Anda di halaman 1dari 35

PENGERTIAN TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA

KEKERINGAN YANG TERJADI DI INDONESIA

Dosen Pembimbing

Elfi Quyumi, S. Kep, Ns, M.Kep

Disusun Oleh :

Diah Mustikawati

Lilik Faizzataullalliyah

Rendy Sapta Yudha

Sri Nawang Ganiswarai Dewi

AKADEMI KEPERAWATAN DHARMA HUSADA KEDIRI

TAHUN AKADEMIK 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah


melimpahkan Rahmat, Taufik serta Hidayahnya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah Riset Keperawatan dengan judul ″ PENGERTIAN
TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA KEKERINGAN YANG
TERJADI DI INDONESIA ″dengan tepat waktu.

Saya menyampaikan terimakasih kepada Ibu Elfi Quyumi, S. Kep, Ns, M.Kep
yang telah memberikan tugas ini kepada saya. Saya juga menyampaikan
terimakasih kepada teman-teman yang telah membantu dalam pengerjaan makalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi
seluruh pembaca.

Saya juga meminta maaf kepada pembaca, bahwa dalam penyusunan


makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu saya berharap kepada
pembaca untuk memberikan kritik dan saran kepada saya.

Kediri,

Penulis

2
DAFTAR ISI

Contents
BAB I.......................................................................................................................4
Latar Belakang...................................................................................................4
BAB II.....................................................................................................................6
Defenisi Kekeringan...........................................................................................6
Jenis-Jenis Kekeringan......................................................................................8
2.3 Tanda-Tanda Umum Kekeringan............................................................10
Faktor-Faktor Terjadinya Kekeringan..........................................................10
Dampak Kekeringan........................................................................................13
BAB III..................................................................................................................23
PEMBAHASAN................................................................................................23
A. Pembangunan Embung...............................................................................26
B. Tandon penampungan air hujan................................................................27
C. Sumur Resapan............................................................................................27
BAB IV..................................................................................................................31
PENUTUP.........................................................................................................31
Simpulan............................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................32

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik


besar, yaitu lempeng Indo- Australia, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik.
Hal ini mengakibatkan Indonesia masuk ke dalam jalur Ring of Fire atau
Cincin Api Pasifik Dunia, yaitu daerah yang sering mengalami gempa bumi
dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik.
Kondisi seperti ini menyebabkan Indonesia memiliki potensi bencana yang
besar. Hampir setiap tahun di berbagai daerah di Indonesia terancam bencana,
baik itu gempa, tsunami, letusan gunung, banjir, tanah longsor, kebakaran,
dan sebagainya. Data United Nations International Strategy for Disaster
Reduction (UNISDR) menyebutkan, dalam paparan terhadap penduduk atau
jumlah manusia yang ada di daerah yang mungkin kehilangan nyawa karena
bencana, risiko bencana yang dihadapi Indonesia sangatlah tinggi (Nahar,
2016).
Kekeringan merupakan fenomena yang sering terjadi dan
menimbulkan bencana di berbagai daerah di Indonesia. Kekeringan
berhubungan dengan keseimbangan antara kebutuhan dan pasokan air untuk
berbagai keperluan. Dampak kekeringan terjadi pada berbagai sektor terutama
pertanian, perkebunan, kehutanan, sumberdaya air, dan lingkungan. Sejarah
beberapa kekeringan yang sangat ekstrim pernah terjadi pada saat bersamaan
dengan fenomena anomaly suhu permukaan laut di Pasifik tropis yang
dikenal dengan El Nino – Southern Oscillation (ENSO) pada tahun
1982/1983, 1986/1987, 1991/1992, 1997/1998, 2002/2003, dan 2009/2010
(Adiningsih, 2014).
Ancaman kekeringan semakin meningkat seiring dengan perubahan
ilkim global, meningkatnya degradasi lingkungan, bertambahnya jumlah
penduduk, dan makin terbatasnya ketersediaan air. Konflik perebutan
penggunaan air makin meningkat di masa mendatang, baik untuk air minum,
kebutuhan domestik, pertanian, industri dan sebagainya merupakan masalah

4
yang sangat penting. Secara global, satu dari empat orang di dunia
kekurangan air minum dan satu dari tiga orang tidak mendapat sarana sanitasi
yang layak (Maarif, 2013).
Apabila kekeringan yang panjang terjadi di Indonesia, maka musibah
tersebut akan berpengaruh langsung terhadap pemenuhan kebutuhan pangan.
Kekeringan dapat menyebabkan terjadinya kematian akibat kelaparan, baik
dalam proporsi yang kritis maupun dalam jangka waktu yang singkat karena
kondisi tersebut dapat menciptakan bencana kelaparan. Gejala kelaparan
massal akibat faktor alam tersebut dapat berlanjut terus di kemudian hari
(Widodo, 2016).
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat di simpulkan rumusan
masalah berikut dalam penyusunan makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan kekeringan?
2. Apa saja tanda-tanda kekeringan?
3. Apa saja faktor penyebab kekeringan?
4. Bagaimana dampak kekeringan baik fisik maupun non fisik?
5. Bagaimana usaha untuk mitigasi dan untuk menangani bencana kekeringan
baik pra bencana saat bencana dan pasca bencana?
6. Apa Peran perawat pada saat bencana?
1.2 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat disimpulkan tujuan dalam
penyususnan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kekeringan.
2. Untuk mengetahui tanda-tanda terjadinya kekeringan.
3. Untuk mengetahui faktor penyebab kekeringan.
4. Untuk mengetahui dampak kekeringan baik fisik maupun non fisik.
5. Untuk mengetahui usaha mitigasi untuk menangani bencana kekeringan
baik pra bencana, saat terjadi bencana, dan pasca bencana

5
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Defenisi Kekeringan

Kekeringan sulit untuk dapat didefinisikan secara tepat, secara umum


kekeringan merupakan suatu kondisi dimana terjadi kekurangan air untuk
memenuhi kebutuhan (Bayong, 2004). Adapun definisi lain kekeringan
merupakan suatu fenomena yang normal, biasanya terjadi secara berulang sesuai
dengan iklimnya. Mendefinisikan kekeringan merupakan hal yang sulit karena
sangat bergantung pada perbedaan wilayah, kebutuhan, sudut pandang disiplin
ilmu. Secara garis besar, kekeringan terjadi akibat kurangnya curah hujan yang
turun selama beberapa kurun waktu tertentu dan mengakibatkan kekurangan air
untuk beberapa kegiatan, kelompok, di beberapa wilayah (The National Drought
Mitigation Center, 2014).
Kekeringan merupakan salah satu masalah serius yang sering muncul
ketika musim kemarau tiba. Banyak tempat di Indonesia mengalami masalah
kekurangan air atau defisit air atau kekeringan. Dari perspektif kebencanaan
kekeringan didefinisikan sebagai kekurangan curah hujan dalam periode waktu
tertentu (umum-nya dalam satu musim atau lebih) yang menyebabkan kekurangan
air untuk berbagai kebutuhan (UN-ISDR, 2009). Kekurangan air tersebut
berpengaruh terhadap besarnya aliran permukaan pada suatu DAS. Pada
umumnya bencana kekeringan tidak dapat diketahui mulainya, namun dapat
dikatakan bahwa kekeringan terjadi saat air yang ada sudah tidak lagi mencukupi
untuk kebutuhan sehari-hari.
Kerusakan lahan dan dampak kerugian yang diakibatkan oleh kejadian
kekeringan sangat luas dan nilai ekonomi kerugian cukup besar. Secara umum
kejadian kekeringan dapat ditinjau dari aspek: hidro- meteorologi, pertanian, dan
hidrologi (Wilhite, 2010). Dari aspek hidro- meteorologi kekeringan timbul dan
disebabkan oleh berkurangnya curah hujan selama periode tertentu. Dari aspek
pertanian dinyatakan kekeringan jika lengas tanah berkurang sehingga tanaman

6
kekurangan air. Lengas tanah (soil moisture) merupakan parameter yang
menentukan potensi produksi tanaman. Ketersediaan lengas tanah juga erat
kaitannya dengan tingkat kesuburan tanah. Secara hidrologi kekeringan ditandai
dengan berkurang-nya air pada sungai, waduk dan danau (Nalbantis et al., 2008).
Kekeringan berkaitan dengan kondisi rata-rata jangka panjang
kesetimbangan antara presipitasi dan evapotranspirasi (yaitu
evaporasi+transpirasi) di daerah tertentu pada kondisi yang sering dianggap
“normal”.Kekeringan juga berkaitan dengan waktu (adanya penundaan pada awal
musim penghujan, sehingga periode musim kemarau lebih panjang) dan tingkat
keefektifitasan hujan (yaitu intensitas curah hujan, jumlah kejadian hujan).Faktor
iklim lainnya seperti temperatur yang tinggi, angin kencang dan kelembapan
relatif yang rendah sering dikaitkan sebagai faktor-faktor yang memperparah
kekeringan di banyak daerah di dunia. Fenomena IOD (Indian Ocean Dipole) dan
El Nino mempunyai dampak terhadap curah hujan di Indonesia (Bayong, 2008).
Fenomena IOD disebabkan oleh interaksi atmosfer – laut di Samudera Hindia
Ekuatorial, dimana terjadi perbedaan beda temperatur permukaan laut antara
Samudera Hindia tropis bagian barat atau pantai Afrika Timur dan Samudera
Hindia Tropis bagian timur atau Pantai Barat Sumatera (Yamagata et al., 2000).

Periode kekeringan di Indonesia sendiri dipengaruhi oleh peristiwa El


Nino di Samudera Pasifik ekuator dan pantai barat Amerika Selatan El Nino
mempengaruhi aktivitas curah hujan terutama di bagian timur dari pada bagian
barat Kontinen Maritim Indonesia (Bayong, 2002). El Nino menyebabkan variasi
iklim tahunan.Ketika tahun El Nino, sirkulasi zonal di atas Indonesia divergen,
sehingga terjadi subsidensi udara atas. Divergensi massa udara mengakibatkan
penyimpangan awan-awan yang terbentuk bergeser ke Pasifik tengah dan timur
(Bayong, 2003). Fenomena El Nino dapat menimbulkan bencana kekeringan,
banjir, dan bencana lain yang dapat mengacaukan dan merusak pertanian,
perikanan, lingkungan, kesehatan, kebutuhan energy, kualitas udara dan
sebagainya (Bayong, 2008).

Dampak dari kekeringan muncul sebagai akibat dari kurangnya air, atau
perbedaan antara permintaan dan persediaan air. Kekeringan paling sering

7
dihubungkan dengan curah hujan yang rendah atau iklim semi kering, sementara
kekeringan juga terjadi pada daerah-daerah dengan jumlah curah hujan yang
biasanya besar. Manusia cenderung mematok aktivitas-aktivitas mereka di sekitar
keadaan kelembaban yang sudah biasa. Dengan demikian, setelah bertahun-tahun
hidup dengan curah hujan di atas rata-rata, manusia bisa menganggap tahun
pertama sewaktu curah hujan rata-rata kering terjadi kekeringan. Lebih jauh
lagi,tingkat curah hujan yang bisa memenuhi kebutuhan seorang peladang
mungkin merupakan kekeringan yang serius bagi seorang petani yang menanam
jagung. Untuk mendefinisikan kekeringan di suatu daerah, perlu dipahami dengan
baik karakteristik meteorologi dan juga persepsi manusia tentang kondisi-kondisi
kekeringan.

Jenis-Jenis Kekeringan
Kekeringan hampir terjadi dimanapun, walaupun kejadiannya
bervariasi dari wilayah yang satu dengan wilayah lainnya. Kekeringan dibagi
menjadi beberapa jenis, yaitu:
a. Kekeringan Meteorologis (Meteorological Drought)

Kekeringan ini berkaitan dengan besaran curah hujan yang terjadi


berada dibawah kondisi normalnya pada suatu musim.Perhitungan tingkat
kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama terjadinya kondisi
kekeringan. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi meteorologis adalah sebagai
berikut;

1. Kering : apabila curah hujan antara 70% -85% dari kondisi normal
(curah hujan dibawah normal)
2. Sangat kering : apabila curah hujan antara 50% - 70% dari kondisi
normal (curah hujan jauh dibawah normal)
3. Amat sangat kering : apabila curah hujan < 50% dari kondisi
normal (curah hujan amat jauh dibawah normal) Menurut (The National
Drought Mitigation Center, 2014), Meteorological drought di definisikan
berdasarkan tingkat kekeringan (perbandingan antara jumlah “normal”
atau rata-rata) dengan lamanya masa kering.

8
Definisi Meteorological Drought harus dianggap sebagai wilayah
khusus karena kondisi atmosfer yang mengakibatkan kekurangan curah
hujan sangat bervariasi dari wilayah satu dengan wilayah lainnya.
Beberapa contoh dari meteorological drought mengidentifikasi
kekeringan berdasarkan jumlah hari dengan curah hujan kurang dari
threshold yang telah ditetapkan. Langkah ini hanya cocok untuk ambang
pintu daerah yang karakteristik dengan curah hujan yang turun sepanjang
tahun seperti wilayah hutan hujan tropis, beriklim lembab subtropics,
atau beriklim lembab di lintang menengah.
b. Kekeringan Pertanian

Kekeringan di bidang pertanian adalah kekeringan yang terjadi di


lahan pertanian yang ada tanaman (padi, jagung, kedelai, dan lain-lain)
yang sedang dibudidayakan. Kekeringan pertanian adalah suatu periode
dimana terjadi penurunan kelembaban tanah yang menyebabkan kegagalan
tanaman tanpa memperhitungkan sumberdaya air permukaan (Surmaini,
2016).

Menurut (The National Drought Mitigation Center, 2014)


kekeringan pertanian atau Agricultural Drought berhubungan erat dengan
karakteristik kekeringan meteorologi (Meteorological Drought) maupun
kekeringan hidrologi (Hydrological Drought) yang berpengaruh pada
pertanian dengan fokus pada kekurangan curah hujan, perbedaan antara
evapotranspirasi potensial dan aktual, deficit air tanah, berkurangnya air
tanah atau tingkat reservoir, dsb. Kebutuhan air untuk tanaman bergantung
pada kondisi cuaca, karakteristik biologis dari tanaman tertentu, tahap
pertumbuhan, dan sifat-sifat fisis dan biologis tanah. Definisi yang baik
mengenai agricultural drought harus dapat menjelaskan variabel
kerentanan tanaman selama tahap-tahap pertumbuhan tanaman sejak awal
masa pertumbuhan.

c. Kekeringan Hidrologis

9
Menurut BNPB pada tahun 2014, kekeringan ini terjadi
berhubungan dengan berkurangnya pasokan air permukaan dan air
tanah.Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka air sungai,
waduk, danau dan air tanah. Ada jarak waktu antara berkurangnya curah
hujan dengan berkurangnya ketinggian muka air sungai, danau dan air
tanah, sehingga kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awaln
terjadinya kekeringan. Intensitas kekeringan berdasarkan definisi
hidrologis adalah sebagai berikut:

1) Kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran


dibawah periode 5 tahunan.
2) Sangat Kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran
jauh dibawah periode 25 tahunan.
3) Amat Sangat Kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang
aliran amat jauh dibawah periode 50 tahunan.

2.3 Tanda-Tanda Umum Kekeringan


Gejala terjadinya kekeringan adalah sebagai berikut:

1) Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan dibawah


normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan Meteorologis
merupakan indikasi pertama adanya bencana kekeringan.

2) Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadinya kekurangan pasokan air


permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi
muka air sungai, waduk, danau dan air tanah. Kekeringan Hidrologis
bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan.

3) Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas


tanah (kandungan air di dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah
yang luas yang menyebabkan tanaman menjadi kering dan mengering.

Faktor-Faktor Terjadinya Kekeringan


Faktor-faktor penyebab terjadinya bencana kekeringan:

10
1) Lapisan tanah tipis

Dengan lapisan tanah yang tipis, air hujan yang terkandung


dalam tanah tidak akan bertahan lama. Hal ini dapat terjadi karena air
akan lebih cepat mengalami penguapan oleh panas matahari. Biasanya
bencana kekeringan sering terjadi di daerah pegunungan kars, karena
di daerah ini memiliki lapisan tanah atas yang tipis.

2) Air tanah dalam

Air hujan yang jatuh pada saat musim penghujan, akan


meresap jauh ke dalam lapisan bawah tanah mengingat selain hanya
mampu menyimpan air dengan intensitas yang terbatas, tanah juga
tidak mampu menyimpan air dengan jangka waktu yang lebih
lama.Hal ini menyebabkan aliran-aliran air di bawah tanah (sungai
bawah tanah) yang dalam, sehingga tanaman tidak mampu menyerap
air  pada saat musim kemarau, karena akar yang dimiliki tidak mampu
menjangkaunya. Air tanah yang dalam menyebabkan sumber-sumber
mata air mengalami kekeringan di musim kemarau, karena air yang
terdapat jauh di bawah lapisan tanah tidak mampu naik, sehingga
kalaupun ada sumber mata air yang tidak mengalami kekeringan pada
musim kemarau, itu jumlahnya terbatas.

3) Tekstur tanah kasar

Tekstur tanah yang kasar, tidak mampu menyimpan air dengan


jangka waktu yang lama. Karena air hujan yang turun akan langsung
mengalir ke dalam, karena tanah tidak mampu menahan laju air. Di
lain sisi, air yang terkandung dalam tanah yang memiliki tekstur yang
kasar akan mengalami penguapan relatif lebih cepat, karena rongga-
rongga tanah jelas lebih lebar dan sangat mendukung terjadinya proses
penguapan.

4) Iklim

11
Dalam hal ini iklim berkaitan langsung dengan bencana
kekeringan. Keadaan alam yang tidak menentu akan berpengaruh
terhadap kondisi iklim yang terjadi. Sehingga mengakibatkan
perubahan musim. Misalnya: Akibat perubahan
kondisi iklim, menyebabkan musim kemarau berjalan lebih lama
daripada musim penghujan, dengan musim kemarau yang lebih lama
tentunya akan memungkinkan terjadinya bencana kekeringan. Karena
kebutuhan air kurang terpenuhi di musim kemarau.

5) Vegetasi

Vegetasi juga mempunyai andil terhadap terjadinya


kekeringan .Jenis vegetasi tertentu seperti ketela pohon yang
menyerap air tanah dengan intensitas yang lebih banyak,daripada
tanaman lain, tentunya akan sangat menguras kandungan air dalam
tanah. Dan lebih parahnya, penanaman ketela pohon banyak terjadi di
daerah pegunungan karst yang rawan akan bencana
kekeringan. Vegetasi lain yang dapat memicu kekeringan adalah
tanaman bambu. Bambu memiliki struktur yang sangat rumit, dan
menutupi permukaan tanah (lapisan tanah atas) di sekitar bambu itu
tumbuh. Sehingga kemungkinan tanaman lain untuk tumbuh sangat
kecil. Dengan demikian tanaman yang seharusnya berfungsi untuk
menyimpan air tidak ada atau terbatas jumlahnya.

6) Topografi

Topografi atau tinggi rendah suatu daerah sangat berpengaruh


terhadap kandungan air tanah yang dimiliki. Biasanya daerah yang
rendah akan memiliki kandungan air tanah yang lebih banyak
daripada di daerah dataran tinggi. Hal ini disebabkan karena air hujan
yang diserap oleh tanah akan mengalir dari tempat yang tinggi ke
tempat yang rendah. Oleh karena itu air akan lebih banyak terserap
oleh tanah di dataran yang lebih rendah. Dengan kata lain.di dataran
tinggi kemungkinan terjadi bencana kekeringan lebih besar daripada

12
di dataran rendah. Karena dataran tinggi tidak mampu menyimpan air
lebih lama.

Dampak Kekeringan
a. Fisik

1) Kerusakan terhadap habitat spesies ikan dan binatang.

2) Erosi-erosi angin dan air terhadap tanah.

3) Kerusakan spesies tanaman.

4) Pengaruh-pengaruh terhadap kualitas air (salinisasi).

5) Pengaruh-pengaruh terhadap kualitas udara (debu, polutan,


berkurangnya daya pandang).

6) Kekeringan juga menjadikan tanah menjadi mengeras dan


retak-retak, sehingga sulit untuk dijadikan lahan pertanian.

7) Keadaan suhu siang hari pada saat kekeringan akibat musim


kemarau menjadikan suhu udara sangat tinggi dan sebaliknya
pada malam hari suhu udara sangat dingin. Perbedaan suhu
udara yang berganti secara cepat antara siang dan malam
menyebabkan terjadinya pelapukan batuan lebih cepat.

b. Non Fisik

1) Ekonomi

a) Kerugian-kerugian produksi tanaman pangan, susu, ternak,


kayu, dan perikanan.

b) Kerugian pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional.

c) Kerugian pendapatan petani dan lain-lain yang terkena secara


langsung.

d) Kerugian-kerugian dari bisnis turisme dan rekreasi.

13
e) Kerugian pembangkit listrik tenaga air dan meningkatkan biaya-
biaya energi.

f) Kerugian-kerugian yang terkait dengan produksi pertanian.

g) Menurunya produksi pangan dan meningkatnya harga-harga


pangan.

h) Pengangguran sebagai akibat menurunnya produksi yang terkait


dengan kekeringan.

i) Kerugian-kerugian pendapatan pemerintah dan meningkatnya


kejenuhan pada lembaga-lembaga keuangan.

2) Sosial Budaya

a. Saat terjadi kekeringan, tanah menjadi kering dan pasir lembut


atau debu mudah terbawa angin. Hal ini menyebabkan debu
ada dimana, sehingga menimbulkan banyak gejala penyakit
yang berhubungan dengan pernafasan. Banyak orang yang
akan sakit flu dan batuk.

b. Pengaruh-pengaruh kekurangan pangan ( kekurangan gizi,


kelaparan).

c. Hilangnya nyawa manusia karena kekurangan pangan atau


kondisi-kondisi yang terkait dengan kekeringan.

d. Konflik di antara penggunan air.

e. Masalah kesehatan karena menurunnya pasokan air.

f. Ketidakadilan dalam distribusi akibat dampak-dampak


kekeringan dan bantuan pemulihan.

g. Menurunnya kondisi-kondisi kehidupan di daerah pedesaan.

h. Meningkatnya kemiskinan, berkurangnya kualitas hidup.

i. Kekacauan sosial, perselisihan sipil.

14
j. Pengangguran meningkat, karena yang tadinya bertani
kehilangan mata  pencaharian.

k. Migrasi penduduk untuk mendapatkan pekerjaan atau bantuan


pemulihan,banyaknya TKI (tenaga kerja indonesia) yang
memilih keluar negeri.

3) Politik

Pemerintah harus bekerja keras untuk membuat kebijakan


penanggulangan bencana kekeringan. Badan khusus
penanggulangan bencana juga harus dibentuk, seperti yang sudah
dibentuk di Indonesia yaitu BNPB (Badan Nasional
Penanggulangan Bencana).

2.1 Mitigasi Dampak Kekeringan

Strategi Mitigasi dan Upaya Pengurangan Bencana

1. Penyusunan peraturan pemerintah tentang pengaturan sistem


pengiriman data iklim dari daerah ke pusat pengolahan data.

2. Penyusunan PERDA untuk menetapkan skala prioritas penggunaan air


dengan memperhatikan historical right dan azas keadilan

3. Pembentukan pokja dan posko kekeringan pada tingkat pusat dan


daerah.

4. Penyediaan anggaran khusus untuk pengembangan/perbaikan jaringan


pengamatan iklim pada daerah-daerah rawan kekeringan.

5. Pengembangan/perbaikan jaringan pengamatan iklim pada daerah-


daerah rawan kekeringan.

Jika lebih dirincikan, tahap mitigasi bencana kekeringan adalah


sebagai berikut:

1. Pra bencana

15
a) Memanfaatkan sumber air yang ada secara lebih efisien dan efektif.

b) Memprioritaskan pemanfaatan sumber air yang masih tersedia


sebagai air baku untuk air bersih.

c) Menanam pohon dan perdu sebanyak-banyaknya pada setiap jengkal


lahan yang ada di lingkungan tinggal kita.

d)  Membuat waduk (embung) disesuaikan dengan keadaan lingkungan.

e) Memperbanyak resapan air dengan tidak menutup semua permukaan


dengan plester semen atau ubin keramik.

f) Kampanye hemat air, gerakan hemat air, perlindungan sumber air

g) Perlindungan sumber-sumber air pengembangannya.

h) Panen dan konservasi air

Panen air merupakan cara pengumpulan atau penampungan


air hujan atau air aliran permukaan pada saat curah hujan tinggi untuk
digunakan pada waktu curah hujan rendah. Panen air harus diikuti
dengan konservasi air, yakni menggunakan air yang sudah dipanen
secara hemat sesuai kebutuhan. Pembuatan rorak merupakan contoh
tindakan panen air aliran permukaan dan sekaligus juga tindakan
konservasi air.

Daerah yang memerlukan panen air adalah daerah yang


mempunyai bulan kering (dengan curah hujan < 100 mm per bulan)
lebih dari empat bulan berturut-turut dan pada musim hujan curah
hujannya sangat tinggi (> 200 mm per bulan). Air yang berlebihan
pada musim hujan ditampung (dipanen) untuk digunakan pada musim
kemarau. Penampungan atau 'panen air' bermanfaat untuk memenuhi
kebutuhan air tanaman, sehingga sebagian lahan masih dapat
berproduksi pada musim kemarau serta mengurangi risiko erosi pada
musim hujan.

16
2. Saat Tanggap Darurat
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat
meliputi:

a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan


sumber daya;

b. penentuan status keadaan darurat bencana;

c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;

d. pemenuhan kebutuhan dasar;

e. perlindungan terhadap kelompok rentan; dan

f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.


3. Pasca bencana
 yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
 Pemulihan (recovery);adalah suatu proses yang dilalui agar kebutuhan
pokok terpenuhi. Proses recovery terdiri dari:
 Rehabilitasi : perbaikan yang dibutuhkan secara langsung yang sifatnya
sementara atau berjangka pendek.
 Rekonstruksi : perbaikan yang sifatnya permanen

1. Rorak

Rorak adalah lubang kecil berukuran panjang/lebar 30-50 cm


dengan kedalaman 30-80 cm, yang digunakan untuk menampung
sebagian air aliran permukaan. Air yang masuk ke dalam rorak akan
tergenang untuk sementara dan secara perlahan akan meresap ke
dalam tanah, sehingga pengisian pori tanah oleh air akan lebih tinggi
dan aliran permukaan dapat dikurangi. Rorak cocok untuk daerah
dengan tanah berkadar liat tinggi-di mana daya serap atau infiltrasinya
rendah—dan curah hujan tinggi pada waktu yang pendek.

2. Saluran buntu

Saluran buntu adalah bentuk lain dari rorak dengan panjang


beberapa meter (sehingga disebut sebagai saluran buntu). Perlu diingat
bahwa dalam pembuatan rorak atau saluran buntu, air tidak boleh

17
tergenang terlalu lama (berhari-hari) karena dapat menyebabkan
terganggunya pernapasan akar tanaman dan berkembangnya berbagai
penyakit pada akar.

3. Lubang penampungan air (catch pit)

Bibit yang baru dipindahkan dari polybag ke kebun,


seharusnya dihindarkan dari kekurangan air. Sistem 'catch pit'
merupakan lubang kecil untuk menampung air, sehingga kelembaban
tanah di dalam lubang dan di sekitar akar tanaman tetap tinggi.
Lubang harus dijaga agar tidak tergenang air selama berhari-hari
karena akan menyebabkan kematian tanaman.

4. Embung

Embung adalah kolam buatan sebagai penampung air hujan


dan aliran permukaan. Embung sebaiknya dibuat pada suatu cekungan
di dalam daerah aliran sungai (DAS) mikro. Selama musim hujan,
embung akan terisi oleh air aliran permukaan dan rembesan air di
dalam lapisan tanah yang berasal dari tampungan mikro di bagian
atas/hulunya. Air yang tertampung dapat digunakan untuk menyiram
tanaman, keperluan rumah tangga, dan minuman ternak selama musim
kemarau.

Embung cocok dibuat pada tanah yang cukup tinggi kadar


liatnya supaya peresapan air tidak terlalu besar. Pada tanah yang
peresapan airnya tinggi, seperti tanah berpasir, air akan banyak hilang
kecuali bila dinding dan dasar embung dilapisi plastik atau aspal. Cara
ini akan memerlukan biaya tinggi.

5. Bendungan Kecil (cek dam)

Cek dam adalah bendungan pada sungai kecil yang hanya


dialiri air selama musim hujan, sedangkan pada musim kemarau
mengalami kekeringan. Aliran air dan sedimen dari sungai kecil
tersebut terkumpul di dalam cekdam, sehingga pada musim hujan

18
permukaan air menjadi lebih tinggi dan memudahkan pengalirannya
ke lahan pertanian di sekitarnya. Pada musim kemarau diharapkan
masih ada genangan air untuk tanaman, air minum ternak, dan
berbagai keperluan lainnya.

6. Panen air hujan dari atap rumah

Air hujan dari atap rumah dapat ditampung di dalam bak atau
tangki untuk dimanfaatkan selama musim kemarau untuk mencuci,
mandi, dan menyiram tanaman. Untuk minum sebaiknya digunakan
air dari mata air karena pada awal musim hujan, air hujan
mengandung debu yang cukup tinggi.

Antisipasi penanggulangan kekeringan dapat dilakukan


melalui dua tahapan strategi yaitu perencanaan jangka pendek dan
perencanaan jangka panjang.

a) Perencanaan jangka pendek (satu tahun musim kering):

1. Penetapan prioritas pemanfaatan air sesuai dengan prakiraan


kekeringan.

2. Penyesuaian rencana tata tanam sesuai dengan prakiraan


kekeringan.

3. Pengaturan operasi dan pemanfaatan air waduk untuk


wilayah sungai yang mempunyai waduk.

4. Perbaikan sarana dan prasarana pengairan.

5. Penyuluhan/sosialisasi kemungkinan terjadinya kekeringan


dan dampaknya.

6. Penyiapan lapangan kerja sementara (padat karya) untuk


meringankan dampak.

7. Persiapan tindak darurat.

19
8. Pembuatan sumur pantek atau sumur bor untuk memperoleh
air.

9. Penyediaan air minum dengan mobil tangki.

10. Penyemaian hujan buatan di daerah tangkapan hujan.

11. Penyediaan pompa air.

b) Perencanaan jangka panjang meliputi antara lain:

1. Pelaksanaan reboisasi atau konservasi untuk meningkatkan


retensi dan tangkapan di hulu.

2. Pembangunan prasarana pengairan (waduk, situ, embung).

3. Pengelolaan retensi alamiah (tempat penampungan air


sementara) di wilayah sungai.

4. Penggunaan air secara hemat.

5. Penciptaan alat sanitasi hemat air.

6. Pembangunan prasarana daur ulang air.

7. Penertiban pengguna air tanpa ijin dan yang tidak taat


aturan.

c) Saat terjadi Bencana

Sasaran penanggulangan kekeringan ditujukan kepada


ketersediaan air dan dampak yang ditimbulkan akibat
kekeringan. Untuk penanggulangan kekurangan air dapat
dilakukan melalui:

Pembuatan sumur pantek atau sumur bor untuk memperoleh air :

(1) Penyediaan air minum dengan mobil tangki.

(2) Penyemaian hujan buatan di daerah tangkapan hujan.

20
(3) Penyediaan pompa air.

(4) Pengaturan pemberian air bagi pertanian secara darurat


(seperti gilir giring).

Untuk penanganan dampak, perlu dilakukan secara


terpadu oleh sektor terkait antara lain dengan upaya:   

a) Dampak Sosial:

(1) Penyelesaian konflik antar pengguna air.

(2) Pengalokasian program padat karya di daerah-daerah yang


mengalami kekeringan.

b) Dampak Ekonomi:

(1) Peningkatan cadangan air melalui pembangunan waduk-


waduk baru, optimalisasi fungsi embung, situ, penghijauan
daerah tangkapan air, penghentian perusakan hutan, dll.

(2) Peningkatan efisiensi penggunaan air melalui gerakan


hemat air, daur ulang pemakaian air.

(3) Mempertahankan produksi pertanian, peternakan,


perikanan, dan kayu/ hutan melalui diversifikasi usaha.

(4) Meningkatkan pendapatan petani, dan perdagangan hasil


pertanian melalui perbaikan sistem pemasaran.

c) Dampak Keamanan:

(1) Mengurangi kriminalitas melalui penciptaan lapangan


pekerjaan.

(2) Mencegah kebakaran dengan meningkatkan kehati-hatian


dalam penggunaan api.

d) Dampak Lingkungan:

21
1) Mengurangi erosi tanah melalui penutupan tanah (land
covering).

2) Mengurangi beban limbah sebelum dibuang kesumber air.

3) Membangun waduk-waduk baru untuk menambah


cadangan air pada musim kemarau.

4) Mempertahankan kualitas udara (debu, asap, dll) melalui


pencegahan pencemaran udara dengan tidak melakukan
kegiatan yang berpotensi menimbulkan kebakaran yang
menimbulkan terjadinya pencemaran udara.

5) Mencegah atau mengurangi kebakaran hutan dengan


pengolahan lahan dengan cara tanpa pembakaran.

d. Pasca Bencana

Kegiatan pemulihan mencakup kegiatan jangka pendek maupun


jangka panjang akibat bencana kekeringan antara lain:

a) Bantuan sarana produksi pertanian.

b) Bantuan modal kerja.

c) Bantuan pangan dan pelayanan medis.

d) Pembangunan prasarana pengairan, seperti waduk, bendung karet,


saluran pembawa, dll.

e) Penggunaan air secara hemat dan berefisiensi tinggi.

f) Penciptaan alat-alat sanitasi yang hemat air.

Kejadian kekeringan mempengaruhi sistem sosial, disamping


sistem fisik dan sistem lingkungan, sehingga manajemen kekeringan
merupakan suatu tanggung jawab sosial, yang pada dasarnya terarah pada
upaya pasokan air dan mengurangi/meminimalkan dampak.

22
Peran Perawat (Sebelum, Sesaat, dan Setelah Bencana)

ICN dan beberapa referensi menjabarkan kompetensi yang dimiliki perawat pada
saat bencana 1) Pencegahan/mitigasi, 2) Kesiapsiagaan, 3) Respon dan 4)

Rehabilitasi/Pemulihan (Alfred et al., 2015).

1. Kompetensi Pencegahan/Mitigasi

Mitigasi digambarkan sebagai landasan manajemen darurat. Mitigasi didefinisikan


merupakan tindakan berkelanjutan yang mengurangi atau menghilangkan risiko
jangka panjang bagi manusia dan harta benda dari bencana alam atau buatan
manusia dan dampaknya, mitigasi terjadi sebelum bencana. Mitigasi meliputi
kegiatan masyarakat untuk mencegah bencana, mengurangi kemungkinan
terjadinya bencana, dan mengurangi kerusakan akibat bencana (Mistric &
Sparling, 2010).

Peran yang dilakukan perawat yaitu pengurangan risiko, pencegahan penyakit dan
promosi kesehatan dan pengembangan dan perencanaan kebijakan. Dalam hal ini
perawat melakukan kolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lain seperti
organisasi masyarakat, pemerintah, dan tokoh masyarakat untuk melakukan
pendidikan dan simulasi bencana dalam skala besar (Alfred et al., 2015). Perawat
juga memiliki peran dalam mempelajari bencana berdasarkan pengalaman
sebelumnya, perlu mencari tau kebijakan bencana regional yang sudah
ada/berlaku (Arrieta et al., 2008).

2. Kompetensi Kesiapsiagaan

Tahap kedua dari manajemen darurat adalah kesiapan. Kesiapan yang dimaksud
mengambil bentuk rencana atau prosedur yang dirancang untuk menyelamatkan
nyawa dan meminimalkan kerusakan ketika terjadi keadaan darurat. Perencanaan,
pelatihan, dan latihan bencana adalah elemen penting dari kesiapsiagaan.
Meskipun dasar kesiapsiagaan adalah merencanakan jenis-jenis kegiatan yang
akan terjadi sebelum, selama, dan segera setelah bencana terjadi (Mistric &
Sparling, 2010).

23
Hal-hal yang dilakukan perawat selama fase ini yaitu mengidentifikasi praktik
etis, praktik hukum, dan akuntabilitas, kemampuan komunikasi dan berbagi
informasi, serta memperisapkan rencana untuk penanganan bencana dilapangan
(Alfred et al., 2015). Perawat dapat mengenali tugas dan fungsinya selama
merespon masa bencana serta risiko terhadap diri dan keluarga. Perawat juga
berperan dalam melakukan komunikasi komando terhadap perawat yang lain.
Perawat utama ditunjuk berdasarkan pengalaman dan kemampuan berfikir kritis.
Perawat utama memberikan instruksi penentuan lokasi evakuasi dan pertolongan
sedangkan perawat pelaksana lapangan memberikan informasi terkait kondisi dan
situasi di lapangan. Perawat harus berkerja dalam tim menentukan kebutuhan
dalam melakukan pertolongan pertama (kesiapan tim, alat-alat medis). Perawat
dituntut mampu menyiapkan diri dalam menghadapi situasi bencana. Terlepas dari
kondisi psikologis yang dialami perawat selama bencana, perawat harus mampu
bersikap profesional pada kondisi tersebut (Arrieta et al., 2008).

3. Kompetensi Respons

Fase ketiga manajemen bencana adalah fase respons. Tahap respons meliputi
tindakan yang diambil untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kerusakan
lebih lanjut selama dan segera setelah bencana atau situasi darurat. Fase respons
melibatkan penerapan rencana kesiapsiagaan ke dalam tindakan (Mistric &
Sparling, 2010).

Peran yang dilakukan perawat pada fase ini yaitu perawat berpartisipasi dalam
penyaluran dan pembagian distribusi bantuan yang tersedia kepada pengungsi,
merawat individu dan keluarga, perawatan psikologis dan melakukan perawatan
khusus pada populasi rentan (Alfred et al., 2015). Perawat juga dituntut mampu
mengidentifikasi pengungsi dengan kebutuhan-kebutuhan khusus dikarenakan
pemberian perawatan akan berbeda daripada pengungsi biasa (Arrieta et al.,
2008). Contohnya pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes perlu
diperhatikan dari aspek pemenuhan nutrisi dan pengontrolan gula darah.

24
4. Kompetensi pemulihan/rehabilitasi

Fase keempat dari manajemen bencana adalah fase pemulihan. Fase pemulihan
dibagi menjadi kegiatan jangka pendek dan jangka panjang. Kegiatan jangka
pendek didefinisikan sebagai kegiatan yang menawarkan bantuan dan rehabilitasi
segera. Untuk penyedia layanan kesehatan, kegiatan jangka pendek meliputi
bantuan kehidupan yang vital dan penyediaan layanan yang diperlukan untuk
kesejahteraan langsung pasien dan kenyamanan dasar. Kegiatan jangka panjang
bertujuan untuk memulihkan kesehatan pasien sebanyak mungkin sehingga
mereka dapat kembali ke rutinitas kehidupan seharihari (Mistric & Sparling,
2010).

Pada fase ini peranan perawat meliputi pemulihan individu, keluarga, dan
komunitas jangka pendek dan panjang (Alfred et al., 2015). Hal yang dilakukan
perawat yaitu dapat melakukan inventarisasi persedian tempat penampungan dan
logistik darurat. Dengan melakukan hal tersebut dapat mempersiapkan kondisi
penampungan jangka panjang (Arrieta et al., 2008).

25
BAB III
PEMBAHASAN
Bencana kekeringan di Indonesia, sebagian besar terjadi di Pulau Jawa-
Madura karena di pulau tersebut memiliki bahaya dan kerentanan yang tinggi
dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi,
pertumbuhan penduduk dan pusat pemerintahan Indonesia mengalami
pembangunan yang pesat di berbagai sektor sehingga tuntutan masyarakat akan
penggunaan air juga terus berkembang. Persaingan dalam penggunaan air terjadi
antar sektor, seperti domestik, perkotaan, industri dan irigasi di berbagai wilayah
administrasi maupun wilayah sungai (Maarif, 2013).

Menurut kajian Bappenas (2005), untuk wilayah di luar Jabodetabek


ditemukan bahwa pada tahun 2003 sebagian besar (sekitar 77 persen) kabupaten
telah memiliki satu hingga delapan bulan defisit air dalam setahun. Pada tahun
2025 jumlah kabupaten defisit air meningkat hingga mencapai sekitar 78,4 persen
dengan defisit berkisar mulai dari satu hingga dua belas bulan, atau defisit
sepanjang tahun. Dari wilayah yang mengalami defisit tersebut, terdapat 38
kabupaten/kota atau sekitar 35 persen yang pada tahun 2003 telah mengalami
defisit tinggi. Dalam hal ini, kondisi neraca air diklasifikasi menjadi empat yaitu
normal, defisit rendah, defisit sedang, dan defisit tinggi. Kondisi normal
menunjukkan bahwa tidak terjadi defisit sepanjang tahun, sedangkan jika jumlah
bulan defisit mencapai 3 bulan diklasifikasi sebagai defisit rendah, dari 4-6 bulan
diklasifikasi defisit sedang, dan >6 bulan diklasifikasi defisit tinggi.

Di daerah-daerah kekeringan tersebut, sebagian besar yang terkena


bencana adalah masyarakat dengan tingkat pendapatan ekonomi yang menengah
hingga rendah. Keterbatasan ekonomi menyebabkan kesulitan untuk memperoleh
akses terhadap air. Terdapat hubungan yang signifikan bahwa kekeringan dapat
menimbulkan kemiskinan, dan sebaliknya kemiskinan dapat menimbulkan akses
terhadap penyediaan kebutuhan air menjadi terbatas. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan UN- ISDR (2008), bahwa dampak dari kekeringan telah
menyebabkan penduduk menderita malnutrisi kronis dan kurangnya sumber daya

26
yang akhirnya membuat penduduk semakin rentan dan jatuh ke dalam kemiskinan
di sebagian negara di Afrika.

Guna mengatasi masalah tersebut di Afrika, sebuah NGO dari German


bermana Welthungerhilfe menginisiasi program pemanenan air hujan dan
membuat tendon air (rain water harvesting and storage) berbasis komunitas untuk
meningkatkan kapasitas para penduduk rentan untuk dapat survive mengatasi
kekeringan yang muncul tiap tahunnya di Kenya. Program ini menekankan pada
usaha kesiapsiagaan menghadapi bencana kekeringan melalui pemberian akses
yang lancar terhadap air dan peningkatan kualitas kesehatan penduduk. Program
yang diimplementasikan selama 14 bulan (Oktober 2006 - Desember 2007)
tersebut menargetkan 36.000 penduduk yang berasal dari komunitas yang sangat
kekurangan air. Sebagai dampaknya, program ini telah berhasil dalam:

a) Menyediakan akses air bersih sebanyak 3 liter air minum per individu per hari
untuk tersedia minimum selama 90 hari selama musim kering. Jarak lokasi air
dapat ditempuh dengan berjalan kaki, maksimum 4 km. Untuk kebutuhan
mandidan cuci ada sumber-sumber air lain dengan kualitas yang lebih rendah.
Mudahnya akses ini membantu penduduk sehingga masyarakat dapat fokus
dalam bekerja.
b) Meningkatnya kualitas kesehatan penduduk, dimana berkurangnya penyakit-
penyakit yang disebabkan oleh kekurangan air. Meningkatnya kesehatan
penduduk sangat berkontribusi dalam meningkatkan taraf penghidupan
masyarakat.
c) Meningkatnya ketahanan atau kapasitas penduduk dalam menghadapi
bencana kekeringan meningkat

Kunci keberhasilan dari program tersebut antara lain:

a. Partisipasi aktif dan genuine dari komunitas, mulai dari tahap awal sampai
akhir;
b. Monitoring secara berkala adanya asistensi teknis dari para ahli; dan
c. Peningkatan kapasitas masyarakat sehingga ada kehlian-keahlian yang
bertambah di komunitas.

27
Pelajaran positif (lesson learnt) yang dapat diambil dari program tersebut adalah:

a) Penampungan air hujan untuk kebutuhan air minum adalah aktivitas


kesiapsiagaan yang baik untuk menghadapi bencana kekeringan pada
daerah-daerah yang tidak punya air tanah. Pemanfaatan air hujan dengan
cara penampungan akan berdampak positif terhadap masyarakat;
b) Perlunya edukasi secara intensif, sosialisasi, dan pembangunan kapasitas
masyarakat agar masyarakat merasakanmerasakan kepemilikan terhadap
program tersebut dan menjaga keberlangsungan program. Keberhasilan
program tersebut, dapat diadopsi untuk berbagai wilayah di Indonesia yang
mengalami kekeringan. Metode konservasi tanah dan air dengan pilihan-
pilihan teknik pemanenan air hujan dapat diterapkan secara masif. Tentu
saja aspek ekonomi dari program tersebut perlu dipertimbangkan.

Pemanfaatan metode dan teknik konservasi tanah dapat dilakukan dengan


tiga metode yaitu metode konservasi teknik sipil, metode konservasi tanah
vegetatif dan metode lain-lain. Pada intinya teknologi pemanenan hujan adalah
suatu perlakuan konservasi pada lahan sedemikian rupa sehingga air hujan
teralirkan dan terkumpul pada suatu lahan, yang airnya dapat digunakan untuk
berbagai kebutuhan.

Pendekatan teknologi ini harus memperhitungkan faktor sosial dan


ekonomi yaitu dapat dibandingkan dengan biaya dan resiko terhadap
pertimbangan pemeliharaan dan operasi serta biaya awal. Sehingga diharapkan
teknologi ini akan memperoleh kualitas air yang baik, murah pengembangannya,
mudah mendapatkan, dan kecil resikonya. Persyaratan dasar yang harus dipenuhi
secara teknis yaitu :

- Kelerengan : kemiringan lereng ini merupakan faktor kunci pemanfaatan air


hujan. Kelerengan lebih besar dari 5 % secara ekonomis tidak direkomendasikan.

- Tanah : kriteria tanah sebaiknya sesuai untuk irigasi yang memiliki solum cukup
dalam, tidak terlalu asam atau basa, dan cukup subur.

28
- Biaya: besarnya volume pekerjaan dan kebutuhan material dalam konstruksi
sangat menentukan dapat diaplikasikan atau tidaknya teknologi ini.

Ada beberapa jenis teknologi pemanenan air hujan yang saat ini telah
banyak dikembangkan guna memperoleh air yang dapat dimanfaatkan untuk
penyediaan air saat musim kemarau. Beberapa jenis teknologi pemanenan air
hujan adalah :

A. Pembangunan Embung

Embung atau tandon air merupakan waduk berukuran mikro di lahan


pertanian (small farm reservoir) yang dibangun untuk menampung kelebihan
air hujan di musim hujan. Air yang ditampung tersebut selanjutnya digunakan
sebagai sumber irigasi suplementer untuk budidaya komoditas pertanian
bernilai ekonomi tinggi (high added value crops) di musim kemarau atau di
saat curah hujan makin jarang. Embung merupakan salah satu teknik
pemanenan air (water harvesting) yang sangat sesuai di segala jenis
agroekosistem (Kementerian Pertanian, 2007). Dalam proses pembuatannya
perlu memilih tempat sumber air yang dapat terus mengeluarkan air di musim
kemarau. Tujuan pembuatan embung antara lain,

1. menyediakan air untuk berbagai kebutuhan, baik domestik maupun untuk


menyediakan air untuk pengairan tanaman di musim kemarau,
2. meningkatkan produktivitas lahan, intensitas tanam, dan pendapatan petani
di lahan tadah hujan,
3. mengaktifkan tenaga kerja pada musim kemarau sehingga mengurangi
urbanisasi dari desa ke kota,
4. mencegah luapan air di musim hujan, menekan risiko banjir,
5. memperbesar “recharge” atau pengisian kembali air tanah. Pembuatan
embung tidak terikat oleh luas pemilikan lahan. Petani yang berlahan
sempit atau luas, dapat membuat embung sesuai dengan kebutuhannya.
Embung dapat dibangun secara bertahap;
1) awalnya dibuat dengan ukuran kecil lalu diperbesar pada masa
berikutnya,
2) memperdalam embung yang ada,

29
3) membuat embungembung yang serupa di tempat lain.

Di Indonesia, keberadaan embung sangat bermanfaat bagi masyarakat


sekitar dalam penyediaan kebutuhan air. Air embung dapat dimanfaatkan untuk
\berbagai keperluan seperti mengairi tanaman padi dan palawija pada saat musim
kemarau, disamping untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti yang terdapat
di Gunung Kidul, Wonosari, NTT dan sebagainya.

B. Tandon penampungan air hujan

Tandon penampung air hujan pada dasarnya adalah bangunan yang


diperuntukkan menampung air hujan yang jatuh untuk ditampung dan
selanjutnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan sehari-hari.
Bangunan tersebut menampung air hujan yang jatuh di atas atap bangunan
melalui talang. Dalam prakteknya, tandon air ini secara tradisional digunakan
sebagai cadangan air bersih bagi masyarakat. yang daerahnya hampir setiap
tahun mengalami kekeringan, seperti di Kabupaten Pidie, Pacitan, Gunung
Kidul, Wonogiri, dan sebagainya.

Di beberapa negara, misalnya Jepang, telah dikembangkan metode


memanen air hujan dengan membuat kolam tandon di bawah jalan raya
highway. Drainase jalan tidak dibuang ke sungai, melainkan ditampung di
bawah konstruksi jalan tersebut. Air hujan yang ditampung dapat dipakai untuk
pemeliharaan jalan dan untuk menyuiram tanaman peneduh di sepanjang jalan.
apat juga digunakan sebagai air bersih dengan penjernihan yang memadai.
Metode ini di Indonesia belum lazim.

C. Sumur Resapan

Bangunan sumur resapan adalah salah satu rekayasa teknik konservasi


air berupa bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk
sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat
menampung air hujan yang jatuh di atas atap rumah atau daerah kedap air dan
meresapkannya ke dalam tanah. Sumur resapan berfungsi memberikan

30
imbuhan air secara buatan dengan cara menginjeksikan air hujan ke dalam
tanah.

Sasaran lokasi adalah daerah peresapan air di kawasan permukiman,


perkantoran, pertokoan, industri, sarana dan prasarana olah raga serta fasilitas
umum lainnya. Banyak manfaat dari sumur resapan, seperti:

a. Mengurangi aliran permukaan sehingga dapat mencegah/mengurangi


terjadinya banjir dan genangan air;
b. Mempertahankan dan meningkatkan tinggi permukaan air tanah;
c. Mencegah penurunan tanah (land subsidance) dan manfaat lingkungan
lain. Memang, sumur resapan tidak secara langsung menyediakan air
seperti halnya embung dan tendon air. Namun pengaruh terhadap
penyediaan air tanah sangat besar.

Konstruksi sumur resapan merupakan alternatif pilihan dalam


mengatasi banjir dan menurunnya permukaan air tanah pada kawasan
perumahan, karena dengan pertimbangan :

a) pembuatan konstruksi sumur resapan tidak memerlukan biaya besar,

b) tidak memerlukan lahan yang luas,

c) bentuk konstruksi sumur resapan sederhana

Masih banyak teknik-teknik pemanenan air hujan yang dapat digunakan


sebagai alternatif untuk mengatasi kekeringan. Metode-metode tersebut dapat
diterapkan pada daerah-daerah yang memiliki risiko kekeringan sehingga
secara mandiri, masyarakat dapat memenuhi kebutuhan air, baik secara
individu maupun kelompok. Peningkatan kapasitas masyarakat dalam
mengadopsi teknik-teknik pemanenan air hujan tersebut perlu dilakukan secara
kontinu.

Mengingat yang dibangun adalah kapasitas masyarakat, maka


masyarakat sebagai pelaku dalam penerapan teknik pemanenan air hujan harus
dilibatkan secara penuh dalam pengambilan keputusan bahwa teknik tersebut

31
memberikan pengurangan risiko kekeringan bagi masyarakat. Proses
penyesuaian keputusan itu terjadi ketika terkumpulnya informasi yang baru dan
terjadinya proses pembelajaran. Gagasan adopsi teknik pemanenan air hujan ini
muncul ketika masyarakat menyadari pentingnya menghadapi ketidakpastian,
dengan cara merancang intervensi untuk mendorong pembelajaran. Dalam
prosesnya, pendekatan yang dilakukan dapat merujuk pada pendekatan adaptif
dimana suatu cara bagi para pemangku kepentingan untuk mengambil langkah
secara bertanggung jawab ketika menghadapi ketidakpastian. Pendekatan ini
memungkinkan dilakukannya perbaikan sesering dibutuhkan melalui proses
yang berulang-ulang. Hasil refleksi itu kemudian diangkat sebagai faktor yang
penting untuk dipertimbangkan dalam perencanaan, diikuti dengan tindakan
nyata untuk mencapai tujuan pengelolaan hingga masa mendatang.

Kunci keberhasilan pengelolaan adaptif adalah belajar dari pengalaman


yang lalu untuk merencanakan masa depan yang lebih baik. Proses berulang-
ulang sebagaimana di gambarkan di atas mengharuskan para pengelola untuk
terusmenerus menilai efektivitas rencana dan tindakan mereka. Dengan
sendirinya mereka akan menyadari perubahan yang terjadi dalam lingkungan
mereka karena tindakan-tindakan mereka. Dengan langkah ini, mereka dapat
menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang terus berubah.

Dalam laporan UNISDR (2008), keberhasilan program-program


pengurangan risiko bencana, termasuk diantaranya mengatasi kekeringan di
beberapa Negara seperti di Kenya, Bolivia, India, Malawi, Nepal dan lainnya,
peran partisipasi komunitas menjadi penting karena dalam realitanya,
penduduk dan organisasi lokal merupakan aktor-aktor utama dalam kegiatan
pengurangan risiko bencana. Komunitas adalah peserta aktif sekaligus
penerima manfaat dalam kegiatan pengurangan risiko bencana. Beberapa
prinsip yang digunakan adalah partisipasi masyarakat, dimana aktivitas yang
dilakukan cukup tinggi. Hal ini penting karena kesuksesan pengurangan risiko
bencana dan dengan: berbasis masalah dan peluang yang ada dalam komunitas;
berbasis solusi yang dapat dicapai; pastisipatoris, mendorong kemitraan dengan
pihak lain; mengandalkan pengetahuan dan keterampilan lokal, juga

32
kebijaksanaan setempat; skalanya kecil, berbasis komunitas; fokus pada
kondisi awal; dan memiliki output yang terlihat.

Peningkatan kapasitas masyarakat yang akhirnya mengurangi risiko


bencana kekeringan melalui program pengurangan risiko bencana dapat
berdampak pada pengurangan kemiskinan, dan sebaliknya program
pengurangan kemiskinan dapat mengingkatkan kapasitas masyarakat untuk
mengatasi bencana. Dalam pelaksanaannya pendekatan di tingkat komunitas
merupakan komponen penting dalam pengurangan risiko bencana maupun
pengurangan kemiskinan, karena dalam kenyataannya masyarakat dan
organisasi lokal lah yang menjadi aktor utama dalam kegiatan-kegiatan
tersebut. Kesemua program-program peningkatan kapasitas dalam mengurangi
risiko kekeringan yang ada memiliki potensi untuk replikasi yang pengurangan
kemiskinan akan dapat diperluas dampaknya. Program yang berhasil ialah
program yang sifatnya jangka panjang. Program jangka panjang memiliki
kesempatan untuk beradaptasi secara berulang kali untuk memaksimalkan
cakupan dan efektivitas program yang ada. Sayangnya, sebagian besar kegiatan
di berbagai negara, termasuk di Indonesia, sifatnya jangka pendek saja (waktu
kurang dari 3 tahun), bahkan ada yang hanya sampai pada tahap pilot project
saja. Akibatnya program-program semacam ini akan menemui kesulitan untuk
pengembangan jangka panjangnya. Program-program peningkatan kapasitas
dalam mengurangi risiko bencana kekeringan tidak dapat berdiri sendiri. Perlu
kerjasama dan koordinasi antar pelaku, baik pemerintah, dunia usaha, lembaga
swadaya masyarakat (NGO) dan masyarakat. Peran NGO dapat dioptimalkan,
yaitu menjadi penghubung antara pemerintah dengan masyarakat, dan juga
antar masyarakat dengan organisasi-organisasi lainnya. NGO juga dapat
mendukung pembangunan keterampilan individu maupun organisasi
masyarakat, menyalurkan sumber daya, dan membantu menyuarakan
kebutuhan komunitas pada pemerintah.

33
BAB IV

PENUTUP

Simpulan

Kekeringan merupakan suatu peristiwa atau suatu rangkaian


peristiwa yang disebabkan oleh aktivitas alam tetapi aktivitas alam ini sangat
menggangu dan merugikan banyak aspek seperti aspek fisik dan non fisik
(sosial budaya, ekonomi, politik). kerugian fisik yang di timbulkan misalnya
terutama rusaknya tanaman petani yang menggakibatkan gagal panen dan
kelaparan, selain itu kerugian fisik selalu menggarah pada manusia karena
kekeringan menyebabkan kekurangan air bersih yang memaksa orang untuk
mengkonsumsi air yang tidak sehat, bahkan banyak hewan, tanaman dan
manusia mati karena kekurang air yang sangat di butuhkan untuk bertahan
hidup. Kerugian non fisik yaitu terjadi kerugian terhadap pemasukan negara
dan ekonomi.
Upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana kekeringan
sebelum terjadi dilakukan dengan cara mengadakan sosialisasi di masyarakat
akan bahaya kekeringan yang tejadi apabila masyarakat menggunakan air
berlebihan diluar batas kebutuhan.

34
DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, E. S. (2014). Tinjauan metode deteksi parameter kekeringan berbasis


data penginderaan jauh. Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh
2014, 210–220.

Maarif, S. (2013). Meningkatkan Kapasitas Masyarakat Dalam Mengatasi Risiko


Bencana Kekeringan. Jurnal Sains Dan Teknologi Indonesia, 13(2), 65–73.
https://doi.org/10.29122/jsti.v13i2.886

Nahar, L. (2016). Studi Deskriptif tentang Strategi Badan Penanggulangan


Bencana Daerah Kabupaten Pasuruan dalam Penanggulangan Bencana
Kekeringan di Wilayah Kabupaten Pasuruan. Jurnal Kebijakan Dan
Manajemen Publik, 4(2), 18–26. http://journal.unair.ac.id/download-
fullpapers-kmp195f96ff77full.pdf

Surmaini, E. (2016). Pemantauan dan Peringatan Dini Kekeringan Pertanian di


Indonesia Monitoring and Early Warning of Agricultural Drought in
Indonesia Elza. Jurnal Sumberdaya Lahan, 10(1), 37–50.

Widodo, Y. B. (2016). Dampak Bencana Kekeringan Terhadap Peluang


Kesejahteraan Penduduk. Populasi, 18(1). https://doi.org/10.22146/jp.12076

35

Anda mungkin juga menyukai