Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

DIAGNOSIS PASTI MATI TENGGELAM DAN


TATALAKSANANYA

Disusun Oleh :

Monica Rumondang Panggabean


2065050087

Muhammad Arief Ridho


2065050113

Pembimbing :

Dr. Zulhasmar Syamsu, S.H., Sp.FM

KEPANITERAAN ILMU FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
RSUD KOTA BEKASI CHASBULLAH ABDUL MADJID
PERIODE 20 DESEMBER 2021 – 15 JANUARI 2022
JAKARTA
2022
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................


BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................
II.1 Definisi.............................................................................................................................
II.2 Epidemiologi...................................................................................................................
II.3 Klasifikasi Tenggelam....................................................................................................
II.4 Mekanisme Kematian Akibat Tenggelam....................................................................
II.5 Tanda dan Diagnosis......................................................................................................
II.6 Kriteria Diagnostik........................................................................................................
II.7 Interpretasi Hasil Pemeriksaan....................................................................................
II.8 Tatalaksana.....................................................................................................................
BAB III KESIMPULAN ...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

Tenggelam atau drowning adalah sebuah proses gangguan pernapasan


akibat (submersion atau immersion ) yang dapat mengakibatkan kematian dalam
waktu kurang dari 24 jam. Tenggelam adalah suatu peristiwa dimana masuknya
cairan yang cukup banyak ke dalam saluran nafas atau paru-paru yang
menyebabkan terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh dalam cairan. Pada proses
immersion terjadi ketika saluran napas atas berada di atas permukaan air,
sedangkan submersion terjadi ketika saluran napas atas berada di bawah
permukaan air.

Tenggelam bisa disebabkan secara sengaja atau tidak sengaja. Kejadian


tenggelam bisa merupakan penyebab sekunder terhadap penyakit lain, seperti
kejang, cedera kepala, pingsan, dan gangguan irama jantung. Penyebab tenggelam
yang disengaja umumnya karena percobaan bunuh diri yang bisa diakibatkan
karena adanya kondisi seperti depresi berat ataupun memiliki gangguan bipolar.

Tenggelam adalah penyebab utama ke-3 kematian karena cedera yang tidak
disengaja, terhitung 7% dari semua kematian yang terkait dengan cedera (WHO,
2015). WHO menyatakan bahwa 0,7% penyebab kematian di dunia atau lebih dari
500.000 kematian setiap tahunnya disebabkan oleh tenggelam. Pada 2015,
diperkirakan 360.000 orang meninggal karena tenggelam, yang menjadi masalah
utama kesehatan masyarakat di seluruh dunia (WHO, 2015). Lebih dari setengah
kematian terjadi di bawah usia 25 tahun, dengan usia di bawah 5 tahun berisiko
tinggi. Cina dan India merupakan negara dengan kasus tenggelam tertinggi di
dunia karena kedua negara ini berkontribusi hampir setengah dari rata-rata
kematian akibat kasus tenggelam di dunia, kemudian diikuti oleh Nigeria,
Federasi Rusia, Indonesia dan Bangladesh.

Hampir 90% kematian akibat tenggelam atau drowning terjadi di negara -


negara berkembang. Kejadian tenggelam di Indonesia belum diketahui secara
pasti. Namun, merujuk pada kondisi geografis wilayah Indonesia yang terdiri dari
berbagai pulau dengan garis pantai yang cukup panjang yang memungkinkan
terjadinya tenggelam. Indonesia merupakan daerah dengan mayoritas wisata
perairan, yang menjadi salah satu daya tarik wisata yang dimiliki. Meskipun fakta
- fakta di atas sangat mengkhawatirkan, penanggulangan kejadian tenggelam
masih kurang mendapat perhatian.

Kegawatdaruratan pada korban tenggelam terkait erat dengan masalah


pernapasan dan kardiovaskuler yang penanganannya memerlukan penyokong
kehidupan jantung dasar dengan menunjang respirasi dan sirkulasi korban dari
luar melalui resusitasi, dan mencegah insufisiensi. Penanganan kegawatdaruratan
korban tenggelam sebaiknya memastikan terlebih dahulu kesadaran, sistem
pernapasan, denyut nadi, dan proses observasi dan interaksi yang konstan dengan
korban. Pada sebagian korban tenggelam perlu dilakukan resusitasi jantung paru
karena pada kondisi tenggelam seseorang akan kehilangan pola nafas yang
adekuat karena dalam hitungan jam korban tenggelam akan mengalami hipoksia,
anoksia susunan saraf pusat, sehingga terjadi henti jantung dan jika tidak segera
diberikan pertolongan akan menimbulkan kematian dalam 24 jam setelah
kejadian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI

Tenggelam adalah kematian akibat mati lemas (asfiksia) disebabkan


masuknya cairan ke dalam saluran pernapasan. Dimana asfiksia tersebut dapat
disebabkan karena korban terbenam seluruhnya atau sebagian terbenam
seluruhnya atau sebagian terbenam di dalam benda cair. Suatu kematian dimana
terjadi, gangguan pertukaran karbondioksida dengan oksigen dalam paru – paru
akibat masuknya cairan kedalam saluran nafas melalui hidung dan mulut.
Pada peristiwa tenggelam (drowning), seluruh tubuh tidak harus tenggelam
di dalam air. Asalkan lubang hidung dan mulut berada dibawah permukaan air
maka hal itu sudah cukup memenuhi kriteria sebagai peristiwa tenggelam. Jumlah
air yang dapat mematikan jika dihirup oleh paru – paru adalah sebanyak 2L untuk
orang dewasa dan 30-40 ml untuk bayi.

II.2 EPIDEMIOLOGI

Secara epidemiologi, tenggelam merupakan salah satu masalah kesehatan


publik besar di seluruh dunia, namun data pasti mengenai kematian akibat
tenggelam sendiri masih tidak jelas karena data tenggelam resmi mengeksklusikan
tenggelam yang disengaja dan tenggelam akibat bencana alam. Beberapa hal lain
yang membuat data menjadi tidak valid adalah metode pengumpulan data yang
kurang baik, fakta bahwa korban mungkin tidak mencapai pelayanan kesehatan,
dan pemakanan yang cepat dengan alasan adat yang membuat kematian tidak
tercatat.
Diperkirakan untuk setiap satu cedera berat akibat tenggelam, terdapat empat
cedera yang tidak fatal, dengan 50% diantaranya membutuhkan perawatan di
rumah sakit. Kejadian tenggelam paling tinggi pada kelompok usia 1-4 tahun,
diikuti oleh anak berusia 5-9 tahun.
Menurut global report on drowning: preventing a leading killer keluaran
WHO tahun 2014, setiap tahun kurang lebih 372.000 orang tenggelam. Di
Amerika Serikat sendiri kurang lebih 5.800 orang dirawat akibat tenggelam setiap
tahunnya. Meskipun kejadian tenggelam telah semakin menurun dalam rentang
tahun 2005-2014, angka kejadian tenggelam rata-rata sebanyak 3.536 kasus
tenggelam yang fatal secara tidak sengaja di Amerika Serikat. Pada tahun 2008,
US Lifesaving Association melaporkan lebih dari 70.000 tindakan penyelamatan
dilakukan pada kasus tenggelam di pantai.
Tenggelam lebih sering terjadi pada akhir minggu pada musim panas, dan
lebih umum terjadi pada daerah pinggiran, bagian selatan, serta bagian barat dari
Amerika Serikat. Sekitar 90% kasus tenggelam yang tidak disengaja terjadi pada
negara dengan pendapatan rendah dan sedang. Kasus tenggelam juga banyak
terjadi pada Regio Pasifik Barat dan Asia Tenggara, yaitu lebih dari setengah
kasus di seluruh dunia.
Di Indonesia dilakukan penelitian di Provinsi Bali, didapatkan 97 kasus
tenggelam dalam periode 2010-2012, dengan korban terbanyak jenis kelamin laki-
laki, dan kelompok usia terbanyak adalah 21-30 tahun.
Secara epidemiologi, tenggelam merupakan salah satu dari 10 penyebab
kematian terbanyak di seluruh dunia. Pada anak berusia 1-4 tahun, tenggelam
menyebabkan 43% kematian di negara Bangladesh. Hingga saat ini, tenggelam
telah melewati kecelakaan kendaraan bermotor sebagai penyebab kematian terkait
cedera terbanyak dengan jumlah kasus kematian 2,6 orang tiap 100.000 per tahun.

II.3. KLASIFIKASI TENGGELAM

Suatu peristiwa tenggelam dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe


berdasarkan mekanisme kematiannya, diantaranya adalah:
1) Wet drowning: Pada keadaan ini, cairan masuk ke dalam saluran
pernapasan setelah korban tenggelam. Kematian terjadi setelah korban
menghirup air. Jumlah air yang dapat mematikan, jika dihirup paru-paru
adalah sebanyak 2 liter untuk orang dewasa dan 30-40 ml untuk bayi.
2) Dry drowning: Pada keadaan ini, cairan tidak masuk ke dalam saluran
pernapasan. Kematian terjadi akibat spasme laring dan kematian terjadi
sebelum korban dapat menghirup air masuk ke dalam saluran
pernapasannya. Istilah drowning atau true drowning hanya terbatas pada
kasus-kasus dimana cairan masuk ke dalam saluran pernapasan dengan
akibat hipoksia yang dapat berujung kepada kematian. Bila cairan tidak
masuk ke dalam saluran pernapasan dan terjadi kematian akibat sebab
yang lain maka hal tersebut tidak dianggap sebagai suatu drowning.Oleh
karena itu, istilah dry drowning digunakkan untuk menggambarkan
keadaan dimana pada jenazah saat dilakukan otopsi tidak ditemukan
adanya cairan dalam saluran pernapasan dan paru-paru. Cairan tidak
ditemukan karena sudah diserap masuk ke dalam sirkulasi pulmonal.
3) Secondary drowning: Pada secondary drowning, gejala terjadi beberapa
hari setelah korban tenggelam dan korban meninggal akibat komplikasi.
4) Immersion syndrome: Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam
dalam air dingin akibat refleks vagal yang menyebabkan cardiac arrest/
henti jantung. Keadaan tersebut hanya dapat dijelaskan oleh karena
terjadinya fibrilasi ventrikel dan dapat dibuktikan bahwa pada orang yang
masuk ke air dingin atau tersiram air yang dingin, dapat mengalami
ventricular ectopic beat. Alkohol dan makan terlalu banyak merupakan
faktor pencetus.

II.4. MEKANISME KEMATIAN AKIBAT TENGGELAM

A. Mekanisme kematian akibat tenggelam berdasarkan lokasi kematian:


1) Dalam Air Tawar
Air tawar bersifat hipotonis dibandingkan plasma darah karena
konsentrasi elektrolit dalam air tawar lebih rendah daripada konsentrasi
dalam darah. Ketika air tawar masuk ke dalam paru-paru (alveoli),
dengan cepat air tawar berpindah dari tempat alveoli ke sistem vaskuler
melalui membran alveoli karena perbedaan tekanan osmotik antara air
tawar di alveoli paru dan plasma darah. Air tawar tersebut dengan cepat
berpindah meningkatkan volume darah (hipervolemia) sekitar 50 ml%
permenit sehingga akan terjadi hemodilusi darah, air masuk ke dalam
aliran darah sekitar alveoli dan mengakibatkan pecahnya sel darah merah
(hemolisis). Pada keadaan ini terjadi absorpsi cairan yang masif. Akibat
pengenceran darah yang terjadi, tubuh mencoba mengatasi keadaan ini
dengan melepaskan ion kalium dari serabut otot jantung sehingga kadar
ion kalium dalam plasma meningkat (hiperkalemia), terjadi perubahan
keseimbangan ion kalium dan kalsium dalam serabut otot jantung dapat
mendorong terjadinya fibrilasi ventrikel dan penurunan tekanan darah,
yang kemudian menyebabkan timbulnya kematian akibat anoksia serebri.
Kematian terjadi dalam waktu menit.

2) Dalam Air Asin


Air asin bersifat hipertonis, dimana konsentrasi elektrolit cairan air asin
lebih tinggi daripada dalam darah, sehingga air akan ditarik dari sirkulasi
pulmonal ke dalam jaringan interstisial paru yang akan menimbulkan
edema pulmonar, hemokonsentrasi, hipovolemi dan kenaikan kadar
magnesium dalam darah. Hemokonsentrasi akan mengakibatkan sirkulasi
menjadi lambat dan menyebabkan terjadinya payah jantung. Kematian
terjadi kira-kira dalam waktu 8-9 menit setelah tenggelam.
B. Mekanisme kematian akibat tenggelam berdasarkan mekanisme
kematian:
1) Kematian Akibat Spasme Laring, Gangging, dan Chocking
Hipoksia merupakan masalah utama yang sering diakibatkan oleh trauma
saat tenggelam, tetapi dengan adanya spasme glottis yaitu jika sejumlah
kecil volume air yang memasuki laring atau trakea, ketika itu pula tiba-
tiba terjadi spasme laring akibat pengaruh refleks vagal, hal ini terjadi
pada ± 10% kematian akibat tenggelam. Mukosa yang menjadi kental,
berbusa, dan berbuih dapat dihasilkan, hingga menciptakan suatu
‘perangkap fisik’ yang menyumbat jalan napas. Spasme laring tidak
dapat ditemukan pada saat otopsi karena pada kematian telah terjadi
relaksasi otot-otot laring. Dalam situasi yang lain, terjadi peningkatan
cepat tekanan alveoli - arterial, yang terjadi pada saat air teraspirasi
sehingga menyebabkan hipoksia progresif.
2)  Kematian Akibat Refleks Vagal
Mekanisme ini tidak biasa namun mudah dikenali. Kehilangan kesadaran
biasanya cepat dan kematian terjadi segera dalam waktu beberapa menit.
Pada otopsi tidak didapatkan tanda umum pada tenggelam. Mekanisme
ini dipercaya menyebabkan henti jantung yang merupakan akibat dari air
dingin pada belakang faring dan laring. Ada tiga kondisi umum yang
menyebabkan kematian ini, yaitu masuk kedalam air dengan kaki terlebih
dahulu, terkejut atau tidak ada persiapan, keadaan hipersensitif
contohnya pada keracunan alkohol. Masuk ke dalam air dengan kaki
dahulu memudahkan air masuk ke hidung.
3)  Kematian Akibat Fibrilasi Ventrikel
Keadaan ini terjadi pada kasus tenggelam di air tawar. Pada keadaan ini
terjadi absorpsi masif cairan. Karena konsentrasi elektrolit dalam air
tawar lebih rendah daripada dalam darah, maka akan terjadi hemodilusi
darah, air akan masuk ke dalam aliran darah sekitar alveoli dan
mengakibatkan pecahnya sel darah merah. Akibat penggenceran darah
yang terjadi, tubuh mencoba mengatasi keadaan ini dengan melepaskan
ion kalium dari serabut otot jantung sehingga terjadi perubahan
keseimbangan kadar ion kalium dan kalsium dalam serabut otot jantung
dapat menyebabkan terjadinya fibrilasi ventrikel dan penurunan tekanan
darah, kemudian menyebabkan kematian karena anoksia otak. Kematian
dapat terjadi dalam waktu 5 menit.
4)  Kematian Akibat Edema Pulmonal
Terjadi pada kasus tenggelam di air asin dimana konsentrasi elektrolit
cairan air asin lebih tinggi daripada dalam darah, sehingga air akan
ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringan interstisial paru dan
menimbulkan edema pulmonal, hemokonsentrasi, hipovolemi, dan
kenaikan kadar magnesium dalam darah. Hemokonsentrasi akan
menyebabkan sirkulasi menjadi lambat dan menyebabkan payah jantung.
Kematian terjadi kira-kira dalam waktu 8-9 menit setelah tenggelam.
Edema pulmoner akut dapat terjadi jika terdapat peningkatan
permeabilitas kapiler paru (non kardiogenik), atau saat tekanan
hidrostatik kapiler paru melebihi tekanan onkotik plasma (kardiogenik),
atau keduanya. Mekanisme pada korban tenggelam belum diketahui
dengan pasti, tetapi diduga karena peningkatan tekanan kapiler paru dari
sistem saraf simpatis, peningkatan tekanan negatif intra-torakal, atau
respon adrenergik terhadap kondisi di dalam air yang belum dapat
dijelaskan secara biokimia.
5)  Dalam Air Dingin
Mekanisme tenggelam dan fase-fase yang terjadi pada seorang korban
tenggelam sebelumnya sudah dijelaskan. Mekanisme tenggelam dalam
air dingin sedikit berbeda dengan kasus tenggelam pada umumnya.
Respons tubuh pada keadaan di dalam air dingin dapat dibagi menjadi
menjadi tiga bagian, yaitu:

a)  Cold shock response, muncul pada 1-4 menit pertama setelah imersi
pada air dingin hal tersebut tergantung terhadap penurunan suhu kulit.
Respon syok yang terjadi meliputi sistem kadiovaskular, respirasi, dan
metabolisme tubuh. Penurunan kulit secara cepat mencetuskan gasp
response sehingga korban tidak dapat menahan napasnya sehingga terjadi
hiperventilasi. Bila saat itu kepala berada dalam air, maka korban akan
meninggal karena tenggelam. Hiperventilasi menyebabkan hipokapnea
arterial, hal ini menyebabkan berkurangnya aliran darah dan suplai O 2 ke
otak sebagai akibatnya terjadi disorientasi, penurunan kesadaran, dan
tenggelam. Selain itu, penurunan suhu tubuh juga menyebabkan
vasokonstriksi perifer serta meninggkatkan cardiac output, nadi, dan
tekanan darah. Peningkatan beban jantung ini dapat menyebabkan
iskemik dan aritmia termasuk fibrilasi ventrikel.
b)  Cold incapacitation. Setelah melewati respon syok dingin, terjadi
penurunan suhu jaringan perifer, terutama pada ekstremitas, kondisi ini
muncul setelah 30 menit terimersi. Efek ini terutama pada tangan,
dimana sirkulasi darah menurun, menyebabkan jari menjadi kaku,
koordinasi gerak kasar dan halus menjadi buruk, dan kehilangan
kekuatan.
c) Hipotermia muncul setelah lebih dari 30 menit. Hipotermia adalah
menurunnya suhu inti tubuh, yaitu dibawah 35℃. Ada beberapa factor
yang mempengaruhi diantaranya respon termoregulasi, komposisi tubuh,
pakaian, temperature air, dan kondisi laut.
6) Lima Tahapan Tenggelam
Terdapat lima tahapan pada kejadian tenggelam. Proses tenggelam
diawali dengan kepanikan atau perlawanan, kemudian diikuti oleh
tenggelam dengan menahan nafas. Kemudian korban mulai menelan air
sebelum akhirnya mulai kehilangan kesadaran. Tahap ini dimulai kira-
kira setelah tiga menit berada di dalam air. Dalam lima menit, otak mulai
mengalami kerusakan. Denyut jantung mulai tidak teratur, sebelum
akhirnya berhenti berdenyut.
Ketika seseorang terbenam di bawah permukaan air, reaksi awal yang
dilakukan ialah mempertahankan nafasnya, tetapi tidak dapat lebih dari
satu menit. Hal ini berlanjut hingga tercapainya batas kesanggupan,
dimana orang itu harus kembali menarik nafas kembali. Batas
kesanggupan tubuh ini ditentukan oleh kombinasi tingginya konsentrasi
karbondioksida dan rendahnya konsentrasi oksigen di mana oksigen
dalam tubuh banyak digunakan dalam sel. Batas ini tercapai ketika kadar
PCO2 berada di bawah 55 mmHg atau merupakan ambang hipoksia, dan
ketika kadar PAO2 berada di bawah 100 mmHg ketika PCO 2 cukup
tinggi.
Ketika mencapai batas kesanggupan ini, korban terpaksa harus
menghirup sejumlah besar volume air. Sejumlah air juga sebagian
tertelan dan bisa ditemukan di dalam lambung. Selama pernapasan dalam
air ini, korban bisa juga mengalami muntah dan selanjutnya terjadi
aspirasi terhadap isi lambung. Pernapasan yang terengah-engah di dalam
air ini akan terus berlanjut hingga beberapa menit, sampai akhirnya
respirasi terhenti. Kadang terjadi spasme laring tetapi biasanya cepat
menghilang oleh onset hipoksia otak. Hipoksia serebral akan semakin
buruk hingga tahap irreversibel dan terjadilah kematian. Urutan
gangguan ritme jantung biasanya takikardi yang diikuti dengan
bradikardi, aktivitas kelistrikan tanpa nadi, dan terakhir asistol.
Faktor-faktor yang juga menentukan sejauh mana anoksia serebral
menjadi irreversibel adalah umur korban dan suhu di dalam air. Misalnya
pada air yang cukup hangat, waktu yang diperlukan sekitar 3 hingga 10
menit. Tenggelamnya anak-anak pada air dengan suhu dingin yang cukup
ekstrim selama 66 menit masih bisa tertolong melalui resusitasi dengan
sistem saraf/ neurologik tetap utuh. Hipotermia yang berhubungan
dengan tenggelam dapat menyediakan mekanisme protektif yang
menyebabkan seseorang lebih lama selamat. Hipotermia dapat
menurunkan konsumsi oksigen otak, serta menunda anoksia seluler dan
pengurangan ATP. Hipotermia mengurangi aktivitas metabolik dan
kelistrikan otak. Laju konsumsi oksigen oleh otak menurun dengan
perkiraan 5% untuk setiap penurunan 1°C pada temperature antara 37°C
sampai 20°C. Juga, berapa pun interval waktu hingga terjadi anoksia,
penurunan kesadaran selalu terjadi dalam waktu 3 menit setelah
tenggelam.
Akan tetapi jika korban terlebih dahulu melakukan hiperventilasi saat
terendam ke dalam air. Hiperventilasi dapat menyebabkan penurunan
kadar CO2 yang signifikan. Kemudian hipoksia serebral karena
rendahnya PO2 dalam darah, bersamaan dengan penurunan hingga
hilangnya kesadaran, dapat terjadi sebelum batas kesanggupan (breaking
point) tercapai.

II.5. Tanda dan Diagnosis

Bila korban selamat, gambaran klinis dominan ditentukan oleh jumlah air
yang diaspirasi dan efeknya. Air di dalam alveoli menyebabkan disfungsi
surfaktan dan hilangnya surfaktan. Tenggelam di air asin maupun di air
tawar menyebabkan derajat perlukaan yang mirip, walaupun dengan
perbedaan dalam gradien osmotik. Pada situasi ini, efek gradien osmotik
pada membran kapiler alveolus yang sangat rentan ialah mengganggu
integritas membran, meningkatkan permeabilitas, dan pengeluaran cairan,
plasma, dan pertukaran elektrolit. Gambaran klinis dari kerusakan membran
kapilar alveolar sangat hebat, sering ada bercak darah, edem pulmonal yang
menurunkan pertukaran oksigen dan karbon dioksida.
Hal penting yang perlu diperhatikan saat pemeriksaan korban tenggelam
yaitu menentukan identitas korban.
Identitas korban ditentukan dengan memeriksa antara lain :
-  Pakaian dan benda-benda milik korban
-  Warna dan distribusi rambut dan identifikasi lainnya.
-  Kelaianan atau deformitas dan jaringan parut
-  Sidik jari
-  Pemeriksaan gigi
-  Teknik identifikasi lain.

II.6. Kriteria Diagnostik

Bila mayat masih segar (belum terdapat pembusukan), maka diagnosis


kematian akibat tenggelam dapat dengan mudah ditegakkan melalui
pemeriksaan yang teliti dari :
 Pemeriksaan luar
 Pemeriksaan dalam
 Pemeriksaan laboratorium berupa histologi jaringan, destruksi jaringan
dan berat jenis serta kadar elektrolit darah.
Bila mayat sudah membusuk, maka diagnosis kematian akibat tenggelam
dibuat berdasarkan adanya diatom yang cukup banyak pada paru-paru yang
di dukung oleh penemuan diatom pada ginjal, otot skelet, atau diatom pada
sumsum tulang, maka diagnosis akan menjadi makin pasti.
2.6.1. Pemeriksaan luar
 Tidak ada yang patognomonis untuk drowning, fungsinya hanya
menguatkan.
 Hanya beberapa penemuan memperkuat diagnosa drowning antara lain:
kulit basah, dingin dan pucat.
 Lebam jenazah biasanya sianotik, kecuali bila air sangat dingin maka
lebam jenazah akan berwarna pink.
 Kadang terdapat cutis anserina pada lengan, paha dan bahu. Ini
disebabkan suhu air dingin yang menyebabkan kontraksi m.Erector
pilorum.
 Buih putih halus pada mulut dan hidung, sifatnya lekat (cairan kental dan
berbuih).
 Kadang terdapat cadaveric spasme pada tangan dan kotoran dapat
tergenggam.
 Bila berada cukup lama pada air, kulit telapak tangan dan kaki akan
mengeriput dan pucat.
 Kadang terdapat luka berbagai jenis pada yang tenggelam di pemandian
atau yang meloncat dari tempat tinggi yang dapat merobek paru, hati,
otak atau iga.
2.6.2. Pemeriksaan dalam
 Jalan nafas berisi buih, kadang ditemukan lumpur, pasir, rumput air,
diatom, dll.
 Terjadi karena adanya kompresi terhadap septum interalveoler atau oleh
karena terjadinya fase konvulsi akibat kekurangan oksigen.
 Paru-paru membesar, mengalami kongesti dan mempunyai gambaran
seperti marmer sehingga jantung kanan dan vena-vena besar dilatasi.
Bila paru masih fresh, kadang dapat dibedakan apakah ini tenggelam
dalam air tawar atau asin.
 Banyak cairan dalam lambung.
 Perdarahan telinga bagian tengah (dapat ditemukan pada kasus asfiksia
lain).
2.6.3 Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan Khusus Pada Tenggelam
Pemeriksaan khusus pada tenggelam adalah percobaan getahb paru
(Longsap proof), pemeriksaan darah secara kimia (Gettler test), tes destruksi
& analisa isi lambung, pemeriksaan histopatolgi jaringan paru, menentukan
berat jenis plasma (BJ plasma).

b) Pemeriksaan Diatom (Destruction Test)


Keseluruhan prosedur dalam persiapan adalah bahan untuk analisa diatom
meliputi contoh air dari dugaan lokasi tenggelam, contoh jaringan dari hasil
otopsi korban, jaringan yang dihancurkan untuk mengumpulkan diatom,
konsentrasi diatom, dan analisa mikroskopis. Pengumpulan bahan dari
media tenggelam yang diduga harus dilakukan semenjak penemuan jenazah,
dari air permukaan dan dalam, menggunakan 1 hingga 1,5 L tempat steril
untuk disimpan pada suhu 4°C, di dalamnya disimpan bahan-bahan dari
korban dugaan tenggelam yang diambil dengan cara steril, kebanyakan
berasal dari paru-paru, ginjal, otak, dan sumsum tulang. Usaha untuk
mencari diatome (binatang bersel satu) dalam tubuh korban karena adanya
anggapan bahwa bila orang masih hidup pada waktu tenggelam, maka akan
terjadi aspirasi, dan karena terjadi adanya usaha untuk tetap bernafas maka
terjadi kerusakan bronkioli / bronkus sehingga terdapat jalan dari diatome
untuk masuk ke dalam tubuh.
Syaratnya paru-paru harus masih dalam keadaan segar, yang diperiksa
bagian kanan perifer paru-paru, dan jenis diatome harus sama dengan
diatome di perairan tersebut. Cara melakukan pemeriksaan diatome yaitu:
1. Ambil potongan jaringan sebesar 2-5 gram (hati, ginjal, limpa dan
sumsum tulang).
2. Potongan jaringan tersebut dimasukkan 10 mL asam nitrat jenuh, 0,5 ml
asam sulfat jenuh.
3. Kemudian dimasukkan lemari asam sampai semua jaringan hancur.
4. Warna jaringan menjadi hitam oleh karena karbonnya.
5. Ditambahkan natrium nitrat tetes demi tetes sampai warna menjadi
jernih.
6. Kadang-kadang sifat cairan asam sehingga sukar untuk melakukan
pemeriksaan, oleh karena itu ditambahkan sedikit NaOH lemah (sering
tidak dilakukan oleh karena bila berlebihan akan menghancurkan
chitine).
7. Kemudian dicuci dengan aquadest. Lalu dikonsentrasikan (seperti telur
cacing), disimpan/diambil sedikit untuk diperiksa, diteteskan pada deck
gelas lalu keringkan dengan api kecil.
8. Kemudian ditetesi oil immersion dan diperiksa dibawah mikroskop.

c) Pemeriksaan Getah Paru


Merupakan pemeriksaan patognomonis untuk kasus-kasus tertentu. Dicari
benda-benda asing dalam getah paru yang diambil pada daerah subpleura,
antara lain: pasir, lumpur, telur cacing, tanaman air, dll.Cara pemeriksaan
getah paru yaitu:
1. Paru-paru dilepaskan satu persatu secara tersendiri dengan memotong
hilus.
2. Paru-paru yang sudah dilepas tidak boleh diletakkan tetapi langsung
disiram dengan dengan air bersih (bebas diatom dan alga).
3. Permukaan paru dibersihkan dengan cara dikerik/dikerok 2-3 kali, lalu
pisau kembali dibersihkan dengan air yang mengalir.
4. Dengan mata pisau yang tegak lurus permukaan paru, kemudian
permukaan paru diiris sedangkal (subpleura), lalu pisau kembali
dibersihkan di bawah air yang megalir, lalu dikibaskan sampai kering.
5. Dengan ujung pisau, getah paru pada irisan tadi diambil kemudian
diteteskan pada objek glass lalu ditutup cover glass dan diperiksa di bawah
mikroskop.
6. Cara lain yaitu dengan menempelkan objek glass pada permukaan irisan
didaerah subpleural, lalu ditutup cover glass pada permukaan irisan
didaerah subpleural, lalu ditutup cover glass dan diperiksa dibawah
mikroskop. Syarat sediaan percobaan getah paru yaitu eritrosit dalam
sediaan harus sedikit jumlahnya. Bila banyak mungkin irisan terlalu
dalam.

d) Pemeriksaan DNA
Metode lain dalam pengidentifikasian diatom adalah dengan amplifikasi
DNA ataupun RNA diatom pada jaringan manusia, Analisa mikroskopis
pada bagian jaringan, kultur diatom pada media, dan spectrofluophotometry
untuk menghitung klorofil dari plankton di paru-paru.
Metode pendeteksi diatom di darah meliputi observasi secara langsung
diatom pada membrane filter, setelah darah dihemolisa menggunakan
sodium dodecyl sulfate, atau dengan metode hemolisa kombinasi, 5 mm
pori membrane filter.
Dicampur dengan asam nitrat, dan disaring ulang. Setelah pencampuran
selesai diatom dapat diisolasi dengan metode sentrifuse atau membrane
filtration. Siklus sentrifuse mengkonsentrasikan diatom dan menyingkirkan
semua sisa asam dengan pencucian berulang, supernatant diganti tiap
beberapa kali dengan air distilled. Penggunaan saring nitroselulose adalah
bagi bahan dengan jumlah diatom yang rendah dan diikuti dengan analisa
LM.

II.7. Interpretasi Hasil Pemeriksaan


a. False Positif
Kritik utama pada pemeriksaan diatom adalah penemuan diatom pada
paru-paru dan organ-organ lain pada jenasah yang meninggal bukan karena
tenggelam. Hal tersebut dibuktikan oleh adanya penelitian yang dilakukan
oleh beberapa peneliti seperti Pachar dan Cameron menemukan 5-25
diatom/100g dan mencapain 10 diatom/100g pada organ tertutup. Selain itu
ada pula penelitian yang dilakukan oleh Foged menunjukkan bahwa terdapat
diatom hingga 54 diatom pada hepar, 51 diatom pada ginjal, dan 17 diatom
pada bone marrow (seperti tulang panjang atau tulang punggung). Spesies
diatom yang ditemukan pada jaringan yang tidak cocok dengan spesies
diatom yang ada pada air tempat jenasah tersebut ditemukan, menurut Ludes
dan Coste dapat diklasifikasikan sebagai kontaminasi diatom.
 KontaminasiAntemortem
Penyerapan diatom pada gastrointestinal mungkin terjadi sebagai
akibat dari makan makanan seperti salad dll yang masih terdapat diatom
didalamnya atau pada minuman, karena pada beberapa negara penduduknya
minum air yang berasal dari sungai maupun sumur. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Splitz, Koseki dan Foged menyebutkan bahwa diatom
dapat juga terhirup saat merokok apabila daun tembakau masih terdapat
diatom.
 Komtaminasi Postmortem
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ludes dan Coste
menyatakan bahwa penetrasi diatom pada post mortem mungkin terjadi
selama adanya perendaman tubuh jenasah pada tekanan hidrostatik yang
tinggi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Koseki menyatakan bahwa
tulang yang direndam dalam jangka waktu lama dapatmembuat suatu
kesalahan dalam menentukan sebab kematian karena diatom dapat masuk
melalui foramen nutricium atau pori-pori yang lain.
 Kontaminasi lain
Kemungkinan lain adanya kontaminasi diatom yaitu selama
pembuatan preparat, mulai dari pengambilan sampel saat otopsi hingga
kontaminasi pada slide preparat.
b. False Negatif
Ada beberapa faktor yang memungkinkan terjadinya false positif pada
pemeriksaan diatom pada jenasah mati tenggelam yaitu rendahnya jumlah
diatom pada tempat tenggelam, jumlah air yang terhirup sedikit dan
berkurangnya jumlah diatom selama pembuatan preparat. Beberapa peneliti
juga berusaha menentukan batas minimum diatom pada media tenggelam
untuk bisa membuat adanya diatom pada organ tertutup. Data yang didapat
dari penelitian yang dilakukan oleh Muller ditetapkan bahwa batas minimal
yaitu 20.000/100ml pada percobaan dengan menggunakan tikus dan
13.500/100ml pada percobaan dengan menggunakan kelinci. Jumlah dari
false negatif pada kasus dugaan mati tenggelam sangat ervariasi. Beberapa
peneliti seperti Rota yang melakukan penelitian dengan 48 korban mati
tenggelam, terdapat 24% tidak ditemukan ada diatom pada paru-paru
maupun organ-organ tertutup lainnya. Peneliti lain seperti Timperman
melaporkan 10% dari 40 kasus tidak ditemukan adanya diatom. Oleh karena
itu, meskipun pemeriksaan diatom pada korban diduga mati tenggelam
mempunyai hasil yang negatif, tidak semata-mata mencoret kemungkinan
sebab kematian korban tersebut dikarenakan tenggelam.

Tingkat Keberhasilan Pemeriksaan Diatom


Diatom dapat ditemukan di dalam korban tenggelam untuk memperjelas
diagnosis penyebab kematian. Hal ini dapat menjelaskan apakah korban
tenggelam pada saat ante-mortem ataukah post-mortem. Diatom tidak selalu
ditemukan di semua kasus tenggelam, tetapi jika didapatkan pada organ-
organ dalam jumlah banyak, hal ini dapat mempertegas diagnose tenggelam
antemortem (Singh, 2006). Ada banyak kontroversi mengenai tes diatom.
Banyak penulis yang tidak memperhitungkan tes diatom sebagai metode
yang berharga. Akan tetapi dalam berbagai ajaran lampau tes diatom sangat
berguna dalam penentuan tenggelam ante-mortem atau postmortem dengan
memperhitungkan tiap aspek dengan penuh ketelitian.

II.8. Tatalaksana

Asosiasi Dokter Keluarga Amerika menggunakan pendekatan Utstein


sebagai pedoman untuk mengevaluasi korban tenggelam. Evaluasi
dilakukan tidak hanya berdasarkan pelaporan dan pengumpulan data tetapi
juga memberikan panduan untuk anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
manajemen yang tepat. Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
penanganan korban tenggelam.
1. Riwayat
Rincian kejadian tenggelam dapat mengarahkan tatalaksana dan
menentukan prognosis. Pasien yang lebih muda cenderung memiliki hasil
yang lebih baik. Waktu tenggelam selama enam menit atau lebih dikaitkan
dengan prognosis yang jauh lebih buruk. Ketika mempertimbangkan korban
tenggelam di perairan terbuka dengan hasil yang baik (keadaan korban tidak
meninggal atau mengalami gejala sisa neurologis yang parah), 88%
tenggelam kurang dari enam menit dibandingkan dengan 7,4% korban
dengan enam hingga 10 menit di dalam air. Resusitasi dalam air, di mana
beberapa napas bantuan diberikan oleh personel penyelamat terlatih saat
masih di dalam air, dikaitkan dengan durasi anoksia yang lebih pendek dan
tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi. Kurangnya pelatihan yang
memadai, kondisi perairan terbuka, jarak ke pantai, kedalaman air,
ketersediaan peralatan (misalnya, perangkat flotasi), dan kondisi seseorang
(misalnya, cedera, obesitas) dapat membatasi kelayakan resusitasi di dalam
air.
Tenggelam dalam air dingin sebelumnya dianggap neuroprotektif
karena menurunkan kebutuhan metabolik dalam kondisi hipotermia dan
kejadian diving reflex. Laporan kasus menggambarkan korban muda
tenggelam dengan waktu lama dalam air yang sangat dingin dapat selamat
dengan kondisi neurologis yang baik. Namun, telah ditentukan bahwa suhu
air tidak memiliki korelasi dengan hasil keseluruhan. Berlawanan dengan
kepercayaan populer, aspirasi air tawar dibandingkan dengan air asin tidak
membuat perbedaan dalam tingkat cedera paru-paru.
Jika korban mengalami kecelakaan menyelam atau saat berperahu atau
jatuh dari ketinggian, imobilisasi tulang belakang leher diperlukan walaupun
hanya 0,5% korban tenggelam mengalami cedera servikal.
2. Pemeriksaan Fisik dan Penanganan Awal
Sistem klasifikasi tenggelam telah dibuat untuk mengklasifikasikan
korban di tempat penyelamatan berdasarkan parameter klinis pernapasan,
denyut nadi, auskultasi paru, dan tekanan darah.
Perhatikan jalan napas (airway), pernapasan (breathing), dan sirkulasi
(circulation) (ABC) sesuai urutan tersebut (dibandingkan dengan sirkulasi,
jalan napas, dan pernapasan [CAB] pada pedoman bantuan hidup kardiak
modern) adalah yang terpenting karena setiap aritmia jantung hampir selalu
akibat hipoksia. Korban yang tidak bernapas atau memiliki skor Glasgow
Coma Scale kurang dari 8 harus diintubasi dan diberikan bantuan ventilasi.
Korban tenggelam yang sadar dengan ronki di beberapa atau semua lapang
paru-paru memerlukan oksigen tambahan dan evaluasi di unit gawat darurat.
Mual dan muntah terjadi pada 30% hingga 85% korban tenggelam
karena air yang tertelan dalam jumlah besar dan ventilasi tekanan positif
selama resusitasi. Aspirasi isi lambung menandakan cedera paru yang lebih
buruk.
3. Evaluasi Diagnostik
Meskipun evaluasi diagnostik tertentu dimulai di tempat kejadian dan
dapat berkembang ke unit gawat darurat, luasnya seluruh pemeriksaan
diagnostik terbatas dan utama berfokus pada fungsi pernapasan. Jika
hipotermia menjadi perhatian, termometer inframerah tidak boleh digunakan
untuk menentukan suhu inti karena alat tersebut secara keliru mencatat suhu
tubuh yang lebih rendah pada korban tenggelam hingga seluruh kepala.
Setibanya di unit gawat darurat, kesan klinis harus memandu studi
laboratorium. Kadar elektrolit serum, hemoglobin, dan hematokrit biasanya
dalam kisaran normal dan pengukurannya tidak bermanfaat.
Radiografi toraks awal mungkin tidak terlalu menolong jika cedera
paru-paru yang signifikan telah terjadi, atau, sebaliknya, dapat terjadi
diagnosis berlebihan seperti pneumonia karena air di paru-paru. Korban
tenggelam dengan dugaan trauma kepala atau leher harus menjalani
computed tomography dari kepala dan tulang belakang leher. Pada korban
tenggelam dalam serangan jantung, ritme yang unshockable (asistol atau
PET) lebih sering terjadi dibandingkan pada korban henti jantung yang tidak
tenggelam.
Gambar 2. Sistem klasifikasi nilai tenggelam untuk memandu stratifikasi dan
manajemen risiko. (ABC = jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi; CPR =
resusitasi jantung paru.)
BAB III
KESIMPULAN

Diagnosis tenggelam, berdasarkan referat ini, menghadirkan banyak


kemungkinan sehingga sebagian besar diagnosis tenggelam diterima sebagai
"diagnosis eksklusi”. Kelengkapan diagnostik pada dasarnya meliputi beberapa
tingkatan, yaitu : pemeriksaan nefroskopi, yang meliputi pemeriksaan luar mayat
dan otopsi, pemeriksaan histologis, serta pemeriksaan laboratorium. Pada
pemeriksaan luar, unsur yang paling penting adalah buih di sekitar mulut dan
lubang hidung, walaupun temuan ini saja tidak memungkinkan diagnosis
tenggelam, tetapi harus dievaluasi dalam kaitannya dengan data yang muncul dari
pemeriksaan otopsi maupun histologis dan dapat mengasumsikan nilai diagnostik
definitif.

Temuan emfisema paru dan hiperhidrosis dalam otopsi jenazah penting


untuk diagnosis tenggelam, terutama jika terkait dengan bintik Paltauff,
pengenceran darah yang diambil dari ventrikel kiri, dan efusi pleura. Ketiga
temuan ini saja atau bahkan ketiganya tidak memiliki nilai diagnostik karena
terlalu tidak spesifik. Diantara temuan tersebut, temuan diagnostik yang paling
signifikan adalah hemodilusi, yang mengasumsikan nilai diagnostik bila dikaitkan
dengan adanya emfisema paru dan/atau hiperhidrosis.

Setelah otopsi selesai, tes laboratorium dilakukan. Tes laboratorium berguna


untuk mengkonfirmasi diagnosis yang dibuat berdasarkan temuan otopsi atau, jika
tidak ada, untuk mendiagnosis tenggelam. Di antara tes laboratorium, pencarian
diatom pada organ yang bergantung langsung pada sirkulasi sistemik (misalnya,
hati, ginjal), tes bakteriologis, dan analisis biokimia memainkan peran penting.
Berdasarkan temuan ini, tenggelam dapat didiagnosis jika konsentrasi diatom
tinggi terdapat dalam organ sirkulasi sistemik (hanya konsentrasi kecil yang dapat
ditemukan pada populasi umum) dan/atau jika bakteri ditemukan dalam darah
atau visera. Akhirnya, jika kriteria makroskopik dan laboratorium yang
dipertimbangkan dalam pemeriksaan tidak ada, diagnosis kematian karena
tenggelam harus dilakukan penyelidikan lebih lanjut untuk menetapkan penyebab
kematian.
DAFTAR PUSTAKA

1. McCall JD, Sternard BT. Drowning. Treasure Island (FL): StatPearls


Publishing; 2021 Jan. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430833/
2. Mott TF, Latimer KM. Prevention and Treatment of Drowning. American
3. Family Physician; 93 (7): 576-582. 2016. Tersedia di:
https://www.aafp.org/afp/2016/0401/p576.html#sec-3
4. World Health Organization. Drowning. 2020. Tersedia di:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/drowning
5. Centers for Disease Control and Prevention: Drowning: Get the Facts. 2020.
https://www.cdc.gov/homeandrecreationalsafety/water-safety/waterin juries-
factsheet.html
6. World Health Organization. Global report on drowning: preventing a
leading killer. 2014. Tersedia di: https://www.who.int/publications-detail-
redirect/global-report-on-drowning-preventing-a-leading-killer
7. Usaputro R, Yulianti K. Karakteristik serta faktor resiko kematian akibat
tenggelam berdasarkan data bagian ilmu kedokteran forensik rumah sakit
umum pusat sanglah 2010 - 2012. Jurnal Medika Udayana. 2014.
8. Budianto A, Munim WA, Sidhi, Sudiono S, Widiatmaka W, et al. Ilmu
Kedokteran Forensik. 1st ed. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. p.64-75.
9. Adelman HC. Inside Forensic Science: Forensic Medicine. In: Kobilinsky
L; editor. 1st ed. New York: Infobase Publishing; 2007. p.50, 55-7.
10. World Health Organization. Violence and Injury Prevention: Drowning.
11. WHO. 2012. Available from
http://www.who.int/violence_injury_prevention/other_injury/drowning/en/
12. Cantwell GP. Drowning. MedScape E-Medicine. 2013. Available from
http://www.emedicine.medscpae.com/article/772753-overview#overview

Anda mungkin juga menyukai