Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

SINDROMA MEDULA SPINALIS


Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi
salah satu syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu
Penyakit Saraf di RS Islam Jemursari Surabaya

Disusun oleh:
Nadia Nisaussholihah (6130019043)
Delvia Sekar Apsari (6120019009)
Fernando Prasetya E.H (6120019037)
Izki Masyaqqoni Pujiana (6120019039)
Yunyastiti Dwidya Palupi (6120019045)

Pembimbing:
dr. Dyah Yuniati, Sp.S

Departemen / SMF Ilmu Penyakit Saraf


Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya
RSI Jemursari Surabaya
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Referat
SINDROMA MEDULA SPINALIS
Oleh :
Nadia Nisaussholihah
Delvia Sekar Apsari
Fernando Prasetya E.H
Izki Masyaqqoni Pujiana
Yunyastiti Dwidya Palupi

Referat “Sindroma Medula Spinalis” ini telah diperiksa, disetujui, dan diterima
sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepanitraan klinik di
bagian Ilmu Penyakit Saraf RSI Jemursari Surabaya, Fakultas Kedokteran
Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya.
Surabaya, 10 Agustus 2020

Mengesahkan,
Dokter Pembimbing

dr. Dyah Yuniati, Sp.P

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................1
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................3
BAB I: PENDAHULUAN......................................................................4
BAB II: ANATOMI DAN FISIOLOGI..................................................6
BAB III: SINDROMA MEDULA SPINALIS........................................10
A. DEFINISI..............................................................................10
B. ETIOLOGI............................................................................10
C. KLASIFIKASI......................................................................10
D. PATOFISIOLOGI.................................................................13
E. DIAGNOSIS ........................................................................14
F. DIAGNOSIS BANDING......................................................17
G. KOMPLIKASI......................................................................21
H. TALAKSANA......................................................................22
I. PROGNOSIS.........................................................................24
BAB IV: KESIMPULAN........................................................................25
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..26

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke
susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh
tulang vertebra . Cedera medulla spinalis adalah trauma pada tulang belakang
yang menyebabkan lesi medula spinalis sehingga menjadi gangguan neurologik,
tergantung letak kerusakan saraf spinalis dan jaringan saraf yang rusak. Gejalanya
bervariasi mulai dari nyeri, parase, sampai disfungsi sistem kerja tubuh yang
dapat bersifat sementara hingga permanen (Junita, 2013).
Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh atau
tergelincir (25%), dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (10%) sisanya
berupa kekerasan dan kecelakaan kerja.cedera medulla spinalis yag diakibatkan
trauma 30-40 per satu juta penduduk per tahun, dan umumnya terjadi pada usia
remaja hingga dewasa muda. Walaupun insiden per tahun relatif rendah namun
biaya perawatan dan rehabilitasi yang harus dikeluarkan sangat tinggi. Sekitar
80%meningal ditempat kejadian karena vertebra servikalis memiliki resiko trauma
paling besar, dengan level tersering terkena trauma adalah C5 dan diikuti C4, C6,
T10, T12, dan L1 (Junita, 2013).
Adapun pembagian sindroma medulla spinalis menurut American Spinal
Injury Association (ASIA) (Timothy, 2017):

Hilangnya seluruh fungsi motoric dan sensorik


Grade A Complete
dibawah tingkat lesi
Hilangnya seluruh fungsi motoric dan sebagian
Grade B Incomplete
fungsi sensori dibawah tingkat lesi
Fungsi motorik intak tetapi dengan kekuatan di
Grade C Incomplete
bawah 3
Fungsi motoric intak dengan kekuatan motorik
Grade D Incomplete
di atas atau sama dengan 3

4
Grade E Normal Fungsi motorik dan sensori normal

Pada pembagian sebelumnya dapat dinyatakan untuk sindroma medula


spinalis dibagi menjadi lesi komplit dan inkomplit dimana perbedaanya antara
lain:

Karakteristik Lesi komplit Lesi inkomplit


Mototrik Hilang dibawah lesi Bervarisai
Propioseptik Hilang dibawah lesi Bervariasi
Ekteroseptik Hilang dibawah lesi Bervariasi
Gambaran
Fraktur, luksasi, atau listesis Seringnya normal
Radiologi
Hemoragi (54%) Edema (62%)

MRI Kompresi (25%) Kontusi (26%)

Kontusi (11%) Normal (15%)


Dubia et bonam (jika
Prognosis Dubia et malam sesuai dengan penyebab
dari lesi)

B. TUJUAN
1. Mampu memahami dan menjelaskan sindrom medula spinalis

BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI

A. Anatomi Medulla Spinalis

5
Tulang belakang itu terdiri atas tulang punggung dan diskus intervertebral.
Terdapat 7 ruas servikal, 12 ruas vertebrae torakal, 5 ruas vertebrae lumbalis, 5
ruas tulang sakralis, dan 5 ruas koksigeal yang bersatu satu sama lain. Tulang
belakang secara keseluruhan berfungsi sebagai tulang penyokong tubuh terutama
tulang-tulang lumbalis. Selain itu tulang belakang juga berfungsi melindungi
medula spinalis yang terdapat di dalamnya (Snell RS, 2010).

Gambar 2.1 Medula Spinalis


Di sepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang nervus spinalis melalui
radix anterior atau motorik dan radix posterior atau sensorik. Masing–masing
radix melekat pada medulla spinalis melalui sederetan radices (radix kecil) yang
terdapat di sepanjang segmen medulla spinalis yang sesuai. Setiap radix
mempunyai sebuah ganglion radix posterior yang axon sel–selnya memberikan
serabut–serabut saraf perifer dan pusat (Snell RS, 2010).
Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan
ramping, yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm dan garis tengah
2 cm. Medulla spinalis yang keluar dari sebuah lubang besar di dasar tengkorak

6
dilindungi oleh kolumna vertebralis sewaktu turun melalui kanalis vertebralis.
Dari medulla spinalis spinalis keluar saraf-saraf spinalis berpasangan melalui
ruang- ruang yang dibentuk oleh lengkung-lengkung tulang mirip sayap vertebra
yang berdekatan (Snell RS, 2010).
Saraf spinal berjumlah 31 pasang yang terdiri dari 8 pasang saraf servikal
(C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf lumbal (L), 5 pasang saraf
sakral (S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co) (Snell RS, 2010).
Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih
panjang daripada medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut,
segmen-segmen medulla spinalis yang merupakan pangkal dari saraf-saraf spinal
tidak bersatu dengan ruang-ruang antar vertebra yang sesuai. Sebagian besar akar
saraf spinalis harus turun bersama medulla spinalis sebelum keluar dari kolumna
vertebralis di lubang yang sesuai. Medulla spinalis itu sendiri hanya berjalan
sampai setinggi vertebra lumbal pertama atau kedua, sehingga akar-akar saraf
sisanya sangat memanjang untuk dapat keluar dari kolumna vertebralis di lubang
yang sesuai. Berkas tebal akar-akar saraf yang memanjang di dalam kanalis
vertebralis yang lebih bawah itu dikenal sebagai kauda ekuina ”ekor kuda”
karena penampakannya .
Walaupun terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan melintang
dari medulla spinalis umumnya sama di seluruh panjangnya. Substansia grisea di
medulla spinalis membentuk daerah seperti kupu-kupu di bagian dalam dan
dikelilingi oleh substansia alba di sebelah luar. Seperti di otak, substansia grisea
medulla spinalis terutama terdiri dari badan-badan sel saraf serta dendritnya
antarneuron pendek, dan sel-sel glia. Substansia alba tersusun menjadi traktus
(jaras), yaitu berkas serat-serat saraf (akson-akson dari antarneuron yang
panjang) dengan fungsi serupa (Snell RS, 2010). Berkas-berkas itu
dikelompokkan menjadi kolumna yang berjalan di sepanjang medulla spinalis.
Setiap traktus ini berawal atau berakhir di dalam daerah tertentu di otak, dan
masing-masing memiliki kekhususan dalam mengenai informasi yang
disampaikannya(Snell RS, 2010).
Perlu diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis sinyal
dipisahkan, dengan demikian kerusakan daerah tertentu di medulla spinalis dapat

7
mengganggu sebagian fungsi tetapi fungsi lain tetap utuh. Substansia grisea yang
terletak di bagian tengah secara fungsional juga mengalami organisasi. Kanalis
sentralis, yang terisi oleh cairan serebrospinal, terletak di tengah substansia
grisea. Tiap-tiap belahan substansia grisea dibagi menjadi kornu dorsalis
(posterior), kornu ventralis (anterior), dan kornu lateralis. Kornu dorsalis
mengandung badan-badan sel antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen.
Kornu ventralis mengandung badan sel neuron motorik eferen yang
mempersarafi otot rangka. Serat-serat otonom yang mempersarafi otot jantung
dan otot polos serta kelenjar eksokrin berasal dari badan-badan sel yang terletak
di tanduk lateralis (Snell RS, 2010).
Saraf-saraf spinalis berkaitan dengan tiap-tiap sisi medulla spinalis melalui
akar spinalis dan akar ventral. Serat-serat aferen membawa sinyal datang masuk
ke medulla spinalis melalui akar dorsal; serat-serat eferen membawa sinyal
keluar meninggalkan medulla melalui akar ventral. Badan-badan sel untuk
neuron- neuronaferen pada setiap tingkat berkelompok bersama di dalam
ganglion akar dorsal. Badan-badan sel untuk neuron-neuron eferen berpangkal di
substansia grisea dan mengirim akson ke luar melalui akar ventral (Snell RS,
2010).
Akar ventral dan dorsal di setiap tingkat menyatu membentuk sebuah saraf
spinalis yang keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah saraf spinalis mengandung
serat-serat aferen dan eferen yang berjalan diantara bagian tubuh tertentu dan
medulla spinalis spinalis. Sebuah saraf adalah berkas akson neuron perifer,
sebagian aferen dan sebagian eferen, yang dibungkus oleh suatu selaput jaringan
ikat dan mengikuti jalur yang sama. Sebagaian saraf tidak mengandung sel saraf
secara utuh, hanya bagian-bagian akson dari banyak neuron. Tiap-tiap serat di
dalam sebuah saraf umumnya tidak memiliki pengaruh satu sama lain. Mereka
berjalan bersama untuk kemudahan, seperti banyak sambungan telepon yang
berjalan dalam satu kabel, nemun tiap-tiap sambungan telepon dapat bersifat
pribadi dan tidak mengganggu atau mempengaruhi sambungan yang lain dalam
kabel yang sama (Snell, RS, 2010).
Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu
traktus desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi

8
yang bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden
secara umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau
tidak dapat mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu (1) informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri,
suhu, dan raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh,
misalnya otot dan sendi (Snell RS, 2010).

9
BAB III
SINDROM MEDULLA SPINALIS

A. DEFINISI
Sindroma medula spinalis adalah kumpulan gejala yang diakibatkan lesi
pada medulla spinlais dimana lesinya dibagi mejadi lesi komplit dan inkomplit
menyeababkan defisit neurologis dengan gejala dapat berupa nyeri, parese, hingga
disfugsi sistem kerja tubuh. Penyebab tersering adalah trauma berupa kecelakaan
lalu lintas, jatuh atau tergelincir, kecelakaan kerja, dapat pula disebabkan oleh non
trauma seperti tumor dan infeksi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Junita, 2013).

B. Etiologi
Lesi medula spinalis dapat disebabkan karena trauma maupun non trauma.
Penyebab utama trauma medula spinalis adalah kecelakaan kendaraan bermotor
(40%), jatuh (20%), luka tembak (14%) dan kecelakaan kerja (13%) (Mahadewa,
2009). Kecelakaan kendaraan bermotor mendominasi penyebab lesi medula
spinalis pada anak-anak (39-52%), sedangkan pada usia tua (lebih dari 65 tahun),
jatuh merupakan penyebab utama lesi (53%). Lesi medula spinalis lebih sering
terjadi pada laki-laki dan berumur kurang dari 30-40 tahun (Mahadewa, 2009)
Lesi medula spinalis non traumatik dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit
degeneratif, toksik dan gangguan metabolik, hernia diskus intervertebralis,
spondilosis, serta tumor vaskular (Lindsay, et al., 2004; Titus et al., 2007). Tumor
ekstradural merupakan penyebab yang paling sering menimbulkan lesi medula
spinalis non traumatik yang disebabkan oleh tumor, yaitu mencapai 78%, baik
pada dewasa maupun anakanak (Lindsay, et al., 2004).

C. Klasifikasi
Lesi medula spinalis dapat diklasifikasikan menjadi komplit dan tidak
komplit berdasarkan ada atau tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah
tingkat lesi (Pinzon, 2007). Lesi komplit menunjukkan tidak adanya gerakan
volunter atau sensasi di bawah tingkat lesi pada kedua sisi, sedangkan lesi tidak
komplit menunjukkan masih adanya variasi sejumlah fungsi di bawah tingkat lesi.

10
Tingkat lesi sangat membantu dalam memprediksi defisit fungsi tubuh yang
mungkin terjadi, menentukan penanganan selanjutnya, dan meramalkan prognosis
penyakit (Titus, et al., 2007). Pemeriksaan sacral sparing merupakan teknik yang
paling sering digunakan (Pinzon, 2007). Berdasarkan The American Spinal Cord
Injury Association (ASIA), lesi medula spinalis tidak komplit diklasifikasikan
menjadi central cord syndrome, anterior cord syndrome, brown sequard
syndrome, cauda equina syndrome, conus medullaris syndrome (Mahadewa,
2009) dan posterior cord syndrome (Pinzon, 2007). Lesi medula spinalis juga
dapat diklasifikasikan berdasarkan hubungan anatomi antara medula spinalis dan
meninges, yaitu lesi ekstradural, intradural dan intramedulla (Standring, 2008).
Klasifikasi anatomi ini memberikan kemungkinan diagnosa dan bantuan
untuk interpretasi neuroradiologi sebelum intervensi bedah, seperti kasus
neurofibroma yang umumnya terjadi pada canalis cervicalis, meningioma pada
canalis thoracalis dan ependimoma pada canalis lumbosacralis. Penyakit
degeneratif pada columna vertebralis umumnya terdapat pada segmen vertebra
servikal dan lumbosakral, jarang pada segmen torakal (Standring, 2008).
Sindroma cedera medulla spinalis menurut American Spinal Injury
Association (ASIA), yaitu :

Nama Sindroma Pola dari lesi saraf Kerusakan

Central cord syndrome Hematomielia, 1. Paresis lengan > tungkai


Trauma spinal 2. Gangguansensorik
bervariasi di ujung distal
lengan
3. Disosiasi sensibilitas
4. Disfungsi miksi, defekasi,
dan seksual
Brown- Trauma tembus, 1. Paresis UMN ipsilateral di
Sequard Kompresi bawah lesi dan LMN
Syndrome setinggi lesi
2. Gangguan eksteroseptif
(nyeri dan suhu)
kontralateral

11
3. Gangguan proprioseptif
(raba dan tekan) ipsilateral
Anterior Cedera yang 1. Paresis LMN setinggi lesi,
cord menyebabkan UMN dibawah lesi
syndrome HNP pada T4-6 2. Dapat disertai disosiasi
sensibilitas
3. Gangguan eksteroseptif,
proprioseptif normal
4. Disfungsi spinkter
Posterior Trauma, infark 1. Paresis ringan
cord arteri spinalis 2. Gangguan eksteroseptif
syndrome posterior punggung, leher, dan
bokong
3. Gangguan propioseptif
bilateral
Conus Trauma lower 1. Gangguan motorik
medullaris sacral cord ringan, simetris
syndrome 2. Gangguan sensorik,
bilateral, disosiasi
sensibilitas
3. Nyeri jarang, relative
ringan, simetris, bilateral
pada perineum dan paha
4. Refleks Achilles -,
patella +, bulbocavernosus -
, anal –
Disfungsi spinkter, ereksi,
dan ejakulasi.
Cauda Cedera akar saraf 1. Gangguan motorik
equine lumbosakral sedang sampai berat,
syndrome asimetris
2. Gangguan sensibilitas,
asimetris, tidak ada disosiasi

12
sensibilitas
3. Nyeri sangat hebat,
asimetris
4. Gangguan reflex
bervariasi
5. Gangguan spinkter
timbul lambat, ringan,
jarang terdapat disfungsi
seksual

D. Patofisiologi
Kerusakan yang terjadi pada lesi medula spinalis dapat terlihat pada dua
fase, yaitu fase primer dan sekunde. Lesi primer muncul pada kerusakan mekanis
awal sebagai akibat adanya traksi dan kompresi, karena tonjolan atau fragmen
tulang, herniasi diskus vertebralis maupun ligamen. Selain itu, lesi primer juga
dapat terjadi karena adanya kontusi, laserasi atau perdarahan yang segera terjadi
setelah trauma (Mahadewa, 2009; Mautes, et al., 2000).
Lesi sekunder terlihat selama periode jam, hari dan bulan, melibatkan
perubahan fisiologis sel-sel lesi yang progresif, dimulai dari substansia grisea dan
berkembang ke substansia alba. Lesi sekunder ini disebabkan karena trauma,
hipoksia dan iskemia. Kerusakan vaskular yang terjadi setelah lesi diawali dengan
adanya perdarahan yang menyebar ke kompartemen lainnya dan berhubungan
dengan rongga epidural, subdural, subarachnoid dan intramedullar. Kerusakan ini
selanjutnya dapat menimbulkan iskemia, ruptur akson dan membran sel saraf.
Iskemia menyebabkan hilangnya autoregulasi dan spinal shock yang
mengakibatkan hipotensi sistemik dan memperparah iskemia pada jaringan otak.
Lesi sekunder yang terjadi setelah lesi medula spinalis traumatik tidak hanya
berhubungan dengan kerusakan pembuluh darah secara makro, tetapi juga
melibatkan respon kompleks yang meliputi kerusakan sawar darah medula
spinalis, dan respon (Mahadewa, 2009; Titus et al., 2007).
Respon inflamasi mempunyai peran penting dalam patogenesis lesi medula
spinalis. Respon inflamasi umumnya dimediasi oleh peningkatan dan induksi

13
ekspresi gen. Nuclear factor-kB (NF-kB) atau faktor transkripsi merupakan faktor
utama dalam regulasi ekspresi gen inflamasi, dan merupakan faktor penentu
penting pada kematian neuron melalui aktivasi transcriptionally sitokin gen
encoding, prostaglandin synthase-2, cell adhesion molecules (CAM), dan nitric
oxide sinthase (iNOS) (Bethea, et al., 1998)
Mekanisme selanjutnya pada lesi sekunder melibatkan aktivasi membran
fosfolipase, yang berakibat pada hidrolisis fosfolipid, bebasnya asam arakidonat
dan asam lemak lain dari membran sel. Aktivitas enzimatik oleh siklooksigenase
terhadap asam ini memproduksi peroksida lipid, sedangkan aktivitas enzimatik
oleh lipooksigenase memproduksi leukotrien dan prostanoid. Lebih spesifik, level
tromboksan A2 meningkat sesaat setelah terjadi lesi, dimana rasio tromboksan
terhadap prostasiklin meningkat abnormal hingga 18 jam. Ketidakseimbangan ini
dapat menyebabkan lesi sekunder oleh karena terbatasnya perfusi jaringan.
Ketidakseimbangan pada pelepasan neurotransmitter juga berperan pada
patogenesis lesi medula spinalis. Selama satu jam setelah terjadinya lesi, terdapat
pelepasan dramatis glutamat dan aspartat hingga 6 kali kadar normal. Peningkatan
konsentrasi neurotransmitter eksitasi ini dapat mengakibatkan kematian neuron
(Mahadewa, 2009).

E. Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis pada trauma/cedera medulla spinalis,
diperlukan anamnesis yang lengkap, dimana keluhan dan riwayat adanya trauma
atau kelainan tulang belakang ataupun adanya osteoporosis merupakan resiko
terjadinya cedera medulla spinalis. Selain itu, dilakukannya pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang lengkap diperlukan untuk menegakkan diagnosis
(Hadley et al, 2013).
Apabila medulla spinalis tiba-tiba mengalami cedera, maka aka nada 3
kelainan yang muncul, yaitu :
1) Semua pergerakan volunteer dibawah lesi hilang secara mendadak dan
bersifat permanen
2) Sensasi sensorik refleks fisiologis bisa menghilang atau meningkat
3) Terjadi gangguan fungsi otonom

14
Trauma/cedera medulla spinalis dapat menghasilkan satu atau lebih
tandatanda klinis dibawah ini, yaitu :
1) Nyeri menjalar
2) Kelumpuhan atau hilangnya pergerakan atau adanya kelemahan
3) Hilangnya sensasi rasa
4) Hilangnya kemampuan peristaltik usus
5) Spasme otot atau bangkitan refleks yang meningkat
6) Perubahan fungsi seksual

Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi pemeriksaan


laboratorium darah dan pemeriksaan radiologis. Dianjurkan melakukan
pemeriksaan 3 posisi standar (anteroposterior, lateral, odontoid) untuk vertebra
servikal, dan posisi AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan lumbal. Pada
kasus-kasus yang tidak menunjukkan kelainan radiologis, pemeriksaan lanjutan
dengan CT Scan dan MRI sangat dianjurkan. Magnetic Resonance Imaging
merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi lesi di medulla
spinalis akibat cedera/trauma (Pertiwi dan Kharunnisa, 2017)
1) Foto Polos Vertebra
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang
diperkirakan mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan
mungkin disertai dengan dislokasi. Pada trauma daerah servikal foto dengan
posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan
fraktur vertebra C1-C2 (Tjokorda dan Maliawan, 2009).
Evaluasi radiologis yang lengkap sangat penting untuk menentukan
adanya cedera spinal. Pemeriksan radiologis tulang servical diindikasikan
pada semua pasien trauma dengan nyeri leher di garis tengah, nyeri saat
palpasi, defisit neurologis yang berhubungan dengan tulang servical, atau
penurunan kesadaran atau dengan kecurigaan intoksikasi (Tjokorda dan
Maliawan, 2009).
Pemeriksaan radiologis proyeksi lateral, anteroposterior (AP) dan
gambaran odontoid open mouth harus dilakukan. Pada proyeksi lateral, dasar
tengkorak dan ketujuh tulang servical harus tampak. Bahu pasien harus

15
ditarik saat melakukan foto servikal lateral, untuk menghindari luputnya
gambaran fraktur atau fraktur dislokasi di tulang servikal bagian bawah. Bila
ketujuh tulang servikal tidak bisa divisualisasikan pada foto latural, harus
dilakukan swimmer view pada servical bawah dan thorakal atas (Tjokorda
dan Maliawan, 2009).
Proyeksi open mouth odontoid harus meliputi seluruh prosessus
odontoid dan artikulasi C1-C2 kanan dan kiri. Proyeksi AP tulang servikal
membantu indenfitikasi adanya diskolasi faset unilateral pada kasus dimana
sedikit atau tidak tampak gambaran dislokasi pada foto lateral. CT-scan aksial
dengan irisan 3 mm juga dapat dilakukan pada daerah yang dicurigai dari
gambaran foto polos atau pada servikal bawah bila tidak jelas tampak pada
foto polos (Tjokorda dan Maliawan, 2009).
2) CT Scan Vertebra
Gambaran CT aksial melalui C1-C2 juga lebih sensitif daripada foto
polos untuk mencari adanya fraktur pada vertebra. Bila kualitas filmnya baik
dan diinterpretasikan dengan benar, cedera spinal yang tidak stabil dapat
dideteksi dengan sensitivitas lebih dari 97%.
Jika pada skrining radiologis seperti dijelaskan normal,foto X-ray fleksi
ekstensi perlu dilakukan pada pasien tanpa penurunan kesadaran, atau pada
pasien dengan keluhan nyeri leher untuk mencari adanya instabilitas okult
atau menentukan stabilitas fraktur, seperti pada fraktur kompresi atau lamina.
Mungkin sekali pasien hanya mengalami cedera ligamen sehingga mengalami
instabilitas tanpa adnaya fraktur walaupun beberapa penelitian menyebutkan
bahwa bila 3 proyeksi radiologis ditambah CT scan menunjukkan gambaran
normal (tidak ada pembengkakan jaringan lunak atau angulasi abnormal)
maka instabilitas jarang terjadi (Pertiwi dan Kharunnisa, 2017)
3) MRI Vertebra
MRI dapat memperlihatkan seluruh struktur internal medula spinalis
dalam sekali pemeriksaan serta untuk melihat jaringan lunak.
4) Pungsi lumbal
Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan
tekanan likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan

16
Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi
perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan dengan hati-hati,
karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah
terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan
terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut (Hadley et al, 2013).
5) Mielografi

Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma


pada daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus intervertebralis
(Hadley et al, 2013).

F. Diagnosis Banding
Diagnosis banding spinal cord injury (cedera spinal) adalah hipotensi pada
cedera spinal yang dikaitkan dengan syok hemoragik, syok neurogenik, atau
keduanya. Keterbatasan pemeriksaan membuat kedua diagnosis tersebut sulit
dibedakan
Perbandingan syok neurogenik dan syok hipovolemik (syok hemoragik)

Syok neurogenik Syok hipovolemik


Hipotensi Hipotensi
Bradikardi Takikardi
Arefleksia Normo refleks
Respon terhadap penggantian
Respon terhadap vasopressor volume

Diagnosis banding lain terhadap cedera spinal adalah diseksi aorta, infeksi
epidural (spinal epidural abscess) dan infeksi subdural (empiema
subdural), hanging injuries dan strangulasi, trauma leher, infeksi medula
spinalis, sifilis, dan fraktur vertebra. Kondisi lain yang perlu dipertimbangkan
pada pasien yang diduga mengalami cedera tulang belakang antara lain
myelitis transversal, herniasi diskus intervertebralis akut, dan kompresi
medula spinalis ekstradural.
Chin, (2016) menyatakan bahwa diagnosis banding pada trauma medulla

17
spinalis yaitu :
1. Diseksi Aorta
Diseksi aorta merupakan sebuah kegawatdaruratan, karena risiko
komplikasi yang berbahaya dan bahkan kematian dapat terjadi dengan
cepat. umumnya dideskripsikan sebagai nyeri hebat, onset-nya mendadak,
dengan intensitas maksimum saat awal timbulnya. Gambaran klinis lain
berhubungan dengan komplikasi, sindrom malperfusi dapat memberikan
gambaran infark miokard (jika mengenai arteri koroner), stroke (arteri
karotis), iskemia organ viseral (arteri mesenterika), gagal ginjal (arteri
renalis), hilang pulsasi di ekstremitas (arteri brakiosefalika atau arteri
subklavia kiri), ketidakmampuan menggerakan anggota badan atau
paraparesis (iskemi medulla spinalis).
1. Infeksi Epidural dan Subdural
Infeksi epidural dan subdural merupakan salah satu klasifikasi infeksi
susunan saraf pusat golongan infeksi bacterial. Berbeda dengan jaringan
tubuh lainnya, susunan saraf pusat tidak mempunyai sel-sel yang membuat
“antibody”. Apabila blood-brain barrier rusak karena infeksi, protein
plasma dan leukosit dapat memasuki otak dan medulla spinalis. Dengan
demikian proses radang dan reaksi imunologik dapat berkembang
disusunan saraf pusat. Manifestasi klinis seperti sakit kepala, nyeri
retroorbital, nyeri pinggang bagian bawah, nyeri oto-otot, pusing,
parestesia, fotofobia, letargia, dan delirium.
2. Infeksi tulang belakang

Infeksi tulang belakang terjadi akibat bakteri yang masuk kedalam


tulang melalui aliran darah ketika seseorang cedera, dapat juga terjadi pada
orang yang baru saja mengalami patah tulang, baru menjalani operasi
tulang, maupun orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah.
Gejala dari infeksi tulang belakang salah satunya yaitu rasa sakit dan nyeri
yang terjadi di daerah tulang yang terkena serta kesulitan bergerak
3. Sifilis
Sifilis merupakan salah satu infeksi spiroketal yang mengganggu
susunan saraf secara menyeluruh ialah infeksi spiroketa jenis treponema

18
palidum (penyebab sifilis). Apabila penyebab manifestasi sifilis tahap
kedua tidak dikenal, maka infeksi treponema palidum akan terus berjalan
tanpa halangan sehingga susunan saraf pusat juga akan mengalami invasi
kuman tersebut. Infeksi spenyakit sifilis disebut sebagai syphilitic
myelopathy bentuk dari neurosifilis dengan gejala gangguan berjalan (gait
ataxia), kehilangan keseimbangan dan reflex sampai kelemahan otot-otot
anggota gerak.
4. Fraktur Vertebra
Pada fraktur, yang patah bisa lamina, pedikel, prosesus transverses,
diskus intervertebralis bahkan korpus vertebranya. Bersama-sama dengan
fraktur tulang belakang, ligamentum longitudinal posterior dan dura bisa
terobek, bahkan kepingan tulang belakang bisa menusuk ke dalam kanalis
vertebralis. Arteri yang memperdarahi medulla spinalis serta vena-vena
yang mengiringinya bisa ikut terputus. Efek trauma yang tidak langsung
bersangkutan dengan fraktur dan dislokasi seperti jatuh terduduk yang
dikenal sebagai “whiplash” ialah gerakan dorsofleksi dan anterofleksi
berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.

19
20
G. Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada kasus SCI antara lain yaitu :
1. Skin Breakdown disebabkan karena penekanan (posisi statis), gangguan
sensori dan gangguan vaskularisasi,
2. Osteoporosis disebabkan karena tidak ada aktivitas otot dan penumpuan
berat badan,
3. Pneumonia,
4. Heteropic Ossification yaitu pnulangan pada sekitar sendi, biasa terjadi
pada sendi besar seperti hip, knee atau shoulder, resiko terjadi kaku sendi
dan penyatuan sendi,
5. Spasticity,
6. Autonomic dysreflexia yaitu dapat terjadi pada pasien dengan lesi di atas
level T6 atau T7, diduga karena terputusnya otonom yang mengontrol
tekanan darah dan fungsi jantung dapat berakibat hipertensi,
7. Deep Vein Thrombosis (DVT) atau emboli paru, Thromboembolism
Terapi profilaksis thromboembolism untuk pasien dengan defisit
motorik yang berat sampai 3 bulan. Heparin dosis rendah dikombinasi
dengan pneumatic compression stockings atau electrical stimulation juga
digunakan sebagai tindakan profilaksis. Untuk pasien yang gagal dengan
terapi anti koagulan ataupun tidak memenuhi criteria penggunaan
antikoagulan diilakukan Vena cava filters
8. Cardiovascular disease,
9. Syringomyela merupakan pembesaran canalis centralis dari med spinalis
pasca trauma, terjadi pada 1- 3% pasien SCI,
10. Respiratory Dysfunction and Infection,
11. Neuropatic/Spinal Cord Pain yaitu kerusakan dari tulang vertebra, medulla
spinalis, saraf tepi, dan jaringan di sekitarnya bias menyebabkan hal ini.
Bisa berupa nyeri pada akar saraf yang tajam seperti teriris dan menjalar
sepanjang prjalanan saraf tepinya, bahkan terjadi phantom limb pain.
12. Neurogenic shock Jika cedera terjadi pada level Th.6 ke atas menyebabkan
terganggunya kontrol sistem saraf simpatis (Th1 –L1) yang berfungsi

21
mengontrol tonus 10 vaskular sehingga menyebabkan bradikardi,
hipotensi, akral hangat, output urin normal, central venous return
menurun.

H. Tatalaksana
1) Evaluasi
Fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder. Observasi
primer
terdiri atas :
A : Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B : Breathing dan ventilasi
C : Circulation dengan kontrol perdarahan
D : Disabilitas (status neurologis)
E : Exposure/environmental control
Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta
level trauma dapat diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik.
Pemeriksaan motorik dilakukan secara cepat dengan meminta pasien
menggenggam tangan pemeriksa dan melakukan dorsofleksi. Fungsi
autonom dinilai dengan melihat ada tidaknya retensi urin, priapismus,
atau hilang tidaknya tonus sfingterani. Temperatur kulit yang hangat dan
adanya flushing menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis di bawah
level trauma.
2) Imobilisasi leher
Semua pasien dengan kecurigaan trauma spinal harus diimobilisasi
sampai di atas dan dibawah daerah yang dicurigai sampai adanya fraktur
dapat disingkirkan dengan pemeriksaan radiologi. Harus diingat bahwa
proteksi spinal harus dipertahankan sampai cedera cervical dapat
disingkirkan. Imobilisasi yang baik dicapai dengan meletakkan pasien
dalam posisi netral-supine tanpa memutar atau menekuk kolumna
vetebralis. Jangan dilakukan usaha/tindakan untuk mengurangi deformitas
3) Tindakan Pembedahan

22
Pembedahan dimaksudkan untuk mengadakan dekompresi, kadang-
kadang untuk maksud fiksasi vertebra dan juga bila mungkin reposisi
suatu dislokasi. Tindakan pembedahan jarang dilakukan bila waktu
trauma tidak lebih dari 2 bulan dan bila tidak terdapat indikasi. Indikasi
untuk melakukan tindakan pembedahan adalah :
a) Bila terdapat halangan pada jalan likour serebrospinalis, yang
dapat diketahui dengan percobaan quekenstedt pada pungsi
lumbal
b) Adanya pecahan-pecahan tulang yang masuk dalam kanalis
vertebralis
c) Adanya fraktur terbuka
d) Bila gejala bertambah hebat secara progresif
4) Farmakoterapi
Farmakoterapi standar pada SCI berupa metilprednisolon 30
mg/kgBB secara bolus intravena, dilakukan pada saat kurang dari 8 jam
setelah cedera. Jika terapi tersebut dapat dilakukan pada saat kurang dari
jam setelah cedera, terapi tersebut dilanjutkan dengan
metilprednisolon intravena kontinu dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam
selama 23 jam kemudian. Jika terapi bolus metilprednisolon dapat
dikerjakan pada waktu antara 3 hingga jam setelah cedera maka terapi
tersebut dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena kontinu dengan
dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 48 jam kemudian. Terapi ini efektif
dimana terjadi peningkatan fungsi sensorik dan motorik secarasignifikan
dalam waktu 6 minggu pada cedera parsial dan 6 bulan pada cedera total.
Mekanisme kerja metilprednisolon ialah menurunkan respon inflamasi
dengan menekan migrasi netrofil dan menghambat peningkatan
permeabilitas vascular. Metilprednisolon menghambat kerja lipid
peroksidasedan hidrolisis sehingga dapat menghambat destruksi membran
sel. Kerusakan membran sel mencapai puncak 8 jam. Oleh karena itu,
metilprednisolon harus diberikan dalam rentang waktu tersebut (Pertiwi
dan Kharunnisa, 2017)

23
I. Prognosis
Lesi medula spinalis berdasarkan pada sifat lesi. Lesi medula spinalis yang
bersifat ekstrinsik, yaitu lesi di luar substansi medula spinalis atau lesi intrinsik
yang terjadi di dalam medula spinalis. Penelitian menunjukkan bahwa prediktor
paling penting adalah peningkatan retensi sensasi sakral, terutama sensasi tusukan,
3-7 hari setelah terjadinya lesi. Penderita umumnya mendapatkan kembali satu
tingkat dari fungsi motorik, dan sebagian besar dapat pulih. Kondisi ini dapat
terjadi dalam 6 bulan pertama setelah terjadinya lesi. Sepuluh sampai 15% dari
penderita grade A ASIA dapat mengalami kemajuan menjadi grade B sampai D,
tapi jarang mendapatkan kembali kekuatan fungsional di bawah tingkat lesi,
sedangkan separuh penderita grade B akan mendapatkan kembali kekuatan
fungsional di bawah lesi dan hampir 90% dari grade C dan D dapat pulih dengan
kekuatan yang cukup untuk berjalan lagi.
Kematian akibat lesi medulaspinalis sekitar 12-16 kali lebih besar
dibandingkan dengan trauma lainnya. Kematian umumnya akibat lesi terjadi
dalam waktu 24 jam setelah masuk rumah sakit, dan terutama terjadi pada lesi
dengan trauma multipel (Mahadewa, 2009). Penyebab kematian utama adalah
komplikasi disabilitas neurologik, yaitu pneumonia, emboli paru, septikemia, dan
gagal ginjal (Pinzon, 2007)

24
BAB III

KESIMPULAN

Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang


disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis. Sindroma medula spinalis
merupakan salah satu bagian dari cedera medula spinalis. Trauma medula spinalis
merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis akibat trauma. Terapi
trauma medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan
mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Kasus sindrom medula spinalis in-
komplet cenderung memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan
sindrom medula spinalis komplet.

25
DAFTAR PUSTAKA
Adams RD, Victor M, Ropper AH. Disease of Spinal Cord in Principles of
Neurology, 7th ed. McGraw-Hill, New York, 2001.
Bethea, J.R. et al., 1998. Traumatic spinal cord injury induces nuclear factor-kB
activation. The Journal of Neuroscience
Chin, S.L. (2016). Spinal Cord Injuries. [online] Medscape. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/793582-overview
Daroff RB, Jankovic J, Mazziotta JC, Pomeroy SL. Bradley’s Neurology in
Clinical Practice. Elsevier Inc. New York. 2016.
Hadley, M. N., Walters, B. C., Aarabi, B., Dhall, S. S., Gelb, D. E., Hurlbert, R.
J., ... & Theodore, N. (2013). Clinical assessment following acute cervical
spinal cord injury. Neurosurgery, 72(suppl_3), 40-53.
Lindsay, K.W. Bone, I. & Callandar, R., 2004. Neurology and neurosurgery
illustrated. Philadelphia: Churchill Livingstone
Maja, Junita P.S. 2013. Diagnosis dan Penalatalaksanaan Cedera Servikal Medula
Spinalis. Manado : Bagian Neurologi Fakultas Keokteran Universitas Sam
Ratulangi
Mahadewa, T., 2009. Anatomi dan klasifikasi lesi medula spinalis. Di dalam:
Diagnosis dan tatalaksana kegawat daruratan tulang belakang. Jakarta:
Sagung Seto
Mautes, A.E.M. Weinzierl, M.R. Donovan, F. & Noble, L.J., 2000. Vascular
events after spinal cord injury: contribution to secondary
Medscape. Spinal Cord Injuries. https://emedicine.medscape.com/article/793582-
overview.
Pertiwi, Genoveva Maditias Dwi, dan Kharunnisa Berawi. 2017. Diagnosis dan
Tatalaksana Trauma Medula Spinalis. Jurnal Medula 7.2 (2017): 48-52.
Pinzon, R., 2007. Mielopati servikal traumatika: telaah pustaka terkini. Cermin
Dunia Kedokteran, 154
Sheperd Centre and KPK interactive. Understanding Spinal Cord Injury. The
National Spinal Cord Injury Association and The Christopher & Dana
Reeve Foundation. 2011.
Snell, R.S., 2010. Neuroanatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi ke-5.
Diterjemahkan oleh Sugiharto, L. Jakarta: EGC .
Standring, S., 2008. Gray’s anatomi: the anatomical basis of clinical practice.
Edisi ke-14. Philadelphia: Churchill Livingstone.
Timothy T Robert, Garret R Leonard, and Daniel J Capela. 2017. Classifications
In Brief: American Spinal Injury Association (ASIA) Impairment Scale.
Claveland : Cleveland Clinic Neurological Institute

26
Titus, A.M. Revest, P. & Shortland , P., 2007. The nervous system: basic science
and clinical conditions. Philadelphia: Churchill Livingstone
Tjokorda GBM, Maliawan S. 2009. Diagnosis dan tatalaksana kegawat
daruratan tulang belakang. Jakarta: Sagung Seto.

27

Anda mungkin juga menyukai