Anda di halaman 1dari 16

Rehabilitasi Medik pada Spastik

Oleh: Amelia C Siagian, S. Ked Dezar anugrah putra, S. Ked Rifki Yulian, S. Ked 54061001007 04071001119 04071001110

Dosen Pembimbing: Dr. Ibrahim

BAGIAN/DEPARTEMEN REHABILITASI MEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA/RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. MOH. HOESIN PALEMBANG 2011

Rehabilitasi Medik pada Spastik

Spastik adalah suatu peningkatan tonus otot yang menyebabkan adanya suatu tahanan. Kondisi ini dapat terjadi akibat suatu gangguan atau trauma seperti cedera tulang belakang, cedera otak, tumor, stroke, sklerosis multipel. Spastisitas merupakan suatu gangguan sistem sensorimotor yang dikarakteristik oleh adanya peningkatan tonus otot dan menimbulkan tendon jerk yang merupakan hasil hipereksitabilitas refleks regang. Spastisitas merupakan komponen sindroma UMN bersama dengan dilepaskannya refleks fleksor, kelemahan, dan kehilangan keterampilan. Spastisitas merupakan suatu kelompok otot hipertonik dan dapat diterjemahkan sebagai tahanan yang dirasakan oleh pemeriksa ketika rapid passive movement di lakukan. Spastik muncul karena ketidakhadiran penghambat normal yang biasa teradapat pada area penghambat di otak. Lesi pada otak mengacaukan hubungan dan mengganggu keseimbangan pensupresi . akibat yang ditimbulkan karena terjadinya ketidakseimbangan fasilitasi gamma motor neurons menghasilkan phasic strecth reflexes, hyperactive tonic reflexes, dan klonus. Untuk menilai berat atau tidaknya spastisitas dapat dilakukan penilaian dengan skala Ashwort atau modifikasinya: Modified Ashwaorth Scale for Grading Spastisticity Grade 0 1 Keterangan Tidak ada kenaikan dalam tonus otot Kenaikan ringan dalam tonus otot, muncul ketika dipegang dan dilepas atau dengan tahanan minimal pada akhir dari LGS ketika bagian yang terkena digerakkan dalam gerakan fleksi atau ekstensi. 2 Kenaikan ringan dalam tonus otot muncul ketika dipegang dan dilepas atau dengan tahanan minimal pada sisi (kurang dari separuh) dari LGS 3 Kenaikan yang lebih jelas dalam tonus otot, pada sebagian besar LGS
2

tetapi bagian yang terkena dapat digerakkan dengan mudah 4 Kenaikan yang besar dalam tonus otot, dimana gerakan pasif sulit dilakukan. 5 Bagian yang terkena kuku dalam gerakan fleksi atau ekstensi.

Ciri-ciri: Spastisitas, model spinal:


1. Penghilangan penghambatan pada segmental polysynaptic pathways

2. Lambat, keadaan eksitatorik meningkat progresif melalui eksitasi kumulatif. 3. Aktivitas afferen yang berasal dari satu segmen dapat menyebabkan otot merespon pada beberapa segmen sekitar. Spastisitas, model serebral:
1. Mempertinggi eksitabilitas monosynaptic pathways 2. Aktivitas refleks terjadi secara cepat.

3. Bias terjadi dalam aktivitas pada otot antigravitasi dan perkemabangan postur hemiplegik. Tanda klinis Gejala positif

1. Spastisitas a. Peningkatan tonus otot


b. Terjadi tendon jerk c. Strecth reflex menyebar ke ekstensor 3

d. Klonus 2. Pelepasan refleks fleksor a. Respon Babinski b. Mass synergy patterns Gejala negatif

1. Kehilangan ketangkasan jari-jari


2. Kelemahan: 1. Ketidakadekuatan force generation 2. Keterlambatan dalam

pergerakan
3. Kehilangan kontrol selektif dari otot dan segmen-segmen tungkai.

Perubahan Rheologic pada otot spastik:

1. Kekakuan 2. Kontraktur 3. Fibrosis 4. Atropi Otot-otot yang berpotensial terjadi spastisitas akibat disfungsi upper motor neuron 1. Tungkai atas Adducted/intrenally rotated shoulder : a. Pectoralis mayor b. Latissimus dorsi c. Teres mayor d. Subscapularis
4

The flexed elbow : a. Brachioradialis b. Biceps c. Brachialis The pronated forearm : a. Pronator quadratus b. Pronator teres The fexed wrist: a. Flexor carpi radialis dan brevis b. Extrinsic finger flexor The intrinsic plus hand: a. Dorsal interossei The thumb-in-palm deformity: b. Adductor pollicis c. Thenar group d. Flexor pollicis longus

2. Tungkai bawah The equino-varus foot: a. Medial gastrocnemius b. Lateral hamstrings


5

c. Soleus d. Tibialis posterior e. Tibialis anterior f. Extensor hallucis longus g. Long toe flexors h. Peroneus longus Striatal toe: a. Extensor hallucis longus The stiff knee: b. Gluteus maximus c. Rectus femoris d. Vastus lateralis e. Vastus medialis f. Vastus intermedius g. Hamstrings h. Gastrocnemius i. Illiopsoas

The flexed knee: a. Medial hamstrings


6

b. Lateral hastrings c. Quadriceps d. Gastrocnemius Adducted thighs: a. Adductor longus b. Adductor magnus c. Gracilis d. Illiopsoas e. Pectineus The flexed hip: a. Rectus femoris b. Illiopsoas c. Pectineus d. Adductus longus e. Adductor brevis f. Gluteus maximus

Distribusi Spastisitas Otot

Spastisitas sering dibagi berdasarkan distribusinya. Distribusi spastisitas otot harus diperhatikan untuk menentukan penatalaksanaan :
1. Kelainan setempat (fokal) : misalnya fleksi siku, adduksi paha. 2. Kelainan multipel (multifokal) : misalnya mengenai beberapa sendi pada

ekstremitas yang sama.


3. Kelainan regional/multi-ekstremitas : misalnya diplegia spastik. 4. Kelainan menyeluruh (generalisata):

misalnya spastisitas otot difus,

kekakuan, klonus difus. Istilah spastisitas fokal sesungguhnya tidak tepat sebab bukan spastisitasnya yang setempat (fokal) melainkan masalah yang timbul akibat spastistas tersebut yang bersifat setempat. Pada keadaan ini, botulinum toksin merupakan salah satu pilihan pertama sebagai penatalaksanaan farmakologik.

Gambar 2. Contoh spastisitas otot/spastisitas setempat (kiri), multipel (tengah) dan regional (kanan) pada sindrom UMN (Courtesy of Nathaniel Mayer1)

Penatalaksanan Diagnosis spastisitas otot tidak sulit, namun penanganannya masih sering menjadi tantangan bagi para klinisi. Tujuan penanganan spastisitas adalah antara lain meningkatkan mobilitas dan lingkup gerak sehingga pasien dapat melakukan kegiatan sehari-hari, seperti makan, berpakaian, merawat kebersihan tubuh dan lain-lain, agar kualitas hidup pasien meningkat. Di samping penanganan konservatif berupa latihan fisik, peregangan dan latihan posisi, pilihan penanganan juga meliputi penggunaan obat-obat antispastik oral dan injeksi lokal penghambat neuromuscular dengan fenol dan botulinum toksin. Pemilihan program penatalaksanaan yang paling tepat memerlukan informasi penyebab, sifat maupun tanda sindrom UMN yang terjadi. Pada umumnya tanda positif lebih berespons terhadap terapi farmakologis daripada tanda negatif. Terapi perifer akan lebih bermanfaat pada spastisitas otot setempat dan multipel, sedangkan spastisitas otot regional dan generalisata akan berespons lebih baik terhadap terapi sentral (Tabel 1). Tabel 1. Pilihan Terapi Untuk Penatalaksanaan Spastisitas Otot Pada Sindrom UMN Terapi perifer (fokal/setempat) Botulinum neurotoksin (BoNT) Fenol Local anesthetic Block Serial casting Bracing Fisioterapi Prosedur bedah ortopedi Musculotendinous lengthening Terapi sentral (sistemik) Obat oral Baklofen intratekal Implantasi stimulator SSP (susunan saraf pusat)

Transfer/pembebasan tendon Neurektomi motorik Fusi sendi

Strategi terapi yang paling efektif melibatkan kombinasi prosedur, intervensi dan terapi farmakologis yang ditentukan oleh kebutuhan tiap pasien (Gb.3)

10

Gambar 3. Algoritma penatalaksanaan sindrom UMN Pasien dengan kontraktur membutuhkan terapi bedah, dan pasien yang mengalami spastisitas otot berat dapat berhasil baik dengan terapi langsung ke otot yang spastik. Terapi Non Farmakologis Peregangan Otot (stretching exercise) Peregangan otot, suatu latihan bertujuan meningkatkan yang popular pada program latihan atletik, dari bagian-bagian otot supaya Akhir-akhir ini, terapi ini lazim

viskoelastisitas

mengurangi resiko trauma otot-tendon.

digunakan dalam manajemen pasien spastik. Termasuk diantaranya adalah prosedur pemanjangan otot yang dapat diterapkan dengan cara menggerakkan sendi dalam ROM secara manual, atau dengan berbagai alat mekanik, untuk menormalkan tonus otot, mempertahankan atau meningkatkan ekstensibilitas jaringan lunak, mengurangi nyeri kontraktur, dan meningkatkan fungsi motorik. Latihan peregangan dapat dilaksanakan dalam berbagai modalitas, antara lain: 1) peregangan pasif (peregangan dilakukan oleh orang lain dan pasien tidak berpartisipasi aktif); 2) peregangan aktif; 3)prolonged positioning (posisi yang dilakukan untuk mencapai durasi peregangan otot tertentu yang lebih lama); 4)peregangan isotonik (ekstremitas digerakkan secara perlahan sampai pada ROM maksimum dan dipertahankan pada batas waktu tertentu yang bervariasi); 5)peregangan isokinetik. Efek peregangan pada spastisitas dapat dijelaskan sebagai suatu perubahan eksitabilitas dari motorneuron pada otot spastik. Beberapa studi telah meneliti mengenai eksitablilitas motoneuron setelah latihan peregangan pada pasie dengan SMD. 3 studi melaporkan efek yang positif dari latihan peregangan, sementara 1 studi melaporkan tidak ada perubahan yang signifikan setelah latihan peregangan. Penguatan otot (strengthening exercise)

11

Syarat: kekuatan otot diatas fair (F 50%) atau 3 atau lebih. Beban harus diatas 35% kemampuan otot a. Isometric/static exercise: adalah kontraktsi otot, tidak ada gerakan sendi (statis). Dikatakan cukup kontraksi optimal selama 6 detik 1 kali sehari. b. Isotonic exercise: kontraksi otot bersamaan dengan gerak sendi. c. Isokinetik exercise: prinsip latihan merupakan gabungan antara isometric dan isotonic, sehingga hasil optimal, boleh untuk penderita hipertensi dan PJK. Memerlukan alat khusus (misalnya Cybex Norm) yang dapat mengatur beban secara dinamik, tetapi kecepatan gerak tetap (static) sepanjang waktu latihan. Sering dipakai pada pusat-pusat kebugaran dan pusat latihan atlit

Modalitas fisik (Physical modalities) Beberapa studi telah dilaporkan berguna untuk dalam penatalaksanaan spastisitas otot. Beberapa modalitas fisik yang telah diperiksa dan mempunyai efek terhadap spastik adalah Shock wave therapy, ultrasound therapy, cryotherapy, thermotherapy, vibration dan stimulasi elektrik. Terapi Shock Wave Shock Wave Therapy adalah sebuah rangkaian dari pulsasi sonik tunggal yang mempunyai tekanan yang sangat tinggi (100 Mpa), peningkatan tekanan yang cepat (<10s) dan durasi yang lambat (10s). Efek dari terapi ini adalah pada tulang dan tendon seperti penyakit tendonitis calcarea bahu, pseudoartrosis, epikondilitis dan plantar fascilitis. Terapi Ultrasound Terapi ultrasound memiliki efek mekanikal dan termal pada jaringan target yang menyebabkan terjadinya peningkatan metabolism lokal, sirkulasi, jaringan
12

penghubung yang regang, regenerasi jaringan dengan peningkatan pada sindroma nyeri , bengkak, dan ROM artikular. Setelah dilihat efeknya terhadap otot, terapi ultrasound yang dikombinasikan dengan regangan statis menunjukkan perbaikan yang signifikan pada otot yang bermasalah bila dibandingkan dengan terapi regangan statik saja pada orang yang normal. Cryotherapy Pendinginan otot secara lokal telah dideskripsikan untuk sementara dapat menurunkan spastisitas dan klonus terutama dengan mengurangi sensitivitas muscle spindle terhadap regangan. Pendinginan lokal dari otot yang spastik sangat bermanfaat dan tidak mahal dan juga bisa dikombinasikan dengan latihan aktif dari otot antagonis dan juga digunakan untuk otot hipertonia dan klonus. Harlaar dkk telah melaporkan suhu yang efektif untuk otot spastik pada manusia setelah pendinginan lokal selam 20 menit adalah -120 C. Thermotherapy Walaupun efek pendinginan pada spastisitas telah diinvestigasi memiliki efek lebih baik daripada penghangatan superficial, tetapi thermotherapy dapat menurunkan tonus otot, mengurangi spasme otot, dan meningkatkan ambang batas nyeri pada pasien dengan otot hipertonia. Matsumoto dkk menyatakan bahwa amplitudo gelombang F dan rasio M-rensponse secara signifikan menurunkan spastisitas pada pasien pasca stroke stelah 10 menit mandi air hangat (410C). Vibrasi Stimulasi vibrasi juga ditemukan bermanfaat mempunyai efek anti spastik. Noma dkk telah melaporkan efektivitas dari aplikasi langsung dari stimuli vibrasi pada otot spastik ekstremitas atas, lengan bawah, dan lengan atas pasien stroke. Aktivasi dari aferen pudendal setelah stimulasi vibrasi penile dan mempengaruhi sirkuit neuronal pada lumbar spinal cord yang terlibat dalam patofisiologi spastisitas ekstremitas bawah.
13

Stimulasi Elektrik Stimulasi saraf elektrik transkutaneus (TENS) yang diterapkan umumnya pada saraf peroneal, dermatom spinal atau region pada otot yang spastik telah dilaporkan dapat mengurangi tonus otot pada pasien stroke, spinal cord injury dan cerebral palsy. TENS yang memiliki antispastik dihipotesakan berhubungan dengan produksi -endorfin yang mungkin menurunkan ekstabilitas dari motor neuron dan berdasarkan teori kontrol pintu gerbang (gate control theory), menyebabkan reduksi input nosiseptik. Terapi Farmakologis 1. Terapi sentral/sistemik Diindikasikan untuk spastisitas otot generalisata dan regional. Obat sistemik akan menyebabkan relaksasi otot menyeluruh dengan cara menghambat neurotransmiter eksitatorik atau meningkatkan kerja neurotransmiter inhibitorik pada sistem saraf pusat. Obat sistemik oral mempunyai efek samping menekan sistem saraf pusat yang bermakna (kantuk, dan lain-lain) sehingga meningkatkan risiko jatuh dan fraktur, terutama pada orang tua. Contoh obat yang bekerja sentral : Baclofen, Dantrolen, Tizanidine, Clonidine, Gabapentin.Baclofen paling sering digunakan, namun banyak efek sampingnya yaitu infeksi di tempat injeksi, menimbulkan kantuk dan depresi pernapasan, serta gejala putus obat (withdrawal symptom) yang menyulitkan. Apabila terapi oral gagal baru diberikan secara intratekal. 2. Terapi perifer, meliputi: a. Obat anestesi lokal (lidokain, bupivakain, etidokain) efeknya singkat, hanya 2-8 jam b. Obat kemodenervasi :
14

Neurolitik seperti fenol (3-5%) dan alkohol (35%-60%) menyebabkan denaturasi non-spesifik dan gangguan fungsi saraf normal. Efek samping rasa terbakar, nyeri dan disestesi di tempat injeksi. Botulinum toksin tipe A dan B menghambat penglepasan asetilkolin dari neuron motorik secara selektif, sehingga mempunyai efek kemodenervasi selama 3-6 bulan

Mekanisme kerja toksin botulinum Botulinum toksin merupakan terapi pilihan untuk spastisitas otot fokal dan multifokal pada sindrom UMN dengan menyuntikkannya ke otot sasaran yang spastik. Tersedia botulinum toksin A dan botulinum toksin B; botulinum toksin A merupakan serotipe yang paling banyak dipelajari dan dipakai untuk tujuan terapetik. Botulinum toksin merupakan salah satu toksin kuat yang bekerja menghambat transmisi neuromuskular melalui hambatan pelepasan asetilkolin. Setelah diinjeksikan, toksin botulinum akan berikatan dengan membran sel neuron pada saraf terminal dan masuk ke neuron secara endositosis. Rantai ringan toksin botulinum berikatan dengan tempat spesifik di protein membran sel yaitu SNAP25 (synaptosomal associated protein-25), VAMP (vesicle associated membrane protein) dan syntaxin, sehingga fusi vesikel asetilkolin di membran sel akan dicegah dan pelepasan vesikel asetilkolin tersebut ke sinaps akan dihambat .

15

Gambar 4. Mekasnisme kerja botulinum toksin (diadaptasi dari Moore) Sumber : Smania N, Picelli A, Munari D, Geroin C , Ianes P, Waldner A, Gandolfi M. Rehabilitation procedures in the management of spasticity. ELH J PHYS REHABIL MED. 2010;46;423-38 1. Bromiley, B. Equine Injury, Therapy and Rehabilitation. 3rd ed. Australia : Blackwell Publishing Ltd;2007.
2. Cooper, G. Essential Physical Medicine and Rehabilitation. United States

of America:Humana Press Inc;2006.


3. Buku Penuntun Pemeriksaan Fisisk dan Fungsional Ilmu Kedokteran Fisik

dan Rehabilitasi dr. Jalalin, Sp.RM Bagian Rehabilitasi Medik FK UNSRI Palembang 4. Cermin Dunia Kedokteran vol. 36 no. 6 September - Oktober 2009

16

Anda mungkin juga menyukai