Anda di halaman 1dari 7

Mampu menjelaskan tatalaksana (fisioterapi) osteoarthritis genu

Pada OA bertujuan untuk mengontrol nyeri, memperbaiki fungsi sendi yang


terserang, menghambat progresifitas penyakit, serta edukasi pasien

Terapi non farmakologis

Terdapat beberapa hal yang direkomendasikan oleh ACR 2012 dalam manajemen
terapi non farmakologis OA lutut, yaitu sebagai berikut.

Tabel Rekomendasi Non Farmakologis untuk Manajemen OA Lutut

Sangat Direkomendasikan Direkomendasikan pada Tidak Direkomendasikan


kondisi tertentu
-Berpartisipasi dalam - Berpartisipasi dalam - Partisipasi dalam latihan
kardiovaskular (aerobik) program manajemen diri keseimbangan, baik
dan/atau latihan - Menerima terapi manual sendiri atau bersamaan
resistensi dikombinasi dengan dengan latihan
-Berpartisipasi dalam latihan yang diawasi penguatan
olahraga air - Menerima intervensi - Mengenakan sol lateral
-Menurunkan berat badan psikososial terjepit
(untuk individu dengan - Menggunakan medially - Menerima terapi manual
berat badan berlebih) directed patellar taping saja
- Mengenakan medially - Memakai penyangga
wedges insoles pada OA lutut
kompartemen lateral - Menggunakan laterally
- Mengenakan laterally directed patellar taping
wedges subtalar
strapped insoles pada
OA kompartemen medial
- Diinstruksikan
penggunaan agen termal
- Menerima alat bantu
berjalan, sesuai
kebutuhan
- Berpartisipasi dalam
program tai chi

Terapi farmakologis

Penanganan terapi farmakologis melingkupi penurunan rasa nyeri yang timbul,


mengoreksi gangguan yang timbul dan mengidentifikasi manifestasi-manifestasi klinis
dariketidakstabilan sendi (Felson, 2008).

Secara garis besar, ACR 2012 merekomendasikan terapi farmakologis untuk OA lutut
sebagai berikut

Tabel Rekomendasi Farmakologis untuk Manajemen OA Lutut

Direkomendasikan pada Tidak Direkomendasikan Tidak Direkomendasikan


kondisi tertentu pada kondisi tertentu
-Asetaminofen - Chondroitin sulfat - Hyaluronat intraartikuler
- OAINS oral - Glucosamine - Duloxetine
-OAINS topikal - Capsaicin topikal - Analgesik opioid
-Tramadol
-Injeksi kortikosteroid
intraartikuler

Asetaminofen, atau yang lebih dikenal dengan nama parasetamol dengan merupakan
analgesik pertama yang diberikan pada penderita OA karena cenderung aman dan dapat
ditoleransi dengan baik, terutama pada pasien usia tua. Dengan dosis maksimal 4 gram/hari,
pasien perlu diberi penjelasan untuk tidak mengonsumsi obat-obat lain yang mengandung
asetaminofen, termasuk obat flu serta produk kombinasi dengan analgesik opioid (Felson,
2008).

Apabila penggunaan asetaminofen hingga dosis maksimal tidak memberikan respon


klinis yang memuaskan, golongan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) atau injeksi
kortikosteroid intraartikuler dapat digunakan. OAINS bekerja dengan cara menghambat
enzim siklooksigenase (COX) sehingga mengganggu konversi asam arakidonat menjadi
prostaglandin, yang berperan dalam inflamasi dan nyeri. Terdapat 2 macam enzim COX,
yaitu COX-1 (bersifat fisiologis, terdapat pada lambung, ginjal dan trombosit) dan COX-2
(berperan pada proses inflamasi). OAINS yang bekerja dengan cara menghambat COX-1 dan
COX-2 (non selektif) dapat mengakibatkan perdarahan lambung, gangguan fungsi ginjal,
retensi cairan dan hiperkalemia. Sedangkan OAINS yang bersifat inhibitor COX-2 selektif
akan memberikan efek gastrointestinal yang lebih kecil dibandingkan penggunaan OAINS
yang non selektif. Pada penggunaan OAINS jangka panjang perlu dipertimbangkan
pemberian proton-pump inhibitor untuk mengurangi risiko komplikasi traktus gastrointestinal
(Felson, 2008).

Untuk pasien berusia >75 tahun, penggunaan OAINS topikal lebih dianjurkan
dibanding OAINS oral. Pada kasus ini, penggunaan tramadol atau injeksi kortikosteroid
intraartikuler dapat dianjurkan. Tramadol sama efektif dengan morfin atau meperidin untuk
nyeri ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah. Dosis
maksimum per hari yang dianjurkan untuk tramadol adalah 400 mg. Injeksi kortikosteroid
intraartikuler dapat diberikan bila terdapat infeksi lokal atau efusi sendi (Felson, 2008).

Operasi

Tindakan operasi seperti arthroscopic debridement, joint debridement, dekompresi


tulang, osteotomi, dan artroplasti merupakan tindakan yang efektif pada penderita dengan
OA yang sudah parah. Tindakan operatif ini dapat menghilangkan nyeri pada sendi OA,
tetapi kadang fungsi sendi tersebut tidak dapat diperbaiki secara adekuat, sehingga terapi
fisik pre dan pasca operatif harus dipersiapkan dengan baik (Felson, 2008)

Teknologi Intervensi Fisioterapi

Infra Red Radiations (IRR) Sinar IRR adalah pancaran gelombang elektromagnetik dengan
panjang gelombang 7.700 – 4.000.000 A. Klasifikasi infra red berdasarkan panjang
gelombang: (1) Gelombang panjang (non penetrating), panjang gelombang diatas 12.000 A -
150.000 A. Daya penetrasi sinar ini hanya sampai pada lapisan superficial epidermis, yaitu
sekitar 0,5 mm, (2) Gelombang pendek (penetrating), adalah gelombang yang dengan
panjang gelombang antara 7.700 – 12.000 A. Daya kira - kira dapat mempengaruhi secara
langsung terhadap pembuluh darah kapiler, pembuluh limfe, ujung - ujung saraf dan jaringan
– jaringan lain di bawah kulit (Sujatno, 2011).

Terapi listrik dengan Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)

Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) merupakan suatu cara penggunaan energi
listrik untuk merangsang saraf melalui permukaan kulit (Parjoto, 2006). Menurut Jonhson
(2000, dikutip oleh Parjoto 2006) membedakan TENS menjadi empat tipe yaitu: (1) tipe
konvensional, (2) alternative TENS, (3) intense TENS, (4) pulse burst TENS

Pemeriksaan Fisioterapi pada kasus osteoarthritis meliputi inspeksi (statis dan


dinamis), palpasi, perkusi, pemeriksaan gerak (aktif, pasif dan isometrik 6 melawan tahanan),
pemeriksaan kemampuan fungsional, pemeriksaan nyeri, pemeriksaan kekuatan otot,
pemeriksaan lingkup gerak sendi, dan pemeriksaan antropometri dan pemeriksaan spesifik.

1. Efek fisiologis
a. Perubahan panas (temperatur) dapat menimbulkan reaksi lokal pada jaringan
misalnya, (1) meningkatkan metabolisme sel-sel lokal ± 13% tiap kenaikan
temperatur l°b, (2) meningkatkan vasomation sphinther sehingga timbul homostatik
lokal dan akhirnya terjadi vasodilatasi lokal. Reaksi general, mungkin dapat terjadi
kenaikan temperatur, tetapi perlu diingat EEM 2450 MHz penetrasinya dangkal (± 13
cm) dan aplikasinya lokal. Consersual efek, timbulnya respon panas pada sisi kontra
lateral dan segment yang sama. Penetrasi dan perubahan temperatur lebih
terkonsentrasi pada jaringan otot sebab jaringan otot lebih banyak mengandung
cairan/daerah.
b. Jaringan ikat Meningkatkan elastisitas jaringan ikat 5-10 kali lebih baik seperti
jaringan/collagen, kulit, otot, tendon, ligamen dan capsul sendi akibat menurunnya
viskositas matrik jaringan, tetapi terbatas pada jaringan ikat yang letak kedalamannya
±3 cm.
c. Jaringan otot Selain meningkatkan elastisitas jaringan otot, juga menurunkan tonus
otot lewat normalisasi nocisensorik kecuali hipertonik otot akibat emosional.
d. Jaringan saraf Misalnya: meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf,
meningkatkan nerve conduction (konduktivitas saraf) dan meningkatkan ambang
rangsang/ theshold.

2. Efek terapeutik

a. Penyembuhan luka dapat meningkat proses respirasi jaringan secara fisiologis.


b. Nyeri, hipertropi, gangguan vaskularisasi, dapat menurunkan, nyeri, normalisasi
tonus otot lewat efek sedatif, perbankan sistem metabolisme.
c. Kontraktur jaringan lemah, dengan peningkatan elastisitas jaringan lemak maka dapat
mengurangi proses kontraktur jaringan.
d. Gangguan konduktifitas dan trashold jaringan saraf, apabila elastisitas dan trashold
jaringan saraf semakin pula, prosesnya lewat efek fisiologik.

3. Efek-efek yang lain

efek umum misalnya merasa lemah badan, pusing mengantuk.

4. Indikasi.

a. Kelainan-kelainan patah tulang, sendi dan otot misalnya rhematoid artritis, post
traumatik, low back pain.
b. Kelainan-kelainan pada syaraf perifer seperti neuropati dan neuralgia.

5. Kontra indikasi

a. Logam dalam tubuh


b. Alat elektronis misalnya: jam tangan, alat audiovisual yang sedang dipakai.
c. Gangguan peredaran darah
d. Memakai nilon dan bahan lain yang tidak menyerap keringat
e. Jaringan dan organ yang mempunyai banyak cairan, misalnya: pada mata atau luka
basah, eksim basah yang dapat menimbulkan kebakaran di jaringan.
f. Gangguan sensabilitas
g. Infeksi akut dan demam dapat memperluas infeksi bakteri melalui aliran darah.
h. Setelah menjalani terapi rontgen
i. Menstruasi dan Kehamilan
j. Apabila daerah yang diterapi bagian punggung dan perut.

Terapi Latihan

Tujuan dari terapi latihan adalah: (1) untuk mengurangi nyeri, (2) mengurangi spasme, (3)
mobilitas spasme, (4) meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot, (5) meningkatkan lingkup
gerak sendi. Untuk mencapai tujuah tersebut maka latihan yang efektif adalah latihan:

1. Latihan active movement


a. Assisted active movement
Adalah gerakan yang terjadi karena kontraksi otot pasien dibantu oleh kekuatan dari
luar (Kisner, 2007) Bantuan berupa alat atau dari terapis. Latihan ini dapat dilakukan
dengan posisi tengkurap untuk fleksi knee, tangan terapis memfiksasi pada otot
hamstring dan tangan yang satunya membantu menggerakkan. Dilakukan secara
bergantian 8x2 hitungan.
b. Free active movement Adalah gerakan yang berasal dan otot itu sendiri (Kisner,
2007) Latihan pada sendi lutut ini dikerjakan dengan posisi tidur tengkurap atau
duduk di tepi bed dengan pasien disuruh menggerakkan fleksi ekstensi. Yang penting
tidak dikerjakan dengan posisi menumpu berat badan penuh karena dapat
memperberat kerusakan sendinya. Dilakukan secara bergantian 8x2 hitungan.
c. Resisted active movement Adalah suatu bentuk latihan gerak dimana dalam
melakukan gerakan diberikan tahanan dan terapis (Kisner, 2007) Latihan ini
dilakukan dengan posisi tidur tengkurap, posisi terapis disamping pasien memfiksasi.
Tangan kiri berada pada lutut atas dan tangan satu pada pergelangan kaki. Terapis
memberikan tahanan minimal dan pasien disuruh menggerakkan atau melawan
gerakan tadi ke arah fleksi. Dilakukan secara bergantian kanan dan kiri 8x2 hitungan.
d. Hold relax
Adalah suatu teknik yang mengarah pada kontraksi isometrik rileksasi optimal dan
kelompok otot antagonis yang memendek, kemudian otot tersebut rikeks, cara
pelaksanaannya teknik hold relax, (1) gerakan atau dimana nyeri terasa timbul, (2)
terapis memberi tahanan pada kelompok antagonus yang meningkat perlahan-lahan
dan pasien harus meningkat perlahan-lahan dan pasien harus melawan tahanan
tersebut, (3) instruksi yang diberikan tahan disini, (4) rileksasi pada kelompok otot
antagonis, tunggu beberapa saat sampai ototnya rileks, (5) gerakan aktif dalam pola
agonis (Kisner, 2007).

DAPUS

ACR. (2012) American College of Radiology Appropriateness Criteria. Reston : ACR. Available
from : http://www.acr.org/~/media/ACR/Documents/AppCriteria/Diagnostic/Breast
CancerScreening.pdf

Felson, D.T., 2008, Osteoarthritis, HARRISON’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition,
2158-2165, Mc Graw-Hill Companies Inc, New York.

Kisner, C dan Colby L. A. 2007. Therapeutic Exercise: Foundations and Techniques. 5th Ed.
Philadelphia: F. A. Davis Company

Sujatno, Muchtan. (2011). Metodologi Penelitian Biomedis. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai