggelam : Laporan Kasus (FK Universitas Udayana,
Denpasar-Bali)

Anda mungkin juga menyukai